Philia Permaiswari Pratiwi-fikes.pdf

  • Uploaded by: Indah Nur Hikmah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Philia Permaiswari Pratiwi-fikes.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 24,617
  • Pages: 120
i

“KAJIAN INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PELABUHAN JAKARTA UTARA“

SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh Sarjana Farmasi

Philia Permaiswari Pratiwi NIM : 1111102000008

FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2018

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Philia Permaiswari Pratiwi NIM : 1111102000008 Tanda tangan :

Tanggal

: 29 Juni 2018

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama

: Philia Permaiswari Pratiwi

NIM

: 1111102000008

Program Studi

: Farmasi

Judul Skripsi

: KAJIAN INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PELABUHAN JAKARTA UTARA

Disetujui Oleh :

Pembimbing I

Pembimbing II

Yardi, Ph. D., Apt.

Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt

NIP. 1974112320080111014

NIP. 197404302005012003

Mengetahui, Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt NIP. 197404302005012003

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh : Nama

: Philia Permaiswari Pratiwi

NIM

: 1111102000008

Program Studi

: S-1 Farmasi

Judul Skripsi

: Kajian Interaksi Obat Terhadap Outcomes Klinik Pasien Geriatri Dengan Penyakit Hipertensi Di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

DEWAN PENGUJI Pembimbing I

: Yardi, Ph.D., Apt

(

)

Pembimbing II

: Dr. Nurmeilis, M. Si, Apt

(

)

Peguji I

: Dr. M. Yanis Musdja., M. Sc

(

)

Penguji II

: Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt

(

)

Ditetapkan di

: Jakarta

Tanggal

: Juni 2018

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

v

ABSTRAK

Nama

: Philia Permaiswari Pratiwi

NIM

: 1111102000008

Program studi

: Strata-1 Farmasi

Judul Skripsi

: Kajian Interaksi Obat Terhadap Pasien Geriatri Dengan Penyakit Hipertensi Di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara

Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbilitas di Indonesia. Pada pengobatan penyakit hipertensi untuk stadium lanjut banyak terjadi komplikasi sehingga potensi terjadinya polifarmasi sangat besar yang menyebabkan kemungkinan terjadinya interaksi obat-obat. Dalam penelitian ini dilakukan studi untuk menegtahui potensial interaksi obat-obat yang bertujuan untuk mengetahui angka kejadian interaksi obat. Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data di ambil dari Rekam Medis pasien. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan mengumpulkan data secara retrospektif. Data penggunaan obat antihipertensi dan data kunjungan rawat inap yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit. Semua data tersebut selanjutnya diolah untuk mengetahui kuantitas penggunaan obat antihipertensi. Pengecekan dilakukan melalui www.drugs.com dan www.medscape.com. Penelitian ini memaparkan persentase dari jenis polifarmasi dan potensi interaksi obat-obat berdasarkan tingkatan yang telah ditetapkan. Dari total 42 pasien hipertensi terdapat 219 kejadian interaksi dengan rincian, interaksi moderat sebesar 132 (60%) interaksi, interaksi minor sebesar 53 (24%) interaksi dan interaksi major sebesar 34 (16%) interaksi. Untuk obat yang digunakan dari hasil penelitian pada pasien hipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara periode Juni – Agustus 2016 adalah amlodipine 27%; furosemide 25%; spironolactone 9%; losartan 9%; bisoprolol 7%; candesartan 5%; ramipril 5%; captopril 4%; hidrocholotiazide 2%; irbesartan 2%; nebivolol 2% dan propranolol 2%.

Kata Pengantar : antihipertensi, polifarmasi, interaksi obat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vi

ABSTRACT

Name

: Philia Permaiswari Pratiwi

NIM

: 1111102000008

Study Program

: Strate-1 Pharmacy

Title

: The Study Of Geriatric Patients Against Drug Interactions With Diseases Of Hypertension At Harbor Hospital North Jakarta

Hypertension is one of the main causes of mortality and morbiliti in Indonesia. Treatment of hypertensive disease in advanced stage for many complications so that the potential occurrence of polypharmacy is huge which is causing the possibility of drug-drug interactions. In this research study was conducted to find out the potential drug-drug interactions that aims to find out the numbers of Genesis drug interactions. This study uses secondary data, i.e. data taken from the patient's medical record. This research is descriptive research by collecting data is retrospective. Antihipertensi drug use data and traffic data obtained from inpatient Installation Medical Record hospital. All the data is further processed to find out the quantity of drug use antihipertensi. Checking is done via www.drugs.com and www.medscape.com. This research presents the percentage of polypharmacy and potential drug-drug interactions based on a predetermined level. Of a total of 42 patients of hypertension there are 219 occurrences of interaction with details, moderate interaction of 132 (60%) of minor interaction interaction, 53 (24%) of interaction and the interaction of the major of 34 (16%) interaction.For a drug that is used from the results of research on hypertension patients in the General Hospital North Jakarta Port period June – August 2016 is amlodipine 27%; furosemide 25%; spironolactone 9%; losartan 9%; bisoprolol 7%; candesartan 5%; ramipril 5%; captopril 4%; hidrocholotiazide 2%; irbesartan 2%; nebivolol propranolol 2% and 2%.

Keywords : antihypertensive, polypharmacy, drug interactions

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vii

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KAJIAN INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PELABUHAN JAKARTA UTARA”. Serta shalawat dan salam selalu tercurah bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kita sebagai umatnya yang taat hingga akhir zaman. Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari segala pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Yardi Ph.D, Apt selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam penelitian ini juga kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga tersusunnya skripsi ini. 2. Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi dan Ibu Nelly Suryani Ph.D., Apt selaku sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Segenap Bapak dan Ibu dosen program studi Farmasi yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M. Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan bantuan. 5. Ibu Vidya Arlaini Anwar, S.Si, Apt, beserta seluruh pihak karyawan ruang administrasi medik yang telah banyak membantu dalam pengambilan data. 6. Kedua orang tua saya, papa tersayang Drs. Zulpan MH dan mama tercinta Erlina A.Ma yang selalu memberikan kasih sayang dan doa yang tidak pernah henti serta dukungan baik moril maupun materil. Tidak ada yang dapat membalas semua kebaikan dan ketulusan cinta mama dan papa. Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan, perlindungan, dan kasih sayang kepada papa dan mama.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

viii

7. Adik saya Nugraha Ardinata Pratama dan orang terdekat saya Goldy Afrianto ST yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan semangat yang tiada henti dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah selalu memberikan kita kesehatan dan senantiasa kebahagiaan selalu. 8. Seluruh teman - teman program studi Farmasi 2011, khususnya Okka Tiara, Fifi Zuliyanti, Muneerah Datu, Sausan Doni, Arum Puspa Azizah yang telah membantu penulis hingga skripsi ini selesai. 9. Ibu dan Bapak seluruh pegawai Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian. 10. Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini. Kesempurnaan adalah milikNya, begitu pun skripsi ini. Tidak sedikit hambatan yang saya dapatkan dalam menyusun skripsi ini. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk banyak pihak dan tentunya bermanfaat untuk ilmu pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam penelitian ini.

Ciputat, 29 Juni 2018 Penulis,

Philia Permaiswari Pratiwi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ix

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK Sebagai sebagai akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama

: Philia Permaiswari Pratiwi

NIM

: 1111102000008

Program Studi

: Farmasi

Fakultas

: Ilmu Kesehatan

Jenis Karya

: Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui/karya ilmiah saya, dengan judul : KAJIAN INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PELABUHAN JAKARTA UTARA Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di

: Jakarta

Pada tanggal : 29 Juni 2016

Yang menyatakan,

( Philia Permaiswari Pratiwi)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

x

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................ iv ABSTRAK ............................................................................................................................... v ABSTRACT ............................................................................................................................ vi KATA PENGANTAR ............................................................................................................ vii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................................................... ix DAFTAR ISI ............................................................................................................................ x DAFTAR TABEL ................................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiv DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................................... xv 1. BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 1.4.1 Secara Teoritis ........................................................................................... 1.4.2 Secara Metodologi ..................................................................................... 1.4.3 Secara Aplikatif ........................................................................................

1 1 3 3 4 4 4 4

2. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5 2.1 Hipertensi .............................................................................................................. 5 2.1.1 Definisi ....................................................................................................... 5 2.1.2 Etiologi ....................................................................................................... 5 2.1.3 Epidemiologi ............................................................................................... 6 2.1.4 Faktor Pemicu ............................................................................................ 6 2.1.4.1 Faktor yang tidak dapat dikontrol ........................................................ 6 2.1.4.2 Faktor yang dapat dikontrol ................................................................. 7 2.1.5 Klasifikasi Hipertensi ................................................................................. 9 2.1.5.1 Hipertensi premier (essensial) .............................................................. 9 2.1.5.2 Hipertensi sekunder ........................................................................... 10 2.1.6 Gejala Hipertensi ..................................................................................... 10 2.1.7 Diagnosis Hipertensi ................................................................................ 11 2.1.8 Komplikasi Hipertensi ............................................................................. 12 2.1.9 Skrinning Hipertensi ................................................................................ 13 2.1.10 Penatalaksanaan Hipertensi ..................................................................... 14 2.1.10.1 Terapi Non Farmakologi ........................................................ 14 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

xi

3.

4.

5.

6.

2.1.10.2 Terapi Farmakologi ................................................................ 16 2.1.10.2.1 Golongan Diuretik ............................................................. 16 2.1.10.2.2 Golongan ACEI ................................................................. 17 2.1.10.2.3 Golongan ARB ................................................................... 19 2.1.10.2.4 Golongan Beta-blocker ...................................................... 20 2.1.10.2.5 Golongan Antagonis Kalsium ............................................ 21 2.1.10.2.6 Golongan Penyekat Beta .................................................... 23 2.1.10.2.7 Golongan Penyekat Alfa .................................................... 25 2.1.10.2.8 Golongan Agonis α2 Sentral .............................................. 25 2.1.10.2.9 Golongan Reserpin ............................................................. 26 2.1.10.2.10 Golongan Direct Arterial Vasodilators ............................. 27 2.2 Geriatri ................................................................................................................ 27 2.3 Drug Related Problem (DRP) ............................................................................. 28 2.4 Drug Related Problem (DRP) terkait Interaksi Obat .......................................... 31 2.4.1 Definisi Interaksi Obat ............................................................................. 31 2.4.2 Mekanisme Interaksi Obat ....................................................................... 31 2.4.3 Tingkat Keparahan Interaksi Obat ........................................................... 36 2.5 Peran Apoteker di Rumah Sakit .......................................................................... 37 2.6 Rekam Medik ...................................................................................................... 41 BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL ............................ 42 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................................. 42 3.2 Definisi Operasional ........................................................................................... 43 BAB 4 METODE PENELITIAN ............................................................................ 45 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................................. 45 4.2 Desain Penelitian ................................................................................................. 45 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................................... 45 4.3.1 Populasi .................................................................................................... 45 4.3.2 Sampel ...................................................................................................... 45 4.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi ................................................................................. 45 4.4.1 Kriteria Inklusi Sampel ............................................................................ 45 4.4.2 Kriteria Ekslusi Sampel ........................................................................... 46 4.5 Prosedur Penelitian ............................................................................................. 46 4.5.1 Persiapan (Permohonan Izin Penelitian) .................................................. 46 4.5.2 Pengumpulan Data ................................................................................... 46 4.5.3 Pengolahan Data ...................................................................................... 46 4.5.4 Analisa Data ............................................................................................. 47 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 48 5.1 Hasil ..................................................................................................................... 48 5.1.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian .................................................. 48 5.1.2 Profil Penggunaan Obat Antihipertensi ................................................... 48 5.1.3 Karakteristik Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien ................................. 49 5.1.4 Gambaran IO Berdasarkan Mekanisme dan Tingkat Keparahan ............ 50 5.1.5 Gambaran Interaksi Obat Antihipertensi dan Obat Antihiperetensi ....... 50 5.1.6 Gambaran Interaksi Obat Antihipertensi dan Obat Selain Hiperetensi ... 53 5.2 Pembahasan ......................................................................................................... 56 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 61 6.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 61 6.2 Saran .................................................................................................................... 62

Daftar Pustaka ................................................................................................................... 63

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

xii

DAFTAR TABEL Tabel

Halaman

Tabel 2.1.10 Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hiperetnsi .............................. 16 Tabel 5.1 Karakterisik Pasien Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Lama Perawatan, Jumlah Penyakit Penyerta, dan Jumlah Penggunaa Obat ........................... 48 Tabel 5.2 Persentase Penggunaan Obat Antihipertensi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 ............................ 49 Tabel 5.3 Distribusi Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien Hipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 ...................................... 49 Tabel 5.4 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 .......................................................................................................................... 50 Tabel 5.5 Persentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 ........................................................................................................................................ 50 Tabel 5.6 Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Antihipertensi di Instalasi Rawat Inap di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 ............... 51 Tabel 5.7 Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Non Antihipertensi di Instalasi Rawat Inap di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 . 53

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

xiii

DAFTAR GAMBAR Gambar

Halaman

Gambar 2.1.10.2.2 Sistem renin - angiotensin dan sistem kalikrein – kinin ................... 18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

xiv

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran

Halaman

Lampiran 1 ........................................................................................................................... 66 Lampiran 2 ............................................................................................................................ 68 Lampiran 3 ........................................................................................................................... 70

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

xv

DAFTAR SINGKATAN

WHO

:

World Health Organisation

DRPs

:

Drug Related Problems

ISH

:

International Society of Hipertension

RS

:

Rumah Sakit

NHANES

:

National Health and Nutrition Examination Survey

IMT

:

Indeks Masa Tubuh

LDL

:

Low Densisty Lipoprotein

HDL

:

High Desity Lipoprotein

TDS

:

Tekanan Darah Sistolik

TTD

:

Tekanan Darah Diastolik

EKG

:

Elektrokardiogram

DASH

:

Dietary Approach to Stop Hypertension

TSH

:

Thyroid – stimulating hormon

DM

:

Diabetes Mellitus

GFR

:

Glomerular Filtration Rate

BPH

:

Benign Prostatic Hyperplasia

IFRS

:

Instalasi Farmasi Rumah Sakit

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

xvi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1

Bab I Pendahuluan 1.1

Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal yang ditandai dengan nilai sistolik lebih dari 140 mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg. Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia karena prevalensinya tinggi. Hipertensi sering disebut dengan pembunuh diam-diam (silent killer), karena penderita hipertensi mengalami kejadian tanpa gejala (asymptomatic). Di Amerika, diperkirakan 1 dari 4 orang dewasa menderita hipertensi. Apabila penyakit ini tidak terkontrol, maka menyerang target organ, dan dapat menyebabkan infark miokard, stroke, gagal ginjal, dan kematian. Hipertensi yang tidak mendapatkan terapi dan berlngsung lama dapat menyebabkan stroke, serangan jantung, gagal jantung dan merupakan penyebab utama gagal ginjal kronik. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung. Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal dunia setiap tahunnya. Tujuh dari sepuluh penderita tersebut tidak mendapatkan pegobatan secara adekuat. Prevalensi hipertensi dunia menurut World Health Organisation (WHO) dalam World Health Statistic (2012) mencapai 24,2 % pada laki-laki dan 29,8 % pada perempuan. Pada orang yang berusia diatas 50 tahun, tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg lebih berisiko terjadinya penyakit kardiovaskular bila dibandingkan dengan tekanan darah diastolik, namun pada tahun 2008 terdapat sekitar 40% orang dewasa di seluruh dunia berusia 25 tahun ke atas didiagnosa mengalami hipertensi. Angka kejadian hipertensi begitu meningkat, dari sekitar 600 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 1 milyar jiwa pada tahun 2008 (WHO,2013). Data statistik terbaru menyatakan bahwa terdapat 24,7% penduduk Asia Tenggara dan 23,3% penduduk Indonesia berusia 18 tahun ke atas mengalami hipertensi pada tahun 2014 (WHO,2015). Di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi hipertensi. Secara keseluruhan prevalensi hipertensi di Indonesia tahun 2013 sebesar 26,5% (Riskesdas, 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2

Hipertensi pada usia lanjut antara lain disebabkan oleh peningkatan kekakuan dinding arteri, disfungsi endotel, penurunan refleks baroreseptor, dan peningkatan sensitivitas natrium. Selain itu dengan peningkatan usia, terjadi penurunan respon α dan β adrenergik dan penurunan fungsi EDRF (Apoeso, 2007; Stokes, 2009). Secara keseluruhan hanya 30% pasien hipertensi usia lanjut yang tekanan darahnya dapat dikontrol dengan monoterapi. Selebihnya diperlukan terapi kombinasi dua atau tiga antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah (Mazza et al., 2011). Adanya perubahan fisiologis, farmakokinetika, farmakodinamika, serta kecenderungan komplikasi penyakit dan berkembangnya polifarmasi pada usia lanjut menyebabkan populasi ini rentan mengalami masalah terkait penggunaan obat (drug related problems/DRPs) yang dapat memperberat efek samping dan menurunkan efektifitas pengobatan (Fleg et al., 2011). Semakin banyak jumlah obat yang diterima pasien akan meningkatkan resiko interaksi obat (Prest, 2003). Drug Related Problems (DRP) adalah setiap peristiwa atau keadaan yang melibatkan terapi obat yang menghalangi atau berpotensi menghalangi pasien mencapai hasil yang optimal dari perawatan medis. Salah satu bentuk dari DRP adalah interaksi obat (Parthasarathi, et al 2005). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Hasilnya dapat berbahaya jika interaksi menyebabkan peningkatan toksisitas obat (Stockley, 2008). Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah (Fradgley, 2003). Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain (antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat inap dan 9,2% -sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan, walaupun kadang-kadang evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi secara teoretik selain interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan dan terdokumentasi. Menurut beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan angka kejadian interaksi obat untuk pasien hipertensi masih tinggi. Pada tahun pada tahun 2006 Fita Rahmawati, dkk mengkaji kejadian interaksi obat di RS Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan angka kejadian interkasi obat sebesar 59% pasien rawat inap, pada tahun 2010 Dhanang Prawira Nugraha, dkk menganalisa kejadian interaksi obat pada pasien hipertensi geriatri yang menjalani rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta terdapat 65,92% lembar resep yang memiliki potensi interaksi obat, 51,27% lembar resep yang memiliki potensi interaksi obat dan potensi interaksi obat paling banyak berada pada level signifikasi 4 (45,78%), pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3

tahun 2012 Dwi Sri Handayani, dkk menganalisis karakteristik dan kejadian Drug Related Problems pada pasien hipertensi di Puskesmas Temindung Samarinda menunjukkan angka kejadian interaksi obat pada pasien hipertensi sebesar 7,5%, pada tahun 2015 Risna Agustina, dkk menganalisis potensi interaksi obat resep pasien hipertensi di salah satu RS Pemerintah di Kota Samarinda menunjukkan angka kejadian hipertensi sebanyak 183 interaksi dengan rincian interaksi obat minor sebesar 66 (22,75%) interaksi, interaksi moderat sebesar 99 (34,13%) interaksi, dan interaksi mayor sebesar 18 (6,21%) interkasi, dan pada tahun 2016, Tria Noviana mengevaluasi interaksi peenggunaan obat hipertensi di RS Bantul menunjukkan angka kejadian 69 kasus (76,7%) dengan total kejadian interaksi obat sebanyak 286. Banyaknya interaksi yang ditimbulkan pada pasien hipertensi, maka diperlukan tindakan untuk mencegah timbulnya komplikasi dan penyakit lain. Berdasarkan uraian diatas diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kejadian Drug Related Problems (DRP) dalam penanganan pasien hipertensi, serta meneliti korelasi antara kejadian DRP terhadap outcomes (keberhasilan terapi) pasien. Kategori DRP yang diteliti yaitu mengenai interaksi obat pada pasien hipertensi dengan/tanpa penyakit penyerta.

1.2

Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kasus penyakit hipertensi masih menjadi masalah yang serius dan terus meningkat, dengan presentase kejadian sebesar 26,5% di Indonesia pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). 2. Dari beberapa penelitian frekuensi terjadinya efek samping pada kelompok usia lanjut lebih tinggi dibandingkan populasi pada umumnya, selain itu pasien usia lanjut merupakan salah satu pasien yang rentan terjadinya DRP terkait interaksi obat. 3. Pemantauan terapi obat sangat penting guna untuk mengetahui masalah yang mungkin akan timbul dari suatu pengobatan, salah satu terkait pengaruh interaksi obat terhadap outcomes pasien hipertensi di RS Pelabuhan Jakarta Utara.

1.3

Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui angka kejadian interaksi obat

pada pasien geriatri dengan penyakit

hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Pelabuhan Jakarta Utara.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4

b. Untuk mengetahui jenis kejadian interaksi obat pada pasien geriatri

dengan penyakit

hipertensi di Instalasi Rawat Inap di RS Pelabuhan Jakarta Utara. c. Untuk mengetahui pengaruh potensi interaksi obat terhadap outcome klinik pasien geriatri dengan penyakit hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Pelabuhan Jakarta Utara.

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1

Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, serta wawasan tentang pengaruh Drug Related Problem (DRP) ditinjau dari potensi terjadinya intiraksi obat terhadap outcome klinik paisen geriatri dengan penyakit hipertensi.

1.4.2

Secara Metodologi Metode penelitian ini dilakukan secara retrospektif dan diharapkan dapat dijadikan referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis di RS Pelabuhan Jakarta Utara.

1.4.3

Secara Aplikatif Secara aplikatif penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan ataupun kebijakan dalam peresepan obat hipertensi pada pasien geriatri di instalasi rawat inap RS Pelabuhan Jakarta Utara dan dapat memberikan saran bagi dokter dan tenaga kefarmasian dalam meningkatkan pemberian terapi optimal sehingga diperoleh terapi yang efektif, aman dan efisien.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Hipertensi

2.1.1. Definisi Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian / mortalitas. Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Tekanan darah 140/90mmHg didasarkan pada dua fase dalam setiap denyut jantung yaitu fase sistolik 140 menunjukkan fase darah yang sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90 menunjukkan fase darah kembali ke jantung. Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling lazim. National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) membuktikan bahwa 24% populasi orang dewasa mengalami hipertensi. Prevalensinya bervariasi menurut umur, ras, dan banyak banyak variabel lainnya. Hipertensi arteri yang berkepanjangan dapat merusak pembuluhpembuluh darah di dalam ginjal, jantung dan otak, serta dapat mengakibatkan peningkatan insiden gagal ginjal, penyakit koroner, gagal jantung, dan stroke. Penurunan tekanan darah secara farmakologis yang efektif dapat mencegah kerusakan pembuluh-pembuluh darah dan terbukti menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas.

2.1.2

Etiologi Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada

kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Sampai saat ini penyebab hipertensi premier tidak diketahui dengan pasti. Kelompok lain dari populasi dengan presetase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6

sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder yaitu endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial. Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi (Yogiantoro M, 2006).

2.1.3

Epidemiologi Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita tekanan darah

tinggi (≥ 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan cukup besar setiap tahunnya. Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES), insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000 adalah sekitar 29-31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang menderita hipertensi, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal adalah 90%. Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum mereka didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai dengan umur 55 tahun, lakilaki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 s/d 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥ 60 tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 %.

2.1.4

Faktor Pemicu

2.1.4.1 Faktor yang tidak dapat dikontrol 

Usia Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, resiko terkena hipertensi menjadi lebih besar. Sehingga, prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

7

tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar 50% di atas usia 65 tahun. Kenaikan prevalensi hipertensi pada lanjut usia di atas 65 tahun, digolongkan atas 2 jenis : 1. Kenaikan kombinasi tekanan sistolik (> 160 mmHg), sedangkan tekanan diastolik (> 90 mmHg). 2. Hanya kenaikan tekanan sistolik (> 160 mmHg), sedangkan tekanan diastolik normal (< 90 mmHg). Pada lansia, hipertensi terutama ditemukan hanya beberapa kenaikan tekanan darah sistolik. Diduga, tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya usia, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, yang terutama menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik tersebut. 

Jenis kelamin Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih bayak yang menderita hipertnsi dibandingkan dengan wanita, dengan resiko sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik, dan 3,76 untuk kenaikan tekanan darah diastolik. Diduga, karena pria memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal.



Genetik (keturunan) Riwayat keluarga terdekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi resiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (esensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel.

2.1.4.2 Faktor yang dapat di kontrol 

Kegemukan (obesitas) Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Resiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorangyang berat badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight). Studi yang menunjang, melaporkan bahwa distribusi lemak dalam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

8

tubuh itu sendiri. Indikator yang biasa digunakan untuk mengukur deposit lemak terutama bagian perut, digunakan pengukuran rasio lingkar pinggang/lingkar pinggul (waist to hip ratio) yang ternyata merupakan prediktor penting dalam hubungannya dengan tekanan darah. Patokan normal lingkar pinggang untuk pria yaitu <90 cm, dan wanita <80 cm. 

Dislipidemia Dislipidemia merupakan kelainan kadar lemak di dalam darah. Kelainan dapat berupa kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, dan penurunan kolesterol HDL. Penderita hipertensi biasanya juga mengalami dislipidemia. Yang biasanya ditemukan adalah familial dyslipidemic hypertension yaitu seorang dengan dua orang atau lebih keluarga dekatnya mempunyai profil lemak yang abnormal disertai gangguan hipertensi sebelum usia 60 tahun. Faktor genetik yang berperan ini, ditemukan pada sekitar 2% masyarakat umum, dan 12% penderita hipertensi umumnya. Kebanyakan ornag dengan familial dyslipidemic hypertension ini memiliki profil lemak yaitu tinggi kadar kolesterol total, rendah kolesterol HDL, dan tinggi kadar trigliserida.



Stres Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu, dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa mendadak yang mengakibatkan stres berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi belum dapat dipastikan. Terkadang, pada orang-orang tertentu, kenaikan tekanan darah yang sesaat diduga dapat mengakibatkan kerusakan sehingga menjadi hipertensi yang permanen, namun teori ini masih dipertanyakan.



Olahraga/aktivitas fisik Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah, dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu, dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah, tanpa perlu sampai berat badan turun.



Merokok Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluhdarah arteri, dan mengakibatkan proses aterosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya arterosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Selain dapat meningkatkan tekanan darah, merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi, semakin meningkatkan resiko kerusakan pembuluh darah arteri.



Konsumsi alkohol berlebihan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

9

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol, dan di antaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara barat, seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan minum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok usia ini. Pada studi lain, ditemukan bahwa tekanan darah di kalangan peminum alkohol berat (lebih dari 3 gelar/hari), lebih tinggi dibandingkan dengan peminum alkohol ringan atau bukan premium. 

Konsumsi garam berlebihan Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan dari luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respons penurunan tekanan darah, dengan mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat dengan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darah rata-rata lebih tinggi. Menurut para ahli WHO Expert Committee on Prevention of Cardiovascular Disease, sebaiknya mengkonsumsi garam tidak lebih dari 6 gram/hari yang setara dengan 110 mmol natrium (2.400mg/hari).



Diet yang tidak seimbang Konsumsi makanan yang tidak seimbang, banyak mengandung lemak disertai tinggi garam, meningkatkan resiko terkena hipertensi. Konsumsi gula berlebihan berpengaruh terhadap tekanan darah, sedangkan banyak mengkonsumsi serat dapat membantu menjaga tekanan darah dalam batas normal.

2.1.5

Klasifikasi Hipertensi

2.1.5.1 Hipertensi premier (essensial) Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial. Beberapa mekanisme yang mungkin berperan untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

10

belum satupun teori yang menyatakan patogenesis hipertensi premier ini. Hipertensi ini biasanya turun temurun dalam sautu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting pada patogenesis hipertensi premier. Menurut data, gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. 2.1.5.2 Hipertensi sekunder Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit kormobid atau obat-obat tertentu yang dapat meingkatkan tekanan darah (lihat tabel). Pada banyak kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat di tabel 1. Apabila penyebab penyakit sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat tersebut atau mengobati kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap dalam penangan hipertensi sekunder.

2.1.6

Gejala Hipertensi Pada umumnya, sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan khusus dan tidak mengetahui dirinya sedang menderita hipertensi. Seorang penderita hipertensi datang berobat ke dokter, didorong oleh keluhan-keluhan yang disebabkan oleh : kenaikan tekanan darah itu sendiri yang mengganggu, ada kelainan pembuluh darah, atau karena adanya penyakit lain yang menyebabkan tekanan darah tinggi. Gejala-gejala umum yang kadang dirasakan sebelumnya oleh seorang penderita hipertensi antara lain :

1. Sakit kepala, terutama sering pada waktu bangun tidur dan kemudian menghilang sendiri setelah beberapa jam 2. Kemerahan pada wajah 3. Cepat capek 4. Lesu 5. Impotensi Gejala-gejala yang mungkin timbul karena adanya kelainan pembuluh darah pada seorang penderita hipertensi antara lain :

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

11

1. Mimisan 2. Kencing darah (hematuria) 3. Penglihatan terganggu karena adanya gangguan retina 4. Nyeri dada (angina pektoris) 5. Lemah dan lesu yang sering karena adanya gangguan iskemia pada pembuluh darah otak Sedangkan gejala-gejala yang mungkin timbul akibat adanya penyakit lain yang menyebabkan hipertensi, antara lain pada sindrom Cushing yaitu peningkatan berat badan, emosi yang labil serta gejala lain seperti kelemahan otot, sering buang air kecing dan ingin minum terus pada kelainan pengaturan kelenjar adrenal di ginjal (hiperaldosteronisme primer). Pada hipertensi hebat, lama atau tidak diobati, gejala-gejala seperti sakit kepaladisertai mual, muntah, sesak, gelisah, dan pandangan kabur terjadi karena adanya kerusakan pada ginjal, jantung, otak, dan hati. Pada hipertensi ensefalopati kadang-kadang timbul rasa kantuk sampai koma. Yang kemudian dibutuhkan penanganan dokter segera. Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki gejala khusus. Menurut Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah di amati antara lain yaitu : gejala ringan seperti, pusing atau sakit kepala, sering gelisah, wajah merah, tengkuk terasa pegal, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak nafas, rasa berat ditengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang, mimisan (keluar darah dari hidung).

2.1.7

Diagnosis Hipertensi Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolik (TTD) ≥ 120 mmHg dan/atau tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 210 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sekitarnya 2 kunjungan lagi dalam waktu 1 sampai beberapa minggu (tergantung dari tingginya tekanan darah tersebut). Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh ratarata tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg dan/atau tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg. Pengukuran tekanan darah harus dilakukan dengan cara berikut. Penderita harus duduk santai di kamar yang tenang sedikitnya 5 menit sebelum pengukuran dilakukan. Mereka tidak boleh merokok atau minum kopi dalam waktu 30 menit sebelumnya.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

12

Pengukuran dilakukan dengan sfigmomanometer air raksa yang cuff-nya cukup panjang sehingga dapat menutup sedikitnya 80% dari lingkar lengan penderita. Penderita harus duduk dengan lengan tidak tertutup pakaian dan disangga setinggi jantung. Cuff dipompa sampai 2030 mmHg di atas tekanan darah diastolik dan kemudian tekanan diturunkan dengan keceptan 2-3mmHg per detik. Sebagai tekanan darah diastolik diambil Korotkoff fase V. Pengukuran dilakukan minimal 2 kali selang sedikitnya 15 detik dan diambil nilai rata-ratanya. Bila 2 pengukuran pertama berbeda lebih dari 5 mmHg, harus dilakukan pengukuran lagi. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk digunakan untuk skrining awal. Untuk evaluasi lengkap, juga diukur tekanan darah dalam posisi berbaring dan berdiri, yang terakhir ini setelah berdiri dengan tenang sedikitnya 2 menit.

2.1.8

Komplikasi Hipertensi Stroke dapat timbul akibat pendarahan karena tekanan darah tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arteriosklerosis dapat menjadi lemah, sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma. Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak. Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang sudah menjadi arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan (Corwin, 2000). Gagal jantung dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

13

unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerulus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik. Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah kembali kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki, dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan di dalam paru-paru menyebabkan sesak nafas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema. Ensefalopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma.

2.1.9

Skrinning Hipertensi Berbagai pemeriksaan pada seorang penderita hipertensi yang dilakukan antara lain :



Pemeriksaan fisik Setelah pemeriksaan tekanan darah, perlu dilakukan pemeriksaan denyut nadi, apakah ditemukan gangguan dan kelainan dari irama serta besar-kecilnya nadi. Juga dinilaiapakah ditemukan sesak napas (frekuensi pernapasan). Pemeriksaan berat badan, tinggi badan untuk menilai status gizi penderita perlu dilakukan apakah penderita termasuk kelebihan berat badan/obesitas. Kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap organ-organ lain seperti jantung, pembuluh darah, hati, otak, dan ginjal. Kelainan suara jantung yang disebut suara jantung keempat yang merupakan perubahan jantung paling dini karena hipertensi, dapat diperiksa dengan alat stetoskop. Pembesaran jantung karena meningkatnya usaha yang diperlukan untuk memompa darah dapat ditemukan dengan pemeriksaan EKG dan rontgen dada. Pada tahap awal kerusakan hanya dapat dideteksi dengan ekokardiografi. Kondisi pembuluh darah dapat diperiksa melalui retina, dapat ditentukan tingkat keseriusan hipertensi. Bila gejala-gejala hipertensi mengarah pada hipertensi ensefalopati seperti sakit kepala hebat disertai kejang-kejang, disorientasi, pemeriksaan scan otak diperlukan untuk melihat adanya perdarahan atau trombosis dengan kelainan menetap akibat kerusakan dalam otak.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

14

Kerusakan ginjal dicari mula-mula melalui pemeriksaan urine. Untuk mendeteksi masalah ginjal, dokter akan menanyakan riwayat kelainan ginjal sebelumnya. Kemudian dalam pemeriksaan daerah perut sekitar ginjal akan dicari pembengkakan. Stetoskop di daerah perut mencari suara bruit (suara yang disebabkan aliran darah melalui arteri ke ginjal). 

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain Semakin tinggi tekanan darah dan semakin muda usia penderita, maka mencari penyebabnya lebih mudah dilakukan. Evaluasi meliputi rontgen dan pemeriksaan radioisotop pada ginjal, rontgen dada dan pemeriksaan darah dan urine untuk hormon tertentu. Bila hipertensi disebabkan penyakit lain seperti feokromositoma, aldosteronisme, sindrom cushing, pemeriksaan hormon khusus dilakukan untuk memastikan penyebab hipertensi tersebut. Pemeriksaan awal laboratorium yang biasa dilakukan untuk evaluasi hipertensi yang pertama yaitu glukosa, protein, darah di urine, pemeriksaan analisis urine mikroskopik, hematokrit, serum kalium, serum kreatin dan/atau urea nitrogen, gula puasa, kolesterol total dan elektrokardiogram. Untuk selanjutnya pemeriksaan tergantung biaya dan faktor lain yaitu thyroid-stimulating hormon (TSH), hitung sel darah putih, kolesterol HDL da LDL, trigliserida, serum kalsium, fosfat dan foto rontgen dada (Harrison’s Principles of Internal Medicine, 2001).

2.1.10 Penatalaksanaan Hipertensi Penanganan hipertensi secar garis besar menurut Lewis (2000) dibagi menjadi 2 jenis yaitu nonfarmakologis dan farmakologis. Kondisi patologis hipertensi memerlukan penanganan

atau

terapi.

Terapi

hipertensi

dapat

dikelompokkan

dalam

terapi

nonfarmakologis dan terapi farmakologis. Terapi nonfarmakologis merupakan terapi tanpa menggunakan agen obat dalam proses terapinya, sedangkan terapi farmakologis menggunakan obatatau senyawa yang dalam kerjanya dapat mempengaruhi tekanan darah pasien. 2.1.10.1 Terapi Non Farmakologi Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi merupakan bagian ang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel 6 sesuai

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

15

dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi. Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat. Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril. Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti rasionalitas intervensi diet : a. Hipertensi 2-3 kali lebih sering pada orang gemuk dibandingkan orang dengan berat badan ideal b. Lebih dari 60% pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight) c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4,5 kg) dapat menurunkan tekanan darah secara perlahan pada orang gemuk d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit kardiovaskular e. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi f. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam, kebanyakan pasien mengalami penurunan tekanan darah sistolik dengan pembatasan natrium JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari. Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

16

ideal untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ target. Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok. Tabel 1. Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi Modifikasi

Rekomendasi

Kira-kira penurunan tekanan darah, range

Penurunan berat badan (BB)

Pelihara berat badan normal (BMI 18,5-24,9)

5-20 mmHg/10-kg penurunan BB

Adopsi pola makan DASH

Diet kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak

8-14 mmHg

Diet rendah sodium

Mengurangi diet sodium, tidak lebih dari 100meq/L (2,4 g sodium atau 6 g sodium klorida)

2-8 mmHg

Aktifitas fisik

Regular aktifitas fisik aerobik seperti jalan kaki 30 menit/hari, beberapa hari/minggu

4-9 mmHg

Minum alkohol sedikit saja

Limit minum alkohol tidak lebih dari 2/hari (30 ml etanol mis. 720 ml beer, 300 ml wine) untuk lakilaki dan 1/hari untuk perempuan

2-4 mmHg

2.1.10.2 Terapi Farmakologi 2.1.10.2.1 Golongan Diuretik Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

17

minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen karena bukti mendukung indikasi khusus. Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup (± GFR> 30 ml/menit), tiazid paling efektif untuk menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang, diuretik yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan retensi sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan. Jadwal minum diuretik harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk yang 2x/hari untuk meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan penggunaan secara kronis, diuretik tiazide, diuretik penahan kalium, dan antagonis aldosteron jarang menyebabkan diuresis yang nyata. Perbedaan farmakokinetik yang penting dalam golongan tiazid adalah waktu paruh dan lama efek diuretiknya. Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena waktu paruh dari kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama kerja hipotensinya. Lagi pula, diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama dengan mekanisme extrarenal. Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain. Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air; masalah ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan. Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau efek pada lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang dapat terjadi hipokalsemia. Studi jangka pendek menunjukkan kalau indapamide tidak mempengaruhi lemak atau glukosa atau disfungsi seksual. Semua efek samping diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek samping ini teridentifikasi dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya HCT 100mg/hari). Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone 12.5 – 25 mg/hari, dimana efek samping metabolik akan sangat berkurang. Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang menerima ACEI, ARB, NSAID, atau supplemen kalium. Hiperkalemia sangat bermasalah terutama dengan eplerenone, antagonis aldosteron

yang terbaru. Karena sangat selektif antagonis

aldosteron,

kemampuannya menyebabkan hiperkalemia melebihi diuretik penahan kalium lainnya,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

18

bahkan spironolakton. Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau spironolakton menyebabkan gynecomastia pada ±10% pasien, dengan eplerenon gynecomastia jarang terjadi. 2.1.10.2.2 Golongan Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACEI) ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan kejadian gagal jantung dan stroke lebih sedikit dengan klortalidon dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP). Pada studi dengan lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan penyekat beta, dan pada studi yang lain ACEI malah lebih efektif. Lagi pula, ACEI mempunyai peranan lain pada pasien dengan hipertensi plus kondisi lainnya. Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI bukan merupakan terapi lini pertama pada kebanyakan pasien hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik. ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (lihat gambar 1). Angiotensinogen Non-renin

Renin

Bradykinin

Angiotensin 1 Non-ACE

ACE Inactive peptides Angiotensi II

AT2 reseptor

AT1 receptors

Gambar 1. Sistem renin-angiotensin dan sistem kallikrein-kinin

ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACEI, tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara efektif mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial. JNC 7 mencantumkan 6 indikasi khusus dari ACEI, menunjukkan banyak kegunaan yang berdasarkan bukti (evidence-based) dari kelas obat ini. Beberapa studi menunjukkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

19

kalau ACEI mungkin lebih efektif dalam menurunkan resiko kardiovaskular dari pada obat antihipertensi lainnya. Pada DM tipe 2, dua studi menunjukkan kalau ACEI superior daripada CCB. Tetapi pada UKPDS, captopril ekivalen dengan atenolol dalam mencegah kejadian kardiovaskular pada pasien dengan DM tipe 2. ACEI menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung dan memperlambat progres penyakit ginjal kronis. Golongan ACEI harus digunakan sebagai pengobatan lini pertama dalam terapi pada pasienpasien ini, kecuali terdapat kontraindikasi absolut. Selain terapi dengan penyekat beta, bukti menunjukkan kalau ACEI lebih jauh menurunkan resiko kardiovaskular pada angina stabil kronis (EUROPA) dan pada pasien-pasien pasca infark miokard (HOPE). Akhirnya, data dari PROGRESS menunjukkan berkurangnya resiko stroke yang kedua kali dengan kombiasi ACEI dan diuretik tiazid. Kebanyakan ACEI dapat diberikan 1 kali/hari kecuali kaptopril, waktu paruhnya pendek , biasanya dua sampai tiga kali/hari. Kaptopril, enalapril, dan lisinopril diekskresi lewat urin, jadi penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang parah. Penyerapan kaptopril berkurang 30 – 40 % bila diberikan bersama makanan. ACEI dapat di toleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien tetapi tetap mempunyai efek samping. ACEI mengurangi aldosteron dan dapat menaikkan kosentrasi kalium serum. Biasanya kenaikkannya sedikit, tetapi hiperkalemia dapat terjadi. Terlihat terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, atau diabetes melitus dan pada pasien yang juga mendapat ARB, NSAID, supplemen kalium, atau diuretik penahan kalium. Monitoring serum kalium dan kreatinin dalam waktu 4 minggu dari awal pemberian atau setelah menaikkan dosis ACEI sering dapat mengidentifikasi kelainan ini sebelum dapat terjadi komplikasi yang serius. Angiedema adalah komplikasi yang serius dari terapi dengan ACEI. Sering ditemui pada African-Amerian dan perokok. Gejala berupa bengkak pada bibir dan lidah dan kemungkinan susah bernafas. Hentikan pemberian ACEI untuk semua pasien dengan angioedema, tetapi edema laring dan gejala pulmonal kadanag-kadang terjadi dan memerlukan terapi dengan epinefrin, kortikosteroid, antihistamin, dan/atau intubasi emergensi untuk membantu respirasi. Batuk kering yang persisten terlihat pada 20% pasien; dapat dijelaskan secara farmakologi karena ACEI menghambat penguraian dari bradikinin. Batuk yang disebabkan tidak menimbulkan penyakit tetapi sangat menganggu ke pasien. Bila ACEI diindikasikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

20

untuk indikasi khusus gagal jantung, diabetes, atau penyakit ginjal kronis; pada pasien-pasien dengan batuk kering, ACEI diganti dengan ARB. ACEI merupakan kontraindikasi absolut untuk perempuan hamil dan pasien dengan riwayat angioedema. ACEI harus dimulai dengan dosis rendah terutama pada pasien dengan deplesi natrium dan volume, eksaserbasi gagal jantung, lansia, dan yang juga mendapat vasodilator dan diuretik karena hipotensi akut dapat terjadi. Penting untuk memulai dengan ½ dosis normal untuk pasien-pasien diatas dan dosis dinaikkan perlahan. 2.1.10.2.3 Golongan Penyekat Reseptor Angiotensin II (ARB) Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE, dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACEI hanya menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena perbedaam ini, ACEI hanya menghambat sebagian dari efek angiotensinogen II. ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus lainnya. Tujuh ARB telah di pasarkan untuk mengobati hipertensi; semua obat ini efektif menurunkan tekanan darah. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah yang drastis. Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB. Seperti ACEI, kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk pemberian 1 x/hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling pendek dan diperlukan dosis pemberian 2x/hari agar efektif menurunkan tekanan darah. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI. Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

21

pada penggunaan ACEI. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema; tetapi cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan pada perempuan hamil. 2.1.10.2.4 Golongan Beta-blocker Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu pelepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan pelepasan renin, meningkatkan aktivitas sistem rennin angiotensin-aldosteron. Efek akhirnya adalah adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hati-hati. Beta‐blocker yang non‐selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐2. Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator. Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐blocker tidak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

22

boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena rebound. 2.1.10.2.5 Golongan Antagonis Kalsium (CCB) CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. CCB mempunyai indikasi khusus untuk yang beresiko tinggi penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti. Data menunjukkan kalau dihidropiridine tidak memberikan perlindungan terhadap kejadian jantung (cardiac events) dibandingkan dengan terapi konvensional (diuretik dan penyekat beta) atau ACEI pada pasien tanpa komplikasi. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes, ACEI terlihat lebih kardioprotektif dibanding dihidropiridin. Studi dengan CCB nondihidropiridin diltiazem dan verapamil terbatas, tetapi studi NORDIL menemukan diltiazem ekivalen dengan diuretik dan penyekat beta dalam menurunkan kejadian kardiovaskular. CCB dihidropiridin sangat efektif pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension). JNC 7 tidak mencantumkan hipertensi sistolik terisolasi berbeda dengan tipe hipertensi lainnya, dan diuretik tetap terapi lini pertama. Bagaimanapun, CCB dihidropiridin long-acting dapat digunakan sebagai terapi tambahan bila diuretik tiazid tidak dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada pasien lansia dengan tekanan darah sistolik meningkat. CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya menghambat channel tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua subkelas CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridine. Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada efek farmakodinami yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem) menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung jawab terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil. Nifedipin yang bekerja cepat (immediate-release) telah dikaitkan dengan meningkatnya insiden efek samping kardiovaskular dan tidak disetujui untuk pengobatan hipertensi. Efek samping yang lain dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala, gingival hyperplasia, edema perifer, mood changes, dan gangguan gastrointestinal. Efek samping

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

23

pusing, flushing, sakit kepala, dan edema perifer lebih jarang terjadi pada nondihidropiridin verapamil dan diltiazem karena vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin. Diltiazem dan verapamil dapat menyebabkan anorexia, nausea, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil menyebabkan konstipasi pada 7% pasien. Efek samping ini terjadi juga dengan diltiazem tetapi lebih sedikit. Verapamil dan juga diltiazem (lebih sedikit) dapat menyebabkan interaksi obat karena kemampuannya menghambat sistem isoenzim sitokrom P450 3A4 isoenzim. Akibatnya dapat meningkatkan serum konsentrasi obat-obat lain yang di metabolisme oleh sistem isoenzim ini seperti siklosporin, digoksin, lovastatin, simvastatin, takrolimus, dan teofilin. Verapamil dan diltiazem harus diberikan secara hati-hati dengan penyekat beta untuk mengobati hipertensi karena meningkatkan resiko heart block dengan kombinasi ini. Bila CCB perlu di kombinasi dengan penyekat beta, dihidropirine harus dipilih karena tidak akan meningkatkan resiko heart block. 2.1.10.2.6 Golongan Penyekat Beta Penyekat beta telah digunakan pada banyak studi besar untuk hipertensi. Sebelumnya penyekat beta disarankan sebagi obat lini pertama bersama diuretik. Tetapi, pada kebanyakan trial ini, diuretik adalah obat utamanya, dan penyekat beta ditambahkan untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa studi telah menunjukkan berkurangnya resiko kardiovaskular apabila penyekat beta digunakan pasca infark miokard, pada sindroma koroner akut, atau pada angina stabil kronis. Walaupun pernah dikontraindikasikan pada penyakit gagal jantung, banyak studi telah menunjukkan kalau karvedilol dan metoprolol suksinat menurunkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sistolik yang sedang diobati dengan diuretik dan ACEI. Atenolol digunakan pada DM tipe 2 pada studi UKPDS dan menunjukkan efek yang sebanding, walaupun tidak lebih baik dalam menurunkan resiko kardiovaskular dibandingkan dengan captopril. Ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada, tetapi menurunkan tekanan darah hampir sama. Ada tiga karakteristik farmakodinamik dari penyekat beta yang membedakan golongan ini yaitu efek : 

Kardioselektif (cardioselektivity)



ISA (intrinsic sympathomimetic activity)



Mestabilkan membrane (membran-stabilizing) Penyekat beta yang mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap reseptor beta-1 dari

pada reseptor beta-2 adalah kardioselektif.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

24

Adrenoreseptor beta-1 dan beta-2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Beta-1 reseptor lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan beta-2 reseptor lebih banyak ditemukan pada paruparu, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan reseptor beta-1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan rennin. Perangsangan reseptor beta-2 menghasilkan bronchodilatatasi dan vasodilatasi. Penyekat beta yang kardioselektif kecil kemungkinannya untuk mencetuskan spasme bronkus dan vasokonstriksi. Juga, sekresi insulin dan glikogenolisis secara adrenergik dimediasi oleh reseptor beta-2. Penghambatan reseptor beta-2 dapat menurunkan proses ini dan menyebabkan hiperglikemi atau menimbulkan perbaikan hipoglikemi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat beta. Tetapi, kardioselektifitas adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilangan selektifitas relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1. Pada dosis berapa kardioselektifitas hilang tergantung dari pasien ke pasien. Pada umumnya, penyekat beta yang kardioselektif lebih disukai bila digunakan untuk mengobati hipertensi. Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsic (ISA). Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara agonis beta reseptor parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini tidak menurunkan kejadian kardiovaskular dibanding dengan penyekat beta yang lain. Malahan, obat-obat ini dapat meningkatkan resiko pasca infark miokard atau pada pasien dengan resiko penyakit koroner yang tinggi. Jadi, ISA jarang diperlukan. Akhirnya, semua penyekat beta mempengaruhi aksi menstabilkan membrane (membrane-stabilising action) pada sel jantung bila dosis cukup besar digunakan. Aktifitas ini diperlukan bila karakteristik antiaritmik dari penyekat beta diperlukan. Perbadaan farmakokinetik diantara penyekat beta berhubungan dengan first pass metabolisme, waktu paruh, derajat kelarutan dalam lemak (lipophilicity), dan rute eliminasi. Propranolol dan metoprolol mengalami first-pass metabolism, jadi dosis yang diperlukan untuk memblok reseptor beta akan bervariasi dari pasien ke pasien. Atenolol dan nadolol mempunyai waktu paruh panjang dan di ekskresi lewat ginjal. Walaupun waktu paruh dari penyekat beta lainnya jauh lebih singkat, pemberian 1x/hari efektif karena waktu paruh dalam serum tidak berhubungan dengan lama keja hipotensinya.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

25

Penyekat beta bervariasi dalam sifat lipofiliknya atau penetrasinya ke susunan saraf pusat. Semua penyekat beta melewati sawar darah-otak, tetapi agen lipofilik berpenetrasi lebih jauh dibanding yang hidrofilik. Propranolol yang paling lipofilik dan atenolol yang sedikit lipofiliknya. Jadi kosentrasi propranolol di otak lebih tinggi dibanding atenolol bila dosis yang ekivalen diberikan. Hal ini mengakibatnya efek samping sistim saraf pusat (seperti pusing dan mengantuk) dengan agen lipofilik seperti propranolol. Tetapi, sifat lipofilik ini memberikan efek yang lebih untuk kondisi nonkardiovaskular seperti migraine, mencegah sakit kepala, tremor essensial, dan tirotoksikosis. Pemberian penyekat beta tiba-tiba dapat menyebabkan angina tidak stabil, infark miokard, dan bahkan kematian pada pasien-pasien dengan resiko tinggi penyakit koroner. Pemberhentian tiba-tiba juga dapat menyebabkan rebound hypertension (naiknya tekanan darah melebihi tekanan darah sebelum pengobatan). Untuk mencegah ini, penyekat beta harus diturunkan dosis dan diberhentikan secara perlahan-lahan selama 1 -2 minggu. Seperti diuretic, penyekat beta menaikkan serum kolesterol dan glukosa, tetapi efek ini transien dan secara klinis bermakna sedikit. Penyekat beta dapat menaikkan serum trigliserida dan menurunkan kolesterol HDL sedikit. Penyekat beta dengan karakteristik memblok penyekat alfa (karvedilol dan labatalol) tidak mempengaruhi kadar lemak. 2.1.10.2.7 Golongan Penyekat Alfa Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penyekat reseptor α1 selektif. Bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilasi dan menurunkan tekanan darah. Pada studi ALLHAT doxazosin adalah salah satu obat yang digunakan, tetapi di stop lebih awal karena secondary end point stroke, gagal jantung, dan kejadian kardiovaskular terlihat dengan pemberian doxazosin dibanding chlorthalidone. Tidak ada perbedaan pada primary end point penyakit jantung koroner fatal dan infark miokard nonfatal. Data ini menunjukkan kalau diuretik tiazid superior dari doxazosin (dan barangkali α1-blocker lainnya) dalam mencegah kejadian kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi. Jadi penyekat alfa adalah obat alternatif kombinasi dengan obat antihipertensi primer lainnya. Penyekat alfa1 memberikan keuntungan pada laki-laki dengan BPH (benign prostatic hyperplasia). Obat ini memblok reseptor postsinaptik alfa1 adrenergik ditempat kapsul prostat, menyebabkan relaksasi dan berkurang hambatan keluarnya aliran urin. Efek samping yang tidak disukai dari penyekat alfa adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan, palpitasi, dan bahkan sinkop 1 -3 jam setelah dosis pertama. Efek samping dapat juga terjadi pada kenaikan dosis. Episode ini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

26

diikuti dengan hipotensi ortostatik dan dapat diatasi/dikurangi dengan meminum dosis pertama dan kenaikan dosis berikutnya saat mau tidur. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat berlanjut terus dengan pemberian terus menerus. Penggunaannya harus hati-hati pada pasien lansia. Penyekat alfa melewati hambatan otak-darah dan dapat menyebabkan efek samping CNS seperti kehilangan tenaga, letih, dan depresi. 2.1.10.2.8 Golongan Agonis α2 Sentral Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor α2 adrenergic di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak dan meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac output, total peripheral resistance, aktifitas plasma rennin, dan reflex baroreseptor. Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resistan, dan metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan. Penggunaan agonis α2 sentral secara kronis menyebabkan retensi natrium dan air, paling menonjol dengan penggunaan metildopa. Penggunaan klonidin dosis kecil dapat digunakan untuk mengobati hipertensi tanpa penambahan diuretik. Tetapi, metildopa harus diberikan bersama diuretik untuk mencegah tumpulnya efek antihipertensi yang terjadi dengan penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan. Seperti dengan penggunaan obat antihipertensi yang bekerja sentral lainnya, depresi dapat terjadi. Kejadian hipotensi ortostatik dan pusing lebih tinggi dari pada dengan obat antihipertensi lainnya, jadi harus digunakan dengan hati-hati pada lansia. Klonidin mempunyai kejadian efek samping antikolinergik yang cukup banyak seperti sedasi, mulut kering, konstipasi, retensi urin, dan kabur penglihatan. Penghentian agonis α2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension. Efek ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin sewaktu klonidin diberhentikan tiba-tiba. Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik, walaupun jarang terjadi. Kenaikan sementara serum transaminase liver kadang-kadang terlihat dengan terapi metildopa tetapi secara klinis irrelevant kecuali bila nilainya diatas tiga kali batas normal. Metildopa harus diberhentikan segera apabila kenaikan serum transaminase atau alkalin fosfatase liver menetap karena ini menunjukkan onset dari hepatitis fulminan, bisa mengancam nyawa. 2.1.10.2.9 Golongan Reserpin Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin dari ujung saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

27

juga mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi, dan berkurangnya curah jantung. Reserpin mulai kerja dan waktu paruhnya lambat sehingga dosis pemberian satu kali per hari. Tetapi, diperlukan 2 sampai 6 minggu sebalum efek antihipertensi maksimal terlihat. Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan air yang cukup bermakna. Harus di kombinasikan dengan diuretic (tiazid lebih disukai). Penghambatan aktifitas simpatetik yang kuat oleh reserpin mengakibatkan meningkatnya aktifitas parasimpatetik. Terlihat dari efek samping hidung tersumbat, meningkat sekresi asam lambung, diare, dan bradikardia dapat terjadi. Depresi yang terjadi berupa kesedihan, hilang nafsu makan atau percaya diri, hilang tenaga, disfungsi ereksi. Dengan dosis 0.05 dan 0.25 depresi minimal. Reserpin digunakan sebagai terapi lini ke tiga pengobatan hipertensi.

2.1.10.2.10 Golongan Vasodilator Arteri Langsung (Direct Arterial Vasodilators) Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik, sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan rennin. Akibatnya terbentuk takifilaksis, efek hipotensi akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini dapat diatasi dengan penggunaan penyekat beta bersamaan.

2.2

Geriatri Geriatri berasal dari kata-kata geros (usia lanjut) dan iatreia (mengobati), geriatri merupakan cabang Gerontologi ini dibagi mnenjadi tiga yaituBiology of aging, social gerontology, dan geriatri medicine, yang mengupas problem klinik orang-orang lanjut usia (Darmojo dan pranaka, 2001). Menua (menjadi tua=aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untu memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasu infeksi) dan kerusakan yang diderita (Darmojo dan Martono, 2006). Prinsip dan tujuan terapi pada usia lanjut antara lain:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

28

a)

Menghindari obat yang tidak perlu, misalnya pada pasien hipertensi yang belum begitu parah mungkin bisa diberi tanpa obat yan telah terbukti efikasinya. Penggunaan obat golongan sedative hipnotik sebaiknya dihindari.

b)

Tujuan terapi dari pasien usia lanjut antara lain tidak hanya memperpanjang umurnya tetapi juga mengubah kualitas hidupnya.

c)

Terapi sebaiknya ditujukan pada penyebab penyakit, bukan terhadap gejala yang timbul.

d)

Riwayat penggunaan obat, untuk memastikan bahwa pasien tidak alergi terhadap obat tersebut.

e)

Sejarah penyakit dan komplikasi yang ada.

f)

Pemilihan obat, obat yang diberikan pada usia lanjut hendaknya sudah terbukti efikasinya dan mungkin terjadinya Adverse Drug Reactions kecil atau tida ada.

g)

2.3

Titrasi dosis (Walker dan Edwards, 2003).

Drug Related Problem Drug Related Problems (DRPs) merupakan kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat. Penelitian di Inggris menunjukkan adanya 8,8% kejadian Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada 93% pasien. Data Minnesota Pharmaceutical Care Project menunjukkan bahwa 17% dari masalah terapi obat yang telah diidentifikasi dan dikatagorikan sebagai pasien menerima obat yang salah (Cipolle, dkk., 1998). Sebuah DRPs didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang tidak diinginkan atau risiko yang dialami oleh pasien, yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat (Strand et al., 1990). Terjadinya DRPs dapat mencegah atau menunda pasien dari pencapaian terapi yang diinginkan. Sebuah DRPs sebenarnya adalah peristiwa yang telah terjadi pada pasien, sedangkan DRP potensial adalah suatu peristiwa yang mungkin sekali terjadi jika apoteker tidak melakukan intervensi yang tepat (Rovert et al., 2004). DRPs adalah tantangan besar untuk penyedia layanan kesehatan, terutama farmasis, karena dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Ada beberapa hal yang termasuk dalam kategori penyebab timbulnya permasalahan yang berhubungan dengan DRPs (Cippole dkk, 2004). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

29

i.

Butuh tambahan obat (need for additional drug therapy) Pasien mempunyai masalah medis yang membutuhkan terapi obat meliputi kondisi penyakit meningkat sehingga membutuhkan obat baru, mengalami penyakit kronis, terapi obat pencegahan untuk mengurangi risiko berkembangnya kondisi baru dan pemberian pengobatan tambahan untuk mencapai sinergi dan efek tambahan. Penyebab hal ini:

1. Kondisi baru membutuhkan terapi obat 2. Kondisi butuh kelanjutan terapi obat 3. Kondisi yang membutuhan kombinasi obat 4. Kondisi dengan resiko tertentu dan butuh obat untuk mencegahnya

ii.

Obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy) Hal ini terjadi jika pasien menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, terapi dengan dosis toksis, kondisi pengobatan lebih tepat ditangani dengan terapi nonfarmakologi, terapi obat diberikan untuk menghindari efek merugikan dari pengobatan yang lain dan penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol atau merokok, polifarmasi yang sebaiknya terapi tunggal dan terapi efek samping akibat suatu obat yang sebenarnya dapat digantikan dengan obat yang lebih aman.

iii.

Salah obat (wrong drug) Pasien mendapatkan terapi tidak tepat seperti obat bukan yang paling efektif dan aman, pasien alergi atau kontraindikasi, sudah resisten terhadap infeksi, dan kondisi pengobatan yang tidak dapat sembuh dengan produk obat.

iv.

Dosis terlalu rendah (dosage too low) Penyebab terjadinya ialah dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan, interaksi obat mengurangi jumlah ketersediaan obat yang aktif, durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan, pemilihan obat, dosis, rute pemberian dan sediaan obat tidak tepat.

v.

Dosis terlalu tinggi (over dosage)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

30

Hal ini terjadi ketika dosis yang diberikan terlalu tinggi untuk memberikan efek, dosis obat dinaikkan cepat, frekuensi pemberian, durasi terapi, cara pemberian obat pada pasien yang tidak tepat, dan konsentrasi obat diatas kisaran terapi. vi.

Ketidaktaatan pasien (uncomplience) Jika pasien tidak menerima obat sesuai regimen karena medication error (peresepan, penyerahan obat dan monitoring pasien), tidak taat pada intruksi, pasien tidak membeli obat yang disarankan karena mahal, tidak mengambil obat karena tidak memahami pemakaian obat, pasien tidak menggunakan obat karena tidak kepercayaan dengan obat yang dianjurkan ( Strand. et al, 1998).

vii.

Interaksi Obat (Adverse Drug Reaction) Penyebabnya ialah pasien menerima produk yang menyebabkan reaksi alergi atau idiosinkrasi, pengaturan dosis obat diganti terlalu cepat, bioavailabilitas atau efek obat diubah oleh obat lain atau makanan dan interaksi obat. Salah satu yang menjadi kriteria terjadinya DRPs Adverse Drug Reaction adalah

terjadinya interaksi obat.Tidak semua obat bermakna secara klinis. Beberapa interaksi obat secara teoritis mungkin terjadi, sedangkan interaksi obat lain yang harus dihindari atau memerlukan pemantauan yang cermat. Tatro (2001) menilai interaksi obat melalui peringkat signifikasi, onset, tingkat keparahan efek interaksi dan dokumentasinya. a) Peringkat Signifkansi Peringkat signifikansi interaksi bervariasi dari derajat 1 sampai 5.Derajat 1 adalah interaksi yang parah dan telah terdokumentasi dengan baik.Derajat 5 adalah interaksi yang terdokumentasinya tidak lebih dari possible atau unlikely. b) Onset Onset adalah mulai efek kerja interaksi suatu obat yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu rapid dan delayed. Onset rapid ialah efek akan terjadi dalam kurun waktu 24 jam setelah pemakaian obat yang berinteraksi, sehingga diperlukan tindakan segera. Onset delayed ialah efek tidak akan terjadi sampai beberapa hari atau minggu setelah pemakaian obat. Tidak memerlukan tindakan segera. c) Tingkat keparahan efek interaksi Berdasarkan tingkat keparahan efek interaksi suatu obat terbagi dalam 3 kelompok yaitu major, moderate, dan minor.Tingkat keparahan major ialah efek yang terjadi secara potensial mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan yang bersifat menetap.Efek dapat menyebabkan perubahan status klinik dan penambahan pengobatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

31

merupakan tingkat keparahan moderate.Efek yang biasanya ringan tidak memerlukan tambahan pengobatan merupakan tingkat keparahan minor. d) Dokumentasi Dokumentasi adalah derajat kepercayaan dari interaksi obat yang dapat menyebabkan perubahan respon klinis.Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terdokumentasinya

suatu

efek

interaksi

obat

khususnya

pada

pasien

tertentu.Dokumentasi tidak menunjukkan besarnya insidensi atau frekuensi interaksi, serta tidak tergantung pada keparahan efek interaksi. Dokumentasi terbagi dalam 5 kelompok yaitu established, probable, suspected, possible and unlikely. Dokumentasi established ialah derajat kepecayaan yang telah dapat membuktikan interaksi terjadi disertai suatu kontrol penelitian yang baik. Kelompok kedua yaitu probable ialah sangat mungkin terjadi interaksi tetapi tidak ada bukti klinis. Yang ketiga yaitu suspectedialah interaksi obat mungkin terjadi dan terdapat beberapa data yang baik, tetapi membutuhkan studi penelitian lebih lanjut. Kelompok keempat yaitu possible ialah interaksi obat dapat terjadi tetapi data masih sangat terbatas.Dan yang kelima yaitu unlikely ialah derajat kepercayaan yang meragukan untuk terjadi interaksi obat dan tidak ada perubahan efek klinis yang jelas.

2.4

Drug Related Problem (DRP) terkait Interaksi Obat

2.4.1

Definisi Interaksi Obat Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005). Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008). Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

32

dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik.

2.4.2 Mekanisme Interaksi Obat Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan satu dari dua mekanisme berikut: 1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik). 2. Mempengaruhi

konsentrasi

obat

B

yang

mencapai

situs

aksinya

(interaksi

farmakokinetik). a.

Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).

b.

Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara substansial).

c.

Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.

d.

Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obatobat imunosupresan.

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat : 1. Interaksi

Farmakokinetik

Interaksi

farmakokinetik

terjadi

ketika

suatu

obat

mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe : a. Interaksi pada absorbsi obat i.

Efek perubahan pH gastrointestinal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

33

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008). ii.

Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).

iii.

Perubahan motilitas gastrointestinal Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obatobatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008).

iv.

Induksi atau inhibisi protein transporter obat Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).

v.

Malabsorbsi dikarenakan obat Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).

b. Interaksi pada distribusi obat i.

Interaksi ikatan protein Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

34

diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008). ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley, 2008). c. Interaksi pada metabolisme obat i.

Perubahan pada metabolisme fase pertama Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

ii. Induksi Enzim Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008). iii. Inhibisi enzim Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

35

memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008). iv. Faktor genetik dalam metabolisme obat Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala (Stockley, 2008). v.

Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).

d. Interaksi pada ekskresi obat i.

Perubahan pH urin Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

36

protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs) (Stockley, 2008). iii. Perubahan aliran darah renal Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008). 2. Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009). Interaksi aditif atau sinergis

a.

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008). Interaksi antagonis atau berlawanan

b.

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008). 2.4.3

Tingkat Keparahan Interaksi Obat Potensi keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko vs manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

37

a. Keparahan minor Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009). b. Keparahan moderate Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang terjadi dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, rawat inap, atau diperpanjang dirawat di rumah sakit mungkin diperlukan (Tatro, 2009). c. Keparahan major Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen (Tatro, 2009). Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat. Hal ini juga tugas pada profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameterpasien tertentu. Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya, profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).

2.5 Peran Apoteker di Rumah Sakit Dalam meningkatkan kualitas pelayanan farmasi dibutuhkan tenaga apoteker yang profesional. Peran apoteker atau farmasis dalam pelayanan kesehatan menurut WHO mengistilahkan dengan 7 kriteria yaitu : 1. Care-Giver Apoteker/farmasis harus mengintegrasikan pelayanan pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesimbungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan dasar dalam menentukan pendidikan dan pelatihan. 2. Decision-Maker Apoteker/farmasis menjalani pekerjaan berdasarkan pada kecukupan serta keefekifan dan keefiesienan penggunaan sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

38

pelayanan. Kemampuan apoteker/farmasis harus diukur dan hasilnya dijadikan dasar dalam menentukan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan. 3. Communicatory Apoteker/farmasis harus menjalin hubungan dengan pasien atau profesi kesehatan lainnya. Dimana apoteker memiliki kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Meliputi komunikasi verbal dan non verbal, mendengar, serta kemampuan menulis dengan menggunakan bahasa yang baik. 4. Leader Apoteker/farmasis dituntut memliki kemampuan menjadi pemimpin karena harus dapat mengambil keputusan yang efektif, kemampuan untuk mengomunikasikan serta kemampuan mengelola hasil keputusan. 5. Manager Apoteker/farmasis harus efektif dalam mengelola sumber daya informasi yang ada. Didalam tim kesehatan seorang apoteker harus bisa bekerjasama dimana dapat dipimpin maupun jadi pemimpin. 6. Life –Long Learner Apoteker/farmasis harus selalu menggali ilmu sedalam-dalamnya. Hal ini untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan. 7. Teacher Apoteker/farmasis memiliki tanggung jawab mendidik dan melatih generasi selanjutnya. Partisipasi tidak hanya berbagi pengetahuan namun juga berbagi pengalaman (Putra ,2013). Sedangkan menurut PP No 51 tahun 2009 ada dua peran penting apoteker. Pertama, melaksanakan fungsi pengadaan obat dan perbekalan kesehatan lainnya sesuai dengan ketentuan dan sarana yang dimiliki. Kedua, melakukan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan dengan baik sesuai dengan sifat bahan. Fungsi apoteker di RS berdasarkan Kepmenkes 1197/Menkes/SK/X/2004 yaitu sebagai pengelola perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan. Berikut penjelasan lengkapnya : 1. Fungsi Pengelolahan Perbekalan Farmasi a. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan RS merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal. Contoh kegiatan fungsi apoteker sebagai pengelolahan Farmasi antara lain :

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

39

1) Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di RS menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku. 2) Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian. 3) Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di RS. b. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku. 2. Fungsi Pelayanan Kefarmasian Dalam Pengelolahan Obat dan Alat Kesehatan Fungsi pelayanan kefarmasian diantaranya : a. Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien contohnya melakukan pencampuran obat suntik, penyiapan nutrisi parenteral, penanganan obat kanker, penentuan kadar obat dalam darah, melakukan pencatatan setiap kegiatan. b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan. c. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan. d. Memberikan

informasi

kepada

petugas

kesehatan,

pasien/keluarga

contohnya

melaporkan kegiatan. 3. Fungsi Pelayanan Klinik Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di RS pelayanan farmasi klinik yaitu “pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin”. Pelayanan klinik diantaranya : a. Pengkajian dan Pelayanan Resep Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

40

Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien. c. Rekonsiliasi Obat Rekonsiliasi obat adalah proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) dapat terjadi pada pemindahan pasien dari satu RS ke RS lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari RS ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. d. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar RS. e. Konseling Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap apoteker. f. Visite Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar RS baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program RS yang biasa disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care). g. Pemantauan Terapi Obat (PTO) Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

41

h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Monitoring efek samping obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) Merupakan program evaluasi penggunaan obat mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat. j. Dispensing Sediaan Steril Dispensing sediaan steril harus dilakukan di IFRS untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter.

2.6 Rekam Medik Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik dan memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita rawat tinggal maupun penderita rawat jalan.Rekam medik ini harus secara akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat dipergunakan, mudah ditelusuri kembali (retrieving) dan lengkap informasi.Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas, dan akurat dari kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang medik. Definsi rekam medik menurut surat keputusan Direktur jenderal pelayanan medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat dirumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar dan Lia, 2003). Kegunaan dari rekam medik : a)

Digunakan sebagai dasar perencanaan berkelanjutan perawatan penderita. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

42

b)

Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap professional yang berkontribusi pada perawatan penderita.

c)

Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan atau penderita dan penanganan atau pengobatan selama tiap tinggal di rumah sakit.

d)

Digunakan sebagai dasar untuk kajian ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada pasien.

e)

Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.

f)

Menyediakan atau untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan. Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data rekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita.

Bab 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL 3.1

Kerangka Konsep

Interaksi Obat

Karakteristik Pasien : a. b. c. d.

Usia Jenis Kelamin Penyakit Peserta Jumlah Penggunaan Obat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

43

Outcomes Terapi

Tekanan Darah

Tidak Terkendali

Terkendali

3.2

Definisi Operasinal

No

Nama Variabel

1.

Karateristik Pasien :

Definisi Operasional

1.) 2.) Jenis kelamin 1. Kondisi fisik yang menentukan status seseorang laki-laki atau perempuan 2. 3. 4. Lamanya hidup Usia seseorang dilihat dari tanggal lahir

Cara Pengukuran

Skala Ukur

Kategori

Membaca data Nominal rekam medis pasien

1 : Laki-laki

Membaca data Nominal rekam medis pasien

1 : tahun

2 : Perempuan

60–74

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

44

5. Penyakit penyerta

Jumlah obat

2 : 75-90 tahun Keadaan klinis Melihat data dimana timbulnya rekam medis Nominal penyakit jantung pasien pada pasien hipertensi

6. 7. Banyaknya obat hipertensi dan obat Melihat data penyakit jantung rekam medis Nominal yang digunakan pasien pasien

3 : ≥ 90 tahun

1:<5 Penyakit Penyerta 2:≥5 Penyakit Penyerta

1 : < 5 obat 2 : ≥ 5 obat

2.

Obat yang digunakan dalam pengobatan Diuretika hipertensi baik itu Inhibitor obat-obatan angiotensin kimiawi maupun converting enzim inhibitor non kimiawi (ACEI) Beta-blocker Calcium channel blocker (CCB) Penyekat beta Penyekat alfa Agonis α2 sentral Reserpin Vasodilator arteri langsung 1.Obat hipertensi :

a. b.

c. d.

e. f. g. h. i.

Dengan membaca data rekam medis pasien

Pasien mendapat pengobatan hipertensi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

45

3.

Interaksi obat

Keadaan yang terjadi ketika menggunakan 2 atau lebih jenis obat.

Melihat referensi pada : Drug Intraction Fact, Drugs.com, Medscape, Cipolle dan Drug Information Hanbook, Stockley

4.

Outcome pasien Keberhasilan terapi Dengan Nominal hipertensi yang dinilai melihat rekam berdasarkan medis pasien parameter target Tekanan Darah (sistolik <140 mmHg dan diastolik <90 mmHg

1:Tercapai target tekanan darah 2:Tidak tercapai target tekanan darah

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Rawat Inap RS Pelabuhan Jakarta Utara pada bulan Juni – Agustus 2016.

4.2

Desain Penelitian Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian cross sectional, yaitu pengumpulan data variabel untuk mendapatkan gambaran terjadinya interaksi obat pada pasien geriatri dengan penyakit hipertensi sebagai variabel terikat, dengan teknik pengambilan data dari rekam medik pasien di RS Pelabuhan Jakarta utara pada periode bulan Juni – Agustus 2016.

4.3

Populasi dan Sampel Penelitian

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

46

4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien geriatri hipertensi yang dirawat inap di RS Pelabuhan Jakarta Utara pada periode Juni – Agustus 2016. 4.3.2

Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria diambil sebagai penelitian.

4.4

Kriteria Inklusi dan Ekslusi

4.4.1 Kriteria Inklusi Sampel Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian, memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria inklusi untuk sampel kasus dalam penelitian ini sebagai berikut : a.

Pasien rawat inap bulan Juni – Agustus 2016 minimal menjalani perawatan 3 hari.

b.

Pasien dengan diagnosa hipertensi dengan/tanpa penyakit penyerta.

c.

Pasien geriatri dengan rentang usia yaitu i.

Lanjut usia (elderly) : 60 – 74 tahun

ii.

Lanjut usia tua (old) : 75 – 90 tahun

iii.

Usia sangat tua (very old) : 90 tahun

4.4.2 Kriteria Ekslusi Sampel Kriteria ekslusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikut sertakan. Adapun yang termasuk kriteria ekslusi adalah pasien dengan rekam medis yang tidak lengkap dan hilang. 4.5

Prosedur Penelitian

4.5.1 Persiapan (Permohonan Izin Penelitian) a.

Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta kepada Kepala Instalasi RS Pelabuhan Jakarta Utara.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

47

b.

Penyerahan surat persetujuan penelitian dari RS Pelabuhan Jakarta Utara kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta.

4.5.2 Pengumpulan data a.

Penelusuran data pasien geriatri dengan penyakit hipertensi di ruang rawat inap RS Pelabuhan Jakarta Utara periode Juni – Agustus 2016.

b.

Proses pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi.

c.

Pengambilan data dan pencatatan data hasil rekam media diruang administrasi medis berupa: i.

Nama dokter.

ii. Nomor rekam medis. iii. Identitas pasien (nama, jenis kelamin, umur dan penyakit komplikasi). iv. Tanggal perawatan. v.

Diagnosa.

vi. Data penggunaan obat (jenis, regimen dosis, dan aturan penggunaan). 4.5.3 Pengolahan data 1. Editing Peneliti melakukan penilaian terhadap data mentah, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian. 2. Coding Peneliti melakukan pengkodean untuk mempermudah peneliti memasukkan data yang diperoleh dari laboratorium dan rekam medis. 3. Entry data Peneliti memasukkan data yang telah dilakukan proses coding ke dalam program Microsoft Excel dalam bentuk table. 4. Cleaning data Peneliti mleakukan pemeriksaan kembali data yang sudah dimasukkan kedalam sistem komputer untuk menghindari terjadinya ketidaklengkapan atau kesalahan data. 4.5.4

Analisa Data Dalam penelitian ini analisa data yang dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan akan dianalisis dengan analisa univariat. Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel (terikat maupun bebas ) yang akan diteliti

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

48

secara deskriptif

(Notoatmodjo, 2003). Adapun pengolahan data dengan menggunakan

analisis univariat ialah karakteristik pasien dengan kategori sebagai berikut : a. Jenis kelamin b. Usia c. Jumlah penggunaan obat d. Penyakit penyerta e. Profil penggunaan obat f. Karakteristik interaksi obat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

48

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1

Hasil

5.1.1

Karakteristik Umum Subjek Penelitian Demografi pasien dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin,usia, lama perawatan,

jenis penyakit penyerta, dan jumlah penggunaan obat. Jumlah pasien Hipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara pada bulan Juli – September 2016 adalah 67 pasien dan kemudian dipilih 42 pasien yang masuk kriteria inklusi dalam penelitian ini. Tabel 5.1 Karakteristik Pasien Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Lama Perawatan, Jumlah Penyakit Penyerta, dan Jumlah Penggunaan Obat.

No. 1.

2.

3.

4.

Karakteristik Subjek

Jumlah Rekam Medik (n=42)

Presentase (%)

18 24

43,0 57,0

34 8 -

81,0 19,0 -

2 40

5,0 95,5

8 34

19,0 81,0

Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Usia a. Lanjut usia (erderly) b. Lanjut usia tua (old) c. Usia sangat tua (very old) Jumlah penggunaaan obat a. < 5 obat b. ≥ 5 obat Jumlah penyakit penyerta a. Tanpa penyakit penyerta b. 1 penyakit penyerta

Berdasarkan tabel 5.1, diperoleh gambaran mengenai karakteristik umum subjek penelitian. Gambaran umum karakteristik subjek dominan antara lain 57,0% perempuan; 81% usia pasien 60-74tahun; 95% pasien menerima lebih dari ≥ 5 obat dan 8,0% pasien mengalami 1 penyakit penyerta. 5.1.2

Profil Penggunaan Obat Antihipertensi Presentase penggunaan obat antihipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta

Utara periode Juli – September 2016 yang diambil dari 42 rekam medik. Terdapat 85 penggunaan obat antihipertensi ditunjukkan pada Tabel 5.2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

49 Tabel 5.2 Persentase Penggunaan Obat Antihipertensi Pasien Rawat Inap Antihipertensi di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juli – September 2016

No. Nama Obat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Amlodipine Furosemide Spironolactone Losartan Bisoprolol Candesartan Ramipril Captopril Hidrochorotiazide Irbesartan Nebivolol Propranolol

Jumlah Penggunaan (n=85) 23 21 8 8 6 4 4 3 2 2 2 2

Presentase (%) 27,0 25,0 9,0 9,0 7,0 5,0 5,0 4,0 2,0 2,0 2,0 2,0

Berdasarkan tabel 5.2, menunjukkan bahwa presentase tertinggi penggunaan obat antihipertensi yakni amlodipine 27%; furosemide 25%; spironolactone 9%; losartan 9%; bisoprolol 7%; candesartan 5%; ramipril 5%; captopril 4%; hidrocholotiazide 2%; irbesartan 2%; nebivolol 2% dan propranolol 2%. 5.1.3

Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien Berdasarkan penelitian terhadap 42 rekam medik pada periode Juli – September 2014,

deperoleh jumlah interaksi obat sebanyak 90% dengan karakteristik kelompok lanjut usia (elderly) 60-74 tahun (81%), dan mendapat terapi ≥ 3 obat (95%). Gambaran umum kejadian interaksi obat secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Distribusi kejadian interaksi obat pada pasien Hipertensi di RSU Pelabuhan Jakarta Utara periode JuliSpetember 2016.

No Karakteristik Subjek

1.

2.

Usia a. Lanjut usia 60 – 74 tahun b. Lanjut usia tua 75 – 90 tahun Jumlah penggunaan obat a. < 5 obat b. > 5 obat

Berinteraksi Frekuensi % (n=38) (n=90)

Tidak Berinteraksi Frekuensi % (n=4) (n=10)

31 7

82 18

3 1

75 25

1 37

3 97

1 3

25 75

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

50

5.1.4

Gambaran Interaksi Obat pada Pasien Berdasarkan Mekanisme dan Tingkat

Keparahan Analisis terhadap 42 rekam medik menunjukkan hasil presentase potensi interaksi obat antihipertensi yaitu 90%, dari 42 rekam medik ditemukan 38 rekam medik memiliki potensi interaksi obat, yang terdiri dari 219 jenis kasus interaksi obat. Berdasarkan tingkat keparahan, interaksi obat yang terjadi mayoritas mempunyai tingkat keparahan moderate 60%, tingkat keparahan major 24%, dan tingkat keparahan minor 16%. Data ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5.4 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obar Antihipertensi pada Pasien Hipertensi di RSU Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juli – September 2016

No 1. 2. 3. Total

Jenis Interaksi Moderat Minor Major

Jumlah Kejadian 132 53 34

% 60 24 16 219

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jenis interaksi yang balik banyak terjadi adalah interaksi farmakodinamik sebesar 71%, diikuti interaksi farmakokinetik 28%, serta interaksi unknown sebesar 1%. Tabel 5.5 Presentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi di RSU Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juli – September 2016

No Jenis Interaksi Farmakodinamik 1. Farmakokinetik 2. Unknown 3. Total

5.1.5

Jumlah Kejadian 155 61 3

% 71 28 1 219

Gambaran Interaksi Obat Antihipertensi dan Obat Antihipertensi Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh obat hipertensi yang berinteraksi sesema

obat hipertensi yang paling banyak terjadi adalah furosemide dan ramipril yaitu sebanyak 4 kejadian (13 %).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

51 Tabel 5.6 Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Antihipertensi di Instalasi Rawat Inap RSU Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juli – Agustus 2016

No

Nama Obat

Pola Mekanisme Interaksi

Tingkat Keparahan Interaksi

Mekanisme Interaksi

1.

Spironolactone + losartan

Farmakokinetik

Major

2.

Captopril + spironolactone

Farmakokinetik

Major

3.

Captopril + losartan

Farmakodinamik

Major

4.

Captopril + HCT

Farmakodinamik

Moderat

5.

Amlodipine + HCT

Farmakodinamik

Minor

6.

Captopril + amlodipine

Farmakodinamik

Minor

Menggunakan spironolakton bersama dengan losartan dapat meningkatkan kadar pottasium dalam darah. (drugs.com) Mengunakan captopril bersama spironolakton dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah (hiperkalemia). (drugs.com) Menggunakan captopril bersama losartan dapat meningkatkan resiko efek samping seperti tekanan darah rendah, gangguan fungsi ginjal dan kondisi yang disebut hiperkalemia (pottasium darah tinggi). (drugs.com) Meskipun captopril dengan HCT sering digabungkan bersama, efeknya mungkin aditif pada penurunan tekanan darah. (drugs.com) Efek antihipertensi dari diuretik amlodipine dan thiazide adalah aditif. (drugs.com) Calcium channel blockers dan angiotensin converting enzyme

Jumlah Kejadian IO

%

3

10

2

6

2

6

2

6

2

6

3

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

52 (ACE) inhibitor mungkin memiliki efek hipotensi tambahan. (drugs.com)

7.

Amlodipine + nebivolol

Farmakodinamik

Moderat

8.

Amlodipine + bisoprolol

Farmakodinamik

Moderat

9.

Furosemide + bisoprolol

Farmakokinetik

Moderat

10.

Furosemide + propranolol

Farmakokinetik

Moderat

11.

Spironolactone + ramipril

Farmakokinetik

Major

12.

Furosemide +

Farmakodinamik

Moderat

Nebivolol dan amlodipine memiliki efek dalam menurunkan tekanan darah dan detak jantung. (drugs.com) Bisoprolol dan amlodipine memiliki efek tambahan dalam menurunkan tekanan darah dan detak jantung. (drugs.com) Menggunakan furosemide dan bisoprolol bersamasama dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat denyut jantung. (drugs.com) Menggunakan propranolol dan furosemide bersama-sama dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat denyut jantung. (drugs.com) Penggunaan ramipril bersama spironolakton dapat meningkatkan kadar pottasium dalam darah (hiperkalemia), terutama jika mengalami dehidrasi atau memiliki penyakit ginjal, diabetes, gagal jantung, atau orang dewasa yang lebih tua. (drugs.com) Meskipun

3

10

1

3

3

10

2

6

3

10

4

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

53 ramipril

13.

5.1.6

Spironolactone + candesartan

Farmakokinetika

Major

furosemide, gliserin dan ramipril sering dikombinasikan bersamaan, efeknya mungkin aditif pada penurunan tekanan darah. (drugs.com) Menggunakan candesartan bersama dengan spironolactone dapat meninkatkan kadar potasium dalam darah. Kadar kalium yang tinggi dapat berkembang menjadi suatu kondisi yang dikenal hiperkalemia, pada kasus yang parah dapat menyebabkan gagal ginjal, kelumpuhan total, ritme jantung tidak terartur dan serangan jantung. (drugs.com)

1

3

Gambaran Interaksi Obat Antihipertensi dan Obat Selain Hipertensi Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh obat hipertensi dan selain obat hipertensi

yang banyak digunakan adalah furosemide dan omeprazole yaitu sebnayak 6 kejadian atau sebesar 16%. Tabel 5.7 Interaksi Obat Hipertensi dengan Obat Non Hipertensi Pada Pasien Di Instalasi Rawat Inap RSU Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juli – September 2016

No.

Nama Obat

1.

Furosemide + lansoprazole

2.

Furosemide + omeprazole

Pola Mekanisme Interaksi Farmakokinetik

Farmakokinetik

Tingkat Mekanisme Interaksi Keparahan Interaksi Moderat Lansoprazole dan furosemid dapat menyebabkan hypomagnesemia. (drugs.com) Moderat Omeprazole dan furosemid dapat menyebabkan hypomagnesemia. (drugs.com)

Jumlah Kejadian IO 3

%

6

16

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

54 3.

Furosemide + Farmakodinamik Moderat phenolphthalein

4.

HCT + Farmakodinamik Moderat phenolphthalein

5.

HCT + glycerin

Farmakodinamik Moderat

6.

Irbesartan + Pottasium chloride

Farmakokinetik

Major

7.

Amlodipine + simvastatin

Farmakokinetik

Major

8.

Cefditiron + ranitidine

Farmakokinetik

Moderat

9.

Bisoprolol + amiodarone

Farmakodinamik Moderat

10.

Furosemide + digoxin

Farmakodinamik Moderat

11.

Furosemide + ceftrixone

Farmakodinamik Minor

12.

Furosemide + cefixime

Farmakodinamik Moderat

Furosemide dan phenolphthalein dapat menigkatkan resiko dehidrasi dan kelainan elektrolit. (drugs.com) HCT dan phenolphthalein dapat menigkatkan resiko dehidrasi dan kelainan elektrolit. (drugs.com) HCT dan glycerin dapat menigkatkan resiko dehidrasi dan kelainan elektrolit. (drugs.com) Penggunaan potassium chloride bersama irbesartan dapat meningkatkan kadar potassium dalam darah. (drugs.com) Penggunaan simvastatin bersama amlodipine dapat meningkatkan resiko efek samping obat. (drugs.com) Penggunaan cefditoren bersama ranitidine menurunkan penyerapan dan tingkat darah cefditoren dan membuat obat kurang efektif terhadap infeksi. (drugs.com) Menggunakan amiodarone bersama dengan bisoprolol dapat menyebabkan peningkatan efek samping. (drugs.com) Menggunakan furosemide bersama dengan digoxin dapat meningkatkan efek dari digoxin. (drugs.com) Ceftriaxone dapat menyebabkan masalah ginjal, dan menggunakannya dengan furosemide dapat meningkatkan risiko itu. (drugs.com) Cefixime jika digunakan dengan

1

3

1

3

1

3

1

3

2

6

1

3

1

3

5

13

5

14

1

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

55

13.

Furosemide + glimepiride

Farmakokinetik

Moderat

14.

Bisoprolol + digoxin

Farmakodinamik Moderat

15.

Propranolol + digoxin

Farmakodinamik Moderat

16.

Furosemide + laxadine

Farmakodinamik Moderat

furosemide dapat menyebabkan masalah ginjal. (drugs.com) Menggunakan ranitidine bersama dengan glimepiride dapat meningkatkan efek dari glimepiride. (drugs.com) Menggunakan digoxin bersama dengan bisoprolol dapat memperlambat detak jantung dan menyebabkan peningkatan efek samping. (drugs.com) Menggunakan propranolol bersama digoxin dapat memperlambat detak jantung dan menyebabkan peningkatan efek samping. (drugs.com) Mengunakan furosemide bersama dengan obat apapun yang memiliki efek pencahar, terutama dalam waktu lama dapat meningkatkan resiko dehidrasi dan kelainan elektrolit. (drugs.com)

1

3

2

6

2

6

2

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

56

5.2

Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

penggunaan obat antihipertensi yang

meliputi jenis, dosis, dan frekuensi serta mengidentifikasi masalah terkait obat antihipertensi ditinjau dari interaksi obat pada pasien dengan penyakit hipertensi yang dilakukan di Instalasi Rawat Inap di RSUD Pelabuhan Jakarta Utara selama periode Juni – Agustus 2016. Pada peneltitan ini diambil sampel sebanyak 42 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Pada penelitian ini, distribusi pasien dengan penyakit hipertensi berdasrkan jenis kelamin lebih banyak dialami oleh pasien wanita, yaitu sebesar 28 pasien (57 %) dibandingkan laki – laki sebesar 18 pasien (43%) (Tabel 5.1). Hal ini sesuai dengan data bahwa angka kejadian Hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pasien pria. Prevalensi hipertensi dunia menurut World Health Organisation (WHO) dalam World Health Statistic (2012) mencapai 24,2 % pada laki-laki dan 29,8 % pada perempuan. Diduga bahwa kemungkinan perempuan lebih mudah stress dibandingkan dengan pria. Stress berhubungan dengan hipertensi melalui saraf simpatis yang meningkatkan tekanan darah. Hormon epinefrin atau adrenalin akan dilepas pada keadaan tertekan. Adrenalin akan meningkatkan tekanan darah melalui kontraksi arteri (vasokontriksi) dan peningkatan denyut jantung dengan demikian orang akan mengalami peningkatan tekanan darah. Selain itu, wanita berumur 40 tahun akan mengalami menopause yang menyebabkan hormon esterogen menurun. Penurunan hormon esterogen dapat meningkatkan tekanan darah karena esterogen berperan melawan hipertensi melalui penghambatan jalur vasokontriktor oleh sistem saraf simpatik dan angiotensin. Pasien geriatri dibagi menjadi 3 golongan menurut WHO yaitu, lanjut usia (60-74 tahun), lanjut usia tua (75-90 tahun) dan usia sangat tua (90 tahun). Sedangkan di Indonesia, menurut pasal 1 UU RI no.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 ke atas. Dalam penelitian ini, pasien yang menderita hipertensi dengan kategori lanjut usia (elderly) 60-74 tahun sebanyak 34 pasien (81,0%), kemudian kategori lanjut usia tua (old) 75-90 tahun sebanyak 8 pasien (19,0) (Tabel 5.1). Hal ini disebabkan oleh penurunan elastisitas arteri. Penelitian Heryudarini menyatakan bahwa setiap peningkatan usia 1 tahun akan meningkatan tekanan sistolik sebesar 0,493 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 0,189 mmHg. Semakin tua seseorang maka arteri akan kehilangan elastisitasnya yang menyebabkan kemampuan memompa darah berkurang sehingga tekanan darah meningkat. Pada pasien lanjut usia, umumnya banyak disertai dengan penyakit penyerta yaitu 34 pasien (81%)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

57

mengalami 1 penyakit penyerta sedangkan yang tidak mengalami penyakit penyerta sebanyak 8 pasien (19%) (Tabel 5.1). Interaksi obat adalah berubahnya efek suatu obat karena adanya obat lain yang diberikan bersamaan. Interaksi dapat terjadi secara farmakokinetik atau farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik mempengaruhi proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik mempengaruhi ikatan obat dan reseptornya. Interaksi obat juga ada yang menguntungkan dan merugikan (Baxter,2008). Interaksi obat dapat terjadi tetapi tidak selalu berakibat merugikan secara klinis. Secara teoritis interaksi obat tersebut potensial terjadi namun kejadian klinis akibat interaksi obat tidak ditemukan. Interaksi obat-obat banyak terjadi pada peresepan pasien hipertensi, hal ini mungkin dikarenakan jenis obat yang digunakan pada pengobatan hipertensi beragam, sehingga penggunaan kombinasi dari obat-obat tersebut tidak mudah untuk teridentifikasi, untuk memudahkan dalam pengecekan interaksi antar obat-obat ada baiknya pada apotek rawat inap instalasi di rumah sakit dilengkapi dengan softwer interaction checkers. Pada penelitian ini 95% pasien hipertensi menggunkan lebih dari 3 obat, terapi yang diberikan obat golongan Diuretik, Calcium Channel Bloclker (CCB), ACE Inhibito, Beta Blocker, dan Angiotensi II (ARB). Pada penelitian ini yang paling banyak diberikan pada pasien adalah amlodipine (27%), dimana amlodipine merupakan salah satu obat calcium channel blocker (CCB) menurunkan tekanan darah dengan merelaksasi otot polos arteriola dan mengurangi resistensi pembuluh perifer (Oates & Brown, 2007). Mekanisme kerja Calcium Channel Blocker adalah menghambat aliran masuk kalsium ke dalam sel-sel otot polos arteri (Katzung, 2001). Selanjutnya selain amlodipine dalam penelitian ini yang banyak digunakan adalah furosemide, yaitu sebesar 25%. Furosemide cukup cepat diserap dari saluran pencernaan ; bioavaibilitas telah dilaporkan 60% sampai 70% , tetapi penyerapan adalah variabel yang tidak menentu. Waktu paruh furosemide pada keadaan normal sekitar 2 jam meskipun berkepanjangan pada neonatus dan pada pasien dengan gangguan ginjal dan hati (Sweetman et al., 2009). Hasil analisa DRPs terhadap 42 pasien, diperoleh bahwa terdapat 38 pasien (90%) dan sebanyak 4 pasien (10%) tidak mengalami interaksi obat. Berdasarkan hasil analisa terhadap 30 pasien yang berinteraksi (table 5.3). Penyakit degeneratif seperti hipertensi biasanya selalu diikuti dengan komplikasi penyakit pada organ lain seiring dengan lama perjalanan penyakit dan tingkat keparahannya,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

58

sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan banyaknya kasus polifarmasi dalam tiap lembar resep. Interaksi yang terjadi dapat berupa interaksi farmakokikentik dan farmakodinamik. Interaksi farmakodinamik pada usia ≥ 60 tahun dapat menyebabkan respon reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitasnya terhadap efek obat menjadi lain, yang akan berakibat pada besar dosis yang diresepkan. Interaksi obat menjadi hal yang penting untuk diperhatikan apabila secara klinis dapat meningkatkan toksisitas atau menurunkan efek terapi dari obat tersebut, hal ini dapat diperkecil potensinya dengan cara menghindari penggunaan polifarmasi yang tidak dibutuhkan. Klasifikasi interaksi dibagi menjadi 3 kelompok yaitu interaksi minor, moderat dan mayor. Interaksi minor adalah interaksi yang masih dalam tolerir karena jika ditemukan dalam lembar resep makan dalam terapi tidak diperlukan adanya perubahan, sedangkan interaksi moderat adalah interaksi yang mungkin terjadi dalam terapi dan memerlukan perhatian medis, dan pengertian dari interaksi mayor adalah interaksi antar obat yang dapat menimbulkan konsekuensi klinis hingga kematian (Feinstein et al,2014). Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keparahan interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah pada interaksi obat secara moderat, yaitu sebanyak 132 kejadian (60%). Interaksi yang paling banyak terjadi sesama obat hipertensi yaitu furosemde dan ramipril dimana terjadi 4 kejadian atau sebesar 16%, interaksi yang terajdi antara furosemide dan ramipril yaitu farmakodinamik sinergis. Kombinasi (ACE Inhibitor) dan furosemide (Loop Diuretic) umumnya aman dan efektif, tetapi “first dose hypotension” (pusing hingga pingsan) dapat terjadi. Pada semua pasien yang mengkonsumsi diuretik, terapi dengan inhibitor ACE harus dimulai dengan dengan dosis yang sangat rendah. Interaksi yang menyebabkan “first dose hypotension” belum sepenuhnya dipahami. Interaksi antara furosemide dan ramipril juga dapat menyebabkan hipokalemia. Penyebab hipokalemia akibat dari efek diuretik yang bekerja memperbanyak pengeluaran kalium dan air (Stockley, 2008). Selanjutnya interaksi obat terbanyak kedua adalah dengan tingkat keparahan minor yaitu 53 kejadian (24%), interaksi obat ini mungkin menggangu atau tidak disadari (interaksi obat diduga terjadi) tetapi tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap efek obat yang diinginkan. Yang terakhir interaksi obat dengan tingkat keparahan major, yaitu 34 kejadian (16%), dengan obat yang paling banyak berinteraksi adalah clopidogrel dan omeprazole. Mekanismenya adalah PPI dapat menghambat bioaktivasi CYP450 2C19 yang dimediasi oleh klopidogrel yang berakibat aktifitas enzim berkurang dan bahkan tidak ada. Dampaknya dapat meningkatkan resiko serangan jantung, stroke, serta angina yang tidak stabil (Pezzalla, 2008). Interaksi obat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

59

dengan tingkat keparahan mayor diutamakan dengan dicegah dan diatasi karena efek potensial membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen. Untuk meningkatkan kualitas pengobatan pasien, sebaiknya penggunaan obat-obat yang memungkinkan terjadinya interaksi mayor dan moderat harus dihindari dalam penggunaan secara bersamaan. Hal ini dikarenakan kemungkinan terjadinya resiko interaksi lebih tinggi dibandingkan manfaat yang diberikan, serta untuk meminimalisasi terjadinya interaksi obat yang tidak diinginkan sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai. Maka dapat disimpulkan potensi interaksi yang terbanyak pada lembar resep pasien hipertensi adalah potensi interaksi klasifikasi moderate, sehingga hal ini menuntut kewaspadaan dari tenaga kefarmasian dan dokter untuk mencegah atau meminimalisir kejadian tersebut untuk meningkatkan kualitas pengobatan pasien. Pasien hipertensi berusia lanjut seringkali menerima polifarmasi untuk terapi hipertensi, komplikasi maupun penyakit penyerta. Hal ini meningkatkan resiko interaksi antara obat hipertensi dengan obat hipertensi dan obat hipertensi dengan obat lainnya. Praktek farmasi klinis juga dapat memastikan bahwa kejadian efek samping obat dapat diminimalkan dengan menghindari obat dengan potensi efek samping pada kelompokkelompok pasien berisiko tinggi. Dengan demikian peran tenaga kefarmasian memiliki peranan yang cukup besar dalam pengendalian, pencegahan, deteksi dan pelaporan efek samping obat. Beberapa interaksi obat dapat berakibat sangat berbahaya pada pasien hipertensi karena dapat berdampak pada nilai goal terapi tekanan darah yang diharapkan, contohnya pada penggunaan amlodipine yang bersamaan dengan pentoxifylline akan mengakibatkan meningkatnya tekanan darah dan menurunkan efek dari amlodipine. Interaksi obat walaupun harus diwaspadai karena efek yang tidak dikehendaki tetapi ada beberapa interaksi yang sengaja karena mekanisme yang sudah diketahui dan untuk mengoptimalkan efektifitas dari proses pengobatan. Dengan mengetahui mekanisme interaksi obat, farmasis dapat menentukan langkah yang tepat dalam pengatasan masalah tersebut. Farmasis dapat menentukan apakah suatu jenis interaksi obat dapat diatasi sendiri, ataukah memerlukan diskusi dengan klinisi/dokter. Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi dengan obat lain terutama apabila diketahui interaksi obat menunjukkan signifikansi level pertama. Beberapa alternatif penatalaksanaan interaksi obat adalah menghindari kombinasi obat dengan memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesauaian dosis obat, pemantauan pasien atau meneruskan pengobatan seperti sebelumnya jika kombinasi obat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

60

yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi tersebut tidak bermakna secara klinis (Fradgley, 2003). Untuk menghindari kemungkinan interaksi obat farmasis dapat secara aktif memberikan informasi kepada pasien seperti cara penggunaan obat yang secara tepat. Melalui pelayanan informasi obat farmasis memegang peranan besar dalam mencegah timbulnya dampak negatif interaksi obat yang tidak hanya mempengaruhi kemanfaatan dan kemanjuran obat namun lebih jauh dapat mempengaruhi rasa aman serta meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan pasien. Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa terapi hipertensi pada pasien usia lanjut sangatlah kompleks. Adanya perubahan fisiologis, farmakokinetika, dan farmakodinamika seiring dengan proses penuaan ditambah lagi adanya macam-macam penyakit yang diderita menyebabkan pasien usia lanjut seringkali mendapatkan terapi polifarmasi. Komplekssitas penggunaan obat dengan perubahan fisiologis tubuh dari proses penuaan itu sendiri membuat populasi ini rentan mengalami masalah terkait penggunaan obat. Ditinjau dari capaian target tekanan darah, 90% pasien belum mencapai target, oleh karena itu diperlukan suatu kolaborasi interprofesional yang melibatkan farmasis untuk mengoptimalkan yang melibatkan farmasis untuk mengoptimalkan terapi yang diterima pasien dan mencegah drug related problems.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

61

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap Outcomes Klinik Pasien Geriatri Dengan

Penyakit Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni-Agustus 2016 disimpulkan sebagai berikut : 1. Pasien hipertensi mayoritas berusia 60 -74 tahun, dan berjenis kelamin perempuan. Pasien umumnya mengalamin 1 penyakit penyerta dan dari segi penggunaan obat pasien mayoritas mendapatkan ≥ 5 obat. 2. Obat antihipertensi yang berinteraksi adalah amlodipine 27%; furosemide 25%; spironolactone 9%; losartan 9%; bisoprolol 7%; candesartan 5%; ramipril 5%; captopril 4%; hidrocholotiazide 2%; irbesartan 2%; nebivolol 2% dan propranolol 2%. 3. Persentase potensi interaksi obat antihipertensi pada periode Juni – Agustus 2016 adalah 90 %. 4. Obat antihipertensi yang paling sering berpotensi interaksi adalah amlodipine. Mekanisme

potensi

interaksi

obat

antihipertensi

yang

tertinggi

adalah

farmakodinamik dan tingkat keparahan potensi interaksi obat antihipertensi yang tertinggi adalah moderate.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

62

6.2

Saran 1. Perlu adanya monitoring dan evaluasi penggunaan obat antihipertensi secara sistematis yang dilaksanakan secara teratur untuk mengatasi DRP terkait interaksi obat. 2. Perlu adanya kerjasama yang tepat antara dokter, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dan pengobatan pada pasien, sehingga didapatkan terapi yang tepat, efektif dan aman.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

48 Daftar Pustaka Appel LJ et al. Effects Of Comprehensive Lifestyle Modification On Blood Pressure Control: Main Results Of The Premier Clinical Trial. JAMA 2003;289:2083-2093. American Pharmacist Association . 2008. Drug Information Handbook 17th edition. Amerika : Lexi-Comp ALLHAT Officers and Coordinators for the ALLHAT Coolaborative Research Group. Major Outcomes in highrisk hypertensive patients randomized to angiotensin-converting enzyme inhibitor or calcium channel blocker vs diuretic. The Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial. JAMA 2002;288:2981-2997. Bales A. Hypertensive Crisis: How To Tell If It’s An Emergency or Urgency. Postgrad med 1999;105:119126. Bakri, S., Suhardjono, J., dan Djafar., 2001, Hipertensi pada Keadaan - keadaan Khusus, dalam S Suyono, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-3, Universitas Indonesia, Jakarta, pp.483-487. Chrysant SG. Fixed Low-Dose Drug Combination for the Treatment of Hypertension. Arch Fam Med 1998;7:370-376. Anonim, 2004, Keputusan Menkes RI nomor 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Dosh SA. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults. J.Fam Pract 2001;50:707-712. Departemen Kesehatan, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi, Direktur Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Jakarta. Diuretic versus alpha-blocker as first-step antihypertensive therapy: Final results from the Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatments to Prevent Heart Attack Tria (ALLHAT). Hypertension 2003;42:239-246. Ernst, F. R. and A. J. Grizzle. (2001). Drug-Related Morbidity and Mortality: Updating the Cost-of-Illness Model. J Am Pharm Assoc,Vol. 41, No. 2: 192-199. Garcao, J. A. and J. Cabrita. (2002). Evaluation of a Pharmaceutical Care Program for Hypertensive Patients in Rural Portugal. J Am Pharm Assoc, 42: 858–864. Hardman, J. G., dan Limbird, L. E., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp.735-760. Gunawan, dkk., 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru. Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC. Hajjar I, Kotchen TA. Trends In Prevalence, Awareness, Treatment, And Control Of Hypertension In The United States, 1998 – 2000. JAMA 2003;290:199-206. He J et al. Long-Term Effects Of Weight Loss And Dietary Sodium Reduction On Incidence Of Hypertension. Hypertension 2000;35:544-549.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

49 Medscape.com. online april 2018 http://www.medscape.com/druginfo/drugintercheker. Drugs Interaction Checker. Charner Multum, IncDenver, CO. http://www.drugs.com/. Diakses April 2018. J Hypertens World Health Organization-International Society of Hypertension Guidelines for the Management of Hypertension, 1999. Kamso S., Nutritional Aspects of Hypertension in the Indonesian El-derly, Ph.D. thesis University of Indonesia, Jakarta, 2000. Knapp HR., Nutritional Aspects of Hypertension. In : Ziegler EE, Filer LJ, eds. Present Knowledge in Nutrition, Seventh edition, ILSI Press, Washington, 1996 : 438 – 444. Moerdowo RM, Masalah Hipertensi, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1984. Oparil S et al. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med 2003;139:761-776. Roger, V. L., et all. (2012). Heart Disease and Stroke Statistics-2012 Update: A Report From the American Heart Association. Circulation, 125: 2-220. Rahardjo JP., “Penatalaksanaan Hipertensi Terkini dan Peranannya Dalam Mencegah Penyakit Jantung Koroner. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular”, Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001. Setiawati A., Bustami Z., Antihipertensi Dalam : Famakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi keempat, Gaya Baru, Jakarta, 2001. UK Prospective Diabetes Study Group. Efficacy Of Atenolol And Captopril In Reducing Risk Of Macrovascular And Microvascular Complications In Type 2 Diabetes:UKPDS 39. Br Med J 1998;317:713-720. Vasan RS et al, Impact of High Normal Blood Pressure on the Risk of Cardiovascular Disease, NEJM 2001;345:1291-1297. Wijk, B. L. G. V., O. H. Klungel, E. R. Heerdink and A. D. Boer. (2005). Rate and Determinants of 10-Year Persistence with Antihypertensive Drugs. J Hypertens, 23 : 2101–2107. World Health Organization (WHO) / International Society of Hypertension Statement on Management of Hypertension. J Hypertens 2003;21:1983-1992 Wing LM et al. A Comparison Of Outcomes With Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors And Diuretics For Hypertension In The Elderly. N Eng J Med 2003;348: 583-592. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PerMenKes) No.58. 2014. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC. Sweetman, C Sean. Martindale the Complete Drug References, Thirty-Sixth Edition. London : Pharmaceutical Press.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

50 Yoe, Ben. 2012. MIMS (Master Index of Medical Specialities) Edisi Bahasa Indonesia, Volume 13. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. Dwi, Sri Handayani., Rolan, Rusli dan Arsyik, Ibrahim. 2015. Analisis Karakteristik dan Kejadian Drugs Related Problems pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Temindung Samarinda. Jurnal Sains dan Kesehatan Vol 1 No.2 hal 75-81. Baxter, Karen. 2008. Stockley’s Drug Interaction. Pharmaceutical Press: London. U.S Departement of Health and Human Service. 2003. JNC VII. National Institutes of Health. WHO. 2012. World Health Statistic.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 1. Surat Permohonan Data dan Izin Penelitian Dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 2. Protokol Pengobatan Pasien Hipertensi di Rumah Sakit “X” Jakarta PANDUAN PRAKTEK KLINIS NAMA PENYAKIT: HIPERTENSI EMERGENSI

RUMAH SAKIT X

NO REVISI

HALAMAN:

01

1/2

PERIODE

KSM

2012 - 2014

ILMU PENYAKIT DALAM

JAKARTA

1. Pengertian

Situasi di mana diperlukan penurunan tekanan darah yang segera dengan pbat anti hipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ target akut atau progesif.

2. Anamnesa

Riwayat hipertensi dan penatalaksanaannya, kepatuhan minum obat pasien, tekanan darah rata-rata, riwayat pemakaian obat-obatan simptomatik dan steroid, riwayat gangguan cerebral, jantung, penglihatan.

3. Pemeriksaan fisik

Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi, bruit pada abdomen, adanya edema pada fundoskopi, status neurologis.

Tekanan Darah Sistolik ≥ 180 mmHg Tekanan Darah Diastolik ≥ 120 mmHg Disertai adanya keluhan target organ

4. Kriteria diagnosis

4.1 4.2 4.3

5. Diagnosis

Hipertensi Emergensi

6. Diagnosis Banding

6.1 6.2

Hipertensi Maligna Terakselerasi Gangguan cerebrovaskuler, Encephalopaty Hipertensi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

7. Pemeriksaan Penunjang

7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7 7.8 7.9 7.10 7.11

Darah Perifer Lengkap Urine Lengkap Ureum, Kreatinin Glukosa Darah Sewaktu Elektrolit EKG Pemeriksaan khusus sesuai indikasi Rontgen Thorax USG Abdomen bila diperlukan CT scan bila diperlukan MRI bila diperlukan

8. Terapi

8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6 8.7 8.8

Target sesuai MAP 25% Atau diastolic ≤ 110 mmHg Pada stroke MAP 20% Diuretik Vasokonstriktor Nitrogliseride Diltiazem Klonidin

9. Lama Perawatan

Tidak bisa ditentukan karena sudah mengenai target organ

10. Edukasi

10.1 Kurangi lemak, rendah garam 10.2 Minum obat teratur 10.3 Kontrol teratur

11. Prognosis

Dubia

12. Kepustakaan

12.1 Pedoman Penyakit Dalam RSCM 12.2 Buku Ajar FKUI-RSCM

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

70

Lampiran 3 Data Interaksi Obat Pasien Hipertensi Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 No 1.

Nama Pasien Simah

Obat Yang Berinteraksi

Mekanisme

Tingkat Keparahan Major Minor Moderat √

Clopidogrel + Omeprazole

Farmakodinamik

2.

Suroto

Spironolactone + losartan

Farmakokinetik



Clopidogrel + omeprazole

Farmakodinamik



Lansoprazole + furosemide

Farmakokinetik



Omeprazole + furosemide

Farmakokinetik



Atorvastatin + omeprazole

Farmakodinamik



Jumlah IO 1

11

Keterangan Penggunaan clopidogrel dan omeprazole dapat mengurangi keefektifan clopidogrel dalam mencegah serangan jantung/stroke. Menggunakan spironolakton bersama dengan losartan dapat meningkatkan kadar pottasium dalam darah. Penggunaan clopidogrel bersama dengan omeprazole dapat mengurangi keefektifan clopidogrel dalam mencegah serangan jantung atau stroke. Penggunaan lansoprazole bersamaan dengan furosemide dapat menyebabkan kondisi yang disebut hypomagnesemia, atau megnesium rendah darah. Penggunaan omeprazole bersamaan dengan furosemide dapat menyebabkan kondisi yang disebut hypomagnesemia, atau megnesium rendah darah. Penggunaan atorvastatin bersamaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

71

Atorvastatin + lansoprazole

Farmakodinamik



Clopidogrel + lansoprazole

Farmakodinamik



Atorvastatin + clopidogrel

Farmakodinamik



Gliserin + granisetron

Farmakokinetik



Phenolphthalein + granisetron

Farmakokinetik



Furosemide + phenolphthalein

Farmakodinamik



dengan omeprazole dapat meningkatkan kadar darah dan efek atorvastatin. Penggunaan atorvastatin bersamaan dengan lansoprazole dapat meningkatkan kadar darah dan efek atorvastatin. Menggunkan clopidogrel bersama lansoprazole dapat mengurangi keefektifan clopidogrel dalam mencegah serangan jantung atau stroke. Penggunaan atorvastatin dan clopidogrel dapat mengurangi efek clopidogrel. Granisetron dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa, risiko akan meningkat jika pasien memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah. Granisetron dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa, risiko akan meningkat jika pasien memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah. Menggunakan furosemide bersama dengan segala jenis obat yang memiliki efek laksatif, terutama

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

72

3.

Farmakokinetik



Captopril + losartan

Farmakodinamik



Spironolactone + losartan

Farmakokinetik



Captopril + HCT

Farmakodinamik



Ondansetron + phenolphthalein

Farmakokinetik



Subtoni B. Captopril + spironolactone Bakri

13

dalam jangka waktu lama, dapat meningkatkan risiko dehidrasi dan kelainan elektrolit. Dalam kasus yang parah, dehidrasi dan kelainan elektrolit dapat menyebabkan irama jantung tidak teratur, kejang, dan masalah ginjal. Mengunakan captopril bersama spironolakton dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah (hiperkalemia). Menggunakan captopril bersama losartan dapat meningkatkan resiko efek samping seperti tekanan darah rendah, gangguan fungsi ginjal dan kondisi yang disebut hiperkalemia (pottasium darah tinggi). Penggunaan spironolaktone bersama losartan dapat meningkatkan kadar pottasium dalam darah. Kadar pottasium yang tinggi dapat berkembang menjadi kondisi hiperkalemia. . Meskipun captopril dengan hydrochlorothiazide dan gliserin sering digabungkan bersama, efeknya mungkin aditif pada penurunan tekanan darah. Ondansetron dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa, risiko meningkat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

73

Phenolphthalein + HCT

Farmakodinamik



Glyserin + ondansetron

Farmakokinetik



Captopril + glycerin

Farmakodinamik



HCT + glycerin

Farmakodinamik



jika pasien memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah. Menggunakan hydrochlorothiazide bersama-sama dengan segala jenis obat yang memiliki efek laksatif dalam jangka waktu lama, dapat meningkatkan risiko dehidrasi dan kelainan elektrolit. Dalam kasus yang parah, dehidrasi dan kelainan elektrolit dapat menyebabkan irama jantung tidak teratur, kejang, dan masalah ginjal. Ondansetron dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa, risiko meningkat jika pasien memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah. Menggabungkan captopril dan gliserin memiliki efek aditif untuk menurunkan tekanan darah. Menggunakan HCT bersama-sama dengan obat yang memiliki efek laksatif dalam jangka waktu lama, dapat meningkatkan risiko dehidrasi dan kelainan elektrolit. Dalam kasus yang parah, dehidrasi dan kelainan elektrolit dapat menyebabkan irama jantung tidak teratur, kejang, dan masalah ginjal.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

74

4.

Siti Aminah

HCT + amlodipine

Farmakodinamik



Captopril + amlodipine

Farmakodinamik



Ranitidine + magnesium oxide

Farmakokinetik



Captopril + magnesium oxide

Farmakokinetik



Ondansetron hydroxide

+

magnesium Farmakokinetik

Ranitidine hydroxide

+

aluminum Farmakokinetik





3

Efek antihipertensi dari diuretik amlodipine dan thiazide adalah aditif. Calcium channel blockers dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor mungkin memiliki efek hipotensi tambahan. Antasida oral dan beberapa garam aluminium, kalsium, dan magnesium dapat menurunkan konsentrasi plasma H2 blocker oral. Mekanisme ini terkait dengan penurunan penyerapan lambung dan bioavailabilitas karena efek penetral asam. Pemberian bersama antasid dapat menurunkan bioavailabilitas oral kaptopril dan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) lainnya karena pengosongan lambung yang tertunda dan / atau peningkatan pH lambung. Ondansetron dapat menyebabkan irama jantung tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa. Risiko akan meningkat jika pasien memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah Antasida oral dan beberapa garam aluminium, kalsium, dan magnesium dapat menurunkan konsentrasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

75

Ranitidine hidroxide

5.

H. Samsudin

6. 7.

Aras Tjasiyem

+



magnesium Farmakokinetik

Candesartan + aspirin



Farmakodinamik

1

0 8

Pottasium chloride + irbesartan

Farmakokinetik



Clopidogrel + omeprazole

Farmakodinamik



Pentoxifylline + ISDN

Farmakodinamik



Pentoxifylline + amlodipine

Farmakodinamik



Pentoxifylline + irbesartan

Farmakodinamik



plasma H2 blocker oral. Antasida oral dan beberapa garam aluminium, kalsium, dan magnesium dapat menurunkan konsentrasi plasma H2 blocker oral. Menggunakan candesartan bersama aspirin dapat mengurangi efek candesartan dalam menurunkan tekanan darah. Obat ini juga dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Penggunaan potassium chloride bersama irbesartan dapat meningkatkan kadar potassium dalam darah. Kadar potassium dalam darah dapat berkembang menjadi kondisi yang dikenal sebagai hiperkalemia, yang pada kasus parah dapat menyebabkan gagal ginjal, kelumpuhan otot, irama jantung tidak teratur, dan serangan jantung. Penggunaan clopidogrel dan omeprazole dapat mengurangi keefektifan clopidogrel dalam mencegah serangan jantung/stroke. Pentoxifylline dapat meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ISDN. Pentoxifylline dapat meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari amlodipine. Pentoxifylline dapat meningkatkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

76

8.

Mardiah Hamid

Clopidogrel + lansoprazole

Farmakodinamik



Pentoxifylline + clopidogrel

Farmakodinamik



ISDN + omeprazole

Farmakodinamik

Clopidogrel + omeprazole

Farmakodinamik



Simvastatin + amlodipin

Farmakodinamik



Atorvastatin + clopidogrel

Farmakodinamik



Clopidogrel + lansoprazole

Farmakodinamik



Atorvastatin + lansoprazole

Farmakodinamik





10

tekanan darah yang menurunkan efek irbesartan. Penggunaan clopidogrel bersama dengan lansoprazole dapat mengurangi keefektifan clopidogrel dalam mencegah serangan jantung atau stroke. Menggunakan pentoxifylline bersama clopidogrel dapat meningkatkan resiko pendarahan. Omeprazole dapat menghambat masuknya obat nitrat oral. Efek antiangina dapat berkurang, dan iskemia miokard dapat diperberat. Penggunaan obat clopidogrel bersama dengan omeprazole dapat mengurangi efektivitas clopidogrel dalam mencegah serangan jantung atau stroke. Penggunaan simvastatin bersama amlodipine dapat meningkatkan resiko efek samping obat. Penggunaan atorvastatin dan clopidogrel secara bersama dapat mengurangi efek dari clopidogrel. Penggunaan clopidogrel bersama lansoprazole secara bersamaan dapat mengurangi efektivitas clopidogrel dalam mencegah serangan jantung atau stroke. Menggunakan atorvastatin bersama dengan lansoprazole dan omeprazole

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

77

9.

Sumiati

10. Bebena F.W. Carolina

Simvastatin + atorvastatin

Farmakodinamik



Simvastatin + omeprazole

Farmakodinamik



Simvastatin + lansoprazole

Farmakodinamik



Omeprazole + atorvastatin

Farmakodinamik



ISDN + omeprazole

Farmakodinamik

Metformin + glimepiride

Farmakodinamik



1

Ranitidine + metformin

Farmakodinamik



4



dapat meningkatkan kadar darah dan efek atorvastatin. Menggunakan simvastatin bersama dengan atorvastatin dapat meningkatkan resiko kerusakan saraf, yang merupakan potensi efek samping. Menggunakan simvastatin bersama dengan omeprazole dapat meningkatkan kadar darah dan efek dari simvastatin. Menggunakan simvastatin bersama dengan lansoprazole dapat meningkatkan kadar darah dan efek dari simvastatin Menggunakan atorvastatin bersama dengan omeprazole dapat meningkatkan kadar darah dan efek atorvastatin. Omeprazole dapat menghambat masuknya obat nitrat oral. Efek antiangina dapat berkurang, dan iskemia miokard dapat diperberat. Pemberian glimepiride bersama metformin dapat berpotensi resiko hipoglikemia. Menggunakan metformin bersama dengan ramitidine dapat meningkatkan efek dari metformin yang dapat menyebabkan kondisi yang mengancam nyawa yang disebut asidosis laktat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

78

11. Dulman Samidjar

12. Achmad Selamet

Ranitidine + glimepiride

Farmakokinetik



Metformin + glimepiride

Farmakodinamik



Omeprazole + glimepiride

Farmakodinamik

Omeprazole + clopidogrel

Farmakodinamik

Alprazolam + Fasorbid

Farmakodinamik



Alprazolam + omeprazole

Farmakodinamik



Alprazolam + losartan

Farmakodinamik



Fasorbid + omeprazole

Farmakodinamik

Omeprazole + furosemide

Farmakokinetik





5





4

Penggunaan ranitidine bersama dengan glimepiride dapat meningkatkan efek glimepiride yang dapat menyebabkan gula darah pasien menjadi terlalu rendah. Pemberian glimepiride bersama metformin dapat berpotensi resiko hipoglikemia. Beberapa inhibitor pompa proton benzimidazole dapat meningkatkan konsentrasi sulfonylurea, dan efek hipoglikemik dapat meningkat. Penggunaan clopidogrel bersama dengan omeprazole dapat mengurangi keefektifan clopidogrel dalam mencegah serangan jantung atau stroke. Fasorbid dan alprazolam memiliki efek tambahan dalam menurunkan tekanan darah. Omeprazole dapat meningkatkan kadar darah dan efek dari alprazolam. Penggunaan alprazolam dan losartan memiliki efek tambahan dalam menurunkan tekanan darah. Omeprazole dapat menghambat masuknya obat golongan nitrat oral, berkurangnya efek antiangina dan bertambahnya efek iskemia miokard. Menggunakan omeprazole bersama dengan furosemide dapat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

79

13. Oenoes Sahib

14. Wirendro Sumargo 15. Sudiyah

Metronidazole + simvastatin

Farmakodinamik



Simvastatin + omeprazole

Farmakodinamik



Metronidazole + ondansetron

Farmakodinamik

Ranitidine + metformin

Farmakodinamik

Ranitidine + acetaminophen

Farmakodinamik





2



menyebabkan kondisi yang disebut hypomagnesemia, atau magnesium darah rendah. Menggunakan metronidazole bersama dengan simvastatin dapat meningkatkan risiko kerusakan saraf, yang merupakan efek samping potensial dari kedua obat tersebut. Menggunakan simvastatin bersama dengan omeprazole dapat meningkatkan kadar darah dan efek simvastatin. Secara teoritis, pemberian bersama dengan agen lain yang dapat memperpanjang interval QT dapat menghasilkan efek aditif dan peningkatan risiko aritmia ventrikel dan kematian mendadak. Menggunakan metformin bersama ranitidine dapat meningkatkan efek dari metformin, yang dapat menyebabkan kondisi yang mengancam nyawa yang disebut asidosis laktat. Pada penelitian hewan menunjukkan bahwa ranitidine dapat mempotensiasi hepatotoksisitas acetaminophen

0 Ranitidine + cefditiron

Farmakodinamik



3

Penggunaan cefditoren bersama ranitidine dapat mengurangi asam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

80

Amlodipin + nobivolol

Farmakodinamik

Ranitidine + parasetamol

Farmakodinamik

√ √ √

16. Abd Rahim Ondansetron + tramadol Zainuddin

Farmakodinamik

Amlodipine + diclofenac

Farmakodinamik

Amiodaron + warfarin

Farmakodinamik



Amiodaron + ondansetron

Farmakodinamik



Amlodipine + simvastatin

Farmakodinamik



Simvastatin + amiodarone

Farmakodinamik



17. Suhartinah

2 √

27

lambung, ranitidine dapat menurunkan penyerapan dan tingkat darah cefditoren dan membuat obat kurang efektif terhadap infeksi. Nebivolol dan amlodipine memiliki efek dalam menurunkan tekanan darah dan detak jantung. Ranitidine dapat mempotensiasi hepatotoksisitas parasetamol. Penggunaan ondansetron dan tramadol secara bersama dapat mengurangi efek dari tramadol. Penggunaan amlodipine bersama dengan diclofenac secara bersama dapat menyebabkan tekanan darah meningkat. Menggunakan amiodaron bersama dengan warfarin dapat menyebabkan pasien mudah berdarah/pendarahan. Menggunakan amiodaron bersama dengan ondansetron dapat meningkatkan risiko irama jantung yang tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa. Menggabungkan amlodipine dan simvastatin secara signifikan dapat meningkatkan tingkat darah simvastatin, ini dapat meningkatkan risiko efek samping. Menggabungkan amiodarone dan simvastatin secara signifikan dapat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

81



Warfarin + aspirin

Farmakodinamik

Magnesium oxside + aspirin

Farmakodinamik



Warfarin + vitamin B komplek

Farmakodinamik



Ondansetron + phenolphthalein

Farmakokinetik



Amiodarone + phenolphthalein

Farmakokinetik



Warfarin + ranitidine

Farmakodinamik



Gliserin + ondansetron

Farmakokinetik



meningkatkan kadar darah simvastatin, ini dapat meningkatkan risiko efek samping. Menggunakan warfarin bersama dengan aspirin dapat menyebabkan pasien lebih mudah berdarah. Menggunakan magnesium oksida bersama dengan aspirin dapat menurunkan efek aspirin. Suplemen vitamin yang mengandung vitamin K dapat mengurangi efektivitas warfarin. Ondansetron dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa, risiko meningkat jika pasien memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah. Amiodarone dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa, risiko meningkat jika pasien memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah. Menggunakan warfarin bersama dengan ranitidine dapat menyebabkan pasien lebih mudah berdarah. Ondansetron dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

82

Levodopa + simvastatin

Farmakodinamik



Warfarin + suklarfat

Farmakodinamik



Amiodarone + levodopa

Farmakodinamik



Warfarin + ubiquinone

Farmakodinamik



Amiodarone + glyserin

Farmaokinetik



Aspirin + amlodipine

Farmakokinetik



Levodopa + amlodipine

Farmakokinetik



mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa, risiko meningkat jika pasien memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah. Menggunakan levodopa bersama dengan simvastatin dapat meningkatkan risiko kerusakan saraf, yang merupakan efek samping potensial dari kedua obat. Menggunakan warfarin bersama dengan sukralfat dapat mengurangi efek warfarin. Menggunakan amiodarone bersama dengan levodopa dapat meningkatkan risiko kerusakan saraf, yang merupakan efek samping potensial dari kedua obat. Kombinasi warfarin dan ubiquinone dapat mengurangi efek dari warfarin. Amiodarone dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa, risiko meningkat jika Anda memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah. Kombinasi aspirin dan amlodipine dapat menyebabkan tekanan darah akan meningkat. Levodopa dan amlodipine memiliki efek tambahan dalam menurunkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

83

Amiodarone + bisoprolol

Farmakodinamik



Levedopa + bisoprolol

Farmakodinamik



Bisoprolol + amlodipine

Farmakodinamik



Suklarfat + bisoprolol

Farmakodinamik



Ranitidine + magnesium oxide

Farmakokinetik



Aspirin + bisoprolol

Farmakodinamik



Levedopa + magnesium oxide

Farmakodinamik



tekanan darah. Menggunakan amiodarone bersama dengan bisoprolol dapat menyebabkan peningkatan efek samping. Levodopa dan bisoprolol memiliki efek tambahan dalam menurunkan tekanan darah Anda. Bisoprolol dan amlodipine memiliki efek tambahan dalam menurunkan tekanan darah dan detak jantung. Pemberian secara bersamaan dengan antasida aluminium dan magnesium dapat menurunkan efek dari oral beta-blocker. Antasida oral dan beberapa garam aluminium, kalsium, dan magnesium dapat menurunkan konsentrasi plasma H2 blocker oral. Mekanisme ini terkait dengan penurunan penyerapan lambung dan bioavailabilitas karena efek penetral asam. Dosis salisilat yang tinggi dapat menurunkan efek dari antihipertensi dari beta-blocker. Antasida dan beberapa sediaan oral aluminium, kalsium, atau magnesium mengandung dapat meningkatkan penyerapan levodopa. Mekanisme ini terkait dengan peningkatan pH lambung dan / atau penurunan waktu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

84

Bisoprolol + magnesium oxide

Farmakodinamik



Warfarin + simvastatin

Farmakodinamik



18. Nasrullah

Aspirin + candesartan

Farmakodinamik



1

19. Sugeng Warsono

Aspirin + digoxin

Farmakodinamik



7

Furosemide + digoxin

Farmakodinamik



Furosemide + omeprazole

Farmakokinetik



Digoxin + omeprazole

Farmakodinamik



Furosemide + aspirin

Farmakodinamik



pengosongan lambung. Pemberian bersamaan dengan antasida aluminium dan magnesium dapat menurunkan efek dari oral beta-blocker. Simvastatin dapat meningkatkan respon antikoagulan terhadap warfarin. Menggunakan candesartan bersama dengan aspirin mengurangi efek candesartan dalam menurunkan tekanan darah, selain itu, kedua obat ini dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Menggunakan aspirin bersama dengan digoxin dapat meningkatkan efek dari digoxin. Menggunakan furosemide bersama dengan digoxin dapat meningkatkan efek dari digoxin. Menggunakan omeprazole bersama dengan furosemide dapat menyebabkan kondisi yang disebut hypomagnesemia, atau magnesium darah rendah. Menggunakan digoxin bersama dengan omeprazole dapat meningkatkan efek digoxin. Salisilat dalam dosis anti-inflamasi dapat menurunkan respon diuretik dan natriuretik terhadap loop diuretik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

85

Aspirin + omeprazole

Isosorbide omeprazole

20. Meatun

Farmakokinetik

dinitrate

+ Farmakodinamik

Ceftriaxone + furosemid

Farmakodinamik

Ranitidine + sodium bikarbonat Farmakokinetik

21. Muharni







2

4



Ceftriaxone + furosemide

Farmakodinamik



Cefixime + furosemide

Farmakodinamik



Ranitidine + glimepiride

Farmakikinetik



Furosemide + glimepiride

Farmakodinamik



Pemberian bersama dengan inhibitor pompa proton dapat menurunkan bioavailabilitas oral aspirin dan salisilat lainnya. Omeprazole dapat menghambat masuknya obat nitrat oral. Efek antiangina dapat berkurang, dan iskemia miokard dapat meningkat. Ceftriaxone dapat menyebabkan masalah ginjal, dan menggunakannya dengan furosemide dapat meningkatkan risiko itu. Antasida oral dan beberapa garam aluminium, kalsium, dan magnesium dapat menurunkan konsentrasi plasma H2 blocker oral. Mekanisme ini terkait dengan penurunan penyerapan lambung dan bioavailabilitas karena efek penetral asam. Ceftriaxone jika digunakan dengan furosemide dapat menyebabkan masalah ginjal. Cefixime jika digunakan dengan furosemide dapat menyebabkan masalah ginjal. Menggunakan ranitidine bersama dengan glimepiride dapat meningkatkan efek dari glimepiride, yang dapat menyebabkan gula darah menjadi terlalu rendah. Furosemide dapat mengganggu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

86

22. Rita Rostika

23. Sulasmi



Omeprazole + clopidogrel

Farmakodinamik

4

Atorvastatin + omeprazole

Farmakodinamik



Atorvastatin + clopidogrel

Farmakodinamik



ISDN + omeprazole

Farmakodinamik

Warfarin + clopidogrel

Farmakodinamik



Warfarin + heparin + aspirin

Farmakodinamik



Aspirin + clopidogrel

Farmakodinamik



Warfarin + lansoprazole

Farmakodinamik





20

kontrol glukosa darah dan mengurangi efektivitas glimepiride. Menggunakan clopidogrel bersama dengan omeprazole dapat mengurangi efektivitas clopidogrel dalam mencegah serangan jantung atau stroke. Menggunakan atorvastatin bersama dengan omeprazole dapat meningkatkan kadar darah dan efek atorvastatin. Menggunakan atorvastatin dan clopidogrel dapat mengurangi efek dari clopidogrel. Omeprazole dapat menghambat masuknya obat nitrat oral. Efek antiangina dapat berkurang, dan iskemia miokard dapat diperberat. Mengunakan warfarin bersama clopidogrel dapat meningkatkan resiko komplikasi pendarahan. Mengunakan warfarin, heparin dan aspirin secara bersamaan dapat menyebabkan pasien berdarah dengan mudah. Menggunakan aspirin bersama clopidogrel dapat menyebabkan pendarahan yang tidak biasa, nyeri perut bawah, kelemahan, dan munculnya kotoran berwarna hitam. Menggunakan warfarin bersama dengan lansoprazole dapat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

87

Digoxin + bisoprolol

Farmakodinamik



Furosemid + bisoprolol

Farmakokinetik



Lansoprazole + digoxin

Farmakodinamik



Aspirin + digoxin

Farmakodinamik



Propranolol + digoxin

Farmakodinamik



Clopidogrel + lansoprazole

Farmakodinamik



Propranolol + furosemid

Farmakokinetik



Lansoprazole + furosemid

Farmakokinetik



meningkatkan resiko pendarahan dalam kasus yang jarang terjadi. Menggunakan digoxin bersama dengan bisoprolol dapat memperlambat detak jantung dan menyebabkan peningkatan efek samping. Menggunakan furosemide dan bisoprolol bersama-sama dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat denyut jantung. Menggunakan lansoprazole bersama digoxin dapat meningkatkan efek digoxin. Pengunaan aspirin dan digoxin dapat meningkatkan kadar digoxin. Menggunakan propranolol bersama digoxin dapat memperlambat detak jantung dan menyebabkan peningkatan efek samping. Menggunakan clopidogrel bersama dengan lansoprazole dapat mengurangi keefektifan clopidogrel dalam mencegah serangan jantung atau stroke. Menggunakan propranolol dan furosemid bersama-sama dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat denyut jantung. Menggunakan lansoprazole bersamaan dengan furosemide dapat menyebabkan kondisi yang disebut

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

88

24. Arief Taufiq



Furosemide + digoxin

Farmakodinamik

Heparin + clopidogrel

Farmakodinamik



Aspirin + lansoprazole

Farmakokinetik



Aspirin + bisoprolol

Farmakodinamik



Digoxin + heparin

Farmakodinamik



Furosemide + aspirin

Farmakodinamik



Propranolol + aspirin

Farmakodinamik



Warfarin + propranolol

Farmakodinamik



Ramipril + spironolactone

Farmakokinetik



7

hypomagnesemia, atau magnesium darah rendah. Menggunakan furosemide dan digoxin bersamaan dapat meningkatkan efek dari digoxin. Clopidogrel tidak mengubah efek antikoagulan yang diinduksi heparin. Pemberian bersama dengan inhibitor pompa proton dapat menurunkan bioavailabilitas oral aspirin dan salisilat lainnya. Dosis salisilat yang tinggi dapat menurunkan efek antihipertensi dari beta-blocker. Pemberian digoxin bersama heparin dapat meningkat pada pasien uremik setelah pemberian heparin setelah hemodialisa. Salisilat dalam dosis anti-inflamasi dapat menurunkan respon diuretik dan natriuretik terhadap loop diuretik. Dosis salisilat yang tinggi dapat menurunkan efek antihipertensi dari beta-blocker. Beberapa beta-blocker oral dapat meningkatkan tingkat serum antikoagulan oral dan meningkatkan efek antikoagulan. Penggunaan ramipril bersama spironolakton dapat meningkatkan kadar pottasium dalam darah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

89

25. Masrupi

Furosemide + ramipril

Farmakodinamik



Omeprazole + simvastatin

Farmakodinamik



ISDN + ramipril

Farmakokinetik



Magnesium oxide + aspirin

Farmakodinamik



Furosemide + laxadine

Farmakodinamik



Omeprazole + furosemid

Farmakokinetik



Ceftriaxone + furesemid

Farmakodinamik



5

(hiperkalemia), terutama jika mengalami dehidrasi atau memiliki penyakit ginjal, diabetes, gagal jantung, atau orang dewasa yang lebih tua. Meskipun furosemide, gliserin dan ramipril sering dikombinasikan bersamaan, efeknya mungkin aditif pada penurunan tekanan darah. Penggunaan omeprazole secara bersamaan dengan simvastatin dapat meningkatkan kadar darah dan efek simvastatin. Hal ini dapat meningkatkan resiko efek samping. Pengunaan ISDN dan ramipril bersama-sama dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat denyut jantung. Menggunakan magnesium oksida bersama aspirin dapat mengurangi efek aspirin. Mengunakan furosemide bersama dengan obat apapun yang memiliki efek pencahar, terutama dalam waktu lama dapat meningkatkan resiko dehidrasi dan kelainan elektrolit. Penggunaan omeprazole bersamaan dengan furosemide dapat menyebabkan kondisi yang disebut hypomagnesemia atau magnesium darah rendah. Menggunakan ceftriaxone dapat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

90

26. Achmad Buhori

Aspirin + digoxin

Farmakodinamik



Furosemide + digoxin

Farmakokinetik



Aspirin + clopidogrel

Farmakodinamik



Furosemide + aspirin

Farmakodinamik

Ceftriaxone + furosemide

Farmakodinamik



Lansoprazole + furosemide

Farmakokinetik



Furosemid + ramipril

Farmakodinamik





10

menyebabkan masalah ginjal, dan menggunakan dengan furosemide dapat meningkatkan resiko tersebut. Menggunakan aspirin bersamaan dengan digoxin dapat meningkatkan kadar digoxin. Furosemide dan digoxin sering digunakan bersamaan namun mungkin memerlukan evaluasi kadar digoxin, pottasium, dan magnesium lebih sering. Penggunaan aspirin dan clopidogrel dapat menyebabkan pendarahan yang tidak biasa, nyeri perut yang parah, kelemahan, dan munculnya kotoran berwarna hitam. Salisilat dalam dosis anti-inflamasi dapat menurunkan respon diuretik dan natriuretik terhadap loop diuretik. Menggunakan ceftriaxone dapat menyebabkan masalah ginjal, dan menggunakannya dengan furosemide dapat meningkatkan resiko tersebut. Menggunakan lansoprazole dengan furosemide dapat menyebabkan kondisi yang disebut hypomagnesemia, atau magnesium darah rendah. Furosemide dan ramipril jika digunakan bersamaan efeknya mungkin aditif pada penurunan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

91

Furosemid + bisoprolol

Farmakodinamik



Levofloxacin + ondansetron

Farmakodinamik



Aspirin + ramipril

Farmakodinamik



Aspirin + levofloxacin

Farmakodinamik



Aspirin + bisoprolol

Farmakodinamik



Aspirin + lansoprazole

Furosemide + aspirin



Farmakodinamik



tekanan darah. Menggunakan furosemide dan bisoprolol bersama-sama dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat denyut jantung. Menggunakan levofloxacin bersamaan dengan ondanstron dapat meningkatkan resiko irama jantung tidak teratur dan mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa. Pemberian aspirin dapat mengurangi efek vasodilator dan hipotensi dari ACE inhibitor. Levofloxacin dapat menyebabkan efek samping sistem saraf pusat seperti tremor, gerakan otot tak sadar, kecemasan, kebingungan, depresi, halusinasi atau kejang, dan menggabungkannya dengan obat lain yang juga dapat mempengaruhi sistem saraf pusat seperti aspirin dapat meningkatkan risiko tersebut. Dosis salisilat yang tinggi dapat menurunkan efek antihipertensi dari beta-blocker. Pemberian bersama dengan inhibitor pompa proton dapat menurunkan bioavailabilitas oral aspirin dan salisilat lainnya. Salisilat dalam dosis anti-inflamasi dapat menurunkan respon dari diuretik dan natriuretik terhadap loop

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

92

diuretik. 27. Kartini 28. Elliwati

29. Fatmawati

Ondansetron oxide

+

magnesium

Ranitidine hydroxide

+

aluminum



Ranitidine hydroxide

+

magnesium



Captopril + naproxen

Farmakodinamik



0 3



4

Ondansetron dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur yang mungkin serius dan berpotensi mengancam jiwa, meskipun itu adalah efek samping yang relatif jarang. Risiko meningkat jika penderita memiliki kadar magnesium atau kalium darah rendah. Antasida oral dan beberapa garam aluminium, kalsium, dan magnesium dapat menurunkan konsentrasi plasma H2 blocker oral. Mekanisme ini terkait dengan penurunan penyerapan lambung dan bioavailabilitas karena efek penetral asam. Antasida oral dan beberapa garam aluminium, kalsium, dan magnesium dapat menurunkan konsentrasi plasma H2 blocker oral. Mekanisme ini terkait dengan penurunan penyerapan lambung dan bioavailabilitas karena efek penetral asam. Menggunakan captopril bersama dengan naproxen dapat mengurangi efek captopril dalam menurunkan tekanan darah. Selain itu, obatobatan ini dapat mempengaruhi fungsi ginjal.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

93

30. Tito



Naproxen + amlodipine

Farmakodinamik

Captopril + amlodipine

Farmakodinamik



Metronidazole + ondansetron

Farmakodinamik





Ramipril + spironolactone

Ceftriaxone + furosemide

3

Farmakodinamik √

Furosemid + ramipril

31. Sarnu

Spironolactone + candesartan



Farmakodinamik



1

Kombinasi dari naproxen dan amlodipine dapat menyebabkan tekanan darah meningkat. Calcium channel blockers dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor memiliki efek hipotensi tambahan. Pemberian metronidazole dan ondansetron bersama menghasilkan efek aditif dan peningkatan risiko aritmia ventrikel termasuk kematian mendadak. Menggunakan ramipril bersama dengan spironolactone dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah (hiperkalemia), terutama jika mengalami dehidrasi atau memiliki penyakit ginjal, diabetes dan gagal jantung. Antibiotik cephalosporin seperti ceftriaxone dapat menyebabkan masalah ginjal, dan menggunakannya dengan furosemide dapat meningkatkan risiko tersebut. Meskipun furosemide dan ramipril sering digabungkan bersama, efeknya adalah aditif untuk menurunkan tekanan darah. Menggunakan candesartan bersama dengan spironolactone dapat meninkatkan kadar potasium dalam darah. Kadar kalium yang tinggi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

94

32. Hartanto

Captopril + spironolactone



Captopril + losartan



Spironolactone + losartan



6

dapat berkembang menjadi suatu kondisi yang dikenal hiperkalemia, pada kasus yang parah dapat menyebabkan gagal ginjal, kelumpuhan total, ritme jantung tidak terartur dan serangan jantung. Menggunakan captopril bersama dengan spironolactone dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah (hiperkalemia), terutama jika Anda mengalami dehidrasi atau memiliki penyakit ginjal, diabetes dan gagal jantung. Menggunakan captopril bersama dengan losartan dapat meningkatkan risiko efek samping seperti tekanan darah rendah, gangguan fungsi ginjal, dan kondisi yang disebut hiperkalemia (kalium darah tinggi). Dalam kasus yang parah, hiperkalemia dapat menyebabkan gagal ginjal, kelumpuhan otot, ritme jantung yang tidak teratur, dan serangan jantung. Menggunakan spironolactone bersama dengan losartan dapat meningkatkan kadar potasium dalam darah. Kadar kalium yang tinggi dapat berkembang menjadi suatu kondisi yang dikenal sebagai hiperkalemia, yang pada kasus yang parah dapat menyebabkan gagal

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

95

Farmakodinamik

Captopril + amlodipine

Farmakodinamik



+ Farmakodinamik



Amlodipine hydrochorothiazide 33. Tomi

34. Supriyadi



Captopril + hydrochorothiazide

Ondansetron + tramadol

Farmakodinamik

Amlodipine + diclofenac

Farmakodinamik

Ramipril + spironolactone



2 √



7

ginjal, kelumpuhan otot, ritme jantung yang tidak teratur, dan serangan jantung. Captopril dan hydrocholothiazide jika digabungkan bersama, efeknya aditif untuk menurunkan tekanan darah. Calcium channel blockers dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor memiliki efek hipotensi. Meskipun obat ini sering digunakan secara aman, pemantauan tekanan darah sistemik dianjurkan selama pemberian obat ini secara bersama. Efek antihipertensi dari diuretik amlodipine dan thiazide adalah aditif. Penggunaan ondansetron dan tramadol secara bersama dapat mengurangi efek dari tramadol. Penggunaan amlodipine bersama dengan diclofenac secara bersama dapat menyebabkan tekanan darah meningkat. Penggunaan ramipril bersama spironolakton dapat meningkatkan kadar pottasium dalam darah (hiperkalemia), terutama jika mengalami dehidrasi atau memiliki penyakit ginjal, diabetes, gagal jantung, atau orang dewasa yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

96

Furosemide + ramipril

Farmakodinamik



Omeprazole + simvastatin

Farmakodinamik



ISDN + ramipril

Farmakodinamik



Magnesium oxide + aspirin

Farmakodinamik

√ √

Furosemide + laxadine

35. Anggi



Omeprazole + furosemide

Farmakokinetik

Warfarin + clopidogrel

Farmakodinamik



Warfarin + heparin

Farmakodinamik



21

lebih tua. Meskipun furosemide, gliserin dan ramipril sering dikombinasikan bersamaan, efeknya mungkin aditif pada penurunan tekanan darah. Penggunaan omeprazole secara bersamaan dengan simvastatin dapat meningkatkan kadar darah dan efek simvastatin. Hal ini dapat meningkatkan resiko efek samping. Pengunaan ISDN dan ramipril bersama-sama dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat denyut jantung. Menggunakan magnesium oksida bersama aspirin dapat mengurangi efek aspirin. Mengunakan furosemide bersama dengan obat apapun yang memiliki efek pencahar, terutama dalam waktu lama dapat meningkatkan resiko dehidrasi dan kelainan elektrolit. Penggunaan omeprazole bersamaan dengan furosemide dapat menyebabkan kondisi yang disebut hypomagnesemia atau magnesium darah rendah. Mengunakan warfarin bersama clopidogrel dapat meningkatkan resiko komplikasi pendarahan. Mengunakan warfarin dan heparin secara bersamaan dapat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

97



Warfarin + aspirin

Farmakodinamik

Aspirin + clopidogrel

Farmakodinamik



Warfarin + lansoprazole

Farmakodinamik



Digoxin + bisoprolol

Farmakodinamik



Furosemide + bisoprolol

Farmakodinamik



Lansoprazole + digoxin

Farmakodinamik



Aspirin + digoxin

Farmakodinamik



Propranolol + digoxin

Farmakodinamik



menyebabkan pasien berdarah dengan mudah. Mengunakan warfarin dan heparin secara bersamaan dapat menyebabkan pasien berdarah dengan mudah. Menggunakan aspirin bersama clopidogrel dapat menyebabkan pendarahan yang tidak biasa, nyeri perut bawah, kelemahan, dan munculnya kotoran berwarna hitam. Menggunakan warfarin bersama dengan lansoprazole dapat meningkatkan resiko pendarahan dalam kasus yang jarang terjadi. Menggunakan digoxin bersama dengan bisoprolol dapat memperlambat detak jantung dan menyebabkan peningkatan efek samping. Menggunakan furosemide dan bisoprolol bersama-sama dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat denyut jantung. Menggunakan lansoprazole bersama digoxin dapat meningkatkan efek digoxin. Pengunaan aspirin dan digoxin dapat meningkatkan kadar digoxin. Menggunakan propranolol bersama digoxin dapat memperlambat detak jantung dan menyebabkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

98

Clopidogrel + lansoprazole

Farmakodinamik



Propranolol + furosemide

Farmakodinamik



Lansoprazole + furosemide

Farmakokinetik



Furosemide + digoxin

Farmakodinamik



Heparin + clopidogrel

Farmakodinamik



Aspirin + lansoprazole

Aspirin + bisoprolol

Farmakodinamik

√ √

Digoxin + heparin

Furosemide + aspirin



Farmakodinamik



peningkatan efek samping. Menggunakan clopidogrel bersama dengan lansoprazole dapat mengurangi keefektifan clopidogrel dalam mencegah serangan jantung atau stroke. Menggunakan propranolol dan furosemide bersama-sama dapat menurunkan tekanan darah dan memperlambat denyut jantung. Menggunakan lansoprazole bersamaan dengan furosemide dapat menyebabkan kondisi yang disebut hypomagnesemia, atau magnesium darah rendah. Menggunakan furosemide dan digoxin bersamaan dapat meningkatkan efek dari digoxin. Clopidogrel tidak mengubah efek antikoagulan yang diinduksi heparin. Pemberian bersama dengan inhibitor pompa proton dapat menurunkan bioavailabilitas oral aspirin dan salisilat lainnya. Dosis salisilat yang tinggi dapat menurunkan efek antihipertensi dari beta-blocker. Pemberian digoxin bersama heparin dapat meningkat pada pasien uremik setelah pemberian heparin setelah hemodialisa. Salisilat dalam dosis anti-inflamasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

99

Propranolol + aspirin



Farmakodinamik



Warfarin + propranolol

36. Elizar

Ranitidine + cefditiron

Farmakodinamik



Amlodipine + nobivolol

Farmakodinamik



Ranitidine + parasetamol

Farmakodinamik

37. Mislita 38. Sutasmini

Candesartan + aspirin

39. Neneng

Metformin + glimepiride

40. Siti Maryam

Aspirin + digoxin

Farmakodinamik

Farmakodinamik

3

√ √

0 1



1



7

dapat menurunkan respon diuretik dan natriuretik terhadap loop diuretik. Dosis salisilat yang tinggi dapat menurunkan efek antihipertensi dari beta-blocker. Beberapa beta-blocker oral dapat meningkatkan tingkat serum antikoagulan oral dan meningkatkan efek antikoagulan. Penggunaan cefditoren bersama ranitidine dapat mengurangi asam lambung, ranitidine dapat menurunkan penyerapan dan tingkat darah cefditoren dan membuat obat kurang efektif terhadap infeksi. Nebivolol dan amlodipine memiliki efek dalam menurunkan tekanan darah dan detak jantung. Ranitidine dapat mempotensiasi hepatotoksisitas parasetamol. Menggunakan candesartan bersama aspirin dapat mengurangi efek candesartan dalam menurunkan tekanan darah. Obat ini juga dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Pemberian glimepiride bersama metformin dapat berpotensi resiko hipoglikemia. Menggunakan aspirin bersama dengan digoxin dapat meningkatkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

100

Furosemide + digoxin

Farmakodinamik



Furosemide + omeprazole

Farmakokinetik



Digoxin + omeprazole

Farmakodinamik



Furosemide + aspirin

Farmakodinamik



Aspirin + omeprazole

Isosorbide omeprazole

41. Intan Suryani

dinitrate



+ Farmakodinamik



Ranitidine + cefditiron

Farmakodinamik



Amlodipine + nobivolol

Farmakodinamik



3

efek dari digoxin. Menggunakan furosemide bersama dengan digoxin dapat meningkatkan efek dari digoxin. Menggunakan omeprazole bersama dengan furosemide dapat menyebabkan kondisi yang disebut hypomagnesemia, atau magnesium darah rendah. Menggunakan digoxin bersama dengan omeprazole dapat meningkatkan efek digoxin. Salisilat dalam dosis anti-inflamasi dapat menurunkan respon diuretik dan natriuretik terhadap loop diuretik. Pemberian bersama dengan inhibitor pompa proton dapat menurunkan bioavailabilitas oral aspirin dan salisilat lainnya. Omeprazole dapat menghambat masuknya obat nitrat oral. Efek antiangina dapat berkurang, dan iskemia miokard dapat meningkat. Penggunaan cefditoren bersama ranitidine dapat mengurangi asam lambung, ranitidine dapat menurunkan penyerapan dan tingkat darah cefditoren dan membuat obat kurang efektif terhadap infeksi. Nebivolol dan amlodipine memiliki efek dalam menurunkan tekanan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

101

Ranitidine + parasetamol 42. Suparmi

Ondansetron + tramadol

Farmakodina mik Farmakodinamik

Amlodipine + diclofenac

Farmakokinetik

√ √

2 √

darah dan detak jantung. Pasien mungkin akan mengalami sakit kepala, pusing, pening, pingsan, dan / atau perubahan denyut nadi atau detak jantung. Ranitidine dapat mempotensiasi hepatotoksisitas parasetamol. Penggunaan ondansetron dan tramadol secara bersama dapat mengurangi efek dari tramadol. Penggunaan amlodipine bersama dengan diclofenac secara bersama dapat menyebabkan tekanan darah meningkat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Related Documents


More Documents from "Tricia"