LAPORAN AKHIR
PROFIL KOMODITAS BAWANG PUTIH (2003) Witono Adiyoga Rachman Suherman T. Agoes Soetiarso Budi Jaya Bagus Kukuh Udiarto Rini Rosliani Darkam Mussadad
Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif The Participatory Development of Agricultural Technology Project (PAATP) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004
1
A.
Pendahuluan
Bawang putih memiliki nama ilmiah Allium sativum L.. dengan klasifikasikan sebagai berikut: a. Divisi : Spermatophyta b. Subdivisi : Angiospermae c. Kelas : Dicotyledonae d. Famili : Liliaceae e. Genus : Allium f. Species : Allium sativum L. Bawang putih diduga merupakan tanaman native daerah Asia Tengah (Tien Shan). Tanaman ini menyebar ke daerah Mediterania pada jaman kuno dan telah diidentifikasi di Mesir pada 3000 BC. Bawang putih juga merupakan tanaman kuno di India dan Cina. Bangsa Spanyol, Portugis dan Perancis memperkenalkan bawang putih tersebut ke Dunia Baru (New World). Sejarah bawang putih berkaitan dengan sejarah perjalanan peradaban dunia yang terkenal. Misalnya pada saat piramida yang berasal dari zaman keemasan Mesir didirikan, bawang putih digunakan sebagai menu utama yang diberikan kepada buruh yang membangun piramida itu. Di Indonesia bawang putih masuk melalui jalur perdagangan internasional yang sejak berabad-abad lampau meramaikan bandar-bandar. Setelah onion (bawang bombay), bawang putih menempati urutan kedua Allium yang paling banyak dimanfaatkan. Bawang putih dalam bentuk segar atau terdehidrasi terutama banyak digunakan sebagai penyedap makanan (daging, ikan dsb.). Selain umbi yang telah matang, hijauan bagian atas serta umbi yang belum matang juga banyak dikonsumsi di Asia. Bawang putih juga banyak dikenal sebagai tanaman medisinal atau biofarmaka. Jenis sayuran ini me-miliki reputasi yang kuat berkenaan dengan manfaatnya sebagai obat untuk menurunkan tekan-an darah dan kolesterol. Perkembangan di bidang ini ditunjukkan oleh tingginya penawaran dan permintaan terhadap obat, minuman dan tepung yang berasal dari ekstrak bawang putih. Bagian tanaman yang dapat dikonsumsi/dimakan berkisar antara 50-70% dari total tanaman jika termasuk bagian yang belum matang (pseudostem dan immature bulb) dan sekitar 20-30% jika hanya bagian yang matang (dry bulbs) saja. Komposisi nutrisi dari 100 gr umbi kering adalah: 68 gr air, 3,5 gr protein, 0,3 gr lemak, 27 gr karbohidrat, 1,0 gr debu, 29 mg Ca, 202 mg P dan 529 mg K. Komponen vitaminnya relatif rendah, sedangkan komponen enerjinya adalah 490 kJ/100gr. Rasa (flavor) bawang putih berbasis pada komponen-komponen sulfur yang secara kolektif disebut sebagai S-alk(en)yl cysteine sulphoxides.
B.
Area, produksi dan produktivitas
Tabel 1 menyajikan data areal panen, produksi dan produktivitas bawang putih di dunia beserta tiga negara terbesar penghasil bawang putih. Selama periode tahun 1998 – 2002 produksi bawang putih dunia memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut tidak hanya disebabkan oleh peningkatan luas areal tanam tetapi juga didorong oleh adanya peningkatan produktivitas. Berdasarkan data FAO, China, India dan Republik Korea dapat dikategorikan sebagai tiga negara yang mempunyai kontribusi terbesar terhadap produksi bawang putih dunia. Sementara itu China adalah negara penghasil bawang putih terbesar di dunia, pada tahun 2002 China mampu menghasilkan bawang putih 8 680 049 ton atau sekitar 71 % dari produksi bawang putih dunia. Superioritas China sebagai penghasil bawang putih diikuti oleh India dengan kontribusi sebesar 4,1% dan Rep.Korea sebesar 3,2%. Kontribusi bawang putih Indonesia terhadap produksi dunia sangat kecil, dan selama periode tahun 1998 – 2002 mengalami penurunan yaitu dari 0,9 % di tahun 1998 menjadi 0,4 % di tahun 2002.
2
Walaupun selama periode waktu tersebut produktivitasnya mengalami peningkatan, tetapi penurunan areal tanam bawang putih di Indonesia dari tahun ke tahun cukup besar. Tabel 1
Areal panen, produksi dan produktivitas bawang putih dunia serta tiga negara penghasil terbesar tahun 1998 – 2002. 1998
Dunia
A (ha)
1 092 542
1 126 317
9 142 852
9 695 225
11 083 049
11 445 526
12 182 291
9, 57
9,79
10,23
10,48
10,82
A (ha)
18 238
12 936
9 981
9 279
7 408
P (t)
83 664
62 222
59 008
49 573
49 167
4,59
4,81
5,91
5,34
6,64
457 321
487 828
559 833
584 924
627 140
5 814 066
6 186 289
7 486 112
7 894 066
8 680 049
12,71
12,68
13,37
13,49
13,84
A (ha)
123 200
118 800
124 600
120 000
120 000
P (t)
570 700
495 300
524 600
496 800
500 000
4,63
4,17
4,21
4,14
4,16
37 337
42 416
44 941
37 118
33 153
393 903
483 778
474 388
406 385
391 182
10,55
11,41
10,55
10,95
11,80
A (ha) P (t) Y (t/ha)
Y (t/ha) Republik Korea
2002
1 083 604
Y (t/ha)
India
2001
990 631
Y (t/ha)
China
2000
955 368
P (t)
Indonesia
1999
A (ha) P (t) Y (t/ha)
Sumber: FAOSTAT
Beberapa hal berkaitan dengan ekonomi pembangunan yang diperkirakan berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi bawang putih adalah: (i) peningkatan pendapatan per kapita, (ii) urbanisasi, (iii) perbaikan sarana transportasi, dan (iv) penurunan harga relatif input/masukan produksi. Dalam konteks pembangunan ekonomi, hal-hal tersebut secara intrinsik erat kaitannya dengan ekspansi dan integrasi pasar. Sebenarnya hampir tidak mungkin untuk memprediksi secara akurat pengaruh pembangunan ekonomi terhadap produksi bawang putih. Namun demikian, ada beberapa hal penting yang masih dapat digeneralisasi. Jika terjadi ekspansi pasar, pembelian input yang bersifat meningkatkan hasil (yield-increasing inputs), misalnya pupuk dan pestisida, akan tetap memberikan keuntungan bagi usahatani. Ekspansi pasar juga membuka kemungkinan untuk spesialisasi produksi. Fenomena ini akan diikuti oleh meningkatnya jumlah petani kecil yang mengusahakan bawang putih secara padat-input (input-intensive) untuk dijual ke pasar. Di negara berkembang seperti Indonesia, jika produksi bawang putih dibatasi oleh kendala-kendala: kondisi pertumbuhan yang kurang cocok, teknologi yang tidak tepat-guna, harga input mahal, dan kecilnya peluang pasar, maka proses atau aktivitas pembangunan ekonomi diharapkan dapat menekan biaya produksi serta menstimulasi produksi dan konsumsi bawang putih. Generalisasi lainnya adalah pertumbuhan penduduk pedesaan yang mengakibatkan semakin sempitnya luas lahan garapan serta semakin tingginya harga tanah, cenderung dapat menstimulasi pengusahaan tanaman-tanaman berpotensi daya hasil tinggi (high-yielding crops) -- salah satu diantaranya adalah bawang putih. Selama periode 1998 – 2002, luas areal penanaman bawang putih mengalami penurunan yang cukup besar. Dari luas panen 18 238 hektar di tahun 1998 menjadi 7 923 hektar di tahun 2002,
3
atau terjadi penurunan sebesar 56 %. Walaupun selama periode tersebut produktivitas meningkat, tetapi penurunan areal panen yang besar mengakibatkan produksi nasional dari tahun ke tahun terus menurun (Tabel 2). Tabel 2
Produksi bawang putih di Indonesia, 1998-2002
Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (t)
1998
18 238
83 664
4,587
1999
12 936
62 222
4,810
2000
9 981
59 008
5,912
2001
9 279
49 573
5,342
2002
7 923
46 393
5,855
Sumber:
Produktivitas (t/ha)
Survei Pertanian, BPS (berbagai tahun)
Berkaitan erat dengan tingkat adaptabilitasnya, pertanaman bawang putih di Indonesia tersebar terutama di daerah dataran tinggi. Berdasarkan data produksi dan areal tanam, pertanaman kentang tercatat di 18 propinsi, kecuali Riau, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Tabel 3 menunjukkan perkembangan areal tanam dan produksi di beberapa propinsi penting penghasil bawang putih, serta data agregatnya. Dilihat dari luas areal tanamnya, maka Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara barat merupakan 4 propinsi dengan luas areal terbesar di Indonesia. Di tahun 2002 luas areal penanaman bawang putih di keempat propinsi tersebut mencapai 18,20% (Sumatera Utara), 39,77% (Jawa Tengah), 16,90% (Jawa Tengah) dan 9,49 % (Nusa Tenggara Barat). Namun apabila dilihat dari produktivitasnya, maka Jawa Barat merupakan propinsi dengan tingkat produktivitas tertinggi untuk komoditas bawang putih. Produktivitas tertinggi bawang putih di Jawa Barat mencapai 8,3 ton per hektar yaitu pada tahun 1998, angka tersebut hampir dua kali lipat produktivitas nasional. Hal tersebut merupakan salah satu indikator, bahwa penggunaan teknologi di daerah Jawa Barat lebih baik dibandingkan dengan propinsi lainnya. Selama kurang lebih 10 tahun terakhir, bawang putih bukan merupakan komoditas prioritas dalam program penelitian Badan Litbang Pertanian. Praktis selama periode waktu tersebut tidak ada teknologi baru yang dihasilkan dan dapat diaplikasikan ke tingkat petani, namun demikian selama periode 1998 – 2002 masih terjadi peningkatan produktivitas. Bila dikaitkan dengan konsumsi domestik, maka penurunan produksi nasional tersebut pada gilirannya dapat mendorong tingginya volume impor bawang putih. Hal tersebut secara lebih jelas dibahas pada sub bab berikutnya. C.
Konsumsi dan jenis pemanfaatan
Konsumsi bawang putih sebagai bumbu masakan sudah tidak asing lagi, baik bagi masyarakat Indonesia maupun luar Indonesia. Sampai saat ini masyarakat yang paling terkenal sebagai konsumen bawang putih terbanyak adalah masyarakat Korea, kemudian diikuti oleh masyarakat Cina dan India. Masyarakat Jepang yang dikenal sebagai pengkonsumsi ikan terbesar di dunia, saat ini mulai menggemari bawang putih. Bahkan dari data statistik tercatat bahwa saat ini Jepang telah menjadi pengkonsumsi bawang putih terbesar setelah Korea, Cina dan India.
4
Tabel 3
Areal tanam (ha), produksi (ton) dan produktivitas (ton/ha) bawang putih di beberapa propinsi penting penghasil bawang putih di Indonesia, 1998-2002 Propinsi
1998
1999
2000
2001
2002
Sumatera Utara
Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)
1 719 7 321,22 4,259
1 779 5 566,49 3,129
1 444 10 131,10 7,016
1 463 8 735,57 5,971
1 442 10 532,37 7,304
Jawa Barat
Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)
318 2 655,94 8,352
251 2 045,90 8,151
207 1 374,06 6,638
178 176,93 0,994
186 1 310,93 7,048
Jawa Tengah
Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)
8 116 38 112,74 4,696
5 385 26 941,15 5,003
5 404 43 221,19 7,998
4 687 38 372,47 8,187
3 151 16 605,77 5,270
Jawa Timur
Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)
2 898 18 086,42 6,241
2 698 20 315 7,530
1 507 969,01 0,643
1 178 857,58 0,728
1 339 9 506,90 7,100
Bali
Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)
957 4 250,04 4,441
786 3 027,67 3,852
292 1 525,12 5,223
414 359,77 0,869
181 1 396,96 7,718
Nusa Teng barat
Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)
2 052 11 583,54 5,645
1 141 3 324,87 2,914
174 757,07 4,351
508 407,92 0,803
752 4 248,80 5,650
Total
Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)
16 151 82 009,9 5,07
12 040 61 231,08 5,08
9 028 57 977,55 6,42
8 428 48 910,24 5,80
7 051 43 601,73 6,18
Lainnya
Area (ha) Prod (t)
2 087 1 647,81
896 991,08
953 1 030,12
851 658,18
872 2 787,27
Indonesia
Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)
18 238 83 657,71 4,587
12 936 62 222,16 4,810
9 981 59 007,67 5,912
9 279 49 568,42 5,342
7 923 46 389 5,855
Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura
Bawang putih adalah salah satu dari 7 famili bawang-bawangan, disamping bawang merah, bawang perisai, bawang kucai, bawang ganda, bawang bakung dan bawang bombay. Negara penghasil utama bawang putih di dunia adalah Cina, di negeri Cina bawang putih dikenal dengan nama suan. Bangsa Cina senang mengonsumsi bawang putih bukan hanya dalam masakan saja, tapi juga sering diminum dicampur dengan teh. Bangsa India mengunakan bawang putih untuk menyembuhkan luka. Sedangkan bangsa Jepang mengonsumsinya dalam bentuk “juice” bawang putih yang mudah diperoleh di setiap sudut kota Jepang. Di Indonesia penggunaan bawang putih sebagai bumbu masak sudah dikenal sejak lama, walaupun kuantitas penggunaannya tidak sebanyak pada masakan-masakan Cina. Dengan berjalannya waktu, penggunaan bawang putih sebagai obat juga mulai berkembang di Indonesia. Di berbagai daerah di pulau Jawa, bawang putih mulai dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam pembuatan jamu tradisional. Para penjual jamu mempunyai keyakinan, bahwa mengonsumsi bawang putih satu siung dua
5
kali seminggu setelah makan dapat meningkatkan daya tahan tubuh serta tahan terhadap berbagai penyakit. Akhir-akhir ini berbagai pengobatan alternatif sudah menggunakan campuran bawang putih, karena bawang putih dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti TBC, influenza, antidiabetes, menurunkan tekanan darah tinggi, mengobati luka bakar, rematik, mencegah keracunan hati, antikolesterol. Anti kanker Salah satu hasiat bawang putih yang saat ini menjadi topik pembahasan penelitian adalah kemampuannya mencegah sel-sel tumor/kanker. Penelitian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ahli medis di Eropa dan Jepang, melaporkan bahwa zat allicin yang terkandung dalam bawang putih mampu mencegah timbulnya sel-sel kanker dan menghambat pertumbuhan sel-sel kanker. Percobaan pada tikus menunjukkan, zat allicin secara aktif menghambat pertumbuhan tumor paling sedikit 6 bulan setelah perlakukan. Anti jantung koroner Penyebab pokok dari penyakit jantung koroner adalah menumpuknya lemak, protein dan kolesterol pada pembuluh darah. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa bawang putih mengandung senyawa yang berkemampuan mengurangi kadar gula dalam darah, mencegah penumpukkan lemak dalam pembuluh darah,menghambat terbentuknya kolesterol pada serum serta mampu menghacurkan tumpukan kolesterol dalam darah. Penelitian lainnya menginformasikan, bahwa senyawa pada bawang putih yang dapat menghancurkan kolesterol tersebut adalah sulfur pada minyak atsiri bawang putih. Perawatan tubuh Bawang putih dapat dipakai sebagai obat untuk melangsingkan tubuh dan sekaligus membuat kulit halus dan lembut. Hal tersebut dikarenakan bawang putih mampu mengatur jumlah kalori yang dibutuhkan tubuh dengan menyisihkan kolesterol yang terlalu tinggi. Secara umum zat-zat yang terkandung pada bawang putih beserta kegunaannya bagi kesehatan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4
Zat-zat penting pada bawang putih serta kegunaannya. Nama zat
Allicin
Kegunanaan
Mencegah dan menghambat pertumbuhan tumor/kanker
Membunuh mikroba penyebab TBC, diphteri, tipoid, disentri dan gonorhoe.
Membunuh jamur penyebab penyakit meningitis
Sulfur
Menghancurkan kolesterol dalam darah
Scordinin
Meningkatkan vitalitas tubuh
Menekan kadar kolesterol
Meningkatkan produksi sperma
Mencegah penggumpalan darah
Antioksidan
Mencegah rusaknya sel darah merah
Mencegah rusaknya persendian
Mencegah pelengketan sel-sel darah merah
Selenium Anti hemolitik faktor Methyllalyl trisulfide
6
Bagi konsumen di Indonesia, bawang putih banyak digunakan sebagai pelengkap bumbu masak. Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir pengobatan tradisional yang berprinsip back to nature mulai banyak diminati oleh masyarakat di Indonesia. Bawang putih termasuk salah satu komoditas yang banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Hal tersebut merupakan salah satu faktor pendorong meningkatnya konsumsi bawang putih per kapita dari tahun ke tahun. Tabel 5 menyajikan data konsumsi bawang putih per kapita di daerah perkotaan dan pedesaan. Selama periode tahun 1990 – 2002, konsumsi per kapita tersebut memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan baik di perkotan maupun di pedesaan. Jika pada tahun 1990 konsumsi bawang putih di perkotaan tercatat 0,068 ons/kapita tahun, maka pada tahun 2002 menjadi 0,238 ons/kapita per tahun, atau meningkat sekitar 250%. Konsumsi di daerah pedesaanpun memperlihatkan pola yang serupa. Secara umum dapat dikatakan bahwa konsumsi bawang putih di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Tingkat konsumsi bawang putih ini juga menunjukkan peningkatan sejalan dengan peningkatan tingkat pengeluaran seperti terlihat pada Tabel 6.
Tabel 5
Konsumsi bawang putih di perkotaan dan pedesaan Indonesia (ons/kapita/ tahun) Tahun
Perkotaan
Pedesaan
1990
0,068
-
1993
0,091
0,064
1996
0,119
0,084
1999
0,162
0,124
2002
0,238
0,181
Table 6
Konsumsi bawang putih di perkotaan dan pedesaan berdasarkan tingkat pengeluaran
Tahun
Sumber:
Perkotaan
Pedesaan
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
1990
0,031
0,072
0,118
1993
0,040
0,092
0,171
0,038
0,096
0,204
1996
0,056
0,112
0.204
0,042
0,117
0,169
1999
0,096
0,145
0,235
0,072
0,143
0,228
2002
0,117
0,179
0,296
0,071
0,169
0,296
SUSENAS, BPS (berbagi tahun)
Keterangan: o Tingkat pengeluaran kelas rendah adalah sebesar < Rp 20 000 untuk 1990, < Rp. 20 000 untuk 1993, < Rp. 40 000 untuk 1996, < Rp. 80 000 untuk 1999 dan 2002 (kapita per bulan). o Tingkat pengeluaran kelas sedang/menengah adalah sebesar Rp. 20 000 – 99 999 untuk 1990, Rp. 30 000 – 99 999 untuk 1993, Rp. 40 000 – 149 999 untuk 1996, Rp. 80 000 – 199 999 untuk 1999 dan Rp. 80 000 – 199 999 untuk 2002 (kapita per bulan). o Tingkat pengeluaran kelas tinggi adalah sebesar > Rp.99 999 untuk 1990 dan 1993, > Rp. 149 999 untuk 1996, > Rp. 199 999 untuk 1999 dan 2002 (kapita per bulan).
Konsumsi bawang putih domestik dihitung dengan menambahkan kuantitas impor dan mengurangkan kuantitas ekspor ke kuantitas produksi total. Tabel 7 menunjukkan bahwa selama periode waktu 1998 – 2002 terdapat peningkatan konsumsi bawang putih. Dari tabel tersebut juga terlihat, konsumsi domestik sebagian besar dipenuhi dari bawang putih impor. Selama kurun waktu tersebut volume impor mencapai tiga sampai lima kali volume produksi dalam negeri. Bila produksi
7
bawang putih dalam negeri dibandingkan dengan impor terdapar hubungan yang terbalik, yaitu volume impor dari tahun ke tahun terus meningkat, sementara volume produksi dalam negeri terus menurun. Salah satu penyebab kondisi tersebut adalah minat petani untuk menanam bawang putih menurun, karena tidak mampu bersaing dengan bawang putih impor (Sastrosiswojo., dkk. 2002). Sebagai akibat dari kondisi tersebut adalah tingkat ketergantungan konsumsi domestik terhadap impor yang semakin tinggi. Tabel 7
Konsumsi domestik bawang putih tahunan di Indonesia (ton) Tahun
Produksi
Ekspor
Impor
Konsumsi domestik
1998
83 347,66
0,6
140 526,87
223 873,93
1999
62 222,16
199,88
178 120,52
240 142,80
2000
58 987,71
483,80
174 701,85
233 205,76
2001
49 549,86
2 469,64
206 926,58
254 006,80
2002 46 349,55 Sumber : BPS (berbagai tahun)
3 298,67
228 699,04
271 749,92
D.
Pemasaran, perdagangan dan standardisasi
Secara umum pemasaran pada komoditas sayuran dimaksudkan untuk memindahkan komoditas yang dihasilkan oleh petani ke tangan konsumen akhir. Karena sayuran diproduksi di daerah yang cukup jauh dengan daerah konsumen, maka proses pemindahan barang tersebut melibatkan berbagai institusi pemasaran. Hampir seluruh sektor pemasaran bawang putih ditangani oleh pihak swasta dan intervensi pemerintah dalam hal ini relatif minimal, khusus terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar bawang putih seringkali dianggap beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan. Berbeda dengan komoditas sayuran lainnya, bawang putih yang beredar di Indonesia terdiri dari bawang putih impor dan bawang putih lokal. Dari tahun ke tahun peredaran bawang putih lokal semakin tersisihkan oleh keberadaan bawang putih impor, sehingga petani bawang putihpun banyak yang beralih ke komoditas sayuran lainnya Berdasarkan hasil penelitiannya, Suherman (1999) membedakan sistem transaksi yang berlaku antara petani bawang putih (lokal) dengan pedagang dapat dibedakan menjadi : 1. Sistem tebasan - transaksi dilakukan pada saat bawang putih masih berada di lapangan (3-4 hari sebelum panen). Pada sistem ini baik petani maupun penjual diharuskan melakukan prediksi terhadap volume panen yang akan diperoleh. Biasanya prediksi tersebut didasarkan pada pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman dan jarak tanamnya. 2. Sistem kuintalan - transaksi dilakukan di lokasi petani atau di pasar pengumpul untuk bawang putih yang telah dipanen, berdasarkan volume (berat timbangan) bawang putih yang diperjual belikan. Selanjutnya bawang putih tersebut dipasarkan dan akan melibatkan beberapa institusi pemasaran diantaranya : 1. Komisioner/Penyiar - Kegiatan utama komisioner adalah membantu petani memasarkan bawang putih atau membantu mencari bawang putih. Untuk jasa tersebut komisioner memperoleh imbalan
8
untuk setiap kg bawang putih yang terjual. Contohnya pada tahun 1999 besar komisi adalah Rp 50,00/kg untuk bawang putih besar dan Rp 100,00/kg untuk bawang putih kecil. 2. Bandar - Bandar mempunyai tugas untuk mencari barang, membeli barang dari petani atau penyiar. Pembelian dan penjualan bawang putih umumnya dilakukan oleh bandar berdasarkan ukuran berat. Volume pengiriman barang berkisar antara 1 – 1,5 ton dengan waktu pembayaran 13 hari setelah transaksi. 3. Pedagang besar/grosir - Pedagang besar/grosir menetap di pasar induk yang terletak di daerah konsumen, contohnya pasar Caringin (Bandung) dan pasar Induk Kramat Jati (Jakarta). Volume pembelian dari bandar berkisar 2 – 3 kuintal/2 hari. Harga beli dari bandar ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan informasi harga di pasar. Cara pembayaran umumnya dengan uang muka sebesar 30 – 40 persen. 4. Pengecer - Pengecer membeli bawang putih dari pedagang grosir, yang selanjutnya menjualnya langsung ke konsumen di pasar-pasar eceran. Sistem pembayaran antara pengecer dan grosir dilakukan secara kontan. Beberapa saluran pemasaran bawang putih yang berasal dari daerah sentra produksi Ciwidey Bandung ke daerah konsumen di Bandung dan Jakarta adalah: Saluran A Saluran B Saluran C
: Petani – Komisioner/penyiar – Bandar – Grosir – Pengecer – Konsumen. : Petani – Bandar Ciwidey – Grosir – Pengecer – Konsumen. : Petani – Penebas – Grosir – Pengecer – Konsumen.
Biaya yang dikeluarkan dalam proses pergerakan bawang putih dari produsen ke konsumen akhir secara terperinci disajikan pada Tabel 8. Tabel 8
Rata-rata biaya pemasaran bawang putih basah dan kering dari Kecamatan Ciwidey sampai Kota Bandung dan DKI Jakarta tahun 1993. Jenis lembaga pemasaran
Komisioner
Biaya pemasaran bawang putih (Rp/kg) Basah Kering 20,77 20,77
Penebas
430,25
693,10
Bandar Ciwidey (dari penyiar)
119,01
271,00
Bandar Ciwidey (dari petani)
134,78
286,77
Grosir Caringin
130,40
-
-
464,72
372,36
394,46
Grosir Kramatjati Pengecer
Sumber : Soetiarso., dkk. 1995 Untuk,mendapatkan efisiensi saluran pemasaran perlu diketahui total marjin pemasaran. Marjin pemasaran adalah perbedaan antara harga yang dibayarkan pada saat membeli produk dengan harga yang diterima pada saat produk tersebut dijual kembali, atau secara sederhana, marjin pemasaran adalah perbedaan harga antara dua tingkat pasar (Calkins and Wang, 1978). Marjin merepre-sentasikan harga yang dibebankan (biaya pemasaran dan keuntungan) untuk sekumpulan pelayanan yang diberikan pada saat menyiapkan produk ke pasar. Besarnya marjin sangat bergantung pada kombinasi (a) kualitas dan kuantitas pelayanan yang diberikan, (b) biaya yang diperlukan untuk memberikan pelayanan tersebut, dan (c) efisiensi pelayanan serta penetapan harga pelayanan tersebut (Scarborough and Kydd, 1993).
9
Saluran pemasaran B memberikan nilai total marjin yang paling kecil yaitu 81,16 % dan 72,65 %. Hal ini mengindikasikan bahwa saluran pemasaran B untuk tujuan Bandung dan Jakarta merupakan saluran yang paling efisien karena biaya pemasaran dan keuntungan yang diambil oleh lembaga yang terlibat paling kecil. Demikian juga dari aspek efisiensi teknis dan ekonomis dan bagian harga yang diterima oleh petani (farmer’s share), ternyata saluran B mempunyai indeks efisiensi teknis (T) dan ekonomis (E) yang paling rendah serta farmer’s share tertinggi (Tabel 9). Tabel 9
Indeks efisiensi dan farmer’s share saluran pemasaran bawang putih basah dan Kering dari Kec. Ciwidey sampai ke Kota bandung dan DKI Jakarta. Uraian
Indeks Efisiensi Teknis (T) Indeks Efisiensi Ekonomis (E) Farmer’s share Sumber : Soetiarso, 1995.
Saluran Pemasaran Bawang putih basah Bawang putih kering A B C A B C 15,3 15,1 30,6 5,7 5,6 13,0 19,3 18,2 23,3 5,2 4,7 6,5 48,8 50,0 16,8 50,8 52,3 10,4
Selanjutnya Tabel 10, 11 dan Tabel 12 memperlihatkan volume ekspor dan impor untuk komoditas bawang putih selama periode 1996 – 2002. Adapun jenis bawang putih yang diekspor dan diimpor terdiri dari bawang putih segar dan bawang putih kering (termasuk jenis tepung). Baik ekspor maupun impor dalam periode waktu tersebut menunjukkan peningkatan volume, dan mencapai Tabel 10
Volume dan nilai ekspor bawang putih Indonesia, 1996-2002
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Kuantitas ( ton ) Total 15,318 68,116 0,600 199,878 483,800 2 469,645 3 298,677
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Nilai (juta US$) Total 30 198 73 981 270 80 006 210 416 516 286 882 727
Segar 3,900 68,000 0,600 199,878 162,649 2 300,200 3 249,054
Kering 11,418 0,116 321,151 169,445 49,623
Segar
Kering 29 723 3 108 164 796 90 230 25 110
475 70 873 270 80 006 45 620 426 056 857 617
puncaknya di tahun 2002. Bila dilihat dari persentasenya peningkatan tersebut dari tahun ke tahun cukup besar. Impor bawang putih pada tahun 1996 hanya 60 193,42 ton , pada tahun 2002 menjadi 228 699,04 ton, sementara ekspor di tahun 1996 sebesar 15,318 ton di tahun 2002 telah meningkat menjadi 3 298,677 ton. Namun bila dilihat dari volumenya, volume impor jauh lebih tinggi dari pada ekspor. Diperkirakan pada tahun-tahun berikutnya peningkatan akan terus terjadi terutama untuk kegiatan impor. Prediksi tersebut didasarkan pada kondisi saat ini yang belum memperlihatkan adanya tanda-tanda ke arah perbaikan produksi bawang putih dalam negeri, baik dari aspek kualitas produk maupun produktivitasnya. Dilihat dari harga bawang putih impor, ternyata dari tahun ke tahun terjadi penurunan
10
yang cukup signifikan, yaitu 968 US$ per ton di tahun 1996 turun menjadi 232,87 US$ per ton di tahun 2002. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bawang putih lokal semakin tidak kompetitif dengan bawang putih impor, baik dalam hal harga maupun kualitas produk. Hampir 70% impor bawang putih Indonesia berasal dari China, baik untuk bawang putih segar maupun kering, sedangkan sisanya dipenuhi oleh negara-negara seperti Hongkong, Singapura, Australia, Taiwan dan India. Sedangkan negara tujuan ekspor untuk bawang putih segar adalah Taiwan, Singapura dan Canada, sedangkan untuk bawang putih kering adalah Thailand, Bangladesh dan USA. Tabel 11
Harga ekspor bawang putih Indonesia, 1996-2002 Harga (US$/t)
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Total 1 971,40 1 086,10 450,00 400,28 434,92 209,05 267,60
Segar 121,79 1 042,25 450,00 400,27 280,48 185,22 263,96
Kering 2 603,17 26 793,10 513,14 532,50 506,01
Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun.
Tabel 12
Impor bawang putih Indonesia, 1996-2002
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Kuantitas ( ton ) Total 60 193,42 62 830,67 140 526,87 178 120,52 174 701,85 206 926,58 228 699,04
Tahun
Nilai (juta US$) Total
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
58 267 958 56 016 673 47 011 516 41 437 653 44 121 079 52 086 766 53 258 640
Segar 59 893,08 62 775,81 138 492,47 178 046,03 174 035,72 205 470,36 226 084,87
Kering 300,37 54,86 2 034,40 74,48 666,12 1 456,24 2 614,16
Segar
Kering
58 073 578 55 983 902 45 853 348 40 795 032 43 444 592 51 216 982 52 297 837
195 440 3 2 71 1 158 168 642 625 676 487 869 784 960 803
Harga (US$/t) Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Total 968,01 891,55 334,54 232,64 252,55 251,72 232,87
Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Kode SITC 05452100 bawang putih segar 05619100 bawang putih kering
Segar 969,62 891,80 331,09 229,12 249,63 249,27 231,32
Kering 650,73 597,39 569,29 8 627,63 1 015,55 597,29 367,54
11
Bawang putih yang beredar di Indonesia terdiri dari bawang putih impor dan bawang putih lokal. Perbedaan mutu yang mencolok dari dari kedua jenis bawang putih tersebut adalah pada ukuran umbi dan tingkat kekeringannya. Bawang putih impor mempunyai ukuan umbi yang besar (5,5 cm) serta kering, sementara sementara ukuran umbi bawang putih lokal sekitar 3 cm dan agak basah (Ameriana., dkk. 1990). Walaupun aroma bawang putih lokal lebih tajam serta harganya lebih murah (terutama di pulau Jawa), tetapi konsumen di Indonesia lebih menyukai bawang putih impor. Harga bawang putih impor dan lokal di beberapa pasar grosir di Indonesia disajikan pada Tabel 13. Tabel 13
Harga bawang putih impor dan lokal di pasar konsumen di Indonesia tahun 1995 – 1999.
Tahun
Surabaya (Rp/kg) Impor
Lokal
Selisih *
Medan (Rp/kg) Impor
Lokal
Pontianak (Rp/kg) Selisih *
Impor
Lokal
Selisih *
1995
5 587
3 812
- 1 175
3 853
3 309
3 309
0
1996
5 908
4 038
- 1 870
3 822
3 073
3 073
0
1997
5 224
4 038
- 1 186
4 437
3 369
-
1998
6 396
4 038
- 2 358
4 437
7 499
10 250
1999
4 139
4 038
- 101
5 436 3 698
+ 999
+2 751
5 102
Walaupun ada kecenderungan harga impor bawang putih menurun, tetapi hal tersebut tidak mampu mendorong peningkatan pangsa pasar bawang putih lokal yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan produksi. Menurut Sastrosiswojo., dkk (2002), hal tersebut selain disebabkan faktor preferensi konsumen, diduga juga terdapat praktek monopoli pada pemasaran bawang putih. Pada struktur pasar monopoli tersebut produsen bawang putih lokal sulit untuk dapat memasuki pasar. Dalam pengembangan komoditas hortikultura, peningkatan produksi perlu diikuti dengan peningkatan mutu hasil. Mutu hasil merupakan salah satu kunci sukses dalam memasuki era pasar bebas dan meningkatkan daya saing produk, di samping perlu dikembangkan konsistensi dan kontinuitasnya. Di dalam perdagangan, mutu hasil diwujudkan dalam bentuk adanya standar mutu yang akan memacu para produsen untuk bekerja lebih efisien, produktif dan transparan. Dengan adanya standarisasi diharapkan transaksi perdagangan menjadi lebih lancar. Di samping itu, aspekaspek perlindungan konsumen, jaminan mutu, kesehatan dan kebersihan, keamanan dan keselamatan serta kelestarian lingkungan akan lebih mendapat perhatian. Sejak diterapkannya Peraturan Pemerintah no 15 Tahun 1991, standar mutu yang berlaku di Indonesia adalah standar nasional Indonesia (SNI). Standar mutu yang berlaku sebelum adanya PP tersebut (SP, SPI, SII, dll) perlu direvisi jadi SNI. Sebagai tindak lanjut dari PP tersebut ditetapkan Keputusan Presiden No 12 Tahun 1991 tentang penyusunan, penerapan dan pengawasan SNI, yang berlaku sejak tanggal 1 April 1994. Sebagai tindak lanjut penetapan Standar Nasional Indonesia, melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 303/Kpts/OT.210/ 4/1994 tanggal 27 April 1994, Standar Nasional Indonesia sektor pertanian adalah standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Standar-disasi Nasional (yang sekarang menjadi Badan Standardisasi Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 13 tahun 1997) dan berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia. Dalam SNI tersebut bawang putih mempunyai nomor: SNI 01-3160-1992, dengan deskripsi bawang putih adalah umbi dari tanaman bawangputih (Allium sativum L.) yang terdiri dari siung-siung bernas, kompak dan masih terbungkus oleh kulita luar, bersih dan tidak berjamur. Selanjutnya bawang putih digolongkan dalam dua jenis mutu, yaitu mutu I dan mutu II. Tabel 14 menunjukkan kriteria yang lebih terperinci menyangkut standarisasi untuk bawang putih.
12
Tabel 14
SNI 01-3160-1992 untuk bawang putih Karakteristik
Syarat
Cara Pengujian
Mutu I
Mutu II
Seragam
Seragam
Organoleptik
Tingkat ketuaan
Tua
Tua
Organoleptik
Kelompok siung
Kompak
Kurang kompak
Organoleptik
Kebernasan siung
Bernas
Kurang bernas
Organoleptik
Kering simpan
Kering simpan
Organoleptik
Sempurna
Kurang sempurna
Organoleptik
Menutup umbi
Menutup umbi
Satu, utuh, rapi, ukuran normal
Tidak dipersyaratkan
Organoleptik
Kerusakan, % (bobot/bobot) maks
5
8
SP-SMP-310-1977
Busuk, % (bobot/bobot) maks
1
2
SP-SMP-310-1981
3,0
2,5
SP-SMP-310-1981
Tidak ada
Tidak ada
Keseragaman varietas
Kekeringan Kulit luar pembungkus Umbi Mahkota
Diameter minimum, cm Kotoran
E.
Organoleptik
Karakteristik tanaman, sistem pengelolaan (budidaya) dan panen
1. Karakteristik Tanaman Varietas bawang putih yang banyak di tanam di Indonesia antara lain: Lumbu hijau, Lumbu kuning, Cirebon, Tawangmangu, jenis Illocos dari Filipina, dan jenis Lokal Thailand. Dari banyak varietas tersebut yang banyak ditanam adalah varietas Lumbu hijau dan Lumbu kuning. Bawang putih mempunyai nilai kalori, protein dan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis umbi lapis lainnya. Rasa dan aroma khas pada bawang putih dtimbulkan oleh komponen-komponen flavor yang terkandung dalam bawang putih (Histifarina dan Mussadad, 1999). Bawang putih tersusun atas komponen-komponen utama yaitu protein, lemak, karbohidrat, air dan kalori. Selain itu bawang putih mengandung komponen volatil (minyak menguap), getah, albumin dan beberapa mineral seperti kalsium, fosfor dan besi. Komposisi kimia bawang putih selengkapnya tersaji pada Tabel 15. Tabel 15
Komposisi kimia bawang putih per 100 gram. Komponen
Jumlah
Satuan
Protein
4,50
Gram
Lemak
0,20
Gram
Karbohidrat
23,10
Gram
Kalsium
42,00
Miligram
Fosfor
134,00
Miligram
Besi
1,00
Miligram
Vitamin B1
0,22
Miligram
Vitamin C
15,00
Miligram
Air
71,00
Miligram
Kalori
95,00
Kalori
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1979).
13
Komponen penting pada bawang putih yang dapat menghasilkan aroma khas adalah sulfur, yang terdiri dari 60 % diallyl disulfida, 20 % diallyl trisulfida, 6 % allyl propyl disulfida, dengan sedikit dietil disulfida, diallyl polisulfida dan sedikit alliin dan allisin (Farrel, 1995). Prekursor utama aroma pada bawang putih adalah S-allyl cysteine sulfoxide. Enzim pemecah asam allyl sulfenic akan membentuk senyawa alliicin atau diallyl thiosulfinate. Allicin adalah komponen volatil utama pada ekstrak bawang putih segar. Komposisi prekursor aroma pada bawang putih tersaji pada Tabel 16. Tabel 16
Komposisi prekursor aroma pada bawang putih.
Senyawa S-Methyl cysteine sulfoxide
Jumlah ++
S-Propyl cysteine sulfoxide
+
S-Propenyl cysteine sulfoxide
0
S-Allyl cysteine sulfoxide
+++
Keterangan : +++ = tinggi, ++ = sedang, + = rendah, 0 = tidak ada Sumber : Brewster dan Robinowtch (1990)
2. Syarat Pertumbuhan 2.1. Iklim a. Keadaan angin tidak banyak berpengaruh untuk tanaman bawang putih. Faktor angin merupakan faktor yang tidak menentukan keberhasilan bertanam bawang. b. Curah hujan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman bawang putih adalah antara 100-200 mm/bulan. Curah hujan yang rendah dari itu akan mengganggu pertumbuhan, sebaliknya curah hujan yang terlalu tinggi akan menyebabkan tanaman membusuk. c. Tanaman bawang putih menghendaki penyinaran matahari yang cukup. Jenis bawang putih yang berumur panjang cocok ditanam di daerah sub-tropis, terutama pada musim panas. Bawang putih yang biasa ditanam di Indonesia merupakan jenis berumur pendek atau genjah. d. Suhu udara yang cocok untuk tanaman ini antara 15-26 derajat C. Pada suhu udara yang terlalu tinggi umbi tidak berkembang sempurna/malah tidak membentuk umbi. Sebaliknya jika suhu udara terlalu rendah, tanaman mudah terserang frost. e. Bawang putih menyenangi daerah yang lembab tapi kering. Kelembaban yang sesuai dengan bawang putih adalah sekitar 60-70 persen.
2.2. Media Tanam a. Tanah yang baik adalah tanah berlempung/berpasir ringan, berstuktur gembur, kaya bahan organik, serta bersifat porous. Di lahan yang terlalu banyak kandungan pasirnya umbi akan cepat masak, kulit luar menipis dan siungnya mudah pecah (mudah rontok). Sebaliknya di tanah yang memiliki kandungan liat tinggi pertumbuhannya akan terhambat. Kesuburan tanah berkaitan dengan kandungan zat makanan yang terdapat di dalamnya. Dengan bertambah banyaknya humus akan memperbesar kandungan hara. b. Derajat keasaman tanah yang paling disukai tanaman bawang putih adalah pH antara 6,5-7,5, sedangkan apabila pH<6,5 maka tanah harus di kapur. c. Kelerengan yang baik untuk tanaman bawang putih adalah antara 15-40 derajat.
14
2.3. Ketinggian Tempat Dataran tinggi dengan ketinggian antara 700-1000 m dpl merupakan daerah yang paling cocok untuk tanaman bawang putih. 3. Pedoman Teknis Budidaya 3.1. Pembibitan Keberhasilan usaha tani bawang putih sangat ditunjang oleh faktor bibit karena produksinya tergantung dari mutu bibit yang digunakan. Umbi yang digunakan sebagai bibit harus bermutu tinggi, berasal dari tanaman yang pertumbuhannya normal, sehat, serta bebas dari hama dan patogen. 3.1.1. Persyaratan Benih Mutu bibit/benih bawang putih yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: • Bebas hama dan penyakit • Pangkal batang berisi penuh dan keras • Siung bernas • Besar siung untuk bibit 1,5 sampai 3 gram. 3.1.2. Penyiapan Benih Benih bawang putih berasal dari pembiakan generatif dengan umbinya. Kultur jaringan juga merupakan metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti jaringan serta menumbuh-kannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman lengkap. Dengan kultur jaringan dapat diperoleh perbanyakan mikro/ produksi tanaman baru dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat. Umbi bawang putih dapat diperoleh di kios penjual bibit atau produsen bibit. Selain itu, umbi bibit juga dapat diperoleh dari hasil panen sebelumnya yang telah dipersiapkan untuk umbi bibit. Penyimpanan bibit pada umumnya dilakukan oleh petani di para-para dan digantung dengan cara pengasapan. Cara ini praktis tetapi seringkali merusak umbi bibit dan memiliki penampilan yang kurang menarik dan memberikan warna yang kecoklat-coklatan. Cara penyimpanan umbi bibit lain terdiri dari penyimpanan alami, penyimpanan di ruangan berventilasi dan penyimpanan pada suhu dingin. 3.2. Pengolahan Media Tanam 3.2.1. Persiapan Penanaman bawang putih biasanya dilakukan di daerah persawahan yaitu setelah panen padi. Pengolahan lahan bertujuan menyiapkan kondisi tanah sesuai dengan yang diinginkannya. Secara garis besar pengolahan tanah meliputi kegiatan penggemburan, pembuatan bedengan dengan saluran air, pengapuran (untuk tanah asam) dan pemberian pupuk dasar. Tanah yang asam dinetralkan sebulan sebelum tanam. Bila pH kurang dari 6, dosis kapurnya sekitar 1-2 ton/ha. Jumlah bibit yang diperlukan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: o pola tanam o jarak tanam o permukaan lahan o ukuran umbi bibit Kebututuhan umbi bibit untuk bawang putih apabila jarak tanam 20 x 20 cm jumlah kebutuhan bibit antara 200.000-250.000 siung/200 kg siung, jarak tanam 20 x 15 cm jumlah kebutuhan bibit antara 240.000-300.000 siung/sekitar 240 kg siung, dan untuk jarak tanam 20 x 10 cm jumlah kebutuhan
15
bibitnya adalah antara 400.000-500.000 siung/sekitar 400 kg siung. Jumlah bibit akan menentukan volume produksi. 3.2.2. Pembukaan Lahan Lahan yang akan ditanami apabila bekas panen pada sawah masih ada maka perlu dibersihkan. Apabila lahan yang hendak ditanami bukan bekas sawah, tanah harus dibajak/dicangkul hingga benar-benar gembur. Setelah itu lahan dibiarkan selama kurang lebih 1 minggu sampai bongkahan tanah tersebut menjadi kering, selanjutnya bongkahan tanah tersebut dihancurkan dan diratakan lalu dibiarkan lagi, beberapa hari kemudian dilakukan lagi pembajakan untuk yang kedua kalinya. Dengan cara seperti ini bongkahan tanah akan hancur lebih halus lagi. 3.2.3. Pembentukan Bedengan Pembuatan bedengan mula-mula dilakukan dengan menggali tanah untuk saluran selebar dan sedalam ± 40 cm. Tanah galian tersebut diletakkan di samping kiri dan kanan saluran, selanjutnya dibuat menjadi bedengan-bedengan. Lebar bedengan biasanya 80 cm dengan panjang 300 cm dan tinggi 40 cm. Tinggi bedengan dibuat berdasarkan keadaan tanah lokasi. Kalau tanahnya agak berat, bedengan perlu sedikit ditinggikan. Apabila tanahnya berpasir, bedengan tidak perlu terlalu tinggi. 3.2.4. Pengapuran Keasaman tanah yang ideal untuk budidaya bawang putih berkisar antara pH 6-6,8. Jika keasaman tanah masih normal, pH nya berkisar 5,5-7,5, belum merupakan masalah. Yang menjadi masalah adalah apabila keasaman tinggi, pH nya rendah. Untuk menurunkan tingkat keasaman tanah, menaikkan pH, perlu dilakukan pengapuran. Waktu pemberian kapur yang baik adalah pada saat akhir musim kemarau menjelang musim hujan. Pemberian kapur ke dalam tanah dilakukan 2-4 minggu sebelum tanaman ditanam. Selain itu, faktor cuaca juga perlu diperhatikan pada saat pemberian kapur. Lahan yang akan dikapur harus dibersihkan dari rumput pengganggu (gulma). Setelah bersih, tanah dicangkul secara keseluruhan. Apabila lahan cukup luas, sebaiknya dibagi menjadi beberapa petak untuk mempermudah pemberian kapur dan agar kapur yang diberikan merata ke seluruh lahan. Pemberian kapur dilakukan dengan cara ditabur, seperti memupuk padi. Setelah ditaburi kapur secara merata, tanah dicangkul lagi agar kapur bercampur dengan tanah dan cepat bereaksi. Selanjutnya, tanah dibiarkan selama 2-3 minggu, lalu diolah lagi untuk ditanami. Pengapuran dilakukan secara bertahap agar kondisi lahan tidak rusak. Kebutuhan dolomit untuk menetralkan tanah: a. pH tanah 4,0 = 10,24 ton/ha. b. pH tanah 4,5 = 7,87 ton/ha. c. pH tanah 5,0 = 5,49 ton/ha. d. pH tanah 5,5 = 3,12 ton/ha. e. pH tanah 6,0 = 0,75 ton/ha. 3.2.5. Pemupukan Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk kandang, Urea, TSP dan ZK. Pupuk kandang di berikan sebanyak 20 ton /ha. Pupuk Urea, TSP dan ZK masing-masing diberikan sehari sebelum tanam dengan dosis 200, 130 dan 200 kg/ha. Pemberian pupuk dasar tidak perlu terlalu dalam, cukup disebarkan di atas bedengan kemudian dicampur dengan tanah atau dibenamkan ke dalam larikan yang dibuat disamping barisan tanaman. 3.2.6. Pemberian Jerami Sebagai Mulsa Untuk mempertahankan kondisi tanah setelah penanaman, bedengan ditutup dengan jerami secara merata. Penutupan dengan jerami jangan terlalu tebal karena dapat mempersulit bibit yang
16
baru tumbuh untuk menembusnya. Selain untuk mempertahankan kondisi tanah, mempertahankan suhu dan kelembaban permukaan, penutupan dengan jerami juga dimaksudkan untuk memperbaiki struktur tanah, apabila jerami telah membusuk. 3.3. Teknik Penanaman 3.3.1. Penentuan Pola Tanam Penanaman bawang putih dapat dilakukan satu atau dua kali setahun dengan mengadakan penyesuaian varietas. Pola tanam bawang putih dalam setahun dapat dirotasikan sebagai berikut: a. Bawang putih - sayuran - bawang putih b. Bawang putih - sayuran tumpang sari palawija - bawang putih c. Bawang putih - tumpang sari palawija atau sayuran. Penggunaan jarak tanam yang sesuai dapat meningkatkan hasil umbi per hektar. Jarak tanam yang terlalu rapat akan menghasilkan umbi yang relatif kecil walaupun hasil per satuan luas meningkat. Jarak tanam yang digunakan dapat bervariasi menurut kebutuhan yang paling menguntungkan, tetapi yang biasa digunakan adalah (15 x 10) cm. 3.3.2. Pembuatan Lubang Tanam Pembuatan lubang tanam dapat dilakukan dengan tugal atau alat lain. Kedalaman lubang untuk penanaman bawang putih adalah 3-4 cm (setinggi ukuran siung bibit). Setelah lubang tanam terbentuk, umbi bibit siap ditanam. 3.3.3. Cara Penanaman Sehari sebelum ditanam, bibit bawang putih yang masih berupa umbi dipipil/dipecah satu per satu sehingga menjadi beberapa siung. Agar lebih mudah memecahkan umbi dan menghindari terkelupasnya kulit siung, sebaiknya umbi dijemur selama beberapa jam. Bibit siung tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam lubang tanam di atas bedengan. Lubang tanam jangan dibuat terlalu dalam supaya bibit tidak terbenam seluruhnya. Jika bibit terlalu dalam ditanam atau terbenam seluruhnya ke dalam tanah, tunas barunya akan sukar tumbuh dan dapat terjadi pembusukan bibit. Sebaliknya, lubang tanam juga jangan dibuat terlalu dangkal karena nantinya tanaman akan mudah rebah. Setiap lubang ditanam satu bibit dan diusahakan agar 2/3 bagian yang terbenam ke dalam tanah dengan posisi tegak lurus. Posisi siung jangan sampai terbalik, sebab walau masih dapat rumbuh, tetapi pertumbuhannya tidak sempurna. 3.4. Pemeliharaan Tanaman 3.4.1. Penjarangan dan Penyulaman Bawang yang ditanam kadang-kadang tidak tumbuh karena kesalahan teknis penanaman atau faktor bibit. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam suatu lahan ada tanaman yang tidak tumbuh sama sekali, ada yang tumbuh lalu mati, dan ada yang pertumbuhannya tidak sempurna. Jika keadaan ini dibiarkan, maka produksi yang dikehendaki tidak tercapai. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan pertumbuhan yang seragam, seminggu setelah tanam dilakukan penyulaman terhadap bibit yang tidak tumbuh atau pertumbuhannya tampak tidak sempurna. Biasanya untuk penyualaman dipersiapkan bibit yang ditanam di sekitar tanaman pokok atau disiapkan di tempat khusus. Persiapan bibit cadangan ini dilakukan bersamaan dengan penanaman tanaman pokok. 3.4.2. Penyiangan Pada penanaman bawang putih, penyiangan dan penggemburan dapat dilakukan dua kali atau lebih. Hal ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan selama satu musim tanam.Penyiangan
17
dan penggemburan yang pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 3-2 minggu setelah tanam. Adapun penyiangan berikutnya dilaksanakan pada umur 4-5 minggu setelah tanam. Apabila gulma masih leluasa tumbuh, perlu disiang lagi. Pada saat umbi mulai terbentuk, penyiangan dan penggemburan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak akar dan umbi baru. 3.4.3. Pembubunan Dalam penanaman bawang putih perlu dilakukan pembubunan. Pembubunan terutama dilakukan pada tepi bedengan yang seringkali longsor ketika diairi. Pembubunan sebaiknya mengambil tanah dari selokan/ parit di sekeliling bedengan, agar bedengan menjadi lebih tinggi dan parit menjadi lebih dalam sehingga drainase menjadi normal kembali. Pembubunan juga berfungsi memperbaiki struktur tanah dan akar yang keluar di permukaan tanah tertutup kembali sehingga tanaman berdiri kuat dan ukuran umbi yang dihasilkan dapat lebih besar-besar. 3.4.4. Pemupukan Pemberian pupuk dilakukan dengan 2 tahap, yaitu sebelum tanam atau bersamaan dengan penanaman sebagai pupuk dasar dan sesudah penanaman sebagai pupuk susulan.Unsur hara utama yang diperlukan dalam pemupukan adalah N, P, dan K dalam bentuk N, P2O5, dan K2O. Unsur-unsur hara lainnya dapat terpenuhi dengan pemberian pupuk kandang. Dalam satu kali penanaman tiap hektar bawang putih dibutuhkan sekitar 240 kg N, 60 kg P2O5, dan 200 kg K2O. Apabila juga dilakukan pemupukan dengan pupuk kandang, maka dosis pupuk kandang dikurangi menjadi 180 kg N, 60 kg P2O5, dan 100 kg K2O. Bawang putih memerlukan sulfur dalam jumlah yang cukup banyak. Unsur ini mempengaruhi rasa dan aroma khas bawang putih. Oleh sebab itu, apabila menggunakan KCl sebagai sumber kalium, maka sebagai sumber nitrogen sebaiknya menggunakan pupuk ZA. Jika sebagai sumber nitrogen digunakan Urea, maka untuk sumber kalium sebaiknya digunakan ZK. Hal ini dilakukan agar kebutuhan sulfur tetap terpenuhi. Berdasarkan kebutuhan unsur hara di atas, jumlah pupuk yang akan digunakan dapat dihitung berdasarkan jenis dan kandungan unsur haranya. Caranya adalah besarnya kebutuhan pupuk merupakan perbandingan dosis unsur hara dengan Kandungan unsur hara dikalikan seratus. Cara pemupukannya adalah dengan dibenamkan di dalam larikan disamping barisan tanaman seperti cara memberikan pupuk dasar. 3.4.5. Pengairan dan Penyiraman Pemberian air dapat dilakukan dengan menggunakan gembor atau dengan menggenangi saluran air di sekitar bedengan. Cara yang terakhir dinamakan sistem leb. Penyiraman dengan gembor, untuk bawang yang baru ditanam, diusahakan lubang gembornya kecil agar air yang keluar juga kecil sehingga tidak merusak tanah di sekitar bibit. Jika air yang keluar besar, maka posisi benih dapat berubah, bahkan dapat mengeluarkannya dari dalam tanah. Pada awal penanaman, penyiraman dilakukan setiap hari. Setelah tanaman tumbuh baik, frekuensi pemberian air dijarangkan, menjadi seminggu sekali. Pemberian air dihentikan pada saat tanaman sudah tua atau menjelang panen, kirakira berumur 3 bulan sesudah tanam atau pada saat daun tanaman sudah mulai menguning. 3.4.6. Waktu Penyemprotan Pestisida Untuk menghindari serangan hama seperti kutu dan trips, maka perlu dilakukan penyemprotan pestisida berupa Tamaron atau Bayrusil 0,2%. Sedangkan untuk pencegahan terhadap penyakit perlu pula di semprot dengan pestisida seperti halnya Dithane M-45 0,2-0,3 prosen. Dosisnya disesuaikan dengan aturan pemakaian yang tertera pada masing-masing kemasan pestisida, apakah untuk pencegahan atau pemberantasan. Penyemprotan pestisida sebaiknya dilakukan pada pagi-pagi hari benar atau sore hari ketika udara masih tenang agar lebah atau serangga lain yang berguna tidak ikut
18
terbasmi. Cara penyemprotan dilakukan dengan menggunakan tangki penyemprotan (ukurannya bisa bermacam-macam) baik secara manual (pompa tangan) ataupun dengan menggunakan tekanan gas. 3.5. Hama dan Penyakit 3.5.1. Hama a. Kutu bawang (Thips tabaci Lindeman). Serangga ini masuk ke tanaman dalam bentuk masih larva dan dewasa dengan cara mengisap cairan tanaman, baik pada daun maupun pada bagian lain. Gejala: daun yang terserang berubah menjadi kuning dan akhirnya keperak-perakan atau coklat serta mengerut/mengeriting dan lama-kelamaan menjadi layu. Pengendalian: membakar sisa tanaman setelah panen atau dengan kimia. Pemberantasan secara kimia dilakukan dengan insektisida seperti basudin 60 EC yang merupakan insektisida dalam bentuk cairan kental dengan bahan aktif diazonon yang termasuk ke dalam golongan organofosfat. Konsentrasi larutan yang digunakan adalah 0,2 prosen, maksudnya 2 ml Basudin dilarutkan kedalam 1 liter air. Dan Bayrusil 250 EC adalah insektisida yang bekerja secara racun kontak. Konsentrasi larutan yang digunakan adalah 2 cc/liter air. b. Ulat daun (Sporodoptera litura.) Ulat ini mempunyai ciri khas, yaitu pada ruas perut yang keempat dan kesepuluh terdapat bentuk bulan sabit berwarna hitam dan dibatasi garis kuning pada samping dan punggungnya. Gejala: ditandai dengan adanya bekas gigitan pada bagian ujung dan pinggir daun. Ulat ini umumnya menyerang tanaman yang masih muda. Pengendalian: Telur dan ulat yang baru menetas diambil bersama daun yang ditempelinya. Pengambilan dilakukan segera mungkin karena pertumbuhan ulat ini cepat dan dapat bersembunyi dalam tanah. Pemberantasan dengan kimia dapat dilakukan dengan Azodrin 15 WSC dengan dosis 3-4 cc/liter air. Volume penyemprotannya 400-600 liter/ha. c. Ulat grayak (Sporodoptera exigua Hbn.) Gejala: daun nampak terkulai seperti layu, berwarna putih, bagian daun yang diserang adalah bagian dalam, yang ditinggalkan hanya lapisan epidermis, sehigga daun nampak seperti membran., hama ini dapat dikendalikan jika dilakukan pergiliran tanaman. Pengendalian: mengumpulkan dan memusnahkan tekur yang ada pada ujung daun. Secara kimia hama ini dapat diberantas dengan insektisida, misalnya Azodrin 15 WSC. Dosis yang digunakan 3-4 cc/liter air dengan volume penyemprotan 400-600 liter/ha. d. Agrotis interjectionis Gn Hama ini menyerang pada malam hari, pada siang hari bersembunyi di dalam tanah. Panjang tubuhnya antara 30 - 35 mm, berwarna coklat tua dan kadang-kadang tertutup dengan butiran tanah. Hama ini banyak terdapat di dataran rendah sampai ketinggian 1.500 m dpl. Gejala: tanaman yang diserang adalah tanaman yang muda. Akibat serangannya tanaman menjadi rebah karena hama ini memotong bagian leher umbi, kadang-kadang juga memakan daun bawang. Pengendalian kimia: (1) Diazinon. Insektisida ini ada 2 jenis, yaitu Diozinon 60 EC dan Diazinon 10 G. Keduanya berbahan aktif diazinon sebanyak 60% untuk Diazinon 60 EC dan 10% untuk Diazinon 10 G. Untuk pemberantasan dapat digunakan Diazinon 60 EC dengan konsentrasi 1-2 cc/liter air. Dapat juga menggunakan Diazinon 10 G ditaburkan di sekitar perakaran tanaman seperti melakukan pemupukan. Dengan cara ini, racunnya akan terisap oleh tanaman dan membunuh hama yang memakan bagian tanaman tersebut. (2) Insektisida lain yang dapat digunakan adalah Tamaron dengan konsentrasi 1-2 cc/liter air dan Bayrusil 25 EC dengan konsentrasi 2 cc/liter air.
19
e. Nematoda akar (cacing Ditylenchus dipsaci.) Gejala: umbi menjadi lunak, pangkal titik tumbuhnya menjadi bengkak dan ujung akarnya menjadi kering serta busuk. Serangannya juga mengakibatkan daun menjadi kerdil, mula-mula menggulung dan terlipat kemudian menguning dan pucuk-pucuk daun menjadi kering. Pengendalian: dengan Furadan 3 G dan dapat pula dengan Nemagon. Hama-hama lainnya yang sering menyerang tanaman bawang putih diantaranya ulat bawang, lalat bawang dan tungau. 3.5.2. Penyakit a. Penyakit bercak ungu Penyebab: cendawan Alternariab porii (Ellis) Cif. Infeksi cendawan biasanya terjadi pada saat tanaman membentuk umbi atau pada saat cuacanya mendukung dapat menyerang tanaman yang masih muda. Gejala: terlihat bercak kecil berwarna putih kemudian membesar dan berubah menjadi ungu, ditengahnya terdapat titik hitam dan dikelilingi oleh daerah berwarna kuning yang dapat meluas. Lama-kelamaan bercak ini tertutup oleh warna coklat tua yang badan buah cendawan (spora) yang sewaktu-waktu dapat menyebar terbawa angin/terbawa oleh seranngga sehingga menyebar ke tanaman lain. Pengendalian: dengan Dithane M-45 dengan konsentrasi 180-240 gram/100 liter air yang dicampurkan dengan bahan perekat Triton sebanyak 0,02-0,05 % dan dapat pula menggunakan Antracol dengan konsentrasi 2 gram/liter air. Penyemprotan dilakukan pada saat tanaman berumur 2 minggu dengan interval 5-7 hari. b. Penyakit embun bulu (blorok, downy mildew) Penyebab: cendawan, yaitu Perenospora destructor (Berk) Casp. Cendawan ini membentuk spora sebagai alat perkembangbiakan seksualnya. Spora tersebut dihasilkan pada malam hari atau pada saat suhu udara rendah, sekitar 10 derajat C. Spora cendawan ini berwarna biru keabu-abuan. Gejala: tanaman bawang putih yang terserang penyakit ini daunnya menjadi berbintik-bintik abu-abu atau hijau pucat. Biasanya bintik-bintik ini berada di ujung daun dan terjadi pada awal pembentukan umbi. Bintik-bintik ini cepat melebar dan warnanya menjadi ungu jika keadaan cuaca mendukung, yaitu keadaan udara lembab, berembun, atau turun hujan. Pada akhirnya dapat mengakibatkan tanaman kering dan mati. Pengendalian: adalah dengan fungisida, yaitu Antracol dan Dithane. Caranya sama dengan pada penyakit bercak ungu. c. Penyakit busuk fusarium Penyebab: cendawan Fusarium sp. Gejala: daun menjadi layu, dimulai dari ujung daun. Penyakit ini juga dapat menyerang bawang putih setelah panen atau saat penyimpanan, baik di gudang maupun di pasar. Serangan umumnya terjadi pada umbi-umbi yang terluka akibat penanganan panen dan pascapanen yang kurang teliti. Bagian yang terinfeksi permukannya basah, lalu menjadi lunak dan akhirnya busuk berwarna cokelat. Pengendalian: dengan fungisida seperti Benlate dengan konsentrasi 2,5-5 gram/10 liter air. Penyemprotan dilakukan seminggu sekali. Apabila penyakit ini menyerang tanaman yang disimpan, maka sulit diatasi. Untuk itu pada saat panen jangan sampai umbi ada yang terluka. d. Penyakit bercak daun cercospora Penyebab: cendawan Cercospora duddiae Welles. Gejala: adanya bercak klorosis, bulat dan berwarna kuning merupakan gejala awal penyakit ini. Bercak yang terjadi bergaris tengah kurang lebih 3-5 mm dan paling banyak terjadi pada ujung daun bagian luar. Pengendalian: sama dengan cara pengendalian penyakit bercak ungu. e. Penyakit lain Penyakit lain adalah karat daun yang disebabkan oleh Puccinia porii, busuk lunak oleh Sclerotium cepivorum, busuk jingga oleh Pyrenochaeta terrestris, dan virus mosaik.
20
3.5.3. Gulma Penurunan produksi sebagai akibat adanya berbagai gulma dapat mencapai 80%, terutama bila pemberian mulsa kurang baik sehingga pertumbuhan rumput subur. Gulmagulma yang sering dijumpai di daerah pertanaman bawang putih antara lain; leki, rumput kakawatan, dan bayam liar (duri). Penyiangan tanaman pada umur 30 dan 60 hari mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi. Pemakaian herbisida TOK 50 WP dapat disarankan untuk pengendalian gulma terutama untuk skala penanaman yang sangat luas (Subhan dkk, 1989). 3.6. Panen 3.6.1. Ciri dan Umur Panen Bawang putih yang akan dipanen harus mencapai cukup umur. Tergantung pada varietas dan daerah, umur panen yang biasa dijadikan pedoman adalah antara 90-120 hari. Ciri bawang putih yang siap panen adalah sekitar 50 prosen daun telah menguning/kering dan tangkai batang keras. 3.6.2. Cara Panen Di daerah tempat dilakukan survai, yaitu di Tuwel Tegal pemanenan dilakukan dengan cara mencabut tanaman kemudian diikat sebanyak 30 tangkai per ikat dan dijemur selama 15 hari sampai batangnya kering. Umbi dibersihkan dengan membuang akar dan daun dan sekaligus dilakukan pemilihan (grading) yaitu pemisahan menurut kualitasnya. 3.6.3. Periode Panen Tanaman bawang putih dapat dipanen setelah berumur 95-125 hari untuk varietas lumbu hijau dan umur antara 85-100 hari untuk varietas lumbu kuning. Setelah pemanenan, lahan dapat ditanami kembali setelah dibiarkan selama beberapa minggu dan diolah terlebih dahulu atau dapat pula ditanami tanaman lainnya untuk melakukan rotasi tanaman. 3.6.4. Prakiraan Produksi Di daerah tempat dilakukannya survei (Tuwel, Tegal) bawang putih dapat memproduksi umbi sebanyak 16-20 ton/ha (basah), sedangkan di dataran medium (600 m dpl) dan dataran rendah (450 m dpl ke bawah) dapat menghasilkan 12-16 ton/ha umbi basah. Adakalanya sebelum panen tanah diairi dahulu agar umbi bawang putih mudah dicabut. 3.7. Pascapanen 3.7.1. Pengumpulan Setelah dipanen dilakukan pengumpulan dengan cara mengikat batang semu bawang putih menjadi ikatan-ikatan kecil dan diletakkan di atas anyaman daun kelapa sambil dikeringkan untuk menjaga dari kerusakan dan mutunya tetap baik. 3.7.2. Penyortiran dan Penggolongan Sortasi dilakukan untuk mengelompokkan umbi-umbi bawang putih menurut ukuran dan mutunya. Sebelum dilakukan penyortiran, umbi-umbi yang sudah kering dibersihkan. Akar dan daunnnya dipotong hingga hanya tersisa pangkal batang semu sepanjang ± 2 cm. Ukuran atau kriteria sortasi umbi bawang putih adalah a. keseragaman warna menurut jenis. b. ketuaan/umur umbi. c. tingkat kekeringan.
21
d. kekompakan susunan siung. e. bebas hama dan penyakit. f. bentuk umbi (bulat atau lonjong). g. ukuran besar-kecilnya umbi. Berdasarkan ukuran umbi, bawang putih dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelas, yaitu. a. kelas A: umbi yang diameternya lebih dari 4 cm. b. kelas B: umbi yang diameternya antara 3-4 cm. c. kelas C: umbi yang diameternya antara 2-3 cm. d. kelas D: umbi yang kecil atau yang pecah dan rusak. 3.7.3. Penyimpanan Dalam jumlah kecil, bawang putih biasanya disimpan dengan cara digantung ikatan-ikatannya di atas para-para. Setiap ikatan beratnya sekitar 2 kg. Para-paranya dibuat dari kayu atau bambu dan diletakkan diatas dapur. Cara seperti ini sangat menguntungkan karena setiap kali dapur dinyalakan, bawang putih terkena asap. Pengasapan merupakan cara pengawetan yang cukup baik. Dalam jumlah besar, caranya adalah disimpan di dalam gudang. Gudang yang akan digunakan harus mempunyai ventilasi agar bisa terjadi peredaran udara yang baik. Suhu ruangan yang diperlukan antara 25-30 derajat C. Jika suhu ruangan terlalu tinggi, akan terjadi proses pertunasan yang cepat. Kelembaban ruangan yang baik adalah 60-70 prosen. 3.7.4. Pengemasan dan Pengangkutan Untuk memudahkan pengangkutan bawang putih dimasukkan ke dalam karung goni atau karung plastik dengan anyaman tertentu. Alat pengangkutan bisa bermacam-macam, bisa gerobak, becak, sepeda atau kendaraan bermotor.
F. •
Analisis finansial usahatani Analisis finansial produksi bawang putih
Keberhasilan suatu usahatani dapat diukur melalui analisis finansial, yang merupakan perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan tingkat penerimaan yang diperoleh. Besarnya penerimaan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi serta harga. Seperti pada umumnya pada usahatani sayuran, usahatani bawang putih dapat diketegorikan sebagai usahatani yang cukup berisiko, hal tersebut tercermin dari variabilitas hasil dan variabilitas harga yang cukup tinggi. Secara teoritis, setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari bidang usaha yang dipilihnya. Keuntungan maksimal ini dapat diperoleh dengan meminimalkan biaya produksi pada tingkat output tertentu, atau sebaliknya memaksimalkan ouput pada tingkat biaya produksi tertentu. Selain itu, keuntungan maksimal juga dapat diperoleh melalui substitusi faktor produksi yang satu dengan lainnya, sepanjang nilai yang dikeluarkan untuk input pengganti lebih kecil dibandingkan dengan nilai input yang digantikan (pada tingkat output yang sama). Pelaku ekonomi akan terus meningkatkan produksinya sepanjang penerimaan dari setiap unit ouput masih lebih besar dibandingkan dengan biaya produksinya (Colman and Young, 1989). Dalam pengambilan keputusan seperti di atas, pelaku ekonomi membutuhkan indikator kelayakan yang dapat diperoleh dari analisis biaya dan pendapatan (ABP). ABP dapat mencerminkan perencanaan fisik dan finansial operasionalisasi suatu usahatani pada periode waktu tertentu. ABP merupakan teknik sederhana yang paling banyak digunakan dalam analisis ekonomi untuk membantu pengelola dalam mengambil keputusan usahatani yang dapat memaksimalkan keuntungan (Dillon & Hardaker, 1980).
22
Seperti telah diuraikan pada sub bab terdahulu, bahwa sentra penanaman bawang putih tersebar baik di pulau Jawa maupun luar pulau Jawa. Perbedaan lokasi penanaman tersebut dapat memberikan perbedaan dalam penggunaan dan pengelolaan input produksi, bahkan juga dapat memberikan perbedaan dalam praktek budidaya. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap biaya usahatani yang dikeluarkan. Beberapa perbedaan yang perlu dicatat dalam kaitannya dengan lokasi penanaman bawang putih antara lain adalah penggunaan varietas. Umumnya penggunaan varietas di suatu daerah dikaitkan dengan ketinggian tempat. Contohnya di daerah Ciwidey Jawa Barat varietas bawang putih yang ditanam petani adalah varietas lumbu kuning (umur panen 85 hari), lumbu hijau (umumr panen 100 hari) dan lumbu hitam (umur panen 120 hari). Di daerah Kaliangkrik Kabupaten Magelang varietas Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning biasa di tanam di daerah dengan ketinggian < 1500m, sementara untuk daerah dengan ketinggian > 1500m ditanam varietas Gombloh (Ameriana., dkk, 1990; Sastrosiswojo., dkk, 2002). Bawang putih impor (varietas Tiongkok) tidak ditanam oleh petani karena tanaman tidak dapat membentuk umbi. Namun untuk daerah Mororejo Kabupaten Pasuruan varietas yang banyak ditanam oleh petani adalah varietas Tiongkok. Varietas ini umur panennya 6 bulan, yang ditanam secara tumpangsari dengan bawang daun. Umumnya bawang putih ditanam dengan sistem bedengan. Namun di daerah Kaliangkrik Kabupaten Magelang sistem tanam yang digunakan berbeda. Cara budidaya menurut istilah daerah setempat disebut sistem “cemplongan”. Sistem cemplongan dilakukan dengan cara, pertama membuat lubang berdiameter 22,5 cm dan kedalaman 22,5 cm. Pembuatan lubang dilakukan dengan menggunakan tugal yang ujungnya berbentuk kerucut dan terbuat dari besi yang diisi dengan adukan semen. Cemplongan diisi pupuk kandang dan pupuk buatan., siung bawang putih ditanam melingkar sebanyak 6 – 7 siung/cemplongan. Jarak antar cemplongan 30 cm dan antra baris cemplongan 70 cm. Tabel 17 menyajikan contoh analisis finansial pada usahatani bawang putih di dua lokasi dengan menggunakan varietas yang berbeda. Tabel 17 memperlihatkan bahwa biaya usahatani dengan menggunakan varietas yang berbeda mengakibatkan perbedaan biaya usahatani yang cukup mencolok. Dilihat dari proporsi komponen biaya pada kedua usahatani tersebut, komponen pestisida memperlihatkan perbedaan yang cukup mencolok. Untuk varietas lumbu hijau penggunaan pestisida hanya sebesar 6,13 % dari total biaya, sementara untuk varietas Tiongkok biaya pestisida mencapai 30,33 %. Komponen bibit juga memperlihatkan perbedaan yang cukup besar, biaya untuk bibit bawang putih Tiongkok memerlukan biaya sebesar 7, 98 % dari total biaya, sedangkan bibit lumbu hijau sebesar 18,03 %. Sementara itu, porsi biaya untuk pupuk dan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh kedua usahatani hampir sama. Informasi input-output yang dihimpun pada Tabel 17 menunjukkan bahwa R/C rasio untuk usahatani bawang putih varietas Tiongkok > 1, sementara data mengenai output untuk varietas Lumbu Hijau tidak tersedia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa usahatani bawang putih Tiongkok dengan alokasi input dan hasil panen yang diperoleh seperti tercantum pada Tabel 17 menguntungkan. Nilai R/C rasio untuk usahatani bawang putih Tiongkok tersebut mengandung arti bahwa setiap satu rupiah dana yang diinvestasikan dapat memberikan tingkat pengembalian sebesar Rp 2,99. Namun demikian, indikator tersebut perlu diinterpretasikan secara hati-hati, karena besaran nisbah penerimaan/ biaya sangat sensitif terhadap perubahan harga (terutama harga luaran). Fluktuasi harga bawang putih seringkali menghadapkan petani pada tingkat harga di bawah titik impas, sehingga peluang mengalami kerugian yang secara eksplisit tidak tergambarkan pada Tabel 17 sebenarnya juga cukup tinggi.
23
Tabel 17
Contoh kasus usahatani bawang putih di dua lokasi sentra produksi musim tanam tahun 2001. Tawangmangu Kabupaten Karanganyar (varietas Lumbu Hijau)
Mororedjo Kabupaten Pasuruan (varietas Tiongkok)
Jenis input
Bibit
Kuantitas
Nilai (Rp)
Persentase (%)
Kuantitas
Nilai (Rp)
Persentase (%)
500 kg
2 000 000
18,03
250 kg
2 500 000
7,98
3 750 kg 500 kg 500 kg 500 kg -
3 750 000 800 000 650 000 1 250 000 -
75 kg 25 ltr 25kg
3 750 000 3 125 000 2 625 000
250 HOK 500 HOK 250 HOK
1 250 000 2 500 000 1 250 000
(37,90) 3,99 7,98 3,99
375 HOK 1 000 HOK
1 875 000 5 000 000
5,98 15,96
1 000 000
3,21
31 325 000 18 750 kg Rp 5 000/kg Rp 93 750 000 2,99
100
Pupuk : 1. Pupuk kandang 20 ton 2. SP 36 300 kg 3. ZA 200 kg 4. NPK 5. KCl 200 kg Pestisida : 1. Antracol 2. Decis 3. WDC Tenaga Kerja : 1. Mencangkul 2. Tanam 3. Penyiangan 4. Pemupukan 5. Penyemprotan 6. Panen, angkut, Sortasi. Lain-lain : 1. Sewa lahan 2. Pajak Total biaya Hasil Harga Penerimaan kotor R/C rasio Sumber : Sastrosiswojo., dkk. 2002.
G.
700 000 480 000 210 000
(15,58) 6,31 4,32 1,89
340 000 680 000
3,06 6,13
1 000 000 240 000 600 000 360 000 600 000 1 300 000
2 500 000 80 000 11 090 000 -
(36,96) 9,01 2,16 5,41 3,25 5,41 11,72
22,54 0,76 100
(20,58) 11,97 2,55 2,07 3,99 30,33
Hasil penelitian bawang putih
PEMULIAAN Penelitian pemuliaan dan plasma nutfah bawang putih periode 1980-2002 yang telah dipublikasikan adalah sebanyak 7 artikel. Varietas bawang putih lokal Indonesia yang banyak ditanam petani dan digunakan sebagai materi penelitian adalah Lumbu Hijau, Lumbu Putih, Lumbu Kuning, Lokal Cirebon dan Lokal Tawangmangu. Penggunaan varietas Lumbu Hijau sebagai materi penelitian cukup dominan selama periode 1980-2002. Tabel di bawah memperlihatkan sebaran topik, jumlah artikel, varietas, asal serta ekosistem tempat penelitian pada masing-masing bidang pemuliaan tanaman bawang putih, perbanyakan/perbenihan dan plasma nutfah.
24
1. Persilangan tanaman bawang putih •
Tidak tercatat adanya kegiatan persilangan tanaman bawang putih, hal ini disebabkan karena perbanyakan tanaman bawang putih biasanya dilakukan secara vegetatif.
2. Introduksi galur/kultivar bawang putih •
Tidak tercatat adanya artikel kegiatan introduksi galur/kultivar bawang putih, varietas yang berasal dari luar negeri yang banyak beredar di pasar misalnya : CV. Ilocos (Filipina) dan CV. Taiwan (Taiwan).
3. Seleksi galur/kultivar bawang putih Seleksi galur/kultivar bawang putih tercatat 1 artikel : • Pertanaman bawang putih cv. Gombloh dan Lumbu hijau pada musim hujan di dataran tinggi menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil umbi.
Tabel 18
Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian perbanyakan cv. Bawang putih.
No.
Topik
A 1. 2. 3.
Pemuliaan tanaman bawang putih Persilangan bawang putih Introduksi galur/kultivar bawang putih Seleksi genotip/kultivar bawang putih
0 0 1
4.
Uji adaptasi kultivar bawang putih
2
5. 6. 7.
Uji daya hasil kultivar bawang putih Uji resistensi kultivar bawang putih Pemuliaan melalui radiasi
Jumlah Artikel
0 0 1
Varietas
Gombloh, Lumbu hijau Cirebon Tawangmangu Philippina No.2672 No.2851 No.2849 No.2850 Thailand Lumbu kuning Lumbu hijau Ajo Rosario Wonosari Timor Santong Lumbu hijau Lumbu kuning Bogor Lumbu putih Layur
Lumbu hijau
Asal
Cirebon T. mangu Philippina Seleksi Seleksi Seleksi Seleksi Thailand Mojokerto Batu Argentina Wonosari Timor Lombok
Ekosistem
dr (1)
dr (2) dm (2) dt (1)
dt (1)
25
4. Adaptasi galur/kultivar bawang putih Uji adaptasi galur/kultivar bawang putih tercatat sebanyak 2 artikel, meliputi : •
•
Uji adaptasi 14 kultivar bawang putih di dataran rendah menunjukkan kultivar No. 2672 asal Cipanas memberikan hasil bobot kering umbi (1,0 t/ha), CV. Won Sari (2,7 t/ha), dan CV. No. 2850 (2,68 t/ha); Ketinggian lokasi tanam bawang putih mempengaruhi keragaman bobot kering umbi, diameter umbi, mutu umbi dan jumlah siung. Persentase kerusakan umbi bawang putih (Gembos) meningkat sejalan dengan letak lokasi tanam yang makin rendah pada varietas Lumbu Hijau. Lumbu Kuning dan Bogor.
5. Uji daya hasil galur/kultivar bawang putih Tidak tercatat adanya artikel penelitian uji daya hasil galur/kultivar bawang putih. 6. Uji resistensi galur/kultivar bawang putih Tidak tercatat adanya artikel penelitian uji resistensi galur/kultivar bawang putih. 7. Pemuliaan melalui radiasi •
Pemuliaan melalui radiasi sinar gamma Co.60 pada dosis 2-12 krad terhadap tanaman bawang putih varietas Lumbu hijau menunjukkan turunnya persentase pertumbuhan, tanaman menjadi kerdil, daun berkerut dengan ujung menguning, pertumbuhan akar sangat pendek, ujung akar menguning dan pada dosis 10-12 krad menjadi pembusukan akar.
PERBANYAKAN / PERBENIHAN MELALUI KULTUR MERISTEM BAWANG PUTIH 1. Perbanyakan Cv. Bawang putih secara vegetatif. Mengingat bawang putih tergolong komoditas yang mudah rusak, maka teknologi penyimpanan bibit harus tepat sehingga bibit terpelihara. Penelitian perbanyakan/ perennial/pembibitan bawang putih tercatat sebanyak 2 artikel, meliputi : •
•
Semakin besar ukuran umbi bibit bawang putih Cv. Lumbu hijau yang digunakan, maka semakin meningkat pula pertumbuhan vegetatif serta komponen hasilnya (bobot segar, bobot kering dan jumlah siung. Penggunaan siung umbi bawang putih untuk bibit dengan bobot 1,1-1,5 g dan 1,6-2,0 g menunjukkan kenaikan hasil bobot umbi kering per satuan luas.
2. Perbanyakan Cv. Bawang putih melalui kultur jaringan Penelitian perbanyakan Cv. Bawang putih melalui kultur meristem tercatat 2 artikel, yaitu : •
Pertumbuhan potongan jaringan batang atau daun bawang putih melalui kultur meristem memerlukan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media yang sudah mengandung makro dan mikro elemen, sumber karbohidrat dan vitamin. Pertumbuhan
26
•
potongan jaringan batang menghasilkan kalus yang berstruktur kompak dan berwarna kuning atau coklat, sedangkan pertumbuhan potongan jaringan daun menghasilkan kalus yang berstruktur remah dan berwarna putih. Percobaan introduksi kalus dengan 18 komposisi media memberikan respon yang baik untuk explant basal plate atau bonggol asal umbi satu pada empat minggu setelah panen, persentase regenerasi menjadi tanaman sangat kecil.
Tabel 19
Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian perbanyakan Cv. Bawang putih.
No .
Topik
Jumlah Artikel
1. 2.
Perbanyakan bawang putih secara vegetatif Kultur meristem bawang putih
2 2
Varietas
Lumbu hijau Lumbu hijau
Asal
Ekosistem
DT (2) DT (2) Lab.
AGRONOMI
Beberapa catatan umum yang dapat ditarik: h Topik penelitian pemupukan proporsinya mencapai diatas 50% dibandingkan topik penelitian agronomi lainnya h Kultivar yang dominan digunakan adalah Lumbu Hijau (28) dan Lumbu Kuning (8) h Ekosistem yang digunakan untuk penelitian bawang putih adalah dataran tinggi (34), dataran medium (5), dan dataran rendah (7) 3. Penggunaan pupuk N • Gombloh, dt, Cipanas, mh: o Pupuk N (Urea maupun ZA) tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bawang putih, kecuali Urea 60 kg N/ha. 120 kg N/ha baik dari Urea maupun ZA dapat meningkatkan hasil umbi basah bawang putih dengan nyata. • Gombloh, Lumbu Hijau, dm (950 m), Banaran: o Hasil tertinggi bawang putih kultivar Gombloh dicapai pada perlakuan frekuensi pemberian pupuk nitrogen (ZA = 240 kg N/ha) lima kali, dan kultivar Lumbu Hijau dicapai pada frekuensi pemberian nitrogen empat kali (Catatan: menggunakan TSP =100 kg P2O5/ha dan KCl = 100 kg K2O/ha). • Lumbu Hijau, dt, Ciwidey, Andosol: o Pemberian pupuk N lepas lambat (Slow Release Nitrogen = SRN) 100 kg N/ha 2 kali aplikasi (15 dan 30 hst) dianggap memadai, dapat mengurangi setengah penggunaan pupuk N dan mengurangi 1 kali aplikasi dibandingkan dengan penggunaan standar pupuk berimbang (200 kg N/ha dengan 3 kali palikasi) dengan respons yang terbaik.
27
• Gombloh dan Lumbu Hijau, dt, Banaran, Andosol, ZA 240 kg N/ha: o Terdapat interaksi antara kultivar denganfrekuensi pemberian pupuk nitrogen terhadap jumlah daun, luas daun dan diameter batang semu. o Untuk mendapatkan pertumbuhan yang maksimal frekuensi pemberian nitrogen pada kultivar Gombloh lebih banyak daripada kultivar Lumbu Hijau, karena umurnya lebih panjang. • Dosis N dengan kepadatan gulma teki o Lumbu Hijau, dt, Banaran, Andosol: o Penggunaan dosis 300 kg N/ha pada kepadatan gulma teki 50% menurunkan bobot panen umbi sebesar 67,4%, sedangkan dengan kepadatan 100% menurunkan bobot umbi panen sebesar 83,14% • Dosis N dengan ukuran umbi o Lumbu Hijau, dt, Lembang, mh, 150 kgP2O5, 200 kgK2O/ha: o Interaksi antara dosis pupuk N 420 kg/ha dengan ukuran bobot siung 1,70 g menghasilkan umbi kering tertinggi 2. Penggunaan pupuk P • Tes, dt, Ciwidey, Andosol: o Pemberian pupuk 150 kg P2O5/ha SP-36 merupakan pemupukan yang paling efisien dalam mempertahankan hasil umbi bawang putih, meskipun hasil tertinggi dicapai pada dosis 250 kg P2O5/ha TSP. o Peningkatan dosis fosfat (150, 250, 350, 450 kg P2O5/ha) dalam bentuk SP-36 dan TSP meningkatkan P tersedia tanah. • Lumbu Kuning, dt, Magelang, Andosol, mh: o Dosis fosfat yang paling efisien dalam meningkatkan umbi bw. Putih adalah 135 kg P2O5/ha atau 294,5 kg TSP/ha dan menghemat pupuk fosfat oleh petani sebesar 55-77,5%. • Lumbu Hijau, dt, Ciwidey, 240 kg N/ha (Urea:ZA), 100 kg K2O/ha, 10 t pukan: o 135 kg P2O5/ha dalam bentuk TSP+Zn(1%) merupakan perlakuan terbaik dalam meningkatkan tinggi tan. diameter batang dan bobot basah umbi bw.putih. o Interaksi sumber dengan dosis fosfat berpengaruh terhadap serapan hara P, Zn, dan Mn. • Lumbu Hijau, dt, Lembang, Andosol, mh: o Pupuk Fosfat (50 – 250 kg P2O5/ha)dengan 30 kg MgO/ha tidak berpengaruh positif thd pertumbuhan dan hasil umbi basah bw.putih • Dosis Fosfat dengan pengapuran
28
o Lumbu Hijau, dt, Lembang, mh, 200 kg N, 150 kg K2O/ha: o Dosis terbaik pupuk fosfat yang menghasilkan umbi tertingi adalah dosis yang paling tinggi (250 kg P2O5/ha), sedangkan pemberian dolomit tidak menunjukkan peningkatan hasil 3. Penggunaan pupuk K h L. Kuning, dt, Magelang, mh, 123 kg N, 270 kg P2O5/ha, 60 t/ha pukan: h Pengaruh pupuk kalium terhadap bobot umbi kering adalah nyata, dengan dosis 180 kg K2O/ha dianggap cukup memadai. Diatas dosis tersebut penambahan pupuk kalium tidak efektif. h L. Hijau, dt, Lembang, rk, mh: h Kombinasi perlakuan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil umbi bw. Putih adalah 3,0 kg zeolit tanpa tanah dengan kalium 10 g KCl/pot (960 kg K2O/ha) dan perlakuan 1,5kg zeolit dengan 1,5 kg tanah/pot dengan kalium 5 g KCl/pot (480 kg K2O/ha) 4. Penggunaan pupuk N dan P h Lumbu Kuning, dr, Brebes, Alluvial: h Interaksi antara komposisi N-Urea : N-ZA (1:2) dengan dosis 180 kg P2O5/ha merupkan kombinasi terbaik dalam meningkatkan bobot umbi kering per petak (6 m2), sedangkan dosis P optimal adalah 194,2 kg P2O5/ha dicapai pada dosis 150 kg N/ha. h Takaran P meningkatkan P tersedian dan K tersedia tanah, sedangkan peningkatan N meningkatkan N dan S tersedia tanah, tetapi menurunkan pH tanah dan P tersedia tanah. h Efisiensi serapan P tertinggi diperoleh jika pupuk N pada komposisi 1:1 dikombinasikan dengan pupuk fosfat 180 kg P2O5/ha. h Lumbu putih, dr, Brebes, 150 kg K2O/ha: h Kombinasi pupuk N dan P yang paling efisien adalah 83 kg Urea + 536 kg ZA + 300 kg TSP (150 kg N (N-Urea : N-ZA = 1:3) + 135 kg P2O5/ha). h Peningkatan dosis Urea + ZA meningkatkan kandungan N dan S tanah, sedangkan peningkatan kualitas ZA pada dosis yang sama meningkatkan kandungan S dalam tanah dan kandungan P-tersedia. Peningkatan P – tersedia dapat dilihat pada dosis P tinggi (400 kg TSP atau 180 kg P2O5/ha) h Dosis N dan P yang tinggi yaitu 178 kg Urea + 762 kg ZA + 400 kg TSP atau 240 kg N (N_Urea : N_ZA = 1 : 2) + 180 kg P2O5/ha) menghasilkan serapan N, P dan S tertinggi 5. Penggunaan pupuk N, P dan K h Lumbu Kuning, dt, Magelang, Andosol, mh: h Pemberian P di atas pupuk kandang lebih meningkatkan pertumbuhan dan hasil umbi dari pada dengan pemberian P secara diaduk rata dengan pukan di dalam complongan.
29
h 150 kg N, 270 kg P2O5 dan 90 kg K2O per ha merupakan perlakuan terbaik dalam menghasilkan bobot basah dan kering umbi b. putih h Dosis N optimum = 123 kg/ha, dosis paling ekonomis = 121.2 kg/ha h Lumbu Putih, dr, Magelang, Regosol, mk: h 100 kg P2O5 (TSP)/ha (aplikasi sekaligus saat tanam), 45 kg N (Urea)/ha + 30 kg N (ZA), 60 kg K2O (KCl)/ha (3 kali aplikasi umur 15, 30, 45 hst) merupakan perlakuan yang paling efisien dalam meningkatkan bobot basah dan kering umbi b. putih h Lokal Suren, dr, Bantul: h Tanaman bw.putih yang ditanam setelah padi pola paket D masih memerlukan pemupukan N, P dan K dengan dosis 67,5 kg P2O5, 150 kg K2O, 240 kg N /ha (1/3 N-Urea, aplikasi 15 hst; 1/3 N-ZA, aplikasi 30 dan 45 hst) 6.
Penggunaan pupuk daun dan zat pengatur tumbuh
h Lumbu Hijau, dm (950 m), Tuwel-Tegal h Penggunaan pupuk daun Greenzit meningkatkan tinggi dan diameter batang tan. B. putih pada seluruh fase pertumbuhannya, serta meningkatkan bobot umbi basah dan kering. h Pemberian Atonik dan Mixtalol meningkatkan bobot umbi basah bawang putih. h Lumbu Hijau, dt, Lembang: h Penggunaan pupuk daun Massmikro 200 ppm dengan tiga kali aplikasi (3, 6 dan 9 mst) sangat tepat dan efisien dalam meningkatkan tinggi tan., diameter batang, bobot basah dan bobot kering umbi b. putih. h Lumbu Kuning, dm, Tanjung Sari: h Perendaman umbi benih dalam lar. Dharmasri 0,1 ml/l atau dalam air bersih selama 2 jam sebelum tanam secara independen nyata mempercepat dan meningkatkan persen jumlah tunas yang tumbuh pada 4, 8, 12 hst h Perendaman umbi benih dalam lar. Dharmasri 0,1 ml/l atau dalam air bersih atau tanpa perendaman umbi benih sebelum tanam yang dikombinasikan dengan aplikasi Dharmasri 5 EC 0,05 ml/l atau 0,10 ml/l pada 2,5, 8 mst nyata meningkatkan bobot umbi total. h Lumbu Hijau, dt, Ciwidey: h Penggunaan dosis pupuk pelengkap cair Hipron 1-2 ml/l air dengan dua kali aplikasi cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan dan peningkatan hasil serta kualitas hasil b. putih. h Lumbu Hijau, dt, Ciwidey: h Konsentrasi pupuk daun Tress yang paling baik terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman b. putih adalah 2,5 ml/l air dengan empat kali aplikasi setiap sepuluh hari sekali sejak umur satu minggu.
30
h Lumbu Hijau, dt, Ciparay, Latosol: h Penggunaan pupuk daun (M.Mikro, Forest, Greenzit, Vegimax, Bayfolan) dengan cara CDA(Control Droplet Application) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tan. bw. Putih. h Lumbu Hijau, dt, Ciwidey, 10 ton pukan + (200 N-100 P2O5- 150 K2O) kg/ha: h Pupuk daun Metalik-Special tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil bw. Putih, kecuali pada konsentrasi 0,2%, 0,1% dan 0,067% terhadap tinggi tan. dan diameter umbi (0,2%). h Lumbu Hijau, dt, Ciwidey, Andosol, mk: h Perlakuan atonik 900 ppm berpengaruh paling baik terhadap pertumbuhan vegetatif umur 13 minggu dan bobor basah dan kering brangkasan dan bobot kering umbi protolan. 7. Pupuk Mikro h Lumbu Hijau, dt, Ciwidey, Andosol, 200 kg N/ha, 180 kg P2O5/ha : h Cara pemberian Cu melalui tanah dengan dolomit 3 t/ha meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman, bobot basah dan kering brangkasan (umur 7 dan 14 hari setelah panen) dan bobot kering umbi h Cara pemberian Cu melalui tanah dengan penambahan CaCO3 meningkatkan bobot jenis umbi dan mengurangi susut bobot umbi. h Lumbu Hijau, asosiasi Andosol coklat dan Gley Humus: h Hasil optimum bw. Putih ditentukan oleh pupuk mikro dengan kisaran 1,543 – 3,858 ppm B, 2,958 – 7,395 ppm Fe, 0,975 – 2,436 ppm Cu dan 1,444 – 3,611 ppm Zn serta 2,661 – 12,535 t/ha pukan. 8. Penggunaan pupuk organik h Lumbu Kuning, dt, Magelang, Andosol: h Kombinasi dosis 120 t/ha pupuk kandang dan aplikasi pupuk kandang secara larikan/garitan memberikan hasil umbi dan umbi kering bawang putih terbaik di DAS Hulu Progo h Lumbu Putih, dr, Tegal, Alluvial: h Tidak ada interaksi antara cara penyimpanan umbi bibit dengan cara dan dosis pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil b. putih. h Penyimpanan umbi bibit b. putih dr di dt (Lembang) menunjukkan tinggi tan. 7 mst, bobot umbi kering, diameter umbi dan jumlah siung lebih baik dari pada penyimpanan di R. pendingin5 0 C maupun penyimpanan di dr. h Pemberian pupuk kandang domba 10 t/ha dengan sistim larikan menghasilkan jumlah siung paling banyak
31
h Kultivar dr (asal Sumenep, Kediri dan Bantul), dt, Banaran: h Tidak ada perbedaan antar kultivar dr terhadap pertumb. dan hasil bw. Putih yang ditan. di dt. Sampai dengan 30 t/ha pukan meningkatkan hasil dan kualitas hasil umbi. Hasil umbi sangat baik untuk bibit. h Pukan dan pupuk mikro (Cu dan Zn), Lumbu Hijau, dt, Andosol: h Interaksi antara pukan pupuk mikro berpengaruh terhadap C-org., P dan K tersedia, serta kand. Zn dan Cu pada tanah jenis Andosol, tetapi tidak berpengaruh pada pH dan N total. h Pukan meningkatkan pH dan N total, sedangkan pupuk mikro tidak berpengaruh. h Lumbu Hijau, dt, Ciwidey, asosiasi Andosol- Latosol, mk: h Pupuk kandang 10 t/ha tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, tetapi nyata meningkatkan hasil umbi bw. Putih. h Aplikasi macam pupuk mikro (terutama Cu, Zn dan Mo) nyata meningkatkan pertumbuhan maupun hasil umbi bw. Putih, tetapi responnya bervariasi tergantung dari parameter yang diamat. h Suren, L. Hijau, L.Kuning, dr, Wonogiri, mh: h Kombinasi kultivar Suren dengan dosis pukan 9,727 t/ha memberikan hasil tertinggi pada bobot basah umbi 9. Perlakuan pengapuran h Produksi umbi bawang putih tertinggi pada tanah Andosol yang dikapur 1,5 t/ha dan pemberian nitrogen sebanyak 400 kg Urea per hektar h ………, dt: h Pemakaian kapur atau dolomit 3,0 t/ha dan pemupukan tembaga (Cu) 8 ppm mll tanah meningkatkan produksi bw. Putih dan mengurangi susut bobot hasil yang diperoleh 10. Perlakuan kerapatan tanaman h Lumbu Hijau, dt, Lembang, mh: h Kerapatan tan. berpengaruh nyata terhadap hasil umbi bw. putih dengan persamaan regresinya bersifat linier. h Suren, L. Hijau, Karnganyar, Regosol, mk: h Kombinasi antara varietas Suren dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm memberikan hasil umbi tertinggi (9,24 t/ha) 11. Perlakuan pengairan h Lumbu Hijau, dt, Lembang, + naungan atap plastik:
32
h Pemberian air 500 dan 700 ml per pot (1 kg tanah) dengan selang waktu 6 hari sekali dan pemberian air 100, 300 dan 500 ml per pot (1 kg tanah) demgam selang waktu 3 hari sekali menunjukkan hasil umbi b.putih yang baik di tanah Andosol. 12. Perlakuan cara tanam h Lumbu Hijau, dt, Segunung: h Peranan mulsa jerami pada tan. B. putih tidak dapat digantikan oleh mulsa plastik (transparan atau hitam), sedangkan penggunaan limbah kubis tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil b. putih. h Lumbu Hijau, dm, Kuningan: h Tinggi bedengan yang disarankan pada sistem budidaya bawang putih di musim penghujan adalah 30 cm. Penggunaan dosis pupuk kandang ayam 10 t/ha untuk bawang putih dapat direkomendasikan, sedangkian penambahan diatas dosis tersebut tidak berpengaruh terhadap peningkatan hasil. h Lumbu Hijau, dt, Banaran : h Mulsa jerami memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap hasil panen b. putih, dibanding dengan mulsa ampas tebu, sekam padi dan daun pisang kering. h Herbisida pra tanam oksifluorfen dapat meningkatkan hasil panen sebesar 15 % dibanding tanpa herbisida h Mulsa kurang efektif dalam menekan pertumbuhan gulma, sedangkan herbisida pra tanam nyata menekan pertumb. Gulma umur 45 dan 75 hst h Lumbu Putih, Jatibarang, dr, Brebes, Alluvial, 5 ton kompos/ha, NPK (240-120-150) kg/ha: h Lumbu putih dan Jatibarang mempunyai pertumbuhan dan hasil yang tidak berbeda di dr. h Penggunaan naungan screen plastik 30% untuk tan. bw. putih di dr menghasilkan umbi ukuran besar tertinggi. Namun sistem tumpangsari dengan jagung dan cabai sebagai alternatif naungan perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan jenis dan aplikasi tanaman naungan untuk bw.putih dr. h Lumbu Hijau, dt, Banaran: h Penggunaan mulsa maupun herbisida pra-tumbuh belum efektif dalam menekan pertumb. gulma. Penggunaan mulsa mampu meningkatkan hasil panen sekitar 20%, sedangkan herbisida tanpa penyiangan tidak meningkatkan hasil. 13. Penggunaan Bibit h Lumbu Hijau, dt, Lembang , rk: h Diameter umbi terbesar diperoleh dengan penggunaan bibit ukuran besar (>1,5 g) yang diberi pupuk N dua kali (saat tanam dan 30 hst). h Penggunaan bibit ukuran besar menghasilkan pertumbuhan dan hasil umbi bw. Putih tertinggi
33
h Pupuk N yang diberikan tiga kali (15, 30 dan 45 hst) meningkatkan pertumbuhan dan komponen hasil bw. Putih (bobot basah dan kering umbi serta jumlah siung)
Tabel 20
Topik, varietas dan ekosistem penelitian bawang putih agronomi 1982-2002
No.
Topik
Jumlah
Varietas
Ekosistem
Sumber
artikel 1.
Penggunaan pupuk tunggal N
6
Gombloh (3),
dt (6),
Lumbu Hijau (4)
dt (5)
BPH 12(1),1985; 19(1), 1990;21(4), 22(2),1992; J. Hort.3(2),1993
2.
Penggunaan pupuk tunggal P
5
Tes, L. Kuning, L. Hijau (3)
dt (5)
BPH 19(1), (2), 1990;21(1),1991; J.Hort.5(4),1995;9(1), 1999
3.
Penggunaan pupuk tunggal K
2
L.Kuning, L.Hijau
Dt
LHP 1993/1994;UNBAR
4.
Penggunaan pupuk N + P
2
Lumbu Kuning, Lumbu putih
Dt (2)
BPH 23 (4), 24 (1), 1992
5.
Penggunaan pupuk N+P+K
3
Lumbu Kuning, l
Dt, dr (2)
BPH 18 (2), 1989;26 (3), 1994
Lumbu kuning
dt(5), dm (3)
BPH 15(2),1987; 20(2), 1990;
Lumbu putih, suren 6.
Penggunaan pupuk daun dan ZPT
8
Lumbu Hijau (7), l
7.
Pupuk Mikro
2
Lumbu Hijau (2)
Dt
BPH 23 (4), 1992
8.
Penggunaan pupuk organik
5
Lumbu Hijau (3), l
dt (4), dr
BPH 16 (4), 1988;22 (1), 24(2), Lumbu Kuning, 1992;
Lumbu kuning, Sumenep, Bantul 9.
Perlakuan pengapuran
3
Suren, L.Hijau, l. kuning
dt (2), dr
BPH 27 (2), 1995, LHP 1995,UNS 1991
10.
Perlakuan Kerapatan Tanaman
2
Lumbu Hijau(2
dt, Kr.anyar
BPH 19(3), 1990; UNS,1988
11.
Perlakuan Pengairan
1
Lumbu hijau
Dt
BPH 18 (1), 1989
12.
Perlakuan cara tanam
5
Lumbu Hijau (4) , L.putih
dt (3),dm , dr
BPH 18(1), 1989;25(2),1993; 27(1),1994;27(2),(3),1995
13.
Penggunaan bibit
1
Lumbu Hijau
Dt
BPH 25(4), 1993
14.
Perlakuan Gulma
2
L.kuning
dt, dm
BPH 23(1),1992
Total 47 Keterangan: BPH = Buletin Penelitian Hortikultura, LHP = Laporan Hasil Penelitian
14. Gulma h ………, dt, Banaran, Latosol, mk: h Hasil panen bw. Putih tertinggi terjadi pada perlakuan bebas gulma sampai umur 75 hst dan terendah pada perlakuan bergulma sampai umur 75 hst. Jadi periode kritis tanaman bw. Putih terhadap gulma yaitu pada umur 0 – 75 hst. h L.Kuning, dm, Rancaekek, mh;
34
h Penyiangan secara manual, penggunaan mulsa jerami dan plastik hitam, pemakaian herbisida Propachlor dan Pendimethalin mampu menekan gulma 40%-100% h Penyiangan secara manual pada 15, 30, 45 hst adalah perlakuan terbaik, diikuti oleh perlakuan pemulsaan jerami 30 t/ha herbisida Propachlor h Penggunaan plastik hitam sebagai plastik tidak dapat dianjurkan untuk pertanaman bw.putih, karena menimbulkan hambatan bagi pertumbuhan dan perkembangan bw.putih
PROTEKSI TANAMAN
Penelitian hama penyakit bawang putih, khususnya yang telah dipublikasikan, tercatat hanya sampai tahun 1996, dan jumlahnya relatif sedikit (16 artikel). Beberapa catatan umum dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1996 adalah sebagai berikut : • Topik penelitian penyakit proporsinya lebih besar dibandingkan penelitian hama. • Kultivar yang dominan digunakan adalah lumbu hijau. • Ekosistem yang digunakan untuk penelitian adalah dataran tinggi. Hasil penelitian per topik dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1996 adalah sebagai berikut. 1. Thrips tabaci 1.1 Pengendalian kimiawi (efikasi) h Fention 0,15% (Lebaycid) dan Diazinon 0,15% lebih efektif dibanding Metamidifos 0,15% dan Metomil 0,15%. 1.2 Pengendalian Hayati h Penggunaan Verticillium lecanii dapat menekan populasi Thrips sebesar 31%, sedang Beauveria bassiana dapat menekan Thrips sebesar 27%.
2. Alternaria porrii (bercak ungu atau trotol) 2.1 Pengendalian kimiawi (efikasi) h Dharmasri 5 EC (Triacontanol) dan Rovral 50 WP (iprodion) dapat menekan perkembangan A. porii. Sedangkan Dithane M-45 kurang efektif.
3. Colletotrichum sp (Antraknos atau otomatis) 3.1 Pengendalian kimiawi (efikasi). h Fungisida yang efektif terhadap Colletotrichum sp adalah Antracol 70 WP (propineb), Brestan 60 70 WP (trifeniltin-asetat), Dithane M-45 80 WP (Mancozeb), Daconil 75 WP (klorotalonil),
35
Polyram M 80 WP (Maneb), Phycozan 80 WP (mankozeb), zincofol 60 WP (Kaptafol + Cu + Zn). Penyemprotan dilakukan 2 minggu setelah tanam dengan interval 1-2 kali per minggu. 4. Stemphilium vesicarium (bercak daun) 4.1 Pengendalian kimiawi + fisik h Penggunaan Zincofol (0,1%) dan Antracol (0,1%) dengan kombinasi perlakuan radiasi 250 rad efektif terhadap S. vesicarium dan menguntungkan.
5. Fusarium sp (Kering pucuk daun) 5.1 Pengendalian kimiawi (efikasi) h Penggunaan Dharmasri 5 EC (Triakontanol) dan Rovral 50 WP (iprodion) efektif terhadap Fusarium, sedang Dithane M-45 kurang efektif.
6. Erwinia sp (Busuk lunak) 6.1 Pengendalian kimiawi dan fisik h Bakterisida Agreft 20 WP dengan konsentrasi 0,20% yang diaplikasikan melalui “drencing” pada saat tanam dan penyemprotan daun interval 7 hari dapat menekan serangan Erwinia sp sebesar 36,38%. h Perendaman umbi bibit bawang putih pada suhu 40°C selama 20 menit efektif terhadap Erwinia sp dan dapat mempertahankan kehilangan hasil sebesar 36,38%.
7. Virus 7.1 Identifikasi h Gejala mosaik klorosis dan alur kuning pada helaian daun bawang putih disebabkan oleh virus, bukan jamur atau bakteri. Diduga virusnya adalah Beet Yellow Virus (BYV), untuk meyakinkan dugaan ini perlu penelitian lebih lanjut. 7.2 Pembebasan virus pada umbi bawang putih h Metode kultur jaringan meristem dengan media BS (NAA 1 mg/liter + gibberelic acid 0,1 mg/liter) efektif dalam eliminasi virus yang terbawa umbi bibit bawang putih. Dengan demikian metode ini diharapkan dapat digunakan dalam menunjang pengadaan bibit bawnag putih bebas virus. h Perlakuan pemanasan kering umbi tidak dapat menekan insiden dan intensitas virus yang terbawa umbi bibit bawang putih.
8. Gulma 8.1 Kehilangan hasil oleh persaingan gulma h Periode kritis tanaman bawang putih terhadap gulma adalah pada umur 0-75 hari setelah tanam.
36
h Kepadatan gulma 50% dapat menurunkan bobot panen umbi 67,4%, sedangkan dengan kepadatan gulma 100% dapat menurunkan bobot panen umbi 83,14%, wlaaupun dipupuk N dengan dosis 300 kg/ha. 8.2 Penggunaan mulsa h Mulsa jerami, ampas tebu, sekam padi dan daun pisang kering kurang efektif untuk menekan gulma, namun menunjukkan indikasi dapat meningkatkan hasil panen ± 20%. 8.3 Pengendalian kimiawi h Herbisida Goal 2E (Oksifhorpen) pratanam, efektif menekan gulma, dan dapat menekan kehilangan hasil sebesar 15%.
Tabel 21 No
Topik, varietas dan ekosistem penelitian bawang putih proteksi tanaman, 1982-1996. Σ Artikel/ Laporan
Topik
Komponen Pengendalian Σ Artikel
Varietas
Lokasi
1.
Thrips tabaci Lind.
2
P. kimiawi/Efikasi (1) P. biologi (1)
Lumbu hijau (2)
DT (2)
2.
Alternaria porrii (ELL)
2
P. kimiawi/Efikasi (2)
Lumbu hijau Lumbu putih
DT (1) DR (1)
3.
Colletotrichum sp.
1
P. kimiawi/efikasi (1)
Lumbu hijau
4.
Stemphilium versicarium
1
P. kimiawi berdasarkan A.P.
5.
Fusarium sp.
1
P. kimiawi/efikasi (1)
Lumbu hijau
DT
6.
Erwinia sp.
1
P. kimiawi + fisik (1)
Lumbu hijau
DT
7.
Virus
2
Identifikasi (1) Pembebasan virus (kultur jaringan dan pemanasan kering umbi) (1)
Lumbu hijau (2)
Lab. (2)
8.
Gulma
6
Kehilangan hasil persaingan gulma (3) Penggunaan mulsa (2) Kimiawi/efikasi (1)
Lumbu hijau (6)
DT (6)
DT
PASCAPANEN 1.
Prapanen
1)
Topik
:
Peneliti Utama Publikasi
: :
Pengaruh Waktu Penyemprotan Larutan Ethrel dan Urea terhadap Proses Pengeringan dan Daya simpan Bawang Putih pada Suhu Kamar Sabari SD BPH XX, 4, 1991
37
Hasil : - Penyemprotan tanaman bawang putih dengan campuran larutan Ethrel (1%) dan urea (10%) setelah panen, ternyata tidak mempercepat proses pengeringan batang dan daun bawang putih. - Penyemprotan dengan bahan kimia tersebut justru menurunkan kandungan vitamin C. - Penyemprotan dengan bahan kimia di atas juga memperbesar kehilangan umbi dalam penyimpanan kondisi kamar. 2.
Pengeringan umbi
1)
Topik : Pengeringan dan Daya Simpan Bawang Putih pada Kondisi Kamar Peneliti Utama : Syaifullah Publikasi : BPH XVIII (3), 89 Hasil : - Pengeringan bawang putih baik yang berdaun maupun tidak, dapat dilakukan dengan sinar matahari langsung, di tempat teduh, di dalam ruangan dengan alat pengering tenaga surya tipe IDAHO dan tipe IDAHO yang dimodifikasi. - Penguapan air tertinggi terjadi pada pengeringan dengan sinar matahari langsung dan terendah dialami pada pengeringan pada kondisi kamar.
2)
Topik
:
Pengaruh Penggunaan Alat Pengering Vortex terhadap Mutu Bawang Putih RM Sinaga BPH XIX (4), 90
Peneliti Utama : Publikasi : Hasil : - Penggunaan gudang sistem vortex jauh lebih baik dibanding gudang petani untuk penyimpanan bawang putih. Hal ini dibuktikan dengan susut bobot yang lebih kecil, penampakan lebih baik, jumlah umbi keropos sangat kecil. Penggunaan gudang sistem vortex juga sangat baik untuk bawang putih konsumsi karena tidak memerlukan pengasapan yang menurunkan nilai penampakan. - Namun masih perlu diteliti dengan kapasitas penuh untuk membandingkan tenaga sirkulasi udara dengan uap air hasil respirasi dan juga pengaturan ventilasi bila penyimpanan di musim hujan. 3)
Topik
:
Pengaruh Konstruksi Gudang dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Bawang Putih RM Sinaga BPH XX (3), 91
Peneliti Utama : Publikasi : Hasil : - Penggunaan gudang pengering tanpa dinding dapat disamakan dengan penggunaan gudang berdinding yang dilengkapi dengan alat vortex wind machine untuk bawang putih. - Penggunaan gudang pengering vortex jauh lebih baik dibanding dengan gudang tradisional. - Pengeringan bawang putih langsung ke dalam gudang pengering tanpa dinding atau gudang sistem vortex selama 4 minggu maka bawang putih dapat disimpan ke dalam kantong plastik tertutup. 3. 1)
Penyimpanan Topik
:
Penggunaan Pestisida dan Minyak Goreng terhadap Daya Simpan
38
Umbi Bawang Putih pada Kondisi Kamar. Sabari SD. BPH XXI (2) , 91
Peneliti Utama : Publikasi : Hasil : - Pencelupan umbi bawang putih kering dalam larutan pestisida Dessin 5 EC 2,5 ml/l, Tamaron 200 LC 2ml/l dan Ambush s EC 2.5 ml/l, dapat menunda serangan ulat selama penyimpanan pada kondisi kamar dalam waktu masing-masing 5 bulan, 6 bulan, dan 6 bulan lebih lama daripada kontrol yang hanya 2 bulan sudah mulai ada serangan ulat. - Setelah 8 bulan disimpan pada kondisi kamar, ternyata pencelupan umbi dalam pestisida Tamaron, Ambush dan kontrol, sisa umbi sehatnya masing-masing 53,17%, 48,3% dan 27,17% dengan total kerusakan 9,5%, 7% dan 39,57%. - Pencelupan umbi pada minyak goreng dan yang dikombinasikan dengan pestisida, ternyata mempercepat kerusakan umbi dalam penyimpanan. 2)
Topik
:
Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Mutu Bawang Putih Kultivar Lumbu Hijau di Penyimpanan. RM Sinaga BPH XXVI (3), 94
Peneliti Utama : Publikasi : Hasil : - Kombinasi suhu 30oC dan kelembaban (RH) 70% memberikan mutu bawang putih terbaik. 4. 1)
Pengolahan Topik
:
Pengaruh Penambahan Bahan Pengisi dalam Pembuatan Bubuk Bawang Putih. R.M. Sinaga BPH 18, edisi khusus (1), 90
Peneliti Utama : Publikasi : Hasil : - Semakin besar konsentrasi garam yang ditambahkan, semakin besar kadar air dan kadar abu bubuk bawang putih. - Penambahan gum arab menyebabkan penurunan rendemen tertinggi adalah perlakuan tanpa penambahan gum arab dengan penambahan garam 1%. - Nilai warna putih tertinggi terdapat pada interaksi tanpa penambahan gum arab dan garam, sedangkan nilai VRS tertinggi diperoleh dari kombinasi penambahan gum arab 0,5% dengan tanpa penambahan garam. - Penambahan 0,5% gum arab dengan perlakuan tanpa penambahan garam merupakan kombinasi terbaik terhadap flavour dan nilai VRS. 2)
Topik
:
Pengaruh Penambahan Bahan Pengisi dalam Pembuatan Bubuk Bawang Putih. R.M. Sinaga BPH (18) Edisi Khusus No. 1, 90
Peneliti Utama : Publikasi : Hasil : • Semakin besar konsentrasi garam yang ditambahkan, jumlah besar kadar air bubuk bawang putih. Penampakan gum arab menyebabkan penurunan rendemen & derajat putih bubuk bawang putih. Interaksi yang menghasilkan rendemen tinggi adalah perlakuan tanpa gum arab dengan penambahan garam 1%. 3)
Topik
:
Orientasi Perlakuan Garam, Suhu dan Lama Fermentasi terhadap
39
Pikel Bawang Putih. R.M. Sinaga BPH 27 (3) 95
Peneliti Utama : Publikasi : Hasil : - Interaksi perlakuan 4% kadar garam larutan perendaman pada suhu fermentasi 5°C dengan 4-6 minggu lama fermentasi menghaislkan mutu pikel bawang putih yang optimum. Bakteri lactobacillus sp merupakan bakteri psikhodrik yaitu bakteri yang mesofer, tetapi masih dapat tumbuh pada suhu 5°C. - Kadar garam pikel bawang putih tertinggi dicapai pada saat 2 minggu lama fermentasi, kemudian menurun pada minggu ke-4, ke-6 dan ke-8. VRS adalah zat yang mudah menyerap, selama proses fermentasi berlangsung kadang VRS menurun, tetapi asam laktat mencapai optimum maksimal 6 minggu lama fermentasi, kemudian menurun lagi sampai minggu ke-8. Jumlah total bakteri terus meningkat, demikian pula dengan total bakteri Lactobacillus sp. - Secara keseluruhan dari nilai unsur kimia, mikroba dan uji organoleptik pikel bawang putih yang optimum diperoleh dari dan sekitar 4-6 mg lama fermentasi. 4)
Topik
:
Orientasi Perlakuan Pengeringan dan Kadar Garam terhadap Mutu Irisan Kering Bawang Putih. Listeria BPH 27 (3) 95
Peneliti Utama : Publikasi : Hasil : h Pengeringan dengan oven 40°C dengan garam larutan perendam (2%) menunjukkan VRS yang paling tinggi yakni 340,66 mgrek/g serta sifat organoleptik yang terbaik pada irisan kering bawang putih. h Perlakuan pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, VRS, flavor, tekstur dan penampakan keseluruhan, kecuali terhadap warna dan kerenyahan menunjukkan bahwa perlakuan yang terbaik adalah pengeringan dengan oven 30°C dan 40°C. h Perlakuan kadar garam larutan perendaman berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, VRS, warna, flavour, kerenyahan dan penampakan keseluruhan. Kadar garam 3% dan 4% merupakan perlakuan yang terbaik di bandingkan dengan perlakuan lainnya.
5. 1)
Identifikasi Mutu dan Penanganan Pascapanen Topik
:
Studi Orientasi dan Karakterisasi Cara dan Alat Pacapanen Bawang Putih di propinsi Bali. Sjaipullah 18 (3)’89
Peneliti Utama : Publikasi : Hasil : • Pelaksanaan penanganan pasca panen masih jauh dari yang diharapkan terutama dalam meningkatkan mutu dan umur penyimpanan bawang putih. • Perlu penelitian yang lebih menjurus pada penentuan tingkat ketuaan layak panen, patologi pasca panen, pengeringan dan penyimpanan hasil. • Perlakuan dengan pengasapan dapat meningkatkan kandungan lemak pada varietas lokal jonjong, dan kandungan serat pada varietas lumbu kuning. 2)
Topik
:
Analisis Mutu Umbi Bawang Putih Asal Provinsi NTB.
40
Peneliti Utama Publikasi Hasil
: : :
Syaipullah BPH 21 (2)’91
- Bawang putih Varietas Sangga mempunyai umbi antara 11,8-26,19, sedangkan varietas Siem berbobot sekitar 3,4 g. Makin kecil ukuran umbi dari varietas sangga makin banyak siungnya (nilainya antara 10,7-13,6 buah) dengan makin ringan bobotnya (bobot berkisar 0,98 – 1,79 g/siung), varietas Siem bersifat fisik khas dengan jumlah siung 1-3 buah/umbi. - Bawang putih varietas Sangga, TPT antara 35,5 % - 36,9% dan varietas Siem 37,6% varietas Sangga berumbi kecil mempunyai TPT lebih kecil dari pada umbi besar. TPT varietas Siem lebih tinggi dari pada lumbu hijau dan bawang putih import. - Pola respirasi varietas Sangga dan Siem adalah serupa makin kecil ukuran umbi varietas Sangga makin tinggi kecepatan respirasinya. 6.
Prapanen • Penyemprotan tanaman bawang putih dengan campuran larutan Ethrel (1%) dan urea (10%) setelah panen, ternyata tidak mempercepat proses pengeringan batang dan daun bawang putih. Penyemprotan dengan bahan kimia tersebut dapat menurunkan mutu umbi khususnya vitamin C. Selain itu berakibat memperbesar kehilangan umbi dalam penyimpanan kondisi kamar.
7.
Pengeringan umbi • Pengeringan bawang putih baik yang berdaun maupun tidak, dapat dilakukan dengan sinar matahari langsung, di tempat teduh, di dalam ruangan dengan alat pengering tenaga surya tipe IDAHO dan tipe IDAHO yang dimodifikasi. Penguapan air tertinggi terjadi pada pengeringan dengan sinar matahari langsung dan terendah dialami pada pengeringan pada kondisi kamar. Waktu pemeraman yang terbaik pada suhu 25°C ialah 4 hari, dan membiarkan tomat terbuka di udara selama 4 hari agar matang 100%. Perlakuan pemeraman 6 –7 hari hanya memerlukan 3,2 dan 2,2 hari agar 100% matang. Sedang kontrol memerlukan waktu 15,8 hari untuk mencapai matang 100%. • Penggunaan gudang sistem vortex jauh lebih baik dibanding gudang petani untuk penyimpanan bawang putih. Hal ini dibuktikan dengan susut bobot yang lebih kecil, penampakan lebih baik, jumlah umbi keropos sangat kecil. Penggunaan gudang sistem vortex juga sangat baik untuk bawang putih konsumsi karena tidak memerlukan pengasapan yang menurunkan nilai penampakan. Namun masih perlu diteliti dengan kapasitas penuh untuk membandingkan tenaga sirkulasi udara dengan uap air hasil respirasi dan juga pengaturan ventilasi bila penyimpanan di musim hujan. • Penggunaan gudang pengering tanpa dinding dapat disamakan dengan penggunaan gudang berdinding yang dilengkapi dengan alat vortex wind machine untuk bawang putih. Penggunaan gudang pengering vortex jauh lebih baik dibanding dengan gudang tradisional. Pengeringan bawang putih langsung ke dalam gudang pengering tanpa dinding atau gudang sistem vortex selama 4 minggu maka bawang putih dapat disimpan ke dalam kantong plastik tertutup.
41
8.
Penyimpanan • Pencelupan umbi bawang putih kering dalam larutan pestisida Dessin 5 EC 2,5 ml/l, Tamaron 200 LC 2ml/l dan Ambush s EC 2.5 ml/l, dapat menunda serangan ulat selama penyimpanan pada kondisi kamar dalam waktu masing-masing 5 bulan, 6 bulan, dan 6 bulan lebih lama daripada kontrol yang hanya 2 bulan sudah mulai ada serangan ulat. Setelah 8 bulan disimpan pada kondisi kamar, ternyata pencelupan umbi dalam pestisida Tamaron, Ambush dan kontrol, sisa umbi sehatnya masing-masing 53,17%, 48,3% dan 27,17% dengan total kerusakan 9,5%, 7% dan 39,57%. Pencelupan umbi pada minyak goreng dan yang dikombinasikan dengan pestisida, ternyata mempercepat kerusakan umbi dalam penyimpanan. • Kombinasi suhu 30oC dan kelembaban (RH) 70% memberikan mutu bawang putih terbaik.
9.
Pengolahan • Semakin besar konsentrasi garam, semakin besar kadar air dan kadar abu bubuk bawang putih. Penambahan gum arab menyebabkan penurunan rendemen tertinggi adalah perlakuan tanpa penambahan gum arab dengan penambahan garam 1%. Nilai warna putih tertinggi terdapat pada interaksi tanpa penambahan gum arab dan garam, sedangkan nilai VRS tertinggi diperoleh dari kombinasi penambahan gum arab 0,5% dengan tanpa penambahan garam. Penambahan 0,5% gum arab dengan tanpa garam merupakan kombinasi terbaik terhadap flavour dan nilai VRS. • Interaksi perlakuan 4% kadar garam larutan perendaman pada suhu fermentasi 5°C dengan 4-6 minggu lama fermentasi menghaislkan mutu pikel bawang putih yang optimum. Bakteri lactobacillus sp merupakan bakteri psikhodrik yaitu bakteri yang mesofer, tetapi masih dapat tumbuh pada suhu 5°C. Kadar garam pikel bawang putih tertinggi dicapai pada saat 2 minggu lama fermentasi, kemudian menurun pada minggu ke-4, ke-6 dan ke-8. VRS adalah zat yang mudah menyerap, selama proses fermentasi berlangsung kadang VRS menurun, tetapi asam laktat mencapai optimum maksimal 6 minggu lama fermentasi, kemudian menurun lagi sampai minggu ke-8. Jumlah total bakteri terus meningkat, demikian pula dengan total bakteri Lactobacillus sp. Secara keseluruhan dari nilai unsur kimia, mikroba dan uji organoleptik pikel bawang putih yang optimum diperoleh dari dan sekitar 4-6 mg lama fermentasi. • Pengeringan dengan oven 40°C dengan garam larutan perendam (2%) menunjukkan VRS yang paling tinggi yakni 340,66 mgrek/g serta sifat organoleptik yang terbaik pada irisan kering bawang putih. Perlakuan pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, VRS, flavor, tekstur dan penampakan keseluruhan, kecuali terhadap warna dan kerenyahan menunjukkan bahwa perlakuan yang terbaik adalah pengeringan dengan oven 30°C dan 40°C. Perlakuan kadar garam larutan perendaman berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, VRS, warna, flavour, kerenyahan dan penampakan keseluruhan. Kadar garam 3% dan 4% merupakan perlakuan yang terbaik di bandingkan dengan perlakuan lainnya.
10. Identifikasi Mutu dan Penanganan Pascapanen •
Pelaksanaan penanganan pasca panen masih jauh dari yang diharapkan terutama dalam meningkatkan mutu dan umur penyimpanan bawang putih. Perlu penelitian yang lebih menjurus pada penentuan tingkat ketuaan layak panen, patologi pasca panen, pengeringan
42
dan penyimpanan hasil. Perlakuan dengan pengasapan dapat meningkatkan kandungan lemak pada varietas lokal jonjong, dan kandungan serat pada varietas lumbu kuning. Bawang putih Varietas Sangga mempunyai umbi antara 11,8-26,19, sedangkan varietas Siem berbobot sekitar 3,4 g. Makin kecil ukuran umbi dari varietas sangga makin banyak siungnya (nilainya antara 10,7-13,6 buah) dengan makin ringan bobotnya (bobot berkisar 0,98 – 1,79 g/siung), varietas Siem bersifat fisik khas dengan jumlah siung 1-3 buah/umbi. Bawang putih varietas Sangga, TPT antara 35,5 % - 36,9% dan varietas Siem 37,6% varietas Sangga berumbi kecil mempunyai TPT lebih kecil dari pada umbi besar. TPT varietas Siem lebih tinggi dari pada lumbu hijau dan bawang putih import. Pola respirasi varietas Sangga dan Siem adalah serupa makin kecil ukuran umbi varietas Sangga makin tinggi kecepatan respirasinya.
•
Catatan Umum :
Pada teknik prapanen belum ditemukan teknik yang dapat meningkatkan karakter fisikokimia umbi bawang putih. Belum dilakukan penelitian yang berhubungan dengan penentuan tingkat ketuaan yang layak panen. Hasil penelitian pengeringan bawang putih sudah menunjukkan perkembangan yang baik dilihat dari hasil yang dapat dicapai. Hasil penelitian penyimpanan masih belum memuaskan dilihat dari hasilnya, dimana masih terjadi susut bobot dan kerusakan yang besar. Penggunaan pestisida sebagai bahan pengawet dalam penyimpanan dikhawatirkan akan membawa dampak negatif terhadap kesehatan. Belum pernah dilakukan penelitian tentang pengemasan, baik pengemasan eceran maupun distribusi. Penelitian diversifikasi olahan bawang putih masih sangat terbatas pada tepung dan pikel. Perlu dilakukan penelitian identifikasi mutu dan keragaan penanganan pascapanen serta pemanfaatannya.
AGRO-EKONOMI Sebaran topik serta ekosistem pada penelitian agro-ekonomi bawang putih selama kurun waktu 1974-2001 dapat dilihat pada Tabel 21. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari Tabel 1 adalah sebagai berikut: • Dibandingan dengan topik penelitian agro-ekonomi lainnya, topik penelitian ekonomi produksi proporsinya paling besar (43%). • Mayoritas ekosistem yang digunakan untuk penelitian bawang putih adalah dataran tinggi (10) dan hanya sebagian kecil yang dilaksanakan di dataran medium (2) dan dataran rendah (2). Hasil penelitian per topik sampai dengan tahun anggaran 2001 adalah sebagai berikut : 1. Studi diagnostik atau lini dasar ♦ Di dataran Rendah (Yogyakarta) •
Bawang putih di dataran rendah (Desa Logandeng, Samiran dan Blonotan-Yogyakarta) ditanam dengan system bedengan/sekali tanam.
43
• • • • •
Varietas bawang putih yang ditanam umumnya Lumbu Putih. Waktu tanam musim kemarau (Mei-Juni). Pengendalaian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan pestisida 1-2 kali seminggu. Pengetahuan petani tentang teknologi cukup baik, umumnya petani menggunakan teknologi yang sesusi dengan lingkungannya berdasarkan pengalaman. Kendala yang dihadapi adalah keterbatasan modal, pemasaran – harga jual rendah, hama/penyakit – ulat Grayak, kemreki, wereng dan trotol, bibit, budidaya tanaman dan pengairan.
Tabel 22
Topik dan ekosistem penelitian bawang putih agro-ekonomi 1980-2001.
No.
Topik
Artikel
Ekosistem
Sumber
1.
Studi diagnostik atau lini dasar
3
dm (2): BPH 20 EK (1); 21 (2); 27 dt/dm/dr (1) (1)
2.
Studi ekonomi produksi
6
dt (5), dr (1) H (7); BPH 2 (4); 15 (2); 21 (2); 25 (2) JH 9 (3)
3.
Studi pemasaran dan analisis harga
3
dt (3)
BPH 16 (2) JH 5 (4); 10 (1)
4.
Studi konsumen
1
dt (1)
BPH 18 EK (1)
5.
Studi pengembangan/ pewilayahan
1
dt (1)
BPH 18 EK (2)
Total
14
Keterangan : dt = dataran tinggi dm = dataran medium dr = dataran rendah H = Hortikultura BPH = Buletin Penelitian Hortikultura JH = Jurnal Hortikultura
♦ Di dataran Medium dan Tinggi (Magelang) • • • •
•
Bawang putih di dataran medium (Muneng Warangan-Magelang) dan tinggi (Temanggung-Magelang) ditanam dengan system cemplongan/ beberapa kali tanam. Varietas bawang putih yang ditanam di dataran medium varietas Krikil, sedangkan di dataran tinggi meliputi Gombloh, Lumbu Kuning dan Lumbu Hijau. Waktu tanam bawang putih di dataran medium dan tinggi musim kemarau dan musim hujan (Oktober). Pengendalaian hama dan penyakit di dataran tinggi dilakukan dengan penyemprotan pestisida 1-2 kali seminggu. Sementara di dataran medium penyemprotan pestisida tidak dilakukan karena varietas Krikil toleran terhadap hama dan penyakit. Pengetahuan petani tentang teknologi cukup baik, umumnya petani menggunakan teknologi yang sesusi dengan lingkungannya berdasarkan pengalaman. Masalah teknik dan non-teknik bervariasi diantara masing-masing lokasi.
44
•
Kendala yang dihadapi petani bawang putih di dataran medium adalah harga jual yang rendah dan embun upas. Sementara itu kendala di dataran tinggi harga input mahal, harga jual rendah, ulat, Lomot dan Trotol.
♦ Di dataran Medium (Majalengka) •
•
• •
Bawang putih mulai ditanam petani di desa Ciomas, kecamatan Sukahaji – Majalengka tahun 1987 dengan alasan biaya bibit lebih murah dan keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan bawang merah. Bawang putih ditanam bulan Maret/April atau Juli/Agustus. Penanaman Maret/April lebih sesuai untuk bawang putih dibandingkan dengan Juli/Agustus, karena Juli/Agustus lebih banyak permasalahan seperti penyiraman dan penyakit. Namun demikian penanaman Juli/Agustus harga jualnya lebih tinggi. Daerah pemasaran bawang putih dari Majalengka selain untuk memenuhi kebutuhan lokal juga dipasarkan ke Kuningan, Serang, Semarang dan Lampung. Permasalahan yang dihadapi : (1) keterbatasan pengetahuan teknik bercocok tanam bawang putih, (2) daun bawang putih “nglinting” (menggulung); (3) persentase hasil umbi kecil yang terlalu banyak (±30%).
♦ Di dataran Medium (Malang) •
• •
Di kecamatan Karangploso dan Dau bawang putih berkembang cepat mulai tahun 1980an. Produksi cukup bagus, yaitu dengan bibit 0,5 ton mampu menghasilkan 12 ton bawang putih, sehingga cukup memberikan keuntungan. Grading telah dilakukan petani, sehingga harga jual lebih baik dan bervariasi sesuai dengan kelasnya. Kendala yang dihadapi : (1) lemahnya permodalan petani, (2) kekuatan posisi tawar menawar, (3) tingkat pengetahuan teknologi budidaya dan pasca panen yang belum memadai, serta (4) teknologi pengendalian OPT.
2. Studi ekonomi produksi ♦ Di dataran tinggi (Malang) •
•
Komposisi biaya produksi bawang putih di Batu (1972) adalah : (a) bibit – 33,17%, Pupuk -- 12,25%, pestisida -- 9,37%, tenaga kerja -- 26,04%, sewa tanah dan lain-lain -19,17%. Dengan produksi kering 8.118 kg/ha, maka R/C ratio 2,67. Penggunaan input pada usahatani bawang putih di daerah Batu-Malang masih dapat ditingkatkan, yaitu penggunaan bibit, pupuk N, P, K dan fungisida.
♦ Di dataran tinggi (Majalengka) • •
Hasil usahatani bawang putih di Argapura-Majalengka masih dapat ditingkatkan dengan menambah penggunaan input tenaga kerja dan pupuk kandang. Penggunaan pestisida persatuan luas harus dikurangi.
45
♦ Di dataran Tinggi (Pacet-Cianjur) • •
• • •
Hasil panen bawang putih yang dijual kering lebih menguntungkan petani dibandingkan dengan dijual basah (tanpa penanganan pascapanen). Komposisi biaya produksi bawang putih bila dijual basah adalah : bibit -- 48,93%, pupuk -8,76%, pestisida -- 3,74%, tenaga kerja -- 28,71%, sewa tanah -- 2,89%, bunga modal -6,98%. Dengan tingkat produksi 6.329,71 kg bawang putih basah/ha, R/C rationya 0,64. Bila dijual kering komposisi biaya produksi adalah : bibit – 46,46%, pupuk -- 8,32%, pestisida -- 3,55%, tenaga kerja – 31,96%, sewa tanah -- 2,74%, bunga modal -- 6,98%. Dengan tingkat produksi 3.710,82 kg bawang putih kering/ha, R/C rationya 1,18.
o Di dataran Rendah (Yogyakarta) Komponen biaya produksi bawang putih terbesar adalah biaya tenaga kerja (57%), selanjutnya diikuti biaya bibit (24%), pupuk (8%), bunga modal (5%), pestisida (3%) dan biaya lain-lain (3%). R/C ratio 0,98 (rugi). ♦ Indonesia •
• •
Pola pertumbuhan produksi bawang putih di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Faktor dominan sumber pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan areal tanam.
3. Studi pemasaran dan analisis harga ♦ Respons petani bawang putih terhadap fluktuasi harga dan iklim • • •
•
Wortel merupakan tanaman saingan bawang putih di Batu – Malang. Peningkatan luas panen wortel sebesar 1 unit mengakibatkan penurunan luas panen bawang putih sebesar 2,5790 unit. Harga wortel pada tahun t-1 dan jumlah curah hujan pada tahun t mempunyai pengaruh yang nyata terhadap luas panen bawang putih pada tahun t, sedangkan harga bawang putih pada tahun t-1 tidak berpengaruh nyata. Kenaikan harga wortel sebesar 1% pada tahun t-1 mengakibatkan penurunan luas panen bawang putih pada tahun t sebesar 0,41%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa petani bawang putih di Batu-Malang akan beralih menanam wortel jika harga wortel pada tahun sebelumnya (t-1) meningkat.
♦ Tataniaga bawang putih di Ciwidey-Bandung •
•
Saluran tataniaga bawang putih basah dari Ciwidey sampai Kotamadya Bandung yang paling efisien adalah saluran : petani – bandar Ciwidey – grosir Caringin – pengecer – konsumen, dengan indeks efisiensi teknis (T = 15,13) dan ekonomis (E = 18,20) paling kecil, serta nilai farmer’s share yang paling besar (50%). Saluran tataniaga bawang putih kering dari Ciwidey sampai DKI Jakarta yang paling efisien adalah saluran : petani – bandar Ciwidey – grosir Kramatjati – pengecer –
46
•
konsumen, dengan indeks efisiensi teknis (T = 5,62) dan ekonomis (E = 4,66) paling kecil, serta nilai farmer’s share yang paling besar (52,31%). Efisiensi tataniaga masih dapat ditingkatkan melalui efisiensi komponen biaya penyusutan pada masing-masing lembaga tataniaga yang terkait.
♦ Ekspor-impor bawang putih • •
Selama periode 1981-1995, pola pertumbuhan impor bawang putih segar termasuk dalam kategori konstan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 18,73%. Secara berturut-turut, pertumbuhan nilai impor rata-rata, pertumbuhan harga satuan impor rata-rata dan pertumbuhan volume impor rata-rata bawang putih segar selama periode 1981-1995 adalah 15,22%, -3,51%, dan 18,73%. Sementara itu, faktor yang paling dominan sebagai sumber pertumbuhan impor bawang putih segar adalah volume.
4. Studi konsumen ♦ Preferensi konsumen (Rumah Tangga) • •
• •
•
Pendapatan keluarga (golongan rumah tangga) sangat menentukan jumlah bawang putih yang dikonsumsi oleh konsumen rumah tangga. Konsumsi bawang putih rata-rata untuk rumah tangga golongan atas di Kota Madya Bandung adalah 1,68 gram/kapita/hari dan untuk rumah tangga golongan bawah 0,45 gram/kapita/hari. Pendapatan keluarga tidak terlalu mempengaruhi preferensi konsumen terhadap konsumsi bawang putih. Preferensi konsumen rumah tangga golongan atas dan bawah sama, yaitu menyukai bawang putih yang umbinya besar, kulit tipis, warna kulit putih, kekerasan daging dan aroma sedang. Rumah tangga golongan atas menyukai bawang putih dengan warna daging putih dan putih kekuningan, sementara rumah tangga golongan bawah lebih menyukai warna daging putih.
5. Studi pengembangan/pewilayahan •
•
•
•
Berdasarkan indikator luas penanaman baru > 50 ha pada tahun 1987, sentra produksi bawang putih di pulau Jawa dan Madura mempunyai 11 macam klasifikasi jenis tanah dan iklim yang tersebar dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi. Jenis tanah dan iklim yang relatif sesuai bagi pengembangan bawang putih pada ketinggian < 700 m dpl yaitu tipe tanah dan iklim : Andosol-B2/C2, Latosol-B2/C2, dan Andosol-C3 Tipe tanah dan iklim yang relatif sesuai untuk pengembangan bawang putih pada ketinggian antara > 200 m dpl sampai < 700 m dpl yaitu : Latosol-B2/C2, Andosol-C3 dan Regosol-C3. Daerah-daerah pengembangan untuk ketinggian > 700 m dpl tersebar di 46 kecamatan, sedangkan untuk ketinggian antara > 200 m dpl sampai < 700 m dpl menyebar di 103 kecamatan.