Jaminan Kesehatan Nasional
Pengertian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional, ini diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (Mandatory) berdasarkan Undang – Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 1.Manfaat medis berupa pelayanan kesehatan komprehensif 2.Manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulan.
Prinsip-Prinsip Jaminan Kesehatan Nasional 1.Prinsip kegotongroyongan 2.Prinsip nirlaba 3.Prinsip portabilitas 4.Prinsip kepesertaan 5.Prinsip dana amanat
Kelebihan dan Kekurangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kelebihan 1.
Premi asuransi komersial relatif tinggi sehingga tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.
2.
Manfaat yang ditawarkan umumnya terbatas.
3.
Memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau.
4.
Asuransi kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Itu berarti peserta bisa mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali, bukan “terserah dokter” atau terserah “rumah sakit”.
5.
Asuransi kesehatan sosial menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan).
6.
Asuransi kesehatan sosial memiliki portabilitas, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, untuk melindungi seluruh warga, kepesertaan asuransi kesehatan sosial/ JKN bersifat wajib.
Kerugian A .Tidak sesuai prosedur; B .Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS; C .pelayanan bertujuan kosmetik; D .General checkup, E .Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi; F .Pelayanan kesehatan pada saat bencana G .Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba. H .Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku; I .Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali untuk kasus gawat darurat; J .Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja
Permasalahan Jaminan Kesehatan Nasional yang Terjadi di Masyarakat Pertama, aspek kepesertaan, yaitu penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat pendaftaran peserta JKN/KIS. Ini diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014 dan Surat Edaran (SE) BPJS Kesehatan No. 17 Tahun 2016.Anggota DJSN, Zaenal Abidin, melihat ada yang perlu diperbaiki dalam mekanisme pendaftaran itu karena Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2016 yang telah diubah menjadi Perpres No. 28 Tahun 2016 menyebut NIK bukan syarat wajib kepesertaan. Syarat kepesertaan adalah identitas. Jika NIK belum bisa disediakan oleh instansi yang bertanggungjawab, BPJS Kesehatan mestinya menyediakan identitas sementara untuk peserta yang belum punya NIK.
Kedua, soal pelayanan, menyangkut prinsip portabilitas. Prinsip portabilitas dalam program JKN/KIS yang berjalan selama ini belum optimal. Portabilitas artinya setiap peserta dapat menikmati layanan kesehatan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Kalaupun seorang peserta pergi ke daerah lain, ia tetap bisa mendapatkan layanan.Namun, dari sejumlah fasilitas kesehatan (faskes) yang ditemui DJSN menyebut ada kebijakan BPJS Kesehatan yang membatasi pelayanan bagi peserta yang berobat di luar faskes tingkat pertama (FKTP) tempat peserta terdaftar. Peserta bisa mendapat pelayanan di FKTP itu maksimal 3 kali.
Ketiga, menyangkut regionalisasi rujukan. Pelayanan dalam program JKN/KIS dilaksanakan secara berjenjang mulai dari FKTP sampai faskes rujukan tingkat lanjutan (FKRTL). Beberapa provinsi seperti Sumatera Selatan dan Jakarta mengatur rujukan itu berdasarkan wilayah administratif pemerintan daerah. DJSN menilai regionalisasi rujukan tidak tepat karena menyebabkan peserta terhambat untuk mengakses pelayanan kesehatan.
Keempat, soal kriteria gawat darurat (emergency). Selama dua tahun program JKN/KIS berjalan, kriteria gawat darurat jadi kendala pelaksanaan pelayanan kesehatan di lapangan. Belum ada regulasi yang detail mengelompokkan kondisi-kondisi yang tergolong gawat darurat atau bukan.
Kelima, perihal pembagian kelas perawatan. Pembagian kelas perawatan rawat inap yang ada saat ini dinilai DJSN tidak sesuai dengan amanat UU SJSN dan UU BPJS. Keenam, menyoal pengadaan obat-obatan. DJSN berpendapat item obat dalam e-catalog tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketujuh, terkait klasifikasi tarif INA-CBGs. Pasal 24 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN mengamanatkan besarnya pembayaran kepada faskes untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi faskes di wilayah tersebut.
Kedelapan, pembagian jasa medis di RS pemerintah. Selama ini pengaturan pembagian jasa medis di RS pemerintah berstatus badan layanan umum (BLU) hanya mencantumkan presentase maksimal. Dikhawatirkan ini disalahgunakan manajemen RS dan merugikan tenaga medis.
Pengorganisasian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) JKN diselenggarakan oleh BPJS yang merupa kan badan hukum publik milik Negara yang bersifat non profit dan bertanggung jawab kep ada Presiden. BPJS terdiri atas Dewan Pengawas dan Direksi. Dewan Pengawas terdiri atas 7 (tujuh) orang anggota: 2 (dua) orang unsur Pemerintah, 2(dua) orang unsur Pekerja, 2 (dua) orang unsur Pemberi Kerja, 1 (satu) orang unsur Tokoh Masyarakat. Dewan Pengawas tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Direksi terdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur pro fesional. Direksi sebagaimana dimaksud di angkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 1. Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN.
2.Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya. 3.Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya. 4.Bukan Pekerja dan anggota keluarganya. 5.Penerima pension.
Terima kasih