PROPOSAL PENELITIAN PENGARUH PAD, DAU, DAK, DAN DANA OTSUS TERHADAP KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN MELALUI KINERJA KEUANGAN DI KABUPATEN TELUK BINTUNI
BUDI RAUF P16020375
PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) AMKOP MAKASSAR 2018
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Keberadaan penduduk miskin dalam suatu wilayah tidak akan membawa kemakmuran bagi wilayah tersebut sehingga wajib diberantas. Gagasan ini tersirat dalam ungkapan Smith (1776) dalam Todaro (2004) yang menyatakan bahwa “Tidak ada masyarakat yang makmur dan bahagia, jika
sebagian
besar
penduduknya
berada
dalam
kemiskinan
dan
kesengsaraan”. Dalam memahami masalah kemiskinan di Indonesia, hal yang perlu diperhatikan adalah lokalitas yang ada di masing-masing daerah, yaitu kemiskinan pada tingkat lokal yang ditentukan oleh komunitas dan pemerintah setempat. Sampai saat ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masih menghadapi permasalahan kemiskinan yang kompleks dan multidimensional, sulitnya memecahkan persoalan kemiskinan dikarenakan kemiskinan terkait berbagai dimensi baik menyangkut dimensi sosial, dimensi budaya bahkan dimensi struktural. Persoalan kemiskinan lebih ditekankan pada masalah kualitas hidup dan distribusi pendapatan.
1
2
Kemiskinan menjadi satu rangkaian pemasalahan sosial melengkapi permasalahan sosial lainnya antara lain pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan ketidakberdayaan, yang ditandai dengan standar hidup yang rendah, perumahan yang kurang layak, kesehatan buruk, bekal pendidikan yang minim atau bahkan tidak ada sama sekali, angka kematian bayi dan angka kematian ibu yang masih tinggi, usia harapan hidup yang rendah, pendapatan perkapita yang masih kecil dan lain-lain. (Todaro, 2004) Sebagai kabupaten yang baru berkembang, Teluk Bintuni berupaya untuk menurunkan angka kemiskinan penduduk melalui berbagai program dan kegiatan yang diakomodir dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Angka kemiskinan penduduk Kabupaten Teluk Bintuni pada tahun 2006, penduduk miskin di Kabupaten Teluk Bintuni adalah sebesar 53,75% menurun menjadi 51,37% di tahun 2007, 50,39% di tahun 2008. Pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 51,91% dibanding tahun sebelumnya.selanjutnya prosentase penduduk miskin di Kabupaten Teluk Bintuni mengalami penurunan setiap tahunnya dengan rata-rata penurunan sebesar 1,5% hingga pada tahun 2015 angka kemiskinan Kabupaten Teluk Bintuni berada pada angka 34,17 %. Seperti halnya permasalahan kemiskinan, permasalahan lain yang menjadi
fokus
perhatian
pemerintah
daerah
adalah
permasalahan
pengangguran terbuka yang masih tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik
3
Kabupaten Teluk Bintuni, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada tahun 2010 berada pada angka 7% dan pada tahun 2016 berada pada angka 6,87%. Instrumen otonomi daerah yang menonjol adalah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi fiskal memberikan lebih banyak sumber daya keuangan pada kabupaten/kota. Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam
kebijakan
desentralisasi
fiskal
adalah
untuk
mewujudkan
kesejahteraan rakyat (Sidik, 2005). Menurut (Mudrajad 2004) ada tiga masalah pokok yang harus diperhatikan dalam mengukur pembangunan suatu negara atau daerah, yaitu 1) Apa yang terjadi pada tingkat kemiskinan, 2) Apa yang terjadi terhadap pengangguran, dan 3) Apa yang terjadi terhadap ketimpangan dalam berbagai bidang. Ketiga masalah pokok tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan antara satu dan lainnya. Tingginya tingkat kemiskinan dikarenakan banyaknya pengangguran yang kemudian berdampak pada ketimpangan dalam berbagai bidang. Dengan kata lain, bila salah satu dari tiga hal tersebut mengalami gangguan atau goncangan, maka dua hal yang lainnya juga mengalami dampaknya. Selain
itu,
timbulnya
kemiskinan
juga
dikarenakan
oleh
rendahnya
kemampuan masyarakat mengakses lapangan kerja dan sedikitnya peluang masyarakat untuk mendapatkan kesempatan kerja. Untuk mengatasi
4
keadaan tersebut, pemerintah dituntut untuk memikirkan berbagai tindakan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, mengatasi masalah pertumbuhan ekonomi, kemiskinan serta pengangguran. Dalam hal ini, pendapatan dan belanja daerah dapat digunakan sebagai salah satu instrumen
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi,
mengurangi
pengangguran, dan mengatasi kemiskinan. Kehadiran Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dimana hal mendasar yang menjadi isi undang-undang ini
antara
lain
pengaturan
kewenangan
antara
Pemerintah
dengan
Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dilakukan dengan kekhususan,
memiliki
konsekuensi
terhadap
hadirnya
tambahan
anggaran/belanja yang kemudian dikenal dengan Dana Otonomi Khusus (Dana OTSUS) yang di kelola oleh kedua provinsi tersebut. Sedangkan belanja daerah mencakup belanja pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah setiap tahun anggaran. Perbedaan DAU, DAK, PAD dan Dana Otonomi Khusus yang berbedabeda antara daerah satu dengan daerah yang lainnya akan berdampak pada pertumbuhan
ekonomi yang berbeda pula, sehingga mengakibatkan
penurunan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang tidak sama antara daerah satu dengan daerah lainnya.
5
Pendapatan
daerah
Kabupaten
Teluk
Bintuni
setiap
tahunnya
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Teluk Bintuni diketahui bahwa besaran APBD Kabupaten Teluk Bintuni pada tahun 2006 sebesar Rp.
438.477.000.000,-
mengalami
peningkatan
setiap
tahun-tahun
berikutnya. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2015 yakni sebesar Rp. 2.143.474.000.000,- dan pada tahun 2016 sebesar Rp. 2.034.107.000.000. Dengan APBD sebesar itu, diharapkan pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dapat melakukan percepatan pembangunan dengan mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Masalah kemiskinan yang bersifat lokal spesifik dapat ditangani dengan cepat dan tuntas oleh pemerintah daerah. Mengacu pada teori dan data terkait, dipandang relevan untuk dilakukan penelitian guna mengkaji dan menguji pengaruh Pendapatan Daerah khususnya DAU, DAK, PAD dan Dana Otonomi Khusus terhadap kemiskinan melalui kinerja keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan menggunakan pendekatan analisis jalur.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah masih tingginya tingkat kemiskinan dan tingginya angka pengangguran di Kabupaten Teluk Bintuni, sedangkan besaran Anggaran Pendapatan
dan
Belanja
Daerah
(APBD)
Kabupaten
Teluk
Bintuni
6
memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya, maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh pendapatan daerah khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Otonomi Khusus (OTSUS) terhadap kemiskinan melalui kinerja keuangan di Kabupaten Teluk Bintuni? 2. Bagaimana pengaruh pendapatan daerah khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus (OTSUS) terhadap pengangguran melalui kinerja keuangan di Kabupaten Teluk Bintuni?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis dan
menguji pengaruh pendapatan daerah khususnya
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus (OTSUS) terhadap kemiskinan melalui kinerja keuangan di Kabupaten Teluk Bintuni. 2. Menganalisis dan menguji pengaruh pendapatan daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus (OTSUS) terhadap pengangguran melalui kinerja keuangan di Kabupaten Teluk Bintuni.
7
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna dalam memberikan bukti empiris (statistik) tentang pengaruh belanja-belanja daerah terhadapat pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut : 1. Pengembangan
ilmu
pengetahuan
melalui
metode
induktif,
memberikan hasil studi empirik yang menunjukan korelasi antar variabel-variabel yang diteliti. 2. Sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan belanja yang tepat sesuai dengan tujuan pembangunan daerah bagi Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni. 3. Studi lebih lanjut terkait pengaruh pendapatan dan belanja terhadap kemiskinan dan pengangguran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Kemiskinan Istilah kemiskinan selalu melekat dan begitu popular dalam masyarakat pada negara-negara yang sedang berkembang, pengertian kemiskinan dewasa ini telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak hanya dipandang dari dimensi ekonomi saja, melainkan semakin meluas hingga ke dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan bahkan politik Makna kemiskinan menurut Suparlan (2004:315) kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Menurut Ritonga (2003) memberikan definisi bahwa kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal atau yang layak
8
9
bagi kehidupannya. Kebutuhan dasar minimal yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan kebutuhan pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan sosial yang diperlukan oleh penduduk atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
Chambers (2006), berpendapat bahwa pengertian kemiskinan sangat tergantung pada siapa yang bertanya, bagaimana hal itu difahami serta siapa yang meresponnya. Perspektif ini mengelompokkan makna kemiskinan menjadi beberapa kelompok. Dari salah satu kelompok tersebut mengartikan kemiskinan dengan konsep yang luas, mencakup multidimensi kekurangan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kemiskinan menggambarkan dua belas dimensi, yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan berhubungan. Kedua belas dimensi tersebut, terdiri dari: (1) dimensi pendidikan/kemampuan, (2) dimensi institusi dan akses, (3) dimensi waktu, (4) dimensi musim, (5) dimensi
tempat
tinggal/lokasi,
(6)
dimensi
keamanan,
(7)
dimensi
ketidakmampuan fisik, (8) dimensi material, (9) dimensi hubungan sosial, (10) dimensi hukum, (11) dimensi kekuasaan politik, dan (12) dimensi informasi. Berbagai
penelitian
mereduksi
dimensi
tersebut,
sehingga
konsep
kemiskinan diartikan lebih sempit sebagai individu yang berada dalam kondisi kurang baik, rentan, terpinggirkan, tidak punya atau memiliki akses yang minim, seperti terhadap pendidikan, hukum, dan sumberdaya lainnya.
Sajogyo dalam Hadi Prayitno & Lincolin Arsyad (1986:7), menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah
10
standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat, berdasar atas kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Lebih lanjut dinyatakan oleh Sajogya dalam Bagong Suyanto (2013:4) telah membuat suatu batasan atau klasifikasi kemiskinan sebagai berikut: a. Untuk daerah perkotaan, seseorang disebut miskin apabila mengkonsumsi beras kurang dari 420 kilogram per tahunnya. b. Untuk daerah pedesaan, seseorang disebut miskin apabila mengkonsumsi
beras
320
kilogram,
miskin
sekali
apabila
mengkonsumsi beras 240 kilogram dan paling miskin apabila mengkonsumsi beras kurang dari 180 kilogram per tahunnya. Adapun Mubyarto (1998) memberikan definisi kemiskinan adalah suatu situasi serba kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam bentuk rendahnya pendapatan dan disebabkan oleh rendahnya ketrampilan, produktivitas, pendapatan, lemahnya nilai tukar produksi dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan. Rendahnya pendapatan penduduk miskin menyebabkan rendahnya produktivitas dan meningkatkan beban ketergantungan bagi masyarakat.
Dalam perkembangannya, terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan, yakni paradigma neoliberalisme dan demokrasi sosial. Selanjutnya dua paradigma tersebut akhirnya menjadi blue
11
print
dalam
menganalisis
kemiskinan
maupun
merumuskan
definisi
kemiskinan.
a. Teori neoliberalisme yang dipaparkan Hobbes, Lock & Mill (Mallarangeng, 2010) menyerukan bahwa komponen penting dalam masyarakat adalah sebuah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi klasik yang dikemukakan oleh Adam Smith (Miles & Scott, 2005) dan Hayek ( Bush, 2011, memandang bahwa teori ini mengedepankan
azas
laissez
faire
dengan
mengunggulkan
mekanisme pasar bebas, dan mengusulkan the almost completed absence of state’s intervention in the economy, yang artinya kemiskinan sebagai persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan
dan/atau
pilihan-pilihan
individu
yang
bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya apabila kekuatan-kekuatan
pasar
diperluaskan
sebesar-besarnya
dan
pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya.
b. Teori demokrasi sosial, yang memandang bahwa kemiskinan bukanlah merupakan persoalan individual, melainkan persoalan struktural. Kemiskinan disebabkan adanya ketidakadilan dan ketimpangan
dalam
masyarakat
akibat
tersumbatnya
akses
kelompok tertentu terhadap berbagai sumber daya yang ada. Teori ini berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran dan ekonomi permintaan (Case & Fair, 2010). Untuk menangani kemiskinan
12
diperlukan
strategi
dana,
wawasan,
pemberdayaan
dan
keberlanjutan yang bersifat residual.
UNESCO (Usman Kaharu, 2004) mengemukakan ciri kemiskinan sebagai
berikut
:
(a).
Kekurangan
gizi
(rata-rata
hanya
mampu
mengkonsumsi 1422 kalori dari 2187 kalori yang diperlukan), (b). Kekurangan air minum, (c). Tidak tersedia listrik, (d). Tidak mempunyai jamban/wc, (e). Standar rumah yang buruk, dan (f). Buta huruf.
Usman kaharu (2004) mengemukakan bahwa secara sistematis penyebab utama kemiskinan adalah (a). Pengangguran, (b). Ketidakcukupan penghasilan/pendapatan, (c). Janda/yatim piatu, (d). Sumber daya alam yang terbatas, (e). Pendidikan yang tidak menunjang, dan (f). Kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan dalam standar ukur kemiskinan secara global, yakni kemiskinan merupakan perihal kekurangan dengan pendapatan minimum US$ 1 per hari (Albornoz, 2007). Sejak tahun 1980 an konsep kemiskinan telah berubah dari pertimbangan pendapatan atau konsumsi yang sederhana menjadi definisi yang mencakup multidimensi kekurangan dan kesejahteraan. Bank Dunia dan UNDP (United Nations Development Programme) menerapkan definisi kemiskinan yang mencakup aspek-aspek seperti kebutuhan dasar, gaya hidup yang ditentukan sendiri, pilihan, aset, kapabilitas, inklusi sosial, ketidaksetaraan, hak asasi manusia ,
13
pemukiman,
kerentanan,
pemberdayaan
dan
kesejahteraan
subyektif
(Locatelli, 2009; World Bank, 2008).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan didefinisikan sebagai keadaan atau kondisi kurang sejahtera yang dihitung dalam Rp (Rupiah) per kapita per bulan disisi yang lain, Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) sebagai tolok ukur definisi kemiskinan diterjemahkan sebagai kondisi kurang akibat kebutuhan hidup (makanan, minuman, pakaian, rumah) selama satu bulan berdasarkan jumlah kalori, protein, vitamin dan bahan mineral lainnya yang diperlukan untuk hidup layak untuk seorang pekerja. Kebutuhan konsumsi harus memenuhi 2100 kalori per hari (kelompok makanan) ditambah dengan kebutuhan (bukan makanan) minimal lainnya yang mencakup perumahan, pakaian, kesehatan dan pendidikan (Soesastro, 2005).
2.1.2. Pengangguran Definisi pengangguran menurut para ahli memiliki pengertian yang beragam. Nanga (2005) mendefinisikan pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif tidak sedang mencari pekerjaan. Dalam sensus penduduk 2001 mendefinisikan pengangguran sebagai orang yang tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan (BPS, 2001). Menurut Sukirno (2004) pengangguran adalah jumlah tenaga kerja dalam perekonomian yang secara aktif mencari pekerjaan tetapi belum
14
memperolehnya.
Selanjutnya International
Labor
Organization (ILO)
memberikan definisi pengangguran yaitu: 1.
Pengangguran terbuka adalah seseorang yang termasuk kelompok penduduk usia kerja yang selama periode tertentu tidak bekerja, dan bersedia menerima pekerjaan, serta sedang mencari pekerjaan.
2. Setengah pengangguran terpaksa adalah seseorang yang bekerja sebagai buruh karyawan dan pekerja mandiri (berusaha sendiri) yang selama periode tertentu secara terpaksa bekerja kurang dari jam kerja normal, yang masih mencari pekerjaan lain atau masih bersedia mencari pekerjaan lain/tambahan (BPS, 2001). Lebih
lanjut,
Sadono
Sukirno
(2004)
dalam
Pitartono
(2012),
menyatakan bahwa dalam standar pengertian yang sudah ditentukan secara internasional, yang dimaksudkan dengan pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkannya.
Pengertian Pengangguran menurut Marius (2004) pengangguran sering diartikan sebagai angkatan kerja yang belum bekerja atau bekerja secara tidak optimal. Menurut Sadono Sukirno (2004) pengangguran biasanya dibedakan atas 3 (tiga) jenis berdasarkan keadaan yang menyebabkannya, antara lain :
15
1. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh tindakan seseorang pekerja untuk meninggalkan kerjanya dan mencari kerja yang lebih baik atau sesuai dengan keinginannya. 2. Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh adanya perubahan struktur dalam perekonomian. 3. Pengangguran konjungtur, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh kelebihan pengangguran alamiah dan berlaku sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat. Marius (2004) menyatakan bahwa pengangguran sering diartikan sebagai angkatan kerja yang belum bekerja atau bekerja secara tidak optimal. Pengangguran menurut definisi BPS adalah (1) mereka yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan; (2) mereka yang tidak bekerja dan mempersiapkan usaha; (3) mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan; dan (4) mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja, tetapi belum mulai bekerja.
2.1.3. Kinerja Keuangan Daerah Kinerja (Performance) diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan (Kamus
Akuntansi
Manajemen
Kontemporer,
1994).
Selanjutnya measurement atau pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu indikator keuangan
dan
non
keuangan
dari
suatu
pekerjaan
yang
16
dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Pengukuran kinerja merupakan wujud akuntabilitas, dimana penilaian yang lebih tinggi menjadi tuntunan yang harus dipenuhi, data pengukuran kinerja dapat menjadi peningkatan program selanjutnya. Menurut
Sedarmayanti
”Kinerja
(2003),
(performance)
diartikan sebagai hasil seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan” Dalam
penelitian
ini,
yang
dimaksudkan
sebagai
Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, yang meliputi anggaran dan realisasi APBD dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan. Kinerja
(performance)
menurut
kamus
akuntansi
manajemen
dikatakan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu sistem keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu uit organisasi. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi peneriman dan belanja daerah dengan menggunakan sistem keuangan
yang ditentukan
melalui
suatu
kebijakan
atau
ketentuan
17
perundang-undangan selama
satu
periode
anggaran.
Bentuk
dari
pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari sistem laporan pertanggungjawaban daerah berupa perhitungan APBD.
Agnes Sawir (2005) menyatakan bahwa Kinerja keuangan adalah penilaian kondisi keuangan yang menjadi prestasi perusahaan yang memerlukan analisis dengan beberapa tolak ukur seperti rasio dan indeks sehingga dua data keuangan bisa terhubung antara satu dengan yang lain. Menurut Barlian (2003) Kinerja keuangan adalah prospek atau masa depan, pertumbuhan, dan potensi perkembangan yang baik bagi perusahaan. Kinerja keuangan diperlukan informasinya untuk menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi yang dikendalikan untuk memprediksi kapasitas produksi dari sumber daya yang tersedia.
Lebih lanjut, Fahmi (2012) menjelaskan bahwa Kinerja keuangan adalah gambaran tentang keberhasilan perusahaan berupa hasil yang telah dicapai berkat berbagai aktivitas yang telah dilakukan. Kinerja keuangan merupakan suatu analisis untuk menilai sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan aktivitas sesuai aturan-aturan pelaksanaan keuangan. IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menyatakan bahwa Kinerja keuangan adalah kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya yang dimiliki.
18
Sutrisno (2009) Kinerja keuangan adalah prestasi yang dicapai oleh suatu perusahaan pada periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan tersebut. Kinerja keuangan berkaitan erat dengan pengukuran dan penilaian kinerja perusahaan sesuai jenis jenis akuntansi keuangan.
Pengukuran
kinerja
(performing
measurement)
mencakup
kualifikasi, efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam pengoperasian bisnis selama periode akuntansi. Penilaian juga terkait efektivitas operasional, organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan termasuk unsur unsur laporan keuangan.
Pengukuran kinerja diperlukan untuk perbaikan kegiatan operasional agar mampu bersaing dengan perusahaan lain. Analisis kinerja keuangan berupa pengkajian secara kritis menghitung, mengukur, menginterprestasi, dan memberi solusi terhadap keuangan perusahaan pada periode tertentu. Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD (Bab 1, Pasal 1, Ayat 5 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005). Sumarjo (Adhiantoko 2013) menjelaskan bahwa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah keluaran/ hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran daerah
19
dengan kuantitas dan kualitas yang terukur, kemampuan daerah dapat diukur dengan menilai efisiensi atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Secara garis besar, pengertian kinerja keuangan adalah hasil kerja berbagai bagian dalam suatu perusahaan yang bisa dilihat pada kondisi keuangan
perusahaan
pada
suatu
periode
tertentu
terkait
aspek
penghimpunan dan penyaluran dana yang dinilai berdasarkan indikator kecukupan modal, likuiditas, dan profitabilitas perusahaan. Kinerja keuangan juga diartikan sebagai gambaran pencapaian perusahaan berupa hasil yang telah dicapai melalui berbagai aktivitas untuk meninjau sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan standar akuntansi keuangan secara baik dan benar yang mencakup tujuan.
2.1.4. Indikator Kinerja Keuangan Daerah Pada dasarnya terdapat 2 hal yang dapat dijadikan sebagai indikator kinerja, yaitu Kinerja Anggaran dan Anggaran Kinerja. KinerjaAnggaran merupakan instrumen yang dipakai oleh DPRD untukmengevaluasi kinerja kepala daerah, seadngkan Anggaran Kinerja merupakan instrumen yang dipakai oleh kepala daerah untukmengevaluasi unit-unit kerja yang ada di bawah kendali daerah selakumanager eksekutif. Penggunaan indikator kinerja sangat penting untukmengetahui apakah suatu program kerja telah dilaksanakan secara efisien dan efektif (Mardiasmo, 2002). Indikator yang digunakan berikut :
dalam mengukur
kinerja keuangan daerah adalah sebagai
20
1) Analisis Surplus/Defisit APBD Analisis ini digunakan untuk memantau kebijakan fiskal dipemerintahan daerah. Analisis ini disajikan dengan 2 pendekatan menurut (PP 58 Tahun 2005) yaitu:surplus/defisit = pendapatan daerah-belanja daerah, sedangkan menurut PMK (Peraturan Menteri Keuangan) 72 Tahun 2006 yaitu: surplus/defisit = (pendapatan-belanja) + silpa + pencairan dana cadangan. 2) Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) DDF antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah padaumumnya ditunjukkan
oleh
variabel-variabel
seperti
(i)
PAD
terhadaptotal
penerimaan daerah, (ii) Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajakdaerah (BHPBP)
terhadap
Total
Penerimaan
Daerah
(TPD),
(iii)
RasioSumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap TPD (Halim, 2004). 3) Derajat Otonomi Fiskal (DOF) Kemandirian
Keuangan
Daerah
adalah
menunjukkan
kemampuanPemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagi sumber pendapatan yang diperlukan daerah(Halim, 2004). 4) Upaya Fiskal/Posisi Fiskal Usaha
pajak
dapat
diartikan
sebagai
rasio
antar
penerimaan
pajakdengan kapasitas membayar disuatu daerah. Salah satu indikator yangdapat
digunakan
untuk
mengetahui
kemampuan
membayar
21
pajakmasyarakat
adalah
PDRB.
Jika
PDRB
meningkat,
maka
kemampuandaerah dalam membayar pajak juga meningkat. Hal berarti bahwa administrasi penerimaan daerah dapat meningkatkan daya pajak (Halim, 2004). 5) Analisis Efektivitas (CLR) Analisis ini menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasi PAD yang direncanakan, dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2004). 6) Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah digunakan untukmengetahui jenis pajak/retribusi daerah termasuk dalam kategori prima, potensial, berkembang dan terbelakang. 7) Rasio Kemandirian Daerah Rasio ini digunakan untuk mengukur pola hubungan dan tingkat kemampuan daerah. 8) Kemampuan Pinjaman Daerah (DSCR) Kemampuan suatu daerah dalam mendapatkan uang atau manfaatdari pihak lain yang digunakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan pelayanan publik
2.1.5. Pendapatan Daerah Pengertian pendapatan daerah menurut Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pendapatan daerah adalah
22
semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam
periode
anggaran
tertentu.
pendapatan
daerah
berasal
dari
penerimaan dari dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal dari daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Menurut yunita Anggarini dan B. Hendra Puranto (2010), konsep pendapatan berbeda dengan penerimaan. Penerimaan adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode anggaran tertentu. Pendapatan yang terealisasikan dan masuk kas daerah menjadi penerimaan, tetapi tidak semua penerimaan merupakan pendapatan, karena ada penerimaan yang berasal dari pembiayaan.
23
Gambar 2.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Sumber : Kementerian Dalam Negeri)
2.1.6. PAD, DAU, DAK, dan Dana Otonomi Khusus Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 menyatakan bahwa salah satu sumber penerimaan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu : Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba Usaha Daerah, dan lainlain pendapatan yang sah.
24
Dana Alokasi Umum selanjutnya disebut DAU adalah dana yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pemerintah pusat memberikan bantuan berupa DAU yang besarnya sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Untuk daerah provinsi menerima sebesar 10% dari DAU yang ditetapkan, sedangkan kabupaten/kota sebesar 90%. Pengaturan lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2000 yang menyatakan bahwa pembagian DAU kepada seluruh provinsi dan kabupaten/ kota di Indonesia berdasarkan bobot dari masing-masing daerah, yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi ekonomi daerah. Sementara itu, Dana Alokasi Khusus selanjutnya disebut DAK adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu
membiayai
kebutuhan
khusus.
Pengalokasian
DAK
memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN, yang berarti bahwa besaran DAK tidak dapat dipastikan setiap tahunnya. DAK diberikan kepada daerah apabila daerah menghadapi masalah-masalah khusus. Menurut Hairul Aswadi dalam Halim (2001) tujuan dari penggunaan DAK dapat diarahkan pada upaya untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan salah satu isu nasional yang perlu dituntaskan. Hal ini dikarenakan besamya tingkat kemiskinan yang ada di daerah.
25
Dana Otonomi Khusus selanjutnya disebut Dana OTSUS adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi UndangUndang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Terkait dengan belanja daerah, dibagi ke dalam dua kelompok yaitu (Halim, 2002) belanja rutin/operasional dan belanja pembangunan. Belanja pembangunan terdiri dari belanja publik dan belanja aparatur. Untuk belanja pembangunan aspek-aspek yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah daerah berupa aspek kelayakan teknis, keuangan, ekonomi, dan sosial budaya.
2.2. Tinjauan Metodologi 2.2.1. Definisi Analisis Jalur Analisis jalur adalah suatu teknik pengembangan dari regresi linier ganda. Teknik ini digunakan untuk menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antar variabel X1 X2 dan X3 terhadap Y serta dampaknya terhadap Z. “Analisis jalur adalah suatu teknik untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang tejadi pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi
26
variabel tergantung tidak hanya secara langsung tetapi juga secara tidak langsung”. (Robert D. Retherford 1993). Sedangkan definisi lain mengatakan: “Analisis jalur merupakan pengembangan langsung bentuk regresi berganda dengan tujuan untuk memberikan estimasi tingkat kepentingan (magnitude) dan signifikansi (significance) hubungan
sebab akibat hipotetikal dalam
seperangkat
variabel.” (Paul Webley, 1997).
David Garson dari North Carolina State University mendefinisikan analisis jalur sebagai “Model perluasan regresi yang digunakan untuk menguji keselarasan
matriks korelasi dengan dua atau lebih model
hubungan sebab akibat yang dibandingkan oleh peneliti. Modelnya digambarkan dalam bentuk gambar lingkaran dan panah dimana anak panah tunggal menunjukkan sebagai penyebab. Regresi dikenakan pada masingmasing variabel dalam suatu model sebagai variabel tergantung (pemberi respon)
sedang
yang
lain
sebagai
penyebab.
Pembobotan
regresi
diprediksikan dalam suatu model yang dibandingkan dengan matriks korelasi yang diobservasi untuk semua variabel dan dilakukan juga penghitungan uji keselarasan statistik. (David Garson, 2003).
2.2.2. Karakteristik Analisis Jalur Merujuk pendapat yang dikemukakan oleh Land, Ching, Heise, Maruyama, Schumaker dan Lomax, Joreskog (Kusnendi, 2008), karakteristik
27
analisis jalur adalah metode analisis data multivariat dependensi yang digunakan untuk menguji hipotesis hubungan asimetris yang dibangun atas dasar kajian teori tertentu, dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung seperangkat variabel penyebab terhadap variabel akibat. Menguji hipotesis hubungan asimetris yang dibangun atas kajian teori tertentu artinya yang diuji adalah model yang menjelaskan hubungan kausal antar variabel yang dibangun atas kajian teori teori tertentu. Hubungan kausal tersebut secara eksplisit dirumuskan dalam bentuk hipotesis direksional, baik positif maupun negatif. Keunggulan Path Analysis dibandingkan analisis regresi berganda adalah: 1.
Peneliti dapat secara simultan mengukur pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen.
2.
Peneliti dapat menguji apakah model sudah cukup fit dengan data.
3.
Peneliti dapat menguji model yang memiliki permasalahan multikolinieritas (korelasi yang tinggi antara variabel eksogen).
4.
Peneliti dapat melakukan pebandingan pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel eksogen terhadap variabel endogen.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, maka Uji Prasyarat Analisis Jalur adalah sebagai berikut:
28
2.2.2.1. Uji Normalitas Uji Normalitas dimaksudkan untuk menguji distribusi data yang akan dianalisis menyebar normal. Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah data yang digunakan dalam penelitian memiliki distribusi normal baik secara multivariat maupun univariat. Data mempunyai distribusi normal jika nilai critical rasio (c.r) skweness di bawah harga mutlak ±2,58
2.2.2.2. Uji Linearitas Linearitas
adalah
keadaan
dimana
hubungan
antara
variabel
dependen dengan variabel independen bersifat linear (garis lurus) dalam range variabel independen tertentu 2.2.2.3. Uji Autokorelasi (bisa diabaikan apabila datanya cross section)
2.2.3. Structural Equation Modeling (SEM) Structural Equation Modeling (SEM) adalah alat statistik yang dipergunakan untuk menyelesaikan model bertingkat secara serempak yang tidak dapat diselesaikan oleh persamaan regresi linear. SEM dapat juga dianggap sebagai gabungan dari analisis regresi dan analisis faktor. Untuk melakukan analisis SEM diperlukan langkah-langkah sebagai berikut (sarwono,2010) : 1. Membuat spesifikasi model yang didasarkan pada teori kemudian menentukan
bagaimana
mengukur
konstruk-konstruk,
29
mengumpulkan data kemudian memasukan data ke dalam aplikasi (AMOS); 2. AMOS akan mencocokan data ke dalam model yang sudah dispesifikasi, kemudian memberikan hasil yang mencakup semua angka-angka statistik, kecocokan model, dan estimasi-estimasi parameter; 3. Masukan data yang biasanya dalam bentuk matriks kovarian dari variabel-variabel yang sedang diukur, misalnya nilai butir-butir pertanyaan yang digunakan. Bentuk masukan lainnya dapat berupa matriks korelasi dan rata-rata (mean). 4. Membuat estimasi sesuai keperluan riset; 5. Mencocokan data dengan model yang sudah dibuat.
2.3. Penelitian Terdahulu Penelitian Chang & Ho dalam Abdu Rahman (2002) menyatakan bahwa PAD mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan melihat hasil analisis elastisitas PAD terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Lin dan Liu dalam Priyo (2006) menyatakan bahwa belanja pembangunan merupakan
upaya
logis
yang
dilakukan
pemerintah
daerah
untuk
meningkatkan kepercayaan publik dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian tersebut menemukan adanya hubungan yang
30
kuat antara belanja pembangunan dengan tingkat desentralisasi yang mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah. Penelitian Kesit Bambang Prakosa (2004), berkesimpulan bahwa secara empiris membuktikan bahwa besarnya Belanja Daerah dipengaruhi oleh jumlah DAU yang diterima dari Pemerintah Pusat. Dari hasil penelitian tersebut, menunjukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah. Dalam model prediksi BJD, daya prediksi DAU terhadap BJD tetap lebih tinggi dibanding daya prediksi PAD. Hal ini menunjukkan telah terjadi flypaper effect
Penelitian Adi (2006) mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah, belanja pembangunan dan PAD se Jawa Bali, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah mempunyaidampak yang signifikan terhadap peningkatan PAD. Namun sayangnya pertumbuhan ekonomi Pemda kabupaten dan kota masih kecil, sehingga penerimaan PADnya pun kecil. Sedangkan belanja pembangunan memberikan dampak yang positif terhadap PAD maupun pertumbuhan ekonomi. Penelitian Arthur Okun dalam Iskandar Putong (2003) mengatakan apabila GNP tumbuh sebesar 2,5% di atas trennya yang telah dicapai pada tahun tertentu, maka tingkat pengangguran akan turun sebesar 1%. Dengan kata lain, jika tingkat pengangguran ingin diturunkan sebesar 20%, maka pertumbuhan ekonomi haruslah dipacu agar bisa tumbuh sebesar 5% di atas rata-rata.
31
Penelitian Anis Setiyawati (2007) mengatakan bahwa Kesenjangan PAD, DAU, dan DAK antara satu kabupaten/kota yang menerima PAD, DAU, dan DAK yang jumlahnya minimum dengan kabupaten/kota yang menerima PAD, DAU, dan DAK yang jumlahnya maksimum cukup besar. Bahkan kesenjangan belanja pembangunan antara kabupaten/kota yang jumlahnya minimum dengan kabupaten/kota yang jumlahnya maksimum terbilang besar. Pada tingkat kemiskinan dan jumlah pengangguran juga mengalami kesenjangan yang cukup besar antara kabupaten/kota yang jumlahnya minimum dengan kabupaten/kota yang jumlahnya maksimum untuk tingkat kemiskinan dan jumlah pengangguran. Hasil
pengujian
secara
langsung
dengan
regresi
berganda
menunjukkan PAD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan DAU berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk pengujian secara langsung untuk pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dan pengangguran menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan, tetapi pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dan berpengaruh positif terhadap pengangguran. Penelitian Sampurna Budi Utama dan Nur Aisyah Kustiani (2012), secara simultan belanja-belanja untuk fungsi ekonomi, perumahan, dan fasilitas umum, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan social berpengaruh secara signifikan terhadap indeks kemiskinan. Setiap peningkatan belanja per kapita sebesar satu juta rupiah akan menghasilkan penurunan indeks kemiskinan yang berbeda-beda
32
2.4. Hipotesis Penelitian Mengacu pada landasan teori dan penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : HA1
: PAD melalui Kinerja Keuangan berpengaruh signifikan terhadap Kemiskinan dan Pengangguran.
HA2
: DAU melalui Kinerja Keuangan berpengaruh signifikan terhadap Kemiskinan dan Pengangguran.
HA3
: DAK melalui Kinerja Keuangan berpengaruh signifikan terhadap Kemiskinan dan Pengangguran.
HA4
: Dana OTSUS melalui Kinerja Keuangan berpengaruh signifikan terhadap Kemiskinan dan Pengangguran..
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Disain dan Pendekatan Penelitian 3.1.1. Disain Penelitian
Berdasarkan hipotesis penelitian, maka desain penelitian dapat digambarkan model penelitian empirik sebagai berikut :
X1 Y1 X2 X5 X3 Y2 X4
Keterangan : X1
: Pendapatan Asli Daerah (PAD)
X2
: Dana Alokasi Umum (DAU)
X3
: Dana Alokasi Khusus (DAK)
X4
: Dana Otonomi Khusus (Otsus)
X5
: Kinerja Keuangan Daerah
Y1
: Angka Kemiskinan
Y2
: Angka Pengangguran
33
34
3.1.2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan model analisis jalur (path analysis) menggunakan metode pengukuran Structural Equation Modeling (SEM).
3.2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah laporan APBD Kabupaten Teluk Bintuni dan realisasinya untuk tahun 2010 sampai dengan 2017.
3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu berupa data kuantitatif yang meliputi data keuangan realisasi APBD yakni data PAD, DAU, DAK, Dana OTSUS, belanja pembangunan, kemiskinan, dan pengangguran. Data dalam penelitian ini diperoleh dari dinas atau instansi yang terkait yaitu Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, Badan Pusat Statistik Kabupaten Teluk Bintuni serta secara online di situs-situs Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan yang berkaitan dengan variabel penelitian
3.4. Identifikasi Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel eksogen dan endogen. PAD, DAU, DAK, dan Dana OTSUS merupakan variabel eksogen (bebas), kemiskinan merupakan variabel endogen (terikat) dan
35
pengangguran merupakan variabel endogen (terikat), dan Kinerja Keuangan sebagai Variabel intervening.
3.5. Definisi Operasional Untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik terhadap variabel penelitian, maka variabel - variabel tersebut didefinisikan secara operasional dan diukur sebagai berikut: 1.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. PAD diukur dari total penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
2.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan
kemampuan
keuangan
antar
daerah
untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU diukur dari jumlah penerimaan transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat. 3.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. DAK diukur dari jumlah penerimaan DAK yang diberikan oleh pemerintah pusat.
36
4.
Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
5.
Belanja pembangunan adalah pengeluaran ditujukan untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat dan menumbuhkan perekonomian daerah. Belanja pembangunan diukur dari jumlah alokasi belanja publik dan belanja aparatur.
6.
Pertumbuhan
ekonomi
adalah
perkembangan
kegiatan
dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi diukur dari selisih antara Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pada saat ini dengan PDRB sebelumnya dibagi dengan PDRB saat ini. 7.
Kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Kemiskinan diukur dari persentase jumlah penduduk miskin pada daerah tersebut.
37
8.
Pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja, tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Pengangguran diukur dari persentase jumlah penduduk yang menganggur di daerah tersebut.
9.
Variabel
eksogen
adalah
variabel
yang
nilainya
tidak
dipengaruhi/ditentukan oleh variabel lain di dalam model; setiap variabel eksogen selalu variabel independen. 10. Variabel endogen adalah variabel yang nilainya dipengaruhi/ditentukan oleh variabel lain di dalam model, dikenal juga dengan istilah variabel dependen. 11. Analisis jalur atau biasa lebih dikenal dengan Path Analysis digunakan untuk mengetahui hubungan ketergantungan langsung diantara satu set variabel. Path Analysis adalah model yang serupa dengan model analisis regresi berganda, analisis faktor, analisis korelasi kanonik, analisis diskriminan dan kelompok analisis multivariat yang lebih umum lainnya seperti analisis anova, manova, anacova. 12. Variabel Intervening (Intervening Variable) Menurut Tuckman (dalam Sugiyono, 2007) adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan
antara variabel
independen
dengan variabel dependen
menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur.
38
DAFTAR PUSTAKA
Bakir, Zainab dan Manning,Cris. (1984). Angkatan Kerja Indonesia. Rajawali Jakarta. Juliansyah Noor (2013). Analisis Data Penelitian Ekonomi dan Manajemen. Grasindo. Jakarta. Kaharu Usman (2004). Ekonomi Pembangunan Antara Gagasan, Teori, dan Aplikasinya, BMT Nurul Jannah, Gorontalo Lincolin Arsyad (2016), Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah, Yogyakarta. M.L. Jhingan (2016). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Rajawali Pers, Jakarta. Marius, Jelamu Ardu, Memecahkan masalah Pengangguran di Indonesia, Makalah,IPB,April 2004. Nanga, Muana. (2005). Makro Ekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafika Persada. Pitartono, (2012). Analisis Tingkat Pengangguran Di Jawa Tengah Tahun 1997-2010. Robinson Tarigan. (2005), Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi Edisi Revisi, UPP STIE YKPN, Yogyakarta. Rudy Badrudin ( 2016), Ekonomika Ekonomi Daerah, UPP STIE YKPN, Yogyakarta. Sampurna Budi Utama, Nur Aisyah Kustiani. (2012). Analisis Pengaruh Belanja Daerah Menurut Klasifikasi Fungsi Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Era Desentralisasi Fiskal (Studi Kasus Pada Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dan Bali Tahun 2008-2010), Jakarta.
39
Sarwono Jonathan (2010). Pengertian Dasar Structural Equation Modeling (SEM). Jurnal ilmiah Manajemen dan Bisnis Vol. 10. No.3. UKRIDA, Jakarta. Sukirno, Sadono. (2004). Makro Ekonomi. Edisi Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Windhu Putra (2018). Tata Kelola Ekonomi Keuangan Daerah. Rajawali Pers. Jakarta