Pointers Diskusi Seni dan Tari dalam Pandangan Agama Islam dalam kegiatan tema “Hoeriyah Adam dan Spirit Minangkabau Dalam Tari”, bertempat di Ruang Pameran Taman Budaya Propinsi Sumatera Barat, Jalan Diponegoro, Padang, pada hari Senin, tanggal 10 Nopember 2008.
Mukaddimah 1. Bernyanyi, bermain musik, menari adalah bagian dari seni. Guna memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum syara’, maka kita semestinya tahu apa batasan seni itu. Seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pandang (seni lukis), atau perantaraan gerak (seni tari, drama). Seni musik (instrumental art) berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang dihasilkan alat-alat musik tersebut. Di sini terkait cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Di samping itu ada seni suara (vocal) yang mencakup cara melagukan syair melalui perantaraan mulut (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Bahkan seni suara ini dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya. 1 2. Sering kali terjadi, masyarakat umum, di antaranya kaum Muslimīn umumnya menghadapi kesenian sebagai suatu masalah yang menimbulkan berbagai pertanyaan, bagaimana hukum tentang bidang yang satu ini, boleh, makrūh atau harām? 3. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, kita terlibat masalah seni. Bidang seni telah menjadi bagian dari gaya hidup bagi bertempat kediaman tetap di kota. Umat di desa dan di kampung pun telah terasuki (penetrate, possess). Media elektronika seperti radio, radiokaset, televisi, dan video telah lama masuk nagari. Kehidupan di kota, tidak jarang terjadi tempattempat hiburan diiringi music tumbuh jadi tempat ma‘shiat seperti "night club", dan sejenisnya. 1
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13 - 14.
1
Generasi muda dan tua terbawa arus mencari kesenangan dengan bernyanyi, menari bersama, kadangkala tanpa mempedulikan lagi hukum halāl-harām. Ada yang berpikir bahwa hidup itu hanya untuk bersenang-senang, jatuh cinta, pacaran, dan lain-lain. 1. Seni dan budaya tradisional kita telah tergeser (shifted, moved, removed) oleh seni budaya dan peradaban produk Barat yang perhatiannya menekankan kehidupan yang bebas tanpa ikatan agama apapun. 2. Cabang seni yang paling dipermasalahkan adalah nyanyian, musik dan tarian. Ketiga bidang itu telah menjadi bagian penting kehidupan modern, karena kurang kontrol dapat merusak akhlaq dan nilai-nilai keislāman. 3. Karena dampak negatif itu, kadangkala menyebabkan banyak orang bertanya-tanya, khususnya yang masih memiliki ghirah Islam (cemburu terhadap musuh agama). Bagaimana pandangan Islam terhadap seni budaya? Bolehkah kita bermain gitar, piano, organ, drum band, seruling, bermain musik blues, klasik, keroncong (popular Indineisan music originating from Portuguese songs), musik lembut, musik rock, dan lain-lain? Bagaimana pula dengan lirik lagu bernada asmara, porno, perjuangan, qashīdah, kritik sosial, dan sejenisnya? Bagaimana pandangan hukum Islam dalam seni tari. Apakah tarian Barat seperti Twist, Togo, Soul, Disko dan sebagainya boleh? Bagaimana dengan tari tradisional? Bolehkah wanita atau lelaki menari di kalangan mereka masing-masing? 4. Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di Makkah dan Madinah (Arab). Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik. Seni suara telah menjadi suatu kebanggaan sejak zamān jāhilliyah. Di Hijāz kita dapati orang menggunakan musik mensural yang bernama IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm) dengan menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain. Setelah bangsa ‘Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan jiwa dan semangat baru yakni tauhid. ( Demikian juga halnya sama dengan kebudayaan tradisonal Minangkabau, berubah setelah masuk agama Islam.) 5. Pada masa Rasūlullāh, ketika Hijāz menjadi pusat politik,
perkembangan seni musik makin berkembang. a. Terdapat nash-nash hadist yang membolehkan seseorang menyanyi, menari, dan memainkan alat-alat musik.
b. Tetapi kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu 2
yang baru datang atau memuji-muji syuhadak, mengingat Allah, atau menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.
c. Beberapa kutipan riwāyat saja, antara lain ; a. Riwāyat Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata:2 "Pada suatu hari Rasūlullāh masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari) Bu‘ats (Bu‘ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-AWS yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madīnah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah).(di dalam riwāyat Muslim ditambah dengan menggunakan rebana). (Kulihat) Rasūlullāh s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada sā‘at itulah Abū Bakar masuk dan ia marah kepada saya. Katanya: "Di tempat Nabi ada seruling setan?" Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abū Bakar seraya bersabda: "Biarkanlah keduanya, hai Abū Bakar!". Tatkala Abū Bakar tidak memperhatikan lagi maka saya suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)....."
Dalam riwāyat lain Imām Bukhārī menambahkan lafazh,
3
يَا أَبَا بَكْ ٍر إِنّ لِ ُكلّ َقوْ ٍم عِ ْيدًا وَ هذَا عِيْدُنَا "Wahai Abū Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang ini adalah hari raya kita (umat Islam)." Hadīts Imām Ahmad dan Bukhārī dari ‘Ā’isyah r.a.:4
ل مِنَ الَ ْنصَارِ َفقَالَ النّبِيّ صلعَْ ْم ٍج ُ َأَنّهَا زَفّتِ امْ َرَأةً إِلى ر ُيَا عَائِشَةُ مَا كَانَ َمعَكُ ْم مِنْ لَ ْهوٍ َفإِنّ الَ ْنصَارَ يُعْجِبُ ُهمُ اللّ ْهو "Bahwa dia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshār. Maka Nabi s.a.w. bersabda: "Hai ‘Ā’'isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya
2
(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 949, 925. Lihat juga SHAHĪH MUSLIM, Hadīts No. 829 dengan tambahan lafazh: ((ِ"وَ َليْسَتَا ُمغَّنيَ َتيْنKedua-duanya (perempuan itu) bukanlah penyannyi") 3 (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 509, 511): 4 (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ Hadīts No. 5162, TARTĪB MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid XVI, hlm. 213. Lihat juga: Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR Jilid VI, hlm. 187)
3
orang-orang Anshār senang dengan hiburan (nyanyian)." Juga ada lafaz Hadīts riwāyat Imām Ahmad berbunyi;
5
ْ أَتَيْنَاكُمْ َفحَيّوْنَا نُحَيّيْكُم:َُلوْ بَعَ ْثتُمْ مَعَهَا مَنْ يُ َغنّيْهِ ْم وَ َيقُوْل ٌن الَ ْنصَارَ َقوْمٌ فِيْهِ ْم هَ ْزل ّ ِفَإ "Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (oranorang) wanita untuk bernayanyi sambil berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshār senang menyanyikan (lagu) tentang wanita." Kaum lelaki masa Rasulullah dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak (jawārī) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya Amir bin Sa‘ad (seorang dari Tābi‘īn) pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata 6:
ْخلْتُ عَلى قُرَظَةَ ْبنِ كَ ْعبٍ َو أَبِيْ مَسْعُوْ ٍد الَ ْنصَارِيّ فِي َ َد )ْل (صلعَْم ِ أَنْتُمَا صَاحِبَا َرسُوْلِ ا:ُن َف ُقلْت َ ْعُرْسٍ َو إِذَا جَوَارِيْ يُغَنّي َجلِسْ ِإنْ شِ ْئتَ فَاسْمَعْ مَ َعنَا و ْ ِا:َن أَ ْهلِ بَدْرٍ ُيفْ َعلُ هذَا عِ ْندَكُ ْم َفقَال ْ ِوَ م ِص لَنَا فِي اللّهْوِ عِنْ َد الْعُرْس َ ّإِنْ شِ ْئتَ اذْ َهبْ قَدْ ُرخ "Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Abū Mas‘ūd Al-Anshārī. Ketika itu sedang berlangsung pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawārī) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya: :Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan pula? Quraizhah menjawāb: "Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silakan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan."
5
(Lihat Asy-Syaukānī, ibidem jilid VI, hlm. 187). Selanjutnya. ‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththānī (Lihat ‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththāīi, AT-TARĀTIB-UL-IDĀRIYYAH, Jilid II, hlm. 121-126). mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasūlullāh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup (rumah) kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hammah (Lihat juga Ibnu Al-Asqalany, AN-NISĀ’, AL-'ASHĀBAH FĪ TAMYĪZ ASH-SHAHĀBAH, Jilid IV, hlm. 274 dan 275) dan Arnab (Lihat Ibnu Hajar AlAsqalany, ibidem, hlm. 226). 6
(Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm. 135)
4
(H.R. An-Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta Pernikahan). Imām An-Nasā’i meriwayatkan dalam bāb Mengumumkan Pernikahan Dengan Suara (Nyanyian) dan Rebana yang diriwayatkannya dari M. bin Hathib bahwa Nabi s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm. 127):
ِ الدّفّ َو الصّ ْوتُ فِي النّكَاح:ِللِ َو ا ْلحَرَام َ َن الْح َ صلُ مَا بَ ْي ْ َف "Tanda pemisah (pembeda) antara yang halāl dengan yang harām (dalam suatu pernikahan) adalah (mengumumkannya dengan) memainkan rebana dan menyanyi." 1. KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLAM PADA MASA RASŪLULLĀH S.A.W. Walaupun demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islam di masa Rasūlullāh s.a.w. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu (1). sederhana; (2). banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh. Membela Islam dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan usaha. Pada masa Rasulullah tidak tersisa waktu untuk bersenang-senang. Orang-orang Islam tetap tahu dengan lagu dan musik. Ketika wilayah Islam meluas, kaum Muslimīn berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi. 2. PENGARANG TEORI MUSIK DARI KALANGAN KAUM MUSLIMĪN. Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah (wafat tahun 705 M.). Kaum Muslimin banyak yang mempelajari bukubuku musik Yunani dan India dan menyempurnakan dengan ruh Islam. Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal ialah, 1. Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini. 2. Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku teori musik mengenai not dan irama. 3. Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan 5
Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).
3. PENDIDIKAN MUSIK DI NEGERI-NEGERI ISLAM. Para khalīfah Bani Umayyah dan para pejabat lainnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik. Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘id ‘Abd-ulMu’mīn (wafat tahun 1294 M.). Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan, pengasuh di istana dan pejabat negara. Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik. Di antaranya pelayan (jawārī) atau biduan dan biduanita yang menjadi penyannyi di istana negara tercatat; 1. Ma‘bad, 2. Al-Kharīd, 3. Dua bersaudara Hakam dan ‘Umar Al-Wady, 4. Fulaih bin Abī ‘Aurā, 5. Siyāth, 6. Nasyīth, 7. Ibrāhīm al-Mausully dan puteranya Ishāk alMausully. Adapun biduanitanya antara lain: 1. Neam (biduanita istana Khalīfah Makmun), 2. Bazel dan Zat-ul-Khal (biduanita istana di masa Khalīfah Hārūn Ar-Rasyīd), 3. Basbas (biduanita istana di masa Khalīfah Al-Mahdi), 4. Habhabah (biduanita kesenangan Khalīfah Yazīd I), dan 5. Sallamah (biduanita istana Khlīfah Yazīd II). HALAL ATAU HARAM NYANYIAN DAN MEMAINKAN ALAT MUSIK? Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrumen musik) tidak diperselisihkan oleh para fuqaha. Mereka mengatakan bahwa nyanyian semacam ini halal atau dibolehkan, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Asy-Syaukani dari berbagai kalangan ulama (Lihat AsySyaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII,hlm. 114-115): "Nyanyian tanpa instrumen musik, Al-Adhfawi dalam kitabnya ALIMTA menyebutkan bahwa Imam Al-Ghazali dalam berbagai karangan fiqihnya menegaskan kesepakatan ulama tentang halalnya nyanyian jenis ini. Begitu juga Ibnu Thahir berpendapat ada ijma' sahabat dan tabi'in tentang halalnya nyanyian vokal ini. At-Taj-ul-Fazari dan Ibnu Qutaibah menyebutkan adanya ijma' penduduk Mekah dan Madinah. Ibnu Thahir dan Ibnu Qutaibah juga menyebutkan adanya ijma' penduduk Madinah dalam hal 6
tersebut. Sedangkan Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa penduduk Hijaz sejak dulu sampai sekarang (abad 5 H) membolehkan nyanyian jenis ini pada hari-hari yang mulia dalam setahun yang (kaum Muslimin) diperintahkan untuk melakukan nazam-nazam zikir dan ibadah." Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Umdah berkata: "Telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok sahabat dan tabi'in, di antaranya adalah Imam yang empat, Ibnu "Uyainah, dan jumhur Syafi'yah." Ini mengenai nyanyian vokal tanpa instrumen musik. Adapun nyanyian yang disertai dengan alat musik maka ulama yang menghalalkannya mengatakan bahwa semua Hadits yang membahas masalah ini nilainya tidak sampai ke tingkat shahih maupun hasan. Inilah yang dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi (Lihat Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-ULQURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054): "Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan ada Hadits yang menunjukkan bolehnya nyanyian. Hadits shahih itu mengatakan bahwa Abu Bakar pernah masuk ke tempat Aisyah yang disampingnya ada dua jariyah penyanyi dari kalangan Anshar yang sedang menyanyikan tentang hari Bu'ats. Kemudian Abu Bakar berkata: "Di rumah Nabi s.a.w. ada seruling syaitan?" Mendengar perkataan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda: "Biarkanlah keduanya, wahai Abu Bakar, sebab sesungguhnya hari ini adalah hari raya." Adapun orang yang bertolak dari pendapat Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas tentang firman Allah s.w.t. surat Luqman, ayat 6 tentang arti Lahw-ulhadits dalam ayat tersebut adalah 'nyanyian". Begitu juga pendapat Ibnu 'Abbas yang mengatakan bahwa memainkan alat musik rebana dan setiap alat musik termasuk seruling, tambur, adalah haram. Maka Ibnu Hazm membantah pendapat ini dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, ALMUHALLA, Jilid VI, hlm. 60). bahwa semua pendapat yang semacam ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau bukti dengan sebab-sebab sebagai berikut: 1. Tidak ada hujjah dalam ucapan manusia manapun selain ucapan Rasulullah s.a.w. Apakah nyanyian itu tergolong dalam Al-Haq (sesuatu yang dibenarkan oleh agama) atau tidak? Ini disebabkan karena Allah s.w.t. telah berfirman:
ِل الضّلَل ّ ِق إ ّ َفَمَاذَا بَ ْع َد الْح 7
"...maka tidak ada sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan." (10:32), dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60). Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
)ل امْرِئٍ مَا نَوى) (متفق عليه ّ (إِنّمَا الَعْمَالُ بِالنّيَاتِ َو إِنّمَا لِ ُك "Sesungguhnya amal perbuatan (manusia) itu tergantung niatnya. Bahwasanya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya...." Oleh karena itu siapa saja yang niatnya mendengar nyanyian untuk melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka ia adalah seorang fasiq. Maka jadikanlah nilai ibadah Bertolak dari keterangan di atas maka terbukti dengan pasti bathilnya pendapat orang-orang yang meributkan masalah tersebut (yang mengharamkan nyanyian). Berdasarkan uraian-uraian di atas, ditambah dengan berbagai keterangan sebelumnya maka dapat kita simpulkan bahwa para ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah nyanyian. Sebagian dari mereka tidak menganggap Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian adalah shahih. Sedangkan yang lain telah menjadikan Hadits-Hadits tersebut sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan nyanyian. Masing-masing mengikuti apa yang mereka tentukan sebagai dasar pengambilan hukum sesuai dengan ijtihadnya. Karenanya, siapa saja yang ijtihadnya telah menghasilkan suatu dugaan yang kuat bahwa bernyanyi dan mendengarkannya adalah haram, maka itulah hukum Allah terhadapnya, juga terhadap setiap orang yang mengikutinya. Sedangkan bagi orang-orang yang belum terbukti baginya keshahihan Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian yang disertai dengan dugaan kuat dan dengan ijtihad yang benar, maka itulah hukum Allah terhadapnya. Juga terhadap setiap orang yang mengikutinya sebab masalah ini adalah masalah khilafiyah sebagaimana yang telah kami uraikan pada bab-bab sebelumnya. PANDANGAN ISLAM TERHADAP SENI TARI.
8
Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan diiringi dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri, merupakan ekspresi gagasan, emosi atau kisah. Pada tarian sufi (darwish), gerakan dipakai untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri). Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah akar dari Perburuan dan Perang. Tarian Asia Timur hampir seluruhnya bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Ada tarian rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan lambang kekuatan kerjasama kelompok dan perwujūdan saling menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat. Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang kemudian menjadi tarian kreasi baru. Tarian ini lebih mengutamakan keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan. 1. SENI TARI DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM. Seni tari pada permulaan Islam berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar jazīrah ‘Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain. Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-hari gembira lainnya. Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata (Lihat SUNAN ABŪ DĀWŪD, Jilid IV, hlm. 281):
)ْشةُ َفرْحًا بِذلِكَ َل ِعبُوْا ِبحِرَاِبهِم َ ْحب َ ْ(لَمّا قَ ِد َم الّنِبيّ (ص) الْمَدِيَْنةَ َل ِعَبتِ ال "Tatkala Rasūlullāh datang ke Madīnah, orang-orang Habsyah (Ethiopia sekarang) menari dengan gembira menyambut kedatangan beliau sambil memainkan senjata mereka." Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid III, hlm. 152; lihat juga Al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARI, SYARH-SHAHĪH BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm. 204-205):
)ٌ مُحَمّ ٌد َعبْ ٌد صَالِح:َت الْحََبشَ ُة َيزْفِنُوْ َن بَيْنَ َي َديْ رَسُوْلِ الِ (ص) وَ َيرُْقصُوْ َن وَ َيقُوْلُو ْن ِ (كَاَن "Orang-orang Habsyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhhā) menari (dengan memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Banyak anak-anak berkumpul di sekitarnya karena ingin 9
menonton tarian mereka. Orang-orang Habsyah bernyanyi (dengan sya‘ir): "MUHAMMAD ADALAH HAMBA YANG SHALEH...." (secara berulang-ulang). Sesudah jaman Rasūlullāh s.a.w., khususnya di jaman Daulah ‘Abbāsiyyah, seni tari berkembang dengan pesat. Ahmad Ibnu Taimiyah (wafat tahun 1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang berjudul Risālah fī Simā‘i war-Raqs was-Surākh (Risālah tentang Mendengar Musik, Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada juga kalangan ‘ulamā’ yang membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islam. Yang berpendapat begini di antaranya Ibrāhīm Muhammad Al-Halabī (wafat tahun 1545 M.). Beliau mengarang kitāb yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs Limustahill-ir-Raqs (Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan Tari-Tarian). 2. TANGGAPAN UTAMA ISLAM TERHADAP TARIAN. Imām Al-Ghazālī dalam kitāb IHYĀ’-UL‘ULŪM-ID-DĪN, (Lihat Imam AlGhazali, IHYĀ‘-UL-‘ULŪM-ID-DĪN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187) beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau: "Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia. Imām Al-Ghazālī kemudian menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah berjinjit atau menari tatkala ia mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
(َ)َأْنتَ ِمنّي ْ وَ َأنَا ِمنْك
"Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam golonganmu." Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām Al-Ghazālī, dia pernah melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w. :
(ْ)َأ ْشَبهْتَ َخ ْلقِي ْ وَ خُُلقِي
"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku". Juga Zaid bin Hāritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w.:
)(َأْنتَ أَخُوْنَا َو َموْ َلنَا "Engkau adalah saudara dan penolong kami." Dalam kesempatan lain ‘Ā’isyah diijinkan Rasūlullāh s.a.w. untuk menyaksikan penari-penari Habsyah. Kemudian Imām Al-Ghazālī menyimpulkan bahwa menari bahwa menari itu hukumnya boleh pada 10
saat-saat bahagia, seperti hari raya, pesta pernikahan, pulangnya seseorang ke kampung halamannya, saat walīmahan pernikāhan, ‘aqīqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu khitanan, dan setelah seseorang hafal Al-Qur’ān. Semua ini hukumnya mubāh yang tujuannya untuk menampakkan rasa gembira. Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzi berkata: "Menurut Abū Al Wafā Ibn-ul-‘Aqīl, AlQur’ān telah mencantumkan keharaman tarian dengan nash yang tegas seperti firman Allah s.w.t.:(18:(لقمن
))وَ لَ تَمْشِيْ فِي الَ ْرضِ َمرَحًا
"Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh." (31:18) Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:
(18:ختَالٍ َفخُوْرٍ) (لقمن ْ ُحبّ كُ ّل م ِ ُ)إِنّ الَ َل ي
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri." (31:18). 3. MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN. Keinginan untuk menari sama dengan keinginan manusia untuk berjalan, bermain, dan seterusnya. Semua merupakan perbuatan yang biasa dilakukan secara alami Hukum asal untuk menari adalah mubāh selama dalīl-dalīl syara‘ tidak mengharāmkan tari-tarian tertentu, baik yang berirama maupun yang tidak diiringi musik. Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini. Ada tarian modern dan tradisional daerah, tari Minang, Tari piring, tari rantak) yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara perayaan atau ketika menyambut tamu luar negeri. Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian khas serta ciptaan daerah tertentu. Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari promosi atau pengenalan negeri tempat asalnya. Tujuannya adalah untuk menarik pengunjung (wisatawan – mancanegara atau domestic) untuk atau yang sedang berkunjung ke negeri-negeri tertentu. 1. Syara‘ melarang kaum Muslimīn menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang menyangkut urusan agama. Dalam hal ini termasuk semua jenis tarian upacara keagamaan dan primitif. Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7319):
لَ تَقُوْمُ السّا َعةُ حَتّى تَأْ ُخذَ أُمّتِيْ بِأَ ْخذِ الْقُرُوْنِ قَْبَلهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ِذرَاعًا وَ َمنْ ِمنَ النّاسِ إِلّ أُولِئكَ؟:َيَا َرسُوْلَ الِ كَفَارِسَ وَ الرّوْمَ؟ فَقَال:َِب ِذرَاعٍ فَقِيْل 11
"Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengambil apa-apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (abad-abad silam) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka masuk ke liang biawak, kalian pun mengikutinya." Para sahabat bertanya: "Ya Rasūlullāh, apakah yang (engkau) maksudkan di sini adalah (seperti) bangsa-bangsa Persia dan Romawi?" Rasūlullāh menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (HR. BUKHĀRĪ).
Dalam riwāyat lain disebutkan bahwa yang di ikuti oleh kaun Muslimīn adalah (budaya) orang-orang Nasrānī dan Yahūdī.(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7320). 2. Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita yang bercampur-baur dan diiringi dengan instrumen musik, maka harām hukumnya, karena Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-ULQĀDIR, Hadīts No. 5824):
(ِ)الْغِيْ َرةُ مِ َن الِيْمَانِ َو الْ ِمذَاءُ ِمنَ النّفَاق
"Ghīrah (cemburu) itu adalah bagian dari īmān, sedangkan Mizā’ adalah bagian dari nifāq." (HR AL-BAZZĀR, BAIHAQĪ, dari Abū Sa‘īd Al-Khudrī).
Berdasarkan keterangan di atas, maka bercampurnya kaum lelaki dengan wanita yang bukan muhrim dalam bentuk apapun adalah harām, baik mereka pergi bertamasya bersama-sama maupun barmainmain seperti layaknya suami-istri. Termasuk dalam hal ini adalah menari bersama dengan lelaki-perempuan dan mengikuti irama musik. Menurut ketentuan syara', setiap sesuatu yang menghantarkan kepada perbuatan harām maka ia harām pula, sebagaimana kaidah syara‘ yang berbunyi:
)ٌ(اْلوَسِيْلَةُ إِل اْلحَرَامِ َحرَام "Sesuatu yang menghantarkan kepada yang harām maka ia harām pula (dikerjakan)."
3. Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di rumahnya sendiri. Seorang istri boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, khususnya pada hari gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari raya, dan sebagainya. 4. Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan kaki, seperti :
(15 :)فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِِبهَا) (اللك
"Berjalanlah di segala penjuru (bumi)...." (67:15). atau: 12
(42 :)اُ ْركُضْ بِرِ ْجلِكَ) (ص "Hentakkanlah kakimu...." (38:42). Maka, hukum asal menari adalah mubāh selama tidak melampaui batas-batas syara‘. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muhrim atau suami menari dengan tarian yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita, misalnya tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak boleh menarikan tarian lelaki, sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya:
(ِ)لَ ْيسَ مِنّا َمنْ َتشَّبهَ بِالرّجَالِ ِمنَ الّنسَاءِ وَ لَ َمنْ َتشَّبهَ ِمنَ الّنسَاءِ بِالرّجَال "Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki yang menyerupai wanita." (HR. IMĀM AHMAD, dari Ibnu ‘Amru bin
Al-‘Āsh).
Padang 10 Nopember 2008
13