Pandu Pramuka di Tatar Sunda Oleh POPONG OTJE DJUNDJUNAN
PADA saat seorang pemuda yang bernama Pamanahrasa digembleng bersama saudarasaudaranya di hutan, di sungai, di gunung, lima tahun berturut-turut oleh para pelatihnya, maka lahirlah pandu-pandu sejati. Para pemuda itu tumbuh menjadi manusia-manusia yang sehat fisiknya, sehat mentalnya, sehat otaknya, sehat nuraninya, dan sehat nyalinya; ”cageur, bageur, bener, pinter, singer, teuneung tur ludeung”. Itu terjadi ratusan tahun yang lalu. Walau tidak menamakan dirinya pandu atau pramuka, mereka telah menjadi pandu pramuka sejati, menjadi pandu dalam arti yang hakiki. Mereka menyatu dengan alam, mereka solid, mereka bahu-membahu, senasib sepenanggungan, sareundeuk saigel sabobot sapihanean. Benang emas inilah yang harus nganteng di tatar Sunda dari masa ke masa. Zaman boleh berubah, tetapi idealisme, filosofi Sunda yang demikian luhung tidak boleh bergeser sedikit pun. Pamanahrasa telah menjadi seorang pandu pramuka ratusan tahun yang lalu. Pemuda Pamanahrasa yang sehat fisik, mental maupun moralnya, akhirnya menjelma menjadi seorang raja yang sangat disegani, terhormat, dicintai dan mencitai rakyatnya, semerbak mewangi sepanjang sejarah masa. Dialah Prabu Siliwangi. Kita sebagai darah daging keturunannya sebagai bagian dari seuweu-siwi Siliwangi, boleh bangga karena ternyata ratusan tahun yang lalu sudah ada seorang pramuka di tatar Sunda. Saya ingin mengartikan pramuka di sini bukan semata-mata secara fisik maupun institusi, tetapi sikap dan kejiwaan. Bisakah kita berjiwa pramuka seperti raja kita? Pasti bisa. Setiap manusia, di mana pun di muka bumi ini hanya menjalani dua garis kehidupan: naluri dan budaya. Naluri dan budaya bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Naluri akan mengalir begitu saja. Tanpa proses belajar mengajar pun, naluri akan mengalir begitu saja. Tetapi budaya tidak akan pernah ada tanpa pendidikan. Pamanahrasa menjadi manusia unggul dan istimewa pada masanya karena pendidikan. Budaya dan peradaban secara runtut ditransfer ke generasi berikutnya, di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Seratus tahun lalu, seorang Baden Powell mencoba mentransfer kepanduan. Tahun 1947 waktu berumur 9 tahun, penulis bersama teman sebaya tanpa kecuali ikut latihan kepanduan tahap awal yang dinamai kurcaci. Proses pembelajaran tidak berbeda dengan gugus depan (gudep) sekarang. Ternyata sentuhan kepanduan pada masa kanak-kanak telah membentuk jiwa kami menjadi manusia yang terbiasa disiplin, berani, solider, ngaji rasa, dan optimistis. Akan tetapi, kami pada sat itu hanya tahu nama Baden Powell. Kami tidak tahu Prabu Siliwangi apalagi pemuda Pamanahrasa. Kami tidak mengenal nilai-nilai luhung dari
bumi kami sendiri, kami tidak pernah menyadari bahwa ada filosofi yang universal dari leluhur kami. Mengapa harus Baden Powell? Mengapa tidak dari Pamanahrasa? Mengapa filosofi leluhur kita yang demikian ideal: silih asih, silih asah, silih asuh, hade ku omong, goreng ku omong, mun teu ngakal moal ngakeul, dan sebagainya tidak bisa mendunia? Jawabannya tidak untuk disesali, tetapi untuk introspeksi, ngaji diri, pasti ada something wrong dalam diri kita secara mikro, pada etnis kita secara makro. Maksud saya ada sesuatu yang salah dalam sistem estafet nilai budaya yang sudah kita miliki, alias ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan kita. Adalah sesuatu yang perlu kita syukuri bahwa masih ada sebagian orang yang mau memikirkan masa depan anak bangsa kita. Masih ada sebagian orang yang ingin menyambungkan kembali benang emas yang purusa dari jiwa pemuda Pamanahrasa ratusan tahun yang lalu untuk menjadi jiwa pemuda pramuka masa kini; cageur, bageur, bener, pinter, singer, teuneung tur ludeung. Mari kita kaitkan dengan globalisasi. Era globalisasi adalah era di masa kita bisa membuktikan kepada bangsa lain bahwa di dunia ini ada etnis di tatar Sunda, bagian integral dari bangsa Indonesia. Era globalisasi merupakan kesempatan emas bagi kita untuk menunjukkan siapa dan bagaimana kita. Era globalisasi harus kita manfaatkan untuk mengglobalkan filosofi adiluhung: silih asih, asah, asuh. Era globalisasi harus kita manfaatkan untuk mengglobalkan makanan tradisional kita yang jauh lebih sehat daripada fast food. Mari kita balik arus globalisasi yang selama ini mengalir deras dari barat ke timur menjadi arus deras dari timur ke barat. Why not? Mengapa tidak? Tentu dalam arti yang positif. Mana yang baik dari mereka kita ambil, tetapi sebaliknya kita harus mampu mentransfer hal-hal yang baik dari kita kepada mereka. Bila selama ini dansa telah merebak di negara kita mengapa kita tidak fight agar jaipongan bisa mendunia? Dan yang paling penting adalah era globalisasi harus kita manfaatkan untuk memenuhi amanat mukadimah UUD '45: memelihara perdamaian dunia. Bila mereka punya keunggulan teknologi, kita ada filosofi adiluhung serta seni budaya. Bila mereka seratus tahun lalu punya pandu Baden Powell, kita ratusan tahun lalu punya Pamanahrasa. Adalah menarik apa yang dikatakan gubernur pada saat pembukaan Raimuna. Beliau mengatakan "Mari kita ubah citra pramuka, bukan hanya tali-temali, tapi lebih kepada pemupukan jiwa yang tangguh dan disesuaikan dengan kekinian, supaya anak-anak dan remaja tertarik untuk mengikuti kegiatan-kegiatannya. Bila kita telaah gemblengan yang
diberikan kepada Pamanahrasa dan adik-adiknya, itulah sebenarnya esensi yang diperlukan. Jadi tidak hanya tali-temali, tetapi bagaimana menyiapkan manusia-manusia kecil ini untuk mampu menghadapi dinamika hidup, kehidupan maupun penghidupan. Bagaimana kita bisa menyiapkan mereka untuk ngigelan zaman dan lebih dari itu dalam era globalisasi ini, juga memungkinkan kita untuk menyiapkan kurcaci-kurcaci kecil ini mampu ngigelkeun zaman. Kita boleh bangga kepada Ketua Mabida Jabar yang juga gubernur kita. Tanpa ragu beliau mencanangkan Provinsi Jawa Barat sebagai Provinsi Pramuka. Tentu bukan pramuka yang sekadar tali-temali, tetapi pandu pramuka tatar Sunda, pramuka Pamanahrasa.*** Penulis, tokoh masyarakat Sunda. Source : Pikiran Rakyat.com