Proposal Tesisku.docx

  • Uploaded by: Cesilia Nesty Pandanara
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proposal Tesisku.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,515
  • Pages: 25
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 3 LATAR BELAKANG.................................................................................................................. 3 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................ 5 TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................................. 5 MANFAAT PENELITIAN .......................................................................................................... 6 LINGKUP PENELITIAN ............................................................................................................ 6 ALUR PIKIR/KERANGKA KONSEP ........................................................................................... 7 BAB II ......................................................................................................................................... 8 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS .................................................... 8

Tabel 1. Data Kemiskinan1..................................................................................................... 24 Tabel 2 APBD ......................................................................................................................... 25

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang selama ini di hadapi oleh berbagai negara dari masa ke masa. Termasuk di Indonesia kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian. Berbagai kebijakan dan upaya pengentasan kemiskinan telah dilakukan, tetapi jumlah penduduk miskin masih tetap besar.

Kenyataan ini mengindikasikan bahwa upaya dan kebijakan

yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah selama ini belum maksimal dalam upaya untuk menanggulangi kemiskinan. Menghadapi permasalahan tentang kemiskinan di Indonesia dewasa ini terdapat perkembangan pemikiran yang menarik yaitu dimana pihak pemerintah dan seluruh bangsa tidak lagi menganggap sebagai hal yang tabu membahas permasalahan dimaksud secara terbuka. Sementara itu, berbagai studi tentang masalah kemiskinan menyimpulkan bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang tidak saja mencakup aspek ekonomi saja akan tetapi juga dimensi sosial, budaya, dimensi struktural atau politik, yang menyebabkan masalah kemiskinan itu menjadi kompleks dan rumit. Realitas kemiskinan kemudian timbul menjadi human problem yang telah mengusik dan menguras tenaga serta pikiran banyak orang.

Sampai saat ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masih menghadapi permasalahan

kemiskinan

yang

kompleks

dan

multidimensional.

Sulitnya

memecahkan persoalan kemiskinan dikarenakan kemiskinan merupakan persoalan kompleks yang terkait bebagai dimensi baik menyangkut dimensi social, dimensi budaya bahkan dimensi struktural. Persoalan kemiskinan lebih di tekankan pada masalah kualitas hidup dan distribusi pendapatan.

[Kemiskinan menjadi satu

rangkaian pemasalahan sosial melengkapi permasalahan sosial lainnya antara lain

pengangguran,

rendahnya

kualitas

sumber

daya

manusia,

dan

ketidakberdayaan, yang ditandai dengan standar hidup yang rendah, perumahan yang kurang layak, kesehatan buruk, bekal pendidikan yang minim atau bahkan tidak ada sama sekali, angka kematian bayi dan angka kematian ibu yang masih tinggi, usia harapan hidup yang rendah, pendapatan perkapita yang masih kecil dan lain-lain. (Todaro 204 : 26 )] Penanggulangan kemiskinan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia. Sehubungan kompleksitasnya permasalahan kemiskinan maka diperlukan penanganan dan komprehensif lintas sektor dan keterpaduan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah serta stakeholders terkait. Kemiskinan merupakan permasalahan yang memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu dan menyeluruh untuk memenuhi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara melalui pembangunan inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat. [Kunarjo (2002:14) mengemukakan bahwa perencanaan adalah suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan untuk pencapaian sasaran tertentu. Salah satu tujuan

umum

perencanaan

pembangunan

daerah

dan

juga

tujuan

pembangunan nasional adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera namun pada kenyataannya masih terdapat masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan.] [BPS mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat konsumsi makanan kurang dari 2100 kalori/kapita/per hari dan kebutuhan minimal non makanan (sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan). Disamping itu secara ekonomi BPS menetapkan penghasilan Rp. 175.324,- per bulan sebagai batas miskin perkotaan dan Rp. 131.256,- di pedesaan] Di Kabupaten Teluk Bintuni, [berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Teluk Bintuni, diketahui bahwa pada tahun 2006, penduduk miskin di Kabupaten Teluk Bintuni adalah sebesar 53,75% menurun menjadi 51,37% di tahun 2007, 50,39% di tahun 2008. Pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi

51,91% dibanding tahun sebelumnya.selanjutnya prosentase penduduk miskin di Kabupaten Teluk Bintuni mengalami penurunan setiap tahunnya dengan rata-rata penurunan sebesar 1,5% hingga pada tahun 2015 angka kemiskinan Kabupaten Teluk Bintuni berada pada angka 34,17 %]. [Jika dilihat besaran APBD Kabupaten Teluk Bintuni setiap tahunnya mengalami peningkatan, sejak tahun 2006 sebesar Rp. 438.477.000.000,- mengalami peningkatan setiap tahunnnya. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2015 yakni sebesar Rp. 2.143.474.000.000,- dan pada tahun 2016 sebesar Rp. 2.034.107.000.000,-]. [Dengan APBD yang cukup besar dan tingginya angka kemiskinan seringkali menjadi polemik di berbagai kalangan yang memandang bahwa seharunya dengan APBD yang cukup besar dapat menurunkan angka kemiskinan secara signifikan.]

RUMUSAN MASALAH Berdasar pada latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Apakah perencanaan pembangunan daerah yang dilaksanakan telah diarahkan pada upaya penurunan angka kemiskinan masyarakat? 2) Apakah program/kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD)

Bidang

Ekonomi

dapat

berkontribusi

terhadap

pertumbuhan ekonomi, penurunan angka pengangguran terbuka, dan penurunan angka kemiskinan?

TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Untuk menjelaskan hubungan antara perencanaan pembangunan daerah terhadap penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni;

2) Untuk

mengidentifikasi

faktor-faktor

yang

menghambat

dan

mempengaruhi upaya penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni; 3) Untuk

mengidentifikasi

faktor-faktor

yang

dapat

meningkatkan

pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Teluk Bintuni; 4) Untuk menggambarkan peran, fungsi, dan kontribusi masing-masing SKPD dalam upaya penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni;

MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada : 1) Bagi Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni, khususnya Aparatur Sipil Negara terlibat dalam proses perenanaan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai informasi/referensi dalam pengambilan keputusan pada proses perencanaan pembangunan daerah; 2) Bagi Peneliti selanjutnya, dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengembangan penelitian selanjutnya khususnya dalam ilmu perencanaan; 3) Bagi Khasanah Ilmu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan khususnya di bidang perencanaan.

LINGKUP PENELITIAN Agar pembahasan lebih terarah maka perlu kiranya dibatasi lingkup penelitian pada [Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah yang terkait dengan Penurunan Angka Kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni]. Dikarenakan keterbatasan waktu penelitian, maka [faktor yang akan diteliti pada penelitian ini adalah Evaluasi pelaksanaan perencanaan dan implementasi RPJMD Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2011-2015].

ALUR PIKIR/KERANGKA KONSEP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pemahaman Tentang Kemiskinan Menurut Spicker dan Gaiha, 1993 (dalam Tim Koordinasi Penyiapan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, 2004) bahwa kemiskinan lebih tepat dipahami bersama – sama dengan masalah sosial lainnya, misalnya kelaparan, penyakit, pengangguran, kelebihan penduduk, perusakan lingkungan, akibat – akibat dari konflik sosial. Pandangan mengenai beragam demensi masalah kemiskinan dan peluang penanggulangannya berakar dari kategorisasi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merujuk kepada tingkat minimum dan kehidupan subsisten agar manusia bisa memenuhi kebutuhan untuk hidup. Badan Pusat Statistik (BPS), mendefinisikan kemiskinan dengan standar garis kemiskinan (poverty line) makanan dan non makanan. Garis kemiskinan makanan yaitu nilai pengeluaran konsumsi kebutuhan dasar makanan setara dengan 2100 kalori per kapita per hari. Garis kemiskinan non makanan adalah besarnya rupiah untuk memenuhi kebutuhan minimum non makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan, pakaian dan barang/jasa lainnya. BPS Jateng menetapkan garis kemiskinan pada tahun 2002 sebesar Rp. 121.461,-/ kapita/bulan di perkotaan dan Rp. 97.310,-/kapita/bulan di pedesaan. Untuk kota Semarang ditetapkan garis kemiskinan pada tahun 2002 sebesar Rp. 111.696,-/ kapita/bulan, tahun 2003 sebesar Rp. 124.653,-/ kapita/bulan, dan tahun 2004 sebesar Rp. 133.571,-/ kapita/bulan. Garis kemiskinan ini memiliki kesamaan dengan garis kemiskinan menurut Bank Dunia, yaitu diukur menurut pendapatan seseorang. Sajogyo (dalam Mudrajad, 1997) menggambarkan tingkat penghasilan dengan mengukur pengeluaran setara beras per kapita per tahun untuk kategori : miskin

perkotaan 480 kg dan pedesaan 320 kg , miskin sekali di perkotaan 360 kg dan pedesaan 240 kg, paling miskin di perkotaan 270 kg dan pedesaan 180 kg. Sedangkan BKKBN, menggunakan satuan rumah tangga untuk mengukur tingkat kemiskinan. Kemiskinan berada pada keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS 1) yang ditandai oleh kesulitan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan non ekonomi. Disamping merujuk kepada individu dan rumah tangga penduduk miskin, ukuran kemiskinan juga didekati melalui pengamatan daerah miskin. Terdapat hubungan yang kuat antara wilayah miskin dengan penduduk miskin, sehingga dengan mengetahui wilayah miskin dapat diharapkan ditemui mayoritas penduduk miskin. Kemiskinan perkotaan adalah suatu keadaan kekurangan yang dialami oleh sebagian orang di wilayah kota, baik di bidang ekonomi seperti kurangnya pendapatan, rendahnya kwalitas sumber daya manusia, kurangnya kepemilikan aset produktif, tidak memiliki akses ke sumberdaya modal seperti kredit perbankan, di bidang sosial yang diindikasikan dengan kurangnya akses terhadap fasilitas dan kedudukan dalam kehidupan bermasyarakat, maupun dibidang lingkungan yang diindikasikan dengan munculnya permukiman kumuh dan liar sehingga tidak sehat (Buku Pedoman KPK, 2003).

2.1.2 Faktor – Faktor Penyebab Kemiskinan Sharp (dalam Mudrajad, 1997) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas, seterusnya mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima dan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya, logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse (dalam Hutagalung, 1964). Bagaimana dengan kasus di Indonesia ? Menurut KPK ada satu sisi dari kemiskinan yang terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia sendiri. Peneliti akan menjelaskan fenomena ini dengan Hipotesa Kuznets, karena kita melihat adanya pola yang sama antara Hipotesis Kuznets dan kasus kemiskinan di Indonesia. Kuznets yang melakukan analisa pola pertumbuhan historis di negara maju mengemukakan bahwa di tahap – tahap awal pertumbuhan, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk. Observasi ini kemudian dikenal sebagai konsep Kurva Kuznets “U – terbalik”. Konsep tersebut memperoleh namanya dari bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antar waktu) atas distribusi pendapatan (yang diukur berdasarkan Koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita (Todaro, 2000). Koefisien Gini Dari grafik tersebut terlihat bahwa kurva Kuznets mempunyai sumbu tegak berupa Koefisien Gini yang merupakan ukuran ketidak merataan atau ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) dan satu (ketimpangan sempurna), dan sumbu mendatarnya adalah Gross National Product (GNP) yang mncerminkan tingkat pertumbuhan suatu negara. Sehingga dapat dilihat apabila suatu negara sedang dalam masa awal pertumbuhan dan kemudian mengalami kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi, maka ketimpangan pendapatan yang diukur dengan Koefisien Gini akan meningkat. Akan tetapi kemudian pada tahap – tahap berikutnya ketimpangan akan menurun

menyesuaikan dengan tingkat pertumbuhan yang semakin tinggi. Inilah yang disebut dengan Hipotesa Kuznets. Krisis di Indonesia telah menghancurkan semua fondamental ekonomi dan politik, termasuk pula prestasi – prestasi yang telah diraih dan membawa Indonesia pada titik awal pembangunan bangsa. Krisis ini menyebabkan pertumbuhan Indonesia menjadi 13,6 persen pada tahun 1998 dari 8 persen pada tahun 1996. Sementara neraca keuangan negara yang defisit karena jatuhnya nilai tukar dan jatuh temponya sejumlah besar hutang, baik dalam ataupun luar negeri Indonesia. Selain itu kondisi soial politik di Indonesia yang menjadi tidak stabilmenyebabkan pemulihan ekonomi berjalan lambat dan meleset dari target. Sehingga kemudian dalam berbagai transisi pemerintah,

program

pemerintah

diarahkan

pada

bagaimana

memulihkan

perekonomian Indonesia untuk menggnjot tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berbagai program dan kebijakan yang dilaksanakan pemerintah mulai menampakkan hasilnya pada tahun – tahun selanjutnya, tingkat pertumbuhan mulai merangkak naik, akan tetapi peningkatan – peningkatan di era ini ternyata mempunyai side effect pula seperti yang terjadi dalam Hipotesa Kuznets, yaitu terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan. Yang tercermin dari semakin meningkatnya jumlah penduduk golongan miskin dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Dan yang menyebabkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di Indonesia di era pasca krisis ini berubah adalah kondisi dan karakteristik pembangunan di Indonesia itu sendiri. Kondisi dan karakteristik yang mendorong terjadinya side effect pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Novianto Wibowo, 2000) adalah : 1. Kebijakan pemerintah yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi; 2. Sistem pajak yang belum baik; 3. Terbatasnya Keuangan Negara; 4. Belum adanya sistem subsidi yang efektif dan efisien; 5. Pembangunan yang dilaksanakan belum berdemensi gender. Menurut Lembaga penelitian SMERU, 2001, penyebab dasar kemiskinan antara lain :



kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal;



terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;



kebijakan pembangunan yan bias perkotaan dan bias sektor;



adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung;



adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (konomi tradisional versus ekonomi modern);



rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat;



budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungan;



tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance);



pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.

Kenyataan kasat mata yang juga didukung oleh suara mereka yang miskin menunjukkan bahwa kemiskinan disebabkan (SMERU, 2001) : 1.

Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar termasuk: -

modal sumberdaya manusia, misalnya pendidikan formal, keterampilan, dan kesehatan yang memadai;

-

modal produksi, misalnya lahan, dan akses terhadap kredit;

-

modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik;

-

secara fisik, misalnya akses terhadap prasarana dasar seperti jalan, air bersih, listrik

2.

termasuk hidup di daerah yang terpencil.

Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan – goncangan karena: -

krisis ekonomi;

-

kegagalan panen karena hama, banjir, atau kekeringan;

-

kehilangan pekerjaan (PHK);

-

konflik sosial dan politik;

-

korban kekerasan sosial dan rumah tangga;

-

bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global);

-

musibah (jatuh sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit);

3.

Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena : -

tidak ada kepastian hukum;

-

tidak ada perlindungan dari kejahatan;

-

kesewenang – wenangan aparat;

-

ancaman dan intimidasi;

-

kebijakan

publik

yang tidak

peka

dan

tidak

mendukung upaya

penanggulangan kemiskinan; -

rendahnya posisi tawar masyarakat miskin.

2.1.3. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Strategi penanggulangan kemiskinan (SPK) sangatlah penting bagi daerah, karena akan menjadi acuan bagi semua pelaku baik pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan di daerahnya. SPK Daerah adalah dokumen resmi yang berisi kesepakatan – kesepakatan antar stakeholders daerah (pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat) untuk bersama – sama mengatasi masalah kemiskinan sesuai kondisi masing - masing daerah. Dokumen strategi ini berorientasi pada proses (bukan sekedar hasil), menyeluruh (komprehensif) dan berdemensi jangka menengah dan jangka panjang. Dua Strategi Utama Penanggulangan Kemiskinan : 1.

Meningkatkan pendapatan melalui peningkatan produktivitas, dimana masyarakat miskin memiliki kemampuan pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial budaya maupun politik;

2.

Mengurangi pengeluaran melalui pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses ke pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi.

Strategi Utama Penanggulangan Kemiskinan dijabarkan kedalam 4 pilar langkah kebijakan yang menjadi acuan bagi stakeholders dalam proses penyusunan poverty reduction strategy papers (PRSP) adalah sebagai berikut : 1.

Perluasan kesempatan, yakni pemerintah bersama sektor swasta dan masyarakat menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin.

2.

Pemberdayaan masyarakat, yakni pemerintah, sektor swasta dan masyarakat memberdayakan masyarakat miskin agar dapat memperoleh kembali hak – hak ekonomi, sosial dan politiknya, mengontrol keputusan yang menyangkut kepentingannya, menyalurkan aspirasi, dan mampu secara mandiri mengatasi permasalahan – permasalahan yang dihadapi;

3.

Peningkatan kemampuan dan kualitas sumber daya manusia, yakni pemerintah, sektor swasta dan masyarakat meningkatkan kapasitas atau kemampuan dasar masyarakat miskin agar mampu bekerja berusaha secara lebih produktif, dan memperjuangkan kepentingannya;

4.

Perlindungan sosial, yakni pemerintah melalui kebijakan publik mengajak sektor swasta dan masyarakat memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin, utamanya kelompok masyarakat yang paling miskin (fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, cacat) dan kelompok masyarakat miskin yang disebabkan oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial.

2.2 Perencanaan Pembangunan Definisi perencanaan pembangunan dapat dilihat dari beberapa aspek. Dari aspek aktivitas Conyers (1984: 5) menyatakan bahwa perencanaan melibatkan hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan atau pilihan mengenai bagaimana

memanfaatkan sumber daya yang ada semaksimal mungkin guna mencapai tujuantujuan tertentu atau kenyataan-kenyataan yang ada dimasa datang. Dari aspek substansi, perencanaan adalah penetapan tujuan dan penetapan alternatif tindakan, seperti pernyataan dari Widjojo Nitisastro (1963) yang selengkapnya sebagai berikut : “ Perencanaan ini pada asasnya berkisar kepada dua hal, yang pertama, ialah penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan konkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan dan yang kedua ialah pilihan diantara caracara alternatif serta rasional guna mencapai tujuan tujuan tersebut “. (dalam Tjokroamidojo, 1996: 14) Hal yang sama dinyatakan oleh Mayer (1985 : 4) bahwa perumusan tujuan dan perancangan alternatif tindakan (program/kegiatan) menjadi hal yang paling dominan dalam perencanaan. Tujuan dari perencanaan pembangunan daerah seperti disampaikan oleh Abe (2001) adalah dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Munir (2002: 41) berdasarkan jangka waktunya, perencanaan dapat dibagi menjadi : a.

perencanaan jangka panjang, biasanya mempunyai rentang waktu antara 10 sampai 25 tahun. Perencanaan jangka panjang adalah cetak biru pembangunan yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang.

b.

perencanaan jangka menengah, biasanya mempunyai rentang waktu antara 4 sampai 6 tahun. Dalam perencanaan jangka menengah walaupun masih umum, tetapi sasaran-sasaran dalam kelompok besar (sasaran sektoral) sudah dapat diproyeksikan dengan jelas.

c.

perencanaan jangka pendek, mempunyai rentang waktu 1 tahun, biasanya disebut juga rencana operasional tahunan. Jika dibandingkan dengan rencana jangka panjang dan jangka menengah, rencana jangka pendek biasanya lebih akurat.

Dari beberapa definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan tentang perencanaan pembangunan daerah tahunan dapat diartikan sebagai proses penyusunan rencana

yang mempunyai rentang waktu satu tahun yang merupakan rencana operasional dari rencana jangka panjang dan menengah yang berisi langkah-langkah penetapan tujuan serta pemilihan kebijakan/program/kegiatan untuk menjawab kebutuhan masyarakat setempat.

2.2.1 Alur Perencanaan Pembangunan Daerah

Menurut Mayer (1985: 104), untuk model perencanaan yang rasional terdiri dari 9 (sembilan) langkah yang tersaji dalam gambar berikut ini : Gambar 2.1 Menurut pendapat penulis, untuk langkah ketujuh sampai dengan kesembilan bukan merupakan bagian dari perencanaan, tetapi merupakan bagian dari proses pelaksanaan . Penjelasan langkah pertama sampai dengan keenam adalah : a.

Determination of goals Tujuan merupakan ungkapan dari suatu nilai yang dikaitkan dengan suatu kondisi ideal masa depan yang ingin dicapai. Sumber tujuan biasanya dari Konstitusi atau Undang-undang yang telah ditetapkan sebelumnya.

b.

Assessment of needs Kebutuhan adalah permintaan untuk menuju keadaan yang lebih baik. Penilaian kebutuhan adalah suatu penentuan ukuran kondisi yang terjadi di masyarakat, dimana diharapkan para pembuat keputusan dapat memperbaiki atau memenuhinya.

c.

Specification of objectives Dalam langkah ini adalah menetapkan sasaran atau hasil yang akan dicapai/dapat diukur yang merupakan suatu definisi operasional dari tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

d.

Design of alternative actions Langkah ini untuk mengidentifikasi atau merancang beberapa alternative tindakan yang ingin diambil oleh para pengambil keputusan untuk dapat mencapai suatu sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

e.

Estimation of consequences of alternative actions Langkah ini berisi analisis atas alternatif tindakan yang telah diidentifikasi atau dirancang di atas untuk dapat diketahui kekuatan atau kelemahan dari masingmasing alternatif tindakan.

f.

Selection of cource of action Dalam langkah ini adalah pemilihan tindakan untuk mencapai sasaran yang dilakukan oleh para pengambil keputusan berdasarkan pertimbangan kekuatan dan kelemahan dari masing-masing alternatif tindakan. Mayer (1985: 16) menambahkan bahwa perencanaan erat kaitannya dengan

pembuatan kebijakan (policy making). Bahkan keduanya sering dapat dipertukarkan. Menurut Mayer perbedaan tersebut lebih disebabkan karena perkembangan historis dari literatur dan bukan dalam arti yang melekat pada istilah. James E Anderson (1978: 3) mengatakan bahwa kebijakan adalah “A purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern. Islamy (2003: 77) membagi perumusan kebijakan dalam beberapa tahap (a) perumusan masalah, (b) penyusunan agenda (agenda setting), (c) perumusan usulan ,(d) pengesahan kebijakan, (e) pelaksanaan kebijakan, dan (f) penilaian kebijakan. Menurut pendapat penulis, langkah kelima dan keenam bukan termasuk dalam proses perumusan kebijakan tetapi termasuk dalam siklus kebijakan. a. Perumusan Masalah Menurut Dimock (dalam Sunarko, 2000: 42) menyatakan bahwa : “Public policy is the reconciliation and crystallization of views and wants of many people and groups in the body social”. Masalah tidak dapat terumuskan dengan sendirinya. Para pembuat kebijakan harus mencari dan menentukan identitas masalah yang berupa pendapat-pendapat atau keinginan anggota masyarakat , sehingga kemudian dapat merumuskan masalah kebijakan tersebut dengan benar. Tidak semua permasalahan akan dipilih untuk diselesaikan. Untuk dapat memilih masalah mana yang akan diselesaikan diperlukan langkah-langkah perumusan masalah (Islamy, 2003: 80-81) adalah :

1) Mengidentifikasikan

masalah.

Masalah

merupakan

kebutuhankebutuhan

manusia yang harus diatasi/dipecahkan. 2) Mengidentifikasikan masalah umum. Masalah Umum atau problema publik adalah kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan manusia yang tidak dapat dipenuhi atau diatasi secara pribadi serta mempunyai akibat yang luas kepada masyarakat. 3)

Mengidentifikasikan Isu. Isu adalah masalah yang dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap masalah-masalah itu. Menurut Robert Eyestone (dalam Sunarko, 2000: 78) menyatakan bahwa “An issue arises, when a public with a problem action, and there is public disagreement over the solution to the problem” Untuk dapat merumuskan masalah tersebut dibutuhkan kemampuankemampuan para aktor yang meliputi (Islamy, 2003, p 81) : a)

kesadaran dan kepekaan masyarakat untuk melihat problemnya sendiri

b) kesadaran, kepekaan dan kemampuan pembuat keputusan melihat problem yang

dihadapi

masyarakat

sebagai

sesuatu

yang

menjadi

tanggungjawabnya untuk diatasi. b. Penyusunan Agenda (Agenda Setting) Cobb and Elder (Lester, 2000, p. 67) mendefinisikan agenda setting sebagai : “a set of political controversies that will be viewed as falling within the range of legitimate concerns meriting yhe attention of the polity; a set of items scheduled for active and serious attention by decision making body” Isu dapat masuk ke dalam pengambil keputusan melalui dua agenda (Lester, 2000: 68) yaitu : 1)

Systemic Agenda, mencakup seluruh isu yang sedang dibicarakan secara luas, yang diharapkan dapat diselesaikan oleh pemerintah.

2)

Institutional Agenda, bahwa isu tersebut sudah menjadi diterima oleh pengambil keputusan dan sedang dirumuskan cara pemecahannya. Menurut Howlett (1995: 113) bahwa pengelolaan isu meliputi : a)

Outside initiation model.

Isu berasal dari luar pemerintah, yang kemudian dikembangkan ke dalam systemic agenda dan akhirnya masuk dalam institutional agenda. Dalam tipe ini peran kunci dipegang oleh kelompok sosial. b)

Mobilization model Dalam model ini inisiatif berasal dari pemerintah, namun pemerintah meminta dukungan dari masyarakat. Isu masuk dulu ke institutional agenda, baru kemudian ke systemic agenda.

c)

Inside initiation model Inisiatif berasal dari pemerintah, dan langsung dimasukkan dalam institutional agenda.

c. Perumusan Usulan Kebijakan (Policy Proposals) Perumusan

usulan

kebijakan

adalah

kegiatan

menyusun

dan

mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Langkah-langkah dalam kegiatan ini berupa (1) mengidentifikasikan alternatif, (2) mendefinisikan dan merumuskan alternatif, (3) menilai alternatif, (4) memilih alternatif yang memuaskan (Islamy, 2003: 92-94). Langkah-langkah yang disampaikan Islamy diatas adalah model Rasional Komprehensif. Model lainnya adalah inkremental yang ditempuh apabila ada keterbatasan waktu, biaya dan informasi yang dimiliki. Model ini bersifat upaya untuk memodifikasi terhadap program-program yang sudah ada. (Wahab, 2004: 23; Wibawa, 1994: 11). d. Pengesahan Kebijakan (Policy Legitimation) Usulan kebijakan akan menjadi kebijakan (policy decision) yang sah bila sudah diadopsi atau diberi legitimasi oleh seseorang atau badan yang berwenang yang biasanya dilakukan oleh pihak legislatif. Menurut Tjokroamidjojo (1995: 66), rencana pembangunan supaya mendapatkan kekuatan dalam pelaksanannya perlu mendapat status formal atau dasar hukum tertentu. Tiga pola tersebut adalah :

1) Pola pertama, perencanaan pembangunan dilakukan pembahasan serta harus disyahkan melalui suatu keputusan lembaga perwakilan rakyat, biarpun penyusunannya tentu saja dilakukan oleh badan-badan perencanaan yang bersifat teknis. 2) Pola kedua, perencanaan pembangunan lebih merupakan suatu kebijakan pemerintah saja. 3) Pola ketiga, garis-garis besar kebijakan dasar suatu rencana pembangunan disetujui dan ditetapkan oleh lembaga perwakilan, sedangkan kebijakan dan program-program pembangunan selanjutnya menjadi keputusan pemerintah.

Menurut Munir (2002: 35-39) dengan memperhatikan pedoman-pedoman perencanaan pembangunan yang dikeluarkan oleh Bappenas, ada lima tahapan yaitu (a) penyusunan kebijakan (b) penyusunan program (c) penyusunan pembiayaan (d) pemantauan dan evaluasi kinerja (e) penyempurnaan program. Untuk langkah (d) dan (e) bukan merupakan tahapan perencanaan. Selengkapnya proses penyusunan perencanaan pembangunan yaitu : a)

Penyusunan Kebijakan Penyusunan kebijakan meliputi tahapan pengkajian kebijakan dan perumusan kebijakan yang terdiri dari unsur-unsur : (1) Tinjauan keadaan, (2) Perkiraan keadaan masa yang akan dilalui rencana, (3) Penetapan tujuan rencana (plan objectives) dan pemilihan cara-cara pencapaian tujuan rencana, (3) Identifikasi kebijakan dan atau kegiatan usaha yang perlu dilakukan, (4) Persetujuan rencana.

b) Penyusunan Program Dalam

tahap

ini

dilakukan

perumusan

yang

lebih

terperinci

untuk

mengimplementasikan tujuan dan kebijakan yang telah ditetapkan dalam penetapan kebijakan. Rencana pembangunan diklasifikasikan ke dalam berbagai program dengan menetapkan : tujuan program, sasaran program, dan kegiatankegiatan pokok yang dilaksanakan. Perumusan program dan kegiatan disebut pemrograman yaitu suatu rencana tahunan yang berisi langkah-langkah strategik (kegiatan) yang dipilih untuk mewujudkan tujuan strategik yang tergambar dalam

sasaran beserta taksiran sumberdaya (SDM, biaya, peralatan dsb) yang diperlukan untuk itu. Karena program berisi kegiatan sehingga program dapat diartikan sekumpulan kegiatan yang direncanakan untuk merealisasikan tercapainya sasaran yang telah ditetapkan. c)

Penyusunan Pembiayaan/Penyusunan Anggaran Dalam proses penyusunan pembiayaan, direncanakan sumber pendanaan untuk melaksanakan program pembangunan yang dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi, desentralisasi atau tugas pembantuan. Asas efisiensi dan efektivitas

menjadi

pertimbangan

utama

dalam

penyusunan

prioritas

pembiayaan, sehingga perlu didukung dengan standar-standar harga satuan pokok untuk komponen-komponen pembiayaan. Penyusunan pembiayaan tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut Abdullah (1995: 51) anggaran adalah proses penjabaran rencana ke dalam angka kuantitatif (uang) yang disusun dalam secara sistematis dalam perkiraan pendapatan, belanja (dan pembiayaan), sedangkan Govermental Accounting Standards Board (GASB) dalam Bastian (2001: 79) mendefinisikan anggaran sebagai rencana operasi keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya dalam periode waktu tertentu. Anggaran merupakan hasil akhir proses penyusunan rencana kerja yang akan berfungsi sebagai dasar melaksanakan program/kegiatan serta sebagai alat pengendalian. Tahap-tahap penyusunan anggaran meliputi (Kepmendagri 29/2002) : (1) Penyusunan anggaran satuan kerja berdasarkan usulan program/kegiatan (2) Penyusunan rancangan APBD (3) Pengajuan rancangan APBD oleh kepala daerah kepada DPRD (4) Penetapan APBD. Namun sebelum terjadi proses pengangaran berbetuk menjadi kegiatan yang siap dilaksanakan dari penyusunan anggaran satuan kerja sampai dengan Penetapan anggaran, terdapat proses yang tidak dapat dipisahkan yaitu adanya musyawarah

perencanaan pembangunan dari tingkat Kelurahan, diteruskan ke Tingkat Kecamatan dan akhirnya di Tingkat Kota. Dari beberapa bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa alur perencanaan pembangunan daerah terdiri dari tahap-tahap : a.

Penyusunan Agenda Setting GTZ (dalam Local Developmen Planning : 2000) menyebutkannya sebagai local policy statement yang merupakan pengejawantahan dari kewenangan politik yang berfungsi memberikan arah tindakan yang bertujuan, yang dilaksanakan oleh pelaku atau kelompok pelaku di dalam mengatasi suatu masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan . Langkah-langkah penetapan kebijakan yaitu (1) tinjauan keadaan dan perumusan masalah (2) penetapan tujuan , (3) penetapan arah kebijakan yang berisi cara-cara/strategi yang bersifat indikatif.

b.

Penyusunan policy formulation GTZ (dalam Local Developmen Planning : 2000) menyebutkannya sebagai local development program yang merupakan pengejawantahan dari kewenangan administratif sebagai pelaksanaan dari kebijakan (agenda setting) yang telah ditetapkan. Langkah-langkah (1) penentuan tujuan program dengan mengacu kepada local policy statement. (2) Penilaian atas kebutuhan (3) Penentuan sasaran program (4) penentuan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasaran. Penyusunan program tetap berpedoman kepada asas prioritas.

c.

Penyusunan Budgeting Anggaran adalah proses penjabaran rencana kerja ke dalam angka kuantitatif yang berfungsi sebagai dasar melaksanakan program/kegiatan serta sebagai alat pengendalian.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian Metode (pendekatan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan fenomena atau kenyataan sosial. Menurut Faisal (2005:5) penelitian deskriptif dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendiskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Sebagaimana telah diuraikan dimuka bahwa dalam proses perencanaan pembangunan tahunan daerah melibatkan berbagai stake holders, dari sinilah akan bisa diketahui seberapa jauh partisipasi dan bagaimana kualitasnya dari rencana yang dihasilkan. B. Ruang Lingkup C. Lokasi Penelitian D. Aspek-Aspek Yang Diteliti E. Sumber Data dan Pemilihan Informan F. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel G. Teknik Pengumpulan Data H. Teknik Analisis Data I. Sistematika Penulisan Laporan

Tabel 1. Data Kemiskinan1

Tabel 2 APBD

Related Documents

Proposal
June 2020 38
Proposal
October 2019 60
Proposal
June 2020 41
Proposal
July 2020 34
Proposal
December 2019 58
Proposal
November 2019 62

More Documents from ""