Profil Komoditas Tomat

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Profil Komoditas Tomat as PDF for free.

More details

  • Words: 21,122
  • Pages: 58
LAPORAN AKHIR

PROFIL KOMODITAS TOMAT

Witono Adiyoga Rachman Suherman T. Agoes Soetiarso Budi Jaya Bagus Kukuh Udiarto Rini Rosliani Darkam Mussadad

Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif The Participatory Development of Agricultural Technology Project (PAATP) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004

I.

Pendahuluan

Pada awalnya, nama latin untuk tanaman tomat adalah Solanum lycopersicum L. atau Lycopersicon lycopersicum L. Pada tahun 1768, Miller mengusulkan nama Lycopersicon esculentum Mill dan nama tersebut tetap digunakan sampai sekarang. Sistematika tanaman tomat menurut para ahli botani adalah sebagai berikut (Atheron dan Rudich, 1986; Purseglove, 1974) : a. b. c. d. e. f. g.

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Tubiflorae Famili : Solanaceae Genus : Lycopersicon Species : Lycopersicon esculentum Mill.

Seluruh anggota dari genus Lycopersicon merupakan tanaman setahun atau tanaman tahunan yang berumur pendek, tanaman berupa semak, diploid dengan kromosom somatis yang berjumlah 24 (Budijaya, 1997). Menurut sejarahnya tanaman tomat berasal dari Amerika, yaitu daerah Andean yang merupakan bagian dari negara-negara Bolivia, Chili, Colombia, Equador, dan Peru. Sejalan dengan penemuan benua Amerika, tanaman tomat juga kemudian dikenal di Eropa (Esquinas dan Alcasar, 1981 dikutip Purwati, 1997). Di Italia, tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang buahnya berwarna merah, sedangkan di Eropa dikenal sebagai tanaman yang buahnya berjumlah banyak. Tomat dapat dikategorikan sebagai tanaman sayuran utama yang semakin populer keberadaannya sejak abad terakhir. Bagian yang dikonsumsi dari tanaman tersebut adalah bagian buahnya. Selain memiliki rasa yang enak, buah tomat juga merupakan sumber vitamin A dan C yang sangat baik (Wener, 2000). Disamping itu, kandungan lycopenenya sangat berguna sebagai antioksidan yang dapat mencegah perkembangan penyakit kanker. Akhir-akhir ini konsumsi tomat di negara-negara maju semakin meningkat dan sering diasosiasikan sebagai luxurious crop. Contohnya, di Israel buah tomat merupakan komoditas yang sangat penting bagi konsumen, sehingga seringkali digunakan sebagai acuan dalam menghitung indeks harga konsumen. Di negara-negara sedang berkembang tomat sudah mulai menjadi sayuran yang penting, namun orientasi petani dalam mengusahakannya masih lebih mengacu pada peningkatan produksi dibandingkan dengan peningkatan kualitas.

II. Area, produksi dan produktivitas Data terakhir dari FAO (2002) menunjukkan bahwa produksi tomat dunia pada tahun 2002 mencapai 109 juta ton dan diusahakan pada luasan lahan sekitar 4 juta hektar (Tabel 1). Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa USA adalah negara produsen tomat terbesar di dunia dengan kontribusi sekitar 10%, diikuti oleh Turki dengan kontribusi sekitar 8%. Sedangkan kontribusi Indonesia terhadap produksi tomat dunia hanya sekitar 0,5%. Hal ini selain disebabkan oleh kecilnya areal pertanaman tomat juga oleh tingkat produktivitasnya yang relatif masih rendah.

1

Tabel 1

Dunia

Areal panen, produksi dan produktivitas tomat dunia serta lima negara penghasil terbesar. 1998

1999

2000

2001

2002

3 585 411

3 865 518

3 927 220

3 935 091

4 044 759

95 111 656

107 811 495

107 696 582

104 782 317

109 444 554

26,53

27,89

27,42

26,63

27,06

708 776

778 826

869 355

934 438

1 005 153

17 096 915

18 608 594

22 324 767

24 116 211

26 151 121

24,12

23,89

25,68

25,81

26,02

177 243

189 411

195 444

181 721

181 000

5 753 279

6 273 760

6 785 640

6 328 720

6 350 000

29,07

33,12

43,72

35,02

33,08

410 000

470 000

460 000

500 000

520 000

6 180 000

8 270 000

7 430 000

7 280 000

7 420 000

Y (t/ha)

15,07

17,59

16,15

14,56

14,27

A (ha)

46 845

46 259

45 215

43 118

41 227

547 257

562 406

593 392

483 991

451 956

11,68

12,18

13,12

11,22

10,96

200 000

220 000

225 000

225 000

225 000

8 290 000

8 956 000

8 890 000

8 425 000

9 000 000

41,45

40,71

39,51

37,44

40,00

170 640

195 540

167 050

161 510

176 730

10 009 000

13 310 800

11 558 800

10 001 720

12 266 810

58,65

68,38

69,19

61,93

69,41

A (ha) P (t) Y (t/ha)

China

A (ha) P (t) Y (t/ha)

Egypt.

A (ha) P (t) Y (t/ha)

India

A (ha) P (t)

Indonesia

P (t) Y (t/ha)

Turki

A (ha) P (t) Y (t/ha)

USA

A (ha) P (t) Y (t/ha)

Sumber: FAOSTAT

Beberapa hal berkaitan dengan ekonomi pembangunan yang diperkirakan berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi tomat adalah: (i) peningkatan pendapatan per kapita, (ii) urbanisasi, (iii) perbaikan sarana transportasi, dan (iv) penurunan harga relatif input/masukan produksi. Dalam konteks pembangunan ekonomi, hal-hal tersebut secara intrinsik erat kaitannya dengan ekspansi dan integrasi pasar. Sebenarnya hampir tidak mungkin untuk memprediksi secara akurat pengaruh pembangunan

2

ekonomi terhadap produksi tomat. Namun demikian, ada beberapa hal penting yang masih dapat digeneralisasi. Jika terjadi ekspansi pasar, pembelian input yang bersifat meningkatkan hasil (yieldincreasing inputs), misalnya pupuk dan pestisida, akan tetap memberikan keuntungan bagi usahatani. Ekspansi pasar juga membuka kemungkinan untuk spesialisasi produksi. Fenomena ini akan diikuti oleh meningkatnya jumlah petani kecil yang mengusahakan tomat secara padat-input (input-intensive) untuk dijual ke pasar. Di negara berkembang seperti Indonesia, jika produksi tomat dibatasi oleh kendala-kendala: kondisi pertumbuhan yang kurang cocok, teknologi yang tidak tepat-guna, harga input mahal, dan kecilnya peluang pasar, maka proses atau aktivitas pembangunan ekonomi diharapkan dapat menekan biaya produksi serta menstimulasi produksi dan konsumsi tomat. Generalisasi lainnya adalah pertumbuhan penduduk pedesaan yang mengakibatkan semakin sempitnya luas lahan garapan serta semakin tingginya harga tanah, cenderung dapat menstimulasi pengusahaan tanaman-tanaman berpotensi daya hasil tinggi (high-yielding crops) -- salah satu diantaranya adalah tomat. Selama periode penanaman 1998 – 2002 terjadi penurunan luas panen dari tahun ke tahun, kecuali di tahun 2002 (Tabel 2). Tahun 2002 peningkatan luas panen cukup besar yaitu sebesar 14,7 persen dibanding tahun sebelumnya dan merupakan luas panen terbesar pada periode 1998 – 2002. Pada tahun tersebut produkstivitas tomat mencapai angka tertinggi, yaitu 8 ton per hektar, sehingga produksi tomat nasionalpun mencapai angka tertinggi ( 396 208 ton). Tahun 2001 merupakan tahun dengan luas panen terendah yang juga diikuti dengan produktivitas terendah, kondisi tersebut mengakibatkan produksi tomat terendah terjadi di tahun tersebut. Tabel 2 Tahun

Produksi tomat di Indonesia, 1998-2002 Luas panen (ha)

Produksi (t)

Produktivitas (t/ha)

Persentase perubahan (%) Luas panen

Produksi

Produktivitas

1998

46 845

333 729

7,1

-

-

-

1999

46 259

330 338

7,1

- 1,25

- 1,02

0

2000

45 215

346 081

7,7

- 2,25

4,76

8,45

2001

43 118

289 198

6,7

- 4,64

-16,40

-12,98

2002

49 457

396 208

8,0

14,7

37,00

19,40

Sumber:

Survei Pertanian, BPS (berbagai tahun)

Berkaitan erat dengan tingkat adaptabilitasnya, pertanaman tomat di Indonesia tersebar terutama di daerah dataran tinggi. Tabel 3 menunjukkan perkembangan areal tanam dan produksi di beberapa propinsi penting penghasil tomat, serta data agregatnya. Berdasarkan data tersebut Propinsi Jawa barat merupakan sentra produksi terbesar di Indonesia dengan kontribusi sebesar 45 – 61 persen terhadap produksi nasional selama periode 1998 – 2002. Propinsi lainnya sebagai sentra produksi setelah Jawa Barat tercatat Sumatera Utara, Jawa Timur dan Bengkulu. Ditinjau dari produktivitasnya, hasil yang dicapai jauh di atas propinsi-propinsi lainnya, sebagai contoh pada tahun 2002 produktivitas tomat di Jawa Barat mencapai 22,22 ton per hektar, sementara propinsi lainnya berkisar antara 2-6 ton per hektar, angka tersebut masih jauh di atas produktivitas rata-rata nasional yang hanya mencapai 8 ton per hektar. Hal tersebut secara tidak langsung mencerminkan bahwa proses alih teknologi di sentra produksi Jawa Barat sudah lebih baik dibandingkan dengan propinsi lainnya.

3

Tabel 3 Propinsi Aceh

Areal panen (ha), produksi (ton) dan produktivitas (ton/ha) tomat, 1998-2002. 1998

1999

Area (ha) 1 652 1 596 Prod (t) 4 934 3 790 Prvt (t/ha) 3,0 2,4 Sumatera Utara Area (ha) 6 374 5 923 Prod (t) 97 120 71 344 Prvt (t/ha) 15,2 12,0 Sumatera Barat Area (ha) 1 208 1 640 Prod (t) 10 590 11 977 Prvt (t/ha) 8,8 7,3 Sumatera Selatan Area (ha) 2 479 1 623 Prod (t) 2 599 1 961 Prvt (t/ha) 1,1 1,2 Bengkulu Area (ha) 3 539 2 919 Prod (t) 15 023 14 828 Prvt (t/ha) 4,2 5,1 Lampung Area (ha) 1 853 1 573 Prod (t) 1 177 3 218 Prvt (t/ha) 0,6 2,0 Jawa Barat Area (ha) 10 592 11 888 Prod (t) 140 383 148 682 Prvt (t/ha) 13,3 12,5 Jawa Tengah Area (ha) 2 696 2 963 Prod (t) 9 581 16 011 Prvt (t/ha) 3,6 5,4 Jawa Timur Area (ha) 3 669 3 921 Prod (t) 16 610 16 903 Prvt (t/ha) 4,5 4,3 Sulawesi Tengah Area (ha) 1 301 1 316 Prod (t) 847 4 185 Prvt (t/ha) 0,7 3,2 Sulawesi Selatan Area (ha) 3 584 3 363 Prod (t) 14 663 16 715 Prvt (t/ha) 4,1 5,0 Total Area (ha) 38 897 38 725 Prod (t) 313 527 309 614 Prvt (t/ha) 8,06 7,99 Lainnya Area (ha) 7 948 7 534 Prod (t) 20 202 20 724 Prvt (t/ha) 2,54 2,75 Indonesia Area (ha) 46 845 46 259 Prod (t) 333 729 330 338 Prvt (t/ha) 7,1 7,1 Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura

2000 1 287 2 988 2,3 5 453 63 739 11,7 1 496 9 311 6,2 1 643 2 502 1,5 2 463 17 566 7,1 1 645 3 279 2,0 13 510 179 354 13,3 2 842 14 970 5,3 3 630 14 221 3,9 1 139 2 321 2,0 3 711 16 088 4,3 35 877 326 339 9,09 9 338 19 742 2,11 45 215 346 081 7,7

2001 1 231 3 446 2,8 5 752 18 491 3,2 1 381 5 606 4,1 1 261 2 043 1,6 1 585 7 954 5,0 1 831 4 907 2,7 11 512 164 872 14,3 2 144 8 864 4,1 3 438 13 227 3,8 1 095 221 0,2 2 499 11 442 4,6 33 729 241 073 7,14 9 389 48 125 5,12 43 118 289 198 6,7

2002 1 104 2 369 2,1 4 475 21 066 4,7 1 744 6 504 3,7 1 481 3 018 2,0 6 004 23 420 3,9 1 301 3 978 3,1 10 915 242 845 22,2 2 705 12 430 4,6 3 272 21 234 6,5 1 262 2 454 1,9 4 929 12 956 2,6 39 192 352 274 8,98 10 265 43 934 4,27 49 457 396 208 8,0

Indikator penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan status perkembangan komoditas tomat adalah kecepatan serta pola pertumbuhan produksi yang diperagakan oleh usahatani tomat. Disamping dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan yang bersifat konstan, menurun atau meningkat, indikator

4

ini juga dapat mengidentifikasi sumber atau faktor dominan penentu pertumbuhan -- peningkatan areal tanam, peningkatan hasil/produktivitas atau kombinasi peningkatan keduanya. Lebih jauh lagi, indikator tersebut dapat pula mengidentifikasi komponen-komponen serta sumber ketidak-stabilan produksi (Hazell, 1984). Analisis data tahunan produksi dan areal tanam tomat mencakup periode waktu 1969-1995 menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata produksi tomat di Indonesia cukup tinggi yaitu sekitar 12,63 % dengan pola pertumbuhan produksi yang bersifat meningkat dari tahun ke tahun (Adiyoga, 1999). Tingkat pertumbuhan produksi rata-rata tomat pada dasarnya dapat dipilah ke dalam pertumbuhan yang disebabkan oleh peningkatan areal tanam dan peningkatan produktivitas. Berdasarkan analisis data tahun 1969-1995 pertumbuhan produksi pada tanaman tomat terutama disebabkan oleh kontribusi peningkatan dari komponen areal tanam. Lebih jauh lagi, keragaman areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan produksi sayuran secara umum, dibandingkan dengan keragaman produktivitas. Pola pertumbuhan produksi yang didominasi oleh peningkatan areal tanam (kontribusi areal tanam lebih besar dibandingkan dengan kontribusi produktivitas), mengandung beberapa implikasi sebagai berikut: (a) strategi dan kegiatan/usaha yang berhubungan dengan inovasi teknologi/penelitian yang ada belum dapat memacu pola pertumbuhan produksi berbasis peningkatan produktivitas, atau program penyuluhan belum berjalan secara optimal, terutama dikaitkan dengan proses alih teknologi di tingkat petani, dan (b) peningkatan produksi dimungkinkan oleh adanya insentif akibat kebijakan pemerintah yang berasal dari subsidi terhadap harga masukan dan luaran, maupun penyediaan infrastruktur pemasaran yang ditujukan agar kebijakan harga tersebut secara operasional berjalan efektif, sehingga memungkinkan adanya kestabilan profitabilitas relatif dari komoditas yang diusahakan (Bisaliah, 1986). Indikator-indikator yang diperoleh dari hasil analisis, memberikan gambaran perlunya strategi pendekatan pengembangan yang lebih memberikan penekanan pada peningkatan akselerasi pertumbuhan produksi tomat berbasis peningkatan produktivitas atau inovasi teknologi. Sementara itu, variabilitas areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan produksi tomat selama periode 1969-1995, dibandingkan dengan variabilitas produktivitas. Hal ini mengindikasikan masih dominannya pengaruh berbagai faktor, misalnya profitabilitas tomat relatif terhadap komoditas sayuran lain, kendala ketersediaan lahan siap tanam secara kontinyu, kendala musim (iklim dan cuaca), dan respon produsen terhadap harga tomat yang bersifat fluktuatif, terhadap realisasi areal tanam. III. Konsumsi dan jenis pemanfaatan Buah tomat dapat dikonsumsi dalam keadaan segar sebagai pengganti buah-buahan atau digunakan sebagai pelengkap bumbu masak. Hasil survei terhadap 162 orang ibu rumah tangga (Tabel 4) memberikan informasi, bahwa umumnya rumah tangga sering mengkon-sumsi tomat baik dalam keadaan segar maupun untuk bumbu. Dilihat dari frekuensi konsumsinya, ternyata tomat merupakan bahan makanan yang cukup dikenal oleh konsumen rumah tangga, persentase rumah tangga yang jarang mengkonsumsi tomat sangat kecil. Kurang lebih 5–10 tahun yang lalu konsumen membedakan jenis tomat untuk konsumsi segar dan untuk pelengkap bumbu masak. Untuk konsumsi segar konsumen memilih jenis tomat apel dengan warna yang merah menarik, kulit tebal dan rasa lebih manis. Sementara untuk bumbu konsumen sering menggunakan jenis tomat sayur dengan warna kulit kuning/oranye, kulit tipis, kandungan biji lebih

5

banyak, serta rasa lebih asam. Namun dari hasil survei tersebut diperoleh informasi, bahwa saat ini konsumen tidak membedakan jenis tomat yang digunakan untuk konsumsi segar maupun untuk bumbu. Tabel 4

Pola konsumsi dan pembelian tomat di tingkat rumah tangga. Uraian

Persentase (%) Konsumsi segar Konsumsi bumbu

Frekuensi konsumsi •

Setiap hari



Satu minggu dua kali



Satu minggu sekali



Dua minggu sekali



Satu bulan sekali

14,81 45,06 24,07 6,17 5,55 4,34

• Lebih dari satu bulan sekali Tempat pembelian •

Supermarket



Pasat tradisional



Pedagang sayur keliling



Warung sayur

82,09 12,34 5,57 0 0 0 30,24 38,88 24,07 6,81

Sumber : Ameriana, 2004.

Di tingkat industri, buah tomat digunakan sebagai bahan baku untuk minuman segar seperti juice, bahan baku pasta dan bahan baku pembuatan pure tomat. Di tingkat konsumen rumah tangga atau lembaga, pasta tomat dapat digunakan untuk membuat berbagai jenis makanan. Konsumen rumah tangga mempunyai pilihan tempat pembelian buah tomat. Dari beberapa tempat penjualan yang ada di kota Bandung, ternyata yang paling banyak dipilih berturut-turut adalah pasar tradisional, supermarket, pedagang sayuran keliling dan warung sayur di sekitar kompleks perumahan. Data konsumsi tomat di Indonesia memberikan informasi mengenai konsumsi di daerah perkotaan dan pedesaan. Tabel 5 menggambarkan bahwa konsumsi rata-rata tomat per kapita per tahun bagi penduduk perkotaan cenderung lebih tinggi dari penduduk pedesaan. Walaupun kuantitasnya tidak terlalu besar, jumlah konsumsi rata-rata per tahun di daerah pedesaan menunjukkan adanya peningkatan, yaitu dari 0,90 kg per kapita di tahun 1993 menjadi 1,26 kg di tahun 2002. Sementara itu, perubahan konsumsi di daerah perkotaaan terlihat tidak konsisten. Secara umum, tingkat konsumsi tomat menunjukkan peningkatan sejalan dengan peningkatan tingkat pengeluaran seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 5

Konsumsi tomat perkotaan dan pedesaan Indonesia (kg/kapita/tahun) Tahun

Perkotaan

Pedesaan

1990

1,52

0,90

1993

1,88

0,95

1996

1,73

0,97

1999

1,66

1,05

2002

1,87

1,26

6

Table 6

Konsumsi kentang di perkotaan dan pedesaan berdasarkan tingkat pengeluaran

Tahun

Perkotaan

Pedesaan

Rendah

Sedang

Tinggi

1990

0,49

1,66

2,63

1993

0,54

2,01

1996

0,52

1999 2002 Sumber:

Rendah

Sedang

Tinggi

3,27

0,36

1,81

3,29

1,68

3,23

0,37

1,53

2,66

0,58

1,45

2,47

0,38

1,30

2,62

0,41

1,67

2,56

0,38

1,35

2,95

SUSENAS, BPS (berbagi tahun)

Keterangan: o Tingkat pengeluaran kelas rendah adalah sebesar < Rp 20 000 untuk 1990, < Rp. 20 000 untuk 1993, < Rp. 40 000 untuk 1996, < Rp. 80 000 untuk 1999 dan 2002 (kapita per bulan). o Tingkat pengeluaran kelas sedang/menengah adalah sebesar Rp. 20 000 – 99 999 untuk 1990, Rp. 30 000 – 99 999 untuk 1993, Rp. 40 000 – 149 999 untuk 1996, Rp. 80 000 – 199 999 untuk 1999 dan Rp. 80 000 – 199 999 untuk 2002 (kapita per bulan). o Tingkat pengeluaran kelas tinggi adalah sebesar > Rp.99 999 untuk 1990 dan 1993, > Rp. 149 999 untuk 1996, > Rp. 199 999 untuk 1999 dan 2002 (kapita per bulan).

Secara keseluruhan, konsumsi tomat domestik dihitung dengan menambahkan kuantitas impor dan mengurangkan kuantitas ekspor ke kuantitas produksi total. Tabel 7 memperli-hatkan bahwa konsumsi tomat domestik selama periode 1998 – 2002 perubahannya tidak konsisten dari tahun ke tahun, yang ditunjukkan oleh peningkatan dan penurunan kuantitas konsumsi. Penurunan konsumsi yang cukup besar terjadi di tahun 2001, pada tahun tersebut produksi domestik rendah namun tidak diikuti oleh kuantitas impor yang tinggi. Namun pada tahun berikutnya, konsumsi domestik meningkat cukup tajam, yaitu sebesar 36,12 %. Sedangkan dibandingkan dengan tahun 1998, konsumsi domestik di tahun 2002 meningkat sebesar 19,21 %. Tabel 7

Konsumsi domestik tomat tahunan di Indonesia (ton) Tahun

Produksi

Ekspor

Impor

Konsumsi domestik

1998

333 729

661

2 561

335 629

1999

330 338

2 480

410

328 268

2000

346 081

3 421

5 460

348 120

2001

289 198

408

5 130

293 920

2002

396 208

3 670

7 570

400 108

Source : BPS (berbagai tahun)

7

IV. Pemasaran, perdagangan dan standardisasi Seperti halnya pada komoditas sayuran lainnya, kegiatan pemasaran tomat bertujuan untuk memindahkan produk dari tangan produsen ke tangan konsumen. Pada umumnya kegiatan produksi berlangsung di daerah pedesaan, sementara daerah konsumen terletak di perkotaan. Hal ini memberikan gambaran besarnya kontribusi lembaga-lembaga pemasaran dalam menjembatani produsen dan konsumen. Hampir seluruh sektor pemasaran tomat ditangani oleh pihak swasta dan intervensi pemerintah dalam hal ini relatif minimal, khusus terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar tomat seringkali dianggap beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan. Dibandingkan komoditas sayuran lainnya seperti kentang, bawang merah dan bawang putih, tomat termasuk sayuran yang mudah rusak. Oleh karena itu jarang sekali petani tomat yang mempunyai gudang penyimpanan. Pada umumnya, petani menjual hasil produksi segera setelah panen. Cara penjualan tomat yang paling sering dilakukan oleh petani adalah dengan cara menimbang berat (kiloan) dan tebasan (Nurtika., dkk, 1992). Penjualan secara ditimbang dilakukan apabila panen telah selesai. Penentuan harga jual dilakukan berdasarkan harga kiloan yang berlaku. Hampir seluruh petani di sentra produksi Lembang dan Pangalengan menggu-nakan sistem penjualan tersebut. Tebasan merupakan cara penjualan yang dilakukan berdasarkan taksiran hasil produksi. Transaksi dilakukan menjelang panen, sedangkan biaya pemeliharaan selanjutnya dibebankan kepada pembeli. Sistem tebasan ini banyak dilakukan oleh petani tomat di daerah Garut Jawa Barat. Pasar dapat diartikan sebagai tempat terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Pengertian pasar di sini tidak selalu pasar tersebut berwujud bangunan fisik, tetapi cukup dicirikan dengan adanya kontak antara penjual dan pembeli. Pada umumnya jenis pasar tomat yang ada dapat dibedakan menjadi a) pasar pengumpul, b) pasar grosir/pasar besar, dan c) pasar eceran (Soetiarso, 1997). Pasar pengumpul tomat di beberapa sentra produksi seperti Pangalengan dan Lembang tidak mempunyai bangunan fisik sebagai tempat transaksi. Umumnya transaksi antara pedagang pengumpul dan petani dilakukan di kebun. Pasar besar/grosir biasanya terletak di berbagai daerah konsumsi di kota-kota besar, para pembeli di pasar grosir tersebut sebagian besar terdiri dari para pedagang pengecer. Pasar pengecer banyak terdapat di daerah konsumsi baik di kota besar maupun kota kecil. Dalam perkembangannya, pasar-pasar pengecer di kotakota besar dapat dibedakan menjadi pasar eceran tradisional dan pasar eceran moderen (super market). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kelas sosial konsumen di pasar eceran secara nyata berbeda dengan konsumen di pasar eceran moderen (Ameriana, 1994). Sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi (memisahkan/memilih tomat yang marketable dan non-marketable) dan grading (pada umumnya berdasarkan ukuran /berat tomat). Grading atau pengkelasan ternyata banyak memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun konsumen tomat, antara lain: 1) memudahkan pembeli untuk mendapatkan tomat sesuai dengan kualitas yang diinginkan, 2) dapat meningkatkan keperca-yaan konsumen, 3) memberikan kepuasan kepada konsumen, dan 4) bagi produsen dapat menamba nilai keuntungan yang cukup besar. Berdasarkan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI), grading pada komoditas tomat dapat dibedakan menjadi tiga kelas yaitu : - Kelas A : SPL = spesial besar besar (> 150 gram) - Kelas B : GH = menengah (100 – 150 gram) - Kelas C : TO = kecil (<100 gram) Secara umum harga tomat untuk masing-masing kelas berbeda, semakin tinggi kelas grading harga akan semakin mahal. Namun demikian, generalisasi hubungan harga antar kelas, sukar untuk ditetapkan, karena terlalu banyaknya kemungkinan kombinasi perubahan penawaran dan permintaan berdasarkan pengkelasan ini. Terlepas dari hal tersebut, sebagian besar petani dan pedagang mengindikasikan bahwa

8

perbedaan harga antar kelas secara peningkatan/penurunan harga tomat.

proporsional

meningkat/

menurun

sejalan

dengan

Beberapa tipe saluran pemasaran yang menggerakkan tomat dari sentra produksi ke daerah konsumsi adalah sebagai berikut: 1. Petani produsen -- Pedagang pengumpul – Konsumen lembaga 2. Petani Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang besar – Konsumen lembaga 3. Petani Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang besar -- Pedagang pengecer – Konsumen rumah tangga. 4. Petani Produsen -- Pedagang pengumpul – Pedagang besar – Pedagang besar pembantu -Pedagang pengecer – Konsumen rumah tangga. 5. Petani produsen – pedagang pengunpul – Pedagang besar – Pedagang besar pembantu – konsumen rumah tangga. Secara lebih spesifik, lembaga pemasaran yang ada di daerah sentra produksi Pangalengan dan Lembang Jawa Barat terdiri dari pedagang pengumpul (besar, sedang dan kecil) dan bandar. Jumlah untuk masing-masing kategori pedagang tercantum pada Tabel 8. Tabel 8

Lembaga pemasaran di daerah sentra produksi tomat Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Jawa Barat.

Sentra produksi

Besar

Pangalengan

7

7

21

35

7

Lembang

6

9

22

37

9

Pedagang pengumpul Sedang Kecil

Bandar Total

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Tahun 2003

Tomat yang dihasilkan dari kedua sentra produksi di atas sebagian besar diperuntukkan bagi konsumen di luar daerah sentra produksi. Sebagai contoh, tomat dari Kecamatan Pangalengan 30% diperuntukkan untuk konsumen di Jawa barat dan 70% untuk konsumen di luar propinsi dan ekspor. Umumnya pedagang pengumpul sedang dan besar merupakan perusahaan yang menampung hasil panen tomat langsung dari petani, kemudian melakukan kegiatan pengemasan dan bertindak sebagai pemasok (supplier) ke supermarket, hotel dan restoran. Sedangkan pedagang pengumpul kecil hanya menampung hasil dari petani dan menjualnya ke bandar, selanjutnya bandar membawa tomat tersebut ke pasar induk di daerah konsumen. Pedagang pengumpul dan bandar biasanya memiliki informasi paling lengkap mengenai perkembangan harga tomat di pasar-pasar perkotaan. Pedagang ini pada umumnya memiliki contact persons di pasarpasar tersebut. Berdasarkan informasi ini, para pedagang tersebut tidak saja dapat menentukan harga beli tomat dari petani, tetapi juga dapat memutuskan ke pasar mana tomat tersebut akan dijual. Petani sering mengeluhkan bahwa kemudahan bagi pedagang untuk mengakses informasi cenderung memperlemah posisi tawar petani. Dari catatan data ekspor tahun 1996–2002 (Tabel 9), Indonesia telah mengekspor komoditas tomat ke berbagai negara, dengan kuantitas yang bervariasi dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tersebut, ekspor tertinggi dicapai pada tahun 2001, yaitu sebesar 4 082 ton atau sekitar 1, 4% dari produksi domestik pada tahun bersangkutan. Ekspor tersebut terdiri dari tomat segar, tomat pasta, juice, saus

9

dan bentuk olahan tomat lainnya. Tomat segar tercatat paling banyak diekspor, sementara pasta tomat baru diekspor tahun 1999 dalam jumlah yang relatif kecil. Ekspor saus tomat tampaknya cukup prospektif, hal ini terlihat dari peningkatan jumlah ekspor dari tahun ke tahun yang cukup besar. Adapun negara-negara pengimpor tomat Indonesia secara tetap adalah Malaysia, Singapura, Hongkong dan Filipina. Sedangkan negara-negara yang juga mengimpor tomat Indonesia secara insidental, meliputi Brunei Darussalam, Italia, Jepang, Belgia, Taiwan, dan Spanyol. Tabel 9

Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Ekspor tomat Indonesia, 1996-2002

Total 3,463 1,340 0,661 2,481 3,421 4,080 3,670

Segar 3,450 1,262 0,580 1,730 2,420 2,350 1,120

Tahun

Total

Segar

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

1,024 0,410 0,131 1,070 1,477 1,949 2,247

Tahun

Total

Segar

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

295 306 198 431 431 477 612

292 269 155 260 285 240 303

1,010 0,340 0,091 0,452 0,690 0,560 0,344

Kuantitas (1000 t) Pasta/Pure Juice 0,0005 0,061 0,023

0,003 0,030 0,046 0,106 0,043 -

Nilai (juta US$) Pasta/Pure Juice 0,005 0,030 0,047

0,004 0,040 0,040 0,043 0,010 -

Harga (US$/t) Pasta/Pure Juice 10 000 491 2 043

1 333 1 333 869 430 350 -

Sauce 0,012 0,055 0,002 0,650 0,960 1,580 2,430

Sauce 0,010 0,032 0,001 0,550 0,760 1,321 1,790

Olahan lain 0,033 0,041 0,053 0,099

Olahan lain 0,022 0,027 0,029 0,070

Sauce

Olahan lain

1 381 578 512 846 792 835 740

666 658 547 707

Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk: Kode SITC 05440000 tomat segar 05672100 tomat segar dalam container hampa udara 05672900 tomat segar dalam container lainnya 05673190 tomat olahan lainnya dalam container hampa udara 09842100 tomat saus 09842900 tomat saus lainnya 05673110 tomat pasta atau tomat pure 05992100 tomat juice siap dikonsumsi 05992990 tomat juice bukan untuk eceran

10

Tabel 10

Impor tomat Indonesia, 1996 – 2002

Kuantitas (1000 t) Total

Segar

Pasta/Pure

Juice

Sauce

Olahan lain

1996

4,89

0,17

4,38

0,13

0,21

-

1997

9,02

5,44

3,02

0,11

0,45

0,066

1998

2,56

0,21

2,07

-

0,23

0,05

1999

0,41

0,24

-

0,17

-

-

2000

5,46

0,67

4,27

0,15

0,33

0,04

2001

5,13

0,38

4,01

0,18

0,45

0,11

2002

7,57

1,99

4,33

0,33

0,83

0,09

Segar

Pasta/Pure

Juice

Sauce

Olahan lain

Tahun

Tahun

Nilai (juta US$) Total

1996

4,56

0,28

3,87

0,12

0,29

-

1997

14,12

11,07

2,62

0,07

0,28

0,08

1998

1,86

0,16

1,54

-

0,12

0,05

1999

0,25

0,17

-

0,08

-

-

2000

5,42

2,29

2,60

0,08

0,09

0,09

2001

3,42

0,27

2,24

0,15

0,56

0,56

2002

3,85

0,72

2,63

0,15

0,08

0,08

Segar

Pasta/Pure

Juice

Sauce

Olahan lain -

Tahun

Harga (US$/t) Total

1996

932

1 647

883

923

1 380

1997

1 565

2 034

867

636

622

1 333

1998

730

762

744

-

521

1 000

1999

609

708

-

470

2000

992

3 417

608

533

1 090

2 250

2001

666

710

558

833

444

5 090

2002

508

361

607

454

289

888

-

-

Sumber: Biro Pusat Statistik (b), berbagai tahun. Impor sampai Agustus 2002. Impor termasuk: Kode SITC 05440000 tomat segar 05672100 tomat segar dalam container hampa udara 05672900 tomat segar dalam container lainnya 05673190 tomat olahan lainnya dalam container hampa udara 09842100 tomat saus 09842900 tomat saus lainnya 05673110 tomat pasta atau tomat pure 05992100 tomat juice siap dikonsumsi 05992990 tomat juice bukan untuk eceran

11

Kuantitas impor tomat yang tercantum pada Tabel 10, menunjukkan bahwa tomat dalam bentuk pasta relatif paling banyak diimpor. Pasta tomat tersebut paling banyak diimpor dari negara Turki dan Cina. Kualitas pasta dari kedua negara tersebut dianggap paling baik oleh industri saus tomat di Indonesia, terutama dalam hal warna dan kekentalannya. Namun pada tahun 1999 Indonesia tidak mengimpor pasta. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai tukar dollar pada saat itu sehingga harga pasta impor meningkat hampir tiga kali lipat. Keadaan tersebut berdampak pada industri-industri makanan yang menggunakan pasta tomat, sehingga beberapa diantaranya berhenti beroperasi. Seperti halnya pada ekspor, trend impor selama periode 1996-1996 tidak konsisten. Namun impor tertinggi terjadi pada tahun 1997 yaitu sebesar 9 020 ton yang didominasi oleh impor pasta tomat, sedangkan impor terendah terjadi di tahun 1999 yaitu hanya sebesar 410 ton. Untuk tomat segar dan olahan lainnya negara yang tercatat mengekspor tomat ke Indonesia adalah Malaysia, Australia, USA, Itali, United Kingdom dan Taiwan. Salah satu kebijaksanaan operasional pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian adalah pembinaan mutu dan standardisasi pertanian. Keberhasilan pengembangan pembinaan mutu dan standardisasi pertanian diharapkan akan mampu menunjang peningkat-an daya saing serta keberhasilan menembus pasar. Program pemerintah dalam pembinaan mutu hasil pertanian melalui program standardisasi dan akreditasi sejalan dengan tuntutan konsumen baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk dapat bersaing di pasar yang bebas dan kompetitif saat ini, komoditas pertanian yang dipasarkan harus benar-benar dapat menarik minat pembeli. Hal ini perlu ditanamkan terhadap pelaku agribisnis bahwa di dalam produk yang akan dipasarkan haruslah terdapat unsur jaminan kepastian mutu. Kepastian mutu ini hanya dapat diperoleh melalui penerapan standar. Pada awalnya standar ini hanya merupakan suatu tuntutan pasar, namun dalam perkembangannya, ternyata standar memberikan banyak sekali nilai tambah bagi petani yang menerapkannya, sehingga mulai dirasakan sebagai kebutuhan bagi petani. Dari aspek pertumbuhan dan pengembangan kegiatan/usaha agribisnis, penerapan SNI dapat memberikan manfaat: (a) mewujudkan tercapainya persaingan yang sehat dalam perda-gangan, (b) menunjang pelestarian lingkungan hidup, (c) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui sistematika dan pendekatan yang terorganisir pada pemastian mutu, (d) meningkatkan citra dan daya saing petani/pelaku agribisnis, (e) meningkatkan efisiensi di dalam berproduksi, dan (f) mengantisipasi tuntutan konsumen atas mutu produk dan tingkat persaingan usaha yang telah mengalami perubahan sehingga pelaku agribisnis dapat menanggapinya melalui pendekatan mutu, pengendalian mutu, pemastian mutu, manajemen mutu dan manajemen mutu terpadu. Sesuai dengan Keputusan Presiden nomor: 12 tahun 1991, standar yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia adalah Standar Nasional Indonesia, yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April 1994. Sebagai tindak lanjut penetapan Standar Nasional Indonesia, melalui Keputus-an Menteri Pertanian Nomor: 303/Kpts/OT.210/4/1994 tanggal 27 April 1994, Standar Nasio-nal Indonesia sektor pertanian adalah standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Standardisasi Nasional (yang sekarang menjadi Badan Standardisasi Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 13 tahun 1997) dan berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia. Tabel 11 menunjukkan daftar standarisasi untuk tomat segar yang telah ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia oleh Badan Standardisasi Nasional, dengan nomor sni 01-31621992.

12

Tabel 11

SNI 01-3162-1992 untuk tomat segar Karakteristik

Syarat

Keseragaman varietas

Mutu I

Mutu II

Seragam

Seragam

Organoleptik

Tua, tapi tidak terlalu matang dan tidak lunak

Organopleptik

Tua, tapi tidak terlalu matang dan tidak lunak

Tingkat ketuaan

Cara Pengujian

Ukuran

Seragam

Seragam

Konsep SP-SMP-309-1981

Kotoran

Tidak ada

Tidak ada

Organoleptik

Kerusakan. % (bobot/bobot) maks

5

10

Konsep SP-SMP-310-1981

Busuk, % (jumlah/jimlah) maks

1

1

Konsep SP-SMP-311-1981

Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa standarisasi buah tomat masih belum diterapkan pada pemasaran tomat, khususnya di tingkat domestik. Hal paling umum yang berlaku saat ini hanyalah sortasi antara buah tomat yang penampilannya baik dengan buah tomat yang rusak. Kadang-kadang para pedagang juga memisahkan antara buah yang berukuran besar dengan yang berukuran sedang/kecil. V.

Perkembangan harga dan indeks harga musiman

Harga berfungsi sebagai pengendali arah aktivitas ekonomi sayuran dan berperan sebagai rationing mechanism untuk suatu produk yang diproduksi pada suatu periode waktu serta menjadi barometer yang mengukur dimensi perilaku bekerjanya pasar sayuran. Berbagai faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan akan selalu berubah, sehingga jalur waktu harga sayuran akan selalu menunjukkan variasi. Pada kondisi persaingan, fluktuasi harga dapat disebabkan oleh pergeseran penawaran dan permintaan. Komparasi variabilitas harga di tingkat pasar yang berbeda dapat memberikan indikasi lokus instabilitas harga. Table 12 membandingkan variabilitas harga bulanan kentang, tomat, kubis dan siampo di tingkat sentra produksi dan tingkat grosir selama periode 19972001. Koefisien variasi harga tomat ternyata paling tinggi dibandingkan tiga komoditas lainnya di kedua tingkat pasar. Table 12

Komoditas

Variasi harga tomat di tingkat sentra produksi (Pangalengan) dan tingkat grosis (PIKJ), 1997-2001 Harga Rata-rata

Standar Deviasi Harga

Koefisien Variasi (%)

Sentra produksi

Grosir

Sentra produksi

Grosir

Sentra produksi

Grosir

Kentang

1 828,65

2 081,17

625,50

693,28

34,21

33,31

Tomat

1 048,53

1 455,33

617,72

753,89

58,91

51,80

Kubis

694,40

897,75

399,55

452,59

57,54

50,41

Siampo

450,35

616,25

199,34

213,60

44,26

34,66

13

Hal ini mengindikasikan bahwa harga tomat kurang stabil dibandingkan dengan harga kentang, kubis dan siampo. Sifat buah tomat yang mudah busuk, tampaknya memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap tingginya variasi harga. Besaran koefisien variasi harga kentang, tomat, kubis dan siampo di tingkat sentra produksi secara konsisten ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat grosir. Hal ini mengimplikasikan bahwa produsen harus menghadapi risiko harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang besar/grosir. Dari perspektif lain, hal ini konsisten dengan kondisi pasar persaingan sempurna dimana penawaran jangka pendek komoditas pertanian biasanya relatif inelastis jika dibandingkan dengan permintaan konsumen (Tomek and Robinson, 1981). Salah satu kunci sukses pemasaran sayuran adalah pemahaman utuh menyangkut pergerakan harga musiman suatu komoditas. Perkiraan pola harga musiman dari suatu komoditas dapat diduga dengan menghilangkan pengaruh trend dan menghitung harga rata-rata bulanan. Perkiraan pola harga musiman dapat terlihat dengan mengekspresikan rata-rata harga setiap bulan sebagai persentase dari rata-rata total harga dalam periode waktu tertentu. Tabel 13 menunjukkan pola harga musiman tomat di tingkat sentra produksi dan tingkat grosir dalam periode waktu 1997-2001. Untuk harga tomat di tingkat sentra produksi, pada bulan Juli, harga tomat rata-rata ternyata berada 53% di bawah harga rata-rata total selama periode1997-2001, sedangkan pada bulan Desember harga tomat rata-rata berada 36% di atas harga rata-rata total selama periode 1997-2001. Pola musiman yang sama ternyata juga berlaku untuk harga tomat di tingkat grosir. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode 19972001, harga tomat terendah terjadi pada bulan Juli, sedangkan harga tomat tertinggi tercapai pada bulan Desember. Tabel 13

Pola musiman harga tomat di tingkat sentra produksi (Pangalengan) dan tingkat grosir (PIKJ), 1997-2001 Bulan J

P

M

A

M

J

J

A

S

O

N

D

Tingkat Rata-rata harga bulanan (Rp/kg)

Sentra

495,0

448,0

736,2

697,0

778,4

528,8

274,2

284,8

369,0

366,4

649,4

948,0

Grosir

1058,2

1020,6

1350,6

1301,8

1425,2

1271,8

721,6

770,4

820,8

887,6

1259,0

1515,6

Rata-rata bulanan sebagai % dari rata-rata total a

Sentra

0,85

0,77

1,27

1,20

1,34

0,91

0,47

0,49

0,64

0,63

1,12

1,63

Grosir

0,95

0,91

1,21

1,16

1,27

1,14

0,65

0,69

0,73

0,79

1,13

1,35

a Dihitung dengan membagi setiap harga rata-rata bulanan dengan harga rata-rata bulanan total selama periode 1997-2001 (Rp. 579,96 pada tingkat sentra produksi dan Rp. 1 116,93 pada tingkat grosir)

14

VI.

Karakteristik tanaman, syarat tumbuh, sistem pengelolaan (budidaya), hama-penyakit Panen.

Karakteristik Tanaman Berdasarkan tipe pertumbuhannya, tanaman tomat dapat dibedakan ke dalam tipe determinate dan indeterminate (Budijaya, 1997). Tanaman tomat tipe determinate dicirikan dengan adanya tandan pada setiap ruas batangnya, misalnya pada kultivar Intan, Ratna, dan Berlian. Sedangkan pada tipe indeterminate, tandan bunga tidak terdapat pada setiap ruas batang serta pada ujung tanaman terdapat pucuk muda, contohnya pada kultivar Money maker, Gondol, Santa Cruz dan Kada. Bunga tanaman tomat berjenis kelamin dua, jumlah kelopaknya lima buah berwarna hijau dan lima buah mahkota bunganya berwarna kuning. Pada keadaan tertentu, putik dapat menonjol di atas kubah sehingga tidak terjadi penyerbukan sendiri. Pembuahan terjadi 96 jam setelah penyerbukan, dan buah masak 45 – 50 hari setelah pembuahan (AVRDC, 1979). Jumlah bunga yang terdapat pada setiap tandan bunga berbeda antar varietas, selain itu jumlah bunga pada setiap tandan juga berbeda. Buah tomat sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, warna, kekerasan, rasa dan kandungan bahan padatnya, hal ini juga sangat ditentukan oleh varietasnya. Syarat Tumbuh Tanaman tomat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi. Lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertanaman tomat meliputi lahan kering dan lahan bekas sawah. Temperatur yang baik untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah 210-280 C di siang hari dan 150-200 C di malam hari (Sutarya, dkk dikutip Nurtika dan Abidin, 1997). Secara umum tanaman tomat tidak memerlukan jenis tanah yang khusus untuk pertum-buhannya. Hal terpenting yang perlu dimiliki adalah kandungan lempung serta drainase yang baik (Hidayat, 1997). Derajat kemasaman tanah (pH tanah) yang diperlukan untuk pertanam-an tomat berkisar antara 5,5 sampai 6,5 sehingga tanah yang mempunyai pH tanah terlalu rendah perlu diberi kapur dolomit atau kaptan (CaCO3), yaitu 3 – 4 minggu sebelum tanam. Konsumsi air pada tomat mengikuti kurva sigmoid. Pada tanaman tomat yang masih muda kebutuhan air masih sedikit, meningkat sedikit demi sedikit pada saat tanaman berbunga dan mencapai tingkat maksimum pada fase pematangan buah. Untuk beberapa saat, konsumsi air stabil dan setelah itu terjadi penurunan kebutuhan air (Rudich dan Luchinsky, 1986). Tanggapan tanaman tomat terhadap unsur hara akan berkurang apabila temperatur udara dan substrat tidak sesuai dengan temperatur optimal yang diinginkan oleh tanaman. Temperatur yang rendah di sekitar tanaman, di bawah 130 C akan menghambat penyerapan unsur hara dan pertumbuhan tidak memberikan tanggapan terhadap unsur hara Nitrogen dan Kalium. Cahaya merupakan faktor yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman tomat, penyerap-an unsur hara juga dipengaruhi oleh cahaya. Penyerapan unsur hara yang maksimal oleh tanaman tomat tercapai apabila pencahayaan berlangsung selama 12 sampai 14 jam per hari, sedangkan intensitas cahaya yang dikehendaki adalah 0,25 mj/m2 per jam (Kuo., dkk. 1979l; Adams, 1979; Aung, 1979).

15

Tanaman tomat yang masih muda memerlukan kelembaban udara yang relatif tinggi (95%) dapat merangsang pertumbuhan. Namun demikian kelembaban yang relatif tinggi juga dapat merangsang pertumbuhan mikrroorganisme pengganggu tanaman. Sistem Pengelolaan (Budidaya) a. Persemaian Sebelum tanaman tomat ditanam di lapangan diperlukan penyemaian terlebih dahulu. Media persemaian terdiri dari campuran tanah + pupuk kandang steril dengan perbandingan 1 : 1. Tempat (persemaian diberi naungan) atap plastik bening agar benih tidak rusak karena hujan atau sinar matahari yang berlebihan. Atap menghadap ke arah timur agar tanaman mendapat sinar matahari yang cukup. Setelah tempat persemaian siap, benih disebar merata di atas media persemaian, kemudian ditutup dengan daun pisang. Untuk keperluan penyiraman, daun pisang dapat dibuka terlebih dahulu. Setelah lima hari daun penutup dibuka, bibit dipindahkan ke dalam bumbunan daun pisang yang berisi media tumbuh. Setelah berumur tiga minggu, tanaman dapat dipindahkan ke lapangan. b. Persiapan lahan Pengolahan tanah diperlukan bila kepadatan, kekuatan agregat dan aerasi tanah tidak dapat mendukung penyediaan air dan perkembangan akar tanaman. Sistem guludan tidak selalu diperlukan pada pertanaman tomat, khususnya pada lahan kering yang mempunyai struktur tanah remah. Teknik pertanaman dengan menggunakan guludan sangat baik dilakukan untuk penanaman di musim penghujan, karena drainase akan lebih baik. Cara bertanam tomat ada dua cara yaitu sistem bedengan dengan dua baris tanaman untuk setiap bedengan dan sistem guludan dengan satu baris tanaman. Cara bedengan umumnya dilakukan di daerah dataran rendah dan medium, sedangkan cara barisan tunggal biasa dilakukan di dataran tinggi. Setelah tanah dicangkul dan diratakan, dibuat guludan dengan lebar 60 cm atau bedengan dengan lebar 1,20 cm sampai 1,60 cm. Selanjutnya di atas guludan atau bedengan dibuat lubang tanaman sesuai dengan jarak tanam yaitu jarak lubang antar barisan 60 – 80 cm, jarak lubang dalam barisan 40 – 50 cm, sehingga diperoleh jarak tanam 60 cm x 50 cm atau 80 cm x 40 cm (Sutarya., dkk, 1995). c. Penanaman Pupuk kandang yang telah matang diberikan sebelum tanam dengan cara memasukkan ke setiap lubang tanam, kemudian pupuk buatan diberikan di atas pupuk kandang kemudian ditutup tanah. Pupuk kandang dan pupuk fosfor (TSP) diberikan sekaligus sebelum tanam bersama-sama dengan setengah dosis pupuk Nitrogen dan setengah dosis pupuk Kalium. Sedangkan setengah dosis pupuk Nitrogen dan Kalium sisanya diberikan setelah tanaman berumur 3 – 4 minggu, dengan cara ditugal. Bibit yang telah siap tanam dari pesemaian ditanam dalam lubang yang telah disediakan. Setelah berumur 3 minggu, tanaman diberi turus khususnya untuk tanaman indeterminate. Sedangkan pada tanaman tomat determinate biasanya tidak diberi turus.

16

d. Pemupukan -

-

-

-

Musim kemarau: pupuk kandang dosis 15 ton/ha ditambah pupuk buatan majemuk NPK 1515-15 sebanyak 600 kg/ha. Musim penghujan: pupuk kandang dosis 30 ton/ha dan NPK 15-15-15 sebanyak 1000 – 1200 kg/ha (Nurtika, 1984; Sutapradja, 1979). Penggunaan pupuk tunggal yang dianjurkan berkisar 100-180 kg N, 50 – 150 kg P2O5/ha dan 50 – 100 kg K2O/ha. Kisarannya akan semakin meningkat untuk penggunaan di musim penghujan (Sahat, 1989; Satsijati, 1980; Hilman dan Suwandi, 1989; Nurtika, 1992). Sumber pupuk Nitrogen yang paling baik adalah berasal dari ½ Urea + ½ ZA, sumber Fosfor berasal dari TSP dan sumber Kalium berasal dari KCl, ZK atau Kamas (Nurtika dan Sumarna, 1992; Nurtika dan Sumarni, 1992). Penanaman tomat di atas tanah yang berpH rendah, sebaiknya dilakukan pengapuran, yaitu dengan memberikan Dolomit sebanyak 1,5 ton/ha (Suwandi, 1982) atau CaO3 4 ton /ha (Nurtika dan Suwandi, 1992). Pupuk daun dapat diberikan dua minggu sekali, mulai tanaman berumur 3 - 7 minggu. Jenis pupuk daun yang dianjurkan diantaranya Bayfolan, Gandasil, Vegimax, Massmikro. Dalam aspek budidaya tanaman tomat, untuk mengatasi masalah fruitset penggunaan zat pengatur tumbuh Ergostim 1,0 ml/lt atau Atonik 1,5 ml/lt dapat meningkatkan hasil buah tomat sebesar 30% (Sumiati, 1990; Sumiati dan Hilman, 1990).

e. Pemangkasan Pemangkasan umumnya dilakukan terhadap tanaman tomat tipe indeterminate. Pembuangan tunas samping yang tidak produktif dilakukan secara rutin, dengan meninggalkan dua cabang utama, dan jumlah tandan 2 + 3 tandan atau 3 + 4 tandan. Sedangkan pertumbuhan tanaman ke atas dihentikan dengan memotong tunas pucuk apabila telah dicapai jumlah tandan buah yang diinginkan. f. Penggunaan mulsa Mulsa berguna untuk mereduksi evaporasi dan aliran permukaan, menjaga kelembaban tanah dan menekan pertumbuhan gulma. Disamping itu juga dapat menahan percikan air hujan yang deras, sehingga dapat menekan gugurnya bunga dan buah serta menekan kemungkinan timbulnya penyakit. Jenis mulsa yang dapat dipakai adalah mulsa jerami, mulsa plastik bening dan mulsa plastik hitam. Namun dalam perkembangannya mulsa plastik hitam paling banyak digunakan oleh petani. g. Budidaya Sistem Hidroponik Berbagai macam media tumbuh telah banyak dikembangkan dalam kultur hidroponik seperti pasir, kerikil, fertilite, vermekulite, dan rockwool (Marvel, 1974; Schippers, 1979; Jensen, 1990). Demikian juga berbagai formula larutan nutrisi standar telah dilaporkan memberikan hasil yang cukup baik, tetapi masih perlu dimodifikasi untuk mendapatkan larutan formula yang lebih efisien. Larutan nutrisi yang dapat digunakan dalam kultur agregat sistem hidroponik ada 2 macam: 1) Nutrisi standar dalam gram/liter : 0,49 MgSO4.7H2O 0,59 Ca(NO3 )2 .4H2 O 4,22 KNO3 2,66 Fe-EDTA 0,09 KH2PO4 0,154 MnSO4 0,18 CaCl2.H2O 0,008 CuSO4.5H2O

0,022 ZnCl2 0,286 ZnSO4.7H2O 0,286 H3BO3 0,003 NaMoO4.2H2O

17

2) Nutrisi modifikasi : Penggunaan larutan standar, namun unsur N dan K yaitu Ca(NO3)2.4H2O, KNO3 dan KH2PO4 diganti dengan pupuk 0,425 gr/lt Urea, 2,3 gr/lt KCl, dan 2 gr/lt ZA. Campuran media kuntang + pasir merupakan media tumbuh yang paling baik untuk pertumbuhan dan hasil buah tomat. Campuran ini lebih baik jika dibandingkan dengan pemakaian kuntang saja. Adapun yang dimaksud kuntang adalah sekam padi yang telah diarangkan (smoked rice husk). Dari penggunaan sistem hipdroponik tersebut menunjukkan, bahwa tanaman tomat dapat tumbuh dan menghasilkan buah dengan baik walaupun tanpa menggunakan tanah sebagai media tumbuhnya. Secara ringkas sistem budidaya tanaman tomat dapat di lihat pada Tabel 14. Tabel 14

Budidaya tanaman tomat. Jenis Pekerjaan

Lokasi Dataran tinggi (Jenis tanah Andosol)

Persiapan lahan : a. Tinggi guludan/bedengan b. Jarak tanam

Pemupukan : a. Kapur Dolomit (ton/ha) b. Pupuk kandang - kuda (ton/ha) - domba (ton/ha) c. Pupuk buatan -N (kg/ha) - P2O5 (kg/ha) - K2O (kg/ha) - NPK 15-15-15 (kg/ha) d. Pupuk daun Zat pengatur tumbuh (ZPT) : a. Atonik (ppm) b. Dharmasri (ppm) Pemeliharaan : a. Pemangkasan b. Turus c. Mulsa d. Naungan

Dataran rendah (Jenis tanah Latosol)

MH : 40 – 50 cm MK : 0 – 20 cm 50 x 70 cm

MH : 50 – 75 cm MK : 0 – 20 cm 40 x 50 cm 50 x 60 cm

1,5

4,0

MH : 30 MK : 15 30

30

100 100 50 MH : 1000 –2000 MK : 600 Massmikro

90 –135 100 – 135 50 – 100 Massmikro

1500 500

-

Tunas samping dan tunas pucuk dibuang, dibiarkan 2 cabang utama dan 5 tandan Menggunakan turus Mulsa plastik hitam Plastik bening

Tidak dipangkas Tidak menggunakan turus Mulsa plastik hitam Plastik bening

Sumber : Nurtika dan Abidin, 1997.

18

Hama dan Penyakit Walaupun belum ada data secara rinci dan lengkap mengenai kehilangan hasil tomat akibat serangan hama dan penyakit, tetapi kehilangan hasil tersebut ternyata cukup besar. Sebagai contoh, kehilangan hasil akibat serangan ulat buah (Helicoverpa armigera Hubn.) diperkirakan dapat mencapai 56% (Setiawati, 1990). Keadaan tersebut mendorong para peta-ni tomat melakukan upaya pengendalian secara preventif dengan menggunakan pestisida secara intensif. Hasil penelitian Ameriana (2004) menunjukkan, bahwa petani tomat di Lembang dan Pangalengan melakukan aplikasi penyemprotan pestisida sebanyak 21 – 25 kali per musim tanam, dengan konsentrasi di atas anjuran. Hal tersebut disebabkan karena menurut petani kegagalan panen yang diakibatkan serangan hama dan penyakit mempunyai probabilitas yang cukup tinggi. Jenis hama dan penyakit yang banyak menyerang tanaman tomat adalah sebagai berikut : Hama a. Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufn.) Gejala serangan: ditandai dengan terpotongnya tanaman pada pangkal batang, sehingga tanaman mati muda. b. Ulat buah (Helicoverpa armigera Hubn.) Gejala serangan: Larva H. amigera melubangi buah tomat. Buah tomat yang terserang busuk dan jatuh ke tanah. Kadang-kadang larva menyerang pucuk tanaman dan melubangi cabang-cabang tomat. c. Kutu kebul (Bemisia tabaci Genn.) Gejala serangan: Nimfa dan serangga dewasa mengisap cairan sel pada aun, merusak sel dan jaringan daun. Gejala serangan berupa bercak nekrotik. d. Ulat grayak (Spodoptera litura F.) Gejala serangan: Pada daun oleh larva instar satu dan dua berupa bercak-bercak putih menerawang. Serangan oleh larva dewasa menyebabkan daun berlubang-lubang. Gejala serangan pada buah ditandai dengan timbulnya lubang tidak beratuan. e. Penggorok daun (Liriomyza sp) Gejala serangan: kerusakan yang diakibatkan oleh larva Liriomyza sp dapat mengurangi kapasitas fotosintesa serta dapat menggugurkan daun pada tanaman muda. Di darah tropika tanaman yang terserang hama ini seperti terbakar. Penyakit a. Penyakit rebah kecambah (Rhizoctonia solani Kuhn.) Gejala serangan : tanaman tomat menjadi rebah, banyak terjadi pada saat pertanaman ada di pesemaian.

19

b. Penyakit bercak daun Septoria (Septoria lycopersici Speg.) Gejala serangan: terdapat bercak-bercak sirkuler (lingkaran) pada daun, batang dan petiol. Bercak ini biasanya berwarna ke abu-abuan dan dikelilingi warna hitam, bagian tengah bercak terdapat bintik hitam. c. Penyakit bercak daun (Alternaria solani Ell.) Gejala serangan: Terdapat bercak-bercak pada daun, batang dan buah tomat. Bentuk bercak sirkuler, berwarna coklat tua sampai hitam. d. Penyakit busuk daun (Phytophthora infestans (Mont) de Bary.) Gejala serangan: daun yang terserang penyakit ini menunjukkan bercak yang tidak beraturan, daunnya agak basah. Bercak bertambah lebar bilamana cuaca sangat lembab. Buah tomat yang terserang menunjukkan bercak-bercak berwarna coklat kehijauan, sedikit bergelombang an basah. e. Penyakit bulukan (Cladosporium fulvum Cke) Gejala serangan: daun tomat yang terserang menjadi “bulukan”, daun berwarna hijau kekuningan. f. Penyakit antraknos (Colletrichum coccodes Hughes.) Gejala serangan: Menyerang buah matang. Gejala awal tampak bercak-bercak kecil yang berbentuk bercak melingkar. Bercak dapat melebar sampai mencapai diameter 12 mm. Kadangkadang bercak yang satu bergabung dengan yang lainnya, sehingga menutupi seluruh permukaan buah yang terserang. g. Penyakit layu cendawan (Verticillium albo-atrum Reinke & Berth.) Gejala serangan: tanaman tomat yang terserang menjadi layu. Daun yang terserang menunjukkan warna kuning, berbentuk V dari bagian sisi daun. Tanaman yang terserang penyakit ini tidak langsung mati, tetapi daun-daun yang tua menjadi kuning dan mati. h. Penyakit layu fusarium (Fusarium oxyporum Schlecht.) Gejala serangan: tanaman tomat yang terserang penyakit ini menunjukkan layu dan kemudian mati. Fusarium menyerang akar tanaman pada bagian pembuluh kayu. i.

Penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum Smith.) Gejala serangan: daun-daun tanaman menjadi layu, yang dimulai dari pucuk daun. Tanaman tampak seolah-olah kekurangan air.

j.

Penyakit mosaik Penyebab: disebabkan oleh salah satu atau gabungan berbagai jenis virus seperti virus tomat mosaik (tomato mosaic virus = ToMV), virus mosaik tembakau (tobbaco mosaic virus = TMV), virus mosaik ketimun (cucumber mosaic virus = CMV), virus kentang Y (potato virus Y = PVY) dan virus X kentang (potato virus X = PVX).

20

Gejala serangan: Pertumbuhan tanaman relatif lebih kerdil. Daun tomat menjadi belang atau mosaik yang bervariasi antara hijau tua dan hijau muda atau hijau kekuningan. Gejala sering diikuti dengan perubahan bentuk daun menjadi lebih panjang, pendek atau menggembung seperti blister. k. Penyakit kuning dan daun menggulung (tomato yellow leaf curl virus = TYLCV). Gejala serangan: Tanaman yang terserang menjadi kerdil dengan arah cabang dan tangkai daun cenderung tegak. Anak daun kecil-kecil, mengjerut dan sering memperlihatkan bentuk cekungan pada pinggiran daunnya dengan atau tanpa warna kuning. Bunga dan buah sering tidak terbentuk, kalaupun ada buahnya jarang dan ukurannya kecil. l.

Penyakit bengkak akar (Meloidogyne incognita ) Gejala serangan: tanaman tomat yang terserang membentuk “gall” (benjolan-benjolan) pada silem akar-akar tanaman. Daunnya berwarna pucat, klorotik, pertumbuhannya merana serta diikuti matinya daun-daun tua.

Panen Tomat merupakan tanaman yang dipanen berkali-kali. Rata-rata pada satu kali pertanaman tomat dapat dipanen sebanyak 8 – 10 kali, namun jika pertumbuhan baik dapat mencapai 15 kali. Petani tomat membedakan tiga tingkat kematangan saat dipetik, yaitu hijau tua, merah muda (pecah warna) dan merah tua (Marpaung, 1997). Buah yang mencapai kemasakan hijau tua ditandai apabila warna gading mulai tampak pada ujung buah, di sekitar biji terdapat lendir licin, dan jika buah dipotong maka biji-biji tersebut akan menyamping (tidak terpotong). Cara lain untuk menentukan indeks panen adalah adalah dengan mengadakan perubahan fisiko-kimia yang terjadi selama proses pematangan buah yaitu berturut-turut: green mature, break, turning, pink, light red dan red. Perubahan kimia selama proses pematangan buah tomat terjadi pada : a. Warna: berubah dari hijau menjadi merah. b. Karbohidrat: dari pati menjadi gula. c. Asam organik semakin menurun. d. Level pembebasan asam amino meningkat diikuti kerusakan jaringan-jaringan sel. e. Aroma: tergantung pada perubahan enzim-enzim dan menurunnya kandungan bahan organik terlarut untuk kegiatan metabolisme. Buah tomat dapat dipanen dengan cara dipetik dengan tangan (cara tradisional), panen dilakukan secara periodik satu atau dua klai seminggu tergantung keadaan buah yang masak. Pascapanen 

Penyortiran dan Pengkelasan Setelah dipanen buah dipisahkan antara yang sehat dan buah yang sakit/rusak. Kemudian buah tomat dibersihkan cukup dengan menggunakan kain, agar tidak cepat busuk dan penampilan buah lebih menarik.



Penyimpanan Syarat penyimpanan buah tomat adalah bersih dan berventilasi untuk sirkulasi udara. Tomat yang dipetik pada stadia hijau masak (green mature) akan menjadi matang sempurna setelah 12 hari

21

penyimpanan pada suhu kamar (18o – 20o C) dan 29 hari pada suhu dingin (3o – 8o C). Buah tomat pada tingkat kemasakan stadia merah jambu dan merah tua dapat disimpan pada suhu lebih rendah. Ruang penyimpanan buah tomat membutuhkan kelembaban tinggi (RH + 90%). 

Pengemasan dan Pengangkutan Kemasan buah tomat terbuat dari bahan kayu, bambu, kardus, kantong plastik, dan karung. Untuk pengiriman jarak jauh biasanya digunakan kemasan peti (kayu, bambu) berventilasi udara, dengan kapasitas 10 – 50 kg/peti. Setelah dikemas buah tomat siap untuk diangkut ke tempat konsumen baik yang berjarak dekat maupun berjarak jauh. Pengangkutan dapat dilakukan dengan alat transportasi truk, kapal laut dan kapal udara.

VII. Residu Pestisida Dalam beberapa tahun terakhir masalah food safety (keamanan pangan) sudah menjadi masalah global terutama di negara-negara maju seperti Amerika dan negara-negara Eropa (Nyako dan Thompson, 1999; Govindasamy dan Italia, 1999). Kepedulian terhadap keamanan pangan pada pada produk segar di negara-negara maju juga diindikasikan oleh semakin berkembangnya teknik budidaya yang menghasilkan produk bersih seperti integrated pest management (IPM), LEISA serta pertanian organik. Hasil survei di Amerika Serikat menunjukkan adanya peningkatan volume penjualan produk bersih sebesar 20 – 30% selama tahun 90an, buah-buahan dan sayuran mencapai 45% dari total volume yang diperdagangkan (USDA, 2000). New Zealand telah mengekspor produk bersih secara rutin ke negara-negara Eropa dan Jepang (Saunders, 1999). Di Jepang kesadaran konsumen terhadap gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh makanan cenderung semakin meningkat dan ditunjukkan oleh adanya permintaan produk bersih sebesar 20% selam tahun 1990an. Buah tomat, berpeluang mengandung zat-zat kimia berbahaya bagi kesehatan manusia, Namun demikian hasil survei konsumen di Amerika Serikat menunjukkan, bahwa kandungan residu pestisida dipersepsi oleh konsumen sebagai zat kimia yang paling berbahaya (Waldrum., dkk. 1996). Residu pestisida memang tidak menimbulkan dampak negatif yang bersifat langsung terhadap manusia, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, diantaranya gangguan syaraf, kerusakan ginjal dan metabolisme enzim serta efek karsinogenik. Adanya residu pestisida pada buah tomat terutama diakibatkan oleh penggunaan pestisida yang berlebihan selama proses produksi. Metode pengendalian organisme pengganggu tumbuhan yang dilakukan oleh petani tomat adalah dengan menggunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida tersebut cenderung berlebih ditinjau dari jenis, komposisi, takaran, waktu dan interval penggunaannya. Sebagai kasus pada usahatani tomat, penggunaan pestisida di sentra produksi Pangalengan dan Lembang dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15

Penggunaan pestisida rata-rata pada usahatani tomat di dua sentra produksi, 2003. Jenis pestisida

Pangalengan (n = 68)

Lembang (n = 88)

Pestisida tepung (kg/ha)

54,13

55,30

Pestisida cair (ltr/ha)

9,92

9,17

Sumber : Ameriana 2004.

22

Di kedua sentra produksi tersebut tercatat sekitar 36 jenis pestisida tepung dan 40 jenis pestisida cair yang digunakan ada usahatani tomat. Namun jenis pestisida yang paling banyak digunakan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16

Jenis pestisida yang banyak digunakan oleh petani tomat di sentra produksi Pangalengan dan Lembang Tahun 2003.

Nama pestisida

Jenis bahan aktif

Daya kerja

Pangalengan (%, n=68)

Lembang (%, n=88)

Akrobat

Dimetomorf

Sistemik

58,82

2,72

Antracol

Propineb

Kontak

2,94

45,45

Daconil

Klorotalonil

Kontak

50,00

14,77

Dithane

Mankozeb

Kontak

20,58

76,04

Octanil

t.t

t.t

22,05

0

Pilaram

Maneb

Kontak

20,58

14,77

Ridomil

Metalaksil

Sistemik-kontak

5,88

20,45

Calicron

t.t

Kontak-lambung

25,00

7,95

Buldok

Betasiflutrin

Kontak-lambung

0

28,41

Curacron

Profenofos

Kontak-lambung

39,70

32,95

Cymbush

Sipermetrin

Kontak-lambung

42,65

2,27

Dursban

Klorpiripos

Kontak

0

31,81

Sumber : Ameriana 2004.

Pada prakteknya petani mencampurkan minimal dua jenis pestisida pada setiap aplikasi. Petani beranggapan bahwa pencampuran akan meningkatkan efisisiensi penggunaan pestisida baik dalam hal pengendalian OPT maupun tenagakerja. Namun demikian dikaitkan dengan kandungan bahan aktifnya, maka pencampuran tersebut dapat memberikan efek sinergistik, antagonistik atau netral (Matsumura, 1976). Akibat ketidak tahuan petani dalam melakukan pencampuran pestisida, sejumlah petani mencampur insektisida dengan insektisida sehingga dapat menurunkan daya racun pestisida tersebut (antagonistik). Hal tersebut dapat mendorong petani untuk meningkatkan dosis dan frekuensi penggunaan pestisida, karena petani merasa bahwa dosis yang telah diberikan kurang efektif. Dikaitkan dengan masalah keamanan pangan, tomat dapat dikatakan sebagai jenis sayuran yang cukup berisiko bagi kesehatan konsumen, karena buah yang dikonsumsi terkena penyemprotan pestisida secara langsung selama proses produksi. Observasi lapangan juga mengindikasikan bahwa penyemprotan menjelang panen masih sering dilakukan oleh petani. Tabel 17 berikut ini menyajikan data mengenai deteksi residu pestisida pada sampel buah tomat yang diperoleh dari beberapa lokasi dengan beberapa periode.

23

Tabel 17

Deteksi residu pestisida pada buah tomat dari berbagai tempat. Lokasi

Tahun deteksi

Insektisida

Fungisida

Metode

Swalayan Bogor

1994

0,00065 ppm

Ttd

Khromatografi

Pasar eceran Bogor

1994

0,00585 ppm

0,00595 ppm

Khromatografi

Petani Cisarua Lembang

1998

36,35 % *

32,52 %

Bio-assay

Petani Parongpong Lembang

1998

52,75 % *

36,29 %

Bio-assay

Pasar Induk Caringin Bandung

1998

61,17 % *

70,64 % *

Bio-assay

Pasar Induk Caringin Bandung

2002

66,69 % *

49,32 % *

Bio-assay

Pasar Induk Gedebage Bandung

2002

71,56 % *

< 50 %

Bio-assay

Swalayan Bandung

2002

64,83 % *

< 50 %

Bio-assay

Pasar eceran Bandung

2002

62,26 % *

< 50 %

Bio-assay

Keterangan : Angka yang diikuti oleh tanda * menunjukkan kandungan residu pestisida di atas ambang batas aman untuk dikonsumsi.

Tabel 17 memberikan informasi bahwa aplikasi pestisida yang dilakukan petani tomat meninggalkan residu pestisida, terutama insektisida, pada tingkat yang sudah dapat dikategorikan membahayakan kesehatan konsumen. Sebenarnya bahaya residu pestisida yang terkandung pada sayuran, khususnya tomat, sudah disadari oleh sebagian konsumen terutama konsumen dengan tingkat pendidikan minimal SLTA (Ameriana., dkk. 2000). Namun konsumen mendapat kesulitan dalam memilih buah tomat yang bebas residu pestisida, karena secara umum belum ada informasi khusus mengenai hal tersebut. Untuk meminimalkan risiko tersebut konsumen melakukan pencucian sebelum mengkonsumsinya, karena konsumen mempunyai keyakinan bahwa tindakan pencucian dapat menghilangkan kandungan residu pestisida. Sebagai konfirmasi dari keyakinan konsumen tersebut, maka dilakukan analisis kandungan residu terhadap sampel buah tomat yang diperoleh dari pasar grosir di Kota Bandung (Tabel 18). Deteksi residu pestisida dilakukan dengan menggunakan metode bio-assay. Metode tersebut secara kualitatif hanya dapat menentukan apakah tomat yang dideteksi layak dikonsumsi atau tidak, melalui indikasi nilai inhibisinya. Untuk insektisida maksimum inhibisi yang diperbolehkan adalah 25% sedangkan untuk fungisida 50%. Kedua inhibisi tersebut merupakan MRL (maksimum residue limit) masing-masing untuk insektisida ethyl bisdithiocarbamate, oragnofosfat piretroid, organochlorida dan insektisida yang bekerja menghambat acetil chalin serta golongan fungisida ethyl bisdithiocarbamate, organofosfat, organochlorida, triazole folfet, dan sebagainya. Tabel 18

Analisis Residu Pestisida pada Buah Tomat dengan Berbagai Perlakuan.

Perlakuan Tomat tanpa dicuci

Inhibisi Residu Pestisida Insektisida Fungisida (%) (%) 61,7 * 70,64*

Tomat dicuci dengan air

60,18 *

Tomat dicuci dan direbus

6,62

50,28* 18,41

Keterangan : Angka yang diikuti dengan tanda *, menunjukkan kandungan residu pestisida melebihi ambang batas toleransi.

24

Tabel 18 tersebut mengindikasikan, bahwa tindakan konsumen dalam mempersiapkan buah tomat sebelum dikonsumsi masih memberi peluang tertinggalnya residu pestisida, bahkan di atas ambang batas aman untuk dikonsumsi. Perlakuan pencucian hanya mampu menurunkan kadar pestisida sebesar 1 – 20,36%. Sementara itu, data pola konsumsi tomat memberikan informasi bahwa sekitar 40% dari konsumen yang diwawancara mengkonsumsi tomat dalam bentuk segar (tanpa dimasak). Hal tersebut menghadapkan konsumen tomat pada tingkat risiko kesehatan yang cukup tinggi. Walaupun tidak secara rutin, beberapa supermarket mulai memasarkan tomat bebas residu pestisida dengan harga yang lebih mahal, namun produk tersebut selalu habis terjual. Kondisi tersebut didukung oleh suatu studi yang mengkaji mengenai kesediaan konsumen untuk membayar premium bagi tomat aman residu pestisida (Tabel 19). Dari 162 orang responden yang diwawancara, 59,26% menyatakan bersedia untuk membayar premium bagi tomat aman residu pestisida. Artinya, seandainya tomat tanpa informasi mengenai kandungan residu pestisida dijual dengan harga Rp 2.000 per kg, mereka bersedia membayar lebih dari Rp 2.000 per kg untuk tomat dengan informasi aman residu pestisida. Adapun harga yang sanggup mereka bayar berkisar antara Rp 2.250 sampai Rp 6.000 per kg atau sekitar 12,50 sampai 200 persen lebih mahal dari tomat tanpa label. Namun demikian, dari sebarannya, harga premium yang paling banyak disanggupi oleh responden berkisar antara Rp 2.500 sampai Rp 3.000 per kg (81,24%). Tabel 19

Kesediaan konsumen untuk membayar premium bagi tomat berlabel aman residu pestisida (n = 162). Kesediaan konsumen

Persentase (%)

Bersedia membayar premium

59,26

Tidak bersedia membayar premium, alasan :

40,74

o Ketidak tahuan terhadap residu pestisida dan bahayanya o Ketidak yakinan terhadap kebenaran tomat berlabel o Keterbatasan finansial o Keyakinan residu pestisida dapat dihilangkan dengan pencucian Sumber : Ameriana (2004). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa tomat berlabel aman residu pestisida sudah mulai mempunyai segmen pasar tertentu, yaitu konsumen dengan karakteristik tingkat pendapatan sedang-tinggi, umur relatif muda, jumlah anggota keluarga sedikit, mempunyai tingkat kepedulian yang cukup terhadap residu pestisida, serta mempunyai keyakinan yang tinggi terhadap tomat aman residu pestisida. Namun demikian, di sisi lain pihak petani tomat masih enggan untuk mengurangi penggunaan pestisida. Hal tersebut disebabkan karena: 1) tingginya persepsi petani terhadap risiko kegagalan panen akibat pengurangan pestisida, 2) kultivar tomat yang beredar kurang tahan terhadap OPT, serta 3) masih rendahnya penge-tahuan petani terhadap bahaya residu pestisida, baik bagi produk yang dihasilkan maupun lingkungan.

25

Tabel 20

Harga premium yang sanggup dibayar oleh konsumen untuk tomat berlabel aman residu pestisida (n = 96)

Harga tanpa label aman residu pestisida : Rp 2 000/kg. Harga premium (Rp/kg) 2 250

Persentase premium (%/kg) 12,50

Frekuensi (orang) 2

Persentase (%) 2,08

2 500

25,00

51

53,12

3 000

50,00

27

28,12

3 500

75,00

6

6,25

4 000

100,00

7

7,31

5 000

150,00

2

2,08

6 000

200,00

1

1,04

Sumber : Ameriana (2004).

VIII. Analisis finansial usahatani •

Analisis finansial produksi tomat

Secara umum usahatani tomat dapat dikategorikan sebagai usaha yang bercorak komersial. Hal ini tercermin dari proporsi hasil panen yang sebagain besar diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan usahataninya, petani menempuh berbagai cara diantaranya dengan pengalokasian input produksi seefisien mungkin dan perkiraan/kalkulasi waktu tanam. Keberhasilan suatu usahatani dapat diukur melalui analisis finansial, yang merupakan perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan tingkat penerimaan yang diperoleh. Besarnya penerimaan sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi serta harga. Usahatani tomat ternyata juga dapat dikategorikan sebagai usahatani yang cukup berisiko, tercermin dari variabilitas hasil dan variabilitas harga yang cukup tinggi. Secara teoritis, setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari bidang usaha yang dipilihnya. Keuntungan maksimal dapat diperoleh dengan memini-malkan biaya produksi pada tingkat output tertentu, atau sebaliknya memaksimalkan ouput pada tingkat biaya produksi tertentu. Selain itu, keuntungan maksimal juga dapat diperoleh melalui substitusi faktor produksi yang satu dengan lainnya, sepanjang nilai yang dikeluarkan untuk input pengganti lebih kecil dibandingkan dengan nilai input yang digantikan (pada tingkat output yang sama). Pelaku ekonomi akan terus meningkatkan produksinya sepanjang penerimaan dari setiap unit ouput masih lebih besar dibandingkan dengan biaya produksinya (Colman and Young, 1989). Dalam pengambilan keputusan seperti di atas, pelaku ekonomi membutuhkan indikator kelayakan yang dapat diperoleh dari analisis biaya dan pendapatan (ABP). ABP dapat mencerminkan perencanaan fisik dan finansial operasionalisasi suatu usahatani pada periode waktu tertentu. ABP merupakan teknik sederhana yang paling banyak digunakan dalam analisis ekonomi untuk membantu pengelola dalam mengambil keputusan usahatani yang dapat memaksimalkan keuntungan (Dillon & Hardaker, 1980). Tabel 21 menyajikan data usahatani tomat di sentra produksi Pangalengan, dengan periode waktu yang berbeda. Dari data tersebut terlihat bahwa perbedaan hasil dan harga dari kedua usahatani

26

tersebut cukup mencolok, sehingga secara langsung mengakibatkan adanya perbedaan tingkat penerimaan. Selanjutnya dari Tabel 21 juga dapat dilihat bahwa komponen biaya pestisida mempunyai porsi yang paling besar. Hal ini secara tidak langsung mencerminkan masih tingginya ketergantungan petani terhadap cara pengendalian kimiawi. Pencegahan dan resiko kegagalan panen merupakan pertimbangan utama yang mendorong petani melakukan penyemprotan rutin dan bahkan pencampuran pestisida. Hasil penelitian Ameriana (2004) memberikan informasi bahwa keputusan petani dalam menggunakan pestisida kimia terutama disebabkan karena petani mempunyai persepsi, bahwa risiko kegagalan panen yang disebabkan oleh serangan hama penyakit sangat tinggi. Komponen biaya untuk sarana produksi di luar pestisida sekitar 36%, biaya pestisida berkisar antara 30 – 40%, biaya tenaga kerja sekitar 16% sedangkan biaya lain-lain antara 6 – 10%. Informasi inputoutput yang dihimpun pada Tabel 18 menunjukkan bahwa R/C rasio untuk kedua usahatani tersebut Tabel 21

Biaya produksi dan pendapatan usahatani tomat per hektar (Kasus pada usahatani di sentra produksi Pangalengan, Jawa Barat ).

Uraian A. Sarana Produksi Bibit Pupuk Organik Pupuk Buatan • NPK • ZA • SP-36 • KCl • PPC/GIARO  Mulsa plastik  Turus  Bambu Pestisida • Insektisida • Fungisida • Perekat B. Tenaga Kerja • Pengolahan tanah • Pemupukan • Pemasangan mulsa • Tanam • Penyiangan • Pemasangan turus • Pengikatan tomat • Pembuangan tunas • Pengangkutan • Panen dan pascapanen C. Lain-lain Sewa lahan Penyusutan alat Transportasi Biaya Total o Produktivitas (kg/ha) o Harga jual (Rp/kg) o Pendapatan kotor (Rp/ha) o Pendapatan bersih (Rp/ha) o R/C rasio

Tahun 2003 Nilai (Rp 000) 25 000 pohon 3 125 12 000 kg 2 400 Jumlah

850 kg

2 550

% 12,12 9,31

Tahun 2004 Nilai (Rp 000) 25 000 pohon 1 875 18 000 kg 3 600 Jumlah

% 5,7 11,03

9,89 500 kg 700 kg 300 kg 30 liter 10 golong 25 000 buah 20 batang

525 1 085 510 390 2 470 1 250 100

1,61 3,32 1,56 1,19 7,57 3,83 0,31

10 liter

100

0,39

25 000 buah

1 250

4,85

27 liter 95 kg 20 liter

2 700 4 750 400

10,47 18,43 1,55

45 liter 75 kg

4 320 8 625

13,24 26,43

198 hok

1 386 265 250 670 315 200 300 642,5 1 925

5,38 1,03

155 hok 65 hok 65 hok 55 hok 145 hok 50 hok 60 hok 60 hok 80 hok 265 hok

1 085 455 422,5 357,5 942,5 350 390 390 560 560

3,32 1,39 1,29 1,09 2,89 1,07 1,19 1,19 1,71 1,71

50 hok 110 hok 53 hok 40 hok 60 hok

0,97 2,59 1,22 0,77 1,16 2,49 7,46

2 100 8,18 250 0,97 200 0,77 25 778 100 25 000 kg 1 500 37 500 000 11 721 500 1,45

1 ha

1 875 5,84 250 0,76 250 0,76 32 637 100 48 500 kg 2 200 106 700 000 74 062 500 3,26

27

> 1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa usahatani tomat dengan alokasi input dan hasil panen yang dipoeroleh seperti yang tercantum pada Tabel 21 menguntungkan. Nilai R/C rasio untuk kedua usahatani tomat tersebut mengandung arti bahwa setiap satu rupiah dana yang diinvestasikan dapat memberikan tingkat pengembalian sebesar Rp 1,45 dan Rp 3,26 masing-masing untuk usahatani tahun 2003 dan 2004. Namun demikian, indikator tersebut perlu diinterpretasikan secara hati-hati, karena besaran nisbah penerimaan/biaya sangat sensitif terhadap perubahan harga (terutama harga luaran). Fluktuasi harga kentang seringkali menghadapkan petani pada tingkat harga di bawah titik impas, sehingga peluang mengalami kerugian yang secara eksplisit tidak tergambarkan pada Tabel 21 sebenarnya juga cukup tinggi. IX. Kegiatan penelitian Pemuliaan Penelitian pemuliaan dan plasma nutfah tomat periode 1980-2002 yang telah dipublikasikan sebanyak 31 artikel. Penjelasan mengenai penelitian pemuliaan tomat dibagi menjadi penelitian pemuliaan tomat (meliputi : persilangan, seleksi, introduksi, uji adaptasi, uji daya hasil dan uji resistensi); penelitian perbenihan tomat (meliputi : uji germinasi dan vigor, penelitian produksi benih dan penelitian kesehatan benih); serta plasma nutfah tomat (meliputi : evaluasi, koleksi dan karakterisasi plasma nutfah; eksplorasi, identifikasi dan pelestarian plasma nutfah). Lebih lanjut dijelaskan dalam bentuk tabel-tabel yang memperlihatkan sebaran topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem tempat penelitian pada masing-masing bidang pemuliaan tanaman. Beberapa catatan penting yang dapat ditarik adalah: 1. Persilangan tomat Penelitian persilangan tomat (4 artikel) banyak dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang saat yang tepat untuk melakukan persilangan adalah pagi hari (jam 07.00 – 11.00). Pengujian hasil persilangan biasanya dilakukan di lapangan. Berikut hasil kegiatan persilangan yang telah dilakukan hingga pelepasan varietas: • Persilangan tomat Monalbo x Venus didapat galur unggul No.240-9-1-6-21 yang merupakan hasil pemuliaan yang telah dilepas sebagai varietas unggul dengan nama Mutiara. • Persilangan tomat kultivar Ratna x Gondol hijau dengan cara satu benih keturunan diperoleh 6 galur tomat yang berproduksi tinggi, berkualitas buah baik dan tahan penyakit layu bakteri. • Pewarisan sifat tebal daging buah tomat dikendalikan banyak gen sesuai hasil pengujian persilangan Money Maker x Intan yang mempunyai tebal daging buah yang berbeda, selanjutnya nilai duga heritabilitas sifat tebal daging buah tomat nilainya rendah, artinya banyak faktor yang mempengaruhinya. • Pendugaan nilai pewarisan sifat jumlah rongga buah pada tomat melalui persilangan Money Maker (lokul 2-3) x Intan (lokul 3-8) adalah sedang, artinya seleksi tidak bisa dilakukan pada generasi awal. 2. Seleksi galur/varietas tomat Seleksi galur/varietas tomat ada 2 artikel dengan tujuan seleksi yang berbeda yaitu: • Seleksi 40 progeni tomat terhadap ketahanan penyakit layu dan berkualitas buah baik di dataran rendah menunjukkan progeni LV-762 dan PT-4165 mempunyai ketahanan yang sama

28



dengan varietas kontrol (Berlu). Selanjutnya 39 progeni yang diuji cocok untuk bahan baku tomat olahan. Seleksi 14 galur/varietas tomat terhadap kualitas buah menunjukkan F1 Precious dan F1 Dombito merupakan kualitas buah tomat yang terbaik (keras, kandungan bahan padat tinggi, daging buah tebal).

3. Introduksi galur/varietas tomat Introduksi galur/varietas tomat berasal dari banyak negara terutama AVRDC-Taiwan, Amerika, Jepang, Belanda dan Australia. Introduksi galur/varietas tomat yang telah dipublikasikan sebanyak 2 artikel. • Introduksi galur tomat asal AVRDC-Taiwan menunjukkan galur P3/0 memberikan hasil tertinggi (1,0 kg per tanaman) sedangkan yang terendah galur P4/4 (0,5 kg per tanaman). • Introduksi 28 galur tomat yang diuji di dataran tinggi menunjukkan bobot buah per tanaman yang tinggi di capai galur Roma VFN, Walter, Santa C.Kada, L4670 dan Gondol hijau sebagai galur terseleksi. 4. Uji adaptasi galur/varietas tomat Uji adaptasi galur/varietas tomat sebanyak 7 artikel yang dilaksanakan di dataran rendah dimana temperatur lingkungan tinggi, hal ini berhubungan dengan sifat tanaman tomat yang kurang tahan panas. Sehingga perlu dicari galur/varietas yang toleran terhadap panas. • Uji adaptasi 5 galur tomat di dataran rendah pada musim penghujan menunjukkan 3 galur harapan yaitu AV-22, AV-24 dan CL-647 dengan hasil masing-masing 12,3 t/ha, 10,8 t/ha dan 10,0 t/ha. • Uji adaptasi 3 varietas tomat di daerah aliran sungai Citandui-Ciamis menunjukkan varietas NTR memberikan hasil lebih tinggi (15,8 t/ha) dibandingkan Intan (11,9 t/ha) dan Ratna (11,7 t/ha). • Uji adaptasi 22 genotip tomat di dataran rendah menunjukkan hibrida PT-4225 memberikan hasil tertinggi (3,2 kg pertanaman) dibandingkan Intan (1,8 kg per tanaman). • Uji adaptasi 32 genotip tomat di dataran rendah menunjukkan hasil tertinggi hanya mencapai 0,6 kg per tanaman pada genotip CLN-65. • Uji adaptasi 37 genotip tomat di 2 lokasi dataran rendah menunjukkan lokasi Kramat menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan lokasi Subang. Di Kramat hasil bobot buah per tanaman berkisar 2,0-4,9 kg, sedangkan di Subang berkisar 0,2-2,1 kg. • Uji adaptasi varietas tomat pada musim kering di dataran rendah menunjukkan galur dengan hasil yang cukup tinggi yaitu CL 113 1 a (34,8 t/ha), SCL 4210 (32,9 t/ha), Berlu-6 (30,8 t/ha) dan CL 1131b (30,5 t/ha). • Uji adaptasi galur/varietas tomat pada agroekologi specific di Jawa Timur menunjukkan BPH96-16-02 dapat beradaptasi baik di Tulungagung (85 m dpl) maupun di batu (950 m dpl) dengan hasil mencapai 24,0 t/ha. 5. Uji daya hasil galur/varietas tomat • Uji daya hasil galur/varietas tomat sebanyak 1 artikel atau dalam pelaksanaannya sering kali dimasukkan dalam uji adaptasi. Sebenarnya uji daya hasil dilakukan pada multi lokasi sebelum pelepasan varietas. 6. Uji resistensi galur/varietas tomat Uji resistensi galur/varietas tomat sebanyak 6 artikel (4 artikel resistensi terhadap P. solanacearum, 1 artikel resistensi terhadap P. infestans dan 1artikel terhadap CMV). Penyakit

29

layu bakteri merupakan penyakit utama pada tomat baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah, sedangkan penyakit busuk daun juga merupakan penyakit utama pertanaman tomat di dataran tinggi. •





• • •

Uji resistensi 20 galur/varietas tomat di dataran tinggi menunjukkan galur/varietas Ratna, CL-32, Intan, AV-22 dan AV-15 tahan terhadap patogen P. seudomonas solanacearum penyebab penyakit layu bakteri pada tanaman tomat. Uji resistensi 6 kultivar tomat di dataran tinggi menunjukkan kultivar Intan dan Ratna tahan terhadap patogen P. solanacearum penyebab penyakit layu dibandingkan Money Maker dan No. 829 termasuk toleran serta Gondol dan Monalbo termasuk peka. Uji resistensi 20 varietas tomat di dataran tinggi menunjukkan tidak ada varietas yang tahan terhadap patogen Phytophthora infestans. Selanjutnya makin tua umur tanaman makin rentan terhadap P. infestans. Uji resistensi 33 genotip tomat di dataran tinggi menunjukkan tidak ada genotip yang tahan terhadap CMV, tetapi genotip PT-4172, PT-3027 dan Alcobaca termasuk yang agak tahan. Uji resistensi 14 genotip tomat terhadap P. solanacearum menunjukkan reaksi moderat tahan yaitu genotip VC 48-1, PT 862, CL 1904 dan Berlian. Skrining resistensi 14 genotip tomat terhadap P. solanacearum menunjukkan reaksi tahan adalah genotip Intan (LV 456), Marikit (LV 670), Apel Tasik (LV 1092), Lokal Oedipus (LV 1962), Lokal Kelang (LV 2099) dan Lokal PB (LV 2100).

Tabel 22 Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian pemuliaan tanaman periode 1980-2002. No.

Topik

1.

Persilangan

2.

Pewarisan sifat Seleksi

Jumlah Artikel 4

2

1 (BW dan FQ)

Varietas Monalbo x Venus; Gemet x Venus; Ratna x HBWR; Intan x HBWR; Money M., x Intan Money Maker; Maascross; Pomadoro; Amerika w; Master; Mikado red; Marglobe; Camp-2; Dantobi; Akatsuki; Eiko; Mikado p; Gecci birce CLN 466; HBWR; CLN 475; CLN 456; CLN 657 a; CLN 657 b; CLN 698 a; CLN 698 b PT 4026; PT 4056; PT 4071; PT 4098; PT 4110; PT 4121; PT 4165; PT 4172; LV 2099; LV 2100; TW 305; LV 762; 8 No.IG F4; 3 No.IGIF3; CL 1131; CL 5915; CR 4210; Berlu ; TN Sel-2; NTR; LV 2101; Peto 86; Red river; Tio Grande; Roma VFN; Royal chico; Monterey; Calipso; Walter; Veepro; Bonny vee; Rocket; Tamu chico; Santa C.K; L 96; L 4670; L 4017; L 4093 L 4094; L 4095; L 4092 ; CL 2731; CL 2815; RS 1298; RS

Asal Balithort

Ekosistem DT (4)

Balithort DT (2)

DT (1)

30

FQ (1)

3.

Introduksi

2

4.

Uji adaptasi

7

1

5.

Uji daya hasil

1

6.

Uji resistensi

4 (BW)

I (P.i)

1301; CL 1405; L 187; Gondol hj., Gecci birce, Sun fast Akafuku; Camp 4; Camp 8; Marter 2; Monresist; Camp 1; Geraldton; Super mark; Bonset Pusa; Indian; River; Extase F1 Counter; LSU 34; LSU 42; Geraldton; LSU 40; PT 858; Gondol pth. Santa C.K; Money M; Gondol Hj; Tn.sel.2; F1 Precious; F1 Dombito; Money M; Maascross; Pomadoro; Amerika w.; Gondol ; Geraldton; Monalbo; Monresist; Rostaro Intan; Ratna; NTR; AV-24; No. 3378; No. 4210; Intan; CL1094; CL-555; Int x Venus; Int x Ohio; Ohio Int; CL-647 a; CL647 b; CL-32 d; No. 7796; Intan 22 B; MR 227 B; GEMI MOBW; MOR, GR CLN 475; LV-2099; LV-2100; LV-762; IG-47; CL-1131 LV-2471; LV-459; LV-1283; F1FMTT 3; F1FMTT 22; F1FMTT 95; F1FMTT 13; F1PT3027; F1PT4121; F1PT4225; Tnsel-2; Peto-86 Intan, Ratna, Berlian CL-143; CL-1131a; CL-1131 b; CL-5915 a; CL-5915 b; CLN-65 CLN-698; CLN-475; LV-2009; CL-657; CL-5915 c; CL-5915 d; CLN-657; LV-3465; TN-2; FMTT 95; FMTT 22; FMTT 33; FMTT 3 FMTT 138; CLN-475; PT-4172; PT-4121; PT-4225; TN Sel-2 Peto-86; LV-2471; Intan, Ratna, Berlian; 16-4-7-4-0; LV2894 Berlian; GH-4; Berlu 6; SCL 4210; LG 154; LG 153; CL 5915; CL 1131 a; CL 1131 b; CLN 95 Money M; Maascross; Extase; Jupiter; Surprise; Monresist; Exgros; Indian; River Intan, CL-32, Ratna. AV-22, AV-15,Apel Belgi. Monresist, Venus, Geraldton, Bonset, Rostaro, Monalbo, Gondol hj., Money M., Basket vee, Tpset RR, Marvel, Swift 367, F197 TM, Lucy TM. Gondol, ratna, Intan, Money M, Monalbo, No. 829 Monterey, Walter, Bony vee, Tamu chico, Santa C.K.,

DT (2)

DR (7)

DR (1)

DR

DT (4)

DT (1)

31

1 (CMV)

Paceseter a; ; Paceseter b; Paceseter c; Paceseter d; Paceseter e; VC82; XP994; Ranti ; L 1197 a; L1197 b; VF 145 B; LG10; No. 29; No. 30; Monalbo; Geraldton; Gondol; West; Verg; Money M. CLN-698; CLN-475; PT-4026; PT-4121; PT-4172; PT-4225; PT-3027; TN-2; UC-82; PETO-; 6; CLN-65; CLN-145; CL-1131 ; CL-1131 b; CL-591 a CL-591 b; ; CL-591 c; CLN657 a; CLN-657 b; FMTT-3; FMTT-33; FMTT-95; FMTT-; 38; CLN-466; LV0762; Gondol ; th; Geraldton; Monalbo; Money M; Santa C.K; Ranti; Alcobaca VC-48-1; PT-862; CL-1904; Berlian ; AV-24; Ranta, CL ; 094, CL32, Intan, HBWR; Gondol pth, CL 555,; Geraldton; Monalbo

DT (1)

7. Pembenihan Tomat Perbanyakan tanaman tomat pada umumnya dilakukan secara generatif melalui biji. Penelitian perbenihan tanaman tomat tercatat sebanyak 6 artikel meliputi : 7.1.

Penelitian germinasi dan vigor benih 7.1.1. 7.1.2.

7.2.

Penelitian produksi benih tomat 7.2.1. 7.2.2. 7.2.3.

7.3.

Penelitian germinasi dan vigor benih tomat menurun dengan bertambahnya konsentrasi garam NaCl. Tingkat kematangan buah tomat memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya kecambah benih. Tingkat kematangan buah 60-90% merah memberikan kualitas benih yang terbaik.

Penelitian produksi benih pada 5 kultivar tomat menghasilkan bobot benih per kg buah berkisar 3,0 – 5,6 g. Penerapan teknologi produksi benih hibrida tomat secara tepat dapat menghasilkan benih mencapai 210 kg per ha. Ukuran benih tomat dengan diameter 3,4 mm menghasilkan pertumbuhan dan hasil buah tomat yang lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil.

Penelitian kesehatan benih 7.3.1. Penelitian kesehatan benih terhadap ToMV pada 9 galur/varietas tanaman tomat tercatat 1 artikel dimana penyakit ToMV termasuk penyakit tular benih yang disembarking oleh virus dan sebagai perantaranya sejenis serangga kutu Aphid atau Mite.

32

Tabel 23. Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian perennial tanaman periode 1980-2000. No.

Topik

Jumlah Artikel

Varietas

1.

Germinasi dan Vigor

2

2.

Produksi benih

3

3.

Kesehatan benih

Intan Gondol Intan, Ratna, Berlian, Mutiara, Gondol Hj. Santa C.K., PT-3027, FMTT33, LV-459, LV-2471, CL1131, R-2008, CLN-465, FMTT-95

1 (ToMV)

Asal

Ekosistem

Balithort Balithort Balithort

DT (2) DT (3)

Balithort

DT (1)

Plasma nutfah 1. Evaluasi, koleksi dan karakterisasi plasma nutfah tomat Evaluasi, koleksi dan karakterisasi plasma nutfah tomat tercatat 2 artikel. Evaluasi 122 genotip tomat koleksi Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang terhadap sifat morfologis tanaman, daya hasil, kualitas buah dan ketahanan terhadap patogen Pseudomonas solanacearum penyebab layu bakteri pada tanaman tomat.



2. Eksplorasi dan pelestarian plasma nutfah tomat Eksplorasi dan identifikasi galur/varietas tomat yang paling banyak ditanam petani di dataran tinggi Lembang sampai tahun 1990an yaitu F1 Tomato 375 (Precious), F1 Farmers 209, F1 Kingkong, Gondol hijau, gondol putih dan NTR.



Tabel 24. Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian plasma nutfah tanaman tomat periode 1980-2000. No.

1.

Topik

Evaluasi nutfah

Jumlah Artikel plasma

2

Varietas

Asal

Hessoline

Perancis

Pieraline; Rossol ; Floralou; No. 7992; Hawaii ; BWN 15D; FPSPBK; Hawaii 199; HBWR; Souce Bowl; Walter Duncan; Kewalo; Tropic a; BWN-21; Rutgers; Floradade ; ; Niagara 303; Blazer hy; Pacesetter a; Pacesetter b; Pacesetter c; Pacesetter d; Pacesetter e; IRB 301; XP ; 94; Peto 80; Peto 96; Red ; iver; Rio grande; Duke hy; Seed Count; Royal chico; Hypeel; Caribe; Tropic b;

Florida-AS Hawaii-AS

Ekosistem

DT (2)

Niagara-AS Asgrow-AS Peto-AS Takii-Japan

33

2.

Eksplorasi identifikasi

dan

1

Petomech; Market Q; Top forcer Marvel; Pink Saturn; No. ; 9BH; UHN 52; UHN 63; UHN ; 5; Mikado; Mikado red; Floradade b; Tropic c; Burnly ; Burnly Gen; Duke hy; UC 34; Topzet ; Lucy; Vemone; Tropic ace; Vanguard; L 1; L 15; L 96; L 127; L 187; L 285; L 365; L 366; L 1197; L 1714; L 4081; L 4092; L 4094; L ; 095; L 4670; L 4728; CL 9; CL11 p; CL11d-64; CL11d65; CL11d-66; CL143-; CL170-; CL551-; CL607-; CL847-; CL 1094-; CL1104-; CL1131-; CL1561-; CL1591-; ; CL1591-b; CL1591-c; CL2729-; CL2731-; CL2749-; CL2784-; CL2797-; CL2815-; CL1405-; CL1430 Yc-4; Ip2UKM; Bonset ; Gondol pth.; Gondol hj.; Intan; Money M.; Alcobaca; Geraldton; Monalbo; AV15; Cherry pink; Berastagi; Large ; ruit; Pimpinelifoli; Garut; Wild tomato; Apel Belgi; Rostaro; Gemet; No. 3027; No. 1804FP; VF105-2; TW; LG154; Lawdrace; Csikos B.; Astragale; Mewa; Zorta; LG153 a; LG153 b; Ratna; Gondol F1 Precious; F1 Farmers; F1 Kingkong; Gondol hj.; Gondol pth; NTR

Mikado-Jpn Yates-Austr Belanda KY-Taiwan AVRDC Lokal-Jabar Balithort Belanda Brazil Australia Belanda AVRDC Lokal-sumu Lokal-Jabar Sumatra Lokal-Jabar Lokal –Jabar Lokal-Jabar Australia Taiwan Lembang Peru Hongaria Polandia Belanda Balithort Lokal-Jabar

Known-You

DT (1)

Agronomi Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari penelitian agronomi (Tabel 25) adalah : •

Topik penelitian pemupukan porsinya di atas 50 %



Jenis kultivar yang digunakan pada penelitian agronomi adalah Berlian (18), Gondol (12) dan Intan (11).



Ekosistem yang digunakan untuk penelitian tomat adalah dataran tinggi (29), dataran mdium (6), rumah kasa (3), dan dataran rendah (13).

34

Tabel 25.

Topik, Kultivar dan Ekosistem Penelitian Agronomi 1982 – 2002.

No

Topik

1.

Penggunaan pupuk tunggal N

Jumlah artikel 2

2.

Penggunaan pupuk tunggal P

1

3.

Penggunaan pupuk tunggal K

1

4.

Penggunaan pupuk N + P

5.

Kultivar Gondol hijau, Berlian AVRDC

Ekosistem

Sumber

dt, dm

BPH 20 (4), 1991; 21(1),1991

Taiwan

BPH 16(2), 1988

-

dt

BPH 22(1), 1992

2

Gondol, Berlian

dt, dr

Penggunaan pupuk N + K

1

TW

6.

Penggunaan pupuk majemuk

2

7.

Penggunaan pupuk N+P+K

2

Mutiara (2), GH2 Gondol, TW,Intan, Berlian, Mutiara, NTR

8.

Residu Mg

1

Intan

9.

Penggunaan pupuk daun dan ZPT

11

Gondol (4), Moneymaker (2(, TW (2), Berlian (3)

dr (5),dt(6), dm Sumsel, Bogor

BPH 10(3),1983; 11(2),1984;15(1), (2), 1987; 17(4), 1989; 19(2),1990; 23(3),(4), 1992; 26(1), 1993; 27(3),1995; J,Hort. 11(1),2001.

10.

Penggunaan pupuk organik

10

Mutiara (3), Berlian (2), Intan, TW375(2), Gondol (3)

dt(5), dr(3), dm

BPH 18(2), 1989;19(1),(3),20(1), 1990; 21(2), 1991;21(3),22(4), 23(3),24(2),1992; J.Hort.8(1),1998.

11.

Perlakuan pengapuran

2

Berlian

12.

Perlakuan pemangkasan

1

Gondol, Intan

dt

13.

Perlakuan kerapatan tanaman

2

dt,dr

BPH 16(2),1988;26(4),1994

14.

Perlakuan pengairan

1

Berlian, FMT22 Berlian

dt,dr

BPH 19(1),1990

15.

Perlakuan cara tanam

10

dt(4),dm,dr

16.

Hidroponik

4

Berlian (6), Intan, Ratna,NTR,Go ndol, Moneymaker. Cherysitha (2),Berlian, Gondol

17.

Perlakuan gulma

1

Intan

dt

BPH 23(3), 1992; J.Hort 6(3), 1996. BPH 23(3), 1992

dt, rk, rm

BPH 16(2), 1988;18(4), 1989

dt, dr

BPH 18 (EK.1), 20(1), 1990

dt

dt, dr

dt(3),Rk

dm

BPH 11(2), 1984

BPH 9(4),1982; 22(4),1992; BPH 15(1), 1987

BPH 15(2),1987; 17(4), 18(1)18(2),198918 LHP 1990/1991

BPH 10(2),1983; 27(2),1995;J.Hort.6(2),1996;LHP 1993/1994 BPH 26(2),1994

TOTAL 54 Keterangan : BPH = Buletin Penelitian Hortikultura, LHP = Laporan hasil Penelitian J.Hort = Jurnal Hortikultura.

35

Hasil penelitian agronomi per topik sampai dengan tahun anggaran 2002 adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan pupuk N 1.1. Gondol Hijau, dt, Cipanas, mh: • Penggunaan pupuk Chilean Nitrat sampai taraf 50% nitrogen memberikan hasil tomat sebaik pupuk Urea dengan taraf 100% nitrogen 1.2. Berlian, dm, Cicalengka, mk: • Pupuk Chilean Nitrat sampai 1000 kg/ha dapat meningkatkan hasil buah tomat paling tinggi (22,876 ton/ha) dan nyata peningkatannya dari kontrol (Urea, TSP + KCl) 2. Penggunaan pupuk P 2.1. CL 5915-153, Taiwan, rk: • Kandungan P daun, serapan P total dan serapan N total meningkat sejalan dengan peningkatan dosis P (0, 0.3, 0.6, 1.2, 6 g P2O5/4 kg tanah) • Terdapat hubungan antara hasil buah dengan kand. hara daun pada 2, 4 dan 8 mst. 3. Penggunaan pupuk K 3.1. ………, dt, Lembang, Andosol, mh: • Pupuk KCl merupakan sumber pupuk Kalium paling ekonomis dibandingkan K2SO4 dan KMgSO4 untuk tan. tomat dengan dosis 50 kg K2O/ha yang diberikan sekaligus pada saat tanam. 4. Penggunaan pupuk N dan P 4.1. Gondol, dt, Lembang, Andosol, mh: • Sumber pupuk nitrogen dan fosfor (Urea, ZA, Am.Nitrat + TSP, Phospal) berpengaruh sama terhadap pertumbuhan dan hasil tomat, sedangkan NPK (15-15-15) + TSP/Phospal menunjukkan hasil buah tomat lebih rendah. 4.2.

Berlian, dr, Subang, Latosol, mh, Urea, TSP, KCl 90 kg/ha: Kombinasi pemupukan 90 kg N/ha dan 45 kg P2O5/ha merupakan kombinasi paling efisien dalam menghasilkan bobot buah tomat, sedangkan pemberian dolomit 1,5 t/ha tidak berpengaruh pada tan. tomat yang ditan. pada tanah Latosol.



5. Penggunaan pupuk N dan K 5.1. TW, dt, Lembang, mh, 150 kg (N, P2O5, K2O)/ha: • Waktu pemberian nitrogen 2 kali dan kalium 2 kali merupakan waktu pemberian yang paling efisien dan efektif dalam menghasilkan buah tomat. 6. Penggunaan pupuk majemuk 6.1. Mutiara, dt, Lembang, rk: • Aplikasi NPK 40 g/5 kg tanah dengan 3 kali aplikasi (1 hr sblm tan., 4 dan 8 mst) memberikan pengaruh paling baik terhadap jumlah dan bobot buah per tan. • Dosis optimum NPK yang memberikan hasil tomat tertinggi adalah 34,08 g/5 kg tanah dengan tiga kali aplikasi 6.2.

Dosis NPK dengan jarak tanam 6.2.1. Mutiara (GH4), GH2, dm, Majalaya, Aluvial, mh: • Tomat GH2: NPK (15-15-15) 900 kg/ha dengan jarak tanam 50 x 50 cm (13,72 t/ha)

36



Tomat Mutiara (GH4) : NPK 1200 kg/ha dengan jarak tanam 50 x 50 cm (33,47 kg/15 m2) atau NPK 900 kg/ha dengan jarak tanam 75 x 50 cm (18,41 t/ha)

7. Penggunaan pupuk N, P dan K 7.1. Gondol, TW-375, dt, Lembang: • Hasil tomat tertinggi: 250 kg N, 150 kg P2O5 dan 150 kg K2O/ha 7.2.

Intan, Berlian, Mutiara, NTR, dr, Bangkalan: • Varietas Intan merupakan pilihan utama yang dpt dikembangkan di Bangkalan-Madura. • Penanaman varietas Intan dengan pemupukan: pukan 15 t/ha, 300 kg Urea/ha, 225 kg ZA/ha, 300 kg TSP/ha dan 150 kg KCl/ha memberikan hasil buah tomat tertinggi (1,62 kg/tan.)

8. Residu Mg 8.1. Intan, dt, Lembang, 20 t/ha pukan, 300 kg Urea, 200kgTSP, 30 kg ZK/ha: • Pemupukan Magnesium 150 kg/ha yang diberikan dua musim tanam sebelumnya masih efektif dalam meningkatkan hasil buah tomat, sedangkan sumber Magnesium yang paling efektif dibandingkan sumber lainnya (MgO, MgSO4 dan terak baja) adalah dolomit 9. Penggunaan pupuk daun dan zat pengatur tumbuh 9.1. Gondol, Moneymaker, Intan, Ratna, dr, Sukamandi: • Aplikasi IAA 100 ppm pada bunga tomat keempat kultivar nyata meningkatkan diameter buah, bobot buah per tan. dan per hektar. • Kultivar Ratna dan Intan menghasilkan hasil panen lebih tinggi daripada Gondol dan Moneymaker serta cocok dan beradaptasi tinggi di dr. 9.2.

Gondol, Intan, Ratna, Moneymaker, dt, Lembang, Andosol,mk: • Aplikasi Chlorflurenol 1000 ppm pada bunga tomat mempunyai masa berbunga dan berbuah lebih pendek serta jumlah bunga dan buah per tandan lebih sedikit dibandingkan IAA, NAA, GA3 maupun kontrol. Pada kultivar Intan dan Ratna, penyemprotan zpt tersebut menghasilkan jumlah dan bobot buah lebih kecil daripada Gondol dan Moneymaker. • Jumlah dan bobot buah dari kultivar Money maker yang disemprot NAA 50 ppm dan IAA 100 ppm lebih tinggi dari kontrol dan zpt lain pada kultivar Ratna, Intan dan Gondol.

9.3.

Ratna, Berlian, dr, Bogor, mh: • Penyemprotan Atonik dan Dharmasri tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tomat di musim hujan

9.4.

Gondol, Intan, dt, Lembang, Andosol: Atonik 1,5 ml/l air merupakan zpt terbaik yang menghasilkan jml dan bobot buah tomat, sedangkan penambahan pupuk daun Cytozyme crop+ 600 ml/l merupakan alternatif dalam usaha meningkatkan hasil buah tomat



9.5.

TW-375, dt, Lembang, mk: • Aplikasi zpt Nevirol 20 WP konsentrasi 2 g/l pada 7 dan 8 mst meningkatkan hasil dan kualitas buah tomat.

9.6.

Berlian, dr, daerah Pasang Surut Sumsel, mh:

37



9.7.

Pemberian pupuk Vegimax 1,5 cc/20 l air setiap 2 minggu mulai umur 3 – 7 minggu nyata meningkatkan hasil buah tomat sebesar 80,6% dibanding kontrol maupun zpt lain (Atonik dan Hydrasil)

Precious/TW, dt, Cipanas, mk: Zpt Nevirol 20 WP 0,5 – 2,5 g/l dan Atonik 6,5 L 1 ml/l meningkatkan hasil buah tomat, namun hasil tomat tertinggi terjadi pada tan. tomat yang disemprot zpt Nevirol 2,5 g/l pada 7 dan 8 hst.



9.8.

Gondol, dt, Lembang: • Aplikasi zpt senyawa fenol formula A 1,5 ml/l pada 35 hst, meningkatkan ILD, LFB, dan bobot buah total, rasa buah, memperpanjang umur simpan buah tomat yang dipanen hijau matang (10% semburat merah) dan menurunkan kand. air buah • Aplikasi zpt senyawa fenol formula B 0,1 ml/l pada 56 hst, meningkatkan LTT, bobot buah total, kand.gula total, memperpanjang umur simpan buah tomat yang dipanen hijau matang (10% semburat merah) dan warna buah tomat

9.9.

Ratna, Intan, dt, Lembang, mh: Kultivar Intan menghasilkan buah lebih baik dari pada kultivar Ratna, sedangkan pupuk daun Metalik 2,0 l/ha menunjukkan pertumbuhan dan hasil tan. tomat lebih baik



9.10.

Intan, dr, Bogor, Latosol: Pupuk cair Gemari tidak berpengaruh nyata thd peningkatan pertumbuhan dan hasil buah tomat



9.11.

Kultivar Bogor, dm, Rancaekek, Alluvial: • PPC Tress (2,5 ml/l air) dpt meningkatkan bobot dan jml buah/tan. Sebesar 24,5% dari pada kontrol

10. Penggunaan pupuk organik 10.1. Perlakuan pupuk organik + pupuk buatan: 10.1.1. Berlian, dr, Subang, Latosol, mh: o Pupuk kandang 30 t/ha dengan nitrogen ( ½ Urea + ½ ZA + Wuxal-Ca) menghasilkan pertumbuhan dan hasil buah tomat tertinggi 10.1.2.

Berlian, dt, Lembang, mh: o Penggunaan pupuk kandang dapat dikurangi dari 30 t/ha menjadi 20 t/ha jika menggunakan sumber N berasal dari ½ N – Urea dan ½ N – ZA ditambah pupuk Wuxal-Ca tanpa mengurangi hasil tomat

10.1.3.

Mutiara, dr, Subang: o Pupuk kandang domba 10 t/ha menghasilkan pertumbuhan dan hasil tomat lebih baik daripada kompos Brebes, kompos sampah maupun tanpa pupuk organik, sedangkan hasil tomat pada penggunaan pupuk 135 kg N, 120 kg P2O5 dan 150 kg K2O/ha berbeda nyata dengan tanpa pupuk buatan.

10.1.4.

TW-375, Intan, Mutiara, dr, Garut, mk:

38

o Varietas Intan dengan pukan 7,5 t/ha dengan cara tanam baris ganda serta varietas Mutiara dengan 7,5 t/ha dengan cara tanam baris tunggal menghasilkan jml dan bobot buah per tan. paling tinggi. 10.2. Kedalaman pengolahan tanah dan dosis sampah kota 10.2.1. TW-375, dm, Sumedang, Andosol, mh: o Pengolahan tanah lebih dari 20 cm dengan dosis kompos 20-30t/ha menunjukkan produksi yang paling tinggi 10.3. Bahan organik dengan pupuk fosfat 10.3.1. dr, Subang, Latosol, mk, 100 kg N/ha ( ½ N-Urea + ½ N–ZA), 100 kg K2O/ha: o Pukan 20 t/ha dengan 50 kg P2O5/ha cukup memadai dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tomat, sedangkan untuk mendapatkan bobot dan jumlah buah sehat ukuran besar (>40 g) adalah dengan dosis 40 t/ha pukan + 50 kg P2O5/ha 10.3.2.

Gondol, dt, Lembang, Andosol, mh: o Pukan ayam 40 t/ha dapat memperbaiki kalsium dan magnesium tanah o Pukan ayam (10-40t/ha) dapat memperbaiki pH tanah dan bobot buah tomat o 20 t/ha pukan meningkatkan bobot buah tomat o 30 t/ha pukan memperbaiki pH tanah o 40 t/ha pukan memperbaiki N, P, Ca dan Zn tanah

10.3.3.

Gondol, dt, Lembang, Andosol, mh: o Pukan ayam dapat memperbaiki berat isi tanah pada kedalaman 20 – 40 cm, sedangkan pukan domba dapat memperbaiki kemantapan agregat tanah . o 20 t/ha pukan memperbaiki kemantapan agregat tanah (20–40 cm kedlman tanah) o 30 t/ha pukan memperbaiki kemantapan agregat tanah (0-20 cm) dan berat isi tanah o 40 t/ha pukan memperbaiki berat isi tanah (20-40 cm

10.3.4.

Gondol, dt, Lembang , Andosol: o Pengaruh yang menonjol terhadap komponen pertumbuhan tan.tomat adalah perlakuan pukan domba dengan dosis 20 – 40 t/ha, sedangkan hasil buah total tertinggi diperoleh pada dosis optimal pukan domba 35 t/ha dan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil maks. yang dicapai oleh pukan kuda dan sapi.

10.3.5.

Berlian, dr, Subang, mk: o Hasil bobot buah tertinggi berasal dari aplikasi zpt Ergostim 1,0 ml/l + pupuk N-P2O5 –K2O (135 – 135 – 900 kg/ha, sedangkan kekerasan buah tomat nyata meningkat oleh aplikasi zpt Ergostim 0,5 ml/l + pupuk N – P2O5 – K2O (135 – 90 – 45) kg/ha

11. Perlakuan pengapuran 11.1. ………, dt, Lembang, Andosol:

39



Pemberian dolomit 1,5 t/ha nyata meningkatkan hasil dan kualitas hasil tomat dan dapat mengatasi masalah kekurangan kalsium dan magnesium yang sudah muncul pada beberapa tanaman sayuran di lapangan. • Pengapuran dengan sumber N 11.2.

Berlian, dr, Subang, mh, 135 kg N, 90 kg P2O5, 50 kg K2O/ha: • Pemberian kapur 4 t/ha dengan Urea + Wuxal-Ca paling baik untuk pertumbuhan generatif tomat, sedangkan untuk kualitas hasil yang paling baik: tebal daging buah dan diameter buah adalah tanpa kapur + Urea serta kekerasan buah adalah dengan kapur 6 t/ha + Urea + Wuxal-Ca.

12. Perlakuan Pemangkasan 12.1. Gondol, Intan, dt, Lembang, mk: • Diameter buah tomat Gondol lebih besar dari pada Intan jika dipangkasa dengan meninggalkan dua atau tiga cabang utama. • Pemangkasan semua tunas samping dengan meninggalkan tiga cabang utama menghasilkan bobot satu butir buah dan bobot buah per tan.yang lebih berat dibandingkan dengtan cara pemangkasan lain. 13. Perlakuan kerapatan tanaman 13.1. Berlian, dr, Subang, mh: • Jarak tanam terbaik adalah satu baris, 60 x 50 cm yang dikombinasikan dengan pemberian mulsa. 13.2.

FMT-22 (Taiwan), dt, Cianjur, Andosol: Jarak tanam 60 cm x 70 cm, batang utama dipotong (dipangkas) menghasilkan buah rata-rata per pohon paling baik bentuk dan besarnya • Jarak tanam 60 cm x 60 cm, cabang utuh mampu menghasilkan buah urutan kedua setelah perlakuan tsb di atas • Jarak tanam 60 cm x 50 cm, batang utama dan cabang utuh dapat memproduksi buah paling banyak tetapi buahnya kecil-kecil walaupun seragam •

14. Perlakuan pengairan 14.1. Berlian, dt, rk, Lembang : • Frekuensi pemberian air dua hari sekali mununjukkan diamter buah terlebar, panjang buah terpanjang, daging buah paling tebal dan jml rongga buah terbanyak, sedangkan taraf pemberian air hanya berpengaruh terhadap jml rongga buah. 15. Perlakuan cara tanam 15.1. Mulsa, naungan dan zat pengatur tumbuh 15.1.1. Berlian, dt, Lembang, mh: o Tidak terjadi interaksi antara penggunaan mulsa, naungan dengan zpt pada tanaman tomat, namun aplikasi plastik hitam maupun naungan plastik bening dan juga Atonik 1,5 ml/l serta Dharmasri 0,5 ml/l nyata meningkatkan bobot total buah tomat 15.1.2.

Berlian, dt, Lembang, mh 100 kg N/ha (Urea+ZA), 100 kg P2O5/ha (TSP), 100 kg K2O/ha (KCl):

40

o

o

Aplikasi mulsa plastik hitam atau naungan plastik bening nyata meningkatkan kualitas buah tomat (kekerasan buah tomat saat dipanen dan kand. gula total stlh 7 hari). Penggunaan zpt (Atonik, Dharmasri, Mixtalol dan Hydrasil) memberikan efek yang bervariasi terhadap komponen kualitas hasil buah tomat.

15.1.3.

Ratna, Berlian, dr, Bogor, mh: o Penggunaan atap plastik selama pertumbuhan di musim hujan pada varietas Ratna mengurangi kerusakan buah, meningkatkan hasil dan memperbesar buah. o Penggunaan atap plastik tidak berpengaruh nyata pada varietas Berlian, berarti varietas ini toleran terhadap hujan

15.1.4.

Intan, Ratna, NTR, dm, DAS Atas Citanduy, 100 kg (N, P2O5, K2O)/ha, 20 ton/ha pukan: o Cara pengolahan tanah (penuh sejajar lereng dan kontur, pada barisan tan. sejajar lereng dan kontur) tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tan. jml buah per tan. dan hasil bersih tomat, sedangkan NTR lebih tinggi hasilnya dari pada Intan dan Ratna.

15.2. Tumpangsari 15.2.1. Gondol, dt, Lembang, mk: o Pola tanam 1 (1 brs kc. Jogo dalam 2 brs tomat) dengan kc.jogo ditanam setelah tomat merupakan pertanaman ganda tomat dan kc.jogo yang paling menguntungkan. Sistem tumpang sari tersebut meningkatkan produktivitas lahan tanpa menurunkan hasil tan. tomat 15.2.2.

Moneymaker, dt, Berastagi, Andosol, mh: o Tumpangsari tomat, ercis dan kubis ditanam selang satu baris menunjukkan hasil tomat, ercis dan kubis lebih tinggi dari monocropnya sebesar 17,34%, 12,5%, dan 26,56% dengan peningkatan produktivitas lahan sebesar 29%. o Tumpangsari tomat, ercis dan kubis ditanam di dalam satu baris menunjukkan hasil masing-masing lebih rendah dari monocropnya sebesar 3,47%, 17,74%, dan 15,09% tetapi produktivitas lahan meningkat sebesar 74%.

15.3. Tinggi guludan dan zpt 15.3.1. Berlian, dr, Subang, mh: o Tinggi guludan 75 cm atau 50 cm dengan zpt Ergostim 1,0 atau 0,5 ppm memberikan bobot dan jml buah tomat tertinggi. Secara bebas, Ergostim 1,0 ppm meningkatkan bobot buah individu. 15.4. Tinggi guludan dengan dosis N 15.4.1. Berlian, dr, Subang, mk: o Tidak ada interaksi antara tinggi guludan dengan dosis N terhadap pertumbuhan dan hasil tomat o Tinggi guludan 50 dan 75 cm nyata meningkatkan ILD dan bobot kering ta. Umur 50 dan 65 hst, tinggi tan. 65 hst, bobot total buah dan jml buah.

41

o Dosis 100 atau 200 kg N/ha (Urea) tidak berbeda nyata terhadap pertumb., hasil dan kualitas hasil 15.5. Penggunaan turus dan mulsa 15.5.1. Berlian, dr, Subang: o Penggunaan turus meningkatkan bobot buah total sebesar 48% untuk turus dari bambu dan 35% untuk turus dari tali plastik, sedangkan pemulsaan sangat bermanfaat untuk mengoptimalkan pertumb. dan produksi tomat di dat. rendah pada m.kemarau. 15.6. Cara tanam dan pemulsaan 15.6.1. Berlian, dr, Subang, mk: o Sistem guludan tidak selalu diperlukan dalam bertanam tomat khususnya pada lahan kering dengan struktur tanah remah o Di lahan kering pada musim kemarau, pemberian mulsa berpengaruh baik terhadap pertumbuhan dan hasil tomat 16. Hidroponik 16.1. Gondol, dt, Lembang, rk: • Pasir kali merupakan media tumbuh paling baik untuk tanaman tomat var. Gondol, sebaliknya dengan kerikil. 16.2.

Cherysitha, dt, rk: Campuran media arang sekam + pasir merupakan media tumbuh terbaik untuk tanaman tomat, sedangkan pupuk Urea, ZA dan KCl sebagai pengganti Ca(NO3)2H2O, KNO3 dan KH2PO4 dapat digunakan sebagai larutan nutrisi dalam sistem hidroponik sebagai alternatif larutan standar.



16.3.

Cherysitha, dt, Lembang, rk: Hara/nutrisi yang paling efisien untuk digunakan pada sistem hidroponik dengan kultur agregat pada tan.tomat adalah lar.modifikasi 2 dengan N, P dan K berasal dari pupuk Kristalon Biru (19-6-20) dan NPK (15-15-15).



16.4.

Berlian, dt, rk, Berastagi: Dosis pupuk Gandapan terbaik untuk hidroponik tomat 2,5 g/l air dengan hasil tomat 49 buah per tan. dan 2,984 kg per tan.



17. Gulma 17.1. Intan, dm, Rancaekek, mk: • Pengendalian gulma terbaik adalah penyiangan 2 x (1/3 umur 30 hst dan 2/3 umur 60 hst), sedangkan penyiangan terus menerus (bersih dari gulma) menghasilkan buah sehat yang rendah.

Hama Penyakit Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari hasil-hasil penelitian hama dan penyakit pada tanaman tomat selama kurun waktu 1982-2002 adalah sebagai berikut: • Topik penelitian penyakit proporsinya lebih besar (79.5 %) dibandingkan dengan penelitian hama.

42

• • •

Topik penelitian yang dominan adalah mengenai pengendalian kimiawi (efikasi) dan pemanfaatan tanaman resisten. Tiga jenis kultivar yang dominan digunakan adalah Gondol, Intal, dan Ratna. Ekosistem yang digunakan untuk penelitian tomat adalah dataran tinggi (26), dataran medium (2), dataran (3), laboratorium/rumah kaca (8).

Tabel 26 memperlihatkan penelitian-penelitian hama penyakit yang telah dilakukan selama periode 1982 – 2002. Tabel 26. Topik, Varietas dan Ekosistem penelitian Proteksi Tomat (1982-2002). No.

1.

2.

Topik Hama Pengendalian Helicoverpa armigera

Penyakit Nematoda Bengkak Akar Meloidogyne spp

Σ Artikel

Komponen Pengendalian

Lokasi

8

Kehilangan hasil (2) Daur Hidup (1) P. Kimiawi/Efikasi (2) P. Biologi (1) P. Biologi + P. Kimiawi (1) P. Kultur Teknis (1)

Gondol Putih, Intan, TW 375, Berlian, LV-2471 dan Artaloka

DT (4) DM (1) DR (@) Laboratorium (1)

12

Kehilangan hasil (1) Interaksi Nematoda + Penyakit (4) P. Kimiawi/efikasi (2) P. Fisik (2) P. Biologi (1) P.Tanaman Resisten (1) P. Kultur Teknis (1) P. Kimiawi (1) P. Tanaman resisten (1)

Rutgers (2); Ratna, Gondol, Atkinsor, RV 12, PI 126930, Gondol Hijau (2), MM Extra NVFe, Nematex VFN

DT (8) Laboratorium (4)

Gondol (2), Intan, Ratna, Moneymaker, Monalbo, Ranti, VC 82, XP 994, West Virginio, Monresist Intan Moner maker

DT (2)

3.

Phytophora infestans

2

4. 5.

Alternaria solani Leveilulla taurico(Bercak bertepung) Fusarium oxysporum

1 1

P. Kimiawi/efikasi (1) P. Kimiawi/efikasi (1)

2

P. Biologi (1) P. Kultur Teknis (1) Kehilangan hasil (1) P. Kimiawi/efikasi (2) P. Tanaman resisten (5) P. Biorasional (2)

6.

Varietas

7.

Pseudomonas solanacerum

10

8.

Virus

3

Identifikasi/Deteksi (3)

Monery maker, Gondol Gondol (2), Monalbo (2), Intan (2), Ratna (2), Money maker (3), Apel balqi, Monresist, Venus, Geraldton, Bonset, Rostaro, Gondol hijau (3), Boshet voc, Toset RR, Marvel, Lucy TM, Swift 367. Gondol (2), Intan, Topset RR, Delisa, Elfira, Virosa, Tropita dst. Ada 41 varietas.

DR (1) DT (1)

DT (1), R. Kaca (1) DT (9) DM (1)

Laboratorium

39

Secara rinci hasil-hasil penelitian hama penyakita pada tanaman tomat adalah sebagai berikut :

43

1. Helicorverpa armigera 1.1. Daur hidup dan kehilangan hasil oleh H. armigera • Daur hidup H. armigera berkisar antara 52-82 hari. Daur hidup pada musim kemarau lebih pendek dibandingkan pada musim penghujan, lama hidup stadia yang merusak tanaman (larva) 12-23 hari. kemampuan bertelur 19-159 butir dengan daya tetas 6382%. • Kepadatan populasi 5 larva/tanaman dapat menyebabkan kehilangan hasil 36,43%. • Fase kritis tanaman tomat terhadap serangan H. armigera terjadi pada umur tanaman 47 HST (di dataran tinggi). • Kehilangan hasil buah tomat akibat serangan H. armigera mencapai 32,37%-56,94%. Kehilangan hasil oleh H. armigera pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan musim penghujan. 1.2. Pengendalian Kimiawi (Efikasi) • Insektisida yang pernah diuji efikasinya terhadap H. armigera antara lain: asefat 75 SP, Atobran 50 EC (Chlorfluazuron), Teflubenzuron (penghambat kitin), Decis 25 FW (Deltametrin), Sumicidin 5 EC (fenvalerat), Decis 25 EC (deltametrin), Baytroid 50 EC (Siflutrin), Hostathion 40 EC (Triazofos), Bayruzil 250 EC (Quinolfos) interval aplikasi 7 hari sekali. • Aplikasi insektisida pada umur 40 HST sebelum tanaman tomat mencapai fase kritis (47 HST), dapat menghemat insektisida sebesar 60% dan tetap efektif terhadap H. armigera. 1.3. Pengendalian Biologi • Penggunaan Ha-NPV (H. armigera-Nuclear polyhedrosis Virus). Ha-NPV dengan 9 10 konsentrasi 7,12 x 10 PIB s/ml dan 7,12 x 10 PIB s/ml, efektif terhadap H. armigera. kematian (mortalitas) larva mulai terlihat pada 3 hari setelah aplikasi. Catatan PIB (Polyhedrosis Inclusion Bodies) 1.4. Interaksi Pengendalian Biologi + Pengendalian Kimiawi • Insektisida Fenvallorat, Siflutrin dan Deltametrin memberikan pengaruh sinergistik bila dicampur dengan Bacillus thuringensis (BT). • BT 0,1% + Sifluthrin 0,1 % paling efektif terhadap H. armigera. 1.5. Pengendalian dengan Kultur Teknis • Penggunaan tanaman perangkap tegetes dan jagung dapat menekan serangan H. armigera pada tanaman tomat. 1.6. Kombinasi Pengendalian Biologi dengan Kultur Teknis • Tumpang sari tanaman tomat dengan tanaman Tagetes dan dikombinasikan dengan penggunaan Ha-NPV dapat menekan infestasi hama sebesar 58,4% dan mempertahankan hasil panen sebesar6,46 t/ha.

2. Nematoda Bengkak Akar (Meloidogyne spp) 2.1. Kehilangan hasil • Ambang kerusakan M. incognita ras 1 pada pertanaman tomat adalah sekitar 100 larva/kg tanah (skala mikroplat)

44



2.2.

2.3.

2.4.

2.5. 2.6.

2.7.

Hubungan antara kerapatan populasi awal M. incognita ras 1 dengan hasil tomat mengikuti korelasi yang negatif. Interaksi Meloidogyne (NBA) dengan penyakit • M. Incognita berinterkasi sinergistik dengan Fusarium sp dan Pseodomonas sp. , NBA sebagai parasit primer (epistatik), sedangkan Fusarium sp dan Pseodomonas sp. sebagai parasit sekunder (hypostatic) pada tanaman tomat. • Tidak ada interaksi antara Meloidogyne sp dengan virus mioalbaccomosaik virus = TMV. Bahkan perkembangan Meloidogyne sp cenderung tertekan pada tanaman tomat yang terkena TMV. Pengendalian Kimia (Efikasi) • Nematisida yang telah diuji efikasinya terhadap NBA antara lain : Aldicarb 10, Carbofuron 3, 1, 3-D 50% L, Ethoprophos 10, Fenomiphos 5, Fensulfothion 10, Methansodium 40 L, Methomil 5, Triozophos 5. Pengendalian secara fisik • Patogenitas dan reproduksi NBA tidak terpengaruh oleh tingkat salinita antara 50-100 ppm (NaCl + CaCl2. • Perendaman dengan air pada tanah bera sangat efektif dalam NBA. • Perendaman dengan air setiap dua hari sekali dan dikombinasikan dengan aplikasi Carbofuran (4 kg/ha) cukup efektif menekan serangan Meloidogyne spp pada tanaman tomat. Pengendalian secara Biologi • Dari hasil penelitian belum ada yang mengindikasikan efektif terhadap Meloidogyne spp. Pengendalian dengan Tanaman Resisten • Ada empat varietas tomat : Atkinson, Nemared, Patriot dan Rossol sangat resisten terhadap Meloidogyne spp sedangkan varietas Kewolo, RV 12, PI 126930 dan MM extra NVFC mempunyai mempunyai tingkat resistensi ysng sedikit lebih rendah. • Kultivar Nematex VFN resisten baik terhadap NBA maupun Fusarium sp Pengendalian secara Kultur Teknis • Dari ke-6 tanaman yang diduga sebagai repelen (Crotalaria usaramoensis, C. suncea, Chrysanthemum morifolium, Ricinos sp, Tagetes patula dan Asparagus sp) ternyata tidak dapat menekan serangan NBA.

3. Phytophtora infestans 3.1. Pengendalian Kimiawi • Strategi pengendalian kimiawi yang paling efektif terhadap P. infestans ialah penyemprotan 14 hari setelah tanam (HST) dengan interval 2 kali seminggu, kemudian diikuti oleh 7 HST dengan interval 1 kali seminggu, dan disemprot setelah nilai serangan 25% dengan interval 2 kali seminggu. Fungisida yang digunakan Cuptafol (25%). 3.2. Pengendalian dengan Tanaman Resisten • Dari 25 varietas yang diuji tidak ada yang resisten terhadap P. infestans. Varietas Ranti, Intan dan VC 82 toleran terhadap P. infestans.

45

4. Alternaria solani 4.1. Pengendalian Kimiawi (Efikasi) • Fungisida yang pernah diuji efikasinya terhadap A. solani antara lain : Antracol 70 WP, Cupravit OB 21 50 WP, Brestan 60 72 WP, Alton 50 WP, Daconil 75 WP, Delsen MX-200 80 WP, Dithane M-45, Divolatan 4 F, Polyrum M 80 WP, Topsin M 80 WP, Phycozan 70 WP, Trimiltox 57 WP, Viligram 59 5 WP, Zincofal 60 WP, Interval Aplikasi 3-7 hari sekali. 5. Leveilulla taurico (bercak bertepung) • Pengendalian Kimiawi (Efikasi) • Fungisida yang diuji efikasi terhadap L. taurico antara lain: Karbendazim + Maneb, Benomil, Tiofomat, Bubuk belerang, Kapur belerang, Klorotalonil, Propineb, Metiram, dan Binokap. 6. Fusarium exyspurum • Pengendalian Biologi • Tridhodrma harzianum mempunyai harapan untuk dikembangkan sebagai komponen penanggulangan Fusarium spp. Perlu penelitian lebih lanjut. 7. Pengendalian Kultur Teknis • Pemberian campuran unsur hara mikro; Borat (B) 0,1 ppm + Tembaga Sulfat (Cu) 0.1 ppm + Besi Sulfat (Fe) 0,1 ppm + Mangan Sulfat (Mn) 0,5 ppm + Natrium Mobalt (Mo) 0,01 ppm + Seng Sulfat (Zn) 0,5 ppm, kedalam tanah dapat menekan serangan patogen F. oxysporum dan memacu pertumbuhan tanaman. • Unsur hara Zn pada media biakan dapat merangsang pembentukan canidia Fusarium sp dan unsur hara B merangsang pembesaran macronidianya. 8. Pseudomonas solanacearum 8.1. Kehilangan Hasil • Dari hasil penelitian hanya mengindentifikasikan bahwa kehilangan hasil yang tinggi akan terjadi bila persentase tanaman yang layu juga tinggi. 8.2. Pengendalian Kimiawi/Efikasi • Bakterisida yang telah diuji efikasinya terhadap P. Solanacearum adalah Streptomycin 15/15 WP dan Agromycin 15/15 Wp. Interval aplikasi 4-7 hari sekali. 8.3. Pengendalian dengan Tanaman Resisten • Varietas tanaman yang resisten terhadap P. solanacearum antara lain: Ratna, Intan, CL 326-ps-d-0, AV-22, dan AV-15. • Varietas tomat yang moderat resisten terhadap P. solanacearum antara lain: Money maker, No. 829, apel balqi, Venus, Monresist dan bansit. 8.4. Pengendalian Biorasional • Penyiraman 10 ml larutan umbi bawang putih/tanaman (10 ml larutan tersebut berasal dari 35 gram umbi/75 ml air steril) atau membenamkan 6 gram umbi bawang putih tumbukan disekitar tanaman tomat. (dari 2 tulisan atau hasil 2 kali penelitian). 9. Virus 9.1. Identifikasi (Deteksi) Virus • Penyebab penyakit mosaik pada tomat adalah Cucumber mosaic Virus (CMV). • Penyakit kerdil pada tomat disebabkan oleh infeksi ganda dua jenis virus yaitu: Tomato Mosaic Virus (ToMV) dan Potato Virus X (PVX). • ToMV dapat terbawa biji tomat oleh karena itu biji-biji yang akan dijadikan sebagai benih harus dipilih dari tanaman tomat yang terinfeksi oleh ToMV. • Perlakuan benih melalui perendam dalam larutan Na3PO4 selama 20 menit.

46

Pasca Panen Tabel 27. No 1

Topik, varietas dan ekosistem penelitian pasca tomat panen 1982-2002 Topik

Pra Panen Pengaruh pemangkasan batang terhadap mutu buah beberapa varietas tomat

Pengaruh Kultivar dan Cara Pemangkasan terhadap Mutu Buah Tomat

2

3

Dampak Vaksin Carna-5 dan CMV-2 terhadap Kualitas Tomat Perawatan segar Daun Glirisidia Sebagai Etilen Generator untuk Proses Pematangan Buah Tomat

Pengemasan Perbaikan Cara Pengemasan Tomat dalam Simulasi pengangkutan

Penggunaan beberapa Desain Kemasan Karton untuk Mengurangi Kerusakan Buah Tomat dan Kemasan selama pendinginan dan Pengangkutan.

Varietas

Sumber • Tanaman tomat yang tidak dipangkas menghasilkan buah 2,6 – 3,8 kali hasil tanaman dipangkas pada musim hujan dan 0,8 – 1,4 pada musim kemarau. • % buah besar (grade A) pada tanaman yang dipangkas lebih tinggi 15-25% dibanding dengan tanaman yang tidak dipangkas Pemangkasan dengan meninggalkan 2 cabang dan 5 tandan bunga memberikan bobot buah tertinggi dan kekerasan buah terbaik. Teknik pemangkasan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap sifat kimia buah tomat.

BPH XI(3), 1984

Perlakuan Carna-5 tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas buah tomat.

LHP 1998/1999

• Waktu pemeraman yang terbaik pada suhu 25°C ialah 4 hari, dan membiarkan tomat terbuka di udara selama 4 hari agar matang 100%. Perlakuan pemeraman 6 –7 hari hanya memerlukan 3,2 dan 2,2 hari agar 100% matang. Sedang kontrol memerlukan waktu 15,8 hari untuk mencapai matang 100%. • Pada tingkat kematangan sempurna, buah tomat berwarna merah tua (indeks warna 6) dengan komposisi kimia tidak berbeda dengan kontrol yang dimatangkan secara normal. • Kecepatan terbentuknya warna merah setelah 50% matang, tidak banyak berbeda antar perlakuan pemeraman 4, 6 dan 7 hari pemeraman, sedang kontrol 2,6 hari lebih lambat. • Mutu buah setelah proses pematangan sama dengan tomat yang matang dengan sendirinya secara normal.

BPH XV (3), 1987

Pemberian 5 g bata dijenuhi KMn04 tambah 10 g abu sekam per kg tomat didalam plastik tertutup yang dibuka selama 30 menit selang 4 hari berada dalam kardus, mampu menahan kematangan merah penuh 8-12 hari dengan kekerasan 1,121,96 kg/cm2 dan kebusukan dibawah 8% dengan goncangan s/d 350 rpm.

BPH XVI (3) , 1988

• Desain kemasan A (karton tak bergelombang) tidak dapat digunakan sebagai kemasan dalam pengangkutan karena menimbulkan kerusakan buah tomat yang cukup besar pada tanpa pendinginan, pendinginan 3hari dan 6 hari (4,53%; 10,44%; dan 8,9%). • Karton tidak bergelombang dapat digunakan

BPH 21 (4), 1992

BPH 27 (3) ‘95

47

sebagai kemasan buah tomat dalam pengangkutan setelah dilengkapi dengan tangkai kayu. • Karton bergelombang tunggal dan majemuk dapat mengurangi kerusakan buah tomat dalam pengangkutan atau penyimpanan dan kerusakan tersebut dapatdiperkecil lagi dengan penggunaan tangkai kayu. 4

Pengolahan Pengaruh Suhu Pengentalan dan Bahan Penstabil terhadap Mutu Pasta Tomat

Teknik Pembuatan Pasta dari Berbagai Kultivar Tomat

5

Identifikasi Mutu dan Penanganan Pascapanen Karakterisasi Beberapa Produk Olahan Sayuran Selama Penyimpanan

LV 2471, LV 6046, LV 2862, CLN 399 danCL05.

Arthaloka

Karakterisasi Mutu Fisik & Kimia Beberapa Sayuran Segar.

Uji Setara Substansial dan Kelayakan Teknis Pasta Tomat Balitsa

Penurunan Mutu Sayuran dalam Penanganan Sejak panen Sampai Pasar.

Presto

Komposisi perlakuan suhu pengentalan 95o C + maizena 2 % menghasilkan pasta yang baik dengan kadar air yang rendah, kekentalan dan TPT tinggi. Dari sisi organoleptik suhu 95o C + gum xanthan 0,2 % maupun 4 % memiliki warna, rasa dan aroma yang disukai panelis. Ada beberapa galer yang disukai panelis yaitu LV 2471, LV 6046, LV 2862, CLN 399 dan CL 05.

• Salah satu produk olahan tomat adalah manisan tomat yang berasal dari home industri di Kab. Garut, varietas yang digunakan Arthaloka. • Hasil karakterisasi beberapa sifat fisikokimia sesaat setelah diproses adalah kadar air = 22,49%, TPT 24%, kekerasan 3,03 mm/50 g/det, total kapang 4 koloni/g. • Pertumbuhan kapang menunjukkan peningkatan dalam penyimpanan setelah 12 minggu penyimpanan mencapai 45 koloni/g • - Hasil organoleptik terhadap penampakan masih disukai oleh panelis s/d 2 bulan penyimpanan. • Hasil karakterisasi terhadap buah tomat di petani, pengumpul, pasar induk, super market dan pengecer adalah sebagai berikut : • Bentuk : bulat, ukuran : besar 7-12 bh/kg, warna : merah, tekstur/keadaan daging : pepel, rasa : manis. • Dengan komposisi kadar air :94,21 – 95,23, asam sitrat : 0,29-0,44, vitamin C : 14,74 – 36,15, tekstur : 4,91-6,63 mm/dt/100g. • Hasil deteksi residu pestisida : 0,378 ppm – 3,933 ppm/sementara ambang batas residu menurut FAO = 0,001 ppm. • Teknik pembuatan pasta di Balitsa belum memenuhi standar terutama warna dan kekentalan secara finansial belum ekonomis. • Perbaikannya bisa dilakukan dengan menggunakan alat penghancur dan pemanas skala besar. Penanganan PP belum dilakukan dengan tepat sehingga menimbulkan kerusakan fisik dan penurunan nutrisi buah.

LHP 1998/1999

LHP 1998/1999

LHP 2002

LHP 2002

LHP 2000

LHP 2001

48

Seleksi Varietas Tomat Prosesing di Dataran Medium

Kelayakan Teknis & Finansial Budidaya Tomat Prosesing di Dataran Medium.

Berdasarkan pengamatan terhadap hasil olahan (pasta) terdapat beberapa galur/ varietas yang mempunyai prospek baik yang dikembangkan sebagai tomat prosesing yaitu F1 PT 4225; CLN 2001-7; CLN 2001-15 • Galur LV 2471 mempunyai manfaat ganda yaitu dapat dipasarkan sebagai buah segar dan dapat digunakan sebagai tomat prosesing. • Dari segi hasil, Presto > dibanding LV 2471. Kadar asam, vitamin C dan kadar gula lebih tinggi pada panenan terakhir; kadar asam 0,27 – 1,38%, X 0,64%, vitamin C 9,34% - 30,45 mg/100g, X 17,96 mg/100g. Tomat varietas Gondol lebih disenangi oleh konsumen karena warnanya merah menarik, bentuk dan ukuran serasi.

LV 2471, Presto

Penilaian Mutu Kimia Buah Beberapa Varietas Tomat

Penilaian Mutu Fisis Buah Beberapa Varietas Tomat

LHP 2000

LHP 1999/2000

BPH XI(4),1984

BPH XI(4), 1984.

Agro Ekonomi Sebaran topik serta ekosistem pada penelitian agro-ekonomi tomat selama kurun waktu 1979-2001 dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari Tabel 1 adalah sebagai berikut: • Dibandingan dengan topik penelitian agro-ekonomi lainnya, topik penelitian ekonomi produksi proporsinya paling besar (50%). • Mayoritas ekosistem yang digunakan untuk penelitian bawang putih adalah dataran tinggi (14) dan hanya sebagian kecil yang dilaksanakan di dataran medium (3) dan dataran rendah (5). Tabel 28. Topik dan ekosistem penelitian agro-ekonomi 1979-2001. Σ Artikel 3

Ekosistem dr/dm (1); dt (2)

Sumber BPH 21 (3); 23 (4); JH 9 (4)

Studi ekonomi produksi

11

dr (5), dm (2); dt (4)

BPH 7 (7); 15 (1); 15 (2); 26 (2) JH 3 (1); 5 (1); 5 (2); 5 (3); 9 (3); LHP 1999/2000

3.

Studi pemasaran dan analisis harga

4

dt (4)

BPH 26 (3) JH 7 (3); 10 (1); 11 (4)

4.

Studi konsumen

3

dt (3)

BPH 27 (4) JH 9 (4)

5.

Studi pengembangan/pewilayahan

1

dt (1)

JH 12 (3)

Total

22

No. 1.

Topik Studi diagnostik atau lini dasar

2.

Keterangan : dt dm dr BPH JH LHP

= dataran tinggi = dataran medium = dataran rendah = Buletin Penelitian Hortikultura = Jurnal Hortikultura = Laporan Hasil Penelitian

49

Hasil penelitian per topik sampai dengan tahun anggaran 2001 adalah sebagai berikut : 1. Studi diagnostik atau lini dasar •

• •

• • •



Hasil per satuan luas (teknis) usahatani tomat di dataran rendah/medium Cianjur dan Cicalengka lebih baik serta biaya per satuan outputnya (ekonomis) lebih rendah dibandingkan dengan usahatani tomat di Pandeglang dan Serang. Tingkat pemanfaatan varietas-varietas tomat rekomendasi (Berlian, Ratna dan Intan) rendah. Dua factor yang perlu ditelusuri, yaitu: (1) kemudahan untuk memperoleh benih varietas rekomendasi ditinjau dari aspek penyediaan dan distribusi, serta (2) kemampuan varietas rekomendasi bersaing dengan varietas lain ditinjau dari aspek preferensi konsumen/pasar. Perlu perbaikan dan pemantapan teknologi budidaya tomat dataran rendah/medium, khususnya usaha efisiensi penggunaan sumberdaya berdasarkan lingkungan produksi. Tiga masalah utama yang dihadapi petani tomat di kecamatan Lembang adalah: (1) terbatasnya modal usaha; (2) tingginya harga pestisida, dan (3) rendahnya harga jual tomat. Di dataran rendah, tomat merupakan komoditas yang paling dikuasai teknik budidayanya di tingkat petani, sementara di dataran tinggi, penguasaan teknologi budidaya tomat menempati urutan ketiga setelah kubis bunga dan cabai. Baik di dataran rendah maupun tinggi, budidaya tomat tergolong paling menguntungkan, membutuhkan biaya paling tinggi dan dianggap paling berisiko dibandingkan dengan budidaya sayuran yang lain.

2. Studi ekonomi produksi 2.1. Di dataran Tinggi (Lembang) •

Komposisi biaya produksi tomat di Lembang (1977/1978) adalah : (a) bibit -- 6,71%, Pupuk -26,04%, pestisida -- 16,31%, tenaga kerja -- 27,64%, sewa tanah dan alat -- 11,88%, lain-lain (turus, raffia) -- 5,76%, bunga modal -- 5,66%. Dengan produksi 22.680 kg/ha, maka R/C ratio 1,07.



Kombinasi perlakuan mulsa jerami jagung dan pupuk kandang sapi paling menguntungkan dibandingkan dengan kombinasi perlakuan (tanpa mulsa; mulsa jerami padi) dan (tanpa pupuk kandang, pupuk kandang domba), yaitu yang diindikasikan dengan tingkat pemgembalian marjinal tertinggi (275,06%).



Komponen biaya produksi tomat (1992) terbesar adalah biaya tenaga kerja (37,58%), selanjutnya diikuti biaya pestisida (30,40%), pupuk (17,92%), bunga modal (5,69%), bibit (4,66%), sewa tanah + alat (3,36%) dan biaya lain-lain (0,40%). Dengan produksi 25.006,29 kg/ha maka R/C rationya 1,20.

2.2. Di dataran Tinggi (Bogor) •

Penggunaan atap plastik pada pertanaman tomat di musim hujan dapat mengurangi kerusakan buah, namun secara ekonomis tidak menguntungkan karena output-input rationya < 1.

2.3. Di dataran Medium (Garut) – Kelayakan teknis dan finansial budidaya tomat prosesing •

Secara umum, hasil produksi penggunaan teknologi anjuran tidak berbeda nyata dengan teknologi lokal.

50



Dengan menggunakan teknologi anjuran Balitsa, produktivitas tomat varietas Presto lebih tinggi (105 ton/ha) dibandingkan dengan galur LV.2471 (82 ton/ha). • Secara finansial, penggunaan tomat galur LV.2471 dengan menerapkan teknologi lokal, biaya produksi per-unitnya lebih tinggi (Rp. 567/kg) dibandingkan dengan varietas Presto (Rp. 429/kg). • Sementara itu, biaya produksi per-hektar galur LV.2471 dengan menerapkan teknologi lokal lebih murah (Rp. 41.700.000) dibandingkan dengan tomat Presto (Rp. 42.700.000). 2.4. Di dataran Rendah (Grobogan) •

Komposisi biaya produksi tomat varietas Ratna di Kalangdosari-Grobogan pada musim hujan adalah : bibit (1,45%), pupuk (23,76%), pestisida (6,14%), tenaga kerja (41,24%), sewa tanah (8,64%), lain-lain (14,45%), bunga modal (4,32%). R/C ratio 0,81 (rugi). • Pada usahatani tumpangsari tomat + jagung, komposisi biaya produksinya adalah : bibit (4,05%), pupuk (10,12%), pestisida (27,63%), tenaga kerja (44,11%), sewa tanah (5,52%), lainlain (8,58%). R/C ratio 1,06. 2.5. Di dataran Rendah (Jeneponto-Sulawesi Selatan) •





• •

Tanaman sela tomat (varietas Intan) yang ditanam diantara tanaman mangga yang belum berproduksi di daerah Jeneponto-Sulawesi Selatan memberikan nilai keuntungan paling tinggi (R/C ratio 2,72) dibandingkan dengan tanaman sela cabai (2,66), kubis (1,73) dan kacang panjang (-0,18). Komposisi baiya variabel tanaman sela tomat adalah biaya : bibit (2,67%), pupuk (20,31%), pestisida (6,35%), tenaga kerja (47,51%), bahan penolong (9,50%), dan biaya lain-lain (13,66%). Penanaman tomat-tomat (2 kali tanam) sebagai tanaman sela yang ditanam diantara kombinasi tanaman sirsak + pisang di Jeneponto memberikan keuntungan yang cukup tinggi (R/C ratio 2,69). Penanaman tomat-tomat (2 kali tanam) sebagai tanaman sela yang ditanam diantara kombinasi tanaman mangga + pisang + sirsak memberikan nilai R/C ratio 2,58. Semantara penanaman tomat-tomat (2 kali tanam) sebagai tanaman sela yang ditanam diantara tanaman sirsak memberikan nilai keuntungan paling tinggi, yaitu R/C rationya 3,01.

2.6. Indonesia • • •

Pola pertumbuhan produksi tomat di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Faktor dominan sumber pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan areal tanam. Variabilitas areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidakstabilan produksi tomat selama periode 1969-1995.

3. Studi pemasaran dan analisis harga 3.1.

Hubungan harga di tingkat petani dan harga di tingkat eceran •

3.2.

Hubungan harga di tingkat petani dan harga di tingkat eceran mengindikasikan bahwa penyebaran harga tomat adalah marjin absolute yang tetap (fixed absolute margin).

Tataniaga •

Selama periode 1985-1995, marjin tataniaga tomat di Jawa Barat dan Sumatera Utara menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat.

51



Marjin tataniaga riil atau nominal tomat di Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan dengan Sumatera Utara. • Kisaran bagian petani dari harga tomat yang dibayarkan konsumen adalah sebesar 4480%. • Usaha-usaha perbaikan system pemasaran tomat perlu lebih ditekankan untuk memecahkan masalah ketitakstabilan atau tingginya variasi harga di tingkat produsen. • Usaha-usaha perbaikan dapat ditempuh melalui : (a) perbaikan komponen teknologi -teknik pascapanen untuk memperpanjang masa simpan, gudang pendingin, (b) perbaikan kelembagaan -- pemberdayaan koperasi dalam fungsi pemasaran, pembentukan marketing boards, dan (c) intervensi pemerintah -- penyempurnaan grading. 3.3.

Ekspor-impor tomat •

Selama periode 1981-1995, pola pertumbuhan volume ekspor tomat segar termasuk dalam kategori konstan dengan pertumbuhan ekspor rata-rata sebesar 100,33%. • Secara berturut-turut, pertumbuhan nilai ekspor rata-rata, pertumbuhan harga satuan ekspor rata-rata dan pertumbuhan volume ekspor rata-rata tomat segar selama periode 1981-1995 adalah 98,17%, -2,16%, dan 100,33%. Sementara itu, faktor yang paling dominan sebagai sumber pertumbuhan ekspor tomat segar adalah volume. 4. Studi konsumen 4.1.

Persepsi konsumen rumah tangga terhadap kualitas tomat • •

• • • • •

4.2.

Kelas sosial konsumen di pasar eceran modern dan pasar eceran tradisional menunjukkan perbedaan yang nyata. Pendidikan, pengeluaran rumah tangga dan pekerjaan/jabatan konsumen pasar eceran modern ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsumen di pasar eceran tradisional. Perbedaan kelas sosial tidak membedakan persepsi konsumen terhadap kualitas buah tomat yang dikonsumsi segar. Dalam menilai kualitas tomat untuk buah, konsumen menggunakan petunjuk kualitas eksternal dan organoleptik. Bagi konsumen, peran petunjuk kualitas organoleptik lebih besar bila dibandingkan dengan petunjuk kualitas eksternal. Pada petunjuk kualitas eksternal, warna buah merupakan petunjuk kualitas terpenting, diikuti kekerasan buah, bentuk dan ukuran. Pada petunjuk kualitas organoleptik, rasa manis merupakan petunjuk kualitas terpenting, diikuti oleh rasa asam, kekenyalan dan jumlah air buah.

Kepedulian konsumen terhadap residu pestisida •

60% konsumen menyatakan bahwa tomat yang dikonsumsi berpeluang mengandung residu pestisida dan menyadari akan bahayanya terhadap kesehatan. • Konsumen meminimalkan kandungan residu pestisida dengan cara mencuci dan memasak sebelum dikonsumsi. • Hasil analisis residu menunjukkan bahwa, perlakuan pencucian belum dapat menekan kandungan residu pestisida sampai di bawah ambang batas, tetapi melalui pencucian yang diikuti oleh pemasakan dapat menekan residu pestisida sampai di bawah ambang batas.

52

5. Studi pengembangan/pewilayahan • • • • • •

Balitsa telah memperoleh tiga formula pasta tomat yang layak secara teknis, namun dalam skala laboratorium masih belum layak secara finansial. Varietas tomat merupakan unsur terpenting dalam menentukan formula tomat, karena sangat mempengaruhi warna pasta yang dihasilkan. Varietas Presto, Beta dan Delta merupakan varietas-varietas yang cocok untuk pembuatan pasta tomat. Formula pasta Balitsa berpeluang untuk dikembangkan dalam skala industri, namum kendala yang masih dihadapi adalah katersediaan bahan baku tomat segar. Varietas tomat prosesing yang dihasilkan disarankan mempunyai warna merah muda, berdaging tebal, kandungan air rendah,dan berbiji sedikit. Biaya pembuatan saus tomat secara laboratorium adalah Rp. 19.428,675/kg.

X. Kendala pengembangan dari sisi tekno-sosio-ekonomis 

Berdasarkan analisis data tahunan periode 1965 – 1995, pola pertumbuhan tomat menunjukkan pola meningkat, dengan faktor dominan penambahan areal pertanaman. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa teknologi yang digunakan petani tidak mampu meningkatkan produktivitas tomat secara optimal. Kondisi tersebut juga didukung oleh data produktivitas tomat nasional periode 1998 - 2002 yang hanya mencapai 6,7 sampai 8 ton per hektar. Rendahnya tingkat adopsi teknologi pada usahatani tomat dapat disebabkan ketidak layakan teknologi dalam memecahkan permasalahan petani atau metoda penyampaian alih teknologi yang kurang tepat. Dari sisi penelitian, dalam beberapa tahun terakhir komoditas tomat bukan merupakan prioritas utama sehingga penelitian yang berkaitan dengan perakitan teknologi komoditas tersebut kurang intensif. Sebagai akibatnya teknologi yang tersedia saat ini sudah kurang sesuai dengan tuntutan permasalahan yang ada di lapangan.



Walaupun buah tomat merupakan produk yang sudah cukup dikenal oleh konsumen rumah tangga, tetapi variasi konsumsinya tomat masih sangat terbatas. Di tingkat rumah tangga tomat digunakan sebagai pelengkap bumbu masak atau dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai pengganti buah-buahan. Alternatif diversifikasi produk yang ditawarkan kepada konsumen sangat kurang. Padahal dilihat dari sifat komoditas serta kandungan gizinya, buah tomat mempunyai peluang yang besar untuk diolah menjadi berbagai produk baru. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab masih rendahnya konsumsi tomat per kapita di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Pada akhirnya rendahnya konsumsi dan permintaan tomat juga menjadi salah satu faktor pembatas pengembangan produksi tomat di Indonesia.



Berdasarkan analisis harga selama periode 1997 - 2001, harga tomat dapat dikategorikan tidak stabil terutama bila dibandingkan dengan kentang, kubis dan siampo. Dari pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa petani tomat sering dihadapkan pada risiko harga yang cukup tinggi. Pada musim panen raya harga tomat dapat mencapai tingkat terendah, contohnya pada bulan Mei 2003 harga tomat di tingkat petani hanya mencapai Rp 100 per kg. Pada kondisi harga seperti itu, petani tomat tidak melakukan panen karena biaya panen akan jauh lebih tinggi dari pendapatan kotor. Koefisien variasi harga tomat di tingkat sentra produksi secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat grosir. Hal ini mengimplikasikan bahwa petani tomat sebagai produsen harus menghadapi risiko harga yang lebih besar dibandingkan pedagang besar/grosir.

53



Berdasarkan data ekspor-impor tomat periode 1996-2002, Indonesia secara konsisten mengekspor tomat. Selain tomat segar, ekspor saus tomat menunjukkan perkembangan yang positif bahkan pada tahun 2002 mencapai 2 430 ton, kuantitas tersebut melebihi kuantitas ekspor tomat segar yang hanya mencapai 1 120 ton. Namun demikian industri saus tomat tersebut dihadapkan pada kendala bahan baku pasta tomat yang sampai saat ini masih harus impor, yang ditunjukkan oleh tingginya impor pasta tomat setiap tahun. Impor pasta tomat mempunyai konsekuensi tertentu diantaranya tingginya harga pasta sesuai dengan nilai mata uang dollar. Selain itu dapat terjadi seperti di tahun 1998-1999, dengan melonjaknya harga pasta akibat krisis moneter para importir tidak sanggup melakukan impor. Sebagai dampaknya industri saus tomat menjadi terhambat, bahkan sejumlah pabrik sama sekali tidak melakukan proses produksi.



Melimpahnya tomat pada musim panen raya mengakibatkan jatuhnya harga tomat. Dikaitkan dengan impor pasta tomat yang dilakukan setiap tahun, kondisi tersebut dapat dijadikan peluang untuk pengembangan industri pasta tomat. Sehingga kebutuhan pasta untuk industri saus tomat dapat dipenuhi oleh pasta domestik. Sebenarnya industri pasta tomat tersebut mempunyai prospek yang cukup menjanjikan baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor. Namun dari hasil-hasil penelitian tentang teknologi pasta tomat, pembuatan pasta masih dihadapkan pada kendala ketersediaan kultivar yang sesuai. Pasta yang dihasilkan dari kultivar tomat seperti TW, Kada tidak dapat memberikan warna yang sesuai untuk bahan baku saus tomat. Hal ini terbukti dari tidak lolosnya pasta hasil penelitian Balitsa pada saat dilakukan quality control oleh industri.



Dari sisi kepentingan konsumen, tomat yang dipasarkan mengandung residu pestisida di atas ambang batas aman untuk dikonsumsi. Belum adanya informasi seperti pelabelan yang menginformasikan hal tersebut mengakibatkan konsumen tomat berada pada risiko kesehatan yang cukup tinggi. Belum adanya standar kualitas bagi tomat yang aman dari residu pestisida maupun zat-zat kimia berbahaya lainnya merupakan faktor penghambat bagi pengembangan tomat, khususnya dikaitkan dengan akan diberlakukannya pasar bebas secara penuh. Hal tersebut dapat dijadikan penghambat non-tarif (non-tafiff barrier) oleh negara pengimpor tomat, sehingga dapat dijadikan praktek terselubung untuk melakukan pembatasan (proteksi) terhadap barang impor. Sementara itu, negara-negara yang belum mempunyai standar seperti Indonesia dapat dijadikan tempat pembuangan (dumping) bagi tomat yang tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan.



Dari segi teknis kendala usahatani terberat bagi petani adalah pengendalian OPT terutama penyakit busuk daun (phytophthora infestans) dan penyakit layu bakteri (pseudomonas solanacearum). Pestisida yang beredar selain mahal juga dirasakan oleh petani sudah kurang efektif lagi dalam mengendalikan OPT, sehingga petani cenderung untuk menambah dosis atau interval penyemprotan.



Penggunaan pestisida secara berlebih di tingkat petani, selain disebabkan oleh rasa aman petani dalam menghindarkan risiko kegagalan panen, juga disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti tidak tersedianya kultivar tomat tahan OPT terutama terhadap penyakit busuk daun (phytophthora infestans) dan penyakit layu bakteri (pseudomonas solanacearum).

54

XI. Prospek, kebijakan dan strategi pengembangan •

Prospek pengembangan tomat masih cukup baik. Produktivitas masih dapat ditingkatkan dengan menyediakan teknologi yang lebih sesuai dengan permasalahan petani baik dari segi teknis, sosial maupun ekonomi. Teknologi yang cukup mendesak adalah tersedianya varietasvarietas tomat, baik yang berdaya hasil tinggi maupun yang tahan terhadap OPT. Demikian juga dengan teknologi penanaman seperti pemupukan perlu dikaji ulang, karena rekomendasi yang ada belum bersifat spesifik lokasi.



Tingkat konsumsi tomat masih dapat ditingkatkan diantaranya dengan diversifikasi produk olahan, peningkatan kualitas tomat yang dipasarkan. Meningkatnya konsumsi tomat secara tidak langsung dapat memotivasi petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Adanya diversifikasi produk olahan dapat mengatasi masalah yang terjadi pada saat panen raya, sehingga risiko harga yang dihadapi petani dapat diminimalkan.



Pasta mempunyai prospek yang cukup baik. Seandainya kualitas tidak bisa menyamai kualitas impor, maka pasta dalam negeri diharapkan dapat menggantikan pasta impor tapi tentu harus diikuti dengan kegiatan seperti promosi dsb.



Kebijakan penelitian tomat : - Varietas tomat untuk konsumsi segar dan untuk industri, khusunya varietas untuk pasta. - Varietas yang tahan OPT terutama penyakit busuk daun dan layu bakteri. - Teknologi minimal input - Penelitian Biopestisida. - Pemupukan spesifik lokasi.



Kebijakan non penelitian : - Penambahan atribut keamanan pangan pada SNI (residu,logam berat dll)

Daftar Pustaka. Adiyoga, W. 1996. Marjin tataniaga dan bagian petani untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Jurnal Hortikultura 7(3): 840-851. Ameriana., M. 2004. Kesediaan Konsumen untuk Membayar Premium serta Kepedulian Petani terhadap Usaha Pengurangan Residu Pestisida pada Sayuran Tomat. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Ameriana., M, W. Adiyoga, R. S. Basuki dan E. Suryaningsih. 2000. Kepedulian Konsumen terhadap Sayuran Bebas Residu Pestisida: Kasus pada Sayuran Tomat dan Kubis. J. Hort 9 (4) : 366-377. Aung, L.H. 1979. Temperature Regulation of Growth and Development Tomato during Ontogeny. Proceedings of the International Symposium on Tropical Tomato. Oct 23 – 27, 1978. Shanhua, Tainan, Republic of China. Atrheron, J.G and J. Rudich. 1986. The Tomato Crops, A Scientific Basis for Improvement. Chapman and Hall Ltd. New York-USA. Bisaliah, S. 1986. Soybean development in India: A methodological frame. In CGPRT. Socioeconomic research on food legumes and coarse grains: Methodological issues. CGPRT No. 4. Bogor, Indonesia.

55

Colman, D & Young, T. 1989. Principles of agricultural economics: Markets and prices in less developed countries. Cambridge University Press, Great Britain. Dillon, J. L. & Hardaker, J. B. 1980. Farm management research for small farmer development. Food and Agriculture Organization Agricultural Services Bulletin, Rome FAO. 1998. Potato: Production, utilization and consumption. FAOSTAT (June, 1998) Govindasamy., R and J. Italia. 1999. Evaluating Consumer Usage of Nutritional Labeling; The Influence of Socio-Economic Characteristics on Food Advertisement Usage. Rutgers Cooperative Extention, New Jersey Agricultural Experiment Station. Gunawan., O. S, E. Suryaningsih dan A. T. Duariat. 1997. Penyakit-penyakit Penting Tanaman Tomat dan Cara Pengendaliannya dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hidayat. A. 1997. Ekologi Tanaman Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hilman., Y dan Suwandi. 1989. Penetapan P Tersedia pada Tanah Andosol. Bul. Penel. Hort. 18(2) : 91-97. Jensen., M. H. 1990. Hidroponic Culture for the Tropics. Opportunities and Alternatives. Proc. Int. Seminar on Hydroponic of Value Crops in the Tropics. Malaysia. November 25 –27, 1990. Kuo, C. G., B. W. Chen, M. H. Chou C. L Tsai and Tsay. 1979. Tomato Fruit-set at High Temperatures. Proceedings of the International Symposium on Tropical Tomato. Oct 23 – 27, 1978. Shanhua, Tainan, Republic of China. Marpaung., L. 1997. Pemanenan dan Penanganan Buah Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Marvel., M. E. 1974. Hydroponic Culture of Vegetable Crops. University of Florida, Gainesville, Florida. Matsumura., F. 1976. Toxicology of Insecticide. Plenum Press. New York and London. Nurtika., N. 1984. Penaruh Pupuk Kanang dan NPK 15-15-15 tehadap Pertumbhan dan Produksi Tomat. Bul. Penel Hort 11(4) : 1-7. ---------------. 1992. Pengaruh Pupuk N, P, K dan Sumber Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat Kultivar Mutiara. Bul. Penel. Hort. 24(2) : 112-117. Nurtika., N dan N. Sumarni. 1992. Pengaruh Sumber, Dosis dan Waktu Aplikasi Pupuk Kalium terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat. Bul. Penel. Hort. 22(1) :96-101. Nurtika., N dan suwandi. 1992. Pengaruh Pemberian Kapur dan Sumber Pupuk Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan hasil Tomat. Bul. Pnel. Hort. 22(4) : 16 – 21. Nyako., K. A and A. Thompson. 1999. Food Safety Risk Perceptions and Behavior of Consumer in the Shoutern Black Belt Region of the US. Paper Presented at AAEA Anual Meetings, Nashville, Tennessee, August 8 – 11. Departement of Agricultural Education, Economics and Rural Sociology. North Carolina A & T State University, Greensboro, NC. Nurtika. N dan Z. Abidin. 1997. Budidaya Tanaman Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Purseglove, J.W. 1974. Tropical Crops, Dicotyledons. Longman. London. Purwati, E. 1997. Pemuliaan Tanaman Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

56

Sahat., S. 1989. Bercocok Tanam Sayuran Dataran Rendah. Badan Litbang Pertanian. Balithort, Lembang. Satsiyati. 1980. Laporan Penelitian Pemupukan sayuran. Kerjasama Lembaga Penelitian Hortikultura dengan PT. Pupuk Sriwijaya. Saunders., C. 1999. The Potential for Expansion of The Organic Industry in New Zealand : A Contingent Valuation Method of Consumer WTP for Organic Produce. Discussion Paper No 77. Commers Division, Lincoln University Canterbury. Schippers., P. A. 1979. The Nutrient Plnt Technique. Dept. Of Vegetabke Crops. State College of Agriculture, Cornell Univ. Ithaca, New York. Setiawati., W. 1997. Hama-hama Penting Tanaman Tomat dan Cara Pengendaliannya dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Soetiarso., T. A. 1997. Analisis Uahatani dan Pemasaran Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sumiati., E dan Y. Ilman. 1990. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Ergostim dan Dosis Pupuk NPK terhadap Hasil dan Kualitas Buah Tomat Kultivar Berlian. Bul. Penel. Hort. 19(2) : 61 – 69. Sutarya, R., G. J. H. Gruben, dan H. Sutarno. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah. Gajah Mada University Press, bekerjasama dengan Prosea Indonesia dan Balithort Lembang. USDA. 2000. Oranic Food : Niche Marketers Venture into Mainstream. Agricultural Outlook/June-July 2000. Waldrum., J. D, P. L. Badri and J. P. Spradley. 1996. Pesticide Residues in Food : The safety Issue. Southern Extension and Research Activity Information Exchange Group I. U.S. Departement of Agriculture Extension Service National Agricultural Pesticide Impact Assessment Program Special Project 03-EPIX-1-145. Wenner, B. Z. H. 2000. Importance of The Tomato. AgriSupportOnline. Melbourne, Australia.

57

Related Documents