Perilaku Sebagian Para Tokoh Umat Jika ada tokoh yang semakin gelisah karena menyaksikan penderitaan umatnya, adalah hal wajar. Sebab, para pemimpin semestinya selalu menginginkan agar umatnya bersatu, maju, semakin cerdas, makmur dan sejahtera. Namun, akhir-akhir ini justru yang terjadi adalah sebaliknya, umat semakin menggelisahkan perilaku para pemimpinnya. Pemimpin umat dianggap aneh, tidak sebagaimana semestinya. Tidak sedikit pemimpin dianggap telah meninggalkan umatnya. Mereka dianggap telah memihak pada kelompok tertentu, sehingga menjadikan umat terpecah-belah, saling bertikai, menjatuhkan sesama pemimpin dianggap biasa, membuat statemen yang membingungkan, tidak singkrun antara ucapan dan perbuatannya. Memang tidak semua pemimpin umat seperti itu. Masih banyak yang istiqomah, ikhlas dan sabar memberikan bimbingan kepada umatnya. Mereka yang seperti ini juga diakui adanya. Tetapi lagi-lagi, tidak sedikit pemimpin yang sudah meninggalkan tempat berhikmat semula. Lembaga pendidikan yang selama ini menjadi wilayah perjuangannya telah tergesa-gesa ditinggal. Bidang perjuangan yang selama itu ditekuni, ditinggal dan beralih ke bidang lain, ke dunia politik, agar bisa mewarnai di sana, dalihnya. Kiranya, perubahan strategi itu tidak mengapa, asal dilakukan secara santun dan atau proporsional. Tokh, memang dakwah juga bisa dilakukan melalui berbagai pintu, di antaranya pintu politik dan tidak selalu hanya lewat pintu pendidikan, misalnya. Hanya dengan perubahan orientasi para pemimpin umat itu tidak selalu membawa dampak yang menguntungkan. Para tokoh umat kemudian berperilaku sebagaimana politikus pada umumnya. Sesama tokoh umat saling mengkritik dan menjatuhkan, membuat statemen yang bisa berdampak memecah belah umat dan sebagainya. Dulu partai politik Islam yang hanya beberapa saja jumlahnya cukup menggelisahkan. Umat di lapisan bawah menjadi tidak saling bersatu. Kekuatan umat Islam menjadi melemah. Dan bahkan tidak jarang di antara mereka saling mengejek, dengan ejekan yang sesungguhnya sangat pedas. Melihat kenyataan itu memang semua pihak prihatin, bagaimana mau mengamalkan isi kitab suci al Qur’an setebal itu, sementara sebatas mengamalkan sepotong ayat, yakni perintah agar bersatu saja tidak mampu dan gagal. Kritik-kritik semacam itu, sekalipun sangat menyakitkan perlu mendapatkan perhatian. Jika para tokoh Islam berjuang melalui jalur politik, maka yang perlu dipertanyakan adalah apa sesungguhnya hal yang benar-benar diperjuangkan itu. Seringkali memang terasa bias atau tidak jelas. Apalagi tatkala melihat koalisi antar partai politik yang ada. Ada beberapa partai politik yang menjadikan Islam sebagai asasya. Akan tetapi tatkala berkoalisi, asas itu ternyata tidak tampak jelas. Kita lihat misalnya di suatu provinsi, untuk memenangkan pemilihan Gubernur, dilakukan koalisi antara berbagai partai politik. Koalisi ini tampak berbeda-beda di wilayah yang berlainan. Bahkan di antara kabupaten atau kota, juga berbeda lagi dengan koalisi di tingkat gubernurnya. Di tingkat provinsi misalnya koalisi itu dilakukan antara PAN, Demokrat dan Golkar. Berbeda di propinsi lain koalisi itu antara Golkar, PDIP dan PPP. Sedang di kota atau kabupaten lain, akan lain lagi, yaitu koalisi itu antara Golkar, PKB dan PKS, dan seterusnya. Tidak adanya konsistensi partai politik dalam berkoalisi tersebut menjadi wajar jika kemudian melahirkan kebingungan, yakni ideologi apa sesungguhnya yang mendasari masing-masing partai politik itu. Perilaku partai politik seperti itu dimaknai oleh sementara orang, sebagai partai politik yang tidak memiliki idiologi perjuangan yang
jelas. Perjuangan politik mereka dipandang hanya sebatas untuk meraih kemenangan dalam berkompetisi. Mereka memiliki kata kunci, ialah agar menang apapun cara yang ditempuh. Jika gambaran ini betul, maka partai politik di tanah air ini sudah sangat memprihatinkan, miskin idiologis dan sesungguhnya sudah sangat praktis dan prakmatis hingga membahayakan sekali. Kehidupan politik yang sedemikian itu rawan terjadi disorientasi politik. Politik menjadi tidak sehat, misalnya politik hanya sebatas memburu menang atau uang. Uang dan menang akan menggantikan idiologi mereka. Jika benar sudah terjadi seperti itu, maka yang muncul adalah transaksi dan transaksi. Apa saja kemudian akan dilakukan dengan uang. Seorang calon gubernur, bupati atau wali kota, agar dicalonkan oleh partai politik tertentu, maka pertimbangannya bukan kualitas calon bupati, walikota atau gubernur, melainkan apakah yang bersangkutan bersedia membayar sejumlah uang tertentu. Orang yang memiliki kemampuan unggul tidak akan mungkin direkrut menjadi pimpinan daerah atau wilayah, manakala yang bersangkutan tidak memiliki uang. Ringkasnya pertimbangan utama adalah uang. Kekuatan otak dikalahkan oleh kekutan uang. Maka, orang pintar dan berilmu pengeahuan dianggap remeh. Kepintaran dengan mudah dikalahkan oleh uang. Itulah sebabnya maka korupsi akan semakin menjadi-jadi. Dalam keadanaan seperti itu, maka peran pemimpin umat selalu dipertanyakan. Lebihlebih mereka yang sedang berada di arena politik praktis, misal menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah mereka mampu menjaga jati diri sebagai pemimpin umat, menyuarakan hati nurani sebagaimana ajaran agamanya, ataukah justru terbawa arus besar masuk dunia politik praktis dan prakmatis sebagaimana dikemukakan di muka,----yaitu juga ikut menjadikan uang sebagai alat dan sekaligus tujuan utama permainan politiknya. Jika demikian halnya maka artinya umat sudah kehilangan pemimpin anutannya. Sebagai akibatnya, jika gejala seperti digambarkan itu benar, maka wajar jika terjadi degradasi kepercayaan umat terhadap para pemimpinnya itu. Pemimpin yang seharusnya dijadikan sebagai tuntunan berubah menjadi tontonan. Umat mendapatkan tontonan gratis, berupa pemimpinnya menjadi tersangka, dan kemudian diadili dan akhirnya dimasukkan ke penjara. Wajarlah kemudian jika terjadi degradasi kepercayaan terhadap lembaga politik dan sekaligus pemimpin umat. Loyalitas dan partisipasi politik masyarakat menjadi rendah. Gejala itu bisa kita lihat misalnya, antusiasitas terhadap pemilihan umum tidak sedemikian terasa gregetnya, kampanye hanya diikuti sejumlah kecil pengunjung, hingga sampai MUI ikut-ikut berfatwa bahwa golput adalah haram hukumnya. Ini semua menggambarkan telah terjadi apa yang disebut sebagai apatisme politik. Jika gejala ini tidak segera dapat diatasi, maka akan berdampak luas terhadap kehidupan politik dan bahkan juga pemerintahan secara keseluruhan. Akhirnya, kita perlu sadar bahwa reformasi yang kita anggap sebagai pintu menuju kehidupan yang lebih baik, ternyata belum ada tanda-tanda menjadi kenyataan. Belajar dari sejarah panjang perjalanan bangsa ini, ternyata memang mengubah keadaan itu tidak mudah. Faktor yang berpengaruh sedemikian banyak, baik faktor internal maupun eksternal. Itu semua semestinya menyadarkan kita, bahwa para tokoh yang selalu berjanji akan mampu mensejahterakan rakyat perlu dipelajari secara saksama. Bangsa ini akan meraih cita-citanya, yakni sejahtera jika diperjuangkan oleh semua pihak. Harus ada kekuatan yang kokoh, dan kekuatan itu baru ada jika ada persatuan di antara para kokohnya. Para tokoh umat semestinya bisa berperan di sini, yaitu mempersatukan
kekuatan-kekuatan itu, dan bukan justru sebaliknya. Selain itu, semua usaha mulia harus disertai dengan niat yang ikhlas dan juga tidak semestinya tidak boleh menampakkan kesombongan sekecil apapun, karena itu kalimah “insya Allah” harus selalu menghiasi segala tindakannya. Akhirnya, jika para pemimpin umat yang terjun ke dunia politik, juga melakukan peran-peran seperti itu maka kiranya tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh umatnya. Allahu a’lam.