Profil Komoditas Kentang

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Profil Komoditas Kentang as PDF for free.

More details

  • Words: 27,705
  • Pages: 81
PROFIL KOMODITAS KENTANG

Witono Adiyoga Rachman Suherman T. Agoes Soetiarso Budi Jaya Bagus Kukuh Udiarto Rini Rosliani Darkam Mussadad

BALAI PENELITIAN TANAMAN SAYURAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2004

I.

Pendahuluan

Kentang memiliki nama ilmiah Solanum tuberosum. Dalam dunia tumbuhan, kentang diklasifikasikan sebagai berikut: a. Divisi : Spermatophyta b. Subdivisi : Angiospermae c. Kelas : Dicotyledonae d. Famili : Solanaceae e. Genus : Solanum f. Species : Solanun tuberosum L. Genus “Solanum” memiliki lebih dari 2000 spesies, dengan 160-180 spesies diantaranya merupakan tanaman umbi dan hanya 8 spesies yang dibudidayakan sebagai tanaman pangan. Kentang merupakan tanaman native daerah pengunungan Andes di Amerika Selatan. Tanaman ini diperkirakan telah dibudidayakan sejak tahun 500 SM. Penjelajah Spanyol memperkenalkan tanaman ini ke Eropa dan berdasarkan catatan yang ada, kentang mulai dibudidayakan sebagai tanaman pangan sejak tahun 1570. Catatan lain menunjukkan bahwa kentang dikenal di Irlandia pada tahun 1663 dan mulai ditanam secara luas menjadi tanaman/komoditas nasional. Pada tahun 1846-1847, kentang di Irlandia (Irish potato) musnah oleh late blight dan mengakibatkan bencana kelaparan yang menimbulkan korban jutaan orang. Sementara itu, kentang mulai popular di Amerika Utara pada akhir abad 18. Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman yang paling efisien dalam mengkonversikan sumberdaya alam, tenaga kerja dan modal menjadi bahan pangan berkualitas tinggi. Tanaman ini bahkan dapat menghasilkan bahan pangan yang lebih bergizi, secara lebih cepat pada lahan yang lebih sempit serta kondisi iklim lebih keras, dibandingkan dengan tanaman pangan utama lainnya (Horton, 1981). Di negara-negara berkembang dan beriklim tropis, kentang lebih berfungsi sebagai sumber protein berkualitas tinggi dibandingkan sebagai sumber enerji, karena harus bersaing dengan tanaman pangan lain yang merupakan bahan makanan pokok (misalnya padi). Sebagai salah satu jenis sayuran, kentang memiliki kandungan ascorbic acid, thiamin, niacin, pyridoxine dan pantothenis acid yang setara dengan jenis sayuran lainnya (Woolfe, 1987). II. Area, produksi dan produktivitas Berdasarkan karakteristik potensi hasil dan nilai gizi yang tinggi, kentang adalah tanaman terpenting nomor empat di dunia setelah gandum, padi dan jagung. Data terakhir dari FAO (2002) menunjukkan bahwa produksi kentang dunia pada tahun 2002 mencapai 311 juta ton dan diusahakan pada luasan lahan sekitar 19 juta hektar (Tabel 1). Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa China adalah negara produsen kentang terbesar di dunia dengan kontribusi sekitar 21%, diikuti oleh Rusia Federasi dengan kontribusi sekitar 10%. Kentang merupakan tanaman non-sereal terpenting di dunia dan 35% dari produksi total dunia berasal dari negara-negara berkembang. Komoditas ini merupakan makanan pokok bagi lebih kurang 500 juta konsumen di dunia dan diperkirakan peranannya dalam menu makanan harian penduduk miskin akan semakin meningkat (CIP, 2000). Sejak tahun 90-an, produksi kentang di negara-negara berkembang memasuki fase baru dengan ciriciri tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dan semakin meningkat. Pada tahun 1993, produksi kentang total telah melewati 94 juta ton, dibandingkan dengan 30 juta ton yang dicapai pada awal tahun 60-an. Pada tahun 2020, produksi kentang di negara berkembang diproyeksikan mencapai 194 juta ton. Rata-rata tingkat pertumbuhan produksi kentang di negara berkembang selama periode 19932020 diperkirakan mencapai 2,71% per tahun.

1

Tabel 1 Areal panen, produksi dan produktivitas kentang dunia serta lima negara penghasil terbesar 1998 Dunia

A (ha) P (t)

19 654 138

19 287 909

300 750 210

300 912 662

329 024 643

312 435 128

311 359 672

15,96

15,30

16,39

15,90

16,14

4 064 030

4 420 703

4 725 366

4 720 527

4 671 667

64 618 163

56 141 097

66 325 167

64 596 119

66 573 331

15,90

12,70

14,04

13,68

14,25

3 235 600

3 226 700

3 229 060

3 216 200

3 198 110

31 418 370

31 343 850

33 979 460

34 965 160

32 870 840

9,71

9,71

10,52

10,87

10,28

1 206 000

1 320 500

1 340 000

1 211 300

1 410 000

17 648 100

23 610 700

24 713 200

22 488 400

24 082 000

14,63

17,88

18,44

18,57

17,08

561 600

539 210

545 520

494 610

514 080

21 580 600

21 691 500

23 297 460

19 862 270

20 856 270

38,43

40,23

42,71

40,16

40,57

1 513 200

1 551 100

1 631 000

1 605 000

1 600 000

15 405 000

12 723 000

19 838 100

17 344 000

16 619 500

10,18

8,20

12,16

10,81

10,39

A (ha) P (t) Y (t/ha)

India

A (ha) P (t) Y (t/ha)

USA

A (ha) P (t) Y (t/ha)

Ukraine

A (ha) P (t)

2002

20 080 053

Y (t/ha) Russian Fed.

2001

19.663 237

A (ha) P (t)

2000

18 838 439

Y (t/ha) China

1999

Y (t/ha) Sumber: FAOSTAT

Tingkat pertumbuhan ini jauh melebihi rata-rata tingkat pertumbuhan kentang dunia dan negara maju yang masing-masing diproyeksikan sebesar 1,29% dan 0,34% per tahun. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi kentang terus meningkat, bahkan melebihi peningkatan pertumbuhan tanaman pangan utama lainnya. Hal ini memberikan indikasi semakin meningkatnya kepentingan relatif kentang diantara komoditas pangan lain, khususnya di Asia (CIP, 1998). Tabel 2 Produksi, proyeksi dan tingkat pertumbuhan kentang 1993-2020 Negara

China

Produksi

Tingkat Pertumbuhan

1993

2020

1993-2020

(juta ton)

(juta ton)

(%/year)

42,5

87,8

2,,72

2,4

3,3

1,18

16,3

43,3

3,67

Negara-negara Asia Selatan lainnya

3,5

7,7

2,98

Asia Tenggara

1,3

2,3

2,08

Amerika Latin

12,6

20,2

1,76

Asia Barat dan Afrika Utara

13,0

23,4

2,21

2,6

6,0

3,06

94,3

194,0

2,71

Negara maju

191,0

209,5

0,34

Dunia

285,3

403,5

1,29

Negara-negara Asia Timur lainnya India

Sub-Sahara Afrika Negara berkembang

Sumber: Scott, Rosegrant and Ringler (2000)

2

Beberapa hal berkaitan dengan ekonomi pembangunan yang diperkirakan berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi kentang adalah: (i) peningkatan pendapatan per kapita, (ii) urbanisasi, (iii) perbaikan sarana transportasi, dan (iv) penurunan harga relatif input/masukan produksi (Horton, 1987). Dalam konteks pembangunan ekonomi, hal-hal tersebut secara intrinsik erat kaitannya dengan ekspansi dan integrasi pasar. Sebenarnya hampir tidak mungkin untuk memprediksi secara akurat pengaruh pembangunan ekonomi terhadap produksi kentang. Namun demikian, ada beberapa hal penting yang masih dapat digeneralisasi. Jika terjadi ekspansi pasar, pembelian input yang bersifat meningkatkan hasil (yield-increasing inputs), misalnya pupuk dan pestisida, akan tetap memberikan keuntungan bagi usahatani. Ekspansi pasar juga membuka kemungkinan untuk spesialisasi produksi. Fenomena ini akan diikuti oleh meningkatnya jumlah petani kecil yang mengusahakan kentang secara padat-input (input-intensive) untuk dijual ke pasar. Di negara berkembang seperti Indonesia, jika produksi kentang dibatasi oleh kendala-kendala: kondisi pertumbuhan yang kurang cocok, teknologi yang tidak tepat-guna, harga input mahal, dan kecilnya peluang pasar, maka proses atau aktivitas pembangunan ekonomi diharapkan dapat menekan biaya produksi serta menstimulasi produksi dan konsumsi kentang. Generalisasi lainnya adalah pertumbuhan penduduk pedesaan yang mengakibatkan semakin sempitnya luas lahan garapan serta semakin tingginya harga tanah, cenderung dapat menstimulasi pengusahaan tanaman-tanaman berpotensi daya hasil tinggi (high-yielding crops) - salah satu diantaranya adalah kentang. Selama periode 1995-2002, luas areal panen kentang di Indonesia berfluktuasi cukup tajam, yaitu antara 50,189 hektar pada tahun 1997 dan 73,068 hektar pada tahun 2000. Sementara itu, produktivitas kentang pada periode waktu yang sama juga menunjukkan fluktuasi dengan kisaran yang cukup lebar, yaitu terendah pada tahun 2000 sebesar 13,4 ton/ha dan tertinggi pada tahun 2002 sebesar 21,1 ton/ha. Dengan demikian, produksi kentang tahunan di Indonesia cenderung bervariasi dengan catatan terendah pada tahun 1997 sebesar 0,81 juta ton, dan tertinggi pada tahun 2002 sebesar 1,32 juta ton. Table 3 Produksi kentang di Indonesia, 1995-2002 Tahun

Luas Panen (ha)

1995

62,388

1,035,259

16.6

1996

69,946

1,109,560

15.9

1997

50,189

813,368

16.2

1998

65,047

998,032

15.4

1999

62,776

924,058

14.7

2000

73,068

977,349

13.4

2001

55,971

831,140

14.9

2002

62,545

1,321,117

21.1

Sumber:

Produksi (t)

Produktivitas (t/ha)

Survei Pertanian, BPS (berbagai tahun)

Secara agregat, produktivitas kentang di Indonesia selama periode 1995-2002 mencapai rata-rata 16,025 t/ha. Untuk periode yang sama, pencapaian ini ternyata setara dengan produktivitas rata-rata kentang dunia (148 negara), yaitu 16 t/ha. Sementara itu, produktivitas rata-rata kentang di negaranegara maju telah mencapai 17 t/ha, sedangkan rata-rata di negara-negara berkembang telah mencapai 14 t/ha (CIP, 1998). Dibandingkan dengan 20 jenis tanaman pangan yang biasa diproduksi dan dikonsumsi, urutan kepentingan kentang di dunia, negara-negara maju, negara-negara berkembang dan Indonesia masing-masing menempati posisi ke 4, 4, 6 dan 8.

3

Berkaitan erat dengan tingkat adaptabilitasnya, pertanaman kentang di Indonesia tersebar terutama di daerah dataran tinggi. Berdasarkan data produksi dan areal tanam, pertanaman kentang tercatat di 18 propinsi, kecuali Riau, DKI Jaya, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Tabel 4 menunjukkan perkembangan areal tanam dan produksi di beberapa propinsi penting penghasil kentang, serta data agregatnya. Tiga sentra produksi kentang utama di Indonesia berturut-turut adalah Jawa Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Ketiga sentra produksi tersebut menyumbang 75% dari total areal panen dan 82% dari Tabel 4 Areal tanam (ha), produksi (ton) dan produktivitas (ton/ha) kentang di beberapa propinsi penting penghasil kentang di Indonesia, 1998-2002 Propinsi Aceh

Sumatera Utara

1998 Area (ha)

425

93

Prod (t)

4,538

5,960

4,599

6,130

2,170

Prvt (t/ha)

21.61

10.62

13.69

14.40

23.00

Area (ha)

16,627

13,325

15,275

12,093

16,910

247,333

192,574

215,981

207,918

317,962

Prvt (t/ha)

14.88

14.45

14.14

17.20

18.80

Area (ha)

1,313

1,475

1,404

972

1,156

16,818

20,479

21,213

10,822

26,578

Prvt (t/ha)

12.10

13.80

15.11

11.10

23.00

Area (ha)

2,186

1,874

2,630

2,127

1,527

37,345

34,341

41,754

36,959

24,676

17.08

18.33

15.87

17.40

16.20

Prvt (t/ha) Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha) Jawa Tengah

Area (ha) Prod (t) Prvt (t/ha)

Jawa Timur

Area (ha)

22,822 610,626

18.71

17.85

16.66

16.70

26.80

11,894

11,576

7,176

5,932

7,395

179,542

148,806

86,424

76,926

128,305

15.09

12.86

12.04

13.00

17.40

7,551

6,331

7,214

81,372

72,926

124,196

Prvt (t/ha)

11.37

10.53

10.78

11.40

17.20

Area (ha)

2,403

1,739

3,182

2,303

1,268

21,886

20,381

32,720

10,351

22,726

Prvt (t/ha)

9.11

11.72

10.28

14.50

17.90

Area (ha)

629

346

5,795

1,579

2,278

5,539

2,698

15,974

12,362

48,338

Prvt (t/ha)

8.81

7.80

2.76

7.80

21.20

Area (ha)

63,441

60,690

71,127

54,807

60,570

987,827

907,270

921,083

820,012

1,305,577

Prvt (t/ha)

14.39

13.12

12.37

12.61

20.17

Area (ha)

1,636

2,086

1,941

1,164

1,975

10,205

16,788

56,266

11,128

15,540

Prod (t) Indonesia

23,045 385,618

6,796

Prod (t) Lainnya

27,778 462,800

71,548

Prod (t) Total

22,998 410,483

7,071

Prod (t) Sulawesi Utara

21,078 394,403

80,423

Prod (t) Sulawesi Selatan

2002

336

Prod (t) Jawa Barat

2001

561

Prod (t) Jambi

2000

210

Prod (t) Sumatera Barat

1999

Prvt (t/ha)

6.19

7.30

9.34

11.23

7.87

Area (ha)

65,047

62,776

73,068

55,971

62,545

998,032

924,058

977,349

831,140

1,321,117

14.72

13.38

14.80

14.90

Prod (t)

Prvt (t/ha) 15.34 Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura

4

produksi total tahun 2002. Kelompok sentra berikutnya adalah Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan yang memberikan kontribusi 21% dari total areal panen dan 19% dari total produksi pada tahun 2002. Walaupun dikembangkan pada agroekosistem yang relatif sama, produktivitas yang dicapai oleh setiap propinsi ternyata cukup beragam. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan intensitas pengelolaan antar sentra produksi yang biasanya tercermin dari perbedaan kualitas dan/atau kuantitas masukan yang digunakan. Setelah program penelitian dan pengembangan kentang secara formal berlangsung selama hampir 20 tahun, pertanyaan menyangkut status perkembangan produksi kentang sampai sejauh ini merupakan suatu hal yang perlu mendapat klarifikasi. Indikator penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan status perkembangan tersebut adalah kecepatan serta pola pertumbuhan produksi yang diperagakan oleh usahatani kentang. Disamping dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan yang bersifat konstan, menurun atau meningkat, indikator ini juga dapat mengidentifikasi sumber atau faktor dominan penentu pertumbuhan -- peningkatan areal tanam, peningkatan hasil/produktivitas atau kombinasi peningkatan keduanya. Lebih jauh lagi, indikator tersebut dapat pula mengidentifikasi komponen-komponen serta sumber ketidak-stabilan produksi (Hazell, 1984). Analisis data tahunan produksi dan areal tanam kentang mencakup periode waktu 1969-2002 menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata produksi kentang di Indonesia adalah 4,35% dengan pola pertumbuhan produksi yang bersifat meningkat dari tahun ke tahun. Tingkat pertumbuhan produksi rata-rata kentang pada dasarnya dapat dipilah ke dalam pertumbuhan yang disebabkan oleh peningkatan areal tanam dan peningkatan produktivitas. Kontribusi peningkatan dari komponen areal tanam dan produktivitas terhadap pertumbuhan produksi kentang secara berturut-turut adalah 2,89% dan 1,46%. Dengan demikian, sumber dominan yang menyebabkan peningkatan produksi kentang selama periode 1969-2002 adalah peningkatan areal tanam. Lebih jauh lagi, keragaman areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan produksi sayuran secara umum, dibandingkan dengan keragaman produktivitas. Pola pertumbuhan produksi yang didominasi oleh peningkatan areal tanam (kontribusi areal tanam lebih besar dibandingkan dengan kontribusi produktivitas), mengandung beberapa implikasi sebagai berikut: (a) strategi dan kegiatan/usaha yang berhubungan dengan inovasi teknologi/penelitian yang ada belum dapat memacu pola pertumbuhan produksi berbasis peningkatan produktivitas, atau program penyuluhan belum berjalan secara optimal, terutama dikaitkan dengan proses alih teknologi di tingkat petani, dan (b) peningkatan produksi dimungkinkan oleh adanya insentif akibat kebijakan pemerintah yang berasal dari subsidi terhadap harga masukan dan luaran, maupun penyediaan infrastruktur pemasaran yang ditujukan agar kebijakan harga tersebut secara operasional berjalan efektif, sehingga memungkinkan adanya kestabilan profitabilitas relatif dari komoditas yang diusahakan (Bisaliah, 1986). Indikator-indikator yang diperoleh dari hasil analisis, memberikan gambaran perlunya strategi pendekatan pengembangan yang lebih memberikan penekanan pada peningkatan akselerasi pertumbuhan produksi kentang berbasis peningkatan produktivitas atau inovasi teknologi. Sementara itu, variabilitas areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan produksi kentang selama periode 1969-2002, dibandingkan dengan variabilitas produktivitas. Hal ini mengindikasikan masih dominannya pengaruh berbagai faktor, misalnya profitabilitas kentang relatif terhadap komoditas sayuran lain, kendala ketersediaan lahan siap tanam secara kontinyu, kendala musim (iklim dan cuaca), dan respon produsen terhadap harga kentang yang bersifat fluktuatif, terhadap realisasi areal tanam.

5

III. Konsumsi dan jenis pemanfaatan Konsumsi kentang sebagai bahan pangan berkembang cukup cepat, terutama di Asia, walaupun masih lebih kecil dari 20 kg/kapita/tahun dan terhitung sedang dibandingkan dengan konsumsi kentang di negara-negara maju. Bersamaan dengan peningkatan pendapatan, konsumen cenderung melakukan diversifikasi menu makanan dari dominasi serealia bergeser ke komposisi pangan yang mengandung lebih banyak sayuran, termasuk kentang. Pertumbuhan konsumsi kentang olahan juga membuka kesempatan perluasan produksi kentang. Di India, Asia Barat, Afrika Utara dan Amerika Latin, berbagai faktor seperti urbanisasi, peningkatan pendapatan, turisme, partisipasi wanita dalam ketenaga-kerjaan dan skim iklan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional cepat saji, akan meningkatkan konsumsi kentang secara relatif cepat. Tabel 5 Pemanfaatan dan konsumsi kentang per kapita di berbagai negara/wilayah Negara/Wilayah

Pemanfaatan (000 t) Pangan 1983

China

Konsumsi/kapita (kg) Pakan

1996

1983

1996

1983

1996

10,5

19,4

7,7

14,5

10

16

Asia Timur lainnya

0,8

0,9

0,2

0,1

13

12

India

7,6

14,9

na

na

10

16

Asia Selatan lainnya

1,8

3,1

….

….

8

10

Asia Tenggara

0,7

1,6

….

….

2

3

Amerika Latin

8,4

11,2

0,4

0,4

24

25

Asia Barat dan Amerika Utara

6,8

11,6

0,1

0,1

28

34

Afrika Sub-Sahara

1,8

1,9

….

….

5

4

Negara berkembang

38,8

65,1

8,5

15,3

11

15

Negara maju

89,6

96,1

55,5

39,6

75

75

128,4

161,2

64,0

54,9

28

28

Dunia

Sumber: FAO (1999), na = data tidak tersedia, …. = nilai sangat kecil.

Di negara-negara berkembang, kentang tidak lajim digunakan sebagai pakan ternak, kecuali dalam kuantitas sangat kecil untuk kentang yang unmarketable. Namun demikian, di beberapa propinsi di Cina, sebagian besar dari produksi kentang masih digunakan untuk pakan ternak, karena penawaran yang berlebih, harga murah serta isolasi geografis dari pasar domestik dan global. Di luar Cina, kemungkinan penggunaan kentang sebagai pakan ternak di waktu yang akan datang cenderung kecil. Jika harga kentang menurun cukup signifikan, peningkatan konsumsi kentang sebagai bahan makanan dalam bentuk segar maupun olahan tidak diragukan akan terjadi lebih dahulu, sebelum terjadi ekspansi penggunaannya sebagai pakan ternak. Pasar global untuk tepung/pati kentang masih berada pada keadaan transisi. Produk ini merupakan salah satu komoditas ekspor negara-negara Eropa ke negara berkembang. Namun demikian, Uni Eropa berencana untuk mencabut subsidi produksi tepung/pati kentang, sehingga profitabilitas ekspor produk ini dalam jangka panjang diperkirakan akan semakin menurun. Produksi tepung/pati kentang di negara berkembang sebagian besar terpusat di Cina serta sebagian keci di wilayah Andean dan Asia Selatan. Pasar tepung/pati kentang di negara berkembang relatif sangat terbatas dan diperkirakan industri tingkat rumah tangga untuk produk tersebut akan semakin menurun kepentingannya.

6

Beberapa penelitian di negara berkembang mengindikasikan adanya hubungan positif antara pendapatan dan konsumsi kentang. Pada tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, konsumsi kentang ternyata masih jauh dari titik saturasi. Dengan demikian, sejalan dengan peningkatan pendapatan, konsumsi kentang di negara-negara berkembang juga akan semakin meningkat. Disamping pendapatan per kapita, pertumbuhan konsumsi kentang per kapita juga dipengaruhi oleh harga relatif dan ketersediaan bahan substitusi. Tingkat pertumbuhan ini juga merupakan fungsi dari selera, preferensi serta berbagai faktor demografis dan kultural. Di negara maju, kentang secara tipikal dianggap sebagai komoditas murah yang merupakan bahan baku pati/tepung, sedangkan di negara berkembang cenderung dikategorikan sebagai sayuran mahal dan terkadang mewah. Sejalan dengan membaiknya perekonomian di Asia serta meningkatnya pendapatan pada beberapa dekade terakhir, konsumen semakin terdorong untuk melakukan diversifikasi pangan dan peningkatan konsumsi kentang termasuk di dalam upaya tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya perluasan produksi kentang di beberapa negara Asia sepanjang tahun 1960 dan 1970’an yang mendorong turunnya harga relatif terhadap serealia dan memicu peningkatan konsumsi kentang (Horton, 1987). Sementara itu, di negara lain, misalnya Bolivia, perubahan harga relatif telah mengakibatkan semakin mahalnya harga kentang dan menghambat timbulnya peningkatan konsumsi kentang (Thiele et al., 1999). Konsumsi kentang per kapita dunia diperkirakan meningkat dari 28 kg/kapita/tahun pada tahun 1996 menjadi 38 kg/kapita/tahun pada tahun 2001. Sementara itu, konsumsi kentang di negara-negara berkembang meningkat cukup tajam, yaitu dari 11 kg/kapita/tahun pada tahun 1983 menjadi 15 kg/kapita/tahun pada tahun 1996 (FAO, 1998). Tingkat konsumsi tersebut ternyata masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi kentang di negara-negara maju yang mencapai 75 kg/kapita/tahun. Di Asia, konsumsi kentang meningkat sebesar 16%, yaitu dari 12 kg/kapita/tahun pada periode 1991-1992 menjadi 14 kg/kapita/tahun pada periode 1994-1996. Sementara itu, konsumsi kentang di Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Kentang biasanya dikonsumsi sebagai sayuran dalam bentuk berbagai jenis menu masakan. Namun demikian, selama kurun waktu 5-10 tahun terakhir, konsumsi kentang dalam bentuk produk hasil proses (chips dan french fries) juga menunjukkan peningkatan. Ferrari (1994) memproyeksikan bahwa konsumsi kentang yang pada tahun 1978 baru mencapai 1,040 kg/kapita akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2000’an. Peningkatan konsumsi ini terlihat cukup signifikan untuk segmen konsumen di daerah perkotaan dengan tingkat pendapatan kelas menengah ke atas. Berdasarkan data SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional), konsumsi kentang total di Indonesia dilaporkan berturut-turut sebesar 250 557 ton, 299 344 ton, 374 488 ton, 351 067 ton dan 204 452 ton, masing-masing pada tahun 1987, 1990, 1993, 1996 dan 1999. Rata-rata tahunan konsumsi kentang per kapita di Indonesia diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6 Konsumsi kentang di perkotaan dan pedesaan Indonesia (kg/kapita/tahun) Tahun

Perkotaan

Pedesaan

Total

1987

2,65

1,04

1,46

1990

2,50

1,25

1,66

1993

2,76

1,61

1,98

1996

2,61

1,36

1,77

1999

1,51

0,62

0,99

2002

2,44

1,25

1,77

7

Tingkat rata-rata konsumsi kentang cenderung lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Tingkat konsumsi kentang ini juga menunjukkan peningkatan sejalan dengan peningkatan tingkat pengeluaran seperti diperlihatkan pada Tabel 7. Table 7 Konsumsi kentang di perkotaan dan pedesaan berdasarkan tingkat pengeluaran Tahun

Perkotaan

Pedesaan

Total

Rendah

Sedang

Tinggi

Rendah

Sedang

Tinggi

Rendah

Sedang

Tinggi

1987

0.00

2,03

6,00

0,05

1,67

5,53

0,05

1,77

5,89

1990

0,16

2,14

6,41

0,37

2,09

7,25

0,37

2,09

6,52

1993

1,10

2,45

6,00

0,31

2,24

6,52

0,31

2,35

6,10

1996

0,52

2,09

5,79

0,21

2,03

4,64

0,21

2,09

5,63

0,16

0,89

3,81

0,10

0,78

3,23

0,10

0,83

3,70

1999 Sumber:

SUSENAS, BPS (berbagi tahun)

Keterangan: o Tingkat pengeluaran kelas rendah adalah sebesar Rp. 6 000 – 7 999 untuk 1987, Rp. 8 000 – 9 999 untuk 1990, Rp. 10 000 – 14 999 untuk 1993, Rp. 15 000 – 19 999 untuk 1996 dan Rp. 40 000 – 59 999 untuk 1999; o Tingkat pengeluaran kelas sedang/menengah adalah sebesar Rp. 20 000 – 29 999 untuk 1987, Rp. 30000 – 39 999 untuk 1990, Rp. 40 000 – 59 999 untuk 1993, Rp. 60 000 – 79 999 untuk 1996 dan Rp. 100 000 – 149 999 untuk 1999; o Tingkat pengeluaran kelas tinggi adalah sebesar Rp. 80 000 – 99 999 untuk 1987, Rp. 100 000 – 149 999 untuk 1990, Rp. 150 000 – 199 999 untuk 1993, Rp. 200 000 – 299 999 untuk 1996 dan Rp. 300 000 – 499 999 untuk 1999.

Konsumsi kentang domestik dihitung dengan menambahkan kuantitas impor dan mengurangkan kuantitas ekspor ke kuantitas produksi total (termasuk stok benih petani). Tabel 8 menunjukkan adaanya pertumbuhan konsumsi domestik sebesar 7,26% per tahun dalam periode waktu 1998-2002. Tabel 8 Konsumsi domestik tahunan di Indonesia (ton) Tahun

Produksi

Ekspor

Impor

Konsumsi domestik

1998

998 032

30 228

5 715

973 519

1999

924058

33 103

6 791

897 746

2000

977 349

30 231

10 077

957 195

2001

831 140

31 343

8 158

807 955

2002

1 321 117

31 100

7 200

1 297 217

Source : BPS (berbagai tahun)

IV. Pemasaran, perdagangan dan standardisasi Pemasaran kentang pada dasarnya merupakan institusionalisasi pelayanan untuk menjem-batani berpindahnya kentang segar dari sisi produksi ke sisi konsumsi. Hampir seluruh sektor pemasaran kentang ditangani oleh pihak swasta dan intervensi pemerintah dalam hal ini relatif minimal, khusus terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar kentang seringkali dianggap beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan. Secara umum, menurut Horton (1980) berbagai masalah yang ditemui pada pemasaran kentang berawal dari: (a) karakteristik produsen (skala besar vs. skala kecil dalam kaitannya dengan volume penjualan), (b) karakteristik tanaman (cepat rusak), (c) pola permintaan (musiman), dan (d) kompleksitas sistem pemasaran (aliran informasi yang buruk, ketidak-cukupan fasilitas fisik, dan kapasitas finansial pelaku pasar).

8

Berdasarkan volume kentang yang diproduksi, produsen besar biasanya dapat mengatur waktu penjualan untuk meminimalkan risiko harga. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya petani besar memiliki gudang atau memiliki kapasitas finansial untuk menyewa gudang. Melalui penerapan strategi pemasaran seperti ini, petani bersangkutan dapat mengurangi dampak risiko harga penjualan hasil panen. Partisipasi di pasar kentang dalam periode waktu yang cukup panjang juga memantapkan petani besar sebagai pemasok kentang komersial yang dapat diandalkan. Sementara itu, petani kecil dengan volume penjualan yang relatif rendah hanya mampu berpartisipasi di pasar kentang dalam periode waktu yang jauh lebih singkat. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, petani kecil biasanya lebih rentan terhadap pergerakan harga kentang jangka pendek. Sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi (memisahkan/memilih kentang yang marketable dan non-marketable) dan grading (pada umumnya berdasarkan ukuran kentang). Petani biasanya menunjukkan contoh/sampel berupa kentang yang telah di grading kepada pembeli prospektif. Jika transaksi terjadi di kebun, kesepakatan antara penjual dan pembeli akan menentukan siapa yang akan membiayai kegiatan sortasi dan grading. Di Pangalengan, kegiatan ini biasa dilakukan oleh tenaga sewa dengan biaya Rp. 5 - Rp. 10 per kg. Tabel 9 menunjukkan sistem pengkelasan kentang lokal di Pangalengan serta perbedaan harga antar kelas. Namun, data kuantitatif yang tersedia ternyata tidak cukup untuk mengkonfirmasi bahwa perbedaan harga antar kelas merupakan akibat dari tingkat permintaan dan penawaran dari berbagai kelas tersebut. Dengan demikian, generalisasi hubungan harga antar kelas, sukar untuk ditetapkan, karena terlalu banyaknya kemungkinan kombinasi perubahan penawaran dan permintaan berdasarkan pengkelasan ini. Terlepas dari hal tersebut, sebagian besar petani dan pedagang mengindikasikan bahwa perbedaan harga antar kelas secara proporsional meningkat/menurun sejalan dengan peningkatan/penurunan harga kentang. Tabel 9 Grade kentang serta harga masing-masing kelas di Pangalengan, Pebruari 2004

Class

Number of tuber/kg

Price/kg (Rp)

AL

2-5

1 800 – 2 000

AB

6-8

1 600 – 1 750

ABC

10 - 12

1 300 – 1 600

D/TO

20 - 30

900 – 1 000

ARES

> 30

750 – 850

Sumber: Data primer

Kentang yang baru saja dibeli oleh pedagang pengumpul dari petani, mungkin saja tidak dapat dijual ke pasar pada hari yang sama. Jika hal ini terjadi, kentang biasanya disimpan di gudang selama 1 – 3 hari, bahkan mungkin agak lebih lama, seandainya harga kentang secara ekstrim terlalu rendah. Biaya penyimpanan (bongkar/muat, angkut dan pemeliharaan kentang di gudang) yang ditanggung oleh pedagang pengumpul berkisar antara Rp. 15 - Rp. 25 per kg. Pedagang mengindikasikan bahwa penjualan langsung ke pasar merupakan hal yang paling diinginkan, karena relatif tingginya biaya penyimpanan dan ketersediaan gudang yang relatif terbatas. Lebih jauh lagi, para pedagang juga mengindikasikan bahwa fluktuasi harga musiman tidak selalu dapat menutupi biaya penyimpanan. Beberapa tipe saluran pemasaran yang menggerakkan kentang dari sentra produksi ke daerah konsumsi adalah sebagai berikut: 1. Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang antar daerah -- Pedagang besar -- Pedagang pengecer -- Konsumen 2. Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang besar -- Pedagang pengecer -- Konsumen

9

3. Produsen -- Pedagang pengumpul skala kecil atau komisioner -- Pedagang pengumpul -Pedagang besar -- Pedagang pengecer -- Konsumen 4. Produsen -- Pedagang kontrak -- Pedagang pengumpul -- Pedagang pengecer -- Konsumen Observasi lapang menunjukkan bahwa saluran pertama dan kedua menyerap sekitar 80% dari pasokan total kentang, sedangkan 20% sisanya atau mungkin lebih kecil lagi, diserap oleh saluran alternatif ketiga dan keempat (Adiyoga, et al., 1999b). Berbagai saluran pemasaran yang terjadi di salah satu sentra produksi, misalnya Pangalengan, menunjukkan peran dominan pedagang pengumpul dalam menjembatani produsen dan konsumen. Volume kentang yang dikumpulkan dan diangkut oleh pedagang jenis ini berkisar antara 5 – 25 ton per hari. Secara total, diperkirakan 15 - 50 ton (minimal) sampai 75 - 150 ton (maksimal) kentang dipasok dari Pangalengan setiap hari ke pasar-pasar di daerah perkotaan. Kentang dari Pangalengan sebagian besar dipasarkan ke Jakarta (pusat konsumsi utama) dan beberapa kota besar lain, misalnya Bandung, Sukabumi, Bogor, dan Cirebon. Penjualan kentang dari Pangalengan mencapai puncaknya antara bulan Januari dan Maret, kemudian agak berkurang antara bulan Juli dan Oktober. Oleh karena jenis kentang yang dominan hanya berasal dari varietas Granola, harga kentang di tingkat petani pada dasarnya ditentukan berdasarkan kelas, kondisi kulit, keseragaman dan kebersihan umbi. Pedagang pengumpul pedesaan biasanya memiliki informasi paling lengkap mengenai perkembangan harga kentang di pasar-pasar perkotaan. Pedagang ini pada umumnya memiliki contact persons di pasarpasar tersebut. Berdasarkan informasi ini, pedagang pengumpul tidak saja dapat menentukan harga beli kentang dari petani, tetapi juga dapat memutuskan ke pasar mana kentang tersebut akan dijual. Petani sering mengeluhkan bahwa kemudahan bagi pedagang untuk mengakses informasi cenderung memperlemah posisi tawar patani. Marjin pemasaran adalah perbedaan antara harga yang dibayarkan pada saat membeli produk dengan harga yang diterima pada saat produk tersebut dijual kembali, atau secara sederhana, marjin pemasaran adalah perbedaan harga antara dua tingkat pasar (Calkins and Wang, 1978). Marjin merepresentasikan harga yang dibebankan (biaya pemasaran dan keuntungan) untuk sekumpulan pelayanan yang diberikan pada saat menyiapkan produk ke pasar. Besarnya marjin sangat bergantung pada kombinasi (a) kualitas dan kuantitas pelayanan yang diberikan, (b) biaya yang diperlukan untuk memberikan pelayanan tersebut, dan (c) efisiensi pelayanan serta penetapan harga pelayanan tersebut (Scarborough and Kydd, 1993). Data pada Tabel 10 menunjukkan biaya tataniaga dan keuntungan pemasaran kentang dari Pangalengan ke Jakarta yang merupakan observasi kasus pedagang pengumpul (19 Pebruari 2004). Pedagang pengumpul tersebut mengirimkan 5370 kg (1 truk) kentang, berangkat dari Pangalengan jam 15.50 dan tiba di Jakarta (PIKJ) jam 20.30. Penimbangan pada saat kedatangan menunjukkan kehilangan hasil sekitar 0,75%, yaitu sebesar 40 kg selama perjalanan Pangalengan ke Jakarta. Tabel 10 Marjin pemasaran kentang dari Pangalengan ke Jakarta, Pebruari 2004 (Rp./kg). Pedagang

Harga beli

Harga jual

Rp/kg

Rp/kg

Pengumpul

1 800

1 925

Grosir

1 925

2 010

Pengecer

2 010

2 200

Biaya tataniaga Rp/kg 73,50 8,59 66,12

Keuntungan

Marjin tataniaga

%

Rp/kg

%

Rp/kg

58,80

51,50

41.20

125

10.10

76,41

89.90

85

34.80

123,88

65.20

190

Sumber: Data primer

10

Observasi lebih lanjut menunjukkan bahwa petani menerima 81,8% (farmer's share) dari harga eceran. Berdasarkan harga tersebut, petani hanya mendapat keuntungan bersih sekitar Rp. 75.00/kg. Harga di tingkat petani dan bagian petani biasanya cenderung turun dan naik secara bersamaan. Bagian yang diterima petani tinggi jika harga tinggi. Namun demikian, hal ini sebenarnya merupakan fungsi dari fleksibilitas relatif harga di tingkat petani dan infleksibilitas relatif marjin, paling tidak dalam jangka pendek. Perbandingan diantara ketiga jenis pedagang mengindikasikan bahwa untuk pedagang pengumpul, persentase marjin yang digunakan untuk biaya pemasaran ternyata yang paling tinggi. Sementara itu, persentase marjin yang berupa keuntungan untuk pedagang pengumpul adalah yang paling rendah. Di sisi lain, grosir atau pedagang besar mengalokasikan marjin untuk biaya pemasaran dengan persentase terendah, namun menerima persentase marjin tertinggi sebagai keuntungan. Walaupun demikian, dalam bentuk keuntungan aktual, pengecer menerima persentase terbesar dari harga yang dibayarkan konsumen. Sementara itu, selama bertahun-tahun, lebih dari 90% ekspor kentang Indonesia berasal dari kentang yang diproduksi di Sumatera Utara. Kentang ekspor pada umumnya berupa kentang meja untuk pasar kentang segar. Dalam kuantitas yang relatif kecil, tercatat pula bibit kentang dan produk olahan kentang sebagai ekspor. Namun demikian, hal ini kemungkinan hanya merupakan catatan kegiatan reekspor kentang yang pada dasarnya berasal dari kentang impor. sebelumnya diduga Hampir seluruh ekspor kentang Indonesia ditujukan ke Malaysia dan Singapura. Tabel 11 menunjukkan bahwa volume kentang ekspor mencapai puncaknya pada tahun 1995, yaitu sebesar 103 050 ton. Jumlah ini mendekati 10% dari total produksi domestik dan sekitar 40% dari total produksi Sumatera Utara. Namun setelah itu, volume ekspor kentang turun agak drastis tinggal sepertiga dari volume ekspor puncak. Pada periode 1997-2001, ekspor kentang Indonesia relatif stabil dengan rata-rata 32 568 ton/tahun, atau sekitar 3,5% dari produksi domestik kurun waktu tersebut. Negara lain yang secara insidental terkadang menjadi negara tujuan ekspor (kentang segar dan kentang beku) adalah Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, Saudi Arabia, Lebanon, St. Helena dan Swedia. Hampir 75% nilai impor kentang sejak tahun 1994 merupakan impor produk kentang olahan, terutama french fries beku. Sebaian besar dari impor ini berasal dari Amerika Utara. Sampai saat ini, belum ada jenis kentang yang dibudidayakan di Indonesia memenuhi persyaratan kentang untuk french fries, sehingga sebagian besar permintaan dipenuhi melalui impor. Tabel 12 menunjukkan bahwa impor french fries menurun dengan tajam pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Produk kentang olahan lain yang juga diimpor adalah starch dan flakes yang digunakan untuk industri pengolahan makanan. Sebagian besar dari produk olahan ini diimpor dari negara-negara Eropa. Kategori lain dari impor kentang yang juga penting adalah bibit/benih kentang (10% dari total volume dan 7,4% dari total nilai impor kentang). Belanda merupakan salah satu negara terpenting sumber/asal impor bibit/benih kentang. Jika diperhatikan, lonjakan impor kentang dari 1998 ke 1999 sebagian besar disebabkan oleh adanya peningkatan impor bibit/benih yang relatif cepat. Diduga hal ini juga merupakan dampak dari kebijakan pemerintah berkaitan dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang memberikan kucuran KUT kepada kelompok tani/koperasi.

11

Tabel 11 Ekspor kentang Indonesia, 1994-2002

Tahun

Kuantitas (1000 t) Total

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

89,12 103,05 79,75 36,76 31,25 33,26 30,23 31,34 20,75

Tahun

Nilai (juta US$) Total

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

14,08 18,22 15,09 8,43 5,96 6,72 4,46 4,59 4,22

Tahun

Harga (US$/t) Total

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

158 177 189 229 191 202 148 146 203

Segar 88,92 102,94 79,68 36,76 31,20 32,27

Bibit 0,04 0,03 0,00 0,00 0,02 0,13

Beku 0,15 0,08 0,07 0,00 0,02 0,84

Olahan lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,02

Segar

Bibit

Beku

Olahan lainnya

13,88 18,12 15,02 8,43 5,89 5,80

0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,09

0,19 0,09 0,07 0,00 0,08 0,83

0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Segar

Bibit

Beku

Olahan lainnya

156 176 188 229 189 180

173 407 2 046 531 44 646

1 243 1 129 987 5 000 3 154 991

1 065

248 107

Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk: Kode SITC 5410100 bibit/benih kentang 5410900 kentang segar 5469100 kentang beku 5611000 kentang potongan/sliced

12

Tabel 12 Impor kentang Indonesia, 1994-2002

Tahun

Kuantitas (1000 t) Total

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Tahun

9,86 13,40 17,22 27,63 9,71 24,14

Bibit 0.33 0.31 0.89 2.04 0.68 3.18

Beku 0.87 0.78 1.21 0.90 0.36 6.12

Olahan lainnya 6.58 9.72 11.83 23.06 6.92 6.48

2.08 2.59 3.29 1.63 1.74 8.36

10,08 8,16 5,42

Nilai (juta US$) Total

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Tahun

Segar

Segar 6.45 12.08 16.62 26.87 6.48 9.59

Bibit 0.16 0.42 0.44 1.50 0.34 0.96

Beku 0.87 0.82 0.99 0.86 0.26 1.94

Olahan lainnya 4.20 8.80 11.72 22.96 4.78 4.21

1.21 2.04 3.47 1.54 1.10 2.48

5,37 4,46 2,97

Harga (US$/t) Total

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Segar 654 901 965 972 667 397

Bibit 494 1,363 491 739 502 301

Beku 1,008 1,040 817 959 728 317

Olahan lainnya 639 905 991 995 690 649

580 787 1,055 943 628 297

533 546 549

Sumber: Biro Pusat Statistik (b), berbagai tahun. Impor sampai Agustus 2002. Impor termasuk: Kode SITC

5410100 5410900 5469100 5661100 5661900 5676100 5676900 5611000 59213110 59211390 59213990 59213000

bibit/benih kentang kentang segar kentang beku kentang beku dengan container hampa udara kentang beku dengan container lainnya kentang tidak beku dengan container hampa udara kentang tidak beku dengan container lainnya kentang, flakes potato starch, for baking, packs ≥ 30 kg potato starch, for baking, other packs potato starch, other potato starch

13

Salah satu kebijaksanaan operasional pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian adalah pembinaan mutu dan standardisasi pertanian. Keberhasilan pengembangan pembinaan mutu dan standardisasi pertanian diharapkan akan mampu untuk menunjang peningkatan daya saing serta keberhasilan menembus pasar. Program pemerintah dalam pembinaan mutu hasil pertanian melalui program standardisasi dan akreditasi sejalan dengan tuntutan konsumen baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk dapat bersaing di pasar yang bebas dan kompetitif saat ini, komoditas pertanian yang dipasarkan harus benar-benar dapat menarik minat pembeli. Hal ini perlu ditanamkan terhadap pelaku agribisnis bahwa di dalam produk yang akan dipasarkan haruslah terdapat unsur jaminan kepastian mutu. Kepastian mutu ini hanya dapat diperoleh melalui penerapan standar. Pada awalnya standar ini hanya merupakan suatu tuntutan pasar, namun dalam perkembangannya, ternyata standar memberikan banyak sekali nilai tambah bagi petani yang menerapkannya, sehingga mulai dirasakan sebagai kebutuhan bagi petani. Dari aspek pertumbuhan dan pengembangan kegiatan/usaha agribisnis, penerapan SNI dapat memberikan manfaat: (a) mewujudkan tercapainya persaingan yang sehat dalam perda-gangan, (b) menunjang pelestarian lingkungan hidup, (c) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui sistematika dan pendekatan yang terorganisir pada pemastian mutu, (d) meningkatkan citra dan daya saing petani/pelaku agribisnis, (e) meningkatkan efisiensi di dalam berproduksi, dan (f) mengantisipasi tuntutan konsumen atas mutu produk dan tingkat persaingan usaha yang telah mengalami perubahan sehingga pelaku agribisnis dapat menanggapinya melalui pendekatan mutu, pengendalian mutu, pemastian mutu, manajemen mutu dan manajemen mutu terpadu. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor : 12 tahun 1991, standar yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia adalah Standar Nasional Indonesia, yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April 1994. Sebagai tindak lanjut penetapan Standar Nasional Indonesia, melalui Keputus-an Menteri Pertanian Nomor: 303/Kpts/OT.210/4/1994 tanggal 27 April 1994, Standar Nasional Indonesia sektor pertanian adalah standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Standardisasi Nasional (yang sekarang menjadi Badan Standardisasi Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 13 tahun 1997) dan berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia. Tabel 13 menunjukkan daftar standarisasi untuk kentang dan produk olahannya yang telah ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia oleh Badan Standardisasi Nasional. Sementara itu, Tabel 14 memberikan gambaran lebih detil menyangkut SNI 01-3175-1992 untuk kentang segar. Tabel 13 Daftar SNI untuk kentang dan produk olahannya No SNI

Judul SNI

ICS (Internastional Clasification Standard )

Judul ICS

SNI 01-3175-1992

Kentang segar

67.080.20

Sayuran dan produk turunan

SNI 01-4031-1996

Keripik kentang

67.080.20

Sayuran dan produk turunan

SNI 01-4477-1998

Kentang dalam kemasan

67.080.20

Sayuran dan produk turunan

14

Tabel 14 SNI 01-3175-1992 untuk kentang segar Karakteristik

Syarat

Cara Pengujian

Mutu I

Mutu II

Keseragaman warna dan bentuk

seragam

seragam

organoleptik

Keseragaman ukuran

seragam

seragam

Konsep SP-SMP-233-1977

Kerataan permukaan kentang

rata

tdk dipersyaratkan

Konsep SP-SMP-234-1977

Kadar kotoran, % (b/b) maks.

2.5

2.5

Konsep SP-SMP-8-1975

Kentang cacat, % (b/b) maks.

5

10

Konsep SP-SMP-235-1977

tua

cukup tua

Konsep SP-SMP-213-1977

Ketuaan kentang

V. Perkembangan harga dan indeks harga musiman Harga berfungsi sebagai pengendali arah aktivitas ekonomi sayuran dan berperan sebagai rationing mechanism untuk suatu produk yang diproduksi pada suatu periode waktu serta menjadi barometer yang mengukur dimensi perilaku bekerjanya pasar sayuran. Berbagai faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan akan selalu berubah, sehingga jalur waktu harga sayuran akan selalu menunjukkan variasi. Pada kondisi persaingan, fluktuasi harga dapat disebabkan oleh pergeseran penawaran dan permintaan. Komparasi variabilitas harga di tingkat pasar yang berbeda dapat memberikan indikasi lokus instabilitas harga. Table 15 membandingkan variabilitas harga bulanan kentang, tomat, kubis dan siampo di tingkat sentra produksi dan tingkat grosir selama periode 19972001. Koefisien variasi harga kentang ternyata lebih rendah dibandingkan tiga komoditas lainnya di kedua tingkat pasar. Table 15 Variasi harga kentang di tingkat sentra produksi (Pangalengan) dan tingkat grosis (PIKJ), 1997-2001 Harga Rata-rata Komoditas

Standar Deviasi Harga

Koefisien Variasi (%)

Sentra produksi

Grosir

Sentra produksi

Grosir

Sentra produksi

Grosir

Kentang

1 828,65

2 081,17

625,50

693,28

34,21

33,31

Tomat

1 048,53

1 455,33

617,72

753,89

58,91

51,80

Kubis

694,40

897,75

399,55

452,59

57,54

50,41

Siampo

450,35

616,25

199,34

213,60

44,26

34,66

Hal ini mengindikasikan bahwa harga kentang relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga tomat, kubis dan siampo. Besaran koefisien variasi harga kentang, tomat, kubis dan siampo di tingkat sentra produksi secara konsisten ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat grosir. Hal ini mengimplikasikan bahwa produsen harus menghadapi risiko harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang besar/grosir. Dari perspektif lain, hal ini konsisten dengan kondisi pasar persaingan sempurna dimana penawaran jangka pendek komoditas pertanian biasanya relatif inelastis jika dibandingkan dengan permintaan konsumen (Tomek and Robinson, 1981).

15

Salah satu kunci sukses pemasaran sayuran adalah pemahaman utuh menyangkut pergerakan harga musiman suatu komoditas. Perkiraan pola harga musiman dari suatu komoditas dapat diduga dengan menghilangkan pengaruh trend dan menghitung harga rata-rata bulanan. Perkiraan pola harga musiman dapat terlihat dengan mengekspresikan rata-rata harga setiap bulan sebagai persentase dari rata-rata total harga dalam periode waktu tertentu. Tabel 16 menunjukkan pola harga musiman kentang di tingkat sentra produksi dan tingkat grosir dalam periode waktu 1997-2001. Untuk harga kentang di tingkat sentra produksi, pada bulan Pebruari, harga kentang rata-rata ternyata berada 18% di bawah harga rata-rata total selama periode1997-2001, sedangkan pada bulan November harga kentang ratarata berada 21% di atas harga rata-rata total selama periode 1997-2001. Pola musiman yang sama ternyata juga berlaku untuk harga kentang di tingkat grosir. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode 1997-2001, harga kentang terendah terjadi pada bulan Pebruari, sedangkan harga kentang tertinggi tercapai pada bulan November. Table 16 Pola musiman harga kentang di tingkat sentra produksi (Pangalengan) dan tingkat grosir (PIKJ), 1997-2001 Bulan J

P

M

A

M

J

J

A

S

O

N

D

Tingkat Rata-rata harga bulanan (Rp/kg)

Sentra

1556,4

1493,6

1713,8

1773,8

1746,4

1825,8

2040,8

1865,6

1759,4

1878,6

2215,6

2074,0

Grosir

1968,2

1822,6

1906,4

1950,0

2011,4

2083,6

2315,6

2131,0

1978,2

2070,0

2380,4

2356,6

Rata-rata bulanan sebagai % dari rata-rata total a

Sentra

0,85

0,82

0,94

0,97

0,95

1,00

1,12

1,02

0,96

1,03

1,21

1,13

Grosir

0,95

0,88

0,92

0,94

0,97

1,00

1,11

1,02

0,95

0,99

1,14

1,13

a Dihitung dengan membagi setiap harga rata-rata bulanan dengan harga rata-rata bulanan total selama periode 1997-2001 (Rp. 1 828,70 pada tingkat sentra produksi dan Rp. 2 081,20 pada tingkat grosir)

VI. Karakteristik tanaman, sistem pengelolaan (budidaya) dan panen Karakteristik Tanaman Kentang merupakan tanaman dikotil bersifat musiman, berbentuk semak/herba dengan filotaksis spiral. Tanaman ini pada umumnya ditanam dari umbi (vegetatif) sehingga sifat tanaman generasi berikutnya sama dengan induknya. Umbi bibit kentang memproduksi batang utama dalam waktu sekitar 1-2 minggu setelah tanam, tergantung pada tempertaur tanah dan kesiapan fisiologis umbi untuk bertunas. Pada saat batang utama tumbuh menembus permukaan tanah, rizoma juga tumbuh dari bagian batang utama tersebut di bawah tanah. Rizoma tumbuh secara horizontal sepanjang 12,5-30 cm, menebal bagian ujungnya untuk membentuk umbi. Periode inisiasi pembentukan umbi terjadi pada 5-7 minggu setelah tanam. Pada saat ini, tinggi bagian tanaman yang tumbuh di atas permukaan tanah berkisar antara 15-30 cm.

16

Jumlah umbi yang terbentuk akan dipengaruhi oleh lingkungan pada saat pembentukan umbi sedang berlangsung, sedangkan ukuran umbi cenderung dipengaruhi oleh kondisi pertumbuh-an berikutnya. Umbi akan berkompetisi dengan daun dan batang utama untuk mendapatkan fotosintat, sehingga umbi hanya dapat tumbuh jika kelebihan fotosintat tersedia. Dengan demikian, jumlah umbi tinggi memerlukan kondisi yang baik selama minggu pertama dan kedua periode inisiasi pembentukan umbi, sedangkan ukuran umbi yang cukup memerlukan kondisi baik selama periode pertumbuhan umbi. Proses perkembangan umbi merupakan kelanjutan dari proses pembentukan umbi yang keduanya berhubungan dengan aktivitas pertumbuhan tanaman yang terlihat di atas permukaan tanah. Sampai batas tertentu, pertambahan luas daun selalu diikuti dengan penambahan berat umbi. Volume lingkungan tumbuh yang lebih besar akan menghasilkan jumlah umbi lebih sedikit, tetapi dengan ukuran umbi lebih besar. Sebaliknya, volume lingkungan tumbuh yang kecil akan menghasilkan jumlah umbi lebih banyak, namun dengan ukuran umbi lebih kecil. Proses pertumbuhan umbi berakhir bila seluruh daun telah berwarna kuning. Kebutuhan Iklim a. b. c. d.

Daerah dengan curah hujan rata-rata 1500 mm/tahun sangat sesuai untuk membudidayakan kentang. Daerah yang sering mengalami angin kencang tidak cocok untuk budidaya kentang. Lama penyinaran yang diperlukan tanaman kentang untuk kegiatan fotosintesis adalah 910 jam/hari. Lama penyinaran juga berpengaruh terhadap waktu dan masa perkembangan umbi. Suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 18-21 derajat C. Pertumbuhan umbi akan terhambat apabila suhu tanah kurang dari 10 derajat C dan lebih dari 30 derajat C. Kelembaban yang sesuai untuk tanaman kentang adalah 80-90%. Kelembaban yang terlalu tinggi akan menyebabkan tanaman mudah terserang hama dan penyakit, terutama yang disebabkan oleh cendawan.

Media Tanam a. b. c.

Secara fisik, tanah yang baik untuk bercocok tanaman kentang adalah yang berstruktur remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan memiliki lapisan olah yang dalam. Sifat fisik tanah menjamin ketersediaan oksigen dalam tanah. Tanah yang memiliki sifat ini adalah tanah Andosol yang terbentuk di area pegunungan. Keadaan pH tanah yang sesuai untuk tanaman kentang bervariasi antara 5,0-7,0, tergantung varietasnya. Untuk produksi yang baik pH yang rendah tidak cocok ditanami kentang. Pengapuran mutlak diberikan pada tanah yang memiliki nilai pH sekitar 7.

Ketinggian Tempat Daerah yang cocok untuk menanam kentang adalah dataran tinggi/daerah pegunungan, dengan ketinggian antara 1.000-3.000 m dpl. Ketinggian idealnya berkisar antara 1000-1300 m dpl. Beberapa varitas kentang dapat ditanam di dataran menengah (300-700 m dpl). Sistem Pengelolaan (Budidaya) 

Pembibitan Bibit tanaman kentang dapat berasal dari umbi, perbanyakan melalui stek batang dan stek tunas daun.

17

1. Umbi a. Umbi bibit berasal dari umbi produksi berbobot 30-50 gram. Pilih umbi yang cukup tua antara 150-180 hari, umur tergantung varietas, tidak cacat, umbi baik, varitas unggul. b. Umbi disimpan di dalam rak/peti di gudang dengan sirkulasi udara yang baik (kelembaban 80-95%). Lama penyimpanan 6-7 bulan pada suhu rendah dan 5-6 bulan pada suhu 25 derajat C. c. Pilih umbi dengan ukuran sedang, memiliki 3-5 mata tunas. d. Gunakan umbi yang akan digunakan sebagai bibit hanya sampai generasi keempat saja. e. Setelah bertunas sekitar 2 cm, umbi siap ditanam. f. Bila bibit diusahakan dengan membeli, (usahakan bibit yang kita beli bersertifikat), berat antara 30-45 gram dengan 3-5 mata tunas. Penanaman dapat dilakukan tanpa dan dengan pembelahan. Pemotongan umbi dilakukan menjadi 2-4 potong menurut mata tunas yang ada. Sebelum tanam umbi yang dibelah harus direndam dulu di dalam larutan Dithane M-45 selama 5-10 menit. Walaupun pembelahan menghemat bibit, tetapi bibit yang dibelah menghasilkan umbi yang lebih sedikit daripada yang tidak dibelah. Hal tersebut harus diperhitungkan secara ekonomis. 2. Stek batang dan stek tunas Cara ini tidak biasa dilakukan karena lebih rumit dan memakan waktu lebih lama. Bahan tanaman yang akan diambil stek batang/tunasnya harus ditanam di dalam pot. Pengambilan stek baru dapat dilakukan jika tanaman telah berumur 1-1,5 bulan dengan tinggi 25-30 cm. Stek disemaikan di persemaian. Apabila bibit menggunakan hasil stek batang atau tunas daun, ambil dari tanaman yang sehat dan baik pertumbuhannya. 

Pengolahan Media Tanam Lahan dibajak sedalam 30-40 cm sampai gembur benar supaya perkembangan akar dan pembesaran umbi berlangsung optimal. Kemudian tanah dibiarkan selama 2 minggu sebelum dibuat bedengan. Pada lahan datar, sebaiknya dibuat bedengan memanjang ke arah Barat-Timur agar memperoleh sinar matahari secara optimal, sedang pada lahan berbukit arah bedengan dibuat tegak lurus kimiringan tanah untuk mencegah erosi. Lebar bedengan 70 cm (1 jalur tanaman)/140 cm (2 jalur tanaman), tinggi 30 cm dan jarak antar bedengan 30 cm. Lebar dan jarak antar bedengan dapat diubah sesuai dengan varietas kentang yang ditanam. Di sekeliling petak bedengan dibuat saluran pembuangan air sedalam 50 cm dan lebar 50 cm.



Teknik Penanaman Pemupukan Dasar a) Pupuk dasar organik berupa kotoran ayam 10 ton/ha, kotoran kambing sebanyak 15 ton/ha atau kotoran sapi 20 ton/ha diberikan pada permukaan bedengan kurang lebih seminggu sebelum tanam, dicampur pada tanah bedengan atau diberikan pada lubang tanam. b) Pupuk anorganik berupa SP-36=400kg/ha.

18

Cara Penanaman a. b. c. d. e. 

Bibit yang diperlukan jika memakai jarak tanam 70 x 30 cm adalah 1.300-1.700 kg/ha dengan anggapan umbi bibit berbobot sekitar 30-45 gram. Jarak tanaman tergantung varietas. Dimanat dan LCB 80 x 40 sedangkan varietas lain 70 x 30 cm. Waktu tanam yang tepat adalah diakhir musim hujan pada bulan April-Juni, jika lahan memiliki irigasi yang baik/sumber air kentang dapat ditanam dimusim kemarau. Jangan menanam dimusim hujan. Penanaman dilakukan dipagi/sore hari. Lubang tanam dibuat dengan kedalaman 8-10 cm. Bibit dimasukkan ke lubang tanam, ditimbun dengan tanah dan tekan tanah di sekitar umbi. Bibit akan tumbuh sekitar 10-14 hst. Mulsa jerami perlu dihamparkan di bedengan jika kentang ditanam di dataran medium.

Pemeliharaan Tanaman Penyulaman Untuk mengganti tanaman yang kurang baik, maka dilakukan penyulaman. Penyulaman dapat dilakukan setelah tanaman berumur 15 hari. Bibit sulaman merupakan bibit cadangan yang telah disiapkan bersamaan dengan bibit produksi. Penyulaman dilakukan dengan cara mencabut tanaman yang mati/kurang baik tumbuhnya dan ganti dengan tanaman baru pada lubang yang sama. Penyiangan Lakukan penyiangan secara kontinyu dan sebaiknya dilakukan 2-3 hari sebelum/bersamaan dengan pemupukan susulan dan penggemburan. Jadi penyiangan dilakukan minimal dua kali selama masa penanaman. Penyiangan harus dilakukan pada fase kritis yaitu vegetatif awal dan pembentukan umbi. Pemangkasan Bunga Pada varietas kentang yang berbunga sebaiknya dipangkas untuk mencegah terganggunya proses pembentukan umbi, karena terjadi perebutan unsur hara untuk pembentukan umbi dan pembungaan. Pemupukan Selain pupuk organik, maka pemberian pupuk anorganik juga sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Pupuk yang biasa diberikan Urea dengan dosis 330 kg/ha, TSP dengan dosis 400 kg/ha sedangkan KCl 200 kg/ha. Secara keseluruhan pemberian pupuk organik dan anorganik adalah sebagai berikut: a. b.

Pupuk kandang: saat tanam 15.000-20.000 kg. Pupuk anorganik i. Urea/ZA: 21 hari setelah tanam 165/350 kg dan 45 hari setelah tanam 165/365 kg. ii. SP-36: saat tanam 400 kg. iii. KCl: 21 hari setelah tanam 100 kg dan 45 hari setelah tanam 100 kg.

19

c. d.

Pupuk cair: 7-10 hari sekali dengan dosis sesuai anjuran. Pupuk anorganik diberikan ke dalam lubang pada jarak 10 cm dari batang tanaman kentang.

Pengairan Tanaman kentang sangat peka terhadap kekurangan air. Pengairan harus dilakukan secara rutin tetapi tidak berlebihan. Pemberian air yang cukup membantu menstabilkan kelembaban tanah sebagai pelarut pupuk. Selang waktu 7 hari sekali secara rutin sudah cukup untuk tanaman kentang. Pengairan dilakukan dengan cara disiram dengan gembor/embrat/dengan mengairi selokan sampai areal lembab (sekitar 15-20 menit). 

Hama dan Penyakit

Keberhasilan peningkatan produksi sayuran selama ini tidak dapat disangkal juga diikuti oleh dampak negatif penggunaan pestisida berlebih. Salah satu dampak negatif tersebut adalah semakin resistennya hama/penyakit terhadap pestisida serta semakin menurunnya ketersediaan dan keragaman berbagai organisme berguna. Sampai saat ini, hama penyakit masih merupakan kendala utama produksi kentang, karena dapat menyebabkan kehilangan hasil dengan kisaran 25-90%. Hama penting pada kentang diantaranya adalah Pthorimaea operculella, Myzus persicae dan Thrips spp. Leaf miner oleh Liriomyza huidobrensis yang pada awalnya merupakan hama sekunder juga mulai berkembang sebagai hama utama. Hama lain yang juga harus mulai diperhatikan adalah Bemesia tabaci and nematoda. Berikut ini adalah beberapa hama penyakit penting kentang serta hasil identifikasi tim survai JICA (2003) di beberapa propinsi penghasil kentang di Indonesia. Hama a.

Ulat grayak (Spodoptera litura) Gejala: ulat menyerang daun dengan memakan bagian epidermis dan jaringan hingga habis daunnya.

b.

Kutu daun (Aphis Sp) Gejala: kutu daun menghisap cairan dan menginfeksi tanaman, juga dapat menularkan virus bagi tanaman kedelai.

c.

Orong-orong (Gryllotalpa Sp) Gejala: menyerang umbi di kebun, akar, tunas muda dan tanaman muda. Akibatnya tanaman menjadi peka terhadap infeksi bakteri.

d.

Hama penggerek umbi (Phtorimae poerculella Zael) Gejala: pada daun yang berwarna merah tua dan terlihat adanya jalinan seperti benang yang berwarna kelabu yang merupakan materi pembungkus ulat. Umbi yang terserang bila dibelah, akan terlihat adanya lubang-lubang.

20

e.

Hama trip ( Thrips tabaci ) Gejala: pada daun terdapat bercak-bercak berwarna putih, selanjutnya berubah menjadi abu-abu perak dan kemudian mengering. Serangan dimulai dari ujung-ujung daun yang masih muda.

Penyakit a.

Penyakit busuk daun Penyebab: jamur Phytopthora infestans. Gejala: timbul bercak-bercak kecil berwarna hijau kelabu dan agak basah, lalu bercak-bercak ini akan berkembang dan warnanya berubah menjadi coklat sampai hitam dengan bagian tepi berwarna putih yang merupakan sporangium. Selanjutnya daun akan membusuk dan mati.

b.

Penyakit layu bakteri Penyebab: bakteri Pseudomonas solanacearum. Gejala: beberapa daun muda pada pucuk tanaman layu dan daun tua, daun bagian bawah menguning. Pengendalian: dengan cara menjaga sanitasi kebun, pergiliran tanaman.

c.

Penyakit busuk umbi Penyebab: jamur Colleotrichum coccodes. Gejala: daun menguning dan menggulung, lalu layu dan kering. Pada bagian tanaman yang berada dalam tanah terdapat bercak-bercak berwarna coklat. Infeksi akan menyebabkan akar dan umbi muda busuk. Pengendalian: dengan cara pergiliran tanaman , sanitasi kebun dan penggunaan bibit yang baik.

d.

Penyakit fusarium Penyebab: jamur Fusarium sp. Gejala: infeksi pada umbi menyebabkan busuk umbi yang menyebabkan tanaman layu. Penyakit ini juga menyerang kentang di gudang penyimpanan. Infeksi masuk melalui luka-luka yang disebabkan nematoda/faktor mekanis. Pengendalian: dengan menghindari terjadinya luka pada saat penyiangan dan pendangiran. Pengendalian kimia dengan Benlate.

e.

Penyakit bercak kering (Early Blight) Penyebab: jamur Alternaria solani. Jamur hidup disisa tanaman sakit dan berkembang biak di daerah kering. Gejala: daun terinfeksi berbercak kecil yang tersebar tidak teratur, berwarna coklat tua, lalu meluas ke daun muda. Permukaan kulit umbi berbercak gelap tidak beraturan, kering, berkerut dan keras. Pengendalian: dengan pergiliran tanaman.

f.

Penyakit karena virus Virus yang menyerang adalah: (1) Potato Leaf Roll Virus (PLRV) menyebabkan daun menggulung; (2) Potato Virus X (PVX) menyebabkan mosaik laten pada daun; (3) Potato Virus Y (PVY) menyebabkan mosaik atau nekrosis lokal; (4) Potato Virus A (PVA) menyebabkan mosaik lunak; (5) Potato Virus M (PVM) menyebabkan mosaik menggulung; (6) Potato Virus S (PVS) menyebabkan mosaik lemas. Gejala: akibat

21

serangan, tanaman tumbuh kerdil, lurus dan pucat dengan umbi kecil-kecil/tidak menghasilkan sama sekali; daun menguning dan jaringan mati. Penyebaran virus dilakukan oleh peralatan pertanian, kutu daun Aphis spiraecola, A. gossypii dan Myzus persicae, kumbang Epilachna dan Coccinella dan nematoda. Pengendalian: tidak ada pestisida untuk mengendalikan virus, pencegahan dan pengendalian dilakukan dengan menanam bibit bebas virus, membersihkan peralatan, memangkas dan membakar tanaman sakit, memberantas vektor dan pergiliran tanaman. Table 17 Hama dan penyakit kentang di 9 propinsi di Indonesia Propinsi

Hama dan Penyakit

Pestisida yang digunakan

Aceh

• • • • • • • • • • • •

Myzus persicae Agrotis ipsilon Empoasca spp Thrips spp Phthorimaea operculella Gryllotalpa spp. Phytophthora infestans Erwinia carotovora Fusarium spp Potato leaf roll virus (PLRV) Alternaria solani Ralstonia solanacearum

- Tamaron - Ridomil MZ 8/64 WP

Sumatera Utara

• • • • • • • • • • •

Liriomyza huidobrensis Thrips spp Agrotis ipsilon Chrysodeixis arichalcea Aphis spp Phthorimaea operculella Gryllotalpa spp Holotricia spp Phytophthora infestans Ralstonia solanacearum Alternaria solani

-

Curacron 500 EC Hostathion 40 EC Marshal 200 EC Bestox 50 EC Topsin M 70 WP Prevecur N Atabron 50 WP Orthene 75 WP Dithane M-45 80 WP Antracol 75 WP Ridomil MZ 8/64 WP

Sumatera Barat

• • • • • • •

Aphis spp Thrips spp Liriomyza huidobrensis Phytophthora infestans Mosair virus Ralstonia solanacearum Fusarium spp

-

Curacron 500 EC Confidor 200 SL Metindo 25 WP Decis 2,5 EC Buldok 25 EC Dithane M-45 80 WP Antracol 75 WP

Jambi

• • • • • • • • • •

Liriomyza huidobrensis Aphis spp Agrotis ipsilon Spodoptera litura Phthorimaea operculella Myzus persicae Thrips spp Phytophthora infestans Ralstonia solanacearum Fusarium spp

-

Mipcin 50 WP Winder Dithane M-45 80 WP Curzate 8/64 WP Antracol 75 WP

22

Propinsi

Hama dan Penyakit

Pestisida yang digunakan

Jawa Barat

• • • • • • • • • • • • • • • • • •

Liriomyza huidobrensis Thrips spp Myzus persicae Agrotis ipsilon Empoasca spp Phthorimaea operculella Henosepilachna sparsa Gryllotalpa spp Holotricia spp Spodoptera litura Aphis spp Phytophthora infestans Ralstonia solanacearum Fusarium spp. Alternania solani Potato leaf roll virus (PLRV) Streptomyces scabies Meloidogyne spp

-

Curacron 500 EC Marshal 200 EC Arrivo 30 EC Spontan 400 WSC Decis 2,5 EC Confidor 200 SL Regent 50 SC Rugby 10 G Dithane M-45 80 WP Curzate 8/64 WP Ridomil MZ 8/64 WP Oktanil 75 WP Daconil 75 WP

Jawa Tengah

• • • • • • • • • • • •

Agrotis ipsilon Thrips spp. Liriomyza huidobrensis Myzus persicae Phthorimaea operculella Gryllotalpa spp Holotricia spp Phytophora infestans Ralstonia solanacearum Alternaria solani Potato leaf rol virus (PLRV) Meliodogyne spp

-

Acrobat 50 WP Sevin 85 SP Buldok 25 EC Pegiasus 500 SL Curacron 500 EC Daconil 75 WP Curzate 8/64 WP Dithane M 45 80 WP

Jawa Timur

• • • • • • • • • • • • • •

Liriomyza huidobrensis Myzus persicae Agrotis ipsilon Gryllotalpa spp Chrysodeixis arichalcea Phthorimaea operculella Aphis spp Bemesia tabaci Spodoptera litura Henosepilachna sparsa Phytophthora infestans Erwinia carotovora Ralstonia solanacearum Fusarium spp.

-

Dursban 20 EC Curacron 500 EC Bancol 50 WP Ambush 2 EC Decis 2,5 EC Padan 50 SP Spontan 400 WSC Curzate 8/64 WP Maneb Dithane M-45 80 WP Antracol 70 WP Daconil 75 Wp Cymaxon Manzate 200 Simoxan

Sulawesi Utara

• • • • • • •

Liriomyza huidobrensis Agrotis ipsilon Myzus persicae Empoasca spp Aphis spp Phthorimaea operculella Thrips spp

-

Decis 2,5 EC Arrivo 30 EC Fastac 15 EC Furadan 3 EC Daconil 75 WP Agrimec 18 EC

23

Propinsi

Sulawesi Selatan

• • • • • • • • • •

Hama dan Penyakit Henosepilachna sparsa Chysodeixis arichalcea Phytophthora infestans Ralstonia solanacearum Fusarium spp Alternaria solani Potato Leaf roll virus (PLRV) Stroptomyces scabies Erwinia carotovora Meloidogyne spp

• • • • • • • • • • • • • • • • •

Liriomyza huidobrensis Agrotis ipsilon Myzus persicae Empoasca spp Aphis spp Phthorimaea operculella Thrips spp Henosepilachna sparsa Chysodeixis arichalcea Phytophthora infestans Ralstonia solanacearum Fusarium spp Alternaria solani Potato Leaf roll virus (PLRV) Stroptomyces scabies Erwinia carotovora Meloidogyne spp

Pestisida yang digunakan - Agrifos 400 AS - Dithane M-45 80 WP - Manzate 200

-

Decis 2,5 EC Arrivo 30 EC Fastac 15 EC Furadan 3 EC Daconil 75 WP Agrimec 18 EC

- Agrifos 400 AS - Dithane M-45 80 WP - Manzate 200

Tabel 17 menunjukkan adanya perbedaan penggunaan pestisida di beberapa propinsi penghasil kentang yang diamati. Hasil observasi memberikan gambaran bahwa: -

Di Nanggroe Aceh Darussalam, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 12 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Tamaron dan Ridomil MZ 8/64 WP;

-

Di Sumatera Utara, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 12-14 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan antara lain adalah Curacron 500 EC, Hostathion 40 EC, Marshal 200 EC, Bestox 50 EC, Topsin M 70 WP, Prevecur N, Atabron 50 WP, Orthene 75 WP, Dithane M-45 80 WP, Antracol 75 WP and Ridomil MZ 8/64 WP;

-

Di Sumatera Barat, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang rata-rata adalah 16 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Curacron 500 EC, Confidor 200 SL, Metindo 25 WP, Lannate 25 WP, Decis 2,5 EC, Buldok 25 EC, Dithane M-45 80 WP and Antracol 75 WP;

-

Di Jambi, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 14 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Mipcin 50 WP, Winder, Dithane M-45 80 WP, Curzate 8/64 WP and Antracol 75 WP;

-

Di Jawa Barat, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 20 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Curacron 500 EC, Marshal 200 EC, Arrivo 30 EC, Spontan 400 WSC , Decis 2,5 EC, Confidor 200 SL, Regent 50 EC,

24

Rugby 10 G, Dithane M-45 80 WP, Curzate 8/64 WP, Ridomil MZ 8/64 WP, Oktanil 75 WP, Daconil 75 WP and Antracol 70 WP;



-

Di Jawa Tengah, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 10-14 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Acrobat 50 WP, Sevin, Buldok 25 EC, Pegasus 500 SL, Curacron 500 EC, Daconil 75 WP, Curzate 8/64 WP and Dithane M-45 80 WP;

-

Di Jawa Timur, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 15-20 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Dursban 20 EC, Curacron 500 EC, Bancol 50 WP, Ambush 2 EC, Decis 5,5 EC, Padan 50 SP, Spontan 400 WSC, Curzate 8/64 WP, Maneb, Dithane M-45 80 WP, Antracol 70 WP, Daconil 75 WP, Cymaxon, Manzate 200 and Simoxan;

-

Di Sulawesi Utara, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 8-10 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Decis 2,5 EC, Arrivo 30 EC, Fastac 15 EC, Furadan 3G, Daconil 75 WP, Agrimec 18 EC, Agrifos 400 AS, Dithane M-45 80 WP and Manzate 200; and

-

Di Sulawesi Selatan, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 1012 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Dursban 20 EC, Agrimec 18 EC, Confidor 200 SL and Ridomil MZ 8/64 WP.

Panen Ciri dan Umur Panen Umur panen pada tanaman kentang berkisar antara 90-180 hari, tergantung varietas tanaman. Pada varietas kentang genjah, umur panennya 90-120 hari; varietas medium 120-150 hari; dan varietas dalam 150-180 hari. Secara fisik tanaman kentang sudah dapat dipanen apabila daunnya telah berwarna kekuningkuningan yang bukan disebabkan serangan penyakit; batang tanaman telah berwarna kekuningan dan agak mengering. Selain itu tanaman yang siap panen kulit umbi akan lekat sekali dengan daging umbi, kulit tidak cepat mengelupas bila digosok Cara Panen Waktu memanen sangat dianjurkan dilakukan pada waktu sore hari/pagi hari dan dilakukan pada saat hari cerah. Cara memanen yang baik adalah sebagai berikut: cangkul tanah disekitar umbi kemudian angkat umbi dengan hati hati dengan menggunakan garpu tanah. Setelah itu kumpulkan umbi ditempat yang teduh. Hindari kerusakan mekanis waktu panen.



Pascapanen Penyortiran dan Pengkelasan Umbi yang baik dan sehat dipisahkan dengan umbi yang cacat dan terkena penyakit. Kegiatan ini akan mencegah penularan penyakit kepada umbi yang sehat. Kentang di sortir berdasarkan ukuran umbi (tergantung varitas).

25

Penyimpanan Simpan umbi kentang dalam rak-rak yang tersusun rapi, sebaiknya ruangan tempat penyimpanan dibersihkan dan disterilisasi dahulu agar terbebas dari bakteri. Simpan di tempat yang tertutup dan berventilasi. Pengemasan dan Pengangkutan Alat pengemas harus bersih dan terbuat dari bahan yang ringan. Pengemas harus berventilasi dan di bagian dasar dan tepi diberi bahan yang mengurangi benturan selama pengangkutan. Pembersihan Petani konvensional hampir tidak pernah membersihkan umbi. Untuk memasarkan kentang di pasar swalayan/ke luar negeri, kentang harus dibersihkan terlebih dulu. Bersihkan umbi dari segala kotoran yang menempel dengan lap. Lakukan perlahan-lahan jangan sampai menimbulkan lecet-lecet. Selain itu umbi dapat dibersihkan dengan cara dicuci di air mengalir yang tidak terlalu deras kemudian dikering-anginkan. Umbi yang bersih akan memperpanjang keawetan umbi selain itu juga akan menarik konsumen VII. Analisis finansial usahatani •

Analisis finansial produksi kentang konsumsi

Secara umum, kentang dapat dikategorikan sebagai tanaman yang memiliki karakteristik: membutuhkan masukan tinggi, menghasilkan luaran tinggi dan mengandung risiko pengusahaan tinggi (a high-input, high-output, high-risk crop). Respon hasil yang tinggi terhadap masukan, misalnya bibit berkualitas baik, pupuk, pestisida dan tambahan tenaga kerja, memotivasi petani untuk menggunakan masukan lebih tinggi pada tanaman kentang dibandingkan dengan tanaman sayuran lain. Sementara itu, tingkat produktivitas yang relatif tinggi dari tanaman kentang, periode pertumbuhan yang relatif pendek, dan tingginya nilai pasar komoditas bersangkutan menyebabkan usahatani kentang, terutama di negara-negara berkembang, dapat menghasilkan tingkat pengembalian per hektar dan per hari yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain. Namun demikian, perlu pula diperhatikan bahwa tanaman kentang ini rentan terhadap serangan hama penyakit, cekaman kelembaban serta perubahan cuaca ekstrim. Kerentanan tersebut cenderung menyebabkan produksi kentang memiliki variabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya. Variabilitas hasil, fluktuasi harga serta biaya input tinggi menyebabkan usahatani kentang termasuk jenis usaha yang berisiko tinggi, namun masih relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Komersialisasi usahatani kentang pada dasarnya tercermin dari proporsi hasil panen yang sebagian besar dijual ke pasar. Struktur hubungan harga pasar yang terbentuk berdasarkan keterkaitan antara petani, surplus hasil dan pasar, akan sangat berpengaruh terhadap alokasi masukan usahatani. Sebelum memulai usahatani kentang, untuk konsumsi meja maupun bibit, sangatlah penting untuk mempertimbangkan berbagai komponen biaya yang berkaitan erat dengan operasionalisasi usaha. Tabel 18 menunjukkan komposisi biaya berbagai komponen masukan pada usahatani kentang di salah satu sentra produksi penting di Indonesia.

26

Pola serupa yang dapat diamati dari komposisi biaya di berbagai sentra produksi lainnya adalah kontribusi komponen bibit dan pestisida yang relatif tinggi. Tingginya kontribusi bibit terhadap biaya produksi merupakan salah satu implikasi ekonomis reproduksi tanaman kentang melalui cara vegetatif (berbeda dengan tanaman yang menggunakan benih). Pengeluaran untuk material pertanaman menjadi lebih tinggi, jika bibit yang digunakan berasal dari impor. Sementara itu, besarnya komponen biaya pestisida secara tidak langsung mencerminkan masih tingginya ketergantungan petani terhadap cara pengendalian kimiawi. Pencegahan dan resiko kegagalan panen merupakan pertimbangan utama yang mendorong petani melakukan penyemprotan rutin dan bahkan pencampuran pestisida. Secara teoritis, setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari bidang usaha yang dipilihnya. Keuntungan maksimal ini dapat diperoleh dengan meminimalkan biaya produksi pada tingkat output tertentu, atau sebaliknya memaksimalkan ouput pada tingkat biaya produksi tertentu. Selain itu, keuntungan maksimal juga dapat diperoleh melalui substitusi faktor produksi yang satu dengan lainnya, sepanjang nilai yang dikeluarkan untuk input pengganti lebih kecil dibandingkan dengan nilai input yang digantikan (pada tingkat output yang sama). Pelaku ekonomi akan terus meningkatkan produksinya sepanjang penerimaan dari setiap unit ouput masih lebih besar dibandingkan dengan biaya produksinya (Colman and Young, 1989). Dalam pengambilan keputusan seperti di atas, pelaku ekonomi membutuhkan indikator kelayakan yang dapat diperoleh dari analisis biaya dan pendapatan (ABP). ABP dapat mencerminkan perencanaan fisik dan finansial operasionalisasi suatu usahatani pada periode waktu tertentu. ABP merupakan teknik sederhana yang paling banyak digunakan dalam analisis ekonomi untuk membantu pengelola dalam mengambil keputusan usahatani yang dapat memaksimalkan keuntungan (Dillon & Hardaker, 1980). Komponen biaya untuk sarana produksi berkisar antara 60-80% mendominasi biaya produksi usahatani kentang. Komponen biaya untuk bibit berkisar antara 20-30%, sedangkan untuk pestisida bahkan dapat berkisar antara 20-40%. Sementara itu, biaya pupuk organik dan pupuk buatan relatif hampir seimbang, berkisar antara 8-11%. Komponen biaya tenaga kerja juga relatif tinggi, yaitu berkisar antara 15-21%. Informasi input-output yang dihimpun pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nisbah benefit/biaya > 0 (indikasi bahwa usahatani tersebut memperoleh keuntungan dan layak secara finansial). Namun demikian, indikator tersebut perlu diinterpretasikan secara hati-hati, karena besaran nisbah penerimaan/biaya sangat sensitif terhadap perubahan harga (terutama harga luaran). Fluktuasi harga kentang seringkali menghadapkan petani pada tingkat harga di bawah titik impas, sehingga peluang mengalami kerugian yang secara eksplisit tidak tergambarkan pada Tabel 18 sebenarnya juga cukup tinggi.

27

Tabel 18 Contoh kasus biaya produksi dan pendapatan usahatani kentang per hektar Uraian

A. Sarana Produksi Bibit Pupuk Organik Pupuk Buatan • NPK • ZA • SP-36 • KCl • PPC/GIARO Pestisida • Insektisida • Fungisida B. Tenaga Kerja • Mencangkul • Meratakan tanah • Membuat lubang tan. • Mengangkut ppk & bibit • Memasang ppk kandang • Memasang pupuk buatan • Melakukan sortasi bibit • Menanam • Menyiang • Menimbun ke 1 • Melakukan pengobatan • Memasang ajir • Mengikat • Menimbun ke 2 • Melakukan pemangkasan • Melakukan pemanenan • Melakukan sortasi hasil • Melakukan pengepakan • Mengangkut hasil • Menimbang hasil C. Lain-lain Transportasi petani Penyusutan alat Sewa lahan Perekat Karung Tali rafia Biaya Total • Harga (Rp/kg) • Produktivitas (kg/ha) • Σ kentang konsumsi (kg) • Σ kentang bibit (kg) Pendapatan Kotor Pendapatan Bersih B/C

Pangalengan, Jawa Barat, 2003 Bibit G6 Jumlah Nilai % (Rp. 000) 18 350 67,3 1 500 kg 7 500 27,5 12 ton 2 400 8,8 2 200 8,1 700 kg 2 100

10 l 25 l 75 kg

100 6 250 2 500 3 750

170 hok 14 hok 14 hok 14 200 kg 12 000 kg 10 hok 6 hok 60 hok 50 hok 30 hok 60 hok 14 hok 28 hok 30 hok 14 hok 100 hok 20 hok 10 hok 18 000 kg 3 hok

1 190 98 98 710 120 70 42 300 250 210 420 98 140 210 98 500 140 70 900 21

20 kali

200 250 2 100 200 432 40 27 257

Pangalengan, Jawa Barat, 2004 Bibit G5 Jumlah Nilai % (Rp. 000) 80,0 1 500 kg 6 000 20,2 16 000 kg 3 200 10,8 9,0 600 kg 700 kg 300 kg 20 tablet

630 1 085 510 480

35 l 70 kg

3 850 8 050

170 hok

1 190

45 hok

315

75 hok

487,5

80 hok 60 hok

520 420

40 hok

260

185 hok

1 245

22,9

40,0

20,9

14,9

11,8

1 ha 10 l 540 lbr 4 kg 2 000 18 000 16 000 2 000

5,1

1 ha

100,0

1 500

29 742,5

100,0

2 000 25 000 25 000

34 000 6 743 0,25

50 000 20 257,5 0,68

28



Analisis finansial perbanyakan cepat bibit kentang bebas virus

Proses pembibitan dimulai dari in-vitro plantlet yang digunakan untuk memproduksi tuberlets dalam rumah plastik atau untuk memproduksi mother plants yang merupakan sumber dari stek batang. Analisis finansial mencakup satu siklus produksi bibit (G0 sampai G4) sebagai berikut: plantlets

cuttings

screen-house

G0

G0

tubers

screen-house

G1

G1

tubers

open field

G2

G2

tubers

open field

G3

G3

tubers

open field

G4

Jadwal tentatif/hipotetis penanaman dan panen adalah sebagai berikut: Bibit

Lokasi tanam

Tanam

Panen

Bibit siap jual atau tanam

Plantlet

Screen

Okt 2003

Jan 2004

Apr 2004

Tanam G0

Screen

Apr 2004

Agu 2004

Nov 2004

Tanam G1

0.28 ha

Nov 2004

Feb 2005

Jun 2005

Tanam G2

0.56 ha

Jun 2005

Sep 2005

Jan 2006

Tanam G3

0.93 ha

Jan 2006

Apr 2006

Agu 2006

Target produksi dan komposisinya (kg) Generasi

Produksi total

Busuk

Kehilangan hasil

Bibit

Kentang konsumsi

Ditanam kembali

Dijual

G0

13 000 tblts

-

650 tblts

-

7 410 tblts

4 940 tblts

G1

1 650

148

45

165

904

388

G2

4 520

384

115

678

1 337

2 006

G3

8 910

713

214

1 782

1 860

4 341

G4

12 610

1 115

335

3 720

-

7 440

Tabel berikut ini menggambarkan tahapan penghitungan B/C ratio (Benefit Cost Ratio), NPV (Net Present Value) dan IRR (Internal Rate of Return).

29

A.

Investasi dan Modal Kerja

1

Investasi • Screen/rumah plastik (120 m2) • Peralatan (sprayer, cangkul, dll.)

2

B.

3 000 000 500 000

Modal Kerja • Sewa tanah

Sub total

3 500 000

3 x 0.012 x 2 500 000 0.10 x 2 500 000 0.28 x 2 500 000 0.56 x 2 500 000 0.93 x 2 500 000

90 000 250 000 700 000 1 400 000 2 325 000 2 250 000



Perlengkapan untuk aktivitas di rumah plastik dan lapangan

3 x 750 000



Gaji pengawas

3 x 12 x 300 000

10 800 000

Sub total Total

17 815 000 21 215 000

Sumber Pendanaan

1

Kredit pinjaman dari Bank dengan tingkat bunga 10% per tahun

2

Dana yang dihimpun dan dimiliki kelompok

9 000 000 12 215 000 Total

21 215 000

C. Perencanaan Produksi Tahun 1 Bibit (G0) (tuberlets) Harga jual (Rp./tuber) Nilai (Rp.) Bibit (G1) (kg) Harga jual (Rp./kg) Nilai (Rp.) Kentang konsumsi (kg) Harga jual (Rp./kg) Nilai (Rp.) Bibit (G2) (kg) Harga jual (Rp./kg) Nilai (Rp.)

Tahun 2

Tahun 3

4 940 1 000 4 940 000 388 13 500 5 238 000 165 2 000 330 000 2 006 11 000 22 066 000

30

Kentang konsumsi (kg) Harga jual (Rp./kg) Nilai (Rp.)

678 2 000 1 356 000

Bibit (G3) (kg) Harga jual (Rp./kg) Nilai (Rp.)

4 341 8 000 34 728 000

Kentang konsumsi (kg) Harga jual (Rp./kg)

1 782 2 000

Nilai (Rp.)

3 564 000

Bibit (G4) (kg) Harga jual (Rp./kg) Nilai (Rp.)

9 709 5 000 48 545000

Kentang konsumsi (kg) Harga jual (Rp./kg) Nilai (Rp.)

3 720 2 000 7 440 000

D. Biaya Produksi Biaya variabel Tahun

Bibit (Rp.)

Input Lain (Rp.)

Tenaga Kerja (Rp.)

Macam-macam (Rp.)

Sub total (Rp.)

1

7 710 000

1 775 000

2 130 000

400 000

12 015 000

2

26 911 000

6 720 000

3 360 000

840 000

37 831 000

3

14 880 000

7 440 000

3 720 000

930 000

26 970 000

Total

76 816 000

Biaya tetap Tahun

Pemeliharaan (fasilitas dan peralatan) (Rp.)

Macam-macam (Rp.)

1–3

1 800 000

600 000

Total (Rp.) 2 400 000

31

E.

Analisis Finansial

Anggaran Implementasi 1.

Pinjaman

Sumber Dana Rp. 9 000 000



2.

Kelompok

Rp. 12 215 000



Rp. 21 215 000

Total

Total

Utilisasi Investasi Rp. 3 500 000 • Screen/rumah plastik • Peralatan (sprayer, cangkul, dll.) Modal Kerja Rp. 17 815 000 • Sewa lahan • Perlengkapan untuk mendukung aktivitas di rumah plastik dan lapangan • Pengawas Rp. 21 215 000

Pembayaran pinjaman dan bunga Tahun 1 2 3

Utama

Cicilan Tahunan 9 000 000 6 000 000 3 000 000

3 000 000 3 000 000 3 000 000

Bunga (10%/thn) 900 000 600 000 300 000

32

Analisis Laba/Rugi No

Tahun 2

1 A

3

Penerimaan Bibit (G0)

4 940 000

Bibit (G1) Kentang konsumsi

5 238 000 330 000

Bibit (G2)

22 066 000

Kentang konsumsi

1 356 000

Bibit (G3) Kentang konsumsi

34 728 000 3 564 000

Bibit (G4) Kentang konsumsi Penerimaan Total

48 545000 7 440 000 10 508 000

61 714 000

55 985 000

3 600 000 340 000 750 000 600 000 200 000

3 600 000 2 100 000 750 000 600 000 200 000

3 600 000 2 325 000 750 000 600 000 200 000

7 710 000 1 775 000 2 130 000 400 000 900 000

26 911 000 6 720 000 3 360 000 840 000 600 000

14 880 000 7 440 000 3 720 000 930 000 300 000

Biaya Operasional Total

18 405 000

45 681 000

34 745 000

C

Benefit

- 7 897 000

16 033 000

21 240 000

D

Pajak (20%)

0

3 206 600

4 248 000

E

Net Benefit

- 7 897 000

12 826 400

16 992 000

B

Biaya-biaya Operasional Biaya tetap • • • • •

Pengawas Sewa lahan Perlengkapan Pemeliharaan Macam-macam

Biaya variabel • • • • •

Bibit Input Lain Tenaga Kerja Macam-macam Bunga Modal (10%)

33

Analisis Benefit/Cost No

Tahun 2

1 A

Bibit (G0)

4 940 000

Bibit (G1) Kentang konsumsi

5 238 000 330 000

Bibit (G2) Kentang konsumsi

22 066 000 1 356 000

Bibit (G3) Kentang konsumsi

34 728 000 3 564 000

Bibit (G4) Kentang konsumsi Penerimaan Total B

3

Penerimaan

48 545000 7 440 000 10 508 000

61 714 000

55 985 000

3 600 000 340 000 750 000 600 000 200 000

3 600 000 2 100 000 750 000 600 000 200 000

3 600 000 2 325 000 750 000 600 000 200 000

7 710 000 1 775 000 2 130 000 400 000 900 000

26 911 000 6 720 000 3 360 000 840 000 600 000

14 880 000 7 440 000 3 720 000 930 000 300 000

Cicilan utama

3 000 000

3 000 000

3 000 000

Biaya Total

24 905 000

48 681 000

37 745 000

- 14 397 000

13 033 000

21 240 000

Biaya-biaya Investasi

3 500 000

Biaya tetap • • • • •

Pengawas Sewa lahan Perlengkapan Pemeliharaan Macam-macam

Biaya variabel • • • • •

Bibit Input lain Tenaga kerja Macam-macam Bunga modal (10%)

C

Benefit

D

Pajak (20%)

0

2 606 600

4 248 000

E

Net Benefit

- 14 397 000

10 426 400

16 992 000

34

F. NPV pada DF (10%), (40%) and (55%) Tahun

Penerimaan

Biaya

Pajak

Net Benefit

DF=10%

NPV pada DF=10%

Discounted Benefit

Discounted Biaya

(1)

(2)

(3)

(4) = (1)-(2)-(3)

(5)

(6) = (4) x (5)

(7) = (1) x (5)

(8) = (2+3)x(5)

1

10 508 000

24 905 000

0

- 14 397 000

0.909

- 13 086 873

9 551 772

18 170 910

2

61 714 000

46 681 000

2 606 600

10 426 400

0.826

8 612 206

50 975 764

28 462 969

3

55 985 000

37 745 000

4 248 000

16 992 000

0.751

12 760 992

42 044 735

35 669 947

8 286 325

102 572 271

82 303 826

Tahun

DF=40%

NPV pada DF=40%

DF=55%

NPV pada DF=55%

(9)

(10) = (4) x (9)

(11)

(12) = (4) x (11)

1

0.714

- 10 279 458

0.645

- 9 286 065

2

0.510

5 317 464

0.416

4 337 382

3

0.364

6 185 088

0.268

4 553 856

1 223 094

- 394 827

Beberapa temuan yang dapat ditarik dari analisis ini adalah: •

Metode NPV menggunakan biaya oportunitas modal sebagai discount rate. NPV biasa digunakan untuk memeriksa kelayakan suatu usaha dengan menerima semua jenis usaha yang NPVnya sama dengan atau lebih besar dari nol. Namun demikian, besaran NPV ini harus didiskon dengan biaya oportunitas modal yang memadai. Pada kasus usaha perbenihan kentang ini, NPV pada DF(10%) sama dengan 8 286 325 (positif). Hal ini mengimplikasikan bahwa net benefit yang akan diterima dalam tiga tahun ke depan (Rp. 13 021 400) akan bernilai Rp. 8 286 325 pada saat ini, dengan tingkat bunga 10% per tahun. Oleh karena NPVnya lebih besar dari nol, maka opsi memproduksi benih kentang bebas virus secara finansial dapat diterima/layak.



Suatu usaha perbenihan akan mengacu pada kriteria komersial normal (yaitu insentif finansial atau motif keuntungan maksimal) yang mensyaratkan tingkat penerimaan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. B/C ratio adalah rasio antara semua tambahan benefit tahunan yang telah didiskon, dengan semua biaya yang dikeluarkan untuk opsi tertentu. Besaran ini menggambarkan benefit yang dihasilkan oleh suatu proyek/usaha per unit biaya dari proyek tersebut yang diekspresikan dalam nilainya saat ini. Suatu usaha tidak akan mampu membayar tingkat bunga yang dapat menyebabkan B/C ratio lebih kecil dari satu, karena keuntungan yang diperoleh tidak akan dapat menutupi biaya awal. Dengan kata lain, nilai saat ini dari biaya melampaui nilai saat ini

35

dari benefit. Hasil analisis mengindikasikan bahwa B/C ratio = 102 572 271/82 303 826 = 1.25 > 1. Hal ini mengimplikasikan bahwa proyek pembibitan kentang bebas virus dapat dikategorikan sebagai opsi yang layak dan dapat direkomendasikan sebagai “go” proyek. •

Tingkat pengembalian internal (internal rate of return/IRR) adalah tingkat peminjaman maksimum atau tingkat bunga maksimum yang dapat dibayarkan oleh suatu unit usaha untuk menutupi semua investasi dan biaya operasional. Titik impas pengembalian terjadi pada saat nilai sekarang dari aliran penerimaan atau benefit sama dengan nilai sekarang dari aliran biaya (capital outlay). Dengan kata lain, IRR adalah tingkat pengembalian yang memungkinkan nilai sekarang dari keseluruhan aliran benefit dan biaya sama dengan nol (NPV=0). Hasil analisis menunjukkan bahwa IRR dari proyek pembibitan kentang adalah: IRR = 40% + [(1 223 094)/{(1 223 094) – (-394 827)}] [55% - 40%] = 40% + [(1 223 094/1 617 921)] [15%] = 40% + 11.34% = 51.34% Hal ini mengandung arti bahwa jika biaya modal dari usaha pembibitan kentang didanai dari peminjaman ke bank dengan tingkat bunga lebih besar dari 50% (tingkat bunga aktual diasumsikan 10% per tahun), maka usaha tersebut masih dapat menerima pendapatan yang cukup membayar pinjaman dan bunga. Hasil evaluasi finansial menyarankan bahwa proyek pembibitan kentang bebas virus dapat dikategorikan sebagai opsi yang layak dan dapat direkomendasikan sebagai “go” proyek.

VIII. Perkembangan plasma nutfah/benih dan penelitian Tabel 19

Koleksi plasma nutfah kentang Balitsa

No No LV • RPTP Plasma Nutfah 1 36 2 80 3 41 4 19 5 21 6 42 7 40 8 3 9 38 10 RP 11 7 12 33 13 30 14 27 15 31 16 8 17 9 18 10 19 42 20 21 21 35

No 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71

No LV 3153 44 AH 11 YP 90-103 AH 12 YP 89-070 53 AH 50 5170 65 AH 5 42 56 49 68 59 51 56 VANDA 94 58

No No LV • Sujoko Sahat 101 Atlantic 102 Atlantik 103 Vanda 104 Merbabu 105 Desiree 106 Granola L 107 Sumbar 108 TS 2 109 Erika 110 Crespo 111 Coliban 112 Agria 113 Akira 114 Ultra 115 CIP 7 116 Klon 3 117 Klon 5 118 Klon 9 119 Klon 10 120 Klon V2 121 Klon V3

No

No LV

149 150 151 152 153 154

Berolina Kennebec Serrana Inta MF II 385130. II/FLS-5 Segunung

36

22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

16 5A G0 26 39 54 49 28 36 24 45 27

72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83

10 15 KERINCI L KERINCI B MC 31 Ps Giham Harto 22 AH 15 GB 12

34

50

84

8

35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50

32 11 34 13 25 35 37 60 23 Atlantik 62 Desire aust 57 5220 5169 5189

85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 10 0

34 Dunja Granola AH 3 50 J8 No 37 39 AH 45 47 32 No 8 14 2 AH 4 G–0

122 123 124

Klon PI YP 89 – 070 YP 90 – 103

• Asih Kartasih 125 Atlantik 126 Ingabire 127 Sante 128 No. 676068/I. 1085 129 Atzimba 130 Russet Burbank 131 No. 095 (HertaxFLS-17) 132 No. 239 (HerthaxKlon 17) 133 Desiree 134 Granola 135 LBr-40 136 Akira 137 Agria 138 Pimpernel 139 DTO-33 140 Cosima 141 38455.8.10/FBA-4 142 720050/Kikondo 143 Merbabu-17 144 Latif 145 Cipanas 146 Amoedra 147 Manohara 148 Batang hitam

Penelitian kentang yang telah dilaksanakan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran dalam dua dekade terakhir, secara ringkas diuraikan berdasarkan disiplin ilmu serta topik penelitian. Uraian ini pada dasarnya merupakan sintesis dari laporan hasil penelitian kentang yang dipublikasikan dan tidak dipublikasikan. Pemuliaan Penelitian pemuliaan dan plasma-nutfah kentang periode 1980-2000 yang telah dipublikasikan sebanyak 93 artikel. Tabel-tabel dibawah ini memperlihatkan sebaran topik, jumlah artikel, varietas, asal serta ekosistem tempat penelitian pada masing-masing bidang Penelitian Pemuliaan Tanaman, Perbenihan dan Plasma-nutfah. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik adalah : a. Topik penelitian pemuliaan ada 26 artikel dengan proporsinya sebesar 28%, penelitian perbenihan/perbanyakan ada 65 artikel dengan proporsinya sebesar 70% dan penelitian plasmanutfah ada 2 artikel dengan proporsinya sebesar 2%. b. Materi penelitian yang digunakan dalam penelitian pemuliaan dan plasma nutfah berjumlah 197 varietas/klon/nomor silangan. Jenis kultivar yang dominan digunakan dalam penelitian pemuliaan dan plasma nutfah adalah Granola (27 penelitian).

37

c. Introduksi varietas kentang berasal dari beberapa lembaga penelitian internasional seperti: CIP dan AVRDC. Selain itu juga introduksi dari beberapa negara seperti: Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Filipina dan Srilangka. d. Ekosistem yang digunakan untuk penelitian kentang adalah dataran tinggi 85% (terdiri dari penelitian di lapangan,rumah kaca dan laboratorium), dataran medium 14% (semua penelitian dilaksanakan di lapangan), serta dataran rendah 1% berupa penelitian lapangan. Hasil penelitian pemuliaan tanaman kentang berdasarkan topik diuraikan secara singkat di bawah ini: 1. Persilangan tanaman kentang termasuk pembungaan, pembuahan dan pembijiannya (3 artikel): • • • • • •

Varietas E 1282-19 dapat menghasilkan 14 buah/tanaman dengan perlakuan 40 ppm asam giberelat dan setiap buah dapat menghasilkan 200 biji. Persilangan Solanum phureja yang bersifat haploid (2x=24) adalah sebagai donor. Bila disilangkan dengan tetraploid (4x) maka turunannya akan bersifat tetraploid hibrida (4x) yang relatif mantap dan komersial. Penggunaan umbi bibit dengan ukuran besar (55-60 g) disertai penyemprotan 40 ppm GA-3 dan pemangkasan pucuk yang ditinggalkan 3 klaster dapat meningkatkan jumlah bunga dan buah. Varietas kentang yang sulit berbunga pada kondisi pembentukan bunga, buah dan biji dengan cara penanaman di atas batu bata atau sobekan plastik. Tanaman semaian pada umur 3,4 dan 5 minggu setelah semai tidak berpengaruh terhadap hasil umbi tanaman kentang asal biji botani pada progeni Atzimbax DTO-28 ataupun HPS 7/13. Kultivar Red Pontiac menghasilkan jumlah bunga terbanyak dan bersifat sterilitas tertinggi dibandingkan kultivar Cipanas dan Granola.

2. Seleksi klon pada kentang sebanyak (1 artikel). •

Pengujian klon seleksi kentang di Lembang menunjukkan bahwa hasil bobot umbi varietas Thung 151-2/29 (27,9 t/ha) dan Rapan 106-4/5 (27, 6 t/ha).

3. Introduksi dari beberapa lembaga penelitian internasional (CIP dan AVRDC) dan beberapa negara (1 artikel). • •

Spunta merupakan varietas introduksi yang mempunyai harapan untuk dikembangkan lebih lanjut untuk umbi bibit maupun konsumsi. Varietas agria, Remaka, Diamant dan Desiree dapat beradaptasi di Indonesia dengan hasil bobot dan ukuran umbi lebih tinggi dibandingkan kontrol (Granola).

4. Uji adaptasi di dataran tinggi, medium dan rendah (9 artikel). • • •

Varietas kondor dapat beradaptasi di dataran tinggi dengan hasil 20,0 t/ha sebanding dengan kontrol Cipanas dengan hasil 17,6 t/ha selanjutnya diikuti Red Pontiac, Sebago, Diamant, Draga, Cosima dan Spunta. Varietas kentang yang mempunyai adaptasi baik di dataran medium adalah Katella, Cipanas dan TD 84/166. Klon TD 84-166, MH 6802 merupakan klon harapan menjadi varietas unggul baru yang sebanding dengan kontrol klon Thung 151 C.

38

• • • • • • •

Klon Rapan 106 dan Rapan 181 mempunyai daya hasil cukup tinggi masing-masing 33,0 dan 31,6 t/ha. Adaptasi 6 kultivar kentang di dataran medium menunjukkan bahwa DTO-33 mempunyai daya adaptasi terbaik dengan ditandai pertumbuhan dan bobot umbi tertinggi (38,1 t/ha). Selanjutnya diikuti CV. Desiree. Diamant, Cosima, Granola dan Cipanas. Adaptasi 6 progeni tuberlet asal biji botani di dataran medium menunjukkan progeni No. 71240 dapat memberikan hasil bobot umbi yang tidak berbeda nyata dengan kontrol varietas Granola (10,0 t/ha) dan Cipanas (8,0 t/ha). Red Pontiac, Cosima dan Monza yang berasal dari tuberlet merupakan varietas yang beradaptasi dengan baik di dataran medium dan memberikan hasil bobot umbi (14,6 – 15,5 t/ha) lebih baik dibandingkan Cipanas (10,1 t/ha) dan Berolina (8,5 t/ha). Uji adaptasi 5 kultivar kentang di dataran tinggi Pangalengan menunjukkan bahwa varietas Morene, Mondial, DTO-33 dan Cruza sebanding dengan varietas Granola (kontrol). Varietas Granola dapat beradaptasi lebih baik di dataran medium kabupaten Simalungun dibandingkan varietas Santhe, Hertha, Agria, HPS dan AtzxDTO-28 dengan memberikan hasil umbi tertinggi yaitu 14 t/ha. Varietas Desiree, DTO-33 dan Cosima dapat beradaptasi di dataran medium pada musim penghujan dengan hasil bervariasi berkisar 7,7-15,1 t/ha.

5. Uji daya hasil klon/progeni kentang (5 artikel). • •

Uji daya hasil 11 progeni tanaman kentang dari biji menunjukkan sebanyak 3 progeni (PAS4012, PAS-4004 dan E 1282/19) memberikan hasil bobot dan kualitas umbi cukup tinggi dibandingkan progeni lainnya. Klon BPH 902102 (25,0 t/ha) dan BPH 902105 (23,1 t/ha) merupakan klon harapan yang berpotensi menjadi varietas unggul baru.

6. Uji resistensi terhadap Phytophthora infestans, Psedomonas solanacearum dan toleran panas (5 artikel). • • • •



Varietas Rapan 106 resisten terhadap P. infestans, makin tua umur tanaman akan makin rentan. Uji daya hasil dan resistensi varietas kentang terhadap Phythophthora infestans menunjukkan bahwa varietas Gelda dapat toleran sehingga perlu dipertahankan sebagai bahan pemuliaan untuk hibridisasi. Evaluasi plasma nutfah kentang untuk ketahanan terhadap penyakit layu bakteri menunjukkan 5 klon harapan yaitu 380592.19, 380592.23, 380592.48, 382017.1 dan 382041.1 mempunyai ketahanan tinggi terhadap layu bakteri dan potensi hasil bobot umbinya tinggi. Skrining toleransi panas pada 3 spesies diploid kentang menunjukkan Solanum bulbocastanum menunjukkan kerusakan yang paling rendah di rumah kaca,tetapi setelah perlakuan panas sebaliknya Solanum chacoense, Red Pontiac dan DTO-33 menunjukkan kerusakan lebih sedikit. Pengujian resistensi 9 klon kentang terhadap penyakit busuk daun menyimpulkan 2 klon (HPS 7/13 dan AtzimbaxR/126) termasuk tahan dan 2 klon (10412.LB.OP dan AtzimbaxDTO-28) termasuk toleran.

39

7. Bioteknologi molekuler pelaksanaannya dilakukan di luar negeri (2 artikel). •



Penggunaan prober DNA padi yang dilabel dengan cara non radioaktif dilakukan terhadap n DNA dari 33 klon kentang tetraploid, 9 klon kentang dihaploid, 8 klon transgenik dan 2 klon diploid. Hasil elektroforesis yang dideteksi pada negetif sinar x, ternyata DNA yang direstriksi dengan enzim Eco RI dan kemudian dihibridisasi dengan probe r DNA padi yang dilabel menunjukkan garis-garis yang terpisah jelas merefleksikan pola DNA yang berbeda. Prosedur isolasi protoplasma dari mesofil daun pada 4 galur spesies diploid kentang Solanum chacoense 2, S. chacoense 8, S. microdatum 5 dan S. bulbocastanum 187.21 menunjukkan bahwa penggunaan benziladenin dan asam giberelat tidak menambah kualitas pertumbuhan tunas pucuk in vitro maupun protoplasmanya. Tunas pucuk yang ditumbuhkan dalam media dengan level sukrosa lebih rendah (0,1%) menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik.

Tabel 20 Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian pemuliaan tanaman periode 1980 – 2000. No.

Topik

Jumlah Artikel

1.

Persilangan

3

2.

Seleksi

1

3.

Introduksi

1

Varietas

3 (4x/4x) 1 (4x/2x) 1 (2x/4x) 1 (2x/2x) 5 (OP/OP) Desiree Baraka Diamant Granola Cipanas Red Pontiac Rapan 106/3/5 Rapan 106/4/5 Thung 151-2/3 Thung 151-2/29 Amerika 169 a/4 Amerika 169 a/5 Belanda 652/10 Belanda 652/11 Rapan 106 Thung 151 Desiree Katella Rapan 104 Ajak Cardinal Desiree Estima Diamont Draga Gigant Kondor Morene Nocola Nordstern Red Pontiav Sebago Squoio Spunta Thung 151 Rapan 106

Asal

Ekosistem

DT (2)

DT

Belanda Belanda Belanda Belanda Belanda Belanda Belanda Belanda Belanda Belanda Jerman USA Australia Belanda Belanda Indonesia Indonesia

DT

40

4.

5.

Persilangan

Uji daya hasil

9

5

Cipanas Cosima Katella Katella 1282/19 TD 84/126 Cipanas (5) TD 84/166 Baraka Donata Desiree (4) Draga Estima Exodus Marijke Mirka Edbad Siro Renova Spunta (2) Katela (2) Rapan 106 Rapan 181 Thung 151 C (2) Cosima (5) Aquila Nicola Red Pontiac (@) Segunung Nordstern Morene Cardinal Red la Soda Granola (6) TD-152 800941 Katahdin 381064.7 Diamant DTO-33 (3) BPH 902101 BPH 902102 BPH 902103 BPH 902104 BPH 902105 Berolina Monza Morene Mondial Cruza Santhe Hertha Agria HPS AtzxDTO28 MH 6802 TD 84-166 Thung 151C Nordstern Sequoia Cipanas (3) Katella Cosima B78597.1 B71240.2 B81064.7 B81064.10

Indonesia Jerman Indonesia DT (7)

DT (2)

(2) (2) (2) (2) (2)

DT (4) DM (1)

(2) (2) CIP CIP CIP CIP

41

B81064.12 AVRDC1287.12 1931 M51C.2 Aula Amelia Dunya Ynivita Planta Secura Secala Gelda Desiree Vangoch Diamant Agria Remaka Bevamba Granola 6.

Uji resistensi Pi=Phytophthora Ht=heat tolerant Bw=Bacterial wilt

2 (Pi) 1 (ht)

2 (Bw)

Cosima Draga Rapan 106 Desiree Katella 381064. 3x490 381064. 3xDTO 381064. 3xAVR 381064. 3x7xy 381064. 12xDTO 381064. 12x7xy Conchitaxkufri 385263 385334 385335 385338 Seri 382 Seri 384 Amalia Aulaa Scala Scura Semene Erntestolz Planta Dunja Rex 152/2 Univita Isna Clarisa Granola (3) Desiree PI275187 PI275196 PI320286 PI320304 DTO 33 Red Pontiac Cipanas HPS. 7/13 10412LB. OP AtzimbaxDTO28 AtzimbaxR. 126 Monza Herta Atlantic

CIP CIP CIP CIP

RK (2) Lab (1)

Filipina 33 DC 13 33

DT (2)

Jyoti Peru

Eropa

42

7.

Bioteknologi molekuler

1 (bm)

1 (Pr)

33 tetraploid 9 dihaploid 8 transgeni 2 diploid S. chacoense2 S. chacoense8 S. microdontum S. bulbocasnum

Lab (2)

Hasil penelitian perbenihan dan perbanyakan kentang melalui umbi, stek dan kultur meristem, secara ringkas diuraikan di bawah ini. 1. Perlakuan umbi untuk bibit (14 artikel). • • • • • •

Pembelahan umbi bibit besar menjadi 2-4 bagian tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata dibandingkan dengan yang ditanam dari umbi utuh. Waktu pembelahan umbi bibit kentang sebaiknya dilakukan segera setelah panen, agar kalus yang terbentuk tebal dan merata. Selanjutnya pembelahan umbi bibit kentang yang berukuran >60 g dapat dianjutkan dibelah menjadi 2 bagian. Bibit kentang yang berasal dari kultur jaringan menghasilkan jumlah tunas utama dan bobot umbi lebih banyak dibandingkan dengan bibit yang berasal dari pertanaman lapang. Selanjutnya bibit yang berukuran besar (>30 g) memberikan hasil umbi yang lebih banyak. Ukuran bibit dan jarak tanam pada kultivar Knebbec G-3 tidak berpengaruh terhadap jumlah umbi mini pertanaman. Untuk memperoleh jumlah umbi mini bibit sebanyak-banyaknya, maka jarak tanam sempit (5x5 cm) paling sesuai digunakan. Varietas Granola memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan Cipanas, semakin besar ukuran umbi bibit yang digunakan semakin tinggi hasil yang diperoleh. Pemberian daun albizia, gliricidia, sekam padi dan serbuk gergaji dengan dosis 250 g/7 kg umbi kentang Granola satu bulan setelah panen dapat mempercepat pematahan proses dormansi satu bulan lebih awal dibandingkan kontrol selama penyimpanan di gudang.

2. Perbanyakan melalui kultur meristem (4 artikel). • • • • •

Media MC-2 dan MC-4 dapat dipergunakan sebagai media kultur meristem pada varietas Desiree, Cipanas, Cosima dan Katella walaupun jumlah planlet yang dihasilkan berbeda. Penambahan konsentrasi media Murashige dan Skoog dapat meningkatkan pembentukan tunas pada varietas Rapan 106, Thung 151 dan TD 84-152. Respon pertumbuhan shoot tip kentang varietas Granola terbaik pada media basal Gamborg. Penambahan Benzil Amino Purin 0,2 ppm pada media Murashige dan Skoog padat dan lama penggelapan 1 minggu dapat meningkatkan jumlah daun, tinggi tanaman dan jumlah tunas. Jaringan meristem kultivar Granola yang ditumbuhkan pada media MS dengan penambahan hormon GA-3, NAA dan BAP dapat meningkatkan pertumbuhan eksplan sebesar 60-100%.

3. Perbanyakan umbi untuk bibit melalui stek (31 artikel). • •

Media sub soil + kompos dan sub soil + pupuk kandang baik digunakan dalam produksi stek kentang dengan kerapatan 400-1000 tanaman/m2. Stek yang ditumbuhkan selama 3 minggu di pembibitan menghasilkan bobot umbi dan jumlah umbi tertinggi.

43

• • • • • •

• • • • • • • •

• •

Aplikasi stek lengkap (pucuk + batang) adalah yang terbaik digunakan sebagai bahan perbanyakan kentang asal in vitro, karena dapat meningkatkan panjang akar dan tinggi tanaman. Umur tanaman induk mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanan stek di tempat pengumbian. Sukrose dan GA-3 diperlukan untuk menumbuhkan tunas. Dengan sukrose 30 g/it dapat menghasilkan jumlah nodus dan tunas tertinggi. Cara sterilisasi tanah dengan matam sodium (vapam) dapat menekan serangan layu bakteri. Cara sterilisasi tanah dengan metam sodium diberi perlakuan penyemprotan streptomisin dan penguapan memberi harapan baik terhadap penekanan serangan penyakit layu pada tanaman stek dirumah kaca. Kultivar kentang berpengaruh terhadap jumlah stek/batang, jumlah stek/umbi dan jumlah btang/umbi. Kultivar Segunung dengan umbi ukuran besar (4-6 g) menghasilkan bobot dan jumlah umbi/pot yaitu 178,3 g dan 44,3 umbi lebih baik dibandingkan kultivar Berolina. Cipanas dan DTO-33. Waktu pemindahan stek kentang varietas Granola yang terbaik adalah ditumbuhkan selama 2 minggu di pembibitan dengan hasil bobot umbi/tanaman sebanyak 316,0 g, dimana pertumbuhan dan produksi umbi dari tunas dan stek batang tidak berbeda nyata. Perlakuan terbaik lama pengakaran untuk stek sebelum di tanam di lapangan adalah 2 minggu dapat menghasilkan bobot umbi/tanaman tertinggi (98,6g) pada kultivar Granola. Tidak ada interaksi antar perlakuan pemupukan melalui daun dan kultivar kentang terhadap tanaman induk, tanaman dapat distek, jumlah stek/tanaman. Pemangkasan pucuk batang tanaman induk pada umur 18 hari memberikan hasil bobot umbi tertinggi (363,0 g atau 8,8 umbi). Kultivar Berolina maupun DTO-33 hanya menghasilkan stek/tanaman berkisar (0,8-1,43 stek) dengan bobot umbi mini/pot berkisar (29, 8-41, 2 g). Stek pucuk dan stek batang pada kultivar Berolina dengan jarak tanam 70x15 cm memberikan bobot umbi/petak tertinggi (2,5 dan 3,6 kg/4 m2). Stek tunas umbi memberikan jumlah dan bobot umbi/petak lebih tinggi dibandingkan stek batang dan stek buku tunggal pada kultivar Granola. Sumber tanaman induk (umbi mini, stek pucuk in vitro dan stek pucuk in vivo) pada kultivar Segunung dan Granola tidak berinteraksi terhadap persentase tanaman tumbuh, tanaman dapat distek dan jumlah stek/tanaman. Jumlah stek/tanaman dapat mencapai 3.86 pada tanaman induk asal umbi mini. Kerapatan dan pemberian pupuk daun Tress, Atonik, Greenzit Baytolan dan Urea tidak berinteraksi terhadap persentase tanaman tumbuh, tanaman dapat distek dan tinggi tanaman semakin rapat tanaman induk, semakin kecil ukuran dan jumlah umbi yang dihasilkan. Pemberian Auksin, Sitokinin dan GA-3 pada eksplan pucuk tanaman kentang kultivar Granola dapat mamacu pertumbuhan “multishoot” menjadi 10 buah dengan jumlah akar 3 setiap buku dan setiap buku tumbuh 1 tunas.

4. Biji botani/TPS (20 artikel) • • • •

Umur persemaian yang terbaik untuk penanaman kentang dari biji botani adalah 4 minggu, dimana progeni F1 SE-11x16/1785B dapat memberikan hasil tertinggi yaitu 35,5 t/ha. Uji daya hasil progeni kentang mempunyai potensi hasil bobot umbi berkisar 27,9-44,5 t/ha. Uji adaptasi 12 progeni kentang di dataran medium menunjukkan bahwa progeni Sitax 7XY-1 menghasilkan bobot umbi tertinggi (18,6 t/ha). Evaluasi 5 progeni TPS pada ketinggian 900 m dpl menunjukkan bahwa progeni AtzimbaxDTO-28 menghasilkan bobot dan jumlah umbi tertinggi (13,3 t/ha).

44

• • • • • • •

Progeni kentang sebanyak 8 nomor diuji sumber bibit dari umbi dan biji memperlihatkan pertumbuhan dan hasil bobot umbi yang berasal dari umbi lebih tinggi dibandingkan sumber bibit dari biji pada progeni yang sama. Progeni kentang asal bibit botani SerrenaxDTO-28 memberikan bobot umbi tertinggi (4,8 t/ha) di tanah sawah dataran medium, tetapi tidak berbeda nyata dengan 4 progeni lainnya. Uji daya hasil 11 progeni kentang asal biji botani menunjukkan bahwa bobot umbi progeni Atzimbax104-12 LB (50,0 t/ha), progeni AtzimbaxR-128,6 (42,6 t/ha) dan progeni CFK-69. 1xR128.6 (36.2 t/ha). Ketinggian tempat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil umbi kentang asal biji botani. Progeni AtzimbaxDTO-28 dan HPS 7/13 merupakan progeni yang bersifat stabil dan memberikan hasil umbi lebih tinggi dibandingkan progeni AtzxR-128.6. SerrenaxDTO-28 dan AtlanticxLT-7 pada lokasi dan musim yang berbeda. Progeni AtzimbaxDTO-28 dan HPS 7/13 dimana umur panen tanaman semaian pada musim sebelumnya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil umbi pada musim berikutnya. Umbi semaian kecil dengan dosis benih 0,75 t/ha pada progeni HPS 7/13 cenderung memberikan hasil umbi lebih tinggi (16,8 t/ha) dibandingkan AtzimbaxDTO-28 (11,8 t/ha).

5. Uji perkecambahan dan vigor (2 artikel) •

Perendaman biji kentang dalam GA-3 1000 ppm dan mixtalol 1 ppm memberikan daya kecambah terbaik, tetapi tidak berpengaruh terhadap daya muncul kecambah di lapangan.

Tabel 21 No.

Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian perbenihan/per-banyakan tanaman periode 1980-2000. Topik

Jumlah Artikel

1.

Perlakuan umbi Untuk bibit

15

2.

Kultur Meristem

4

3.

Perbanyakan Melalui stek

31

Varietas

Rapan 181 Katella (2) Desiree (2) Draga Rapan 106 Marita Cosima (3) Granola (4) DTO-33 Knebbec Cipanas Desiree Cosima Cipanas Katella Rapan 106 (2) Thung 151 (2) TD 84-152 (2) Granola 1931 (3) AVRDC1287.19 AVRDC1287.12 LT 1 Desiree (3) DTO-28 Cosima (2) Cipanas (6) Segunung (4) Diamant

Asal

Ekosistem

DT (14) DM (1)

Lab (4)

CIP (2)

RK (20) DT (8) Lab (4)

45

4.

4.

Biji botani (TPS)

Uji perkecambahan dan vigor

20

2

Granola (9) DTO-33 (4) 371240.2 378597.1 Berolina (3) DTO-33 AtzimbaxR128 SeranaxDT028 AtzimbaxDT028 Cosima TD-1284 Cipanas (2) Rapan 106 E-1282/19 (3) PAS 4032 PAS 4015 PAS 4014 PAS 4012 PAS 4005 PAS 4004 PAS 4002 PAS 3064 PAS 3063 Desiree OP12/1085b OP260/39b OP16/1785b FISE11x16/1785b Tolacanx260/39 b 260/39bx16/1785b AtzimbaxDTO 28 (2) Esca P/7 SerenaxDTO28 AtlanticxLT7 (4) 88 EX 2 82-11 self 7/0 self OP 260 Sitax7xy1 SitaxOP260 HPS 2/67 HPS 2/13 HPS 11/67 HPS 11/13 HPS 1/67 HPS 1/13 HPS 1/13 (6) No. 71240 4 IDI OP (2) 104.12LB.OP (3) Atzimbax7XY1 (3) Granola BR63.74xR128 Cruza148x140 12.LB SerenaxLT7 (3) I. 931xAVRDC Hi Alta CFK69xR128.6 CFK69xDT028 W 639 X Merry Mech AtzimbaxDT028 SerenaxLT7 AtlanticxLT7

Filipina Filipina

(7) (3) (9)

DT (17) DM (3)

DT (14) DM (1)

Indonesia Indonesia Srilangka Srilangka Srilangka

Lab (2)

46

Agronomi Tabel 1. menunjukkan sebaran topik, varietas, serta ekosistem pada penelitian agronomi selama kurun waktu 1982-2002. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari Tabel 1 adalah: • • •

Topik penelitian pemupukan proporsinya mencapai diatas 50% dibandingkan topik penelitian agronomi lainnya Jenis kultivar yang dominan digunakan adalah Granola (44) dan Cipanas (11) Ekosistem yang digunakan untuk penelitian kentang adalah dataran tinggi (64), dataran medium (19), rumah kasa (11), dan dataran rendah (1)

Tabel 22 No

Topik, varietas dan ekosistem penelitian agronomi 1982-2002 Topik

Varietas

Ekosistem

Sumber

1.

Penggunaan pupuk tunggal N (7 artikel)

Granola, Cipanas, DTO-33

dt (4); rk; dm

BPH 21 (3), 22 (1),1992; 24 (4), 1993 J.Hort. 8(1), 1998

2

Penggunaan pupuk tunggal P (3 artikel)

Granola, Desiree

dt (3), rk

BPH 21 (1), 1991; 23 (3), 1992; J.Hort.7(4), 1998

3

Penggunaan pupuk tunggal K (4 artikel)

Granola (3), Berolina, DTO-33

dt (3), rk dm

BPH 24 (1), (2), 1992; J.Hort. 1(4),1991; LHP 1995/96

4

Penggunaan pupuk N + P (4 artikel)

Katella (3), Cosima

dt (4), rk

BPH 15 (1),(2), 1987; 18(1), 1989

5

Penggunaan pupuk majemuk (5 artikel)

Granola (3), DTO-33 Cipanas, Berolina

dt (5),rk

BPH 19(4), 1990; 20(3),(4),1991; 24 (3), 1993; J. Agr.12(3),2001

6

Penggunaan pupuk N+P+K (5 artikel)

Granola (3),

dt (3)

BPH 12 (1),1985; 23 (1), 1992;

dm (2)

J.Hort.8(1),1998; 11(1), 2001

dt (3), rk

BPH 20(1), 1990; 24(3), 1993; 27 (2), 1995

dt (4)

BPH 9(1),(3), 1982; 11 (2), 1984; 18(1),1989;J. Hort. 8(2), 1998; 12(3),2002

7

Penggunaan pupuk daun (3 artikel)

Cipanas, DTO-33 Granola (2), Cipanas Segunung

8

Penggunaan pupuk organik (6 artikel)

Granola (3), Cosima Katella, Cipanas

dm (2) 9

Penggunaan ZPT (5 artikel)

Granola (4), Draga

dt (4), dm

BPH 10 (3), 1983;20(3), 20(4), 1991;J.Hort.9(1),1999;9(4),2000

10

Perlakuan pengapuran (6 artikel) Residu Mg (1 artikel)

Granola (2), Cosima, Cipanas (3) Katella

dt (5), dm

BPH 9 (4), 1982; 11 (1), 1984; 25 (3), 1993 BPH 11 (2), 1984

Perlakuan kerapatan tanam (10 artikel)

Cosima, DTO-33, Granola (4), Rapan 181, Red Pontiac, Knebbec,

dt (7), rk, dm (2), dr

11

12

Dt

BPH 10(3), 1983; 11(2), 1984; 15(2), 1987; 19(4),1990; 20(1), 1990; 23 (1), 1992; 25 (4), 1993; 27

47

E-1282/19, Desiree, Atzimba x R-128.6

(2), 1995; LHP 1993/ 1994

13

Perlakuan tumpangsari (12 artikel)

Granola (12)

dt (6), dm (6)

BPH 20(3), 21(1), 1991; 24(2), 1992;24(4),25(1), 1993; J.Hort. 1(2), 1(4), 1991;7(2),1997;8(3), 1998; LHP 2001-2002

14

Perlakuan cara tanam (7 artikel)

Granola (3), Draga, Desiree, Katella, Red Pontiac, Cipanas

dt (4), dm (3)

BPH 9(4),1982; 10(1)(3), 1983; 15(2)(3), 1987; 22(3), 1992; J. Hort. 8 (1), 1998

15

Penggunaan bibit (5 artikel)

dt (5)

BPH 13(2), 1986;18(4), 1989; 19 (4), 1990;24(2), 1992; J. Hort. 5 (5), 1996

16

Perlakuan umur stek (2 artikel)

Granola (3), Desiree Cipanas (2), Rapan 106, Cipanas (2), Rapan 106, Maritta, Cosima, Segunung, Diamant Granola (2)

dt (2)

BPH 22(2),1992;25(1), 1993

17

Perlakuan umur panen (1 artikel)

Desiree

dt

BPH 20(2), 1990

Hasil penelitian per topik sampai dengan tahun anggaran 2002 adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan pupuk N •

Biji kentang progeni Atzimba x DTO-28, dt/Lembang, mh, 180 kg P2O5/ha, 120 kg K2O/ha: o Pemberian 225 kg N/ha dengan waktu pemberian empat kali yaitu 90 kg N/ha (saat tanam) dan 45 kg N/ha (masing-masing umur 20, 30 dan 40 hst) memberikan hasil umbi bibit tertinggi (45.000 t/ha dengan jumlah 5.512.000 umbi)



Granola, dm, mk: o Urea (sumber Nitrogen) mempunyai tingkat kerusakan umbi kentang lebih tinggi daripada ZA, tetapi pupuk Urea berpengaruh baik terhadap umbi kentang berukuran besar (> 60 g). o Kombinasi antara dosis pupuk N-Urea 25 kg/ha dan N-ZA 50 kg/ha memberikan hasil umbi total terbaik



Pemberian pupuk chilean nitrate sangat berpengaruh terhadap produksi umbi kentang baik jumlah maupun bobot umbi. Produksi umbi terbaik dicapai dengan dosis 250 kg N/ha dari sumber Potash Nitrate, Chilean Potash Nitrate dan Chilean Sodium Nitrate



Granola, dm/Pacet, Aluvial, mh, 150 kg P2O5/ha, 150 kg K2O/ha: o Dosis 300 kg N/ha menghasilkan bobot umbi > 60 g dan bobot umbi total per tanaman terbaik, sedangkan waktu pemupukan (sekaligus pada saat tanaman, dua kali pemberian: saat tanam dan 30 hst) tidak berpengaruh nyata terhadap hasil umbi kentang



Cipanas, dt/rk, NPK (15-15-15) 1 t/ha:

48

o Sumber (Urea dan ZA) dan dosis pupuk N (50, 100, 150, 200 kg N/ha) tidak berpengaruh nyata terhadap produksi stek tanaman kentang. •

Cipanas, DTO-33, dt, rk: o Semakin sering dipupuk urea 1 % (5 hari sekali) melalui daun semakin tinggi jumlah umbi per pot untuk varietas Cipanas maupun DTO-33.



Cipanas, DTO-33, dt, rk: - Sebagai sumber nitrogen, Urea dan ZA mempunyai pengaruh yang sama terhadap produksi stek kentang. Berdasar aplikasinya semakin sering dipupuk nitrogen 1 persen, maka jumlah umbi per pot semakin tinggi (Cipanas dan DTO-33)

2. Penggunaan pupuk P •

Desiree, dt/Lembang: - Efisiensi tertinggi pupuk P dicapai pada dosis 150 kg P2O5/ha untuk hasil umbi kentang di dataran tinggi Lembang



Granola, dt, Latosol: - Pemupukan fosfat sampai dosis 90 kg P2O5/ha dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil umbi kentang di Ciwidey sedangkan dosis optimum pengapuran (dolomit) untuk tanaman kentang dicapai pada takaran 1,2 t/ha .



Introduksi Philifina, dt, rk: o Tidak ada interaksi antara penggunaan kutivar dengan pemupukan P (TSP) terhadap persentase tanaman induk yang tumbuh, persentase tanaman yang dapat distek, panjang buku stek dan produksi stek per tanaman. Perbedaan pengaruh hanya terjadi antar kultivar, sedangkan pemupukan tidak ada pengaruhnya terhadap parameter yang diamat.

3. Penggunaan pupuk K •

Granola, dt, mh: o Dosis 200 kg K2O/ha memberikan pengaruh yang baik terhadap hasil umbi klas (30


Granola, dt/Berastagi: o 170 kg K2O/ha merupakan dosis optimum untuk pemupukan kentang dengan hasil kentang maksimum 32,06 t/ha, sedangkan dosis optimum untuk busukan ikan adalah 615 kg/ha.



Granola, dm, tanah sawah: o Dosis 50 kg K2O/ha pada saat umur 30 hst selain memberikan jumlah umbi terbanyak juga meningkatkan umbi ukuran besar (20 t/h pukan, 45 kg N/ha dan 90 kg P2O5/ha).



Berolina, DTO-33, dt:

49

o Tidak ada pengaruh yang nyata baik antar varietas, sumber pupuk kalium (ZK, KCl, Kamas) maupun interaksinya terhadap persentase tanaman dapat distek, produksi stek per pot/per tanaman maupun produksi umbi mini per pot 4. Penggunaan pupuk N dan P •

Cosima, Net house/dt: - Pemupukan N (0, 100, 200 kg N/ha) dan P (0, 120, 180 kg P2O5/ha) tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tanaman hidup 30 hst dan jumlah umbi per tanaman. Namun, pupuk N berpengaruh terhadap peningkatan bobot umbi per petak, sedangkan pupuk P hanya berpengaruh terhadap jumlah tanaman hidup 70 hst.



Katella, dt: o Pupuk Nitrogen 100 kg N/ha (½ Urea + ½ ZA) dengan pemupukan fosfat 120 kg P2O5/ha lebih konsisten dalam meningkatkan kadar karbohidrat, kadar vit. C, penurunan KA serta peningkatan tk. kekerasan atau ketahanan umbi kentang, meskipun dapat bervariasi tergantung dosis pemberian pupuk fosfat (60, 120, 180, 240 kg P2O5/ha).



Katella, dt: o Penggunaan pupuk ZA 100 kg N/ha dengan pemupukan fosfat (TSP) 120 kg P2O5/ha menghasilkan serapan total P yang tinggi dibandingkan dengan Urea, meskipun pengaruh pupuk ZA atau kombinasi (Urea + ZA) tidak jelas meningkatkan ketersediaan P pada tanah Andosol.



Katella, dt: o Dari aspek peningkatan hasil dan tk. Kerusakan umbi yang rendah, penggunaan pupuk nitrogen ( ¼ Urea + ¾ ZA) dengan pemupukan fosfat 60 kg P2O5/ha lebih baik dibandingkan dengan Urea tunggal.

5. Penggunaan pupuk majemuk •

Granola, Katella, dt, mk: - Interaksi antara dosis NPK (15-15-15) dengan dua varietas berpengaruh terhadap jumlah batang dan grading umbi per tanaman, jumlah umbi dan bobot umbi per tanaman. - Penggunaan varietas Granola dan dosis pupuk NPK (15-15-15) 12,5 g per tanaman menghasilkan jumlah umbi dan bobot umbi tertinggi



Granola, dt: o 900 kg NPK (15-15-15)/ha menghasilkan bobot umbi per tanaman, bobot umbi per petak dan bobot umbi per hektar (17,89 ton) tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk lainnya.



Cipanas, dt, rk: o Dosis pupuk NPK (15-15-15) terendah (12,5 g/polybag) memberikan rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, bobot umbi dan jumlah umbi per tanaman tertinggi asal stek

50



Granola, dt, Lembang, mk: - Ada interaksi antara dosis dan waktu pemberian pupuk NPK terhadap jumlah batang pada umur 44 hst. Dosis pupuk NPK ( 500, 750, 1000 kg/ha) tidak berpengaruh nyata terhadap hasil umbi kentang, sedangkan waktu pemupukan 4 minggu setelah tanam merupakan waktu aplikasi paling tepat.



Berolina, Cipanas, dt, rk: o Perlakuan dosis pemupukan NPK (15-15-15) terendah (12,5 g/polybag) menghasilkan rata-rata jumlah umbi per tanaman tertinggi 5,48 knol/tanaman dan bobot umbi per tanaman tertinggi 51,38 g/tanaman. Kultivar Berolina mempunyai potensi hasil lebih tinggi dari Cipanas

6. Penggunaan pupuk N, P dan K •

Dataran Medium o DTO-33, dm, Magelang, Regosol:  Pemupukan berimbang (N, P dan K) pada tanaman kentang tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kentang. Dosis 100 kg Urea + 200 kg ZA + 200 kg KCl + 1000 kg dolomit per hektar memberikan hasil yang terbaik (26,95 kg/20 m2) dan secara nyata menghasilkan ukuran umbi yang lebih besar dari pada perlakuan pemupukan lainnya yang tanpa dolomit.



Cipanas, dm, Malang, Andosol: o Paket pemupukan N, P dan K tidak mempengaruhi pertumbuhan dan hasil umbi kentang, walaupun ada kecenderungan pada paket yang menggunakan kalium tinggi memberikan hasil yang lebih tinggi. Untuk pembibitan, 400 kg N + 150 kg TSP + 150 kg KCl per hektar menghasilkan umbi ukuran bibit lebih besar.



Dataran Tinggi o Biji kentang DTO-33, dt: o N : P : K = 150 kg N : 150 kg P2O5 : 150 kg K2O/ha



Granola, dt,Lembang, mh: o Perlakuan 360 kg CAN (Calcium Amonium Nitrat) + 250 kg SP-36 + 150 kg KCl per hektar paling menguntungkan dengan tingkat pengembalian marginal paling besar (3.301,5%) dibandingkan dengan perlakuan kombinasi pupuk lainnya.



Granola, Paket pemupukan berimbang di Pangalengan: - Penggunaan nitrogen lebih rendah dari dosis nitrogen pada pemupukan berimbang memperlihatkan populasi imago yang lebih rendah, tetapi populasi larvanya lebih tinggi serta kerusakan tanamannya lebih tinggi. - Pertumbuhan tanaman kentang yang baik pada pemupukan berimbang dan pemupukan dengan ¾ dosis N mampu mendorong telur dan larva dari jaringan daun. - Dalam kondisi kekeringan modifikasi pemupukan berimbang tidak efektif dan tidak menunjukkan perbedaan hasil umbi kentang yang nyata dengan dosis

51

pemupukan berimbang serta hasil umbi yang dihasilkan sangat rendah dan berukuran kecil (B dan C). 1.

Penggunaan pupuk daun • • •

2.

3.

Konsentrasi pupuk daun Bayfolan 1 cc/l dengan waktu penyemprotan seminggu sekali merupakan perlakuan paling efisien dalam meningkatkan bobot umbi kentang Penggunaan pupuk daun Gandasil, Bayfolan, Greenzit dan Urea tidak berbeda pengaruhnya terhadap produksi stek dan umbi mini kentang varietas Cipanas maupun Segunung Penggunaan Thress, Atonik, Greenzit, Bayfolant dan Urea pada tanaman kentang tidak berpengaruh terhadap produksi stek tanaman kentang.

Penggunaan pupuk organik •

Cosima, dt, Andosol: o Pemberian pupuk kandang 15 t/ha, dolomit 3 t/ha dan cara pemberian dalam jalur menghasilkan umbi kentang tertinggi



Granola, dt, Lembang: o Pupuk kandang kuda 20 t/ha atau pupuk kandang sapi/domba 25 t/ha diperlukan untuk meningkatkan hasil kentang di dt.



Granola, dm, Magelang o Tidak terjadi interaksi antara waktu aplikasi pupuk nitrogen dengan pupuk organik. Aplikasi nitrogen (½ saat tanam dan ½ umur 15 hst) memberikan hasil lebih baik terhadap tinggi tanaman, bobot umbi per petak, bobot umbi per hektar (12,79 t/ha) dan tk. kerusakan umbi per petak lebih kecil dibanding 100% N saat tanam maupun 100% N umur 15 hst. o Pupuk kandang masih merupakan pupuk organik yang terbaik dibanding kompos jerami maupun kompos rumput.



Granola, dm, Magelang: o Pupuk kandang kambing 20 t/ha memberikan hasil yang tertinggi dibandingkan perlakuan kompos jerami padi, kompos jerami legum, dan kompos jerami jagung.



Katella, dt, Sumberbrantas, Andosol: o Interaksi pukan 20 t/ha dan 180 kg N/ha berpengaruh nyata meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi umbi kentang.



Cipanas, dt, Lembang: o Berat kering akar dan batang, luas daun dan indeks luas daun berkorelasi positif dengan berat kering umbi sehingga meningkatkan hasil umbi kentang secara nyata pada pertanaman kentang yang dipupuk 20 t pukan/ha.

Penggunaan zat pengatur tumbuh •

Granola, dt, Lembang, mh :

52

o Konsentrasi Atonik 0,5 – 1,0 cc/l dua kali seminggu berpengaruh paling baik terhadap hasil kentang per tanaman dan per petak

4.



Draga, dt, Lembang, mk: o Dosis optimum GA3 untuk merangsang pembungaan tanaman kentang kultivar Draga yaitu 102,82 ppm tetapi primordia bunga yang dihasilkan gugur sebelum antesis o Kalsium karbida (karbit) dan 2,4-D tidak efektif untuk merangsang pembungaan kentang kultivar Draga



Granola, dt, Lembang: o Tidak terjadi gejala fitotoksisitas, klorosis dan gejala abnormal lainnya pada tanaman kentang kultivar Granola yang disemprot larutan mepiquat klorida. Mepiqut klorida 8 ml/l yang disemprotkan dua kali dapat meningkatkan hasil umbi sebesar 30,4%.



Granola, dm, Maja: o Tidak terjadi gejala fitotoksisitas, klorosis dan gejala abnormal lainnya pada tanaman kentang kultivar Granola yang disemprot larutan mepiquat klorida. Mepiqut klorida 4-16 ml/l yang disemprotkan satu atau dua kali mereduksi luas daun 17-37%, meningkatkan hasil umbi sebesar 14-25%. Hasil umbi tertinggi diperoleh pada mepiquat klorida 6 ml/l satu kali aplikasi pada 42 hst.



Granola, dt, Lembang : o Penggunaan Hydrasil 1,5 ml/l menghasilkan bobot umbi tertinggi sebe-sar 282,22 g per tanaman dan bobot umbi kelas A terbesar 134,72 g.

Perlakuan pengapuran •

Granola, dm, Magelang: - Pemberian dolomit dengan dosis 500 kg/ha merupakan perlakuan terbaik dengan hasil kentang 22,86 kg/20 m2. - Dosis kalium terbaik untuk hasil umbi kentang adalah 50 kg K2O/ha.



Granola, dt/Lembang, Andosol: o Pemberian dolomit 1,5 t/ha nyata meningkatkan hasil dan kualitas hasil kentang. Penggunaan dolomit pada tanah Andosol dapat membantu mengatasi masalah kekurangan kalsium dan magnesium yang sudah muncul pada beberapa tanaman sayuran di lapangan.



Cipanas, dt, Andosol: o Pemberian kapur tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan analisis tumbuh tanaman kentang o Pemberian kapur sampai dengan 100 % kebutuhan kapur (untuk menaikkan pH 4,6 sampai 6,0) tidak merubah hasil dan bahan kering, bahkan melebihi dari kebutuhan (150% kk) akan menurunkan hasil dan bahan kering. o Pukan 20 t/ha dapat meningkatkan hasil dan bahan kering tanaman kentang, index luas daun.



Cosima, dt, Andosol, mh:

53



Pemberian trachit 1,5 t/ha dan terak baja 1,5 t/ha dapat meningkatkan hasil kentang secara nyata.

11. Perlakuan Residu pupuk Mg •

Katella, dt, Andosol: - pupuk Mg 150 kg/ha yang diberikan dua musim tanam seblmnya masih efektif dalam meningkatkan hasil dan kekerasan umbi kentang. Dolomit sebagai sumber Mg lebih menonjol pengaruhnya dibandingkan dengan MgO, MgSO4 dan terak baja.

12. Perlakuan kerapatan tanaman •

Red Pontiac, dr/Muara, + mulsa:  Jarak tanam dalam guludan dengan dua baris tanaman ( 50-60)x(25-30) cm dapat digunakan untuk jenis kentang dataran rendah.



Granola, dt, Banaran:  Untuk tujuan pembibitan kentang di dataran tinggi dapat dilakukan penanaman rapat (20 cm dalam barisan) dengan pemupukan 100 kg N/ha.



Granola, dm, Magelang :  Penggunaan jarak tanam 80 cm x 40 cm dan 70 cm x 30 cm tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kentang dan tidak mengakibatkan perbedaan persaingan antara tanaman, sehingga hasil per tanaman tidak berbeda nyata.



Knebbec, dt, Cipanas:  Jarak tanam sempit (5 cm x 5 cm) paling sesuai memperoleh jumlah umbi mini yang tinggi.

digunakan untuk



Cosima, dt, rk :  Satu stek per lubang menghasilkan persentase tanaman hidup lebih tinggi daripada dua stek per lubang. Penanaman stek 100 per m2 menghasilkan umbi bibit yang tinggi (1,97 kg/m2).



DTO-33, dt:  Semakin lebar jarak tanam (30 cm dalam barisan) semakin tinggi persentase tanaman tumbuh, tetapi semakin rapat jarak tanam (25 cm) semakin banyak jumlah umbi berukuran kecil yang dihasilkan.



Rapan 181, dt, Lembang:  Jarak tanam yang rapat (70 cm x 15 cm) merupakan jarak tanam terbaik dalam menghasilkan umbi bibit kentang, sedangkan untuk ukuran umbidapat digunakan ukuran besar yaitu 45 g.



Granola, dm, lahan sawah:  Penggunaan jarak tanam 50 cm x 30 cm yang digunakan dalam tumpangsari kentang dan bawang daun dapat menekan persaingan hara dari kedua tanaman tersebut.

54

13. •



Granola, dt, Lembang:  Jarak tanam yang tepat untuk pertumbuhan dan hasil kentang adalah 60 cm x 30 cm, sedangkan umur tanaman induk yang baik sebagai sumber stek batang adalah 17 hari.



Atzimba x R-128.6, Desiree, E-1282/19, dt,Lembang:  Penggunaan jarak tanam 15 x 70 cm dan ditanam 3 tanaman per lubang untuk Atzimba x R-128.6 dan E-1282/19 menghasilkan umbi 25 dan 10 t/ha, sedangkan Desiree dengan jarak tanam yang sama hanya 0,6 t/ha.

Perlakuan Tumpangsari Dataran Medium o Waktu tanam kentang dua minggu setelah tebu dikepras dan cara tanam dua jajar per guludan dengan pola tanam diselang dapat dipertimbangkan untuk sistem pola tumpangsari tebu (Granola, dm) o Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap hasil kentang pada pertanaman tumpangsari di 4 lokasi dataran medium (Magelang, Gondanglegi, Kapanjen dan Baturiti). o Tumpangsari Kentang + ubijalar dan kentang + jagung di Magelang meningkatkan produktivitas lahan (LER = land equivalent ratio) masing-masing sebesar 29% dan 27%. Kentang monokultur maupun kentang tumpangsari dengan palawija memberikan nilai uang yang lebih tinggi daripada tanaman lainnya. o Hasil kentang tumpangsari secara nyata lebih rendah dari monokultur jika kentang dan ubijalar ditanam bersamaan atau kentang satu minggu lebih dahulu. Sedangkan hasil kentang secara nyata tidak dipengaruhi jika kentang ditanam 2-4 minggu sebelum ubijalar. o Tanaman tumpangsari maupun pupuk yang diberikan kepada tanaman tumpangsari tidak berpengaruh nyata terhadap hasil umbi kentang per tanaman dan hasil umbi sehat baik total maupun untuk masing-masing ukuran (>60 g, 30-60 g, dan <30 g). o Sistem tumpangsari dengan bersamaan tidak berbeda hasilnya antara kentang var. Granola yang ditumpangsarikan dengan ubijalar, jagung atau kacang panjang, tetapi jika kentang ditanam tujuh hst tanama kacang panjang (dan jagung) memberikan hasil lebih baik dari pada kentang + ubijalar.



Dataran Tinggi o Peranan tumpangsari ercis dan kentang selang barisan menurunkan hasil kentang 11,54-20,00%. Sedangkan ercis dan kentang yang ditanam dalam satu barisan secara bersamaan, hasil kentang per tanaman masih seimbang dengan tanaman tunggalnya.

55

o Ercis dan kentang yang ditanam dalam satu barisan pada saat bersamaan menghasilkan umbi kentang ukuran besar (750 g per umbi) lebih banyak 18,22% daripada tanaman tunggal. Produktivitas lahan bertambah 73% bila ercis dan kentang ditanam dalam satu barisan pada saat bersamaan. o Pemberian Sitozim 1,2 cc/l meningkatkan hasil polong muda ercis per tanaman sebesar 48,5% dan hasil kentang sebesar 4,9%, sedangkan pemberian Sitozim 0,6 – 1,8 cc/l pada tumpangsari ercis dan kentang yang ditanam dalam barisan meningkatkan produktivitas lahan 90 – 93%. o Penanaman ganda kentang dan ercis dalam barisan dengan menanam dua ercis diantara tanaman kentang pada saat bersamaan memberikan hasil kentang per petak maupun per tanaman lebih tinggi dari monokrop, namun hasil kentang per tanaman nyata lebih rendah dari penanaman ganda selang barisan, sedangkan hasil per petak lebih tinggi. Produktivitas lahan pada penanaman ganda ini sebesar 99%. o Granola, dt, Pangalengan:  Tan. Kentang paling baik ditumpangsarikan dengan tanaman cabai dengan sistem tan. Kentang 2 baris di pinggir, cabai 1 baris di tengah ditinjau dari segi hasil umbi kentang. Hasil umbi kentang terendah terjadi apabila sistem tan. Kentang 2 baris di pinggir, tomat 1 baris di tengah. o Granola, dt, Pangalengan:  Rotasi tanaman dengan tanaman yang sama pada dua musim secara berurutan tidak dianjurkan untuk tan. Tomat dan kentang. Tan. Kentang dianjurkan tidak ditanam pada lahan bekas tan. Kentang itu sendiri maupun tan. Lain yang masih satu famili dengan tan. Kentang 14.

Perlakuan cara tanam o Arah guludan dan penggunaan mulsa o Untuk mengurangi erosi dan menghasilkan umbi kentang dengan ukuran > 60 g dapat dilakukan dengan guludan searah kontur dengan menggunakan mulsa (Granola, dt/Batur). o Perlakuan Tinggi guludan o Varietas Desiree menghasilkan umbi dua kali lebih tinggi dari pada Draga dan Katella, sedangkan tinggi guludan 20 cm dan 40 cm tidak memberikan hasil yang berbeda pada tanaman kentang di dt, kuningan pada mk. o Perlakuan mulsa, kedalaman tanam dan baris tanaman: o mulsa jerami, kedalaman tanah 10 cm dan penggunaan 2 baris tanaman pada guludan dapat memperbaiki pertumbuhan dan hasil umbi kentang red pontiac di dm Sukabumi. o Perlakuan naungan dan mulsa o Granola, dm/Cisarua-Bogor: Pemberian naungan kasa plastik hingga 15 persen tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan hasil umbi tanaman kentang. Pemberian naungan dapat diberikan paling cepat empat minggu setelah bertunas. Mulsa meningkatkan hasil umbi kentang (terutama umbi ukuran besar).

56

o Cipanas, dt/Lembang: Naungan tanaman jagung pada tanaman kentang tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun hasil kentang, tetapi kentang yang ditanam 20 dan 10 hst serta bersamaan tanam jagung memberikan hasil yang rendah. mulsa jerami 20 t/ha menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih subur, tetapi tidak memberikan perbedaan hasil umbi kentang yang nyata. o Cipanas, dt/Lembang: Peubah pertumbuhan yang berperanan nyata terhadap hasil umbi kentang yang mendapat perlakuan mulsa + naungan jagung adalah berat kering (bk) total tan. 55 hst, bk daun 55 dan 70 hst, bk batang 40 hst, bk akar 70 hst dan luas daun 55 hst. o Bibit dari kultur meristem, latosol, Cianjur: o Penggunaan mulsa jerami meningkatkan hasil umbi kentang per tanaman dan per petak tertinggi di DM. 15.

16.

Penggunaan Bibit •

Ukuran bibit besar (> 30 g) menghasilkan umbi kentang tertinggi. Sumber bibit (Pangalengan dan Ngablak) maupun varietas (Cipanas dan Granola) tidak berpengaruh nyata terhadap hasil umbi bibit, tetapi varietas Cipanas berasal dari Ngablak memiliki persentase tertinggi umbi bibit ukuran 20-30 g dan secara nyata mempunyai ukuran umbi > 30 g lebih tinggi dari pada Granola.



Bibit asal kultur jaringan sangat berpengaruh baik terhadap jumlah tunas utama, persentase serangan virus maupun hasil umbi.



Bibit yang berukuran besar (> 30 g/umbi) menghasilkan jumlah dan bobot umbi lebih tinggi dari pada bibit yang berukuran kecil (< 30 g/umbi), baik yang berasal dari kultur jaringan maupun pertanaman di lapangan.



Terjadi interaksi antara ukuran bibit dengan dosis NPK (15-15-15) terhadap tinggi tanaman (44 hst) dan diameter batang (30 hst). Bobot dan jumlah umbi per tanaman tidak dipengaruhi oleh ukuran bibit, tetapi dipengaruhi oleh dosis pupuk NPK. Dosis 1000 kg NPK/ha merupakan dosis terbaik (dt,Andosol, mk).



Kultivar Segunung dengan umbi ukuran besar (4-6,5 g) menghasilkan bobot dan jumlah umbi per pot tertinggi yaitu 178,33 g dan 44,33 umbi.



Rata-rata jumlah stek batang tertinggi dicapai pada umbi ukuran kecil (1-1,4 g), sedangkan kultivar kentang berpengaruh terhadap jumlah stek per batang, jumlah stek per umbi, jumlah batang per umbi.

Perlakuan umur stek 

Umur stek 2 minggu di pembibitan menghasilkan pertumbuhan dan produksi umbi paling tinggi, sedangkan jenis stek (stek tunas umbi atau stek batang) tidak menunjukkan perbedaan terhadap pertumbuhan maupun produksi umbi.

57



17.

Umur 18 hari merupakan waktu yang paling tepat untuk melakukan pemangkasan pucuk batang induk tanaman dan pada perlakuan tersebut menunjukkan produksi umbi paling tinggi (363 g/tanaman)

Perlakuan umur panen •

Pertambahan bobot umbi dipengaruhi oleh umur tanaman, yaitu antara umur 7 – 11 minggu , sedangkan setelah umur 11 minggu pertambahannya konstan. Pertambahan bobot umbi rata-rata (bulking rate) sekitar 378 kg per hektar per hari. Oleh karenanya untuk bibit umur panen yang paling tepat adalah umur 12 minggu.

Hama Penyakit Penelitian hama-penyakit kentang, khususnya yang telah dipublikasikan dari tahun 1982 – tahun 2002 diperlihatkan pada Tabel 1. Ekosistem yang digunakan pada umumnya adalah dataran tinggi dan hanya sebagian kecil (4%) yang dilaksanakan di dataran medium. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari Tabel 1 adalah sebagai berikut : • Topik penelitian hama proporsinya sama besar dengan penyakit. • Jenis kultivar kentang yang dominan digunakan adalah Granola. • Ekosistem yang digunakan untuk penelitian kentang adalah ekosistem dataran tinggi, medium dan laboratorium. Dari ketiga ekosistem tersebut yang paling dominan adalah dataran tinggi (93%). Tabel 23 No.

Topik, varietas dan ekosistem penelitian hama penyakit 1982-2002 Topik

∑ Artikel/ Laporan

Komp. Pengendalian ∑ Artikel

Varietas

Lokasi

1.

Phthorimaea operculella

16 artikel

Kimiawi (6) Tanaman resisten (3) Biorasional (3) P. biologi (1) Sexferomon (1) Ambang pengend. (2)

Granola (15) Cipanas, Katela, Desirie, Rapan 109, Cosima, Thung 151 C, Arka, Baroka, Sequoia dan Grandifolia.

DT (15), DM (1)

2.

Thrips palmi Karny

6 artikel

Kimiawi + Kultur teknik (1) Ambang pengend. (2) Biorasional (2) Tanaman resisten (1)

Granola (5), Cipanas, Rapan 104, Fumosa, Atzinba xf X yi, Muziran, cruza X 104.12 LB,

DT (6)

3.

Myzus persicae

5 artikel

Kimiawi (2) Kultur teknik (1) Resurgensi (1) Tanaman resisten (1)

Granola (5), Cipanas, Rapan 104, Famosa, Atzinba xf X yi, Muziran, cruza X 104.12 LB.

DT (3), DM (1), Lab (1)

4.

Liriomyza huidobrensis

3 artikel

Tanaman resisten (1) Kultur teknik (1) Ekobiologi (1)

Granola (3), CIP 387315-15, K 419.8 GT, K 421.2 GT, CIP 2-43,3, CIP I 1085.

DT (2), Lab, Rumah kaca

5.

Gryllotalpa hirsuta Burn

1 artikel

Kimiawi/efikasi (1)

Thung 151 C

DT

58

6.

Meloidogyne sp (nematoda)

4 artikel

P. kimiawi (2) Ambang kerusakan (1) Tanaman resisten (1)

Granola (4), Cipanas, Rapan 181, Rapan 109, Rapan 106, Cosima, Kennebec, Thungisic, Renova, Ridosa, Gretta, Baroha, Nahdo, Colibron, Draga.

DT (3), Lab, Rumah kaca

7.

Phytopthora infestans

12 artikel

Kimiawi/Efikasi (8) Ekobiologi (1) Tanaman resisten (1) PHT (1) Pemantauan (1)

Granola (12), Cosima, Rapan 106, Draga, Desirie, Katella.

DT (11), Lab.

No.

Topik

∑ Artikel/ Laporan

Komp. Pengendalian ∑ Artikel

Varietas

Lokasi

8.

Pseudomonas solanacearum

8 artikel

Kimiawi (1) Deteksi bakteri (2) P. Eradikasi (1) P. Biologi (2) Tanaman resisten (2)

Granola (7), Cipanas, Rapan 104, Fomosa Atzinba xf X yi, Muziran, cruza X 104.12 LB, Serana X LT7, LT9 X TS3, Katella, Cosima, Clauster, Lola Marita, Rapan 106, Atzinba X DT0-33, Seraka X DT033.

DT (6), DM (1), Lab, dan Rumah kaca

9.

Virus

8 artikel

Eradikasi & kimiawi (1) Kultur teknis (2) P. anti serum (2) Pengend. Fisik (1) Degenerasi umbi (1) Pemantauan (1)

Granola (8), Cosima, MH 6802.

DT (6), Lab, dan R. kaca (2)

10.

Gulma

3 artikel

Kimiawi (2) P. Mekanik (1)

Granola, Nahdo, Desirie.

DT.

11.

OPT utama

4 artikel

Survei (1) Kultur teknis (2) PHT (1)

Granola (2), Lola, Clauster

DT.

Jumlah

71 artikel

Hasil penelitian per topik dari tahun 1982 sampai dengan tahun 2002 adalah sebagai berikut : 1. Phthorimaea operculella •

Pengendalian Kimiawi •

Dari 15 artikel yang menyoroti topik ini dapat dibagi menjadi 6 kelompok pengendalian. Dari keenam kelompok tersebut yang paling dominan adalah kegiatan penelitian efikasi insektisida kimiawi (33,3%). Adapun insektisida yang diuji sebagai berikut :

59

o Di lapangan : Sipermetrin 5 EC, Asetat 75 SP, Profenofos 500 EC, Decis 2,5 EC dan Thuricide. o Di gudang : Sevin 85 S, Supracide 40 EC, Symbush 5 EC, Ekalux 25 EC, Marlete 50 WP, Lannate 25 WP, Lannate 2% (dust) dan Baygon 50 WP. •

Ambang Pengendalian • •



Tanaman Resisten • • • •



Phthorimaea operculella Granulasis Virus (POGV) dengan konsentrasi 40 Le/l + talk efektif dalam mrenekan serangan P. operculella pada umbi kentang di gudang. Tingkat penekanannya mencapai 90% dibanding dengan kontrol (tanpa perlakuan).

Pengendalian Biorasional (Pestisida Nabati) • •

• •



Preferensi P. operculella terhadap kultivar Desirie dan Cipanas rendah, dan hasil umbinya tinggi, sehingga kultivar Desirie dan Cipanas termasuk kultivar yang relatif tahan. Preferensi P. operculella terhadap kultivar Cosima cukup tinggi, tetapi mampu menghasilkan umbi cukup tinggi, sehingga kultivar Cosima termasuk toleran. Kultivar Thung 151 C dan Katella termasuk rentan terhadap P. opercelulla. Segunung (1984). Varietas Cosima, Cipanas, Katella dan Grandifolia relatif tahan terhadap P. operculella, dan tingkat ketahanannya relatif sama. Pangalengan (1988).

Pengendalian Bioligi (entomophatogen) •



Penggunaan insektisida (dalam hal ini Sepermetrin) tidak diperlukan pada saat populasi larva P. operculella dan intensitas serangannya rendah. Penelitian ini perlu diulang pada saat populasi P. operculella tinggi.

Penggunaan daun kering Lantana camara bunga putih, orange dan ungu serta Anona muricata dengan dosis 0,2 kg/10 kg umbi, dapat menekan kerusakan umbi kentang oleh P. operculella di gudang. Penggunaan serbuk daun kering Tephrosia candida, Azadirachta indica dan Lantana camara dengan dosis 0,2 kg/10 kg umbi, dapat menekan kerusakan umbi bibit oleh P. operculella di gudang. Diantara ketiga serbuk daun tersebut yang paling efektif adalah T. candida dan sebanding dengan insektisida karbaril. Perbandingan Azadirachta indica 8 kg : Simbopogon nardus 6 kg : Alpinia galangga 6 kg (Agonal 8:6:6 kg/ha) efektif untuk mengendalikan P. operculella di lapangan. Strategi pergiliran antara Agonal dengan insektisida kimia (insektisida kimia : Agonal : Agonal : insektisida kimia), dengan interval penyemprotan seminggu sekali efektif mengendalikan P. operculella dan dapat mengurangi penggunaan insektisida kimia sebesar 50 % dibanding penggunaan insektisida yang secara terus menerus dalam satu musim tanam kentang.

Sex feromoid •

Sex feromoid Phthorimaea operculella cukup baik untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan penggunaan insektisida. Hasil tangkapan sex feromaid berkisar antara 100-285 ekor ngengat jantan/trap/minggu.

60

2. Thrips palmi Karny •

Kombinasi Kimiawi dengan Kultur Teknis • •



Pola Sebaran Populasi dan Ambang Pengendalian • • •



Pola sebaran populasi hama T. palmi mengelompok. Ambang pengendalian T. palmi dengan insektisida imidoklorepid adalah 10 nimva – imago/daun. Ambang pengendalian tersebut dapat mengurangi penggunaan insektisida sebesar 50% dibanding pengendalian rutin satu minggu sekali. Produksi kentang yang disemprot insektisida berdasarkan AP 10 nimva – imago/daun tidak berbeda nyata dengan produksi kentang yang disemprot insektisida secara rutin.

Tanaman Resisten •



Kombinasi perlakuan insektisida Ambus 2 EC/l air + tumpangsari satu baris jagung – satu baris kentang – satu baris jagung – satu baris kentang, dapat menekan populasi hama T. palmi sebesar 33,7%. Produksi rata-rata pertanaman kentang yang ditumpangsarikan dengan jagung tidak berbeda nyata dengan pertanaman kentang yang ditanam monokultur.

Belum dapat disimpulkan, karena pada musim penghujan populasi T. palmi sangat rendah, sehingga tingkat populasi dan serangan pada setiap varietas yang diuji relatif sama (tidak berbeda nyata).

Pengendalian Biorasional • •

Perbandingan Azadirachta indica 8 kg : Simbopogon nardus 6 kg : Alpinia galangga 6 kg (Agonal 8:6:6 kg/ha) efektif untuk T. palmi di lapangan. Strategi pergiliran antara Agonal dengan insektisida kimia (insektisida kimia : Agonal : Agonal : insektisida kimia), dengan interval penyemprotan seminggu sekali efektif mengendalikan P. operculella dan dapat mengurangi penggunaan insektisida kimia sebesar 50 % dibanding penggunaan insektisida yang secara terus menerus dalam satu musim tanam kentang.

3. Myzus persicae •

Pengendalian Kimiawi •



Insektisida Aldicorb 10G dan Acephate 75 SP hanya menekan populasi M. persicae koapteri, tetapi tidak efektif terhadap M. persicae alate. Pemberian temik 10G baik yang sekaligus pada waktu tanam (40 kg/ha) maupun 2 kali pada umur 0 dan 30 hst masing-masing ½ dosis, efektif terhadap M. persicae dan memperlihatkan produksi yang tinggi.

Status Resurgensi •

Dalam skala laboratorium M. persicae yang dipelihara pada tanaman kentang yang disemprot dengan azimposmetic lebih “subur” (banyak anak), dan dalam jangka 60 hari kelipatan perkembangan populasi harian menunjukkan 4 kali lebih tinggi dibandingkan kontrol (tanpa penyemprotan insektisida).

61



Tanaman Resisten •



Belum dapat disimpulkan, karena pada musim penghujan populasi M. persicae sangat rendah, sehingga tingkat populasi dan serangan pada setiap varietas yang diuji relatif sama (tidak berbeda nyata).

Kultur Teknis • •

Tumpangsari antara kentang dan bawang daun dapat menekan serangan M. persicae dan dapat mempertahankan hasil panen kentang sebesar 19 ton per hektar. Tumpangsari antara kentang dan bawnag daun dapat meningkatkan pendapatan kotor.

4. Liriomyza huidobrensis •

Ekobiologi • L. huidobrensis menyerang tanaman kentang sejak umur 3 MST dan mencapai puncak pada umur 4, 6 dan 8 MST. Hama ini lebih memilih daun bawah dan tengah sebagai tempat peletakkan telur. • Lingkungan abiotik seperti suhu, kelembaban dan angin serta keberadaan kompetitor mempengaruhi fluktuasi populasi L. huidobrensis. • Keberadaan populasi musush alami (H. voricornis) yang rendah tidak mampu menekan serangan L. huidobrensis.



Kimiawi •



Tanaman Resisten • • •



Insektisida Bensulfat 50 WP cukup efektif terhadap L. huidobrensis

Klon CIP 387-315-15, K 419.8 GT, K 421,2 GT, CIP I-1085 dan varietas Ritek kurang disenangi untuk peletakkan telur L. huidobrensis. Klon CIP 387-315-15, CIP I-1085 dan CIP 2-43.3 agak tahan terhadap L. huidobrensis. Klon CIP 387-315-15 menunjukkan produksi yang paling tinggi.

Kultur Teknik • •

Tinggi bedengan/guludan 40-60 cm dapat menekan tingkat/populasi larva dibandingkan dengan tinggi 20 cm. Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat menekan populasi larva dan imago L. huidobrensis dan memperoleh hasil umbi kentang lebih tinggi dibanding tanpa mulsa plastik hitam perak.

5. Gryllotalpa hirsuta Burn •

Pengendalian Kimiawi (efikasi) •

Insektisida yang diuji Sevidol 4/4 G, Sevidol 20/20 G, Agrolene 26 WP dan Teknik 10 G. Semua insektisida yang diuji efektif terhadap G. hirsuta.

62

6. Meloidogine sp (Nematoda) •

Tanaman Resisten • • • • •



Klon 6-2-9 tahan terhadap M. incognita ras 1, dan agak tahan terhadap M. javanica. Varietas Cipanas, Rapan 181 dan klon 12-2/3 setengah tahan terhadap M. incognita ras 1, dan agak tahan terhadap M. javanica. Varietas Cosima, Arpatid, Arka, Kennebec, Multa, Nicola dan Ridosa agak tahan terhadap kedua jenis (species) Meloidogine tersebut. Varietas Granola, Borola, Calibpon, Gretta, Rapan 109, Rapan 106/3/s, Renova, Tasman dan Thungisi 151 agak tahan terhadap M. incognita, tetapi peka terhadap M. javanica. Tingkat patogenitas M. javanica lebih tinggi dibanding M. incognita.

Ambang Kerusakan • •

Ambang kerusakan M. incognita ras 1 pada pertanaman kentang adalah sekitar 400 larva/kg tanah (skala mitroplot). Hubungan antara kerapatan populasi awal (M. incognita ras 1 dengan hasil kentang mengikuti korelasi yang negatif.

7. Phytopthora infestans •

Pengendalian Kimiawi (Efikasi) •



Dinamika Populasi (Ekobiologi) • • • •



Tingkat kerusakan tanaman kentang oleh P. infestans tergantung pada banyaknya curah hujan. Tingkat kerusakan tanaman kentang oleh P. infestans pada bulan Juni, Agustus 1980 dan Februari 1981 tidak berbeda nyata. Banyaknya spora P. infestans yang tertangkap paling banyak pada bulan Januari. Posisi daun yang memperoleh kesempatan terbesar terinfeksi P. infestans adalah daun-daun tengah.

Pemantauan •



Dari 12 tulisan yang menyoroti topik ini dapat dibagi menjadi 5 kelompok pengendalian. Dari kelima kelompok tersebut yang paling dominan adalah kegiatan penelitian efikasi insektisida kimiawi (mencapai 72,7%). Adapun fungisida yang diuji sebagai berikut : Daconil 500 F, Dithane M-45, Kocide 77 WP, Dimetamorph, Chlorotalonil, Mancozeb, Ridomil 2 G (Metalaksil), Trimangol 80 WL dan Tri Miltox Forte.

“Vertikal Sticry Cylinder” pada ketinggian 20 cm di atas permukaan tanah mempunyai harapan baik utnuk dikembangkan sebagai alat pemantau P. infestans.

Tanaman Resisten •

Varietas yang resisten terhadap P. infestans adalah Rapan 106, baik di rumah kaca maupun di lapang.

63



PHT • •

Dengan pengendalian secara terpadu berdasarkan pengamatan bercak aktif penyakit hawar daun untuk menentukan langkah penggunaan Fungisida. Jumlah penyemprotan dapat dikurangi. Penelitian perlu diulang.

8. Pseudomonas solanacearum •

Pengendalian Kimiawi (Efikasi) •



Deteksi P. solanacearum pada Ukuran Umbi dan Umur Panen • •





Varietas Katella dan klon Cruza x 104.12 LB resisten terhadap P. solanacearum, dan menunjukkan hasil panen umbi kentang yang tertinggi. TPS yang agak tahan terhadap P. solanacearum adalah Serana x LT 7 & LT 9xTS 3.

Pengendalian Bilogi • • • • •



Tingkat serangan P. solanacearum pada tanaman kentang di lapangan tidak dipengaruhi oleh ukuran umbi, melainkan oleh kesehatan umbi bibit saat ditanam. Umur panen mempengaruhi jumlah tanaman yang terserang layu bakteri. Semakin dini umur panen semakin tinggi serangan layu bakteri pada musim tanam berikutnya. Serangan bakteri layu pada tanaman yang berasal dari umbi yang dipanen pada umur 80, 100 dan 120 HST berturut-turut 17,5%; 10,2% dan 3,9%.

Tanaman Resisten •



Bakterisida Agrimisina 15/1,5 WP (Streptomisina 15% + Aksitetrasiklina 1,5%) pada dosis 100 ppm mampu menekan serangan P. solanacearum pada tanaman kentang sebesar 16% dibanding kontrol.

Skala laboratorium Secara in-vitro : P. solanacearum “avirulen”, Trichoderma sp dan Penicillium spp dapat menekan perkembangan P. solanacearum, masing-masing sebesar 0,8 cm, 0,8 cm dan 0,7 cm, sedangkan kontrol (tanpa M.A) 0 cm. Secara semi in-vitro : pada 30 hari setelah infeksi P. fluorescens, Penicillium spp, P. solanacearum “avirulen” dan Trichoderma spp dapat menekan populasi P. solanacearum berturut-turut sebesar : 60%, 56%, 40% dan 36% dibanding kontrol. Skala rumah kaca : P. fluorescens, Penicillium spp, P. solanacearum “avirulen” dan Trichoderma spp dapat menekan tanaman layu bakteri berturut-turut sebesar 43%, 39%, 33%, dan 21% dibanding kontrol. Di lapangan : Perendaman umbi bibit dengan P. solanacearum “avivulent” dapat menyelamatkan hasil umbi kentang sebesar 10,4% dibanding kontrol.

Sterilisasi tanah (Eradikasi) •

Skala rumah kaca : cara sterilisasi tanah dengan penguapan 1 kali + streptomiloksi tetrasiklin) atau perlakuan pemberian metan sodium + penyemprotan streptomicin dapat menekan serangan penyakit layu pada tanaman stek kentang.

64

9. Virus •

Pemantauan Virus



Umbi bibit hasil produksi petani di beberapa sentra produksi kentang di Pulau Jawa terinfeksi virus sebesar 12,04%. Jenis virusnya adalah PLRV, PVY dan sedikit PVA.



Deteksi Virus





I96 dan enzim Conjugate PLRV dapat digunakan untuk pengujian rutin dengan menggunakan uji Elisa. Pengenceran Conjugate terbaik yang dapat bereaksi baik dengan PLRV (1:40) adalah 1:3200 kali, dan pengenceran Conjugate terbaik yang masih bereaksi dengan PLRV (1:80) adalah 1:1600 kali. Pemurnian virus PLRV dengan menggunakan daun kentang relatif lebih baik dibandingkan daun P. floridona yaitu pada ratio A260/A280 = 1,71. Partikel PLRV yang ditemukan berbentuk bulat dengan diameter 24 nm yang termasuk ke dlam kelompok Ivteo virus. Titer anti cerum yang diperoleh cukup tinggi bereaksi sampai pengenceran (1:1024).



Eradikasi dan Kimiawi

• •

Pemusnahan batang dan pemberian insektisida Aldicorb 10G dan Acepat 75 SP tidak dapat membersihkan PLRV pada umbi yang dihasilkan, tetapi hanya dapat mengurangi kandungan PLRV. Pengaruh roguing terhadap degenerasi bibit baru akan nampak pada pertanaman musim berikutnya. Bibit asal stek yang induknya ditanam di ruang terisolasi (Rumah kaca) memperlihatkan insiden virus terendah dibandingkan dengan bibit yang berasal dari tanaman induk yang ditanam di ruang terbuka.



Pengendalian Fisik



Terapi panas pada suhu 36°C selama 40 hari dapat menekan jumlah tanaman yang memperlihatkan gejala serangan PLRV dan kerusakan umbi. Semua level pemanasan yang dicoba tidak berpengaruh terhadap gejala mosaik, roset dan necrosis.

• •

• •

Pengendalian Kultur Teknik



Penggunaan caisim sebagai tanaman pinggiran pada lahan pertanaman kentang dapat menghambat insiden virus atau menekan kandungan virus pada umbi bibit. Caisim merupakan perangkap yang paling baik bagi Myzus persicae sebagai vektor virus. Alternatif kedua adalah kubis.

10. Gulma •

Pengendalian Kimiawi (Efikasi)



Sencor 70 WP dan 2,4 D efektif terhadap gulma. Sencor 70 WP diberikan 2 minggu setelah tanam kentang, 2,4 D diberikan pada saat tanam kentang.

65



Kedua herbisida tersebut dapat menekan kehilangan hasil umbi kentang oleh gangguan gulma. Gulma yang paling dominan di lahan percobaan Balitsa di Lembang adalah Galensoga parviflora, Polygonum alatum dan Eleunsina indica, sedang jenis gulma lainnya yaitu Bareria latifolia, Commelina diffusa, Cyperus rotundus dan Drymania cordata.



Pengendalian Mekanik



Pengendalian gulma dengan penyiangan pada umur 1 dan 2 bulan setelah tanam kentang lebih efektif dibandingkan penggunaan herbisida (secara kimiawi).

11. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Utama Kentang •

Survei/Infentarisasi (1990/1991)



Hama utama tanaman kentang di propinsi Jatim adalah P. operculella, T. palmi dan M. persicae. Penyakit utama kentang di propinsi Jatim adalah cendawan P. infestans, Alternaria solani, Fusarium solani, Pseudomonas solanacearum dan bermacam-macam virus. Nematoda parasit utama kentang di propinsi Jatim adalah Meloidogyne sp (bengkak akar), Pratylenchus spp (peluka akar) dan Rotylenchulus neniparnus.

• • •

Pengendalian secara Kultur Teknik



Jarak kentang yang lebih rapat (60 x 25 cm) dari anjuran (70 x 30 cm) tidak mempengaruhi tingkat populasi dan kerusakan tanaman oleh hama/penyakit serta bobot hasil kentang. Tanaman jagung sampai dengan 2 baris dapat berfungsi sebagai barier hama/penyakit. Penggunaan mulsa plastik tidak berpengaruh terhadap tingkat populasi M. persicae, T. palmi dan serangan penyakit P. infestans, tetapi pada stadia tanaman tertentu dapat menekan tingkat kerusakan daun dan umbi oleh hama P. operculella. Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat meningkatkan serangan bakteri layu P. solanacearum dan menurunkan hasil umbi terpasarkan sebesar 15-33%. Pemulsaan dengan jerami berpengaruh positif dan dapat meningkatkan hasil umbi kentang terpasarkan sampai sekitar 23%. Peningkatan dapat mencapai 36% apabila mulsa jerami di kombinasikan dengan sanitasi. Sanitasi pratanam mampu mengurangi intensitas serangan P. solanacearum, tetapi tidak mampu menekan serangan P. operculella. Sanitasi pratanam dapat meningkatkan hasil umbi kentang terpasarkan sampai 23%. Perlu penelitian lebih lanjut perlakuan pemulsaan dan sanitasi pratanam untuk menekan OPT utama pada tanaman kentang.

• • • • • • • •

PHT (ARM 1990/1991)



Teknologi PHT kentang dapat meningkatkan hasil kentang terpasarkan hingga 3 x lipat dari hasil yang dicapai teknologi petani kentang setempat. Teknologi PHT kentang dapat menekan infetasi serangan hama dan penyakit yang merupakan OPT kentang setempat.



Evaluasi terhadap hasil penelitian memberikan gambaran umum menyangkut status, perkembangan dan peluang perbaikan program.

66

a) Secara umum, hasil-hasil penelitian terlihat masih kurang tajam dan tidak tuntas. Banyak topik penelitian yang memerlukan penelitian lanjutan, tetapi terhenti begitu saja. b) Proporsi penelitian lebih didominasi oleh kegiatan efikasi (pengujian) pestisida, yaitu penelitian yang hanya membandingkan efektivitas berbagai jenis pestisida terhadap hama/penyakit sasaran. Dari 3 judul tulisan yang menyoroti 5 topik hama, ternyata 32% merupakan kegiatan penelitian efikasi. Dari 28 judul tulisan yang menyoroti 3 topik penyakit, ternyata 36% merupakan kegiatan penelitian efikasi. c) Program penelitian perlu diperbaiki agar lebih terfokus pada prioritas permasalahan dan berkelanjutan sampai permasalahan tersebut benar-benar tuntas ditinjau dari segi efektivitas, aplikatif, nilai ekonomis dan dampaknya terhadap lingkungan baik biotik maupun abiotik. d) Di dalam penelitian pengujian (efikasi) pestisida, sebaiknya diikuti dengan pengujian potensi, resistensi OPT terhadap pestisida, terbunuhnya musuh alami dan terjadinya resurgensi OPT. e) Penelitian mengenai dampak pestisida terhadap ekosistem termasuk berapa nilai ekonomis untuk memulihkan kerusakan ekosistem tersebut, perlu lebih diperhatikan. Hal ini dapat digunakan sebagai data/pendukung yang kuat untuk menyarankan pengguna pestisida agar lebih berhati-hati. f) Penelitian-penelitian yang berorientasi untuk mengurangi penggunaan pestisida (musuh alami, bio pestisida, pestisida nabati, PHT) harus lebih ditingkatkan lagi. Namun demikian, penelitian ini harus didukung oleh penelitian bio-ekologi OPT maupun musuh alami agar pengembangannya dapat dilakukan secara lebih terarah. g) Penelitian yang bersifat observasi dan atau inventarisasi OPT serta musuh alami, sebaiknya dilakukan secara rutin, tetapi harus termasuk OPT sekunder agar peledakan OPT utama, atau munculnya OPT utama baru dapat diantisipasi lebih dini.

Pasca Panen Catatan Umum : 

Pada teknik prapanen belum ditemukan teknik yang dapat meningkatkan karakter fisikokimia umbi yang berkaitan dengan kualitas olah.



Seluruh penelitian panen yang sudah dilakukan umumnya menggunakan indikator umur tanaman (HST). Di lain pihak indikator tersebut rentan terhadap perubahan kultivar, ketinggian tempat, kesuburan tanah, musim, dan teknik budidaya lainnya. Sehingga hasilnya sangat spesifik. Teknik penentuan panen dengan cara menggabungkan 2 atau lebih indikator akan lebih representatif.



Penelitian perawatan umbi konsumsi umumnya diarahkan pada penekanan pertumbuhan tunas. Dari penggunaan bahan kimia, pelapis lilin merupakan hasil terbaik, yakni bisa menekan sampai 0% pada penyimpanan 3 bulan. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya diperlukan kajian lebih lanjut.



Penelitian penyimpanan umbi bibit masih terbatas kepada penggunaan gudang terang. Sedangkan untuk penyimpanan umbi konsumsi terbatas pada penggunaan box bambu dan suhu dingin, sehingga kurang aplicable, terutama pada skala besar.



Penelitian pengolahan masih terbatas pada pembuatan dan pengawetan kripik. Indikator kualitas olah ini pula yang selama ini digunakan untuk menentukan kualitas olah umbi kentang.

67



Hasil identifikasi mutu dan penanganan pascapanen secara umum sudah terangkum oleh hasil survey ke sentras produksi dan pasar. Namun akan lebih lengkap bila diperoleh data jumlah permintaan dan karakter fisikokimia umbi kentang berdasarkan pemanfaatannya.

Tabel 24

Topik, varietas dan ekosistem penelitian pasca panen 1982-2002

No

Topik

Varietas

1

Pra Panen Perlakuan MH 2 mg sebelum panen

Granola

Setelah disimpan 6 bulan, MH tidak efektif dalam menekan pertumbuhan tunas.

J. Hort 5 (5) : 13-16, 1996

Atlantic

Kualitas olah umbi kentang Atlantik tidak dipengaruhi oleh perlakuan dosis nitrogen, porasi dan Azospirillum

LHP 2002

Granola



Umbi kentang (Varietas Granola) umur panen 100 HST dapat disimpan 2 hari dengan kualitas kentang goreng yang masih disukai panelis. Panen pada umur 70 HST menghasilkan mutu kentang dengan kulitas fisik rendah ( kulit ari terkelupas dan hasil gorengnya banyak mengalami kerusakan). Panen pada umur 80 –90 HST dapat memperoleh umbi kentang bermutu baik dengan produksi yang masih dapat dipertahankan. Penyimpanan dalam suhu ruang tidak memberikan perbedaan dalam kualitas umbi goreng dibandingkan dengan penyimpanan suhu dingin. Umur panen lebih dari 90 HST jumlah umbi besar meningkat 4 – 15%. Varietas Atlantik dan umur panen 100 hari menghasilkan kualitas terbaik dibandingkan dengan varietas dan umur panen lainnya baik dari warna,kerenyahan, rasa maupun penampakan irisan umbi kentang setelah digoreng.

J. Hort 8(3) : 1208-1216 LHP 2002

Pemberian 2500-3500 ppm MH tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap kadar pati. Pemberian lilin Brogdex no. 551 (merk dagang) konsentrasi 4 % dapat mempertahankan kualitas umbi kentang selama penyimpanan dengan pertunasan 0%, TSS rendah, pati tinggi, kekerasan tinggi, dan penampakan yang masih tetap disukai panelis. Pemberian Dimethylnapthalene tidak memberikan perbedaan yang nyata dalam menekan pertunasan pada kentang selama 3 bulan penyimpanan.

BPH X (4) : 1983 : 25-30 LPH 1998/1999 LPH 1997/1998

Penyimpanan umbi bibit diruang terang dapat menaikkan hasil umbi basah kentang antara 16,926%, dari hasil tanaman menggunakan bibit hasil penyimpanan di ruang gelap. Penyimpanan di ruang terang menghasilkan bibit yang kuat dengan tunas pendek (X 2,08 cm), dan dapat mengurangi kehilangan berat 4-8%.

BPH 14 (2). 1986 : 27-32 BPH 20 (2). 1993 : 7-12

2

Penggunaan Nitrogen dan porasi serta Azospirillum. Panen Umur panen dan lama penyimpanan (3)

Sumber



• •

• •

3

Perawatan umbi segar Penggunaan MH pada umbi

Granola



Penggunaan pelapis lilin

Granola



Penggunaan Dimethylnapthalene

Granola



4

Penyimpanan umbi bibit Penyimpanan di ruang terang (2)

Granola





5

Penyimpanan umbi konsumsi

68

Cara penyimpanan kentang konsumsi (2) Pengaruh perlakuan suhu dan fungisida

Granola

• •



• 6

J. Hort 6(2) : 192-195 LHP 2002 BPH 14 (1) 1986 : 15-27

Perlakuan suhu 40°C dengan lama pengeringan 16 jam paling disukai panelis. Penggunaan plastik poliproetilen dengan ketebalan 0,07 mm baik dibandingkan dengan polietilen. Minyak bimoli baik dibanding Vetco & Barco. Keripik kentang yang disimpan di suhu ruang dengan kemasan plastik Polietilen 0,10 mm masih disukai konsumen sampai penyimpanan 4 minggu. terbukti dengan penilaian aroma, rasa dan tekstur yang masih disukai panelis.

J. Hort 8(2) : 1122-1129 BPH XII (1), 1992. 26-38 LHP 2002

Pengolahan •

Suhu dan lama pengeringan Jenis kemasan plastik dan minyak goreng Cara penyimpanan keripik kentang





7

Penyimpanan umbi kentang konsumsi dengan box bambu cenderung lebih baik dibanding dengan box dengan dua lapis dinding yang diisi sekam. Cara penyimpanan kotak bambu dengan ukuran (PLT) 60 x 50 x 36 cm, dengan jarak antar sekat 3 – 5 cm menunjukkan kualitas irisan umbi goreng paling baik ditinjau dari hasil penilaian panelis. Kultivar Atlantik menunjukkan kualitas olah yang lebih baik dibandingkan dengan Vanda. Perlakuan penyimpanan suhu dingin (3-8°C) dapat memperlambat pertunasan, menekan susut berat, mencegah kebusukan dan mempertahankan mutu fisik dan kimia, karena kentang yang disimpan disuhu kamar mengalami penurunan mutu terlalu cepat. Penggunaan Benlate 500 dan 1000 ppm tidak memberikan pengaruh yang positif.

Identifikasi Mutu dan Penanganan Pascapanen Perngujian kultivar/klon terpilih (2)

18 klon

Terdapat 2 klon kentang yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kentang prosesing yaitu klon 952108.3 dan 952146.1

LHP 1999/2000

Survey cara penyimpanan kentang

Umur panen, cara panen dan gudang penyimpanan petani dapat menimbulkan kehilangan sampai 25%, kehilangan petani kecil dan petani besar.

Identifikasi penanganan pascapanen

Petani : • Panen dilakukan dengan cara manual. • Pemangkasan daun 7 hari sebelum panen ( menghindari serangan penyakit daun dan menjaga kulit umbi agar tidak mudah lecet). • Petani melakukan Curing, sortasi, dan grading. • Kentang yang baru digali dibiarkan terkena panas matahari sampai tanah yang menempel pada kulit umbi terkelupas. • Sortasi dan grading dilakukan manual. • Kemasan yang digunakan karung jala kapasitas 30 – 40 kg.

LHP 1998/1999 BPH XX (1) 1990 : 1-7 LHP 2001

Pedagang pengumpul : • Penyimpanan dilkukan dengan cara menumpuk 3 – 5 lapis. dengan lama penyimpanan menunggu sampai jumlah mencukupi untuk diangkut. • Curing, sortasi dan grading dilakukan kembali apabila umbi terkena hujan. • Kondisi fisik dan kimia umbi belum terjadi perubahan yang signifikan. Pedagang grosir : • Penyimpanan dilakukan dalam kemasan karung

69

• •

Karakteristik mutu beberapa produk olahan kentang



jala yang ditumpuk 5 – 7 lapis. Kondisi fisik dan kimia umbi belum terjadi perubahan yang berarti. Keripik kentang mengandung kadar air 7,59%, kadar pati 40,87% dan warna keripik putih – krem. Dodol kentang mengandung kadar air 21,35%, kadar pati 7,096%, warna dodol hijau muda.

LHP 2001

Agro Ekonomi Penyebaran topik serta ekosistem dari penelitian agro-ekonomi selama kurun waktu 1980- 2001 memberikan gambaran umum sebagai berikut: • Topik penelitian ekonomi produksi proporsinya lebih dominan dibandingkan dengan topik penelitian agro-ekonimi lainnya. • Mayoritas ekosistem yang digunakan untuk penelitian kentang adalah dataran tinggi (31) dan hanya sebagian kecil yang dilaksanakan di dataran medium (2). Tabel 25 No.

Topik, varietas dan ekosistem penelitian agro-ekonomi 1982-2002 Topik

1.

Studi diagnostik atau lini dasar

2.

Studi ekonomi produksi

3.

Jlh. Laporan./ Artikel 3

Ekosistem

Sumber

dt (3)

JH (1); LHP (2)

16

dt (14), dm (2)

BPH 8 (2); 8 (3); 9 (5); 12 (3); 13 (1); 15 (1); 16 (3); 18 (3); 20 (3); 26 (4) JH 1 (2); 9 (3); 10b (2) LHP 98/99

Studi pemasaran dan analisis harga

6

dt (6)

BPH 26 (3); 26 (4) JH 7 (3); 8 (2); 10 (1); 11 (4)

4.

Studi konsumen

6

dt (6)

BPH 25 (2) JH 7 (4); 8 (3); 9 (3) LHP 97/98

5.

Studi respon petani terhadap teknologi Balitsa

1

dt

BPH 27 (2)

6.

Studi pengembangan/ pewilayahan

1

dt

BPH 27 (3)

Total

33

Keterangan : dt = dataran tinggi dm = dataran medium BPH = Buletin Penelitian Hortikultura JH = Jurnal Hortikultura LHP = Laporan Hasil Penelitian

70

Hasil penelitian per topik sampai dengan tahun anggaran 2001 adalah sebagai berikut : 1. Studi diagnostik atau lini dasar • • •

• •

Komponen biaya produksi pengendalian hama penyakit kentang di Pangalengan cenderung meningkat dengan cepat. Secara berurutan, organisme pengganggu utama tanaman kentang (a) Liriomysa sp. (lalat), (b) Phythophtora infestan (busuh daun), (c) Pseudomonas solanacearum (layu), dan (d) Thrips palmi (pengisap daun). Sistem pengetahuan lokal menunjukkan (a) petani secara lengkap dapat mengiden-tifikasi gejala serangan serta faktor-faktor penyebab dan stimulan keempat jenis hama tersebut, dan (b) petani melakukan kegiatan pemantauan secara intensif serta melaksanakan pengendalian mekanis serta kultur teknis. Akibat faktor risiko kegagalan panen dan terbatasnya alternatif pengendalian yang tersedia, petani memiliki ketergantungan terhadap pengendalian secara kimiawi dan penggunaan pestisida cenderung berlebih. Komponen strategi lokal yang berpotensi mendukung perbaikan pengendalian adalah system pemantauan yang lebih intensif, penentuan ambang kendali/kerusakan dan perlakuan antar musim.

2. Studi ekonomi produksi •

Di dataran tinggi (Lembang) o Besarnya biaya produksi kentang (varietas Katela) adalah: (a) bahan (bibit, pupuk dan pestisida) – 73,51%, (b) tenaga kerja – 15,03%, dan (c) bunga modal dan lainlain – 11,46%. R/C rasio 1,42 lebih tinggi dibanding varitas Donata (1,10), Thung (1,05) dan Draga (0,99). o Komposisi biaya produksi kentang (varietas Rapan 106): (a) bibit – 33,10%, (b) pupuk – 30,01%, (c) pestisida – 9,86%, (d) tenaga kerja – 14,23%, (d) bunga modal dan lain-lain – 12,79%. R/C rasio 1,01.



Di dataran tinggi (Pangalengan) o Penambahan penggunaan input tenaga kerja wanita masih dapat meningkatkan produksi kentang di daerah Pangalengan meskipun pengaruhnya sangat kecil, sedangkan penggunaan tenaga kerja pria harus dikurangi. o Penggunaan luas lahan garapan masih sangat nyata dapat ditingkatkan efisiensinya. o Pada luasan 0,3 hektar, penggunaan umbi bibit kentang ukuran kecil (15–30 gram) diperlukan 246 kg, sementara penggunaan umbi bibit ukuran sedang (30-40 gram) diperlukan 514 kg. o Secara ekonomis, penggunaan umbi bibit ukuran sedang relatif lebih efisien, yaitu dengan R/C rasio lebih tinggi (1,50) dibandingkan dengan umbi kecil (1,47). o Besarnya biaya produksi kentang di Pangalengan Rp. 3.189.948. Biaya terbesar untuk tenaga kerja (26,50%), pestisida (26,35%), dan bibit (26,27%). Biaya pupuk (15,23%), bunga modal (5,66%), dan sewa lahan (4,79%). o Pada tingkat hasil 13.644,5 kg kentang konsumsi dan 1.167 kg kentang bibit dengan harga jual Rp. 255/kg dan Rp. 700/kg, pendapatan usahatani adalah Rp. 4.301.324. R/C rasio 1,34.

71



Di dataran tinggi (Sukabumi) o Keuntungan bersih usahatani kentang musim kemarau nyata lebih tinggi (Rp. 1.202.021,77/ha) dibandingkan dengan musim hujan (Rp. 546.954,90 /ha). o Musim kemarau: produktivitas lahan relatif lebih baik (14.817,61 kg/ha), harga output lebih tinggi dan biaya produksi per-kilogram kentang lebih rendah.



Di dataran tinggi (Jawa Barat) o Alokasi penggunaan input produksi kentang belum berada pada tingkat yang optimal, penggunaan lahan garapan dan pupuk kandang perlu ditingkatkan, sementara bibit, pestisida, tenaga kerja dan pupuk buatan penggunaannya harus dikurangi.



Di dataran tinggi (Malang) o Komposisi biaya produksi kentang pada lahan sawah di Pujon-Malang adalah: (a) tenaga kerja – 23,90%, (b) bibit – 21,23%, (c) pupuk (kandang dan buatan) – 20,94%, sewa tanah – 18,59%, pestisida – 12,21% dan bunga modal – 3,13%. o Pada harga jual normal/rata-rata Rp. 275/kg, harga minimum Rp. 190/kg, dan harga maksimum Rp. 325/kg, serta dengan sasaran pendapatan petani Rp. 500.000 per-musim tanam, maka luas minimum usahatani kentang berturut-turut sebesar 0,277 hektar, 0,470 hektar, dan 0,223 hektar. o Dengan nilai kendala/keterbatasan tanah, modal dan tenaga kerja, luas optimum usahatani kentang pada lahan sawah di Pujon-Malang adalah 0,247 hektar yang memberikan pendapatan sebesar Rp. 631.906



Di dataran tinggi (Wonosobo) o Perbaikan pendidikan dan pengalaman masih berpeluang untuk meningkatkan produksi kentang petani di Wonosobo. o Kapasitas pengelolaan belum diterapkan secara optimal, sehingga proses produksi masih bersifat “increasing return to scale”.



Di dataran medium (Kuningan) o Secara finansial, teknik pertanaman kentang + bawang daun di dataran medium Kuningan paling menguntungkan. o Dengan total penerimaan kentang Rp. 24.320.000 + bawang daun Rp. 16.544.000, serta total biaya produksi Rp. 20.178.638/ hektar (R/C rasio = 2,03) lebih tinggi dibandingkan dengan kentang monokultur (1,90), kentang + kubis (1,55) dan kentang +ubi jalar (1,11).



Di dataran medium (Magelang) o Di dataran medium Magelang, teknik pertanaman kentang + bawang daun secara finansial paling menguntungkan. o Dengan total biaya produksi Rp. 18.558.282 dan total penerimaan Rp. 40.616.000/hektar, R/C rasionya 2,19. Selanjutnya diikuti Kentang + kubis (1,76), kentang monokultur (1,58), dan kentang + ubi jalar (1,04).



Kultur jaringan kentang o Biaya variable/botol plantlet in-vitro @ 10 plantlet Rp. 2.312. o Bila harga jual Rp. 3.500/botol, BEP 11.791 botol plantlet/tahun. o Bila harga jual Rp. 5.000/botol, BEP 5.2111 botol plantlet/tahun o Produksi umbi bibit mini melalui stek batang secara finansial menguntungkan.

72

o Pada tingkat produksi rendah 1,4 umbi mini/tanaman dengan proporsi hasil 44% berukuran sekitar 5 gram, diperoleh nilai NPV Rp. 465.500. o Jika produksi meningkat 2 umbi mini/tanaman dengan 50% hasil berukuran 5 gram, nilai NPV meningkat menjadi Rp. 900.000. o Masih perlu dikembangkan komponen teknologi untuk meningkatkan jumlah dan ukuran hasil umbi mini asal stek. •

Pertumbuhan produksi kentang o Tingkat pertumbuhan rata-rata produksi kentang dalam periode 1969-1995 adalah 11,3%. o Dari tahun ke tahun pola pertumbuhannya cenderung meningkat o Faktor dominan sumber pertumbuhan adalah peningkatan areal tanam dan bukan produktivitas. Dengan demikian perlu strategi pendekatan pengembangan yang lebih memberikan penekanan pada peningkatan akselerasi pertumbuhan produksi kentang berbasis peningkatan produktivitas atau inovasi teknologi.

3. Studi pemasaran dan analisis harga •

Analisis harga kentang o Berdasarkan hubungan harga di tingkat petani dan harga di tingkat eceran, terdapat indikasi bahwa jenis penyebaran harga kentang adalah marjin absolut tetap (fixed absolut margin). o Pasar di tingkat produsen merupakan sumber informasi harga yang lebih penting dibandingkan dengan pasar grosir maupun pasar eceran. o Pasar grosir dan pasar eceran kurang efisien dalam mencerminkan informasi baru. o Pasar eceran lebih cepat dalam melakukan penyesuaian terhadap informasi harga yang baru dibandingkan dengan pasar di tingkat grosir. o Pasar di tingkat grosir kurang berperan dalam proses penentuan harga. o Variasi kesalahan dalam peramalan harga kentang yang sebagian besar diterangkan oleh inovasi harga di tingkat pasar eceran, menunjukkan bahwa pasar ini bersifat “exogenous”. o Setiap perubahan pada sistem yang terjadi baik dari sisi penawaran maupun permintaan kentang, akan terasa pengeruhnya setelah tanggang waktu satu bulan, o Masih diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai peranan serta efektivitas pasar grosir dalam proses penentuan harga.



Marjin tataniaga kentang o Selama periode 1985-1995, marjin tataniaga kentang di Jawa Barat dan Sumatera Utara cenderung terus meningkat. o Bagian petani dari harga kentang yang dibayarkan konsumen berkisar antara 7091%. o Selama periode 1985-1995, secara umum bagian yang diterima petani relatif lebih stabil dibandingkan dengan marjin tataniaga.

4. Studi konsumen •

Preferensi konsumen (Lembaga) o Bentuk umbi bulat lonjong/oval, ukuran sedang-besar, kedalaman mata dangkal, warna kulit coklat muda dan rasanya agak manis, tidak getir, bertekstur empuk

73

merupakan faktor-faktor kualitas yang sesuai dengan preferensi konsumen hotel, restoran dan rumah sakit. o Meskipun warna daging, kepadatan umbi dan jumlah mata kurang dipertimbangkan, namun konsumen hotel lebih menyukai warna daging putih kekuningan, umbi yang padat dan jumlah mata sedikit. o Sistem pasokan kentang untuk konsumen lembaga dilakukan melalui jasa pemasok (sistem kontrak) atau dengan pembelian langsung dari pasar. •

Preferensi konsumen (Rumah Tangga) o Tidak terdapat perbedaan antara konsumen perkotaan dan pedesaan dalam hal menilai kualitas kentang. o Petunjuk kualitas yang diperhatikan konsumen dalam menilai kualitas kentang adalah bagian dalam dan rasa. o Idiotipe kualitas yang disukai oleh konsumen rumah tangga berturut-turut adalah tekstur umbi yang empuk, rasa umbi agak manis, tidak getir, dan warna daging kekuningan. o Persepsi konsumen menyangkut kualitas produk dan pendapatan merupakan dua faktor terpenting yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam menentukan harga maksimal yang sanggup dibayarkan konsumen untuk membeli kentang. o Dalam menentukan harga maksimal yang sanggup dibayarkan untuk membeli kentang, konsumen lebih bersifat peduli harga (faktor harga lebih dominan dalam menentukan keputusan pembelian).



Preferensi kentang olahan o Konsumen lebih memilih keripik kentang karena konsumen cenderung mempersepsi keripik kentang memiliki citra produk yang lebih baik atau bergengsi dibandingkan dengan keripik singkong. o Frekuensi pembelian paling dominan 1-2 kali/bulan, dalam bentuk digorengdikemas (siap santap). o Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin sering konsumen membeli keripik kentang dalam kemasan 200 gram, serta semakin jarang konsumen memperoleh keripik kentang dari pasar umum. o Berkaitan dengan kandungan gizi, keputusan konsumen untuk membeli keripik kentang seringkali didasarkan pada suatu persepsi, bukan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya. o Analisis petunjuk kualitas memberikan gambaran umum bahwa chitato (produk skala besar) adalah jenis keripik yang paling disukai dibandingkan dengan Karya Umbi – asli dan keju, Lay’s dan Pringle. o Aspek rasa merupakan petunjuk kualitas utama yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih/membeli keripik kentang. o Implikasinya perlu perhatian pengolah terhadap pemahaman persepsi dan pengembangan citra produk, khususnya untuk produk keripik kentang skala kecil.

5. Studi respon petani terhadap teknologi Balitsa • TPS (True Potato Seed) belum sepenuhnya diterima/diadopsi petani, karena beberapa progeni TPS yang ada masih kurang sesuai dengan kondisi petani.

74

• Petani mengharapkan progeni TPS harus memiliki karakteristik : (a) produksi tinggi, (b) bentuk umbi seragam, (c) stolon tidak panjang, (d) umur panen kurang dari 100 hari, (e) tahan layu, (f) tahan busuk di gudang, dan (g) produksi yang tinggi. • Varietas/klon kentang No. 902127 merupakan temuan Balitsa yang paling disenangi oleh petani (skor = 2,3), hampir sama seperti petani menyenangi Granola (skor = 2,6). • Kelemahan klon No. 902127 umbi banyak yang pecah dan warna mata merah, sehingga masih perlu perbaikan. 6. Studi pengembangan/pewilayahan • Daerah pengembangan TPS (True Potato Seed) telah dilakukan ke seluruh propinsi Indonesia. • Pengembangan TPS di pulau Jawa menempati urutan pertama, yaitu sekitar 45%, diikuti Sumatera 35%, dan pulau lainnya 20%.

X. Kendala pengembangan dari sisi tekno-sosio-ekonomis Analisis data tahunan produksi dan areal tanam kentang mencakup periode waktu 1969-2002 menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata produksi kentang di Indonesia adalah 4,35% dengan pola pertumbuhan produksi yang bersifat meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi peningkatan dari komponen areal tanam dan produktivitas terhadap pertumbuhan produksi kentang secara berturut-turut adalah 2,89% dan 1,46%. Dengan demikian, sumber dominan yang menyebabkan peningkatan produksi kentang selama periode 1969-2002 adalah peningkatan areal tanam. Pola pertumbuhan produksi yang didominasi oleh peningkatan areal tanam (kontribusi areal tanam lebih besar dibandingkan dengan kontribusi produktivitas), mengindikasikan beberapa kendala pengembangan sebagai berikut: • Inovasi teknologi/penelitian yang ada belum dapat memacu pertumbuhan produksi berbasis peningkatan produktivitas. Salah satu diantaranya adalah belum adanya varietas baru kentang yang dikategorikan lebih unggul daripada Granola dan telah banyak digunakan di tingkat petani. • Komponen teknologi budidaya yang tersedia secara umum belum dapat memacu peningkatan produktivitas Granola. Salah satu komponen vital adalah masih rendahnya ketersediaan bibit kentang berkualitas serta relatif terbatasnya akses petani untuk memperoleh bibit berkualitas tersebut. • Program penyuluhan, terutama dikaitkan dengan proses alih teknologi di tingkat petani, belum berjalan secara optimal. • Keragaman areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan produksi kentang secara umum, dibandingkan dengan keragaman produktivitas. Dengan demikian, probabilitas terjadinya fluktuasi pasokan relatif lebih tinggi. Hubungan positif antara pendapatan dan konsumsi kentang di negara berkembang juga mengindikasikan bahwa pada tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, konsumsi kentang ternyata masih jauh dari titik saturasi. Pertumbuhan konsumsi kentang per kapita juga dipengaruhi oleh harga relatif, ketersediaan bahan substitusi, selera, preferensi serta berbagai faktor demografis dan kultural. Dari sisi konsumsi, diversifikasi pemanfaatan yang relatif masih rendah dan terbatas pada pemanfaatan untuk pangan (bahkan bukan bahan pangan pokok), serta harga kentang yang relatif mahal, menyebabkan perkembangan permintaan kentang relatif lambat. Hal ini pada gilirannya dapat dikategorikan sebagai salah satu faktor pembatas pengembangan produksi kentang di Indonesia.

75

Indikator bagian petani (farmer's share) sebesar 81,8% dari harga eceran dan keragaman atau fluktuasi harga yang relatif lebih stabil dibandingkan dengan jenis sayuran major lainnya serta minimalnya campur tangan (pasar) pemerintah, memberikan gambaran bahwa struktur pasar domestik kentang dapat dikategorikan bersaing sempurna dan keragaannya cukup efisien. Namun demikian, hal ini tidak terjadi pada pasar kentang ekspor. Data ekspor menunjukkan penurunan yang cukup signifikan sejak 1997. Kentang dari Indonesia kurang dapat bersaing dengan kentang yang berasal dari China, Vietnam dan Australia di pasar Singapura dan Malaysia. Kemudahan administrasi ekspor serta keuntungan demografis ternyata tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena untuk spesifikasi dan kualitas kentang yang hampir serupa, kentang dari Indonesia dijual lebih mahal dibandingkan dengan kentang dari Cina. Dugaan bahwa kentang Indonesia kurang dapat bersaing karena biaya produksi yang lebih tinggi perlu diklarifikasi lebih lanjut. Harga kentang relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga sayuran lain, misalnya tomat, kubis dan siampo. Namun demikian, koefisien variasi harga kentang di tingkat sentra produksi secara konsisten ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat grosir. Hal ini mengimplikasikan bahwa produsen harus menghadapi risiko harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang besar/grosir. Selama periode 1997-2001, pola musiman harga kentang di tingkat petani dan tingkat pedagang besar menunjukkan pola yang serupa, yaitu harga kentang terendah terjadi pada bulan Pebruari, sedangkan harga kentang tertinggi tercapai pada bulan November. Walaupun kentang pada dasarnya dapat ditanam sepanjang tahun pola perilaku harga kentang secara eksplisit menunjukkan adanya pola musiman penanaman kentang (peak and low season). Sampai saat ini, hama penyakit masih merupakan kendala biotis utama produksi kentang, karena dapat menyebabkan kehilangan hasil dengan kisaran 25-90%. Kendala biotis penting pada kentang diantaranya penyakit jamur (terutama late blight), penyakit bakteri (terutama bacterial wilt), penyakit virus (terutama PVX, PLRV, PVY, PVA, PVM dan PVS) serta insek (terutama Myzus persicae dan Thrips spp). Leaf miner atau Liriomyza huidobrensis yang pada awalnya merupakan hama sekunder juga terkadang berkembang sebagai hama utama. Hama lain yang juga harus mulai diperhatikan adalah Bemesia tabaci and nematoda. Intensitas penggunaan input yang tinggi pada penanaman kentang menyebabkan usahatani ini dikategorikan sebagai jenis usaha berbiaya tinggi. Oleh karena itu, pendanaan atau permodalan seringkali merupakan kendala produksi kentang. Banyak petani kecil yang menghadapi kesulitan untuk bertahan, terutama karena relatif terbatasnya akses kredit serta ketidak mampuan petani untuk menanggung risiko peminjaman modal tersebut. Intensitas penggunaan input tinggi, terutama pestisida, bahkan tidak saja berimplikasi terhadap tingginya biaya usahatani (tingkat kebersaingan produk), tetapi juga terhadap semakin terganggunya keseimbangan ekosistem. Produksi kentang secara agronomis terkadang juga masih terkendala oleh buruknya kesuburan tanah, kondisi iklim yang kurang mendukung serta sistem pola tanam yang belum tertata. Di daerah/area tertentu dimana perlakuan agronomi tidak lagi dapat mengatasi permasalahan, maka diperlukan varietas-varietas baru kentang yang toleran terhadap berbagai kondisi lingkungan. Sampai saat ini, berbagai varietas alternatif yang dibutuhkan tersebut ternyata masih belum tersedia. Sementara itu, ada pula beberapa karakteristik biologis kentang yang dapat menjadi kendala pengembangan: • Tingkat multiplikasi benih yang relatif rendah • Kesulitan serta biaya tinggi yang diperlukan untuk memelihara kualitas bibit melalui berbagai metode perbanyakan, sebab kentang suseptibel terhadap penyakit tular tanah dan udara • Kebutuhan bibit kentang yang relatif bulky, yaitu 1-2 ton/ha

76

Sistem perbenihan kentang masih didominasi oleh sistem informal petani (menyisihkan sebagian hasil panen untuk bibit musim tanam berikutnya). Sampai saat ini, Indonesia masih belum memiliki sistem perbenihan yang terorganisasi baik dan viabilitasnya berkesinambungan. Penghambat dari kondisi ini adalah kombinasi dari keterbatasan kemampuan teknis sumberdaya manusia, kemampuan manajerial di sektor publik, serta kendala kebijakan dan kelembagaan, sehubungan dengan prioritas pengembangan.

XI. Prospek, kebijakan dan strategi pengembangan Berbagai indikator di atas (pertumbuhan produksi, konsumsi, stabilitas harga dan kelayakan finansial) memberikan gambaran bahwa prospek pengembangan komoditas kentang di Indonesia masih cukup baik. Gambaran tersebut secara implisit juga menunjukkan bahwa prospek peranan kentang dalam sistem pangan Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan perubahan demografis, ekonomi, politis serta lingkungan. Beberapa faktor penentu utama diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, tingkat urbanisasi, tingkat pendapatan serta penurunan/peningkatan daya beli konsumen. Perlu pula diperhatikan bahwa perubahan diet, liberalisasi pasar dan perdagangan serta tekanan/proteksi terhadap basis sumberdaya alam juga akan mempengaruhi penawaran dan permintaan kentang di masa depan. Berbagai perubahan ini cenderung mendorong produsen dan konsumen untuk memproduksi dan mengkonsumsi lebih banyak kentang dengan cara, utilisasi dan penggunaan teknologi baru. Sejak awal dibudidayakan, kentang ditanam di daerah atau ekosistem dataran tinggi. Kendala utama peningkatan produksi kentang di tingkat usahatani adalah penurunan kesuburan tanah, serangan hama penyakit serta keterbatasan ketersediaan bibit kentang berkualitas. Penggunaan bibit kentang generasi lanjut yang biasanya sudah rentan terhadap hama/penyakit juga berperan terhadap relatif rendahnya produktivitas dan tingginya variasi produktivitas antar usahatani. Sementara itu, varietas baru yang dapat digunakan sebagai alternatif Granola juga belum berkembang optimal. Oleh karena itu, isu penting yang perlu diantisipasi berkenaan dengan strategi pengembangan kentang adalah aspek keberlanjutan usahatani secara keseluruhan. Perlu penelitian interdisiplin berupa studi dampak pengelolaan intensif usahatani kentang terhadap sustainabilitas ekosistem, terutama dataran tinggi. Beberapa topik penelitian yang juga perlu dipertimbangkan diantaranya adalah status kesuburan tanah dan pola tanam, status hama penyakit, preferensi petani terhadap varietas, bahkan kelayakan pengembangan kentang di dataran medium. Keterbatasan lahan untuk ekspansi serta ekspektasi tinggi untuk meningkatkan produktivitas cenderung mengarah pada penggunaan input, terutama pupuk dan pestisida, secara berlebih. Hal ini pada gilirannya telah meningkatkan biaya produksi dan mengurangi kebersaingan komoditas kentang, terutama untuk pasar ekspor. Sementara itu, observasi lapang mengindikasikan bahwa rekomendasi PHT kentang masih belum banyak diadopsi petani, karena risiko kehilangan hasil dari teknologi tersebut masih dipersepsi tinggi. Rendahnya adopsi ini tidak saja berlaku untuk komponen PHT, tetapi juga untuk berbagai komponen teknologi lainnya, misalnya varietas baru. Oleh karena itu, kaji ulang untuk berbagai teknologi kentang perlu dilakukan sebagai bahan masukan untuk program pengembangan. Beberapa usulan kebijakan dan strategi pengembangan yang bersifat generik dapat dikemukakan sebagai berikut:

77

a.

b.

c.

d.

Perlu dipertimbangkan pelaksanaan studi dampak berkenaan dengan teknologi usahatani kentang yang ada sekarang terhadap status kesuburan tanah, hama penyakit dan sistem pertanaman atau sistem usahatani untuk mendapatkan assessment apakah teknologi yang ada cenderung lebih memberikan solusi atau justru lebih menimbulkan masalah. Penelitian dan pengembangan komoditas kentang perlu diarahkan untuk menciptakan teknologi tepat guna yang memiliki karakteristik sebagai pengurang tingkat risiko. Secara implisit, hal ini juga mencakup teknologi yang menghasilkan output di bawah tingkat produksi maksimal dan bertumpu pada pemanfaatan proses biologis serta sumberdaya yang renewable. Penataan kelembagaan dan kebijakan yang diarahkan untuk memberikan fasilitas kredit serta memperbaiki sistem pembibitan formal maupun informal merupakan langkah penting yang perlu segera diinisiasi agar keragaan dan efektivitas pengembangan kentang dapat terus ditingkatkan. Dalam rangka memperlambat degradasi lingkungan di dataran tinggi, berbagai komponen teknologi yang mengarah pada integrated crop management (teknologi yang mempertimbangkan sensitivitas lingkungan, viabilitas ekonomis, pendekatan keseluruhan usahatani, teknologi moderen, efifiensi penggunaan input, produk berkualitas sesuai kebutuhan konsumen dan strategi jangka panjang) perlu lebih dipacu perancangannya. Komponen teknologi tersebut perlu pula didukung oleh kebijakan pemerintah yang jelas menyangkut pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem dataran tinggi. Disamping itu, berbagai kemungkinan pengembangan kentang ke dataran medium juga perlu dijajagi kembali kelayakan teknis, ekonomis dan sosialnya secara lebih komprehensif. Keragaan pasar kentang dengan segala permasalahannya perlu mendapat perhatian yang lebih besar dari pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah perlu terus didorong untuk memfasilitasi pasar persaingan sempurna (melalui penerbitan regulasi pasar standar, pemberian jasa informasi pasar serta perbaikan infrastruktur pasar). Khusus untuk pasar ekspor, kebersaingan kentang Indonesia dalam jangka panjang perlu ditingkatkan melalui upaya pengurangan biaya produksi. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui perbaikan kualitas bibit kentang konsumsi dan kentang prosesing serta perbaikan budidaya yang mengikuti prinsip keberlanjutan.

Daftar Pustaka Adamowicz, W. L.., S. O. Baah, and M. H. Hawkins. 1984. Pricing efficiency in hog markets. Canadian J. of Agr. Econ., 32(2): 462-477. Adiyoga, W. 1996. Marjin tataniaga dan bagian petani untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Jurnal Hortikultura 7(3): 840-851 Adiyoga, W. 1998a. Pola pertumbuhan produksi beberapa jenis sayuran di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang Adiyoga, W. 1998b. Hubungan kausal antara harga sayuran di tingkat produsen dan konsumen. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang Adiyoga, W. 1998c. Alternatif model ARIMA (Autoregressive-integrated-moving average) untuk peramalan harga kentang. Jurnal Hortikultura 8(2): 1131-1136 Adiyoga, W. 1999a. Perkembangan ekspor-impor dan ketidak-stabilan penerimaan ekspor komoditas sayuran di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang

78

Adiyoga, W., R. Suherman, A. Asgar and Infansyah. 1999b. Potatoes in West Java: A rapid appraisal of production, marketing, processing and consumer preferences. International Potato Center (CIP), Lima, Peru. Ameriana, M ., W. Adiyoga., L. Sulistyowati dan D. Makmun ., 1998. Perilaku konsumen rumah tangga dalam menilai kualitas kentang. J. Hort 7(4) : 944 - 951. Bessler, D. A. and J. A. Brandt. 1982. Causality tests in livestock models. Amer. J. of Agr. Econ., 64(4): 512-516. Bessler, D. A. and L. F. Schrader. 1980. Measuring leads and lags among prices: Turkey products. Agr. Econ. Res., 32(6): 1-7. Bisaliah, S. 1986. Soybean development in India: A methodological frame. In CGPRT. Socioeconomic research on food legumes and coarse grains: Methodological issues. CGPRT No. 4. Bogor, Indonesia. Bottema, T., P. U. Hadi and M. Ferrari. 1991. Potato in Indonesia: Recent development. In the Proceeding of Symposium on Development in Potato Processing and Storage in Asia. June 17-18, Bandung, Indonesia. CIP. 1998.

CIP potato facts: Growth in production accelerates.

Available in CIP website at

http://www.cipotato.org/

CIP. 2000. Potato and sweet potato as sources of food. http://www.cipotato.org/market/belgtech/sources.htm

Available in CIP website at

Colman, D & Young, T. 1989. Principles of agricultural economics: Markets and prices in less developed countries. Cambridge University Press, Great Britain. Colclough, W. G. and M. D. Lange. 1982. Empirical evidence of causality from consumer to wholesale prices. J. of Econometrics, 19(3): 379-384. Dahl, D. C. and J. W. Hammond. 1977. Market and price analysis: The agricultural industries. McGraw-Hill Book Company, New York. Dillon, J. L. & Hardaker, J. B. 1980. Farm management research for small farmer development. Food and Agriculture Organization Agricultural Services Bulletin, Rome. Faminov, M. D. and M. E. Sarhan. 1980. Meat pricing systems in the United States. Canadian J. of Agr. Econ., 24(4): 100-109. FAO. 1998. Potato: Production, utilization and consumption. FAOSTAT (June, 1998) Ferrari, M. F. 1994. 20 years of horticulture in Indonesia: The vegetable subsector. Working Paper No. 15. The CGPRT Center, Bogor, Indonesia Hazell, P. B. R. 1984. Sources of increased instability in Indian and US cereal production. Amer. J. of Agr. Econ., 66(2): 302-311. Higginson, N., M. Hawkins, and W. Adamowicz. 1988. Pricing relationships in inter-dependent North American hog markets: The impact of the countervailing duty. Canadian J. of Agr. Econ., 36(1): 501-518. Horton, D. 1980. Potato marketing in developing countries. Social Science Department Training Document. International Potato Center, Lima, Peru. Horton, D. 1987. Potatoes: Production, marketing, and programs for deve-loping countries. Westview Press, Boulder, USA.

79

Miller, S. E. 1980. Lead-lag relationships between pork prices at the retail, wholesale and far levels. Southern J. of Agr. Econ., 62(3): 73-76. Roche, F. 1988. Sustainable farm development in Java's critical lands: Is a green revolution really necessary? Internal Paper. University of Stanford. Setiadi, T. 1995. Peluang pasar kentang di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Agribisnis Kentang, Agribusiness Club, 18-19 Januari 1995, Jakarta. Silver, J. L. and T. D. Wallace. 1980. The lag relationship between wholesale and consumer prices. J. of Econometrics, 12(4): 375-387. Sosnick, S. 1968. Toward a concrete concept of effective competition. Agricultural Economics 50:827-853.

American Journal of

Steenkamp, J. E. B. M., B. Wierenga dan M. T. G Meulenberg., 1986. Analysis of food quality perception processes. Netherlands Journal of Agricultural Science 34 : 227 - 230. Steenkamp, J. E. B. M dan J. C. M van Trijp., 1988. Determinants of food quality perception and their relationships to physico-chemical characteristics : An Application to meat. Netherlands Journal of Agricultural Science 36 : 390 - 395. Susilowati, S.H., M. Ariani dan G.S. Hardono. 1997. Trend dan permasalahan impor pangan di Indonesia. Dalam A. Suryana, T. Sudaryanto dan S. Mardianto (Penyunting). Kebijakan Pembangunan Pertanian: Analisis Kebijaksanaan Antisipatif dan Responsif. Monograph Series No. 17. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Timmer, C. P. 1974. A Model of Rice Marketing Margins in Indonesia. Food Research Institute Studies 13(2):145-167. Ward, R.W. 1982. Asymmetry in retail, wholesale, and shipping point pricing for fresh vegetables. Amer. J. of Agr. Econ., 64(2): 205-212. Woolfe, J. A. 1987. The potato in the human diet. Cambridge University Press

80

Related Documents