Rafika Rosmalida_ta_dasar Penghapus.pdf

  • Uploaded by: Rafika
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rafika Rosmalida_ta_dasar Penghapus.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 3,955
  • Pages: 18
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN “Nomor 963 K/PID/2015” BERDASARKAN TEORI DASAR PENGHAPUS PIDANA MATA KULIAH PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

Disusun Oleh :

Rafika Rosmalida

1706977714

KELAS A REGULER

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat 2018

BAB I PENDAHULUAN

I.

TEORI Hukum Pidana di Indonesia, mengenal adanya 3 hal yakni dasar penghapus, dasar

peringan, dan dasar pemberat pada saat dilakukannya suatu tindak pidana. Dasar penghapus pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu terdapat suatu dasar penghapus yang berlaku umum kepada setiap orang dan pada setiap delik, dimana tercantum dalam Pasal 44 dan Pasal 45 KUHP mengenai tidak dapat dipertanggungjawabkannya suatu tindak pidana karena keadaan diri pelaku, selanjutnya yaitu Pasal 48 sampai dengan Pasal 50 KUHP berkaitan dengan ha-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena keadaan di luar pelaku dan juga terdapat dasar penghapus yang berlaku khusus yaitu untuk orang tertentu dan pada delik tertentu, dimana delik dan pelaku sudah ditentukan, semisal dalam Pasal 308 KUHP Jo. 305 KUHP mengenai ibu yang sengaja menaruh anaknya di suatu tempat dengan tujuan agar dipelihara orang lain, Pasal 341 KUHP Jo. 338 KUHP mengenai pembunuhan seorang anak, Pasal 221 ayat (2) KUHP berkaitan dengan orang yang menyembunyikan pelaku kejahatan atau membinasakan barang dilakukannya kejahatan, dan Pasal 367 KUHP mengenai pencurian dalam keluarga.1 Menurut Doktrin, dasar penghapus pidana terdapat pada KUHP dan di luar KUHP. Selain itu, dalam tindak pidana tidak terdapat perbuatan melawan hukum secara materil, karena kewenangan mendidik dan kewenangan profesi. Dikenal pula istilah Avas atau tidak ada kesalahan sama sekali.2 Dasar pembenar atau justification yaitu berkaitan dengan tindakannya, jika perbuatan tersebut merupakan perintah atau disahkan oleh hukum. Titik berat diletakkan pada perbuatannya, dimana perbuatan dibenarkan dan sifat melawan hukum ditiadakan. Pasal

1

Theodora Yuni Shah Putri, “Hukum Pidana” (Materi Powerpoint ini disampaikan dalam Mata Kuliah

Asas-Asas Hukum Pidana, Depok, Maret 2018), hlm. 199. 2

Ibid., hlm. 201.

yang sesuai dengan hal ini yaitu Pasal 48 KUHP, Pasal 49 ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP, dan Pasal 51 ayat (1) KUHP.3 Dalam hal menghilangkan sifat pada tindak pidana terdapat dua alasan, dimana alasan pertama yaitu menghilangkan sifat melanggar hukum, yaitu:4 1. Keperluan membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat (1) KUHP). 2. Adanya suatu peraturan perundang-undangan yang pelaksanaannya berupa perbuatan yang bersangkutan (Pasal 50 KUHP). 3. Apabila perbuatan yang bersangkutan itu dilakukan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa yang berwenang (Pasal 51 KUHP). Sedangkan alasan kedua dari alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana adalah bahwa semua unsur tindak pidana, termasuk unsur sifat melanggar hukum tetap ada, tetapi ada hal khusus yang menjadikan tidak dapat mempertanggungjawabkan perilakunya. Alasan ini dinamakan pula hal-hal yang memaafkan pelaku, sedangkan alasan pertama disebut sebagai hal-hal yang menghalalkan perbuatannya.5 Hal-hal memafkan pelaku termuat dalam:6 1. Pasal 44 ayat (1) KUHP yaitu seseorang tidak dapat dihukum karena kurang bertumbuhnya atau ada gangguan penyakit pada daya berpikir seorang pelaku itu. 2. Pasal 48 KUHP menyatakan, tidak dapat dihukum seorang yang melakukan perbuatan dengan adanya dorongan paksaan yang tidak dapat dicegah (overmacht). 3. Pasal 49 ayat (2) KUHP, berkaitan dengan tidak dapat dihukumnya seorang yang melanggar batas membela diri disebabkan oleh suatu perasaan goyang sebagai akibat serangan terhadap dirinya (noodweer atau noodweerexces). 4. Pasal 51 ayat (2) KUHP, yang menyatakan bahwa suatu perintah jabatan yang tidak sah, tidak menghilangkan sifat pidana, kecuali bawahan jujur mengira bahwa si

3

Ibid., hlm. 202.

4

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, cet. 6 (Bandung: Refika Aditama, 2003),

hlm. 81-82. 5

Ibid., hlm. 82.

6

Ibid., hlm. 82-83.

pemberi perintah berwenang untuk itu, dan lagi pekerjaannya berada dalam lingkup pekerjaan bawahan. Pasal 48 KUHP menerangkan mengenai keadaan darurat (noodtoestand) dengan syarat-bahwa si pelaku dapat memilih antara melakukan atau tidak melakukan perbuatan, sedang perbuatan dikategorikan sebagai berikut:7 a. Adanya pertentangan antara kepentingan umum dan kewajiban hukum; b. Adanya pertentangan antara kepentingan umum dan kepentingan umum; c. Adanya pertentangan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Pasal 49 ayat (1) membahas mengenai bela paksa atau noodweer dengan bunyi: “Tidaklah dihukum seorang yang melakukan suatu perbuatan, yang diharuskan (geboden) untuk keperluan mutlak membela badan (lijf), kesusilaan (eerbaarheid), atau barang-barang (goed) dari dirinya sendiri atau orang lain, terhadap suatu serangan (aanranding) yang bersifat melanggar hukum (wederrechtelijk) dan yang dihadapi seketika itu (ogenblikkelijk) atau dikhawatirkan segera akan menimpa onmiddelijk dreigend).” Dari uraian Pasal 49 ayat (1) dapat dilihat unsur pertama harus ada serangan, unsur kedua serangan terjadi mendadak, unsur ketiga serangan tersebut melawan hukum, unsur keempat serangan ditujukan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta benda, dan unsur terakhir yaitu perbuatan harus memnuhi asas subsidaritas dan proporsionalitas. Pasal 50 KUHP berkaitan dengan apa yang dilakukan karena diharuskan atau diperintahkan oleh suatu undang-undang, tidak mungkin untuk diancam hukuman dengan undang-undang yang lain. Dari isi pasal 50 KUHP tegas dijelaskan bahwa harus ada suatu pasal perundang-undangan yang harus dilaksanakan dan perbuatannya harus benar-benar untuk melaksanakan peraturan hukum itu. Tidaklah cukup apabila suatu peraturan hukum perundang-undangan.8 Pasal 51 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa tidak dikenakan hukuman pidana seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah, diberikan oleh seorang atasan yang berwenang untuk memberikan perintah itu. Dilihar

7

Putri, “Hukum Pidana”, hlm. 204.

8

Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, hlm. 93.

dari segi orang yang memerintah harus merupakan orang yang berwenang untuk memerintahkan, dan dari segi yang diperintah, perintah tersebut masih dalam lingkup pekerjaannya.9 Bentuk putusan dari adanya dasar penghapus pidana dalam alasan pembenar berkaitan dengan perbuatan walaupun memenuhi seluruh unsur tetapi dibenarkan dan bentuk putusannya yaitu vrijspark atau bebas dari segala tuntutan hukum, serta tidak dapat diajukan upaya hukum. Sedangkan pada dasar penghapus pidana berkaitan dengan alasan pemaaf, perbuatan yang dilakukan walaupun memenuhi seluruh unsur tetapi dimaafkan dan bentuk dari putusan yaitu ontslag atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak bisa banding tetapi bisa diajukan kasasi.10

II.

KASUS POSISI Bahwa ia Terdakwa Nabi Bin Hadi pada hari Senin tanggal 20 Oktober 2014 sekitar

pukul 17.00 WITA atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2014, bertempat di Dusun Batucokkong Desa Lalliseng Kecamatan Keera Kabupaten Wajo atau setidaktidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Sengkang yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, yaitu merampas nyaswa Ladi Bin Lamaring, perbuatan mana dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut: Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, Terdakwa dan

-

korban terlibat perkelahian, di mana pada saat itu korban Ladi Bin Lamaring membawa sebilah parang, dan pada saat perkelahian tersebut berlangsung, Terdakwa berhasil merebut parang yang dikuasai oleh korban dan setelah berhasil menguasainya, maka Terdakwa menusukkan parang tesebut ke arah tubuh korban dan mengena pada bagian leher korban; Bahwa atas perbuatannya tersebut, mengakibatkan korban mengalami luka

-

sebagaimana dimaksud dalam Visum Et Repertum Puskesmas Salobulo Nomor: VER : 430/908/Pusk.Slb. tanggal 4 November 2014 oleh dr. H. Maskura Syam, M.Kes. yang dalam pemeriksaan ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1. Luka terbuka pada leher kanan atas dengan ukuran 3,5 cm x 2 cm x 4 cm;

9

Putri, “Hukum Pidana”, hlm. 208.

10

Putri, “Hukum Pidana”, hlm. 212.

2. Luka gores ukuran 7 cm x 0,3 cm; -

Bahwa terhadap luka yang dimaksud tersebut, disimpulkan bahwa akibat benturan benda tajam dan mengakibatkan korban meninggal dunia;

-

Bahwa Terdakwa mengetahui bahwa atas perbuatannya menikam korban dengan menggunakan parang yang dikuasainya pada bagian tubuh korban sebagaimana tersebut di atas, adalah perbuatan yang dapat menyebabkan luka yang dapat membahayakan nyawa korban atau setidak-tidaknya Terdakwa mengetahui bahwa perbuatannya sebagaimana diuraikan tersebut di atas terhadap korban Ladi Bin Lammaring adalah perbuatan yang dapat menyebabkan korban meninggal dunia oleh karena bagian tubuh korban yang mengalami luka tersebut adalah bagian tubuh yang dapat berakibat langsung dengan kematian korban yaitu pada bagian leher.

III.

DAKWAAN Dakwaan yang diberikan pada terdakwa Nabi bin Hadi, adalah dakwaan subsidair,

yaitu dengan dakwaan sebagai berikut: Dakwaan Primair yaitu Pasal 338 KUHP berbunyi: “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Dakwaan Subsidair yaitu Pasal 351 (3) KUHP berbunyi: “Penganiayaan jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

IV.

TUNTUTAN Membaca tuntutan pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sengkang, tanggal

02 Maret 2015 sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa Nabi Bin Hadi bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHPidana dalam dakwaan Primair; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Nabi Bin Hadi dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dengan dikurangi selama Terdakwa berada dalam

tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dengan jenis penahanan Rumah Tahanan Negara; 3. Menetapkan barang bukti berupa: a. 1 (satu) lembar baju kaos warna putih bertuliskan CAMARE; b. 1 (satu) buah sarung parang yang ikat dengan tali warna; c. 1 (satu) buah batu kali; d. 1 (satu) buah parang. Membaca Putusan Pengadilan Negeri Sengkang Nomor 21/Pid.B/2015/ PN.Skg. tanggal 13 April 2015 yang amar lengkapnya sebagai berikut: 1. Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa Nabi Bin Hadi tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana; 2. Melepaskan Terdakwa Nabi Bin Hadi oleh karena itu dari segala tuntutan hukum; 3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat; 4. Memerintahkan Terdakwa segera dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan; 5. Menetapkan barang bukti berupa: o 1 (satu) lembar baju kaos warna putih bertuliskan CAMARE; o 1 (satu) buah sarung parang yang ikat dengan tali warna; o 1 (satu) buah batu kali; o 1 (satu) buah parang; o Dirampas untuk dimusnahkan; 6. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

V.

PLEDOI Nota Pembelaan (Pledoi) Terdakwa yang disampaikan oleh Penasihat Hukum Terdakwa, yang pada pokoknya menyatakan bahwa: “Perbuatan Terdakwa yang melakukan penikaman pada leher korban Ladi adalah merupakan perbuatan untuk membela diri dari serangan bacokan Ladi (Korban) yang mengancam jiwa Terdakwa, sehingga sifat melawan hukum perbuatan Terdakwa tersebut haruslah ditiadakan dan perbuatan Terdakwa tersebut menurut Majelis Hakim adalah merupakan pembelaan

terpaksa, oleh karena itu kepada Terdakwa haruslah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana.

VI.

PUTUSAN MENGADILI Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan

Negeri Sengkang tersebut. Membebankan biaya perkara pada tingkat kasasi kepada Negara.

BAB II ANALISIS

Terdakwa Nabi Bin Hadi, dalam kasus ini di dakwa dengan dakwaan subsidair. Dakwaan primair dalam kasus ini adalah Nabi bin Hadi bersalah melakukan pembunuhan terhadap Ladi Bin Lamaring sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 338 KUHP, sedangkan dalam dakwaan subsidair dicantumkan dalam putusan adalah Pasal 351 ayat (3) mengenai penganiayaan yang berakibat dengan adanya hilangnya suatu nyawa. Hal ini dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam kasus posisi yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut. Terdakwa, Nabi Bin Hadi, pada hari Senin, 20 Oktober 2014, di daerah Kabupaten Wejo terlibat dalam perkelahian dengan korban Ladi Bin Lamaring. Pada saat itu, Ladi Bin Lamaring membawa sebuah parang yang digunakan ketika perkelahian berlangsung. Naas parang yang dibawa Ladi Bin Lamaring dapat dikuasai oleh terdakwa, Nabi Bin Hadi dan selanjutnya terdakwa, Nabi Bin Hadi menusukkan parang tersebut ke arah tubuh korban dan melukai bagian leher korban. Dan dari perbuatan sebagaimana yang telah diterangkan, korban mengalami luka sesuai dengan Visum Et Repertum yaitu luka terbuka pada bagian leher kanan atas dengan ukuran 3,5 cm x 2 cm x 4 cm dan luka gores ukuran 7 cm x 0,3 cm, yang disebabkan oleh benda tajam dan berakibat pada hilangnya nyawa korban. Terhadap hal yang dilakukan oleh terdakwa, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan primair sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya yaitu Pasal 338 KUHP, tindak pidana pembunuhan. Dengan tuntutan tercantum pada bagian tuntutan. Putusan Pengadilan Negeri Sengkang menyatakan bahwa pebuatan terdakwa, Nabi Bin Hadi terbukti secara sah dan meyakinkan, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana dan Nabi Bin Hadi bebas dari segala tuntutan hukum. Lalu selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dengan alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengkang tidak menerapkan atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya yakni dengan ada penyimpangan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Jo. Pasal 193 ayat (1) KUHAP dan terkait dengan penafsiran Pasal 49 KUHP.

Untuk menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Nabi Bin Hadi, benar adalah pembunuhan perlu adanya pembuktian pada setiap unsur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi:11 “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Dengan perumusan unsur sebagai berikut: a. Barangsiapa Barangsiapa dalam hal ini adalah subjek hukum yang mengemban hak dan kewajiban dalam hukum, serta dapat melakukan kegiatan dalam lalu lintas hukum. Subjek hukum dalam hal ini adalah natuurlijkpersoon yaitu manusia sebagai subjek hukum dan dalam hal ini dimintai pertanggungjawaban terhadap terdakwa Nabi Bin Hadi, dengan identitas sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pengadilan. Maka unsur ini telah tepenuhi. b. Sengaja Sengaja merupakan sesuatu yang dikehendaki dan diketahui. 12 Bentuk-bentuk dolus adalah (1) sengaja sebagai maksud dan tujuan yaitu apabila pembuat menghendaki perbuatan dan/atau akibat perbuatannya; (2) sengaja sebagai keinsyafan kepastian yaitu pembuat yakin bahwa akibat yang dimaksudkan tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yang dimaksud; (3) sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan yaitu pembuat secara sadar bahwa mungkin akibat yang tidak dikehendaki akan terjadi untuk mencapai akibat yang dimaksudkan. Dari ketiga bentuk kesengajaan yang ada, tindakan terdakwa, Nabi Bin Hadi dalam fakta persidangan diketahui tidak ada suatu niat “sengaja” dalam menyebabkan hilangnya nyawa korban, oleh karena apabila ia sengaja untuk membunuh, maka ia telah menyiapkan hal-hal yang digunakan untuk membunuh. Namun, dalam hal ini ditemukan bahwa yang nyatanya telah mempersiapkan senjata tajam yang potensial menyebabkan luka hingga kematian pada orang lain adalah bukan terdakwa, hal ini berkaitan pula dengan adanya serangan yang dilakukan oleh

11

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht], diterjemahkan oleh Moeljatno,

(Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 338. 12

Putri, “Hukum Pidana”, hlm. 96.

korban

terhadap

terdakwa

terlebih

dahulu,

yang

kemudian

untuk

mempertahankan diri, terdakwa akhirnya menghentikan korban dengan menusuk dibagain leher agar tidak ada lagi serangan, mengenai ini akan dijelaskan lebih lanjut pada penjelasan Pasal 49 KUHP. Maka unsur ini perlu dijelaskan lebih lanjut. c. Merampas nyawa orang lain Merampas nyawa orang lain yang dimaksud dalam Pasal ini adalah terdapat nyawa yang hilang. Pasal ini merupakan delik materiil yang menekankan pada akibat dari perbuatan yang dilakukan. Dalam kasus ini terdapat nyawa yang hilang, yaitu nyawa dari korban Ladi Bin Lamaring. Oleh karena, terdapat suatu unsur dalam Pasal 338 KUHP yang belum terbukti, maka penggunaan pasal tersebut dalam hal terjadinya kasus ini sekiranya belum bisa diterapkan. Maka beralih pada dakwaan subsidair yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yaitu Pasal 351 ayat (3) KUHP yang berbunyi: “Penganiayaan jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Sejatinya, unsur dalam pasal ini juga perlu untuk ditelaah lebih lanjut terkait dengan terbukti dengan ada atau tidaknya kejadian dalam unsur tersebut nyata terjadi. Undang-undang tidak memberikan ketentuan mengenai apa yang dimaksudkan penganiayaan. Menurut Yurisprudensi, penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit, atau luka.13 Dari keterangan tersebut maka maksud dari penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit, atau luka yang berakibat pada adanya kematian. Pasal 351 KUHP yang sejatinya menekankan pada delik formil, dengan adanya ketentuan dalam ayat (3) pula menitikberatkan pada akibat dari tindak pidana. Maka pembuktiannya adalah sengaja sebagaimana yang telah dikemukakan pada pembuktian unsur di Pasal 338 KUHP dimana dalam hal ini sekiranya dianggap tidak terbukti, dan unsur kedua yaitu perasaan tidak enak, rasa sakit, atau luka yang berakibat pada kematian telah terbukti dengan hilangnya nyawa korban, Ladi Bin Lamaring dengan luka-luka yang sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

13

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht], diterjemahkan oleh R. Soesilo,

(Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 351.

Alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi sebagaimana yang telah dikemukakan adalah oleh karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengkang menjatuhkan putusan secara tidak tepat, oleh karena bertentangan dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Jo. Pasal 193 ayat (1) KUHAP dan juga karena terdakwa dilepaskan dengan alasan Pasal 49 KUHP yang Jaksa Penuntut Umum menganggap terdapat salah penafsiran Majelis Hakim terhadap ketentuan pasal tersebut. Berkaitan dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Jo. Pasal 193 ayat (1) KUHAP, Jaksa Penuntut Umum memberikan argumen mengenai hasil dari putusan pengadilan yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh terdakwa terbukti, akan tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana, sehingga terdakwa dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini, jaksa mencantumkan berbagai literatur yang pada intinya menyatakan bahwa jika memang terlah terbukti melakukan tindak pidana, maka pengadilan harus menjatuhi hukuman. Perlu untuk diperhatikan bahwa pengadilan tidak menjatuhi hukuman kepada terdakwa oleh karena adanya Pasal 49 KUHP dengan penjelasan sebagai berikut. Dalam hukum pidana, terdapat hal-hal yang dapat menjadi dasar penghapus, dasar peringan, dan dasar pemberat dilakukannya suatu tindak pidana, dan masing-masing dasar diatur pada ketentuan pasal-pasal dalam KUHP. Berkaitan dengan Pasal 49 KUHP yang menjadi dasar hakim tidak menjatuhkan pidana penjara sebagaimana ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 ayat (3) KUHP adalah apa yang dimaksud sebagai pembelaan terpaksa. Kasus ini diawali dengan perkelahian antara terdakwa dan korban, dimana korban membawa sebuah parang yang digunakan untuk berkelahi akan tetapi berhasil diambil oleh terdakwa yang setelah itu langsung menusukkan parang tersebut ke leher korban yang menyebabkan korban meninggal dunia. Pasal 49 KUHP terdiri dari dua ayat, yaitu:14 (1) “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melwan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.”

14

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht], diterjemahkan oleh R. Soesilo, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 49.

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” Pasal 49 ayat (1) KUHP merupakan apa yang disebut sebagai dasar pembenar. Dasar pembenar berkaitan dengan tindakannya, merupakan dasar pembenar jika tersebut merupakan perintah atau disahkan oleh hukum. Pasal 49 menitikberatkan pada perbuatannya, dimana tindak pidana tetap terjadi akan tetapi sifat melawan hukumnya dihilangkan. Berdasarkan unsur-unsur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, keadaan memaksa memiliki suatu syarat yang wajib untuk dibuktikan, terdiri dari:15 1. Harus ada serangan 2. Serangan pada saat itu atau mendadak 3. Serangan tersebut melawan hukum 4. Ditujukan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta benda 5. Perbuatan tersebut harus memenuhi asas subsidaritas dan proporsionalitas Maka dilakukan penyelarasan antara syarat-syarat tersebut dengan perbuatan terdakwa dengan syarat pertama: 1. Harus ada serangan Dalam putusan, dikemukakan bahwa terjadi perkelahian antara terdakwa dan korban, dimana korban melayangkan serangan dengan menggunakan sebilah parang kepada terdakwa. Maka unsur adanya serangan dalam kasus ini telah terpenuhi. 2. Serangan pada saat itu atau mendadak Dalam putusan tidak dicantumkan, apa yang melatarbelakangi perkelahian antara terdakwa dan korban, namun penting untuk diperhatikan dalam dakwaan dicantumkan jika, korban membawa parang, dan parang berhasil direbut terdakwa, mengindikasikan bahwa pada saat terjadinya perkelahian, dalam hal ini diasumsikan sebagai munculnya suatu senjata tajam yang sebelumnya tidak diperkirakan, yang berarti bahwa untuk menyelamatkan dirinya terdakwa harus

15

Putri, “Hukum Pidana”, hlm. 205.

menghentikan serangan dari korban yang dilakukannya dengan menusukkan parang ke leher korban. 3. Serangan tersebut melawan hukum Serangan dari korban yang membawa parang adalah serangan yang secara tidak langsung, meskipun tidak dapat dipastikan karena korban telah meninggal, adalah parang sebagai maksud untuk melukai terdakwa yang mana merupakan perbuatan melawan hukum. 4. Ditujukan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta benda Sedari awal korban telah membawa parang, mengasumsikan bahwa parang memang jika digunakan dalam perkelahian adalah untuk melukai, karena merupakan sebuah senjata tajam, yang dalam hal ini digunakan untuk berkelahi dengan terdakwa, Nabi Bin Hadi. 5. Perbuatan tersebut harus memenuhi asas subsidaritas dan proporsionalitas Asas subsidaritas adalah pembelaan itu mutlak atau perlu dilakukan. Terdakwa dalam menanggapi serangan yang diajukan korban menggunakan parang, tentunya perlu untuk melakukan pembelaan, karena apabila ia membiarkan saja, nyawa terdakwa menjadi terancam. Asas proporsionalitas adalah pembelaan itu harus seimbang dengan serangan yang datang, dalam hal pembuktian terhadap asas proporsionalitas ini, terdapat suatu ketidakseimbangan atas perbuatan yang dilakukan korban, dengan balasan terdakwa oleh karena untuk menghentikan perbuatan korban yang menyerang terdakwa, pada saat terdakwa berhasil merebut parang, terdakwa dapat melakukan tindakan lain disamping menusuk leher korban dengan parang tersebut. Apabila kita melihat putusan hakim, maka pasal selanjutnya yaitu Pasal 49 ayat (2) KUHP ini menjadi dasar diberlakukannya putusan hakim yang menyatakan perbuatan terbukti, akan tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana. Pasal 49 ayat (2) KUHP menjelaskan mengenai noodweerexces yaitu bela paksa melampaui batas. Pasal 49 ayat (2) KUHP memiliki unsur-unsur:16 1. Adanya serangan

16

Putri, “Hukum Pidana”, hlm. 210.

2. Pembelaan yang dilakukan melampui batas subsidaritas dan proporsionalitas 3. Adanya goncangan jiwa akibat serangan tersebut. Dengan pembuktian unsur adalah sebagai berikut: 1. Adanya serangan Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan serangan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, terdapat serangan dari korban terhadap terdakwa yang dilakukannya dengan sebilah parang. 2. Pembelaan yang dilakukan melampui batas subsidaritas dan proporsionalitas Asas subsidaritas telah terpenuhi oleh karena untuk menyelamatkan dirinya dari serangan korban yang menggunakan parang, terdakwa perlu untuk melakukan pembelaan. Asas proporsionalitas pun telah terlampaui, dengan meninggalnya korban, karena pembelaan diri terdakwa yang melampui batas. 3. Adanya goncangan jiwa akibat serangan tersebut Pelampauan batas oleh undang-undang diperkenankan, asal saja disebabkan karena perasaan tergoncang hebat yang timbul lantaran serangan itu; perasaan tergoncang hebat misalnya jengkel atau marah sekali yang biasa dikatakan “mata gelap”. 17 Perkelahian antara korban dan terdakwa menjadi kunci terpenuhinya unsur ini, diasumsikan bahwa perkelahian disebabkan karena rasa marah yang besar, dipengaruhi lagi dengan terdakwa yang menggunakan parang dalam berkelahi, terdakwa dalam putusan ini, mata gelap, dan menusukkan parang ke leher korban. Unsur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP dirasa lebih tepat untuk dijadikan sebagai dasar penghapus tindak pidana, yaitu sebagai alasan pemaaf. Walaupun perbuatan yang dilakukan terdakwa memenuhi semua unsur dalam Pasal 338 KUHP atau Pasal 351 ayat (3) KUHP, tetap bahwa perbuatannya memiliki latar belakang keadaan memaksa untuk mempertahankan nyawanya, sehingga unsur kesalahan dimaafkan. Dari penjelasan sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengkang telah dengan baik menangani kasus ini, sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal terkait di KUHP. Putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa unsur kesalahan terbukti, akan tetapi perbuatan bukan merupakan tindak pidana, serta putusan

17

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht], diterjemahkan oleh R. Soesilo,

(Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 49.

yang menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum telah dianggap tepat, sesuai dengan materi dasar penghapus pidana.

BAB III PENUTUP

Suatu perbuatan pidana dilakukan, meskipun merupakan suatu tindakan yang melanggar pasal yang sama, dapat dilakukan dengan cara yang berbeda. Hal ini sejalan dengan hal yang melatarbelakangi dilakukannya tindakan itu, apakah memang perbuatan yang sengaja dilakukan dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan atau suatu perbuatan yang memang dilakukan untuk mempertahankan diri sendiri, yang ternyata merupakan suatu tindak pidana. Dasar penghapus menjadi suatu hal yang dapat menyelamatkan seseorang yang bukan merupakan seorang kriminal, tetapi melakukan tindakan kriminal. Seperti halnya terdakwa, Nabi Bin Hadi yang terlibat dalam perkelahian dengan korban, Ladi Bin Lamirang, yang berakibat pada hilangnya nyawa korban karena tusukan parang yang dibawa sendiri olehnya. Pasal-Pasal yang dapat menjadi dasar penghapus, merupakan pasal yang sangat penting, oleh karena penggunaannya dapat menyebabkan bebas atau lepasnya seorang yang melakukan perbuatan pidana dari jerat hukum pidana, maka pembuktian terhadap pasalpasal dasar penghapus yaitu Pasal 44-51 KUHP perlu untuk ditelaah dengan baik oleh Majelis Hakim, sehingga tidak salah menjatuhkan putusan kepada orang yang salah atau orang yang tidak bersalah. Dalam hal terpenuhinya suatu dasar penghapus, maka seseorang dapat dijatuhi putusan bebas dari tuntutan hukum dimana setelah dijatuhi putusan bebas, terhadapnya tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Selain itu dapat pula dijatuhi putusan lepas, jadi walaupun perbuatannya memenuhi semua unsur, tetapi tindak pidana di maafkan, seperti yang dialami terdakwa, Nabi Bin Hadi, terhadap putusan lepas dapat dijatuhi kasasi.

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Cet. 6. Bandung: Refika Aditama, 2003.

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita,1976. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan oleh R. Soesilo. Jakarta: Pradnya Paramita,1976.

III. LAIN-LAIN Putri, Theodora Yuni Shah. “Hukum Pidana.” Materi Powerpoint ini disampaikan dalam Mata Kuliah Asas-Asas Hukum Pidana, Depok, Maret 2018.

Related Documents


More Documents from "Nanda Latifa Putri"