Kyai dan Pondok Pesantren Bagikan 15 April 2009 jam 12:06 Jika kemarin pagi bakda subuh, saya menulis ------sebagaimana kebiasaan setiap pagi sepulang dari masjid, tentang Penggerak Pendidikan Muhammadiyah di pedesaan, maka kali ini hati saya tergerak menulis tentang pendidikan yang lazimnya dirintis dan dikelola oleh Kyai. Menyebut istilah Kyai, maka selalu berkait dengan organisasi Islam terbesar, yakni NU. Hal itu wajar, karena NU adalah organisasi yang didirikan dan diurus oleh para Kyai. Menyebut Kyai tidak lepas dari NU dan begitu juga sebaliknya, menyebut NU maka tidak sempurna kalau tidak menyebut Kyai. Masih juga sama, dengan menyebut Kyai, maka yang tergambar adalah pendidikan pondok pesantren. Hal itu sesungguhnya juga tidak salah, karena biasanya pendidikan yang didirikan dan dikelola oleh para Kyai adalah jenis pendidikan pesantren. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, terdapat fenomena baru. Pendidikan pesantren sudah semakin disempurnakan dengan pendidikan formal, seperti madrasah dan bahkan juga sekolah umum. Lebih dari itu, tidak sedikit pesantren membuka jenjang pendidikan tinggi, baik pendidikan tinggi agama maupun pendidikan tinggi umum. Ada hal yang cukup menarik dari pendidikan pesantren, bahwa para kyai dalam mengembangkan lembaga pendidikan, ternyata tidak pernah menghilangkan bentuk aslinya, yakni model pesantren. Sekalipun kyai telah membuka sekolah formal, seperti madrasah, sekolah umum dan bahkan perguruan tinggi umum -----dengan membuka fakultas ekonomi, psikologi, teknik dan lain-lain, system pesantrennya masih dipelihara. Tidak pernah ditemukan, fenomena kyai mengubah pesantrennya menjadi madrasah atau sekolah umum. Madrasah dan atau sekolah umum didirikan di pesantren, dimaksudkan untuk menyempurnakan lembaga pendidikan yang telah ada sebelumnya. Para kyai dalam mengembangkan lembaga pendidikan, bukan mengubah dan apalagi mengganti, melainkan menyempurnakan. Sistem pesantren disempurnakan dengan sekolah umum.
Mendiskripsikan lembaga pendidikan yang dikelola oleh Kyai, ternyata tidak mudah, karena variasinya terlalu banyak. Pesantren, sangat variatif, baik terkait dengan system yang digunakan, kitab yang dijadikan pegangan, orientasi keilmuan dan tidak terkecuali pandangan kyainya. Masing-masing Kyai sebagai pengasuh pesantren memiliki cara sendiri-sendiri dalam mengembangkan lembaga pendidikan. Mereka tidak memiliki pola dan apalagi standart sebagaimana kebijakan pengembangan pendidikan nasional akhirakhir ini. Jika ada bagian yang harus mengikuti standar adalah lembaga pendidikan formalnya, sekalipun juga tidak sepenuhnya. Misal, tidak mengikuti Ujian Nasional. Selain itu, ada yang melakukan modifikasi kurikulum dari pemerintah, menyesuaikan dengan visi pendidikan pesantren. Misalnya, ketika dulu pemerintah menetapkan komposisi muatan mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama, masing-masing antara 70 % muatan mata pelajaran umum dan 30 % muatan mata pelajaran agama. Ternyata dalam pelaksanaan tidak demikian, pesantren menyebut mengetrapkan 100 % mata pelajaran umum dan juga 100 % diberikan mata pelajaran agama. Oleh karena keterbatasan informasi, seringkali lembaga pendidikan pesantren oleh sebagian masyarakat dianggap masih statis, sederhana dan tidak selalu mau mengikuti perkembangan zaman. Anggapan seperti itu sesungguhnya tidak selalu benar. Seperti disebut di depan, lembaga pendidikan yang dikelola oleh Kyai sangat variatif di antara satu dengan lainnya. Memang ada lembaga pendidikan pesantren yang keadaannya statis, tidak berkembang dari tahun ke tahun. Tetapi sebaliknya, terdapat pesantren yang sangat dinamis dan tampak modern. Kita lihat misalnya pendidikan pesantren di Gontor Ponorogo. Fasilitas pendidikannya cukup bagus. Penampilan para ustadz dan santrinya tampak modern. Mereka sehari-hari masuk kelas dengan mengenakan pakaian seragam, berdasi, lengkap dengan kopyah dan sepatunya. Para santri walaupun baru pada tingkat sekolah menengah, mereka dalam pergaulan sehari-hari, baik di kelas maupun di luar kelas menggunakan Bahasa Arab dan juga Bahasa Inggris. Bandingkan dengan sekolah umum, dan bahkan juga mahasiswa di perguruan tinggi sekalipun. Dengan demikian, pendidikan di pesantren, ------sekalipun tidak semuanya, misalnya di pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan juga di beberapa pesantren lainnya, justru lebih unggul dari sekolah umum biasa yang setaraf. Hanya selama ini, pesantren yang berkualitas itu belum dikenal secara luas.
Selain itu, dari sementara kalangan Kyai tidak jarang lahir pikiranpikiran cerdas tentang pendidikan. Kadang pikiran itu cukup modern dan sangat relevan dengan tuntutan masyarakatnya. Banyak kitabkitab yang ditulis oleh kyai, dan bahkan juga dijadikan bahan kajian di beberapa Negara Islam. Juga kadangkala kyai, sekalipun disampaikan secara samar dengan bahasa simbolik, melontarkan kritik terhadap pendidikan modern yang dikembangkan oleh pemerintah sekalipun. Kyai mengkritik pendidikan formal, yang hanya mengedepankan aspek kognitif, dan melupakan aspek psikomotor dan afektif. Sehingga dengan kelemahan itu, maka lulusan pendidikan modern hanya pintar membaca buku teks dan berwacana, tetapi dalam praktek sangat lemah. Sindiran para Kyai, banyak lulusan fakultas ekonomi tidak bisa mengembangkan ekonominya sendiri, lulusan fakultas peternakan, tidak mampu mengembangkan peternakan, lulusan sekolah pertanian masih gagal membangun kepercayaan diri bahwa dengan mengembangkan pertanian bisa survive dalam hidup dan seterusnya. Apalagi, lulusan sekolah menengah atas, sekalipun sudah lulus Ujian Nasional, ternyata hanya mampu menjadi pekerja kasar, sebagai TKI atau TKW di luar negeri. Saya juga pernah mendapatkan pandangan Kyai yang saya anggap sangat menarik, apalagi jika dilihat dari perspektif kebutuhan masyarakat saat ini dan juga tuntutan masa depan. Pernah saya menanyakan kebijakan kyai membuka sekolah umum, yakni SMP dan SMU dan bukan madrasah di pesantren. Secara spontan Kyai menjelaskan, bahwa dengan kebijakan itu, ia bermaksud agar para alumni pesantren berpeluang mengisi jabatan-jabatan penting di tingkat desa. Kyai berargumen bahwa keberadaan pesantren terkait dengan tujuan berdakwah. Ia berpandangan bahwa jabatan kepala desa dianggap sangat efektif untuk sarana dakwah. Dia membayangkan, jika kepala desa adalah alumni pesantren, maka pejabat pemerintah scala kecil itu akan memimpin desanya dengan pendekatan agama. Sebagai alumni pesantren, kepala desa tidak saja mampu menjalankan pemerintahan dari kantor desa, tetapi sekaligus juga mampu memimpin masyarakat melalui masjid. Kyai tidak memilih bentuk pendidikan madrasah -----MI, M.Ts, MA, agar mata pelajaran yang diberikan tidak tumpang tindih dengan mata pelajaran pesantren. Tatkala berbicara tentang peran-peran kepala desa, Kyai membayangkan kehidupan Rasulullah dalam membangun umat.
Rasulullah, menurut Kyai, selain sebagai pemimpin spiritual juga sekaligus melakukan peran-peran kepemimpinan kehidupan secara menyeluruh, baik dari aspek kehidupan ekonomi, politik, hukum pendidikan dan kemasyarakatan lainnya. Dengan kebijakannya itu, yakni Kyai membuka sekolah umum di pesantren, berharap para santri berhasil mendalami ilmu yang bersumber dari al Qur’an dan Hadits serta kitab-kitab lainnya, tetapi sekaligus dengan pendidikan dan ijazah SMP dan SMU yang juga diperoleh dari pesantren, para alumninya memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai pejabat pemerintah di tingkat desa. Kyai melihat jabatan kepala desa sebagai wilayah kekuasaan yang sangat strategis untuk membina umat dan masyarakat secara langsung. Kyai berpandangan bahwa pengaruh Camat, Bupati, Gubernur dan bahkan setingkat Menteri pun bisa dikalahkan oleh pengaruh Kepala Desa. Pejabat tingkat kecamatan hingga pemerintah pusat tidak mudah masuk ke relung-relung kehidupan masyarakat, kecuali melalui kepala desa. Oleh sebab itu, terkait dengan kepentingan dahwah, posisi perangkat desa, menurut Kyai jauh lebih strategis, dan untungnya jabatan itu --------karena dianggap tidak terlalu menguntungkan secara ekonomis, tidak terlalu banyak diperebutkan orang, sehingga tidak terlalu sulit para alumni pesantren memasuki wilayah ini, jika mereka memiliki ijazah sekolah umum. Saya juga pernah mendapatkan pandangan Kyai yang strategis lainnya. Kyai di pesantrennya, selain memberikan pelajaran Bahasa Arab, juga pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin. Kebijakan tersebut diambil atas dasar pertimbangan mereka bahwa dunia ini semakin mengglobal, karena itu para santri harus dibekali dengan bahasa global pula, yaitu bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin. Kyai juga melihat pengaruh ekonomi Cina ke depan yang tampak semakin luas dan tidak akan mungkin bisa dibendung. Oleh sebab itu, menurut pandangan kyai, gejala globlalisasi tidak boleh dilawan dan apalagi dihindari. Tantangan itu harus direspon secara tepat. Para santri dibekali kemampuan berkomunikasi dengan bahasa asing itu. Jika tidak demikian, maka dikhawatirkan lulusan pesantren hanya akan tepat dijadikan sebagai petugas security atau satpam. Islam menurut pandangan sementara Kyai adalah konsep kehidupan yang selalu relevan dengan tuntutan zamannya.
Hanya saja pada kenyataannya, kondisi pesantren sangat tergantung pada kekuatan financial kyai yang bersangkutan. Jika kebetulan kyai memiliki sumber-sumber ekonomi yang cukup, maka lembaga pendidikannya tampak maju dan modern. Di Malang Selatan misalnya, terdapat pesantren yang dikelola oleh KH Zamahsari, bangunan dan fasilitas pendidikan lainnya tampak modern. Seluruh santri ditampung menginap di pesantrennya. Para santri melalui lembaga pendidikan umum -----SMP dan SMU, yang ada di lokasi pesantren, diajari Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan juga Bahasa Mandarin. Program pendidikan seperti itu itu berhasil dijalankan, karena pesantren tersebut, melalui kemampuan Kyai sebagai pengasuhnya, mampu dan berhasil menggali sumber-sumber pendanaan yang dibutuhkan. Tetapi sebaliknya, terdapat banyak pesantren yang berjalan seadanya, karena keterbatasan dana. Saya melihat pada tataran konseptual, sesungguhnya Kyai memiliki wawasan pendidikan, yang kadang jauh lebih sempurna, bilamana dibandingkan dengan konsep-konsep yang dikembangkan di sekolah umum dan bahkan oleh perguruan tinggi sekalipun. Tanpa secara formal Kyai mempelajarai ilmu psikologi, sosiologi, antropologi pendidikan dan lain-lain, tampak dalam tataran kehidupan sehari-hari mereka memahami ilmu itu. Setidaknya para Kyai memiliki wawasan tentang disiplin ilmu social itu. Atas dasar wawasan itu, pesantren yang dikelola oleh Kyai tidak pernah mengedepankan aspek formalitas pendidikan. Kyai tidak membuka pendidikan yang hanya untuk mengeluarkan selembar ijazah, sebagaimana dijalankan oleh perguruan tinggi, dengan perkuliahan hari Sabtu dan Minggu, yang dijalankan beberapa waktu, kemudian dikeluarkanlah ijazahnya. Jika ada pesantren yang melakukan seperti itu, mereka sesungguhnya karena berhasil terpropokasi oleh pengelola perguruan tinggi umum, sehingga menjadi ikut-ikutan seperti itu. Dan kalaupun tokh demikian, biasanya masih terbatas untuk penyelenggaraan pendidikan yang bersifat pengembangan, yakni program pendidikan formalnya. Akhirnya, mengamati sepintas, diketahui bahwa problem utama pendidikan pesantren, lebih-lebih tatkala mereka harus menyesuaikan dengan tuntutan modern adalah terkait dengan pendanaan. Pesantren selalu dikelola secara mandiri, dan bahkan sumber pendanaannya bersumber dari sumbangan masyarakat, yang besarnya tidak menentu dan bahkan kadang juga berasal dari pribadi Kyainya. Beban itu,
kadangkala dirasakan semakin berat, tatkala Kyai harus menampung para santri ekonomi lemah dan bahkan juga anak yatim. Kepada santri seperti itu, Kyai bukan saja tidak mendapatkan sumbangan biaya pendidikan dari santri, bahkan sebaliknya, mereka harus memenuhi kebutuhan hidup santri yang demikian banyak sehari-hari. Saya pernah melihat misalnya, Pesantren An Nur Bululawang, sebagian santrinya adalah anak-anak orang miskin dan anak yatim. Oleh Kyai terhadap para santri seperti itu digratiskan dan bahkan juga dipenuhi kebutuhan hidup mereka, makan sehari-hari dan juga pakaiannya. Lembaga pendidikan semacam ini sudah sekian lama tidak pernah mendapatkan perhatian pemerintah. Jika pun tokh ada bantuan hanya bersifat insidentil, artinya tidak secara rutin. Selain itu, sekalipun akhirakhir ini ada tuntutan agar dana pendidikan di APBN ditingkatkan jumlahnya menjadi 20 %, maka setelah dipenuhi, kiranya juga bukan dimaksudkan untuk membiayai pendidikan semacam ini. Namun begitu, Kyai juga tidak pernah bersuara mempersoalkannya. Menyelenggarakan pendidikan bagi Kyai dipandang sebagai ibadah, dalam rangka memenuhi tuntutan agamanya, dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk memenuhan tuntutan Undang-Undang sebagaimana harus dipikul oleh pemerintah. Para Kyai menjalankan program pendidikan pesantren, sekalipun tidak disiapkan dana oleh pemerintah, tetap ditunaikan dengan penuh kesabaran, ikhlas, amanah dan istiqomah. Mereka tidak berharap bantuan dan balasan dari siapapun, kecuali hanya ingin mendapatkan ridho dari Allah swt. Wallahu ‘lam.