Profil Komoditas Buncis

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Profil Komoditas Buncis as PDF for free.

More details

  • Words: 12,483
  • Pages: 40
LAPORAN AKHIR

PROFIL KOMODITAS BUNCIS (2004)

Witono Adiyoga Rachman Suherman T. Agoes Soetiarso Budi Jaya Bagus Kukuh Udiarto Rini Rosliani Darkam Mussadad

Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif The Participatory Development of Agricultural Technology Project (PAATP) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004

I. Pendahuluan Nama latin untuk tanaman buncis adalah Phaseolus vulgaris dan termasuk ke dalam famili Leguminoseae. Berdasarkan sistematika tumbuhan maka klasifikasi dari tanaman buncis adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g.

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Leguminales Famili : Leguminoseae Genus : Phaseolus Species : Phaseolus vulgaris.

Tanaman buncis dapat dikelompokkan ke dalam kelompok kacang-kacangan (beans), yang berumur pendek dan berbentuk semak atau perdu. Berdasarkan tipe pertumbuhannya, ada dua macam tanaman buncis yaitu buncis tipe tegak dan tipe merambat. Tanaman tipe merambat banyak dikonsumsi dalam bentuk polong buncis yang masih muda, sedangkan untuk tipe tegak umumnya yang dikonsumsi adalah bijinya. Tanaman buncis tipe tegak biasa dikenal dengan “kacang jogo” yang berwarna merah, hitam, kuning, cokelat tergantung dari varietasnya. Tanaman buncis bukan tanaman asli Indonesia tetapi merupakan hasil introduksi (Rukmana, 1995). Berdasarkan berbagai informasi tanaman buncis berasal dari benua Amerika tepatnya Amerika Utara dan Amerika Selatan. Secara lebih spesifik diperoleh informasi, bahwa kacang buncis tipe tegak (kacang jogo) merupakan tanaman asli di lembah Tahuacan (Meksiko). Penyebaran ke benua Eropa berlangsung sejak abad ke-16 oleh orang-orang Spanyol dan Portugis. Daerah pusat penyebarannya mula-mula adalah Inggris (tahun 1594), kemudian menyebar ke negara-negara lainnya di kawasan Eropa, Afrika, sampai ke Asia. Di Amerika daerah penyebaran tanaman buncis terdapat di New York (tahun 1836), kemudian meluas ke Wisconsin, Maryland, dan Florida. Tanaman ini mulai dibudidayakan secara komersil sejak Tahun 1968 dan menempati urutan ke tujuh diantara sayuran yang dipasarkan di Amerika pada tahun tersebut. Adapun “kapan” masuknya tanaman buncis ke Indonesia belum diperoleh informasi yang jelas, tetapi daerah penanaman buncis pertama kali adalah di daerah Kotabatu (Bogor), kemudian menyebar ke daerah-daerah sentra sayuran di Pulau Jawa. II. Area, produksi dan produktivitas Walaupun tanaman buncis bukan tanaman asli Indonesia, tetapi penyebarannya cukup meluas di wilayah Indonesia. Tabel 1 berikut ini menggambarkan perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas buncis di Indonesia selama periode tahun 1999 – 2003. Dilihat dari luas panen dari tahun 1999 sampai dengan Tahun 2001 terjadi penurunan, tetapi di tahun 2002 luas panen kembali meningkat, bahkan di tahun 2003 peningkatannya mencapai 22,38 %. Produksi nasional tertinggi terjadi di tahun 2000 yang mencapai 302 624 hektar. Hal tersebut

1

disebabkan oleh tingginya produktivitas di tahun tersebut. Namun demikian, setelah tahun 2000 produktivitas mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sehingga pada tahun 2003 hanya mencapai 7,59 ton per hektar. Hal tersebut mengindikasikan kurang optimalnya teknologi budidaya yang digunakan oleh petani buncis. Ada beberapa faktor penyebab belum baiknya teknologi yang digunakan oleh petani, diantaranya: 1) teknologi yang direkomendasikan tidak dapat memecahkan permasalahan petani, 2) proses transfer teknologi tidak berjalan dengan baik, atau 3) teknologi yang direkomendasikan belum tersedia (Lionberger dan Gwin, 1991). Adapun untuk budidaya buncis, kemungkinan disebabkan oleh belum tersedianya teknologi yang direkomendasikan. Hal tersebut berkaitan erat dengan skala prioritas program penelitian sayuran. Selama ini buncis tidak dimasukkan sebagai sayuran yang mendapat prioritas untuk diteliti, sehingga penelitian-penelitian untuk komoditas tersebut sangat terbatas (lihat sub bab hasil-hasil penelitian). Tabel 21 Tahun

Produksi buncis di Indonesia, 1999-2003 Luas panen (ha)

Produksi (t)

Produktivitas (t/ha)

Persentase perubahan (%) Luas panen

Produksi

Produkti-

1999

28 546

282 198

9,88

-

-

Vitas -

2000

28 257

302 624

10,71

- 1,01

+ 7,24

8,40

2001

25 651

227 862

8,88

- 9,22

- 24,70

- 17,08

2002

26 660

230 020

8,62

+ 3,78

+ 0,95

- 2,93

2003

32 626

247 782

7,59

22,38

+ 7,72

- 11,95

Sumber: Survei Pertanian, BPS (berbagai tahun)

Berkaitan erat dengan tingkat adaptabilitasnya, pertanaman buncis di Indonesia tersebar terutama di daerah dataran tinggi. Tabel 22 menunjukkan perkembangan areal tanam dan produksi di beberapa propinsi penting penghasil buncis, serta data agregatnya. Berdasarkan data tersebut Propinsi Jawa Barat merupakan sentra produksi terbesar di Indonesia dengan kontribusi sebesar 29,84 – 38,13% terhadap produksi nasional selama periode 1999–2003. Propinsi lainnya sebagai sentra produksi terbesar setelah Jawa Barat, tercatat Sumatera Utara, Jawa Timur, Bengkulu dan Jawa Tengah. Ditinjau dari produktivitasnya, hasil yang dicapai Jawa Barat jauh di atas propinsipropinsi lainnya. Sebagai contoh pada tahun 2003 produktivitas buncis di Jawa Barat mencapai 13,53 ton per hektar, sementara propinsi lainnya berkisar antara 2,1310,08 ton per hektar. Produktuvitas buncis di Jawa Barat tersebut masih di atas produktivitas rata-rata Indonesia yang hanya mencapai 7,59 ton per hektar. Hal tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa penggunaan teknologi di sentra produksi Jawa Barat sudah lebih baik dibandingkan dengan propinsi lainnya.

2

Tabel 22

Areal panen (ha), produksi (ton) dan produktivitas (ton/ha) buncis di beberapa propinsi penting penghasil buncis di Indonesia, 1998-2002. 1999

Propinsi

2000

2001

2002

2003

Sumatera Utara

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

3 808 85 200 22,37

4 440 92 464 20,83

4 885 53 184 10,89

3 414 46 533 13,63

5 875 57 816 9,84

Bengkulu

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

1 434 6 474 4,51

1 546 5 955 3,85

637 2 179 3,42

1 579 6 278 3,98

2 702 8 889 3,29

Jawa Barat

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

7 361 84 208 11,44

7 836 101 919 13,01

6 698 86 886 12,97

6 589 78 049 11,85

6 640 89 823 13,53

Jawa Tengah

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

4 726 29 823 6,31

4 008 28 698 7,16

3 254 22 118 6,80

3 611 27 149 7,52

3 946 17 494 4,43

Jawa Timur

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

2 657 15 421 5,80

2 465 17 246 7,00

2 311 20 633 8,93

1 819 12 330 6,78

1 950 11 951 6,13

Bali

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

914 14 530 15,90

802 14 907 18,59

911 13 050 14,32

734 7 652 10,43

803 8 092 10,08

Kalimantan Timur

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

917 5 236 5,71

772 4 295 5,56

667 3 333 5,00

737 3 842 5,21

489 4 590 9,39

Sulawesi Selatan

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

1 387 16 859 12,16

1 936 13 198 6,82

1 369 2 874 2,10

2 084 15 679 7,52

3 337 7 094 2,13

Total

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

23 204 257 761

23 805 278 682

20 732 204 257

20 567 197 512

25 742 205 749

Lainnya

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

5 342 24 437

4 452 23 942

4 919 25 763

6 093 32 508

6 884 42 033

Indonesia

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

28 546 282 198 9,89

28 257 302 624 10,71

25 651 227 862 8,88

26 660 230 020 8,63

32 626 247 782 7,59

Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura

Analisis data tahunan produksi dan areal tanam buncis mencakup periode waktu 1970-2003 menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata produksi buncis di Indonesia adalah sekitar 5,4%. Kontribusi produktivitas sebesar 4,6%, sedangkan

3

kontribusi pertumbuhan areal panen hanya sekitar 0,8%. Selanjutnya berdasarkan analisis data tahun 1970-2003 pertumbuhan produksi pada tanaman buncis tersebut terutama disebabkan oleh kontribusi peningkatan dari komponen produktivitas. Hal ini mengimplikasikan bahwa strategi dan kegiatan/usaha yang berhubungan dengan inovasi teknologi/penelitian dapat memacu pola pertumbuhan produksi berbasis peningkatan produktivitas, atau program penyuluhan mulai berjalan baik, terutama dikaitkan dengan proses alih teknologi di tingkat petani (Bisaliah, 1986).

III. Konsumsi dan jenis pemanfaatan Tanaman buncis merupakan sayuran polong yang memilki banyak kegunaan. Umumnya konsumen rumah tangga mengkonsumsi buncis dalam keadaan muda atau dikonsumsi bijinya (Cahyono, 2003). Polong buncis (jenis merambat) yang masih muda rasanya manis dan biasa diolah menjadi berbagai menu makanan sehari-hari. Sementara itu, polong buncis yang sudah tua bijinya keras dan kurang cocok untuk diolah sebagai menu makanan sehari-hari. Beberapa varietas dari tanaman buncis jenis tegak sering dikonsumsi bijinya, contohnya kacang merah, dan diolah menjadi berbagai jenis sayur atau sambal goreng. Di beberapa daerah kadang-kadang daun buncis dikonsumsi sebagai lalab atau diolah menjadi sayur. Tabel 23 berikut menyajikan kandungan gizi yang terkandung pada 100 gram kacang buncis yang dapat dimakan. Tabel 23

Kandungan dan komposisi gizi kacang buncis per 100 gram bahan. Komposisi gizi

Kandungan gizi

I 34,00 kal 2,00 gr 0,10 gr 6,80 gr 1,00 mgr 0,60 mgr 72,00 mgr 38,00 mgr 0,80 mgr 2,00 mgr 182,00 mgr 525 S.I 0,07 mgr 0,10 mgr 0,70 mgr 15,00 mgr -

Kalori Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Kalsium Fosfor Zat besi Natrium Kalium Vitamin A Vitamin B1 Vitamin B2 Niacin Vitamin C Air Sumber (dalam Rukmana, 1995) : I : Food and Nutrition Research Center (1964) Handbook No 1. Manila II : Direktorat Gizi Dep Kes R.I (1981).

II 35,00 kal 2,40 gr 0,20 gr 7,70 gr 65,00 mgr 48,00 mgr 1,00 mgr 630,00 S.I 0,08 mgr 19,00 mgr 88,90 gr

Selain dikonsumsi sebagai makanan, tanaman buncis juga memiliki berbagai khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kandungan gum dan pektin dapat

4

menurunkan kadar gula darah, kandungan lignin berkhasiat untuk mencegah kanker usus besar dan kanker payudara. Di samping itu polong buncis juga berkhasiat untuk menurunkan kolesterol darah, mencegah penyebaran sel kanker, menurunkan tekanan darah, mengontrol insilin dan gula darah, mengatur fungsi pencernaan, mencegah konstipasi, sebagai antibiotik, mencegah hemorrhoid dan masalah pencernaan lannya. Serat kasar dalam polong buncis sangat berguna untuk melancarkan pencernaan sehingga dapat mengeluarkan zat-zat racun dari tubuh. Kandungan glicemia yang rendah pada polong buncis dapat memperlambat kenaikan gula darah dan menjaga kadar glukosa agar tetap normal, karena kandungan gum dan pektin menyebabkan pembentukan reseptor insulin lebih banyak sehingga dapat menghambat pembentukan gula darah. Di sisi lain berkurangnya insulin dapat menahan lapar dan melalui suatu mekanisme tertentu dapat mengeluarkan sodium untuk menurunkan tekanan darah. Bagian buncis yang tidak dapat dicerna akan tertinggal di dalam usus dan akan diurai oleh bakteri. Pada saat proses penguraian tersebut terjadi pelepasan asam lemak rantai pendek yang menguap. Selanjutnya zat tersebut akan bereaksi sebagai obat untuk menurunkan produksi kolesterol dan mempercepat pembersihan darah dari LDL kolesterol yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Dengan demikian bagian buncis yang tidak dapat dicerna dapat berkhasiat menurunkan kolesterol darah. Suatu hasil penelitian menunjukkan, bahwa buncis dapat mencegah dan mengobati penyakit diabetis melitus. Di dalam buncis terkandung zat yang dinamakan Bsitosterol dan stigmasterol. Kedua zat ini mampu meningkatkan produksi insulin. Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan secara alamiah oleh tubuh kita dari organ tubuh yang dinamakan pankreas. Insulin berfungsi untuk menurunkan kadar gula dalam darah. Seseorang mengalami diabetis melitus bila pankreas hanya sedikit menghasilkan insulin atau tidak mampu memproduksi sama sekali. Ternyata dua zat tadi mampu merangsang pankreas untuk meningkatkan produksi insulinnya. Tanaman buncis selain memberikan manfaat yang cukup banyak bagi kesehatan, juga memiliki kelemahan yaitu dapat menimbulkan gas di dalam perut (perut kembung) karena kurang enzim untuk mencerna gula kompleks (alpha galactiside). Namun rasa tidak nyaman tersebut akan hilang dengan sendirinya setelah beberapa jam kemudian. Sedangkan bagi lingkungan tanaman buncis dapat menyuburkan tanah, karena akar-akarnya dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium sp. untuk mengikat nitrogen bebas (N2) dari udara, sehingga unsur nitrogen tersedia dalam tanah. Konsumsi buncis di Indonesia dapat dibedakan menjadi konsumsi di daerah perkotaan dan pedesaan. Tabel 24 memberikan informasi, bahwa konsumsi rata-rata buncis per kapita per tahun bagi penduduk perkotaan cenderung lebih tinggi dari penduduk pedesaan. Konsumsi buncis baik di daerah perkotaan maupun pedesaan mengalami kenaikan dan penurunan dari tahun ke tahun secara tidak konsisten, tetapi konsumsi terendah terjadi di tahun 1999 sedangkan konsumsi tertinggi terjadi pada tahun 1996.

5

Tabel 24

Konsumsi buncis perkotaan dan pedesaan Indonesia (kg/kapita/tahun)

Tahun

Perkotaan

Pedesaan

Indonesia

1993

1,04

0,99

0,99

1996

1,14

0,99

1,04

1999

0,78

0,68

0,68

2002

0,94

0,88

0,88

2004

1,04

0,83

0,94

IV. Pemasaran, perdagangan dan standardisasi Seperti halnya pada komoditas sayuran lainnya, kegiatan pemasaran buncis bertujuan untuk memindahkan produk dari tangan produsen ke tangan konsumen. Pada umumnya kegiatan produksi berlangsung di daerah pedesaan, sementara daerah konsumen terletak di perkotaan. Hal ini mengakibatkan kontribusi dari lembaga-lembaga pemasaran cukup besar. Hampir seluruh sektor pemasaran buncis ditangani oleh pihak swasta dan intervensi pemerintah relatif minimal, khusus terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar buncis seringkali dianggap beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan. Pasar dapat diartikan sebagai tempat terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Pengertian pasar di sini tidak selalu pasar tersebut berwujud bangunan fisik, tetapi cukup dicirikan dengan adanya kontak antara penjual dan pembeli. Jenis pasar buncis mengikuti pasar sayuran pada umumnya yang ada dapat dibedakan menjadi a) pasar pengumpul, b) pasar grosir/pasar besar, dan c) pasar eceran (Soetiarso, 1997). Pasar pengumpul buncis di beberapa sentra produksi seperti Pangalengan dan Lembang tidak mempunyai bangunan fisik sebagai tempat transaksi. Umumnya transaksi antara pedagang pengumpul dan petani dilakukan di kebun. Pasar besar/grosir biasanya terletak di berbagai daerah konsumsi di kota-kota besar, para pembeli di pasar grosir tersebut sebagian besar terdiri dari para pedagang pengecer. Pasar pengecer banyak terdapat di daerah konsumsi baik di kota besar maupun kota kecil. Dalam perkembangannya, pasar-pasar pengecer di kota-kota besar dapat dibedakan menjadi pasar eceran tradisional dan pasar eceran moderen (super market). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kelas sosial konsumen di pasar eceran secara nyata berbeda dengan konsumen di pasar eceran moderen (Ameriana, 1994). Sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi (memisahkan/ memilih buncis yang marketable dan non-marketable) dan grading (pada umumnya berdasarkan ukuran). Sortasi dilakukan untuk memisahkan antara polong buncis yang cacat dan polong buncis yang baik (utuh). Sortasi ini juga bertujuan untuk mencegah penularan serangan hama dan penyakit ke polong buncis yang sehat

6

selama dalam proses pengangkutan/penyimpanan, sedangkan grading bertujuan untuk menyeragamkan mutu/kualitas. Grading atau pengkelasan ternyata banyak memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun konsumen buncis, antara lain : 1) memudahkan konsumen untuk memperoleh kualitas buncis yang diinginkan, 2) memudahkan pemasaran menurut standar mutu, 3) memberikan keuntungan yang lebih baik bagi petani, dan 4) memberikan kepuasan dan peningkatan kepercayaan konsumen. Pada praktek pemasaran, buah buncis dikelompokkan ke dalam kelas-kelas mutu yaitu kelas mutu I, kelas mutu II dan kelas mutu III, dengan kriteria: 

Kelas mutu I, yaitu polong buncis yang berukuran besar atau panjang dan berukuran kecil atau pendek (baby buncis), utuh dan sehat (tidak terserang hama dan penyakit), warna buah masih agak muda, dam biji polong belum tampak menonjol.



Kelas mutu II, yaitu polong buncis berukuran kecil atau pendek (tetapi bukan baby buncis), utuh dan sehat (tidak terserang hama dan penyakit), warna buah masih agak muda, dan biji polong belum tampak menonjol.



Kelas mutu III, yaitu polong buncis yang berukuran besar ataupun kecil, tetapi terdapat cacat yang tidak parah.

Secara umum harga buncis untuk masing-masing kelas berbeda, semakin tinggi kelas grading harga akan semakin mahal. Namun demikian, generalisasi hubungan harga antar kelas, sukar untuk ditetapkan, karena terlalu banyaknya kemungkinan kombinasi perubahan penawaran dan permintaan berdasarkan pengkelasan ini. Terlepas dari hal tersebut, sebagian besar petani dan pedagang mengindikasikan bahwa perbedaan harga antar kelas secara proporsional meningkat/menurun sejalan dengan peningkatan/penurunan harga buncis. Untuk menggerakkan buncis dari sentra produksi ke daerah konsumen akan melibatkan berbagai lembaga pemasaran. Lembaga pemasaran tersebut dapat berupa badan hukum atau perorangan yang bertindak sebagai sebagai perantara. Pemasaran buncis dikatakan efisien jika semua pihak (petani, pedagang dan konsumen) memperoleh kepuasan baik secara finansial maupun non finansial. Biasanya pemasaran yang efisien tidak melibatkan terlalu banyak lembaga pemasaran, dan setiap lembaga pemasaran tidak mengambil keuntungan terlalu besar. Pemasaran yang tidak efisien, biasanya diindikasikan rendahnya keuntungan yang diperoleh petani, sementara konsumen harus membayar dengan harga yang tinggi. Secara skematis, lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kubis mulai dari tingkat petani sampai ke tangan konsumen dapat digambarkan pada Gambar 1.

7

Petani produsen I V Tengkulak

IV

Pedagang pengumpul Tingkat desa/kecamatan

II

III Pedagang besar (grosir)

Eksportir

VI Pedagang pengecer (pasar, supermarket)

Konsumen lembaga (rumah makan, katering)

Gambar 1

Importir di luar negeri

Konsumen Rumah tangga

Bagan kemungkinan pemasaran buncis.

Bagan di atas memperlihatkan beberapa kemungkinan dari rantai pemasaran yang dapat ditempuh yaitu : I.

Rantai I, untuk sampai ke tangan konsumen baik konsumen lembaga maupun konsumen rumah tangga, buncis dari tangan petani harus melalui empat lembaga pemasaran (tengkulak, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pengecer). Di lihat dari jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, kemungkinan besar rantai tersebut tidak efisien.

II. Rantai II, petani menjual hasil panennya langsung ke eksportir. Walaupun rantai ini terlihatnya sangat efisien, tetapi sangat sulit untuk ditempuh. Kualitas yang

8

dituntut untuk ekspor sangat tinggi, sehingga petani pun dituntut untuk mempunyai pengetahuan yang baik mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan ekspor. III. Rantai III, petani menjualnya ke pedagang pengecer. Selanjutnya pedagang pengecer mendistribusikannya ke konsumen lembaga atau konsumen rumah tangga. Rantai ini tampaknya sangat efisien karena hanya melibatkan satu lembaga pemasaran. IV. Rantai IV, sebelum sampai ke tangan konsumen, petani produsen menjual hasil panen buncisnya melalui pedagang besar dan pedagang pengecer. Rantai pemasaran ini dinilai cukup efisien. V.

Rantai V, petani menjual hasil panennya melalui pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer.

VI. Rantai VI, petani menjual hasil panennya ke tengkulak, selanjutnya tngkulak langsung menjualnya ke konsumen lembaga. Dalam hal ini tengkulak bertindak sebagai supplier yang memasok bahan-bahan yang dibutuhkan konsumen lembaga, termasuk buncis. Biasanya para supplier tersebut sudah mempunyai langganan konsumen lembaga yang tetap.

Dari ke enam rantai pemasaran tersebut, yang paling sering dipilih oleh petani sayuran, trmasuk petani buncis, adalah rantai pemasaran I dan V. Walaupun kedua rantai pemasaran tersebut kurang efisien, tetapi petani memperoleh berbagai kemudahan dalam memasarkan hasil panennya. Beberapa alasan yang dikemukakan petani antara lain: waktu penjualan yang relatif cepat, keringanan biaya panen dan kemudahan memperoleh pinjaman modal.

Selanjutnya Tabel 25 memperlihatkan data ekspor kacang-kacangan ke Indonesia. Di dalam data tersebut komoditas buncis dimasukkan dalam kelompok kacangkacangan di mana dalam kelompok tersebut, termasuk diantaranya kacang merah (kacang jogo). Dari catatan data ekspor tahun 1999 – 2003, Indonesia telah mengekspor komoditas kacang-kacangan (termasuk buncis) ke berbagai negara, dengan kuantitas yang bervariasi dari tahun ke tahun. Namun dalam kurun waktu tersebut ekspor tertinggi dicapai pada tahun 2002, yaitu sebesar 1 372,74 ton. Ekspor tersebut terdiri dari kacang-kacangan dalam keadaan segar, beku dan kering. Selama periode tahun 1999 – 2003, ekspor kacang-kacangan kering paling banyak diekspor, sementara kacang-kacangan beku hanya diekspor pada tahun 1999 dan tahun 2000. Adapun negara-negara yang secara tetap mengimpor kacang-kacangan dari Indonesia adalah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Saudi Arabia. Sementara itu, negara-negara yang juga mengimpor kacang-kacangan/buncis Indonesia secara insidental diantaranya adalah Taiwan, Perancis, Philipina dan Timor Timur.

9

Tabel 25

Ekspor Kacang-kacangan dan buncis Indonesia, 1999-2003

Tahun

Kuantitas (ton) Total

1999 2000 2001 2002 2003

62,81 11,76 42,37 1 372,74 203,08

Tahun

Nilai (juta US$) Total

1999 2000 2001 2002 2003

Tahun 1999 2000 2001 2002 2003

77 516 38 744 342 071 68 503 Harga (US$/t) Total

652,71 914,42 249,18 337,32

Kacang-kacangan Segar 1,8 2,1 10,31 3,06 122,99

Kacang-kacangan Beku 27,27 88,00 -

Kacang-kacangan Kering 33,74 28,66 32,06 1 369,68 80,09

Kacang-kacangan Segar 11 068 3 421 10 622 1 407 61 220

Kacang-kacangan Beku 2 555 30 360 -

Kacang-kacangan Kering 43 735 28 122 340 664 7 283

Kacang-kacangan Segar 6 148,88 1 629,05 1 030,26 459,80 497,76

Kacangt-kacangan Beku 93,69 345,00 -

Kacang-kacangan Kering 1 525,99 877,17 248,72 90,93

Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk: Kode SITC 05457200 untuk kacang-kacangan dalam bentuk segar 05469220 untuk kacang-kacangan dalam bentuk beku 05423100 untuk kacang-kacangan dalam bentuk kering

Berdasarkan data impor yang tercantum pada Tabel 26, ternyata kuantitas kacangkacangan yang diimpor oleh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor. Selama periode tahun 1999 – 2003 impor kacang-kacangan segar dan beku cenderung menurun dari tahun ke tahun, sedangkan kacang-kacangan kering memperlihatkan kenaikan yang cukup tinggi. Di lihat dari volume total kacangkacangan yang diimpor, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2000 tetapi pada tahun-tahun berikutnya volume impor terus meningkat bahkan pada tahun 2003 volume impor mencapai 8 kali lipat dibandingkan tahun 2000. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebutuhan kacang-kacangan di dalam negeri terus meningkat dan tidak dapat dicukupi oleh produksi kacang-kacangan dalam negeri. Adapun negara-negara yang mengekspor kacang-kacangan ke Indonesia diantaranya China, Myanmar, Perancis, India, Perancis, Australia, Hongkong dan Jepang. China dan Australia tercatat sebagai negara-negara pengekspor kacangkacangan terbesar ke Indonesia.

10

Tabel 26

Tahun 1999 2000 2001 2002 2003

Impor Kacang-kacangan Indonesia, 1999-2003

Kuantitas (ton) Total 1 799,29 726,78 868,96 3 814,83 6 569,64

Kacang-kacangan Segar 1 636,02 307,52 388,47 72,89 46,93

Kacang-kacangan Beku 367,64 61,14 9,97 2,77

Kacang-kacangan Kering 163,27 51,64 419,35 3 731,97 6 519,94

Kacang-kacangan Beku 131 032 31 926 13 192 5 511

Kacang-kacangan Kering 104 579 86 060 199 899 1 241 802 1 638 996

Beku

Kering

Tahun

Nilai (juta US$) Total

1999 2000 2001 2002 2003

444 875 308 874 317 546 1 281 084 1 663 659

Kacang-kacangan Segar 340 296 91 782 85 721 26 090 19 152

Tahun

Harga (US$/t) Total

Segar

1999 2000 2001 2002 2003

247,25 424,99 365,43 335,82 253,23

208,00 298,46 220,66 357,94 408,09

356,43 522,18 1 323,17 1 989,53

640,53 1 666,54 476,68 332,74 251,38

Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk: Kode SITC 05457200 untuk kacang-kacangan dalam bentuk segar 05469220 untuk kacang-kacangan dalam bentuk beku 05423100 untuk kacang-kacangan dalam bentuk kering

Salah satu kebijaksanaan operasional pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian adalah pembinaan mutu dan standardisasi pertanian. Keberhasilan pengembangan pembinaan mutu dan standardisasi pertanian diharapkan akan mampu untuk menunjang peningkatan daya saing serta keberhasilan menembus pasar. Program pemerintah dalam pembinaan mutu hasil pertanian melalui program standardisasi dan akreditasi sejalan dengan tuntutan konsumen baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk dapat bersaing di pasar yang bebas dan kompetitif saat ini, komoditas pertanian yang dipasarkan harus benar-benar dapat menarik minat pembeli. Hal ini perlu ditanamkan terhadap pelaku agribisnis bahwa di dalam produk yang akan dipasarkan haruslah terdapat unsur jaminan kepastian mutu. Kepastian mutu ini hanya dapat diperoleh melalui penerapan standar. Pada awalnya standar ini hanya merupakan suatu tuntutan pasar, namun dalam perkembangannya, ternyata standar memberikan banyak sekali nilai tambah bagi petani yang menerapkannya, sehingga mulai dirasakan sebagai kebutuhan bagi petani.

11

Dari aspek pertumbuhan dan pengembangan kegiatan/usaha agribisnis, penerapan SNI dapat memberikan manfaat: (a) mewujudkan tercapainya persaingan yang sehat dalam perdagangan, (b) menunjang pelestarian lingkungan hidup, (c) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui sistematika dan pendekatan yang terorganisir pada pemastian mutu, (d) meningkatkan citra dan daya saing petani/pelaku agribisnis, (e) meningkatkan efisiensi di dalam berproduksi, dan (f) mengantisipasi tuntutan konsumen atas mutu produk dan tingkat persaingan usaha yang telah mengalami perubahan sehingga pelaku agribisnis dapat menanggapinya melalui pendekatan mutu, pengendalian mutu, pemastian mutu, manajemen mutu dan manajemen mutu terpadu. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor : 12 tahun 1991, standar yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia adalah Standar Nasional Indonesia, yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April 1994. Sebagai tindak lanjut penetapan Standar Nasional Indonesia, melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 303/Kpts/OT.210/4/1994 tanggal 27 April 1994, Standar Nasional Indonesia sektor pertanian adalah standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Standardisasi Nasional (yang sekarang menjadi Badan Standardisasi Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 13 tahun 1997) dan berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia. Badan Standardisasi Nasional telah membuat standar mutu untuk tujuh komoditas sayuran yaitu bawang putih, bawang merah, tomat segar, petsai segar, kentang segar, kubis dan wortel segar. Dalam hal ini buncis belum termasuk komoditas yang telah memiliki nomor SNI. Adapun pengkelasan yang terdapat selama proses pemasaran, sifatnya tidak baku dan dapat berubah menurut tempat dan waktu. Hal ini merupakan salah satu kelemahan terutama jika dikaitkan dengan perdagangan internasional. Disamping lebih sulit untuk memenuhi standar kualitas ekspor, belum adanya SNI tersebut dapat mengakibatkan Indonesia berpeluang sebagai tempat pembuangan komoditas buncis yang berkualitas di bawah standar yang berasal dari negara-negara lain.

V. Perkembangan harga dan indeks harga musiman Harga berfungsi sebagai pengendali arah aktivitas ekonomi sayuran dan berperan sebagai rationing mechanism untuk suatu produk yang diproduksi pada suatu periode waktu serta menjadi barometer yang mengukur dimensi perilaku bekerjanya pasar sayuran. Berbagai faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan akan selalu berubah, sehingga jalur waktu harga sayuran akan selalu menunjukkan variasi. Pada kondisi persaingan, fluktuasi harga dapat disebabkan oleh pergeseran penawaran dan permintaan. Salah satu kunci sukses pemasaran sayuran adalah pemahaman utuh menyangkut pergerakan harga musiman suatu komoditas. Perkiraan pola harga musiman dari suatu komoditas dapat diduga dengan menghilangkan pengaruh trend dan menghitung harga rata-rata bulanan. Perkiraan pola harga musiman dapat terlihat dengan mengekspresikan rata-rata harga setiap bulan sebagai persentase dari rata-rata total harga dalam periode waktu tertentu. Tabel 27 menunjukkan pola harga musiman buncis di sentra produksi Ciwidey dan

12

Lembang selama periode tahun 2002. Untuk harga buncis di sentra produksi Ciwidey, pada tahun 2002 harga buncis terendah terjadi pada bulan April yaitu 33 % dibawah harga rata-rata bulanan, sedangkan harga tertinggi terjadi pada bulan Januari, di mana harga berada 78 % di atas harga rata-rata bulanan. Untuk sentra produksi Lembang harga terendah terjadi pada bulan April (40 % di bawah harga rata-rata bulanan) dan harga tertinggi tertinggi pada bulan Pebruari (47 % di atas harga rata-rata bulanan). Tabel 27

Pola musiman harga buncis tahun 2002 di tingkat sentra produksi Ciwidey dan Lembang . Bulan J

P

M

A

M

J

J

A

S

O

N

D

Lokasi Rata-rata harga bulanan (Rp/kg)

Ciwidey

1988

1576

Lembang

579

1752

1470

1108

370

660

828

1353

1203

1185

1406

1295

1305

476

707

1062

1502

1141

1354

1674

1526

1383

Rata-rata bulanan sebagai % dari rata-rata total

Ciwidey

1,78

Lembang

0,49

1,42

1,47

a

1,32

0,33

0,59

0,74

1,22

1,08

1,06

1,26

1,16

1,17

0,93

0,40

0,59

0,89

1,26

0,96

1,14

1,41

1,28

1,16

a

Dihitung dengan membagi setiap harga rata-rata bulanan dengan harga rata-rata bulanan total selama periode tahun 2002 (Rp. 1188,96 untuk sentra produksi Lembang dan Rp. 1 111,42 untuk sentra produksi Ciwidey)

VI. Karakteristik tanaman, syarat tumbuh, dan sistem pengelolaan (budidaya)

Karakteristik Tanaman Buncis termasuk jenis sayuran polong yang berumur pendek yang berbentuk semak atau perdu. Tinggi tanaman buncis tipe tegak berkisar antara 30 – 50 cm tergantung dari varietasnya, sedangkan tipe merambat dapat mencapai 2 meter. Secara morfologi bagian-bagian penting dari buncis adalah sebagai berikut: Akar. Tanaman buncis berakar tunggang dan berakar serabut. Akar tunggang tumbuh lurus ke dalam hingga 11- 15 cm, sedangkan akar serabut tumbuh horizontal.

13

Perakaran tanaman buncis dapat tumbuh dengan baik bila tanahnya gembur, mudah menyerap air (porous), dan subur serta tidak tahan terhadap genangan air. Batang Batang tanaman buncis berbengkok-bengkok, berbentuk bulat, berbulu atau merambat halus, berbuku-buku , lunak tetapi cukup kuat, dengan diameter batang hanya beberapa millimeter. Batang tanaman berwarna hijau atau ungu tergantung varietasnya, dengan membentuk cabang yang banyak dan menyebar sehingga tanaman tampak rimbun. Daun Daun berbentuk bulat lonjong, ujung daun meruncing, tepi daun rata, berbulu halus dan memiliki tulang-tulang menyirip. Ukuran daun bervariasi tergantung dari varietasnya. Daun yang berukuran kecil mempunyai lebar 6 – 7,5 cm dan panjang 7,5 – 9 cm, sedangkan yang berukuran kecil mempunayi lebar 10 – 11 cm dan panjang 11 – 13 cm. Bunga Bunga tanaman buncis merupakan malai (panicle). Tunas-tunas utama bercabangcabang dan pada setiap cabang tumbuh tunas bunga. Selain itu bunga tanaman buncis tergolong bunga sempurna (hermaphrodit), persarian bunganya terjadi dengan bantuan serangga atau angina. Polong Polong buncis memiliki bentuk, ukuran dan warna yang bervariasi tergantung dari varietasnya. Polong buncis memiliki struktur halus, tekstur renyah, ada yang berserat dan ada yang tidak. Adapun jumlah biji dalam polong bervariasi antara 5 – 14 buah.

Syarat Tumbuh Iklim a) Tanah yang cocok bagi tanaman buncis ternyata banyak terdapat di daerah yang mempunyai iklim basah sampai kering dengan ketinggian yang bervariasi. b) Pada umumnya tanaman buncis tidak membutuhkan curah hujan yang khusus, hanya ditanam di daerah dengan curah hujan 1.500-2.500 mm/tahun. c) Umumnya tanaman buncis memerlukan cahaya matahari yang banyak atau sekitar 400-800 feetcandles. Dengan diperlukan cahaya dalam jumlah banyak, berarti tanaman buncis tidak memerlukan naungan. d) Suhu udara ideal bagi pertumbuhan buncis adalah 20-25 derajat C. Pada suhu < 20 derajat C, proses fotosintesis terganggu, sehingga pertumbuhan terhambat, jumlah polong menjadi sedikit. Pada suhu ≥ 25 derajat C banyak polong hampa (sebab proses pernafasan lebih besar dari pada proses fotosintesis), sehingga energi yang dihasilkan lebih banyak untuk pernapasan dari pada untuk pengisian polong.

14

e) Kelembaban udara yang diperlukan tanaman buncis ± 55% (sedang). Perkiraan dari kondisi tersebut dapat dilihat bila pertanaman sangat rimbun, dapat dipastikan kelembapannya cukup tinggi.

Media tanam a) Jenis tanah yang cocok untuk tanaman buncis adalah andosol dan regosol karena mempunyai drainase yang baik. Tanah andosol hanya terdapat di daerah pegunungan yang mempunyai iklim sedang dengan curah hujan diatas 2500 mm/tahun, berwarna hitam, bahan organiknya tinggi, berstektur lempung hingga debu, remah, gembur dan permeabilitasnya sedang. Tanah regosol berwarna kelabu, coklat dan kuning, berstektur pasir sampai berbutir tunggal dan permeabel. b) Sifat-sifat tanah yang baik untuk buncis: gembur, remah, subur dan keasaman (pH) 5,5-6. Sedangkan yang ditanam pada tanah pH < 5,5 akan terganggu pertumbuhannya (pada pH rendah terjadi gangguan penyerapan unsur hara). Beberapa unsur hara yang dapat menjadi racun bagi tanaman antara lain: aluminium, besi dan mangan.

Ketinggian tempat Tanaman buncis tumbuh baik di dataran tinggi, pada ketinggian 1000-1500 m dpl. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan untuk ditanam pada daerah dengan ketinggian antara 300-600 meter. Dewasa ini banyak dilakukan penelitian mengenai penanaman buncis tegak di dataran rendah ketinggian: 200-300 m dpl., dan ternyata hasilnya memuaskan. Beberapa varietas buncis tipe tegak seperti Monel, Richgreen, Spurt, FLO, Strike dan Farmers Early dapat ditanam di dataran rendah pada ketinggian antara 200-300 m dpl.

Sistem Pengelolaan (Budidaya) Pembibitan a) Persyaratan benih Apabila akan mengusahakan suatu usaha pertanaman, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah pemilihan benih. Benih yang digunakan harus benar-benar benih yang baik. Benih yang baik berasal dari pohon induk yang baik. Benih yang baik harus mempunyai persyaratan tertentu yakni: mempunyai daya tumbuh minimal 8085%, bentuknya utuh, bernas, warna mengkilat, tidak bernoda coklat terutama pada mata bijinya, bebas dari hama dan penyakit, seragam, tidak tercampur dengan varietas lain, serta bersih dari kotoran. Benih yang baik mempunyai daya tumbuh yang tinggi, dapat disimpan lama, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, tumbuhnya cepat dan merata, serta mampu menghasilkan tanaman dewasa yang normal dan berproduksi tinggi.

15

b) Penyiapan Benih Memilih benih yang baik agak sulit. Karena itu disarankan untuk membeli benih yang bersertifikat. Benih ini telah diuji coba oleh balai pengujian benih, sehingga dijamin kualitasnya. Benih bersertifikat telah banyak dijual ditoko-toko sarana pertanian. Benih buncis yang dibutuhkan dalam jumlah tertentu, tetapi kadang-kadang benih yang dibeli jumlahnya melebihi yang dibutuhkan. Sehingga, masalahnya sekarang adalah bagaimana menyimpan kelebihan benih itu. Cara menympannya dengan memberi suhu 18-20 derajat C dengan kelembaban relatif 50-60 %. Kandungan air benih juga sangat menentukan terhadap keawetan simpan benih. Kandungan yang baik untuk menyimpan benih sekitar 14%. Bila persyaratan diatas terpenuhi maka daya simpan benih buncis dapat mencapai 3 tahun.

Pengolahan media tanam a) Pembukaan Lahan Pengolahan lahan adalah semua pekerjaan yang ditujukan pada tanah untuk menciptakan media tanam yang ideal, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Pembersihan rumput-rumputan, penggemburan tanah, dan pembuatan paritparit drainase adalah termasuk pengolahan tanah. Pembersihan rumput-rumputan (gulma)bermaksud agar tidak terjadi persaingan makanan dengan tanaman pokoknya. Cara membersihkannya dapat secara manual, yaitu dengan jalan mencabut gulma dengan tangan, cangkul, cetok atau traktor (bila lahannya luas). Pemberantasan dengan bahan kimia juga dapat dilakukan, yaitu dengan menyemprotkan herbisida. Penyemprotannya dapat dilakukan setelah gulma tumbuh ataupun sebelum tumbuh. Gulma jenis Cynodon dactylon disemprot dengan herbisida Actril DS, dengan dosis 1,5-2 liter dalam 400 liter air/ha, pada tinggi tanaman 10-15 cm. Untuk gulma Boreria alata, dapat diberantas dengan herbisida Fernimine 720 AS. Dosis yang digunakan 1-1,5 liter yang dilarutkan dalam 500 liter air. Jenis rumput Eluisine indica lebih baik menggunakan Fusilade 25 EC dengan doiss 1-2 liter dengan campuran air sebanyak 400-600 liter. Herbisida lain yang dapat dipakai adalah Goal 2E, Lasso 480 EC, Paracol, Roundup, Satunil 400/200 EC, Saturin 500/50 EC dengan dosis seperti yang tercantum dalam labelnya. Setelah bersih dari gulma pekerjaan selanjutnya adalah membajak tanah. Tanah dibajak dan dicangkul 1-2 kali sedalam 20-30 cm. Untuk tanah-tanah berat pencangkulan dilakukan dua kali dengan jangka waktu 2-3 minggu, untuk tanahtanah ringan pencangkulan cukup dilakukan sekali saja. b) Pembuatan Bedengan Selanjutnya untuk memudahkan pekerjaan pemeliharaan dibuat bedenganbedengan dengan ukuran panjang 5 meter, lebar 1 meter dan tinggi 20 cm. Jarak antar bedengan 40-50 cm, selain sebagai jalan juga untuk saluran pembuangan air

16

(drainase). Untuk areal yang tidak begitu luas, mislnya tanah pekarangan, tidak dibuat bedengan tetapi menggunakan guludan tanah selebar 20 cm, panjang 5 meter, tinggi 10–15 cm dan jarak antar guludan 70 cm. c) Pengapuran Umumnya tanah di Indonesia bersifat asam (pH <7). Untuk menaikkan pH tersebut diperlukan pengapuran, menggunakan batu kapur kalsit, gips, kadolomite, atau batu kapur talk. Dosis untuk menaikan pH sebesar 0,1 sebesar 480 kg/ha. Pemberian kapur sebaiknya dilakukan 2-3 minggu sebelum penanaman, dengan cara sebagai berikut: a) Tanah digemburkan dengan mencakulnya. b) Kapur disebar merata. c) Tanah dicangkul kembali agar kapur dapat bercampur dengan tanah secara merata. d) Pemupukan Untuk meningkatkan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pemberian pupuk kandang atau kompos sebanyak 15-20 kg/10 m2 atau kira-kira 3 kaleng penuh bekas minyak tanah. Pemberian pupuk kandang dimaksudkan untuk memperbaiki struktur tanah agar lebih gembur, airasi dan drainase lebih baik. Pupuk anorganik yang berfungsi sebagai pupuk dasar adalah Urea, TSP dan Kcl. Masing-masing sebanyak 200 kg, 600 kg, dan 120 kg untuk tiap hektar. Cara menempatkan pupuk kandang maupun pupuk anorganik ialah dengan menaburkan disepanjang larikan. Saat pemberian pupuk dasar, dapat juga dilakukan pemberian mematisida. Mematisida ini merupakan pestisida untuk nematoda. Nematoda Meloidogyne sp. Yang sering menyerang buncis dapat diberantas dengan nematisida Curater 3 G atau Furadan 3 G. Dosis yang digunakan sebanyak 17 kg/ha. Teknik penanaman Air yang dibutuhkan buncis hanya secukupnya, sehingga saat menanam yang paling baik yaitu saat peralihan. Hal ini sangat cocok untuk fase pertumbuhan buncis, dan fase pengisian serta pemasakkan polong. Pada fase ini di khawatirkan akan terjadi serangan penyakit bercak bila curah hujannya terlalu tinggi. Untuk mengatasi curah hujan yang terlalu tinggi dapat dibuat saluran-saluran drainase, ini kalau penanamannya dilakukan pada musim hujan. Sebaliknya, pada musim kemarau perlu dilakukan penyiraman sesering mungkin terutama pada saat awal perkecambahan. a) Penentuan Pola Tanam Tanaman buncis ditanam dengan pola pagar atau barisan karena penanamannya dilakukan pada bedengan atau guludan. Pada pola ini, jarak antar tanaman lebih sempit daripada jarak antar barisan tanamannya. Dengan pola tanam barisan akan

17

mempermudah pekerjaan selanjutnya, pemupukan, pembumbunan dan panen.

seperti

pemeliharaan,

pengairan,

Jarak tanaman yang digunakan adalah 20 x 50 cm, baik untuk tanah datar atau tanah miring. Dan bila kesuburan tanahnya tinggi, maka sebaiknya menggunakan jarak tanam yang lebih sempit lagi, yaitu 20 x 40 cm. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tumbuhnya gulma, karena gulma akan lebih cepat tumbuh pada tanah yang subur. Penentuan jarak tanam ini harus benar-benar diperhatikan karena berhubungan dengan tersedianya air, hara dan cahaya matahari. b) Pembuatan Lubang Tanam Setelah menentukan jarak tanam, kemudian membuat lubang tanam dengan cara ditugal. Agar lubang tanam itu lurus, sebelumnya dapat diberi tanda dengan ajir, bambu, penggaris atau tali. Tempat yang diberi tanda tersebut juga ditugal. Kedalaman tugal 4-6 cm untuk tanah-tanah yang remah dan gembur, sedangkan untuk tanah liat dapat digunakan ukuran 2-4 cm. Hal ini disebabkan pada tanah liat kandungan airnya cukup banyak, sehingga dikhawatirkan benih akan busuk sebelum mampu berkecambah. c) Cara Penanaman Tanaman buncis tidak memerlukan persemaian karena termasuk tanaman yang sukar dipindahkan, sehingga benih buncis dapat langsung ditanam di lahan/kebun. Tiap lubang tanam dapat diisi 2-3 butir benih. Setelah itu lubang tanam ditutup dengan tanah. Pemeliharaan tanaman a) Penyulaman berikutnya Biji buncis dapat tumbuh setelah lima hari sejak tanam, benih yang tidak tumbuh harus segera diganti (disulam) dengan benih yang baru. Penyulaman sebaiknya dilakukan dibawah umur 10 hari setelah tanam, agar pertumbuhan bibitbibit tidak berbeda jauh dan memudahkan pemeliharaan. b) Pengguludan Peninggian guludan atau bedengan dilakukan pada saat tanaman berumur lebih 20 dan 40 hari. Lebih baik dilakukan pada saat musim hujan. Tujuan dari peninggian guludan adalah untuk memperbanyak akar, menguatkan tumbuhnya tanaman dan memelihara struktur tanah. c) Pemangkasan Untuk memperbanyak ranting-ranting agar diperoleh buah yang banyak, tanaman buncis perlu dipangkas. Pemangkasan sebatas pembentukan sulurnya. Pelaksanaan pemangkasan dilakukan bila tanaman telah berumur 2 dan 5 minggu. Pemang-kasan

18

juga dimaksudkan untuk mengurangi kelembapan di dalam tanaman sehingga dapat menghambat perkembangan hama penyakit. Pucuk-pucuk tanaman hasil pangkasan dapat digunakan sebagai sayuran. d) Pemupukan Tindakan pemupukan pada tanaman buncis perlu dilakukan dengan alasan hara tanaman yang disediakan oleh tanaman dalam jumlah yang terbatas. Sewaktuwaktu zat hara akan berkurang karena tercuci kadalm lapisan tanah, terbawa erosi bersama larutan tanah, hilang melalui proses evaporasi (penguapan), dan diserap oleh tanaman. Apabila keadaan tersebut dibiarkan terus menerus tanpa adanya perbaikan, maka makin lama persediaan hara dalam tanah makin berkurang sehingga tanaman tumbuhnya merana. Untuk mencukupi kebutuhan hara tersebut, perlu tambahan dari luar melalui pemupukan. Diharapkan dengan pemupukan akan mengembalikan dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah, sehingga tanaman akan tumbuh subur dan produksinya akan melimpah. Pemupukan ini dapat dilakukan pada umur 14-21 hari setelah tanam. Pupuk yang diberikan hanyalah Urea sebanyak 200 kg/ha, caranya cukup ditunggal kurang lebih 10 cm dari tanaman. Setelah itu ditutup kembali dengan tunggal atau diinjak dengan kaki. e) Pengairan Air yang diberikan alam sangat bervariasi dan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Untuk itu, diperlukan pengaturan pengairan. Biasanya pengairan dilakukan bila penanamannya dilakukan pada musim kemarau, yaitu pada umur 1–15 hari. Pelaksanaannya dilakukan 2 kali sehari, setiap pagi dan sore. Bila penanamannya dilakukan pada musim hujan, yang perlu diperhatikan adalah masalah pembuangan airnya. Kelebihan air dapat disalurkan melalui parit-parit yang telah dibuat di antara bedengan atau guludan. f) Pemeliharaan Lain Untuk tanaman buncis tipe merambat perlu diberi turus atau lanjaran, supaya pertumbuhannya dapat lebih baik. Biasanya turus atau lanjaran ini dibuat dari bambu dengan ukuran panjang 2 m dan lebar 4 cm. Turus tersebut ditancap didekat tanaman. Setiap dua batang turus yang berhadapan diikat menjadi satu pada bagian ujungnya, sehingga akan tampak lebih kokoh. Pelaksanaan pemasangan turus dapat dilakukan bersamaan dengan peninggian guludan yang pertama, yaitu pada tanaman berumur 20 hari.

19

Hama dan Penyakit a) Hama 1) Kumbang daun Penyebab: kumbang Henose-pilachna signatipennis atau Epilachna signatipennis, sering disebut kumbang daun epilachna yang termasuk famili Curculionadae. Bentuk tubuhnya oval, warna merah atau coklat kekuningan, panjang antara 6-8 mm. Pengendalian: (1) bila sudah terlihat adanya telur, larva, maupun kumbangnya, maka dapat langsung dibunuh dengan tangan; (2) dengan insektisida Lannate L dan Lannate 25 WP, dengan konsentrasi 1,5-3 cc/liter air atau 300-600 liter setiap hektar; (3) rotasi tanaman dengan tanaman yang bukan inang. 2) Penggerek daun Penyebab: ulat Etiella zinckenella yang termasuk dalam famili Pyralidae. Penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis. Gejala: polong yang masih muda mengalami kerusakan, bijinya banyak yang keropos. Kerusakkan ini tidak sampai mematikan tanaman buncis. Pengendalian: penyemprotan dengan insektisida Atabron 50EC dengan konsentrasi 12-15 cc/10 liter air. Setiap satu hektar diperlukan 500 liter larutan semprot. Waktu penyemprotan dilakukan segera setelah diketahui adanya serangan dan dapat diulangi beberapa kali menurut keperluan. Selain Atrabon dapat pula dipilih insektisida lain, seperti Agrothion 50 EC, Basbiman 200 EC dan Bayrusil 250 EC dengan konsentrasi seperti yang tercantum pada labelnya. 3) Lalat kacang Penyebab: lalat Agromyza phaseoli yang termasuk dalam famili Agromyzidae. Lalat betina dan jantan mempunyai ukuran yang berbeda. Lalat betina mempunyai panjang tubuh kurang lebih 2,2 mm, sedang yang jantan hanya 1,9 mm. Gejala: daun berlubang-lubang dengan arah tertentu, yaitu dari tepi daun menuju tangkai atau tulang daun. Gejala lebih lanjut berupa pangkal batang yang membengkok atau pecah. Kemudian tanaman menjadi layu, berubah kuning, dan akhirnya mati dalam umur yang masih muda. Apabila tidak mengalami kematian, maka tumbuhnya kerdil, sehingga produksinya sedikit. Pengendalian: hendaknya dilakukan sedini mungkin, yaitu pada saat pengolahan tanah. Setelah biji-biji buncis ditanam sebaiknya lahan langsung diberi penutup dari jerami daun pisang. Penanaman dilakukan secara serentak. Bila tanaman sudah terserang secara berat, maka segeralah dicabut dan dibakar atau dipendam dalam tanah. Namun, apabila serangan masih kecil, disarankan agar menggunakan insektisida. Penyemprotan yang lebih baik dilakukan pada saat buncis baru mulai tumbuh, yaitu saat mulai kelihatan kepingnya. Insektisida yang digunakan seperti Basminon 60 EC dengan konsentrasi formulasi 1,5-2 cc/liter air dan Azordin 60 dengan konsentrasi 2-3 cc/liter air atau kira-kira 400-600 larutan setiap hektarnya. Penyemprotan dilakukan sebanyak 2-3 kali sampai umur 20 hari, tergantung berat ringan serangan.

20

4) Kutu daun Penyebab: Aphis gossypii, yang termasuk dalam famili Aphididae. Sifatnya polibag dan kosmopolitan yaitu dapat memakan segala tanaman dan tersebar di seluruh dunia. Tanaman inangnya bermacam-macam, antara lain kapas, semangka, kentang, cabai, terung, bunga sepatu dan jeruk. Warna kutu ini hijau tua sampai hitam atau kuning coklat. Gejala: pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan batang memutar (memilin), daun menjadi keriting dan berwarna kuning. Pengendalian: (1) secara alami, yaitu dengan cara memasukkan musuh alaminya, antara lain lembing, lalat dan jenis Coccinellidae; (2) menggunakan insektisida Orthene 75 SP dengan konsentrasi 0,5-0,8 gram/liter air. Bila setelah disemprotkan masih terdapat hamanya, maka penyemprotannya dapat diulang setiap 7-14 hari sekali. Selain Orthene dapat juga digunakan Sevidan 70 WP atau Supracide 40 EC. 5) Ulat jengkal semu Penyebab: ulat jengkal semu. Ada dua dua spesies yang terdapat diperkebunan buncis, yaitu Plusia signata (Phytometra signata) dan P. chalcites. Keduanya termasuk kedalam famili Plusiidae. Panjang ulat P. chalcites kurang lebih 2 cm berwarna hijau dengan garis samping berwarna lebih muda. Gejala: (1) daun-daun berlubang; (2) tanaman menjadi kerdil. Pengendalian: (1) secara mekanik, yaitu dibunuh satu persatu, namun tidak efektif; (2) sanitasi, yaitu dengan membersihkan gulma-gulma yang dapat dijadikan sebagai tempat persembunyian hama tersebut; (3) dengan insektisida Hostathion 40 EC sangat efektif karena mempunyai cara kerja ganda, yaitu sebagai racun kontak dan racun lambung. Insektisida ini mempunyai daya basmi 2-3 minggu, Konsentrasi formulasi yang digunakan 1-1,5 cc/liter air dan volume larutan semprot kira-kira 400-600 liter/ha. Dapat juga menggunakan Lannate 25 WP dan Lebaycid 550 EC. Penyemprotan dilakukan bila intensitas serangan mencapai 12,5%. 6) Ulat penggulung daun Penyebab: ulat Lamprosema indicata dan L. diemenalis, keduanya termasuk dalam famili Pyralidae. Gejala: daun kelihatan seperti menggulung dan terdapat ulat yang dilindungi oleh benang-benang sutra dan kotoran. Polongan sering pula ikut direkatkan bersama-sama dengan daunnya. Daun juga tampak berlubang-lubang bekas gigitan dari tepi sampai ketulang utama, hingga habis hanya tinggal urat-uratnya saja. Pengendalian: (1) membuang dan membakar daun yang telah terkangkit; (2) penyemprotan pestisida Azordrin 15 WSC dengan konsentrasi 2-3 cc/liter air, Kiltop 50 EC dengan konsentrasi 4-5 cc/liter air, atau Matador 25 EC dengan konsentrasi 5 ml/ 10 liter air. Setiap hektar kira-kira memerlukan volume 400-600 liter larutan. Penyemprotan dapat diulang setiap 7 hari sampai tanaman terbebas dari hama tersebut. b) Penyakit 1) Penyakit antraknosa Penyebab: cendawan Colletotrichum lindemuthianum, termasuk dalam famili Melanconiaccae.. Gejala: (1) terdapat bercak-bercak kecil berwarna coklat

21

karat pada polong buncis muda; (2) bercak hitam atau coklat tua di bagian batang tanaman tua. Pengendalian: (1) memakai benih yang benar-benar bebas dari penyakit; (2) merendam benih dalam fungsida Agrosid 50 SD sebelum ditanam. Cara merendamnya ialah beberapa jam sebelum benih ditanam dibasahi dulu dengan air. Kemudian dimasukkan ke kantong plastik dan dicampur dengan Agrosid 50 SD sebanyak 10–15 gram/kg benih. Setelah itu dikocok sampai rata kemudian diangin-anginkan; (3) pergiliran tanaman, maksudnya untuk memotong siklus hidup cendawan tersebut. Pergiliran tersebut dapat dengan tanaman lobak, wortel atau kol bunga; (4) penyemprotan fungsida Delsene MX-2000, konsentrasinya 1-2 gram/liter air. Fungsida ini bersifat kontak dan sistemik sehingga bisa disemprotkan sebelum atau sesudah terjadi serangan. Fungsida Velimek 80 WP juga dapat digunakan dengan konsentrasi 2-2,5 gram/liter air. Volume larutan semprot kurang leboh 400-800 liter/ha. Pemberiannya dapat diulang setiap 7-10 hari sekali. Supaya daya kerjanya efektif, dapat ditambahkan bahan perata atau pembasah. Bahan perata yang dipakai seperti Agristck atau Triton dengan dosis 2 cc/liter atau 2 gram/liter air. 2) Penyakit embun tepung Penyebab: cendawan Erysiphe polygoni, yang termasuk dalam famili Erysiphaceae. Gejala: daun, batang, bunga dan buah berwarna putih keabuan (seperti beludru). Apabila serangan pada bunga ringan, maka polong masih dapat terbentuk. Namun bila gagal serangannya berat akan dapat menggagalkan proses pembuahan, bunga menjadi kering dan akhirnya mati. Bila polong yang diserang maka polong tidak gugur, tetapi akan meninggalkan bekas berwarna cokelat surat sehingga kualitasnya menurun. Pengendalian: (1) bagian-bagian yang sudah terserang sebaiknya dipotong atau dibakar; (2) dapat juga disemprot dengan fungsida Morestan 25 WP, konsentrasinya 0,5-1 gram/liter air dan volume larutan 1.000 liter/ha. Penyemprotannya dapat diulang 1-2 minggu sekali. Fungsida lain adalah Nimrod 250 EC dengan konsentrasi 0,4-1,6 ml/liter air, Cupravit OB 21 dengan konsentrasi 1 gram/liter air dan dengan volume semprot 500 liter/ha. Atau dapat juga dilakukan penghembusasn dengan tepung belerang. 3) Penyakit layu Penyebab1: bakteri Pseudomonas sollanacearum. Bakteri ini termasuk dalam famili pseudomonadeceae. Gejala: tanaman akan terlihat layu, menguning dan kerdil. Bila batang tanaman yang terserang dipotong melintang, maka akan terlihat warna cokelat dan kalau dipijit keluar lendir berwarna putih. Kadang-kadang warna cokelat ini bisa sampai ke daun. Akar yang sakit juga berwarna cokelat. Pengendalian: (1) penyiraman tanaman dengan air yang bebas dari penyakit; (2) dengan rotasi tanaman selama 2 tahun; (3) penyemprotan dengan fungsida Agrept 20 WP dengan konsentrasi 0,5-1 gram/liter air. Penyebab2: Penyebab layu dengan gejala diatas disebabkan oleh cendawan Fusarium oxyporum, termasuk dalam famil Stilbellaceae. Gejala 2: Gejala yang terlihat seperti gejala 1 di atas dengan sedikit perbedaan. Perbedaannya yaitu bila batang yang terserang dipijit tidak mengeluarkan lendir.

22

Pengendalian: cara pengendalian hampir sama dengan cara pengendalian Pseudomonas, bedanya hanya jenis fungsida yang dipakai. Untuk mengendalikan cendawan ini dapat digunakan fungsida Dithane M 45 dengan dosis 180-240 gram/100 liter air. Fungsida ini disemprotkan pada semua batang merata. 4) Penyakit bercak daun Penyebab: cendawan Cercospora canescens, termasuk dalam famili Dematiaceae. Sporanya dapat disebarkan melalui air hujan, angin, serangga, alat-alat pertanian, manusia dan lain-lain. Gejala: Daun berbercak-bercak kecil berwarna cokelat kekuningan. Lama-kelamaan bercak akan melebar dan bagian tepinya terdapat pita berwarna kuning. Akibat lebih parah, daun menjadi layu lalu berguguran. Bila sampai menyerang polong, maka polong berbercak kelabu dan biji yang terbentuk kurang padat dan ringan. Pengendalian: (1) sebelum ditanam benih buncis direndam air panas dengan suhu 48 derajat C selama 30 menit; (2) rotasi tanaman; (3) rotasi tanaman (4) memotong bagaian tanaman yang telah terserang; (5) penyemprotan dengan Baycor 300 EC konsentrasi 0,5-1 liter/ha, Bayleton 250 EC konsentrasi 0,25-0,5 liter/ha, volume semprot tiap hektarnya kurang lebih 400 liter. Dapat juga menggunakan Cupravit OB 21, Daconil 75 WP, Delsene MX-200 dengan konsentrasi sesuai labelnya. Penyemprotan diulang dengan selang waktu 5-15 hari. 5) Penyakit hawar daun Penyebab: bakteri Xanthomonas campestris dari famili Pseudomonadaceae. Bakteri ini dapat berkembang pada suhu lebih dari 20 derajat C dan suhu optimum 30 derajat C. Hidupnya bisa bertahan beberapa tahun di dalam biji, tanah dan sisa-sisa tanaman yang sakit. Gejala: Pertama-tama terlihat bercak kuning di bagian tepi daun, kemudian meluas menuju tulang daun tengah. Daun terlihat layu, kering dan berwarna cokelat kekuningan. Bila serangannya hebat, daun berwarna kuning seluruhnya dan akhirnya rontok. Kemudian gejala tersebut dapat meluas ke batang, sehingga lama-kelamaan tanaman akan mati. Pengendalian: ( memakai benih yang bebas dari penyakit; (2) menjaga kebersihan lahan. 6) Penyakit busuk lunak Penyebab: bakteri Erwinia carotopora, termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini hanya menyerang bila ada bagian tanaman yang luka, misalnya gigitan ulat atau memang sudah sakit karena penyakit lain. Serangan ini dapat terjadi di lapangan atau di penyimpanan. Gejala: Daun berbercak, berair dan warnanya menjadi kecokelatan. Gejala ini akan cepat menjalar ke seluruh bagian tanaman sehingga tanaman menjadi lunak, berlendir dan berbau busuk. Kadang-kadang juga bisa roboh bila yang terserang batangnya. Pengendalian: (1) membakar dan membuang tanaman yang telah terjangkit penyakit; (2) menjaga kebersihan lingkungan tanaman; (3) penyemprotan Cupravi OB-21 dengan konsentrasi 4 gram/liter air, Delsene MX 200 konsentrasi 2-3 cc/liter dan Difolatan 4 F dengan konsentrasi 2-3

23

cc/liter air. Penyemprotan dapat dilakukan setiap 7-10 hari sekali. Penggunaan pestisida dapat dengan dioleskan pada bagian tanaman yang sakit. 7) Penyakit karat Penyebab: cendawan Uromyces appendiculatus, termasuk dalam ordo Uredinales. Cendawan ini masih dapat bertahan pada bagian tanaman yang sakit walaupun iklimnya kering. Serangan akan kembali menghebat pada musim hujan. Penyebarannya dapat melalui hembusan angin, percikan atau aliran air, serangga maupun terbawa dalam pengangkutan bibit-bibit tanaman di daerah lain. Gejala: Pada jaringan daun terdapat bintik-bintik kecil berwarna cokelat baik dipermukaan daun sebelah atas maupun bawah dan biasanya dikelilingi oleh jaringan khlorosis. Pada varietes yang tahan, gejalanya hanya berupa bintik-bintik cokelat saja. Pengendalian: (1) menanam bibit buncis yang tahan terhadap penyakit karat, yaitu manoa wonder; (2) mencabut dan membakar tanaman yang telah terjangkit; (3) menggunakan fungisida Baylleton 250 EC dengan dosis 0,25-0,5 liter/ha dan voleume larutan 500 liter/ha. Penyemprotannya dilakukan bila intensitas serangan mencapai 10% dengan selang waktu 7 hari. 8) Penyakit Damping Off Phytium sp, termasuk dalam famili Phytiaceae. Penyebab: cendawan Penularannya dapat melalui tanah maupun biji. Serangannya akan sangat hebat bila suhu dan kelembaban udara cukup tinggi. Gejala: Bagian batang yang terletak di bawah keping biji (hipokotil) berwarna putih pucat karena mengalami kerusakan klorofil. Akibatnya terjadi nekrosa secara cepat, jaringan yang berada di atas tanah menjadi mengkerut dan mengecil sehingga batang tidak kuat lagi menyangga kotiledon dan kemudian tanaman menjadi roboh. Pengendalian: (1) menyiram tanaman denganair yang bebas penyakit; (2) menyemprotkan Antracol 70 WP konsentrasi 2 gram/liter, Volume larutan 6008 l/ha. Fungisida Cupravit OB 21, Delsene MX-200, dimazeb 80 WP, Dithane M45 juga dapat digunakan, dengan konsentrasi seperti yang tercantum dalam labelnya. 9) Penyakit ujung keriting Penyebab: virus mosaik keriting, yang penularannya biasanya melalui vektor serangga yaitu sejenis kutu loncat dari famili Yassidae. Dari tingkat muda sampai dewasa, kutu ini dapat menjadi pembawa (carrier) virus tersebut. Gejala: Daun-daun muda menjadi keriting dan berwarna kuning, sedang daun yang sudah tua menggulung atau memilin. Biasanya daun-daun terasa lebih kaku, tangkai daun mengeriting ke bawah dan batang tidak normal. Tanaman muda yang terserang menjadi kerdil. Pengendalian: (1) menanam bibit yang tahan penyakit seperti spurt dan strike; (2) mencabut dan membakar tanaman yang telah terserang penyakit; (3) melakukan penyemprotan jenis-jenis insektisida yang dapat membunuh serangga vektornya. Misalnya, Alsystin 25 WP dengan dosis 0,25–0,5 kg/ha yang dilarutkan dalam 500-800 liter air. Atau, menggunakan Azordrin 15 WSC, Bayrusil 250 EC, dan Lannate.

24

Panen a) Ciri dan Umur Panen Pemanenan dapat dilakukan saat tanaman memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:

berumur

60

hari

dan

polong

1) Warna polong agak muda dan suram. 2) Permukaan kulitnya agak kasar. 3) Biji dalam polong belum menonjol. 4) Bila polong dipatahkan akan menimbulkan bunyi letup. b) Cara Panen Dalam menentukan saat panen harus setepat mungkin sebab bila sampai terlambat memetiknya beberapa hari saja maka polong bincis dapat terserang penyakit bercak Cercospora. Penyakit tersebut sebenarnya hanya menyerang daun dan bagian tanaman lainnya, tetapi karena saat pemetikan yang terlambat maka penyakit tersebut berkembang sampai ke polong-polongnya. Cara panen yang dilakukan biasanya dengan cara dipetik dengan tangan. Penggunaan alat seperti pisau atau benda tajam yang lain sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan luka pada polongnya. Kalau hal ini terjadi maka cendawan atau bakteri dapat masuk kedalam jaringan, sehingga kualitas polong menurun. c) Periode Panen Pelaksanaan panennya dapat dilakukan secara bertahap, yaitu setiap 2-3 hari sekali. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh polonh yang seragam dalam tingkat kemasakkannya. Pemetikan dihentikan pada saat tanaman berumur lebih dari 80 hari, atau kira0kira sejumlah 7 kali panen. d) Prakiraan Produksi Bila dalam pelaksanaan budidaya tanaman buncis sudah baik, artinya sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan diatas maka produksi perhektar dapat mencapai 150 kuintal polong segar. Pascapanen a) Sortasi Sortasi meliputi kegiatan-kegiatan membuang atau memisahkan hasil berdasarkan kualitas dan mengadakan klarifikasinya. Polong buncis yang cacat akibat serangan hama dan penyakit, polong yang tua maupun polong yang patah akibat panen yang kurang baik, semuanya kita pisahkan. Polong-polong yang demikian hanya akan mengurangi nilai pasar dan nilai beli dari komoditi tersebut.

25

Proses sortasi ini biasanya dilakukan ditempat-tempat pengumpulan yang diletakkan tidak jauh dari lahan pertanian. Tempat dilakukannya sortasi ini harus cukup terlindung, supaya hasil yang baru dipanen tidak lekas menjadi layu. b) Penyimpanan Buncis termasuk sejenis sayuran yang tidak tahan disimpan lama dalam keadaan segar, cepat rusak atau busuk sehingga disebut sebagai perishable food. Hal ini terjadi karena setelah dipanen masih terjadi respirasi dan transpirasi sehingga lama kelamaan komoditi ini mengalami kemunduran (deterioration). Dengan kemunduran tersebut menyebabkan komoditi menjadi lebih peka terhadap serangan jasad renik sehingga komoditi menjadi rendah mutunya dan akhirnya membusuk. Mengingat sifat buncis tersebut maka diperlukan penyimpanan khusus bila buncis tidak langsung dikonsumsi. Cara penyimpanan yang biasa dilakukan adalah sistem refrigarasi (pendinginan), dengan suhu 0-4,4 derajat C dan kelembaban 85-90%. Pada keadaan yang demikian, maka umur kesegaran buncis bisa mencapai 2-4 minggu. Ruangan penyimpanan diusahakan agar udara segar dapat beredar dan selalu berganti. Yang menjadi masalah adalah, masih ada sebagian orang yang beranggapan bahwa dengan suhu dan kelembaban yang lebih rendah lagi akan menghasilkanumur kesegaran yang lebih lama pula. Padahal pendapat ini kurang benar pula. Penyimpanan pada suhu yang lebih rendah dengan suhu yang dianjurkan memberikan hasil yang sama, sedangkan kelembaban yang terlampau rendah, akan menyebabkan komoditi menjadi cepat layu. c) Pengepakkan/Pengemasan Pada umumnya pengepakkan buncis dilakukan dengan menggunakan karung goni. Untuk pengiriman jarak jauh ke luar negri lebih baik menggunakan peti kayu, ukuran dan bentuknya sebaiknya seragam supaya kelihatan rapi. Hal yang harus diperhatikan dalam membuat alat mengepak yaitu harus mempunyai lubang angin untuk memungkinkan pergantian udara di dalam pengepak dan mudah diangkut oleh satu orang. Setelah dilakukan pengepakan, maka jangan lupa menuliskan nama pengusaha, nama komoditi, serta keterangan lain yang dibutuhkan pada alat pengepak. Kebiasan buruk berupa pemberian kode nama pemilik hendaknya dihilangkan, sebab yang mengenal kode tersebut hanya perwakilan si pengusaha atau pedagang itu sendiri. Dengan pengepakan yang baik, banyak keuntungan yang diperoleh, antara lain dalam pengangkutan, komoditi akan terlindung dari kerusakan fisik, mudah dalam penghitungannya dan mudah dalam penyusunan baik di dalam alat pengangkut maupun di dalam gudang penyimpanan.

26

Biasanya pengangkutan hasil panen dilakukan sesuai dengan tujuan pengirimnya. Pengangkutan dengan volume kecil dan ditujukan kepedagang-pedagang setempat dapat dilakukan dengan tenaga manusia, hewan atau kendaran bermotor. Pengangkutan dalam jarak jauh dengan volume yang lebih besar dapat menggunakan kapal, kereta api, atau pesawat terbang. Dalam memilih alat pengangkutan ini, yang penting adalah kelancaran atau cepatnya sampai tujuan dan dipilih yang biayanya murah. Selain itu alat tersebut harus bebas dari bau-bauan karena dapat meresap ke dalam hasil yang diangkut. Dalam menyusun karung maupun peti harus teratur, terutama yang menyangkut letak dan tinggi susunan. Letak susunan karung hendaknya diberi antara sehingga peredaran udara akan lebih leluasa. Tinggi susunan juga diperhatikan, jangan sampai karung atau peti paling bawah rusak karena terkena beban yang terlalu berat. Agar komoditi tidak cepat rusak maka sebaiknya didalam alat pengangkut diberi pendingin terutama untuk angkutan jarak jauh. d) Pengepakan untuk Konsumen Umumnya konsumen menghendaki buncis dalam keadaan segar, bersih, sehat dan mempunyai ukuran yang sama. Untuk itu diperlukan pengepakan lagi sebelum sampai kekonsumen. Pengepakan ini telah dilakukan oleh produsen yang memasok buncis kepasar swalayan. Tiap pak mempunyai berat sekitar 1-1,5 kg dan berisi buncis yang seragam ukurannya.

VIII. Analisis finansial usahatani



Analisis finansial produksi buncis

Keberhasilan suatu usahatani dapat diukur melalui analisis finansial, yang merupakan perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan tingkat penerimaan yang diperoleh. Selanjutnya Santika dan Wardah (1993) dalam Soetiarso (1995) mengatakan, bahwa perbandingan tersebut dapat dicapai melalui salah satu dari empat cara berikut ini : 1) Keluaran tetap konstan sedangkan masukan mengecil, 2) Keluaran meningkat sedangkan masukan tetap konstan, 3) Keluaran meningkat dalam kadar yang lebih tinggi dari pada peningkatan masukan dan, 4) Keluaran menurun dalam kadar yang rendah dari pada penurunan masukan. Sedangkan menurut Colman dan Young (1989), keuntungan maksimal ini dapat diperoleh dengan meminimalkan biaya produksi pada tingkat output tertentu, atau sebaliknya memaksimalkan ouput pada tingkat biaya produksi tertentu. Selain itu, keuntungan maksimal juga dapat diperoleh melalui substitusi faktor produksi yang satu dengan lainnya, sepanjang nilai yang dikeluarkan untuk input pengganti lebih kecil dibandingkan dengan nilai input yang digantikan (pada tingkat output yang sama). Pelaku ekonomi akan terus meningkatkan produksinya sepanjang penerimaan dari setiap unit ouput masih lebih besar dibandingkan dengan biaya produksinya. Dalam pengambilan keputusan seperti di atas, pelaku ekonomi membutuhkan indikator

27

Tabel 28

Biaya produksi dan pendapatan usahatani buncis per hektar (Kasus pada usahatani di sentra produksi Ciwidey dan Lembang, Jawa Barat, Tahun 2005 ).

Uraian A. Sarana Produksi Bibit Pupuk Organik Pupuk Buatan • NPK • Urea • ZA • SP-36 • Pupuk daun Turus Bambu Pestisida • Insektisida • Fungisida • Perekat B. Tenaga Kerja • Persiapan lahan • Pemupukan • Tanam • Penyiangan • Pemasangan turus • Pengairan • Pengobatan • Panen dan pascapanen C. Lain-lain Sewa lahan Biaya Total Produktivitas (kg/ha)

Kecamatan Ciwidey Jumlah 35,29 ltr 11 005 kg

Nilai (Rp ) 705 882 1 806 722

390 kg 105 kg 176 kg 16,81 btl 21 176 bh 7,4 btng

000 000 000 680 000 857

Kecamatan Lembang % 4,35 11,14

Jumlah 40 ltr 16 000 kg

Nilai (Rp 000) 1 000 000 2 000 000

3,92 596 157 332 201 634 17

3,90 0,11 11,93

964 285 929 411 42 016

900 000 420 000 1 250 000 -

8,03 10,09

630 000 940 000 -

320 880 520 000 560 720 960 760

777 000

6,43 12,85 8,49

300 kg 300 kg 40 000

59,92 3 351 774 285 558 554 201 831 2 495

%

49,85 1 260 360 210 840 1 180

000 000 000 000 000 1 920 000 1 980 000

4,73

16 217 573

670 000

4,26

15 560 000

10 714

13 600

Harga jual (Rp/kg)

1 762,75

1 338,23

Pendapatan kotor (Rp/ha) Pendapatan bersih (Rp/ha) R/C rasio

18 886 103,50

18 199 928

2 668 530,50

2 639 928

1,16

1,17

kelayakan yang dapat diperoleh dari analisis biaya dan pendapatan (ABP). ABP dapat mencerminkan perencanaan fisik dan finansial operasionalisasi suatu usahatani pada periode waktu tertentu. ABP merupakan teknik sederhana yang paling banyak digunakan dalam analisis ekonomi untuk membantu pengelola dalam mengambil keputusan usahatani yang dapat memaksimalkan keuntungan (Dillon & Hardaker, 1980).

28

Tabel 28 menyajikan data usahatani buncis di sentra produksi Ciwidey dan Lembang pada tahun 2005. Dari data tersebut terlihat bahwa kedua usahatani buncis di dua lokasi yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan keuntungan. Hal tersebut ditunjukkan oleh R/C ratio yang hampir sama yaitu 1,16 dan 1,17 masingmasing untuk lokasi Ciwidey dan Lembang. Nilai R/C ratio tersebut mencerminkan bahwa setiap satu rupiah dana yang diinvestasikan pada usahatani buncis akan memberikan tingkat pengembalian sebesar Rp 1,16 untuk daerah Ciwidey dan Rp 1,17 untuk daerah Lembang. Hasil panen yang diperoleh dari kedua usahatani tersebut menunjukkan adanya perbedaan, dimana usahatani di daerah Lembang menghasilkan produksi sekitar 27 persen lebih tinggi dibandingkan produksi di daerah Ciwidey. Namun rendahnya hasil panen di daerah Ciwidey diimbangi dengan tingginya harga jual output, sehingga pendapatan yang diperoleh dari usahatani di kedua lokasi ditunjukkan oleh angka yang relatif sama. Biaya produksi yang dikeluarkan untuk suatu usahatani merupakan kumpulan dari komponen-komponen biaya dengan persentase yang berlainan satu sama lain. Umumnya pada usahatani sayuran, alokasi terbesar dari biaya produksi adalah untuk input pestisida, dan seringkali alokasi untuk pestisida tersebut sangat besar dibandingkan dengan input produksi lainnya. Namun demikian yang menarik dari usahatani buncis ini, alokasi terbesar untuk input tenaga kerja dengan persentase yang sangat tinggi, yaitu 59,92 % untuk lokasi Ciwidey dan 49,85 % untuk lokasi Lembang. Sementra itu alokasi untu pestisida menempati urutan ke dua untuk lokasi Ciwidey (11,93 %) dan urutan ke tiga untuk lokasi Lembang (10,09 %). Data tersebut mengindikasikan bahwa serangan hama dan penyakit untuk tanaman buncis relatif masih rendah, petani masih dapat mengendalikannya dengan penggunaan pestisida yang rendah.

IX. Kegiatan penelitian

Pemuliaan dan Plasma nutfah Penelitian pemuliaan dan plasmanutfah buncis periode 1980-2000 yang telah dipublikasikan sebanyak 8 artikel, yang terdiri dari 2 artikel tentang hibridisasi dan seleksi, 2 artikel tentang uji daya hasil pendahuluan/lanjutan, 1 artikel tentang uji adaptasi/multilokasi, 2 artikel tentang uji resistensi terhadap hama/penyakit dan 1 artikel tentang perbenihan. Beberapa catatan umum yang dapat disimpulkan dari penelitian pemuliaan dan plasma nutfah buncis, sebagai berikut : 1. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) adalah sejenis kacang-kacangan yang dikonsumsi sebagai sayuran, apabila dikonsumsi dalam bentuk polong muda disebut buncis, dan disebut jogo bilamana dikonsumsi dalam bentuk biji.

29

2. Secara garis besar ada dua tipe pertumbuhan buncis, yaitu yang merambat membutuhkan turus (buncis rambat), dan yang tidak membutuhkan turus (buncis tegak). 3. Kacang jogo atau sering disebut kacang merah adalah tanaman kacangkacangan yang dikonsumsi bijinya sebagai sayuran. Kacang jogo ditanam di beberapa daerah di pulau Jawa umumnya merupakan varietas lokal yang dibudidayakan di dataran medium. 4. Kultivar Manoa Wonder telah beradaptasi baik di dataran tinggi dan mempunyai sifat tahan terhadap penyakit karat, tetapi bentuk polongnya gepeng sehingga kurang disukai pasar (konsumen). 5. Kultivar lokal Bandung bentuk polongnya baik dan disukai pasar (konsumen), tetapi sangat rentan penyakit karat. Kultivar buncis lokal Bandung merupakan varietas yang paling populer di dataran tinggi kabupaten Bandung. A. Hibridisasi dan seleksi (2 artikel) 1. Persilangan kacang jogo x buncis tegak pada F3 dan F4 menunjukkan nilai heritabilitas sedang sampai tinggi, dan korelasi yang positif nyata antara sifat hasil dan komponen hasil. 2. Penentuan umur panen pada beberapa varietas kacang jogo menunjukkan varietas Contender, HBW#835 dan Emil siap dipanen pada umur 79-82 hari, dimana kadar air polong berkisar 45-65 %. B. Uji Daya Hasil Pendahuluan/Lanjutan (2 artikel) 1. Beberapa kultivar local kacang jogo diuji di Lembang menunjukkan Lokal Garut berproduksi paling tinggi dan tahan terhadap kekeringan, dengan kisaran hasil biji 38 ku/ha. 2. Pengujian 15 kultivar buncis di dataran tinggi Lembang menunjukkan Spurt memberikan hasil tertinggi (29 t/ha) polong muda. Kultivar BBL 47, Peak dan Farmer Early mempunyai rasa dan aroma yang enak. C. Uji adaptasi/multilokasi (1 artikel) 1. Adaptasi 10 varietas buncis tegak di dataran rendah menunjukkan Hawkesbury Wonder memberikan adaptasi terbaik dan produksi polong muda tertinggi yaitu 6 t/ha. D. Uji resistensi genotip buncis terhadap hama/penyakit (3 artikel) 1. Pada pewarisan sifat tahan penyakit karat dalam silangan Manoa wonder x Lokal Bandung terjadi tipe interaksi gen non alelik yang komplementer antara pathogen dengan gen pengendali sifat, perlu dilakukan silang balik berkali-kali dengan tetua Manoa Wonder untuk meningkatkan pengaruh gen aditif. 2. Pewarisan resistensi tanaman buncis (Phaseolus vulgaris) terhadap penyakit Antraknos dikendalikan oleh gen sederhana dengan aksi gen epistatis resesif duplikat (9:7)., dan nilai duga heritabilitas tergolong sedang.

30

3. Pola pewarisan sifat tahan penyakit karat pada silangan buncis menunjukkan dikendalikan oleh minimal 2 gen dengan interaksi non-alelik dan bekerja secara dominan resesif epistatis, sehingga pewarisannya tidak sederhana. E. Perbenihan (1 artikel) -

Budidaya buncis tegak dalam produksi benih diperlukan fosfor sebanyak 135 kg P2O5 untuk mendapatkan kualitas terbaik dan kuantitas tertinggi.

Tabel 29 Topik penelitian, varietas, jumlah artikel, asal, agroekosistem tempat penelitian pemuliaan tanaman kacang buncis. No

Topik/ judul penelitian

Jml.

Varietas

Asal

Agroekosistem

Penerbit

A. 1.

Hibridisasi/seleksi Heritabilitas dan korelasi antara hasil dan beberapa komponen hasil pada persilangan kacang jogoxbuncis tegak

2 1

F3 dan F4 Lokal Garut x HBW, Richgreen dan Flo

-

DT

Bull.Penel.Hort.XXIII.No. 3.1992.

2.

Penentuan umur panen pada beberapa varietas kacang jogo

1

Kacang merah, Contender, HBW 835, Emil

-

DT

Bull.Penel.Hort. Vol.XII.No.4.1985

B.

Uji Daya Hasil Pendahuluan/ Lanjutan .

2

1.

Penampilan beberapa kacang jogo local (Phaseolus vulgaris) di dataran tinggi Lembang

1

Lokal Garut, Lokal Batu, Lokal Purwokerto, HBW.

Lokal

DT

Bull.Penel.Hort.Vol.XX.N o.2.1990.

2.

Penampilan fenotipa varietas buncis tegak (Phaseolus vulgaris) di dataran tinggi

1

HBW, Richgreen, Monel, Greenleaf, Processor, BBL47, Spurt, Flo, Goldrust, Peak, Strike, S.edogawa, S-10, Taipeh, Farmer early

Intro duksi

DT

Bull.Penel.Hort.Vol.XX.N o.2.1990

C.

Uji adaptasi/ Multilokasi

1

1.

Adaptasi berbagai macam kacang

1

-

DR

Bull.Penel.Hort.Vol.XXII. No.2.1992.

Monel, Hawkesbury

31

buncis tipe tegak (Phaseolus vulgaris) di dataran rendah

Wonder, Flo, Farmer Early, Richgreen, Spurt, Strike, Goldrust, Peak, Greenleaf

D.

Uji resistensi genotip buncis terhadap hama/penyakit

3

1.

Analisa pendugaan parameter genetic sifat tahan penyakit karat (Uromyces phaseoli) pada silangan buncis (Phaseolus vulgaris)

1

Manoa wonder, Lokal Bandung, BC1F1, BC1F2, F1,F2

-

DT

Bull.Penel.Hort. Vol.XIX.No.2.1990

2.

Pewarisan resistensi tanaman buncis (Phaseolus vulgaris) terhadap penyakit Antraknos

1

Taipeh no.2 dan silangan No.24-200-34

-

DT dan DM

J.Hort. 7(4):852859.1998.

3.

Pola pewarisan sifat tahan penyakit karat pada silangan buncis

1

Manoa Wonder (tahan) x Lokal Bandung (rentan)

-

DT

Bull.Penel.Hort.Vol.XXI.N o.4.1992

E.

Perbenihan

1

30

Pengaruh kultivar dan dosis pupuk posfat terhadap kualitas dan kuantitas benih buncis tegak

1

Rich Green, Strike, Tender Green, Spurt, Peak, Taipeh

-

DT

J.Hort.10(1):1823.2000.

Agronomi

Tabel 30 menunjukkan sebaran topik, varietas, ekosistem dan hasil pada penelitian agronomi selama kurun waktu 1980-2003. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari Tabel 30 adalah: • Jumlah artikel sangat terbatas dan hanya menyangkut topik pemupukan • Ekosistem yang digunakan umumnya dataran tinggi dengan varietas yang digunakan lokal maupun introduksi

32

Tabel 30 No. 1.

Topik, jumlah artikel, varietas, ekosistem dan hasil penelitian agronomi Topik

Pemupukan

Juml

Varietas

Ekosistem

Hasil

-

Dt

• Pemberian pupuk TSP 200 kg/ha

4

Pengaruh dosis dan saat pemberian pupuk TSP terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang buncis tegak (Phaseolus vulgaris L.)



Pengaruh pupuk kalium (ZK) terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas kacang buncis tegak

Tender Green, Monel

Pengaruh pupuk kalium (K) terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas buncis (Phaseolus vulgaris L.)

Lokal, LBPH, THP, TG, FLO, RG

Pengaruh limbah sawit dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan buncis

lokal

Dt

• Pupuk ZK tidak berpengaruh •

Dt

nyata terhadap peningkatan komponen hasil buncis Varietas berpengaruh nyata terhadap perbedaan pertumbuhan dan hasil buncis

• Varietas berpengaruh terhadap

• •

Dt

menghasilkan pertumbuhan dan produksi yang lebih tinggi daripada dosis 50, 100 dan 150 kg TSP/ha Pemberian pupuk TSP pada waktu tanam menghasilkan pertumbuhan dan produksi yang leb ih tinggi daripada pemberian waktu umur 3 minggu

perbedaan tinggi tanaman, jumlah polong dan jumlah biji per tanaman Pupuk kalium berpengaruh nyata terhadap persentase hampa dan jumlah biji per tanaman Jumlah biji tertinggi dihasilkan oleh perlakuan 100 kg K2O/ha pada varietas TPH

• Campuran limbah sawit dengan pupuk kandang (3:1) menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman buncis yang lebih tinggi daripada perlakuan runggal limbah sawit, pupuk kandang maupun campuran keduanya dengan komposisi yang berbeda

Sintesis Hasil Penelitian:  

Informasi mengenai budidaya kacang buncis masih sangat terbatas. Jumlah artikel yang terkumpul hanya 4 buah dengan topik pemupukan Perlu penelitian agronomi yang menyangkut berbagai aspek/topik yang didesain secara komprehensif dengan kajian yang akurat untuk mendapatkan rekomendasi budidaya tanaman buncis yang tepat

33

Hama Penyakit Penelitian hama-penyakit buncis, khususnya yang telah dipublikasikan dari 19802004 sangat terbatas. Jumlahnya hanya 4 artikel dan hanya menyoroti masalah penyakit saja. Hasil penelitian per topik dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2004 adalah sebagai berikut. 1. Cercospora cenescens (bercak daun) Kehilangan hasil Serangan C. cercospora tidak mempengaruhi hasil polong segar, tetapi menurunkan hasil biji kering sampai 33%. 2. Uromyces phaseoli Tanaman resisten • Persilangan antar kultivar Manoa Wonder X Lokal Bandung telah berhasil menggabungkan sifat tahan dan meningkatkan keragaman gentik pada populasi F2. • Sifat ketahanan terhadap penyakit karat pada silangan kultivar “Manoa Wonder X Lokal Bandung” ternyata dikendalikan oleh minimal dua buah gendengan interaksi non-alelik dan bekerja secara dominasi resesif epistasis sehingga pewarisannya tidak sederhana. 3. Bean Common Mozaik Virus (BCMV) Kajian karakteristik visrus • Bentuk virus berupa felamen berukuran 740-780 nm, mempunyai titik batas pengenceran 10-3 – 10-4, dan titik batas pemanasan diatas 70%. Dengan demikian virus ini tahan terhadap panas. • Gejala mozaik pada tanaman buncis. Dapat ditularkan melalui vektor Myzus persicae, biji dan secara mekanis. Tanaman inangnya : kacang buncis, kacang panjang, kacang koro dan kacang tanah. Tabel 31

Jumlah artikel per topik, varietas dan ekosistem pada profil buncis

No .

Topik

A.

PENYAKIT BUNCIS

1.

Cercospora

Σ artikel

Varietas

Ekosistem

Sumber

1

Lokal Bandung

DT

Bull.Hort.Vol.VIII/3,1980.

2

Lokal Bandung, Manoa Wonder

DT (2)

Bull.Hort.Vol.XIX/2, 1990. Bull.Hort.Vol.XXI/4, 1992.

DT

Agrivita Vol. 17/2, 1994.

Kehilangan hasil 2.

Uromyces phaseoli Resistensi tanaman

3.

Virus BCMV Kajian karakteristik

1

34

X. Kendala pengembangan dari sisi tekno-sosio-ekonomis 

Berdasarkan analisis data tahunan periode 1970 – 2003, pola pertumbuhan buncis menunjukkan pola meningkat dengan faktor dominan pertumbuhan produktivitas. Namun demikian, produktivitas buncis nasional periode 19992003 yang hanya mencapai 7,59 sampai 10,71 ton per hektar, termasuk masih rendah. Perlu menjadi pertimbangan bahwa dari sisi penelitian, komoditas buncis tidak pernah menjadi komoditas prioritas, sehingga penelitian yang berkaitan dengan perakitan teknologi komoditas tersebut sangat terbatas.



Salah satu dampak dari rendahnya produktivitas buncis di Indonesia adalah relatif tingginya impor buncis untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Hal ini ditunjukkan oleh kuantitas impor kacang-kacangan pada Tahun 2003 sebesar 6 569,64 ton (buncis termasuk di dalamnya), atau devisa negara yang dikeluarkan sebesar 1 663 659 juta US$.



Walaupun buncis merupakan produk yang sudah cukup dikenal oleh konsumen rumah tangga, tetapi variasi konsumsinya masih sangat terbatas. Di tingkat rumah tangga digunakan sebagai bahan pada beberapa menu makanan. Alternatif diversifikasi produk yang ditawarkan kepada konsumen masih sangat kurang, padahal dilihat dari sifat komoditas serta kandungan gizinya, buncis mempunyai peluang yang besar untuk diolah menjadi berbagai produk baru. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab masih rendahnya konsumsi buncis per kapita di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Rendahnya konsumsi dan permintaan buncis tersebut juga menjadi salah satu faktor pembatas pengembangan produksi buncis di Indonesia.



Memasuki pasar bebas, tuntutan kualitas komoditas sayuran, termasuk buncis, semakin tinggi. Untuk dapat diterima di pasar ekspor, maka buncis dari Indonesia harus memenuhi standar kualitas Internasional, paling tidak standar kualitas dari negara tujuan. Hal tersebut dapat dijadikan penghambat non-tarif (non-tafiff barrier) oleh negara pengimpor, sehingga dapat dijadikan praktek terselubung untuk melakukan pembatasan (proteksi) terhadap barang impor. Sementara itu, Indonesia belum mempunyai standar kualitas untuk komoditas buncis, sehingga hal tersebut dapat dijadikan tempat pembuangan (dumping) bagi buncis yang tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan.



Berdasarkan analisis usahatani, biaya untuk input tenaga kerja sangat tinggi (lebih 50 % dari total biaya produksi). Hal tersebut mengindikasikan penggunaan teknologi budidaya di tingkat petani yang belum efisien. Ada dua kemungkinan penyebab tidak efisiennya penggunaan tenaga kerja di tingkat petani, yaitu (a) petani tidak mengaitkan jumlah tenaga kerja dengan tingkat efisiensi tenaga kerja, dan/atau (b) teknologi yang digunakan oleh petani menuntut penggunaan tenaga kerja dalam jumlah banyak. Perlu penelitian lebih lanjut menyangkut efisiensi penggunaan tenaga kerja di tingkat usahatani.

35

XI. Prospek, kebijakan dan strategi pengembangan



Prospek pengembangan buncis masih cukup baik. Produktivitas masih dapat ditingkatkan dengan menyediakan teknologi yang lebih sesuai dengan permasalahan petani baik dari segi teknis, sosial maupun ekonomi. Teknologi yang cukup mendesak adalah tersedianya varietas-varietas buncis yang berdaya hasil tinggi serta berkualitas sesuai dengan selera konsumen, baik konsumen domestik luar negeri. Tampaknya pasar ekspor untuk komoditas buncis ini masih cukup terbuka, baik dalam bentuk segar, kering, beku atau diversifikasi produk lainnya.



Tingkat konsumsi buncis masih dapat ditingkatkan diantaranya dengan diversifikasi produk olahan serta peningkatan kualitas buncis yang dipasarkan. Meningkatnya konsumsi buncis secara tidak langsung dapat memotivasi petani untuk meningkatkan produktivitasnya.



Kebijakan penelitian buncis: - Perakitan varietas buncis yang berdaya hasil tinggi dan mempunyai kualitas yang sesuai dengan selera konsmen. - Perbaikan teknologi budidaya seperti pemupukan dan pengelolaan tanaman dengan penggunaan input seminimal mungkin. Selain itu perlu juga diteliti mengenai teknologi budidaya dengan penggunaan tenaga kerja yang lebih rendah, sebab penggunaan tenaga kerja di tingkat petani sangat tinggi (> 50 % dari biaya produksi total). - Pembuatan biopestisida. - Perbaikan teknologi pasca panen mulai dari teknik panen, penyimpanan, pengemasan sampai penelitian diversifikasi produk.



Kebijakan non penelitian : - Pemberian nomor SNI terhadap komoditas buncis seperti halnya telah dilakukan pada komoditas sayuran lainnya. Hal ini sangat banyak manfaatnya, diantaranya untuk menghindari dumping yang dilakukan oleh negaranegara pengekspor buncis (berkaitan dengan buncis yang berkualitas rendah). - Penataan kembali sistem pemasaran yang lebih baik, dengan memperhatikan kepentingan petani. Dengan demikian, petani mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk memasuki pasar yang lebih bervariasi. Di samping itu, pemerintah perlu memperbaiki sarana dan pra sarana yang dapat menunjang kelancaran proses pemasaran. - Penataan kelembagaan dan kebijakan yang diarahkan untuk memberikan fasilitas kredit dengan mekanisme yang sederhana dan jelas. Sehingga kredit yang disalurkan tepat waktu dan tepat sasaran.

36

Daftar Pustaka. Adiyoga, W. 1996. Marjin tataniaga dan bagian petani untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Jurnal Hortikultura 7(3): 840-851. Adiyoga., W. 1999. Pola pertumbuhan produksi beberapa jenis sayuran di Indonesia. J. Hort 9(3) : 258 – 265. Badan Pusat Statistik. 1999. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor. Jilid II. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia. --------------------------. 2000. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor. Jilid II. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia. --------------------------. 2001. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia. --------------------------. 2002. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia. --------------------------. 2003. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia. --------------------------. 1999. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia. --------------------------. 2000. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia. --------------------------. 2001. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. --------------------------. 2002. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia. --------------------------. 2003. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor. Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia. --------------------------. 1993. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia 1993. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia.

--------------------------. 1996. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia 1996. Buku I. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia. --------------------------. 1999. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia 1999. Buku I. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia.

37

--------------------------. 2002. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia 2002. Buku I. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia. --------------------------. 2004. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia. Bisaliah, S. 1986. Soybean development in India: A methodological frame. In CGPRT. Socio-economic research on food legumes and coarse grains: Methodological issues. CGPRT No. 4. Bogor, Indonesia. Cahyono., B. 2003. Kacang buncis : teknik budidaya dan analisis usahatani. Penerbit PT Kanisius. Yogyakarta. Colman, D & Young, T. 1989. Principles of agricultural economics: Markets and prices in less developed countries. Cambridge University Press, Great Britain. Dillon, J. L. & Hardaker, J. B. 1980. Farm management research for small farmer development. Food and Agriculture Organization Agricultural Services Bulletin, Rome FAO. 1998. Potato: Production, utilization and consumption. Lionberger., H. F and P. H. Gwin. 1991. Technology transfer from fesearcher to user. University of Missouri. Rukmana., R. 1995. Bertanam buncis. Penerbit PT Kanisius. Yogyakarta. Setianingsih., T dan Khaerodin. 2003. Pembudidayaan buncis tipe tegak dan merambat. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Soetiarso., T.A. 1995. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usahatani bawang merah di Pacet, Bandung. Bul. Penelt. Hort. XXVII (3) : 59 – 65. Soetiarso., T. A. 1997. Analisis usahatani dan pemasaran tomat dalam Teknologi produksi tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. • Pustaka penelitian agronomi buncis. No 1.

Nama Penulis Aliudin

Tahun 1993

2.

Aliudin dan E. Setyawati

1993

Judul Pengaruh pupuk kalium (ZK) terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas kacang buncis tegak Pengaruh dosis dan saat pemberian pupuk TSP terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang buncis tegak (Phaseolus vulgaris L.)

Sumber Bul. Penel. Hort. 24 (4): 54-64

Bul. Penel. Hort. 24 (4): 41-53

38

3.

I. Dwiwarni dan R Asnawi

1998

4.

Z ainar Kari dan Yulinar Zubaidah

2002

Pengaruh limbah sawit dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan buncis Pengaruh pupuk kalium (K) terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas buncis (Phaseolus vulgaris L.)

J. Agrotropika vol. 3 No. 1, 1998: 29-33 J. Stigma, vol. 10 No. 3, 2002: 225-232

• Pustaka penelitian hama–penyakit buncis. No.

Judul

Penulis

Publikasi/Th.

Volume/Hal

Suhardi

Buletin Penelitian Hortikultura Th. 1980

Vol. VII No. 6 Hal : 15-18

PENYAKIT A. 1.

B.

Cercospora canescens Taksiran kerugian hasil buncis oleh penyakit-penyakit daun

Uromyces phaseoli

1.

Analisa pendugaan parameter genetik sifat tahan penyakit karat (Uromyces phaseoli) pada silangan buncis (Phaseolus vulgaris).

Eri Sofiari

Buletin Penelitian Hortikultura Th. 1990

Vol. XIX No. 2 Hal : 50-60

2.

Pola pewarisan sifat tahan penyakit karat pada silangan buncis

Eri Sofiari Anggoro Hadi P.

Buletin Penelitian Hortikultura Th. 1992

Vol. XXI No. 4 Hal : 62-75

Siti Rasminah C. Yenni Liswani Tuhing Hadiastono

Agrivita Th. 1994

Vol. 17 No. 2 Hal : 71-77

C. 1.

BCMV Kajian sifat penyebab penyakit Mozaik pada tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.).

39

Related Documents