Proposal Bab Ii Dan Iii.docx

  • Uploaded by: Rizqi Layli Khusufi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proposal Bab Ii Dan Iii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,979
  • Pages: 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA

1. Drosophila melanogaster A. Morfologi Drosophila melanogaster

Droshopilla merupakan jenis lalat buah termasuk dalam filum Artropoda kelas Insekta bangsa Diptera, anak bangsa Cyclophorpha, suku Drosophilidae. Drosophila melanogaster adalah salah satu serangga yang memiliki peran sangat penting dalam pengembangan ilmu genetika. Drosophila melanogaster memiliki banyak mutasi, barubaru ini ada banyak mutan seperti sepia dan strain prem. Morgan et al telah menemukan 85 mutan strain Drosophila melanogaster (Hotimah et al, 2017). Drosophilla melanogaster selama ini telah mengalami mutasi genetik sehingga dikenal dengan berbagai macam strain, Morgan dan C. B. Bridges telah berhasil menemukan 85 macam strain yang menyimpang dari tipe normal (wild type) (Robert, 2012). Berikut merupakan klasifikasi Drosophila melanogaster menurut Borror et al (1989): Kingdom

:Animalia

Phylum

:Arthropoda

Class

:Insecta

Order

:Diptera

Family

:Drosophilidae

Genus

:Drosophila

Species

:Drosophila melanogaster

Drosophila Betina umumnya lebih besar daripada jantan. Pada Drosophila jantan, segmen posterior abdomen seluruhnya gelap dan mengkilap, sedangkan pada betina warna segmen ini bervariasi dari pucat hingga hampir seluruhnya gelap. Kedua jenis kelamin memiliki pola garis-garis melintang gelap pada sisi punggung setiap segmen abdomen. Drosophila betina memiliki abdomen dengan ujung runcing sedangkan jantan ujung abdomen jantan bulat. Selain itu, abdomen pada jantan cenderung melengkung ke dalam. Organ genital jantan (epandrium) lebih besar, lebih kompleks, dan lebih gelap daripada genitalia eksternal betina (plat genital dan ovipositor). Kaki

depan jantan hanya membawa sex comb (sisir kelamin), barisan bulu gelap tebal pada segmen tarsal pertama (Chyb & Gompel 2013).

Gambar 1 Drosophila melanogaster, a) Drosophila melanogaster betina betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan, warna segmen posterior abdomen bervariasi dari pucat hingga hampir seluruhnya gelap abdomen dengan ujung runcing. b) Drosophila melanogaster jantan memiliki ukuran tubuh lebih kecil. Segmen posterior abdomen berwarna gelap dan mengkilap dengan ujung abdomen membulat. Sumber: Chyb & Gompel (2013).

Drosophilla melanogaster tipe normal dicirikan dengan mata merah, mata majemuk berbentuk bulat agak ellips dan mata tunggal (oceli) pada bagian atas kepalanya dengan ukuran relatif lebih kecil dibanding mata majemuk (Robert, 2012). Mata majemuk adalah struktur morfologi paling menonjol yang terletak pada kapsul kepala eksternal. Setiap mata majemuk mengandung 750 unit yang disebut ommatidia (biasa disebut sebagai facet). Selsel pigmen primer lalat wild type memiliki pigmen kemerahan yang menyerap kelebihan cahaya biru. Ommatidia dipisahkan oleh bulu pendek, tegak, kekuningan interommatidial (Chyb & Gompel 2013). Warna tubuh kuning kecokelatan dengan cincin berwarna hitam pada tubuh bagian belakang. Ukuran tubuh Drosophilla melanogaster berkisar antara 3-5 mm (Indayati, 1999). Sayap Drosophilla melanogaster cukup panjang dan transparan (Karmana, 2010), Posisi sayapnya bermula dari thorak, vena tepi sayap (costal vein) memiliki dua bagian yang terinterupsi dekat dengan tubuhnya. Aristanya pada umumnya berbentuk rambut dan memiliki 7-12 percabangan (Indiyati, 1999). Crossvein posterior umumnya berbentuk lurus, tidak melengkung (Milkman,1965). Thoraknya memiliki

bristle, baik panjang dan pendek, sedangkan abdomen bersegmen lima dan bergaris hitam (Chumaisah, 2002). Drosophila melanogaster Strain white merupakan D. melanogaster dengan penanda berupa mutasi resesif pada warna mata majemuk dan mata tunggal yang seluruhnya bewarna putih. Gen pengendali warna mata tersebut terletak pada kromosom I, lokus 1,5 (Ramadani et al., 2016). Warna mata putih dapat dihasilkan dari interaksi cinnabar, scarlet, atau vermillion (Chyb & Gompel 2013). B. Siklus hidup Drosophila melanogaster 1) Telur Telur Drosophila melanogaster memiliki panjang sekitar 0,5 milimeter. Membran luar, chorion buram dan menunjukkan pola heksagonal. Sepasang filamen membentang dari permukaan anterodorsal untuk menjaga agar telur tidak tenggelam ke dalam makanan lunak di mana dimana telur diletakkan. Penetrasi spermatozoa ke dalam sel telur terjadi melalui lubang kecil atau mikropil dalam tonjolan berbentuk kerucut di ujung anterior, ketika sel telur melewati uterus. Spermatozoa telah disimpan oleh betina setelah kawin. Segera setelah masuknya sperma, pembelahan (meiosis) selesai dan nukleus telur (pronukleus betina) terbentuk. Inti sperma dan inti telur bergabung untuk menghasilkan inti zygote yang membelah untuk menghasilkan dua inti pembelahan pertama, tahap awal pengembangan embrio. Telur dapat dikeluarkan oleh induk sesaat setelah ditembus oleh sperma, atau mungkin disimpan di dalam uterus selama tahap awal perkembangan embrionik (Parvathi et al., 2009). 2) Larva instar III dan pupa Drosophila melanogaster menyelesaikan siklus hidupnya selama sekitar 10 hari pada suhu 25°C. Embrio berkembang lebih dari 24 jam. Ada tiga tahap larva yang meliputi L1 dan L2 (masing-masing 1 hari) diikuti oleh L3 (~ 3 hari), tahap pupa (4 hari), dan tahap imago. Lalat dewasa mencapai kematangan seksual setelah 2-4 hari, dan betina yang dibuahi kemudian mulai bertelur. Waktu perkembangan dapat sangat bervariasi (beberapa hari) dengan kondisi lingkungan (suhu, kepadatan, kualitas makanan) dan latar belakang genetik (Chyb & Gompel 2013). Larva instar ketiga sudah berjenis kelamin, jantan dan betina sudah terlihat tanpa dibedah, ukurannya berbeda. Gonad terletak di setiap sisi (panah hitam), di sepertiga

posterior larva, sedikit di bawah trakea dorsal. Gonad jantan sekitar lima kali lebih besar dari gonad betina. Pupa berjenis kelamin pada hari terakhir tahap pupa, ketika struktur kutikula menjadi berpigmen dan sisir seks menjadi terlihat pada bagian ventral dari pupa jantan (panah putih) (Chyb & Gompel 2013).

Gambar 2 larva instar III dan pupa. Sumber: Chyb & Gompel (2013). 2. Hukum Mendel I A. Persilangan monohibrid Hukum mendel I dirumuskan oleh J. G. Mendel pada tahun 1865 dengan menggunakan uji coba pesilangan pada kacang ercis. Setiap percobaan semacam itu disebut persilangan monohibrid. Persilangan monohibrid dibuat dengan mengawinkan individu yang dari dua strain induk, masing-masing memperlihatkan salah satu dari dua bentuk kontras dari karakter yang diteliti. Mendel mengamati generasi pertama keturunan dari persilangan kacang ercis dan kemudian menyilangkan hasil keturunan generasi pertama tersebut dengan sesamanya. Parental asli merupakan P1 dan

keturunan generasi pertama merupakan F1, hasil dari persilangan F1 dengan F1 mengasilkan generasi keturunan kedua atau F2 dan seterusnya (Klug et al., 2016). Persilangan antara tanaman kacang ercis yang berkembang biak dengan batang tinggi dan batang kerdil merupakan perwakilan dari persilangan monohibrid Mendel. Tinggi dan kerdil adalah sifat yang kontras dari karakter tinggi batang. Ketika Mendel menyilangkan tanaman tinggi dengan tanaman kerdil, generasi F1 yang dihasilkan hanya terdiri dari tanaman tinggi. Ketika anggota generasi F1 disilangkan dengan sesamanya, Mendel mengamati bahwa 787 dari 1.064 tanaman F2 adalah tinggi, sementara 277 dari 1064 adalah kerdil. Sifat kerdil menghilang pada generasi F1 dan muncul kembali pada generasi F2. Data genetik biasanya diekspresikan dan dianalisis sebagai rasio. Dari hasil persilangan yang dilakukan Mendel diperoleh rasio tanaman tinggi dan tanaman kerdil yaitu 2,8: 1,0 atau 3: 1 (Klug et al., 2016). Pola pewarisan F1 dan F2 adalah serupa tanpa memandang tanaman P1 mana yang berfungsi sebagai sumber serbuk sari (sperma) dan yang berfungsi sebagai sumber sel telur (ovum). Persilangan bisa dilakukan dengan cara apa pun, penyerbukan tanaman kerdil oleh tanaman tinggi, atau sebaliknya. Persilangan yang dibuat dengan kedua cara ini disebut persilangan rekonstruksi. Oleh karena itu, hasil persilangan monohibrid Mendel tidak tergantung jenis kelamin (Klug et al., 2016). Untuk menjelaskan hasil percobaan tersebut, Mendel mengusulkan keberadaan faktor unit partikulat untuk setiap sifat. Mendel mengusulkan bahwa faktor-faktor ini berfungsi sebagai unit dasar dari keturunan dan diturunkan tidak berubah dari generasi ke generasi, menentukan berbagai sifat yang diungkapkan oleh masing-masing tanaman individu. Dengan menggunakan ide-ide umum ini, Mendel melanjutkan untuk berhipotesis dengan tepat bagaimana faktor-faktor tersebut dapat menjelaskan hasil persilangan monohybrid (Klug et al., 2016). B. Tiga prinsip hukum pertama Mendel Dengan menggunakan pola hasil yang konsisten dalam persilangan monohibrid, Mendel menurunkan tiga prinsip pewarisan sebagai berikut: 1) Faktor Unit dalam Pasangan Mendel menyatakan “Karakter genetik dikendalikan oleh faktor-faktor unit yang ada berpasangan dalam organisme individu”. Dalam persilangan monohibrid yang melibatkan batang tinggi dan kerdil, faktor unit khusus ada untuk setiap sifat. Setiap individu diploid menerima satu faktor dari setiap parental. Karena faktor-faktor ini terjadi berpasangan, terjadi tiga kombinasi yang meliputi dua faktor untuk batang

tinggi, dua faktor untuk batang kerdil, atau satu dari masing-masing faktor. Setiap individu memiliki satu dari tiga kombinasi ini yang menentukan tinggi batang (Klug et al., 2016). 2) Dominasi / Resesifitas Mendel menyatakan “Ketika dua faktor unit berbeda yang bertanggung jawab untuk satu karakter hadir dalam satu individu, satu faktor unit dominan terhadap yang lain yang dikatakan resesif”. Dalam setiap persilangan monohibrid, sifat yang diekspresikan pada generasi F1 dikendalikan oleh faktor unit dominan. Sifat yang tidak diungkapkan dikendalikan oleh faktor unit resesif. Istilah dominan dan resesif juga digunakan untuk menunjuk sifat. Dalam hal ini, batang tinggi dikatakan lebih dominan daripada batang kerdil resesif (Klug et al., 2016). 3) Pemisahan Mendel

menyatakan

“Selama

pembentukan

gamet,

faktor-faktor

satuan

berpasangan terpisah secara acak sehingga masing-masing gamet menerima satu atau yang lainnya dengan kemungkinan yang sama”. Jika individu memiliki sepasang faktor unit yang serupa (misalnya keduanya spesifik untuk tinggi), maka semua gametnya menerima salah satu dari faktor unit yang sama (dalam kasus ini, tinggi batang). Jika individu memiliki faktor unit yang tidak sama (misalnya Satu untuk tinggi dan satu untuk kerdil), maka setiap gamet memiliki kemungkinan 50 persen untuk menerima tinggi atau faktor unit kerdil (Klug et al., 2016).

3. Pautan kelamin Pautan kelamin adalah ekspresi fenotipik alel yang tergantung pada jenis kelamin individu dan secara langsung terkait dengan kromosom seks. Istilah pautan seks merujuk pada gen yang dibawa oleh kromosom X dari individu dan ekspresi fenotipik yang terkait dengan bermacam-macam kromosom tersebut (Elzinga et al., 2007). Betina memiliki salinan ganda kromosom X, oleh karena itu dua alel gen pautan kelamin dibawa oleh betina, satu pada setiap kromosom X sedangkan jantan hanya memiliki satu kromosom X yang membawa satu alel dari gen pautan kelamin. (Gardner et al., 1991). Alel apapun yang dilewatkan pada kromosom X jantan akan diekspresikan terlepas dari sifat dominan atau resesif. Ekspresi alel mengikuti sifat dominan atau resesif ketika betina mewarisi dua alel untuk gen pautan kelamin (Elzinga et al., 2007). Ciri-ciri yang berhubungan seks umumnya diwariskan dengan kromosom autosom.

Fenomena pautan kelamin pertama kali ditemukan oleh T. H. Morgan dan C. B. Bridges pada tahun 1910. T. H. Morgan dan C. B. Bridges melakukan percobaan dengan menyilangkan Drosophila strain bermata merah betina dengan strain bermata putih jantan, maka F1 yang muncul seluruhnya bermata merah. Selanjutnya jika F1 disilangkan dengan sesama F1 maka ¾ bagian F2 bermata merah, dan ¼ bagian bermata putih. Hasil yang diperoleh dari percobaan tersebut tidak sesuai dengan hukum Mendel jika warna mata merah merupakan dominan dari mata putih. Seluruh F2 betina bermata merah, sedangkan separuh jantan bermata merah dan separuhnya lagi bermata putih. Seluruh jantan merupakan galur murni baik yang bermata merah maupun bermata putih. F2 betina yang bermata merah terdapat dua macam yaitu sudah merupakan galur murni dan hasil turunan jantan yang separuh bermata merah dan separuhnya lagi bermata putih (Corebima, 2013). T. H. Morgan dan C. B. Bridges juga menyilangkan strain bermata putih betina dengan strain bermata merah jantan. hasilnya menunjukkan tidak semua F1 bermata merah sesuai dengan prinsip Mendel, jika warna mata merah merupakan dominan terhadap mata putih. T. H. Morgan menyatakan data hasil persilangan dapat dijelaskan jika: (1) faktor warna mata terdapat pada kromosom kelamin X, dan (2) kromosom kelamin jantan (Y) tidak mengandung faktor warna mata tersebut. Individu Drosophila mempunyai dua kromosom kelamin X yang identik, sedangkan individu jantan mempunyai kromosom kelamin XY. Drosophila betina mewarisi satu kromosom kelamin X dari induk jantan dan satu kromosom kelamin X lainnya dari induk betina, sedangkan pada Drosophila jantan mewarisi kromosom X dari induk betina dan kromosom Y dari induk jantan (Corebima, 2013).

4. Kerangka Konseptual Persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂w dan strain ♀w >< ♂N

F1 seluruhnya bermata normal.

///

F1 hasil persilangan ♀N >< ♂w dan ♀w >< ♂N disilangkan dengan

sesamanya (F1 >< F1)

Rasio keturunan F2 2:2 dengan strain N : W

Rasio keturunan F2 3:1 dengan strain N : W

Faktor warna mata merah terdapat pada kromosom kelamin X, sedangkan kromosom kelamin Y tidak tidak mempengaruhi warna mata

Fenomena pautan kelamin

5. Hipotesis Penelitian 1. Fenotip

yang

muncul

pada

persilangan

F1

dari

persilangan

Drosophila

melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya adalah ♂N dan ♀N. 2. Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D. melanogaster ♀N >< ♂w tidak menyimpang dari rasio Hukum Mendel I = 3:1 dengan strain N : w. 3. Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D. melanogaster ♀w >< ♂N menyimpang dari rasio Hukum Mendel I = 3:1 dengan strain N : w.

BAB III METODE PENELITIAN 1. Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observatif dengan melakukan pengamatan hasil F1 dan F2 pada persilangan w♂ >< N♀ dan persilangan resiproknya. Masing-masing persilangan dilakukan sebanyak 16 kali ulangan. Data yang dikumpulkan berupa pengamatan jumlah, jenis kelamin dan fenotip pada F1 dan F2. 2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai bulan April 2017. Tempat pelaksanaan penelitian Ruang 301 Laboratorium Genetika, Jurusan Biologi, Universitas Negeri Malang. 3.

Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah Drosophilla melanogaster dari stok yang dibiakkan di Laboratorium Genetika Universitas Negeri Malang dan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Drosophilla melanogaster strain N (Normal) dan w (white).

4.

Alat dan Bahan

A. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Mikroskop stereo

10. Toples

2. Botol selai

11. Pisau

3. Spons

12. Pengaduk

4. Kertas pupasi

13. Timbangan

5. Selang bening ukuran kecil dan

14. Blender

besar

15. Kain kasa

6. Kuas

16. Lemari es

7. Panci

17. Lap atau tissue

8. Kompor 9. Baskom

B. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Drosophila melanogaster strain N dan w

2. Pisang Rajamala 3. Tape 4. Gula Merah 5. Fermipan (ragi kue) 6. Air

5. Prosedur Kerja A. Pengamatan fenotip Strain yang telah didapatkan diamati di bawah mikroskop. Strain lalat diamati bentuk mata, warna mata, warna tubuh, dan keadaan sayap. Kemudian ditentukan strain dari Drosophila melanogaster yaitu white dan normal. B. Pembuatan Medium 1. Disiapkan bahan-bahan yang digunakan meliputi pisang rajamala, tape singkong dan gula merah 2. Dipotong semua bahan menjadi kecil dan ditimbang, 700 gram pisang rajamala, 200 gram tape singkong, dan 100 gram gula merah. 3. Pisang rajamala dan tape singkong dihaluskan menggunakan blender. 4. Gula merah dicairkan dalam panci dengan diberi sedikit air 5. Dituangkan ke dalam panci bahan-bahan yang telah diblender kemudian dipanaskan dengan api sedang sambil diaduk selama 45 menit. C. Peremajaan 1. Dilewatkan botol dan spons diatas nyala api untuk sterilisasi. 2. Dimasukkan medium ke dalam botol dan langsung ditutup dengan spons. 3. Ditunggu sampai medium dingin kemudian dimasukkan kertas pupasi ke dalam botol dan diberi tiga butir fermipan kemudian ditutup kembali menggunakan spons. 4. Dimasukkan minimal 2 pasang Drosophila melanogaster dari strain yang sama ke dalam botol yang telah berisi medium. D. Pengampulan 1. Selang bening dipotong dengan panjang ±5 cm 2. Dimasukkan pisang rajamala ±1 cm ke dalam selang sehingga membagi kedua bagian 3. Diambil pupa yang sudah berwarna hitam dari dalam botol dengan kuas yang telah dibasahi dengan air kemudian diletakkan di kedua sisi selang, masing-masing bagian satu pupa 4. Ujung selang ditutup dengan menggunakan spons.

5. Maksimal lalat yang bisa disilangkan yaitu 2 hari setelah menetas. E. Persilangan P1 (w♂ >< N♀) dan (N♂ >< w♀) 1. Disilangkan lalat Drosophila melanogaster strain w♂ >< N♀ beserta resiproknya. Pada botol persilangan pertama diberi label A. 2. Dilepas lalat jantan setelah 2 hari penyilangan 3. Dipindahkan ke botol B lalat betina jika dalam botol A telah muncul larva, jika dalam botol B telah muncul larva lalat betina dipindahkan ke dalam botol C, dan seterusnya hingga lalat betina tidak mengeluarkan telur lagi atau mati. 4. Setiap hari botol A, B, C, D diamati fenotipnya dan dihitung jumlah lalat yang menetas pada masing-masing botol hingga 7 hari. 5. Percobaan diulang sebanyak 16 kali. F. Persilangan P2 (F1 >< F1) 1. Apabila dari hasil persilangan P1 telah muncul pupa hitam (pada botol A, B, C, D), sebagian pupa diambil untuk diampul, tetapi pupa yang menetas dalam ampulan tetap dihitung sebagai hasil dari persilangan P1. 2. Disilangkan pupa yang yang telah menetas dengan prosedur 1-5 pada persilangan P1. 3. Hasil persilangan F2 diamati fenotip, jenis kelamin, dan rasio fenotipnya selama 7 hari. G. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan fenotip berdasarkan jenis kelamin pada hasil F1 dan F2 persilangan w♂ >< N♀ dan resiproknya selama tujuh hari. H. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik rekonstruksi kromosom kelamin pada masing-masing persilangan.

DAFTAR RUJUKAN

Borror, D. J., Triplehorn, C. A., & Johnson, N. F. 1989. An Introduction to The Study of Insects, Sixth edition. New York: Saunders College Publishing. Chyb, S., & Gompel, N. 2013. Atlas of Drosophila Morphology. China: Elsevier Inc. Corebima, A.D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press. Chumaisiah, N. 2002. Pengaruh Inbreeding Terhadap Viabilitas dan Fenotip Lalat Buah (Drosophila melanogaster M.) Tipe Liar dan Strain Sepia. Skripsi. Jember: FKIP UNEJ Jurusan Biologi. Elzinga, C., Lawrence, S. M., Leege, L. M., Heidemann, M. K., & Straney, D. O. 2007. Biological Sciences 110: Laboratory Manual. 12th Edition. USA: Hayden-McNeil Publishing, Inc. Gardner, E.J., Simmons, M.J. and Snustad, D.P. 1991. Principles of Genetics. 8th Edition. USA: John Wiley & Sons. Hotimah, H., Purwatiningsih, & Kartika Senjarini. 2017. Deskripsi Morfologi Drosophilla melanogaster Normal (Diptera: Drosophilidae), Strain Sepia dan Plum. Jurnal Ilmu Dasar. Vol. 18 No. 1, 55 – 60. Indayati, N. 1999. Pengaruh Umur Betina dan Macam Strain Jantan Terhadap Keberhasilan Kawin Kembali Individu Betina D. melanogaster. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Malang: FMIPA UM. Karmana, I. Wayan. 2010. Pengaruh Macam Strain dan Umur Betina Terhadap Jumlah Turunan Lalat Buah (Drosophila melanogaster). Jurnal Gane Ç Swara. Vol. 4 No.2. Klug, W. S., Cummings, M. R., Spencer, C. A., Palladino, M. A., & Killian, D. 2016. Concepts of Genetics, Eleventh edition. London: Pearson Education Limited. Milkman, R. D. 1965. THE Genetic Basis Of Natural Variation. Viii. Synthesis Of Cue Polygenic Combinations From Laboratory Strains of Drosophila melanogaster. New York.: Department of Zoology Syracuse Uniuersity, Syracuse. Parvathi, D. V., Amritha A. S, & Paul, S. 2009. Wonder Animal Model For Genetic Studies Drosophila Melanogaster –Its Life Cycle And Breeding Methods – A Review. Journal of Medicine. Vol. II, Issue 2. Ramadani, S. D., Corebima, A. D., & Zubaidah, S. 2016. WAKTU PERKEMBANGAN Drosophila melanogaster STRAIN Normal, white, DAN ebony PADA KONDISI LINGKUNGAN GELAP KONSTAN. Prosiding Seminar Nasional Biologi. Robert, B. 2012. Genetic Analysis dan Principles, fourth Edition. New York: McGrow-Hill.

.

Related Documents

Proposal Bab Ii Dan Iii.docx
December 2019 36
Bab Ii Proposal Napza.docx
November 2019 34
Bab Ii Proposal Skripsi
October 2019 36
Bab Ii Proposal Mail.docx
November 2019 29
Bab I Dan Bab Ii
December 2019 60

More Documents from ""