Akses Perempuan Terhadap Keadilan Di Indonesia

  • Uploaded by: Tarlen Handayani
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Akses Perempuan Terhadap Keadilan Di Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 37,792
  • Pages: 87
Seluruh penemuan, penafsiran dan kesimpulan dalam buku ini merupakan hasil temuan tim peneliti dan seyogyanya tidak dikaitkan dengan Bank Dunia dan kebijakannya

Naskah : Yohanna M.L. Gultom Hardiyanto Dewi Novirianti Bambang Soetono Matthew P. Zurstrassen

Photo Cover : PEKKA

Ditebitkan : Justice for The Poor Project The Worldbank - Sub Office Jalan Kusumaatmadja No. 36 Menteng, Jakarta 10310 Ph. 62 -21 310 7158, 391 1908/09 Fax. 62 -21 392 4640 Website: www.justiceforthepoor.or.id

December 2008

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia: Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

Kata Pengantar

Kata Pengantar Laporan Akses Perempuan terhadap Keadilan di Indonesia ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh tim Justice for the Poor Program, Social Development Unit, Bank Dunia di Indonesia. Penelitian ini merupakan bagian dari program Pemberdayaan Hukum Perempuan (PHP) yang dilaksanakan oleh PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) bekerja sama dengan tim Justice for the Poor. Tim penulis utama laporan ini dipimpin oleh Yohanna M.L Gultom Hardiyanto dan beranggotakan Dewi Novirianti, Bambang Soetono dan Matthew Zurstrassen. Lisa Noor Humaidah memberikan kontribusi selama proses penulisan. Studi lapangan dilakukan oleh tiga peneliti lapangan, yaitu Tarlen Handayani untuk lokasi penelitian di Cianjur-Jawa Barat, Wiharti untuk lokasi penelitian di Brebes-Jawa Tengah, dan Dian Aryani untuk lokasi penelitian di Lombok-NTB, didukung oleh tim penulis dan Phillippa Venning. Seluruh anggota tim Justice for the Poor, Matt Stephens, Taufik Rinaldi, Dewi Damayanti, Marini Purnomo, Sam Clark, dan Alpian memberikan kontribusi dalam mengembangkan kerangka penelitian dan memberikan berbagai masukan penting untuk analisa temuan lapangan, kesimpulan dan rekomendasi dari studi kasus ini. Sania Wijaya, Rani Maharani, Flory Nuffianti, Juliana Wilson dan Tanny Gautama mendukung pengaturan jadwal studi lapangan, penulisan dan publikasi. Tim Justice for the Poor menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh perempuan pencari keadilan yang bersedia membagi pengalamannya untuk studi kasus ini, serta warga masyarakat, Kader Hukum dan Pendamping Lapangan PEKKA, para anggota PEKKA, anggota Multistakeholder Forum (MSF) bidang hukum dari program PHP, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, serta aparat hukum dan pemerintahan lainnya yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada narasumber yang telah memberikan masukan berharga atas laporan ini, yaitu Myra Diarsi (aktivis perempuan), Dr. Sulistyowati Irianto (Pusat Kajian Wanita dan Jender FH UI), Julia Suryakusuma (penulis dan aktivis perempuan), Ratna Bantara Murti (LBH APIK) serta Chitra Buchori dan Tita Naovalitha dari Bank Dunia. Selain itu, ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Pieter Evers, Scott Guggenheim dan Susan Wong atas dukungan dalam penyusunan laporan ini serta dukungan terhadap program kerja Justice for the Poor yang lebih luas. Penghargaan secara khusus disampaikan kepada Kedutaan Besar Kerajaan Belanda yang telah mendukung pendanaan bagi penelitian ini.

Laporan ini mewakili pemikiran dari para penulisnya. Temuan, interpretasi, kesimpulan, dan rekomendasi dalam laporan ini tidak berarti mewakili pemikiran dari lembaga Bank Dunia. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan laporan ini harap ditujukan kepada Yohanna M.L Gultom Hardiyanto ([email protected]), Bambang Soetono ([email protected]) atau Matthew Zurstrassen ([email protected]).

ii

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Daftar Isi

Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Singkatan dan Istilah Ringkasan Eksekutif

ii iii v vi

Bagian I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang: Akses terhadap Keadilan vs Kemiskinan 1.2. Pemberdayaan Hukum Bagi Perempuan: Suatu Solusi 1.3. Fokus Studi Kasus Akses Perempuan terhadap Keadilan 1.4. Metodologi

1 2 4 5 6

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan 2.1. Profil Umum Penyintas dan Tipologi Kasus Hukum 2.2. Beberapa Hambatan Penyintas Mencari Bantuan 2.3. Jalur-jalur Penyintas Mengakses Keadilan 1. Melalui Sistem Hukum Non Negara di Tingkat Desa 2. Melalui Sistem Hukum Negara di Luar Desa 2.4. Respon Penegak Hukum 2.5. Dampak Kasus Terhadap Penyintas

21 23 25 27 29 32 40 44

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan 3.1. Aksesibilitas dan Efektivitas Sistem Hukum 1. Sistem Hukum Negara Efektif 2. Pemberdayaan Hukum Meningkatkan Aksesibilitas Sistem Hukum Negara 3. Kerjasama Aktor Desa Mempengaruhi Aksesibilitas Sistem Hukum Negara 3.2. Akses Kepada Keadilan Sosial 1. Pendekatan yang Holistik dalam Penanganan Penyintas Dibutuhkan 2. Agen Pemberdayaan Perempuan di Desa Membuka Akses Terhadap Keadilan Sosial

47 49 50 53 55 56 57 58

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi 4.1. Diskusi: Perlunya Redefinisi Konsep Keadilan 4.2. Kesimpulan 1. Sistem hukum negara lebih efektif karena terjamin dan independen 2. Sistem hukum non negara populer di desa namun perlu diperkuat untuk dapat menjamin hak perempuan 3. Keadilan sosial lebih luas dari keadilan secara hukum 4.3. Rekomendasi: Melembagakan Hak-hak Perempuan 1. Keadilan Hukum 2. Keadilan Sosial

61 62 62 63

Daftar Bacaan

71

64 64 65 66 68

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

iii

Daftar Isi

Tabel Tabel 1. Tabel 2a. Tabel 2b. Tabel 2c. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10.

Kasus terpilih berdasarkan tipologi kasus Deskripsi kasus di Cianjur Deskripsi kasus di Brebes Deskripsi kasus di Lombok Posisi dan status perempuan pencari keadilan terhadap pelaku/lawan Karakteristik sistem hukum non negara dan negara Jumlah kasus selesai dan tidak selesai berdasarkan sistem hukum Aktor Intermediasi Tuntutan Jaksa atas kasus perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan Hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri atas kasus perkosaan Dampak Sosial pada Penyintas Kondisi sistem hukum non negara dan negara bagi perempuan desa

10 11 14 17 26 28 28 33 41 43 45 50

Gambar Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3.

Penyintas/Responden berdasarkan status pekerjaan Jalur penyelesaian kasus hukum penyintas di desa Rekomendasi bagi sistem hukum non negara dan negara

24 29 66

Box Box 1. Box 2. Box 3. Box 4. Box 5. Box 6.

WLE: Sebuah model penguatan akses perempuan desa terhadap keadilan Konteks lokal wilayah program WLE Profil Pembantu Penghulu (Amil/Lebe) di desa Profil Fasilitator Hukum di desa Profil MSF SKB Tiga Menteri dan Kapolri tentang “Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

5 8 30 35 38 57

Studi Kasus Studi Kasus 1: Studi Kasus 2: Studi Kasus 3: Studi Kasus 4: Studi Kasus 5: Studi Kasus 6: Studi Kasus 7: Studi Kasus 8: Studi Kasus 9: Studi Kasus 10:

iv

Kasus incest di Cianjur Kasus perceraian bawah tangan di Cianjur Perkosaan anak terbelakang mental di Cianjur Kasus perkosaan anak berprofesi sebagai penyanyi di Brebes Kasus perkosaan oleh majikan di Lombok Kasus poligami dan perceraian di Cianjur Kasus incest di Lombok Kasus perceraian Brebes Kasus perburuhan di Cianjur Kasus kekerasan eks TKW di Cianjur

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

22 31 36 36 39 43 48 54 54 55

Daftar Singkatan dan Istilah

Daftar Singkatan dan Istilah AD AE Ajengan Amil APIK BAPAS B4P Disnaker DPR DPRD Iddah

: : : : : : : : : : :

FH Kapolri KDRT KUA KUHP Lansia LBH Lebe LPA LSM MSF PA PEKKA PHP PJTKI PKDRT PKK PNS Polres Polsek Polwan Prodeo PRT RPK SKB TKW Trafficking Ulama UPPA WLE

: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

Aktor Desa Aktor Eksternal Sebutan Ulama di Jawa Barat, sama dengan Tuan Guru di NTB, dan Kyai di Jawa Tengah Pembantu penghulu di desa Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Balai Pemasyarakatan Anak Badan Penasehat Pelestarian Perkawinan Dinas Tenaga Kerja Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Masa tenggang waktu setelah perceraian sampai dengan saat datangnya haid, yaitu saat perempuan dapat menikah lagi Fasilitator Hukum Kepala KePolisian Negara Republik Indonesia Kekerasan dalam rumah tangga Kantor Urusan Agama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lanjut usia Lembaga Bantuan Hukum Pembantu penghulu di desa Lembaga Perlindungan Anak Lembaga Swadaya Masyarakat Multi-stakeholder Forum Pengadilan Agama Perempuan Kepala Keluarga Pemberdayaan Hukum Perempuan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia Perlindungan terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Program Kesejahteraan Keluarga Pegawai Negeri Sipil KePolisian Resor KePolisian Sektor Polisi Wanita Persidangan tanpa biaya administrasi Pembantu Rumah Tangga Ruang Pelayanan Khusus Surat Keputusan Bersama Tenaga Kerja Wanita Perdagangan manusia Tokoh agama di desa Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Women’s Legal Empowerment

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

v

Ringkasan Eksekutif

Ringkasan Eksekutif Pertanyaan dasar yang ingin dijawab melalui studi kasus ini adalah bagaimana perempuan desa pencari keadilan, atau yang dalam studi ini disebut penyintas, dapat mengakses keadilan saat menghadapi kasus hukum. Hal ini menjadi sangat relevan karena berbagai studi menunjukkan bahwa akses perempuan terhadap keadilan masih sangat lemah (UNDP, 2007, The Asia Foundation, 2001, Narrayan, 2000, Bank Dunia, 2004 & 2008). Kemiskinan serta domestikasi dan subordinasi status sosial perempuan yang dialami penyintas telah mengkondisikan mereka menjadi rentan terhadap berbagai pelanggaran hak dan praktek diskriminasi, sehingga melatarbelakangi sebagian besar persoalan hukum yang diangkat dalam studi ini, terutama dalam kasus-kasus KDRT, perceraian, perburuhan dan trafficking. Selain menjadi akar masalah, kemiskinan dan domestikasi serta subordinasi status sosial perempuan juga turut membatasi kapasitas mereka untuk bergerak mencari keadilan. Mengalami beberapa lapisan kasus yang saling terkait menjadi ciri khas penyintas. Studi kasus ini bertujuan untuk memperoleh bahan pembelajaran (lessons learned) dan contoh-contoh keberhasilan (best practices) dari pengalaman penyintas mengakses keadilan saat mengalami kasus hukum, baik yang terkait dengan hukum keluarga maupun diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Pembelajaran dan contoh keberhasilan ditarik dari 28 kasus yang dialami oleh penyintas di tiga lokasi, yaitu Cianjur, Brebes dan Lombok. Kasus-kasus yang diangkat adalah kasus-kasus yang telah diupayakan penyelesaiannya, baik melalui sistem hukum non negara di tingkat desa maupun melalui sistem hukum negara di luar desa. Berangkat dari pembelajaran dan contoh keberhasilan tersebut, studi kasus ini selanjutnya bermaksud untuk memberikan sumbangan strategi yang integratif dan holistik terhadap upaya penguatan akses perempuan desa terhadap keadilan.

Temuan Utama Perlunya redefinisi konsep keadilan. Temuan kunci dari studi ini menyuarakan bahwa perempuan memiliki definisi yang lebih luas tentang keadilan. Jawaban terhadap pertanyaan utama yang mendasari penelitian ini, “bagaimana perempuan desa yang mengalami kasus hukum dapat mengakses keadilan?” perlu didasari pada suatu definisi keadilan yang lebih luas. Akses perempuan pencari keadilan (penyintas) terhadap keadilan saat mengalami kasus hukum, tidak dapat semata-mata dilihat dalam konteks hukum dan legalitasnya saja. Penyelesaian kasus secara hukum merupakan langkah awal bagi penyintas mengakses keadilan, namun hal ini belum cukup menjamin penyintas memperoleh keadilan sebagaimana yang didefinisikannya. Ada peluang bagi penyintas mengakses keadilan. Studi ini menunjukkan bahwa penyintas memiliki peluang untuk mengakses keadilan. Pertama jika mereka memiliki akses kepada jalur-jalur penyelesaian kasus hukum, baik sistem hukum non negara di desa maupun sistem hukum negara di luar desa. Kedua jika mereka memiliki akses kepada keadilan sosial, yang di dalamnya mencakup keadilan secara hukum. Sayangnya, berbagai hambatan dialami penyintas sejak saat pertama mencari bantuan. Umumnya penyintas tidak dapat secara langsung mengangkat kasusnya untuk dilaporkan kepada pihak yang berwenang, bahkan kepada aparat pemerintahan di tingkat desa sekalipun. Adanya pola relasi kuasa yang timpang antara penyintas dan pelaku/lawan, misalnya suami, ayah, atau majikan, telah sedikit banyak membungkam penyintas untuk mencari pertolongan dari pihak ketiga atau melakukan tindakan hukum. Sementara itu, dalam kasus perkosaan atau KDRT, ancaman akan adanya sanksi sosial turut melatarbelakangi ketakutan korban untuk melaporkan kejadian. Selain takut terhadap ancaman pelaku, umumnya penyintas sebagai korban perkosaan tergantung secara sosial ekonomi terhadap pelaku, sehingga membongkar kasus berarti perlu mempersiapkan diri dari putusnya akses terhadap aset-aset sosial dan ekonomi. Terakhir, hukum tetap dirasakan sangat mahal, sehingga masalah biaya ini juga telah membatasi pilihan penyintas untuk mengakses sistem hukum negara.

vi

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Ringkasan Eksekutif

Padahal, kemampuan mengakses sistem hukum yang ada adalah prasyarat pertama. Akses terhadap sistem hukum negara atau non negara menjadi faktor penting yang menentukan akses penyintas terhadap keadilan. Saat penyintas dapat mengakses sistem hukum yang ada, ia melangkah satu tahap dalam mengakses keadilan. Studi ini memperlihatkan bahwa keberadaan sistem hukum negara dan non negara tidak bersifat ekslusif satu sama lain. Beberapa kasus yang diselesaikan melalui sisem hukum negara, ternyata sebelumnya telah dicoba penyelesaiannya melalui sistem hukum non negara. Tidak berhasil diselesaikan oleh sistem hukum non negara, maka penyintas, baik karena kesadarannya sendiri maupun rujukan dari pihak lain, kemudian menempuh jalur sistem hukum negara. Selanjutnya, aksesibilitas dan efektivitas sistem hukum yang ada juga turut menentukan. Dua jalur sistem hukum yang dapat di akses perempuan desa, negara dan non negara, memiliki tingkat aksesibilitas dan efektivitas yang berbeda. Sistem hukum idealnya memiliki aksesibilitas dan efektivitas yang tinggi. Semakin tinggi tingkat aksesibilitas berarti perempuan desa dapat semakin menggunakan sarana yang diberikan oleh institusi penyelesaian sengketa tersebut. Semakin tinggi tingkat efektivitas berarti perempuan desa semakin dapat memperoleh keputusan yang adil atas penyelesaian sengketanya, yaitu tidak memihak, dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat dan dengan biaya yang terjangkau. Sistem hukum non negara masih menjadi pilihan utama karena mudah di akses. Sistem hukum non negara umumnya masih menjadi pilihan pertama penyintas saat ingin mengakses keadilan, terutama karena aktoraktor penyelesaian sengketa melalui mekanisme non negara ini telah dikenal, mudah ditemui, dan praktis tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk bertemu dan berkonsultasi dengan mereka. Mereka adalah aparat pemerintahan desa, termasuk Pembantu Penghulu/Amil/Lebe, serta tokoh-tokoh agama/adat di desa. Saat menerima kasus hukum, aktor-aktor ini akan mencoba melakukan mediasi, fasilitasi dan penyelesaian kasus berdasarkan aturan, keyakinan, kebiasaan atau budaya yang berlaku di desa tersebut. Penguatan terhadap sistem hukum non negara diperlukan agar dapat lebih berpihak kepada penyintas. Kasus-kasus yang diselesaikan melalui jalur ini memperlihatkan bahwa aparat desa masih belum secara pro-aktif melindungi hak-hak perempuan. Dalam kasus perkosaan dan KDRT, mereka seringkali masih menghadapi konflik kepentingan antara melindungi hak perempuan dan menjaga harmoni di masyarakat, sehingga sulit untuk memiliki keberpihakan kepada penyintas sebagai korban. Dalam kasus-kasus tersebut, penyelesaian yang adil masih belum dapat tercapai, karena belum adanya sanksi yang jelas untuk pelanggaran yang terjadi. Kalaupun ada sanksi, gagal untuk memastikan penerapan dan penegakannya. Di sisi lain, sistem hukum negara sulit di akses penyintas sehingga menjadi alternatif terakhir. Sistem hukum negara, dalam studi ini mencakup KePolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Kantor Dinas Tenaga Kerja, masih dirasakan sebagai sesuatu yang birokratis, formal, mahal dan jauh dari desa, sehingga menjadi alternatif terakhir bagi penyelesaian kasus hukum yang dialami penyintas. Kesadaran hukum penyintas yang relatif rendah juga mempengaruhi pendapat mereka ini. Dalam studi ini, penyintas umumnya mengakses jalur ini saat keluarga memutuskan untuk membawa kasus ke sistem hukum negara. Biasanya hal ini terjadi saat penyintas mengalami penganiayaan berat akibat KDRT atau perkosaan, atau pada kasus-kasus perceraian, saat suami memiliki kepentingan akan adanya perceraian yang legal melalui Pengadilan Agama, misalnya karena statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Aktor-aktor intermediasi memperkuat akses penyintas ke sistem hukum negara. Studi ini mengidentifikasi tiga kelompok aktor intermediasi yang terbukti membuka akses penyintas ke jalur hukum negara. Pertama adalah Aktor Desa. Mereka, yang tidak lain adalah aktor-aktor dalam sistem hukum non negara di desa, berpotensi untuk merujuk kasus penyintas ke sistem hukum negara, namun inisiatifnya sangat kondisional dan ad hoc. Kedua adalah Fasilitator Hukum di desa, yaitu tokoh-tokoh yang secara khusus berperan memberikan kesadaran dan bantuan hukum. Mereka tidak saja berperan merujuk kasus ke sistem hukum negara, tetapi memberikan pendampingan hukum, membangun jaringan dengan pihak eksternal desa terkait, dan memberikan dukungan bagi penyintas selama proses hukum berjalan. Ketiga adalah Aktor Eksternal, yaitu pihak-pihak lain yang berasal dari luar desa. Dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum,

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

vii

Ringkasan Eksekutif

media dan LBH/LSM berpotensi membuka akses penyintas terhadap sistem hukum negara, namun informasi tentang keberadaan mereka masih langka di kalangan penduduk desa. Dalam beberapa kasus, efektivitas sistem hukum negara cukup baik. Beberapa kasus yang diteliti dalam studi ini memperlihatkan bahwa sistem hukum negara dapat menjamin penyelesaian sengketa yang adil bagi penyintas karena terlihat dapat menjamin hak-hak dan memenuhi kepentingan-kepentingan mereka, terutama dalam kasus-kasus perkosaan dan perceraian. Ada beberapa alasan. Kerangka hukum dari sistem ini tunduk secara langsung kepada konstitusi negara dan konvensi-konvensi internasional yang terkait dengan hak azasi manusia. Sistem hukum ini juga lebih terbuka terhadap fungsi pengawasan dan hal ini turut meningkatkan kualitas keadilan yang dapat dihasilkan. Sifat transparan ini terjamin melalui keberadaan mekanisme untuk naik banding atau mengajukan keberatan atas keputusan yang ditetapkan oleh otoritas legal, dan juga dari keberadaan media dan LSM untuk memonitor perkembangan kasus. Selanjutnya, beberapa kasus memperlihatkan bahwa keputusan dari pengadilan cenderung lebih dapat ditegakkan pelaksanaannya daripada keputusan aparat desa, dan hal ini membuka akses penyintas lebih lagi terhadap keadilan. Sistem hukum ini juga relatif efektif karena tidak terpengaruh dengan dinamika relasi kekuasaan yang ada di desa, sehingga tidak mempengaruhi pengambilan keputusan. Efektivitas sistem hukum negara dipengaruhi oleh respon penegak hukum. Dari kasus-kasus yang ada, studi ini menemukan bahwa KePolisian bersikap cukup responsif menangkap dan menahan pelaku perkosaan. Namun umumnya anggota KePolisian masih belum cukup memiliki kesadaran gender sehingga belum memberikan pelayanan dan perlindungan bagi korban secara optimal. Pada sisi lain, fasilitas RPK/UPPA masih terbatas. Kejaksanaan juga sudah berusaha menjaring pelaku perkosaan dengan UU PKDRT. Namun standard operasional penanganan kasus yang menuntut bukti-bukti yang kuat untuk menahan pelaku kekerasan, membuat lembaga ini sulit untuk berpihak kepada perempuan korban. Di Pengadilan Negeri, hakim yang telah memiliki sensitivitas dan kesadaran gender terlihat dapat memberikan perlindungan terhadap korban dan menjatuhkan hukuman maksimal pada pelaku perkosaan/percabulan. Terakhir, Pengadilan Agama terlihat telah berfungsi untuk menjamin hak-hak perempuan dalam perceraian dan poligami, namun masih sangat terbatas dalam memberikan fasilitas pelayanan hukum yang terjangkau atau bahkan cuma-cuma (prodeo) bagi penyintas. Beberapa tantangan bagi efektivitas sistem hukum negara. Studi ini mengidentifikasi empat tantangan utama yang dihadapi sistem hukum negara terkait dengan isu gender. Pertama, kesadaran gender yang diperlukan bagi efektivitas penanganan kasus belum secara merata dimiliki oleh jajaran aparat penegak hukum. Kedua, adanya standar operasional penanganan kasus yang justru membatasi akses penyintas terhadap keadilan. Ketiga, tanpa adanya aktor intermediasi, sistem hukum ini sulit diakses oleh penyintas. Keempat, fasilitasi dari aktor intermediasi tetap membutuhkan adanya kesadaran hukum dari pihak penyintas, yang pada umumnya masih sangat terbatas. Penyelesaian kasus secara hukum penting, namun tidak cukup menjamin keadilan yang sepenuhnya. Penyelesaian kasus secara hukum non negara maupun negara sangat diperlukan, namun belum sepenuhnya menjamin terpenuhinya kompensasi atas dampak sosial, ekonomi, fisik dan psikis penyintas. Kerugian ekonomi tetap diderita oleh penyintas, bahkan oleh mereka yang menerima keputusan pembagian harta gono gini atau nafkah dari suami pada kasus perceraian. Sementara, dampak sosial umumnya tetap diderita oleh penyintas dalam bentuk stigma sosial negatif sebagai eks korban perkosaan atau janda. Kerugian secara fisik dan psikologis juga dialami oleh beberapa penyintas korban kekerasan dan KDRT, seperti luka fisik dan trauma psikologis yang tidak mudah untuk disembuhkan. Penyintas membutuhkan akses terhadap keadilan sosial. Selain memperoleh hak-hak hukum, penyintas membutuhkan upaya pemulihan (remedies) yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi utilitas dan keberadaan (well-being) mereka secara utuh. Upaya tersebut perlu memperhatikan aspek-aspek retribusi ekonomi, akses kepada pelayanan sosial, utamanya kesehatan dan pendidikan, dan penerimaan sosial. Beberapa kasus perkosaan dalam studi ini, terutama kasus incest di Lombok, memberikan contoh bagaimana

viii

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Ringkasan Eksekutif

keadilan hukum dan keadilan sosial tidak bersinggungan. Upaya untuk mencari keadilan melalui jalur hukum negara dapat menimbulkan tekanan sosial tersendiri terhadap penyintas oleh keluarga atau masyarakat, sehingga penyintas membutuhkan akses terhadap dukungan sosial. Dalam beberapa kasus, keputusan Hakim yang berpihak kepada penyintas sebagai korban juga sama sekali tidak menjamin adanya penerimaan sosial bagi penyintas. Pendekatan yang holistik dalam penanganan korban dibutuhkan. Dalam kasus kekerasan, akses terhadap keadilan sosial mulai terbuka saat penyintas dapat memperoleh penanganan yang holistik atas dirinya sebagai korban kekerasan. Pelayanan yang terpadu terbukti memberikan manfaat yang besar bagi penyintas sebagai korban perkosaan. Namun pelayanan terpadu yang ada, seperti pelayanan terpadu korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, umumnya baru efektif sebatas mengembalikan fungsi utilitas dan keberadaan penyintas yang terkait pada aspek medis dan psikis saja. Fasilitasi bagi proses penerimaan sosial atas penyintas masih belum tercakup. Akibatnya, masih ada aset-aset sosial yang tidak tergantikan dalam kehidupan penyintas akibat penghakiman massa dan penolakan sosial yang di alami, seperti kekerabatan dan kekeluargaan yang terputus serta status sosial yang marginal. Dengan demikian, ada biaya sosial yang dibayar penyintas dan tidak tergantikan melalui penanganan terpadu dalam kasus ini. Sistem sosial budaya yang responsif terhadap isu gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan sangat diperlukan. Tanpa adanya sistem sosial budaya yang responsif terhadap isu gender dan memahami hak dan kebutuhan praktis serta strategis perempuan, maka keadilan yang sesungguhnya tidak dapat diperoleh oleh penyintas. Bentuk sanksi yang terburuk, yaitu penolakan sosial harus dialami oleh beberapa penyintas. Masalahnya lagi, sebagaimana umumnya terjadi di desa-desa studi, kondisi absennya sistem sosial budaya yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan justru mengkristal ke dalam praktekpraktek sistem hukum non negara. Akibatnya, efektivitas sistem ini dalam menangani kasus-kasus hukum perempuan menjadi sangat rendah. Agen-agen Pemberdayaan Perempuan di desa memegang peranan penting. Kasus perkosaan di Brebes menunjukkan bahwa Fasilitator Hukum dapat secara aktif berusaha membangun kepedulian dan dukungan massa terhadap penyintas. Peran ini terutama dilakukan dalam rangka menggalang massa untuk memberi dukungan kepada penyintas serta memberikan tekanan kepada pihak aparat penegak hukum agar menangani kasus dengan adil. Mereka juga turut membangun kesadaran kaum perempuan untuk mengambil perannya dalam memperjuangkan kepentingan penyintas. Upaya mereka cukup berhasil disebabkan karena keberadaan mereka terintegrasi dalam gerakan sosial-politik yang ada di masyarakat, yang berupaya menggalang kekuatan para perempuan di desa untuk dapat mengaktualisasikan diri mereka di tengah masyarakat serta memperoleh penerimaan sosial dari masyarakat desa. Sebagai hasilnya, tidak saja pelaku perkosaan dihukum penjara, namun penyintas juga dapat diterima kembali oleh masyarakat desa tanpa sanksi sosial yang berarti. Masyarakat cenderung menolong penyintas untuk melupakan kejadian, bahkan menawarkan pekerjaan.

Rekomendasi Keadilan Hukum: memperkuat akses penyintas terhadap keadilan melalui sistem hukum Akses terhadap sistem negara menjadi fokus mendesak. Tidak semua kasus hukum yang dihadapi penyintas perlu diselesaikan melalui jalur hukum negara. Namun hal yang mendesak untuk dilakukan adalah memperbaiki aksesibilitas dari sistem ini bagi perempuan yang menghadapi permasalahan hukum yang serius. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa upaya. Pertama, menyediakan informasi dan pendampingan hukum di desa sehingga dapat memberikan pilihan dan dukungan yang lebih baik kepada penyintas saat mencari pertolongan awal untuk penyelesaian kasus hukumnya. Kedua, memperbaiki sistem rujukan (referral system) dari jalur sistem hukum non negara ke jalur negara. Ketiga, memperkuat kapasitas jejaring lokal untuk menyediakan dukungan, terutama bagi para pemimpin perempuan di desa, seperti

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

ix

Ringkasan Eksekutif

bidan desa maupun perempuan dalam kelompok agama. Mereka akan berfungsi sebagai jejaring lokal yang akan memperkuat akses informasi dan pelatihan hukum bagi masyarakat desa. Keempat, meningkatkan keterkaitan antara jejaring lokal dengan sistem hukum negara, dengan memperbaiki mekanisme diseminasi program ke komunitas dan kunjungan ke tingkat desa secara reguler dan meningkatkan pemahaman jejaring di desa tentang mekanisme kerja sistem hukum negara. Perlunya perubahan kelembagaan dalam sistem hukum negara. Komitmen untuk membuat sistem hukum negara lebih sensitif terhadap masalah gender masih perlu diperkuat lagi. Walaupun perbaikan yang menyeluruh akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Beberapa rekomendasi konkret terkait dengan hal ini adalah: Mengintegrasikan pelatihan gender bagi para aparat penegak hukum kedalam kurikulum pendidikan berjenjang dalam KePolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Melembagakan sistem perlindungan korban ke dalam sistem hukum pidana sehingga tidak hanya bergantung pada inisiatif individual aparat penegak hukum. Membangun sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system), sebagaimana diusulkan oleh Komnas Perempuan, LBH APIK serta beberapa LSM dan akademisi. Perlunya mengembangkan sistem peradilan pidana yang bersikap seimbang dalam melihat prinsip ”praduga tak bersalah” dan hak-hak korban, terutama pada Kejaksaan. Mendukung lembaga-lembaga penegak hukum agar melakukan berbagai inisiatif terkait dengan isu gender dan hukum, termasuk mendukung keberadaan RPK/UPPA hingga di tingkat Kecamatan, tempat dimana RPK/UPPA paling dibutuhkan oleh penduduk desa. Membangun kinerja sistem hukum non negara dengan meningkatkan kapasitas dan pengawasan. Mengingat sistem hukum non negara masih menjadi sarana utama dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum masyarakat desa, maka kinerja sistem ini perlu diperbaiki dalam dua aspek. Pertama, perlu memperkuat kapasitas aktor-aktornya dalam penyelesaian kasus hukum perempuan, terutama agar memiliki kesadaran gender dan pengetahuan tentang isu-isu gender di desa. Kedua, perlu adanya batasan yang jelas tentang kapan mereka perlu merujuk kasus ke sistem hukum negara. Sementara itu, karena sistem hukum non negara merefleksikan dinamika relasi kuasa di desa, adanya dukungan bagi keterwakilan perempuan dalam mekanisme penyelesaian kasus hukum diperlukan dan dalam kepemimpinan desa. Selain itu, perlu adanya upaya untuk mengidentifikasi agen-agen pemberdayaan perempuan dan upaya untuk mendukung peran mereka, termasuk melembagakan perubahan yang ada kedalam pilar-pilar kelembagaan desa. Perlu adanya dukungan dari Aktor Eksternal, termasuk juga aparat hukum. Upaya untuk meningkatkan dukungan sistem hukum non negara kepada perempuan membutuhkan tekanan pihak eksternal. Landasan hukum perlu menjadi faktor penentu yang melandasi keputusan aparat/tokoh desa untuk mengatasi kasus di tingkatnya atau merujuk kasus ke sistem hukum negara. Dengan demikian aktor hukum non negara tidak hanya merujuk kasus penyintas secara ad hoc, namun karena adanya kesadaran yang lebih tentang batasan jurisdiksi. Untuk itu, pemerintah juga perlu memiliki peran untuk membangun kapasitas aktor-aktor penyelesaian kasus di desa, dengan melakukan pengaturan dan pengawasan atas sistem hukum tersebut. Fokus yang lebih juga perlu diberikan pada upaya diseminasi informasi tentang peraturan perundangan dan proses penyelesaian kasus serta pentingnya interaksi antara sistem hukum negara dan non negara untuk menjamin keadilan yang optimal bagi penyintas.

x

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Ringkasan Eksekutif

Keadilan Sosial: memperbaiki tersedianya kualitas keadilan yang lebih luas bagi penyintas Walaupun rekomendasi yang mendasar tentang bagaimana penyintas dapat mengakses keadilan sosial berada di luar cakupan studi ini, namun beberapa rekomendasi dapat diajukan berdasarkan temuan awal studi ini. Program hukum seharusnya tidak dilihat sebagai program yang berdiri sendiri, namun sebagai komponen dari program sosial yang lebih luas. Penyintas, khususnya korban kekerasan, membutuhkan akses terhadap aspek-aspek non-legal dari keadilan. Upaya untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas dari pelayanan sosial mencakup penyediaan pelayanan kesehatan dan psikologis serta rumah aman bagi korban kekerasan, dukungan pendidikan dan ekonomi sebagai bagian dari program rehabilitasi sangat dibutuhkan. Untuk itu, koordinasi antara lembaga hukum negara dan berbagai lembaga pemerintah lainnya akan memperkuat efektivitas proses hukum. Koordinasi antar aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, baik berupa pertemuan reguler maupun yang bersifat informal, dapat memperkuat akses perempuan terhadap keadilan. Koordinasi tersebut dapat pula diperluas dalam bentuk penempatan petugas kesejahteraan sosial di dalam kePolisian atau pengadilan untuk membantu memberikan dukungan kepada korban dan memfasilitasi akses korban kepada lembaga pemerintah terkait. Aparat hukum perlu mengerti tentang dampak sosial dari keputusan hukum. Para pengambil keputusan, baik di jalur hukum negara maupun non negara, perlu lebih peka terhadap dampak-dampak sosial yang dihadapi penyintas. Jaringan pendukung di desa perlu diperkuat untuk membantu perempuan di tingkat desa selama proses maupun paska proses penanganan kasus. Untuk itu, sistem hukum yang ada perlu mengintegrasikan perspektif tentang hal ini untuk dimengerti oleh para aktornya. Perlu memastikan adanya harmonisasi dukungan dalam jejaring di tingkat desa. Perlu diupayakan agar terjadi harmoni diantara jejaring lokal yang ada di tingkat desa. Hal ini mencakup perlunya meningkatkan dialog antara aparat desa dan aktor lain yang ada dalam jejaring tersebut, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, bidan desa, dan kelompok PKK. Juga perlu memperkuat koordinasi antara jejaring ini dengan penyedia layanan masyarakat lainnya, seperti puskesmas dan kelompok-kelompok perempuan di desa. Peran pemerintah, di dukung oleh organisasi donor dan LSM, penting dalam reformasi peraturan kebijakan yang menyediakan pelayanan sosial bagi penyintas. Lembaga hukum di tingkat nasional perlu melakukan koordinasi antar lembaga dalam rangka mempersiapkan kelembagaan hukum yang responsif terhadap kebutuhan perempuan mengakses keadilan sosial. Sementara itu penguatan kapasitas pemerintah di tingkat propinsi juga diperlukan karena seringkali berbagai upaya reformasi hukum di tingkat nasional jangkauannya hanya sampai dengan tingkat propinsi. Organisasi donor dan organisasi masyarakat sipil (LSM atau LBH) diperlukan untuk mendukung berbagai inisiatif yang terkait dengan memperkuat akses penyintas terhadap keadilan, baik yang bersifat top-down dari pihak pemerintah maupun bottom-up dari masyarakat akar rumput.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

xi

Bagian I

Pendahuluan

Bagian 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang: Akses terhadap Keadilan vs Kemiskinan “The poor remain poor in part because they do not have legal rights...” Hernando de Soto1 “The poor in large parts of the developing countries live in a world where lack of access to justice, property rights and legal business limits their boundary of existence and constraints graduation out of poverty and makes such graduation extremely vulnerable” Fazle Hasan Abed2

Akses perempuan terhadap keadilan di Indonesia masih sangat lemah. Sebagian besar perempuan, khususnya perempuan miskin yang tinggal di perdesaan, masih belum mampu mengakses keadilan saat mereka mengalami kasus hukum. Berbagai studi dan laporan telah mengungkapkan berbagai kendala yang dihadapi perempuan dalam mengakses keadilan. Kendala utama umumnya adalah rendahnya kesadaran dan pemahaman atas hak-hak hukum mereka (UNDP, 2007), walaupun hasil studi Baseline Survey Program Pemberdayaan Hukum Perempuan Bank Dunia (2005) menunjukkan bahwa adanya kesadaran hukum ternyata juga tidak selalu menjamin adanya tindakan hukum yang diambil perempuan desa saat mengalami kasus hukum, terutama untuk kasus-kasus kekerasan domestik.3 Informasi mengenai hak-hak perempuan yang dapat diakses oleh perempuan korban kekerasan juga masih sangat minim. Hal ini, dipersulit dengan perlindungan terhadap saksi dan korban yang belum efektif, membuat korban sulit untuk memperoleh hak atas keadilan (Komnas Perempuan, 2007). Secara umum, ada keengganan perempuan untuk memanfaatkan lembaga hukum negara dalam penyelesaian kasus hukum. Hal ini disebabkan karena mereka lebih mempercayai keluarga sendiri, keluarga suami dan tokoh atau pemimpin masyarakat dalam membantu memecahkan persoalan (The Asia Foundation, 2001). Mereka juga merasa kapasitas lembaga hukum dan aparatur negara belum mampu memberikan respon dengan sensitivitas gender yang cukup memadai (Narrayan, 2000). Alasan lain adalah adanya ketidakpercayaan dan rasa takut mereka terhadap sistem hukum negara yang dianggap mahal, tidak mudah diakses dan jauh dari tempat tinggal mereka (Bank Dunia, 2004).4 Umumnya penduduk desa lebih memilih proses penyelesaian kasus non negara di desa (informal), karena dianggap murah, mudah diakses dan cepat, walaupun seringkali gagal untuk memberikan penyelesaian yang adil terhadap masyarakat miskin, terutama pada kasus-kasus terkait dengan kelompok minoritas dan marginal, termasuk perempuan (Bank Dunia, 2004 & 2008). Sementara itu, kemiskinan membatasi kapasitas perempuan desa dalam mengakses keadilan. Kemiskinan menyebabkan mereka kurang memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan, baik karena tidak ada biaya pendidikan, juga karena adanya diskriminasi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di lingkup keluarga. Akibatnya, pengetahuan umum dan pengetahuan hukum perempuan di desa rata-rata rendah, terlebih kemampuan mereka dalam mengakses keadilan ketika mereka mengalami kasus hukum. Lemahnya akses terhadap keadilan ini selanjutnya menggiring perempuan untuk lebih jauh terperangkap dalam kemiskinan (Novirianti, 2005). Hal ini disebabkan antara lain karena perempuan seringkali kehilangan hak-

2

1

Dikutip dalam Albright, Madeleine K., It’s Time for Empowerment, dalam BrØther, Mone E. & Solberg Jon-Andreas, eds. Legal Empowerment – a way out of povery. The Norwegian Ministry of Foreign Affairs, December 2006 – issue 2, hal. 10.

2

Legal Empowerment of the Poor: A Critical pathway out of poverty, dalam BrØther, Mone E. & Solberg Jon-Andreas, eds. Legal Empowerment – a way out of povery. The Norwegian Ministry of Foreign Affairs, June 2003 – issue 3, hal. 67.

3

Studi ini menemukan bahwa walaupun 87% dari responden berpendapat bahwa KDRT adalah suatu kejahatan dan seharusnya diproses secara hukum, hanya sebagian kecil (27 persen) yang mengaku akan melaporkan kasus KDRT ke Polisi jika mengalaminya. Lihat www.justiceforthepoor.or.id.

4

Studi ini menemukan bahwa bagi penduduk desa, pengadilan hanyalah jalan terakhir dalam usaha mengakses keadilan. Walaupun demikian, penyelesaian kasus-kasus terutama kasus korupsi melalui mekanisme hukum negara terbukti berhasil, namun faktor keberhasilannya lebih karena didorong oleh aspek social political dibanding legal teknis.

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 1. Pendahuluan

haknya atas aset dan sumberdaya saat mengalami kasus hukum, terlebih saat tidak dapat memperoleh penyelesaian kasus yang adil. Namun di sisi lain, kemiskinan itu juga yang menjadi latar belakang rentannya posisi perempuan terhadap berbagai pelanggaran hak dan praktek-praktek diskriminasi, sehingga seringkali mengalami berbagai kasus hukum. Di Indonesia, kemiskinan dialami oleh sebagian besar perempuan, terlebih yang tinggal di daerah perdesaan. Tidak hanya itu, data juga menunjukkan bahwa perempuan umumnya jauh lebih miskin dibanding laki-laki. Kemiskinan ini dapat dilihat dari tingkat daya beli (purchasing power parity/PPP) perempuan, yang pada tahun 2004 (USD 2.138) hanya separuh dari tingkat daya beli laki-laki (Human Development Report 2006). Kemiskinan yang dialami perempuan juga dapat dilihat dari relatif lebih rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan (49,52 persen), yaitu sekitar separuh, dari TPAK laki-laki dan relatif lebih tingginya tingkat pengangguran terbuka pada perempuan (11,83 persen) dibanding pada laki-laki (8,5 persen) (Survey Angkatan Kerja Nasional/Sakernas, 2007). Data juga menunjukkan, rata-rata upah pekerja perempuan juga lebih kecil dibanding dengan ratarata upah pekerja laki-laki. Rata-rata upah pekerja perempuan yang berstatus sebagai buruh/karyawan/ pegawai hanya sekitar 72 persen dari pekerja laki-laki dengan status yang sama. Sementara rata-rata upah perempuan yang bekerja sebagai pekerja bebas di sektor pertanian hanya sekitar 69 persen dari pekerja lakilakinya. Ketimpangan upah terbesar terjadi pada perempuan yang bekerja sebagai pekerja bebas di sektor non-pertanian, yaitu hanya sekitar 46 persen dari upah pekerja laki-lakinya (Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007). Kondisi kemiskinan perempuan diperburuk dengan status perempuan yang marjinal dalam struktur sosial di masyarakat, termasuk dalam keluarga, sehingga rentan terhadap berbagai diskriminasi sosial. Kebiasaan adat dan budaya lokal kerapkali merendahkan status perempuan. Sementara sistem hukum dan sosial di Indonesia masih menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga. Pasal 31 ayat 3 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa laki-laki atau suami adalah kepala keluarga dan perempuan adalah ibu rumah tangga. Suryakusuma (2004) membahas bahwa penentuan pembagian dan pembakuan peran perempuan dalam rumah tangga merupakan manifestasi dari ideologi gender negara atau konstruksi perempuan di Indonesia yang dibangun berdasarkan kepentingan negara. Selanjutnya, definisi hukum ini diterjemahkan dalam berbagai praktek ekonomi dan sosial, sehingga menguatkan ketergantungan perempuan atau istri kepada suami dan mengakitbatkan alokasi sumber daya serta hak politik dan ekonomi seringkali didasarkan pada keberadaan laki-laki sebagai kepala keluarga. Dalam perangkap kemiskinan dan marjinalisasi status sosial tersebut, perempuan menjadi rentan terhadap berbagai pelanggaran hak dan kasus hukum. Posisi timpang yang terjadi dalam konteks keluarga menyebabkan mudahnya terjadi kesewenang-wenangan oleh pihak yang lebih powerful dan berstatus sosial lebih tinggi. Di bidang ketenagakerjaan, perempuan yang umumnya bekerja di sektor informal tidak memperoleh perlindungan hukum dan sosial, sehingga rentan terhadap berbagai pelanggaran hak. Sementara itu, sistem hukum dan keadilan yang masih bias gender dan belum dapat memberikan keadilan pada perempuan ini telah memperlemah posisi tawar perempuan desa. Disamping itu, sistem hukum non negara yang ada di desa kerapkali mengutamakan harmoni di lingkup keluarga dan masyarakat desa sehingga mengorbankan hak dan kepentingan perempuan yang mengalami kasus hukum. Akibatnya berbagai kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan perkosaan, pelecehan seksual di tempat kerja, trafficking, dan praktek perceraian non legal sering dialami perempuan, sementara akses perempuan terhadap keadilan saat mengalami berbagai kasus hukum tersebut sangat lemah.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

3

Bagian 1. Pendahuluan

1.2. Pemberdayaan Hukum Bagi Perempuan: Suatu Solusi “Effective access to justice is central to the agenda of legal empowerment of the poor.” Fazle Hasan Abed5

Pemberdayaan hukum telah terbukti dapat memperkuat akses penduduk miskin terhadap keadilan. Respon internasional terhadap arti penting pemberdayaan hukum bagi penduduk miskin, terutama untuk mendukung upaya pengentasan kemiskinan, terlihat dari dibentuknya Komisi Pemberdayaan Hukum bagi Penduduk Miskin (Commission on Legal Empowerment of the Poor) sebagai komisi afiliasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Komisi ini hadir sebagai jawaban atas tantangan pembangunan yang tidak hanya ingin meningkatkan taraf kehidupan penduduk miskin, tetapi juga membuat mereka semakin mandiri. Sebagaimana yang dikemukakan Albright (2006), “Many of the people without legal rights derive only temporary benefits from conventional anti-poverty effort.” Namun akses perempuan terhadap keadilan sangat terkait dengan kekhususan isu dan persoalan yang dihadapi oleh perempuan, sehingga membutuhkan pendekatan-pendekatan yang bersifat holistik, di luar pendekatan pemberdayaan hukum yang umum. Walau demikian, akses perempuan terhadap keadilan merupakan bagian dari kerangka besar akses masyarakat terhadap keadilan, sehingga prasyarat pemenuhannya juga membutuhkan penguatan pilar-pilar penegakan hukum (law enforcement) yang sama, yaitu mencakup substansi hukum, institusi penegak hukum dan budaya hukum masyarakat. Penguatan pilar-pilar ini membutuhkan pendekatan dua arah baik dari sisi supply (sisi penyedia hukum) maupun demand (sisi pemanfaat/subyek hukum), dan menjangkau baik sistem hukum negara maupun non negara. Sebagaimana dikemukakan Jahan (2007), pendekatan yang integratif, mencakup sistem hukum negara dan non negara, diperlukan untuk memastikan adanya akses penduduk miskin terhadap keadilan. Program Pemberdayaan Hukum Perempuan (Women’s Legal Empowerment/WLE) yang dilaksanakan oleh PEKKA, bekerja sama dengan Justice for the Poor, Bank Dunia, merupakan suatu pembelajaran tentang upaya pemberdayaan hukum bagi perempuan desa.6 Program ini bertujuan untuk melakukan pemberdayaan hukum bagi perempuan miskin di desa melalui pendekatan dua arah tersebut di atas, yaitu dengan meningkatkan pemahaman perempuan desa atas hak-hak mereka, khususnya terkait dengan hak ekonomi, serta memperkuat kapasitas aparat hukum untuk dapat merespon kebutuhan hukum para perempuan di desa. Tingkat keberdayaan seorang perempuan sangat dipengaruhi oleh kerjasama antara faktor agency, yakni kemampuan atau kapasitas seorang perempuan untuk melakukan pilihan karena kesadaran hukum yang dimiliki, dan faktor opportunity structure, yakni lembaga negara dan non negara serta perangkat kebijakan yang ada yang dapat membantu perempuan dalam mewujudkan pilihan-pilihannya dan dalam mengakses berbagai sumberdaya dan keadilan. Deskripsi lebih jelas tentang program WLE dapat dilihat dalam box di bawah.

4

5

ibid, hal. 70.

6

Penjelasan lebih lengkap tentang program dapat dilihat dalam www.justiceforthepoor.or.id.

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 1. Pendahuluan

Box 1. WLE: Sebuah model penguatan akses perempuan desa terhadap keadilan Tujuan. Program WLE bertujuan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap keadilan. Secara khusus program ini bertujuan untuk: 1) meningkatkan kesadaran hukum perempuan, 2) penguatan kapasitas penegak hukum dan lembaga lokal terkait yang berkedudukan di tingkat kabupaten/propinsi, serta 3) meningkatkan advokasi kebijakan yang berkeadilan gender. Strategi. WLE diselenggarakan dengan strategi, pertama, bekerjasama dengan organisasi perempuan yang telah melakukan program pemberdayaan ekonomi untuk kelompok perempuan. Kedua, merekrut Kader Hukum (paralegal) perempuan di tingkat desa untuk melakukan fungsi penyadaran hukum, merujuk kasus dan melakukan pendokumentasian kasus. Ketiga, membentuk Multi-stakeholders Forum (MSF) yang beranggotakan aparat penegak hukum, aparat pemerintah (terutama dari Pemda dan Dinas Tenaga Kerja), LSM atau LBH, serta akademisi yang terkait di tingkat kabupaten/propinsi yang berfungsi untuk membantu meresponi kasus yang dialami perempuan di desa, mendukung penyadaran hukum di desa (melalui berbagai kunjugan MSF ke desa) dan melakukan dialog kebijakan berkaitan dengan kasus-kasus perempuan desa yang ditemui. Implementasi. Selama dua tahun (2005-2007), uji coba program dilaksanakan bekerjasama dengan PEKKA, organisasi Perempuan Kepala Keluarga di tiga wilayah kerjanya, yaitu Kabupaten Cianjur – Jawa Barat, Kabupaten Brebes – Jawa Tengah dan Provinsi NTB (Lombok). Kegiatan WLE pada intinya merupakan pelatihan hak-hak hukum perempuan di tingkat desa yang dilakukan utamanya oleh Kader Hukum, dengan dukungan dari Pendamping Lapangan (PL) PEKKA dan anggota MSF. Kegiatan di tingkat desa. Melalui WLE, Kader Hukum yang bekerja di tingkat desa dan PL PEKKA yang bekerja di tingkat kecamatan melakukan berbagai peran untuk memperkuat akses perempuan desa terhadap keadilan dengan cara memperkuat ‘demand.’ Pertama, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran hukum perempuan melalui penyuluhan hukum, terutama terkait dengan hukum keluarga (persoalan kawin-cerai) dan KDRT. Kedua, memberikan bantuan hukum, seperti merujuk kasus ke lembaga hukum negara, mendampingi perempuan dalam penyelesaian kasus dan memberikan konsultasi hukum. Ketiga, membantu proses advokasi kebijakan bagi perempuan desa yang membutuhkan pelayanan hukum. Kegiatan di tingkat Propinsi/Kabupaten. Di samping itu, dari sisi ‘supply,’ MSF secara aktif memberikan dukungan dalam penyadaran hukum dan penanganan kasus. Dalam kegiatan kunjungan MSF ke desa, mereka diharapkan memberikan berbagai informasi hukum terutama yang berhubungan dengan kasus yang dialami perempuan di desa. Anggota MSF juga diharapkan turut membangun jaringan dan dukungan untuk membantu penanganan kasus yang dialami oleh perempuan di desa. Selain itu, bagi anggota MSF yang memiliki kapasitas dan otoritas untuk membantu penyelesaian kasus seperti penegak hukum dan dinas ketenagakerjaan di tingkat pemda, dalam beberapa kasus, mereka diharapkan memberikan bantuan penyelesaian kasus secara lebih kongkrit.

1.3. Fokus Studi Kasus Akses Perempuan terhadap Keadilan Dengan latar belakang ini, maka pertanyaan dasar yang ingin dijawab melalui studi kasus ini adalah bagaimana perempuan desa pencari keadilan, atau yang disebut penyintas, dapat mengakses keadilan saat menghadapi kasus hukum. Akses terhadap keadilan itu sendiri didefinisikan sebagai ‘kemampuan rakyat, terutama dari kelompok-kelompok miskin dan kelompok yang kurang beruntung, untuk mencari dan memperoleh pemulihan hak melalui sistem peradilan formal dan informal, sesuai dengan prinsip dan standar hak-hak asasi manusia.’7 Mempelajari pengalaman perempuan desa mengakses keadilan saat mengalami kasus hukum menjadi sangat relevan karena adanya keterkaitan erat antara kemampuan mereka untuk mengakses keadilan dengan terhindarnya mereka dari berbagai kerugian dan dampak ekonomi. Dengan demikian, akses terhadap keadilan sangat terkait dengan isu pengentasan kemiskinan dan peningkatan taraf kehidupan perempuan desa sebagai penduduk miskin. Tapi lebih dari itu, Sen (1995:266) menegaskan bahwa akses terhadap keadilan secara umum juga mengandung pengertian adanya “kebebasan untuk mencapai sesuatu” dan secara khusus “kemampuan

7

UNDP Access to Justice Practice Note [Catatan Praktek Akses terhadap Keadilan], 9 Maret 2004. Sementara lebih spesifik Bedner (2004) dalam Towards Meaningful Rule of Law Research: An Elementary Approach’, MS Unpublished, VVI, Leiden, mendefinisikannya sebagai “Access by people, in particular from poor and disadvantaged groups to fair, effective and accountable mechanisms for the protection of rights, control of abuse of power and resolution of conflict. This access includes the ability of people to seek and obtain a remedy through formal and informal justice systems, and the ability to seek and exercise influence on law-making and law-implementing processes and institutions.’

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

5

Bagian 1. Pendahuluan

untuk berfungsi.” Dengan demikian akses terhadap keadilan tidak semata diartikan sebagai akses terhadap penyelesaian kasus, namun juga terkait dengan hak dan kemampuan seseorang untuk menentukan hidup dan masa depannya, yaitu hak asasinya sebagai manusia. Sehingga pemahaman tentang bagaimana saat ini perempuan miskin di desa mengakses keadilan juga diperlukan untuk melihat keberadaan yang sesungguhnya dari perempuan desa sebagai subyek pembangunan. Studi-studi yang ada umumnya masih melihat akses penduduk miskin secara umum terhadap keadilan. Masih sangat terbatas studi yang secara khusus memfokuskan kepada perempuan sebagai kelompok yang paling rentan dalam kategori penduduk miskin sebagai pencari keadilan (lihat antara lain UNDP, 2007, World Bank, 2004, 2006 & 2008, Asia Foundation, 2001). Sementara itu, berbagai studi kasus yang dilaporkan oleh berbagai LSM perempuan atau lembaga bantuan hukum (LBH) lokal umumnya mengambil kasus-kasus yang ditangani mereka secara langsung, yang umumnya adalah kasus-kasus perempuan di perkotaan (lihat antara lain Nursyahbani, 2002 & 2004). Untuk itu, Program Justice for the Poor dari Bank Dunia menggagas untuk melakukan studi kasus mengenai akses perempuan ke keadilan, sebagai upaya untuk melengkapi studi-studi kasus yang ada terkait dengan akses perempuan terhadap keadilan. Studi ini secara khusus memberi perhatian kepada perempuan desa yang notabene adalah penduduk miskin dengan mempelajari bagaimana mereka mengakses keadilan di tingkat desa, baik pada desa-desa yang telah menerima manfaat dari keberadaan program pemberdayaan hukum bagi perempuan (program WLE dari Bank Dunia) atau desa-desa yang tidak menerima manfaat tersebut. Studi kasus ini diarahkan untuk dapat memberikan sumbangan strategi yang integratif dan holistik terhadap upaya penguatan akses perempuan desa terhadap keadilan, berdasarkan pembelajaran serta pemetaan peluang-peluang yang ada dari best practice yang diperoleh. Dengan demikian, secara umum studi kasus ini bertujuan untuk mendapatkan bahan pembelajaran (lessons learned) dan contoh-contoh yang baik (best practices) dari pengalaman perempuan desa mengakses keadilan, baik melalui sistem hukum negara di luar desa maupun sistem hukum non negara di tingkat desa.8 Secara khusus, studi ini bertujuan untuk: 1. Menelaah pengalaman perempuan desa dalam mengakses keadilan baik melalui mekanisme hukum negara maupun non negara; 2. Mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dan peran mereka dalam mendukung upaya perempuan desa mengakses keadilan; 3. Menelaah aksesibilitas dan efektivitas sistem hukum yang ada, baik negara maupun non negara, dalam menangani kasus diksriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kasus yang terkait dengan keluarga; 4. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat penanganan kasus dikriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kasus yang terkait dengan hukum keluarga;

1.4. Metodologi Pendekatan dan batasan Pendekatan yang dipakai dalam studi kasus ini adalah pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan ini, studi kasus tidak hanya mengkaji bagaimana kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan,

8

6

Dalam studi ini digunakan istilah sistem hukum negara dan non negara, dan bukan sistem hukum formal dan informal, dengan tujuan untuk menghindari kerancuan dari definisi formal dan informal itu sendiri. Seringkali sistem hukum adat yang ada di desa juga sangat bersifat formal, dengan aturan-aturan, mekanisme dan prosedur yang jelas, dan bahkan tertulis, sehingga kurang tepat jika disebut “informal.” Dalam beberapa studi lain, termasuk studi-studi Bank Dunia terdahulu (2004 & 2006) digunakan istilah sistem hukum formal (untuk sistem hukum negara) dan informal (untuk sistem hukum non negara) .

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 1. Pendahuluan

tetapi juga kasus yang terkait dengan hukum keluarga yang dialami oleh perempuan, diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum negara maupun non negara. Kasus-kasus yang diperoleh juga dikaji dengan menggunakan pendekatan berbasis hak dalam pembangunan (AWID, 2002) dan konsep pemberdayaan serta kesadaran hukum perempuan. Sumber data dan informasi untuk menarik pembelajaran dan best practice dari pengalaman perempuan desa mengakses keadilan diperoleh melalui: 1. Studi dokumen. Terutama atas berbagai peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah terkait dengan akses perempuan terhadap keadilan, maupun berbagai dokumen dan materi terkait dengan kasus hukum, seperti putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, tulisan media dan beberapa dokumen relevan lainnya. 2. Studi lapangan a. Observasi lapangan. b. Wawancara mendalam (in-depth interview). Dilakukan terhadap 29 responden,9 yaitu perempuan yang mengalami kasus hukum (subyek hukum) dan 153 informan yang terkait dengan kasus hukum perempuan tersebut, termasuk keluarga, saksi, aparat desa, aparat hukum dan masyarakat umum. c. Wawancara. Dilakukan dengan lembaga pemerintah, akademisi, LSM, dan lembaga donor di tingkat nasional. Kasus-kasus hukum perempuan yang diangkat dalam studi ini mencakup kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam lingkup hukum pidana maupun perdata, serta kasus dalam lingkup hukum keluarga. Sementara itu, dalam studi ini yang didefinisikan sebagai kasus hukum adalah apabila perempuan yang memiliki kasus hukum telah berupaya mengakses pihak ketiga dalam mencari keadilan. Studi kasus ini tidak bermaksud mengukur keberhasilan penanganan kasus, sehingga dengan sendirinya tidak memiliki ukuran atau indikator keberhasilan penanganan kasus. Namun studi kasus ini, dengan cara deskriptif-eksploratif, menggambarkan pengalaman perempuan desa dalam mengakses keadilan di tengah kondisi yang tidak berpihak dan diskriminatif, dengan atau tanpa fasilitasi serta bantuan dari pihak-pihak lain.

Pemilihan lokasi studi Studi kasus dilakukan di tiga lokasi pelaksanaan program WLE, yaitu Cianjur-Jawa Barat (Kecamatan Pacet dan Kecamatan Cipanas), Brebes-Jawa Tengah (Kecamatan Larangan) dan Lombok-NTB, yaitu di Kabupaten Lombok Barat (Kecamatan Gerung dan Lingsar) dan Kabupaten Lombok Tengah (Kecamatan Jonggat). Studi kasus ini secara khusus ingin menarik pembelajaran dan best practice dari kasus-kasus hukum yang terjadi di lokasi-lokasi pelaksanaan program WLE, terutama yang terjadi selama masa pelaksanaan program, yaitu sejak Maret 2005 hingga April 2007.10

9

Jumlah responden (29 perempuan) berbeda dengan jumlah kasus (28 kasus) karena ada satu kasus hukum yang dialami oleh dua orang perempuan sekaligus.

10 Beberapa kasus terjadi sebelum pelaksanaan program WLE, namun masih berkisar di kurun waktu pelaksanaan WLE.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

7

Bagian 1. Pendahuluan

Box 2. Konteks lokal wilayah program WLE Kecamatan Pacet dan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat Kecamatan Pacet memiliki luas wilayah sekitar 9.282 Ha dan berada pada ketinggian 500-1000 m di atas permukaan laut, dengan kondisi wilayah yang dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan. Akses informasi dan transportasi di wilayah ini sangat mudah, karena letaknya yang sangat strategis pada jalur Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur). Potensi sumber daya alam yang kaya telah menjadikan sektor pertanian dan pariwisata sebagai aset utama pendapatan daerah. Namun sebagai dampaknya biaya hidup di kecamatan ini lebih tinggi dibanding kecamatan lainnya di Kabupaten Cianjur, demikian pula pola hidup masyarakat jadi cenderung konsumtif. Jumlah penduduk di wilayah ini adalah 169.731 jiwa terdiri dari 86.923 laki-laki dan 82.808 perempuan. Penduduk asli, yang adalah etnis Sunda, mayoritas beragama Islam yang cukup agamis, terlihat dari kegiatan dominan yang dilakukan penduduk adalah pengajian. Masih banyak perkawinan dan perceraian yang hanya dilakukan dengan fasilitasi penghulu desa (Amil). Tingkat perekonomian masyarakat juga tergolong baik, bahwa di beberapa desa, tidak ada lagi penduduk yang masuk dalam kategori miskin (Data BKKBN dan Depkes). Namun, sebagian besar pendudukan tidak lagi memiliki tanah persawahan, sehingga umumnya bekerja sebagai buruh tani atau pada pabrik-pabrik industri yang ada di sekitarnya. Banyak perempuan yang bekerja memelihara taman atau kebun di perkebunan, perumahan bahkan tempat-tempat wisata dengan upah Rp. 3000 per setengah hari. Ada juga yang bekerja berdagang dengan penghasilan per bulan sekitar Rp. 200.000- Rp. 500.000, atau sebagai pemetik teh di perkebunan dengan upah per bulan sebesar Rp. 300.000 – Rp. 600.000. Namun, tidak sedikit juga penduduk desa yang bekerja sebagai di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga atau sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Kecamatan Larangan, dengan jumlah penduduk sekitar 141.455 jiwa, memiliki luas wilayah sekitar 16.468 Ha dan kurang lebih 42% adalah lahan sawah yang hampir seluruhnya ditanami bawang merah, yang merupakan komoditi andalan Kabupaten Brebes. Pada tahun 2003, sekitar 400.000 kwintal (24%) produksi bawang merah di Kabupaten Brebes merupakan sumbangan dari Kecamatan Larangan. Dengan potensi tersebut, mata pencaharian utama penduduk adalah petani (30.718 orang), buruh tani (31.574 orang), dan pedagang (7.834). Dalam proses penggarapan lahan untuk tanaman bawang buruh tani perempuan hampir mendominasi dari proses tanam, perawatan, panen hingga pasca panen, sampai bawang siap dijual. Sementara laki-laki hanya menyiapkan lahan, mengatur air dan mencari tengkulak untuk menjual bawang dan menguasai hasil penjualan. Selain bekerja sebagai buruh tani, umumnya perempuan bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga di luar desanya atau sebagai TKW di luar negeri. Di kecamatan ini, 4.591 perempuan terpaksa menjadi kepala keluarga karena berstatus sebagai janda. Berbeda dengan beberapa kecamatan lainnya yang masyarakatnya lebih bersifat religius, di wilayah ini masyarakatnya dapat dikatakan cenderung abangan dan lebih terbuka, mungkin disebabkan karena banyak penduduk asli yang menikah dengan pendatang. Penduduk juga cenderung menggemari berbagai bentuk hiburan seperti wayang, sinden dan jogetan, judi, bahkan hingga kebiasaan ’bermain’ perempuan. Banyak juga bermunculan biduan-biduan cilik yang akhirnya berprofesi menjadi penyanyi tarling dangdut. Sementara itu, bagi sebagian besar masyarakat Larangan menikah muda adalah hal biasa dan alasan utama orang tua menikahkan anak perempuan mereka adalah untuk perubahan status dan peningkatan ekonomi. Banyak perceraian terjadi saat alasan ini tidak tercapai. Pada sejumlah kasus perceraian, penghulu di desa (Lebe) adalah pihak pertama yang akan ditemui. Kecamatan Gerung dan Lingsar (Lombok Barat) dan Kecamatan Jonggat (Lombok Tengah), NTB Kecamatan Gerung dan Lingsar terletak di Kabupaten Lombok Barat. Di wilayah ini, sebagian besar lahannya tergolong daerah kering sehingga pertanian memakai sistem tadah hujan dan banyak masyarakat yang menanam kacang, jagung dan tembakau. Umumnya penduduk bekerja di sektor pertanian dan sisanya di sektor perdagangan. Sementara Kecamatan Jonggat terletak di Kabupaten Lombok Tengah dan sebagian besar lahan di daerah ini adalah sawah dan ladang. Berbeda dengan dua kecamatan di Lombok Barat, di Kecamatan Jonggat, selain bertani, cukup banyak penduduk yang bekerja sebagai buruh migran ke luar negeri. Di beberapa desa, sebagian besar penduduk laki-laki bahkan bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia, hingga banyak istri-istri yang dijuluki “jamal” atau janda Malaysia (istilah bagi istri yang ditinggal suami kerja ke luar negeri). Budaya dan adat kebiasaan masyarakat di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah sangat berbeda. Sebagian besar masyarakat di Lombok Tengah tergolong kelompok bangsawan sedangkan di Lombok Barat lebih banyak tercampur dengan pendatang, walau secara umum penduduk di kedua kabupaten ini adalah suku Sasak. Masyarakat di setiap desa umumnya memiliki aturan-aturan kemasyarakatan yang disebut ”awiq-awiq” desa, yang berfungsi mengatur peran dan fungsi institusi/krama adat, kehidupan sosial kemasyarakatan, dan sanksi terhadap pelanggaran aturan adat yang telah ditetapkan. ”Awiq-awiq” yang dibuat sifatnya mengikat seluruh warga masyarakat setempat sehingga sebagian masalah yang timbul di desa diupayakan penyelesaiannya melalui aturan adat terlebih dulu, dan jika tidak berhasil barulah masalah tersebut diangkat ke pihak institusi hukum negara. Selain ”awiq-awiq,” dalam masyarakat Lombok yang mayoritas beragama Islam, Tuan Guru (tokoh agama) memiliki peran sentral dalam penegakan aturan yang ada di masyarakat. Masyarakat sangat mendengar apa pun yang dikatakan oleh Tuan Guru. Kentalnya pengaruh budaya dan agama di Lombok terlihat dari masih banyaknya perkawinan dan perceraian yang dilakukan berdasarkan aturan budaya dan agama Islam, tanpa mencatatkannya secara legal di KUA atau Pengadilan Agama.

8

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 1. Pendahuluan

Guna memperoleh cakupan pembelajaran dan best practice yang lebih kaya tentang bagaimana perempuan desa mengakses keadilan, maka lokasi studi dikelompokkan lagi kedalam sub-wilayah: (1) Wilayah WLE, yaitu daerah-daerah yang menjadi wilayah kerja program WLE; (2) Wilayah kontrol WLE, yaitu wilayah kerja organisasi PEKKA yang tidak menerima program WLE, tapi hanya menerima program pemberdayaan ekonomi dan program lain di luar WLE; dan (3) Wilayah non PEKKA, yaitu wilayah yang bukan menjadi wilayah kerja PEKKA. Namun karena wilayah kontrol WLE hanya ada untuk lokasi pelaksanaan WLE di Cianjur (yaitu wilayah Sukabumi) dan Brebes (yaitu wilayah Pemalang), maka hanya kedua lokasi ini saja yang dikelompokkan ke dalam tiga sub-wilayah di atas. Lokasi Lombok hanya dikelompokkan menjadi dua sub-wilayah, yaitu wilayah WLE dan wilayah Non PEKKA.

Metode Pemilihan Kasus Dari masing-masing lokasi studi, kasus-kasus hukum perempuan dipilih secara purposive. Kasus-kasus yang dipilih, pertama adalah kasus-kasus yang difasilitasi oleh para pelaku program WLE, yaitu Kader Hukum dan PL PEKKA (terutama pada wilayah WLE). Kedua adalah kasus-kasus yang ditangani dan diketahui oleh para anggota MSF di masing-masing lokasi. Ketiga adalah kasus-kasus yang diperoleh dari lembaga penegak hukum setempat, yaitu Kantor KePolisian, termasuk unit RPK/UPPA11, dan Pengadilan Agama. Keempat adalah kasus-kasus yang diperoleh dari aparat desa setempat. Oleh karena itu, sebagian besar kasus yang diangkat dalam studi ini adalah kasus yang ditangani oleh sistem hukum negara, karena difasilitasi oleh pelaku program WLE atau ditangani oleh aparat penegak hukum. Walaupun umumnya kasus terjadi di tingkat desa, beberapa kasus TKW dan trafficking terjadi di luar negeri saat responden bekerja sebagai TKW (saat studi responden sudah kembali ke desa). Namun kasus-kasus tersebut dipilih karena adanya berbagai bantuan dan dukungan dari berbagai pihak di tingkat desa dalam penyelesaian kasus hukum. Berdasarkan metode pemilihan kasus di atas, maka terpilih dua puluh delapan kasus hukum yang dialami perempuan, terkait dengan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam lingkup hukum pidana maupun perdata, serta kasus yang terkait hukum keluarga, seperti masalah kawin-cerai dan warisan. 12 Disadari bahwa seringkali perempuan mengalami beberapa kasus sekaligus atau kasus yang berlapis, misalnya KDRT dan perceraian, namun penghitungan jumlah kasus dalam studi ini didasarkan pada kasus terakhir yang dialami perempuan dan dibawa kepada institusi penyelesaian kasus hukum yang ada. Hanya ada satu kasus perkosaan anak yang dialami oleh dua perempuan (subyek hukum) sekaligus. Diperoleh sembilan belas kasus dari wilayah WLE, dua kasus dari wilayah kontrol WLE dan tujuh kasus sisanya dari wilayah non PEKKA.

Tipologi Kasus Tipologi kasus hukum yang diangkat dalam studi ini dapat dilihat dalam tabel di bawah. Tipologi kasus ini ditentukan berdasarkan kasus terakhir yang dialami oleh responden dan diupayakan penyelesaiannya melalui institusi penyelesaian kasus hukum yang ada.

11 Pada saat laporan ini disusun, RPK berdasarkan Peraturan Kepala KePolisian RI No. 10/2007 diganti menjadi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA). Perubahan ini menegaskan struktur unit ini dalam organisasi kePolisian yang berimplikasi pada dukungan kerja dan pendanaan yang lebih terarah. Perubahan struktur ini terjadi atas desakan beberapa organisasi perempuan yang melakukan advokasi kasus kekerasan terhadap perempuan. 12 Awalnya diperoleh 30 kasus, namun pada akhirnya 2 kasus dari wilayah kontrol WLE di Jawa Tengah, yaitu Pemalang, tidak dipakai dalam studi dengan alasan tidak memenuhi kriteria kasus yang ditentukan dalam studi ini. Satu kasus telah terjadi sangat lama dan kasus lainnya belum dapat didefinisikan sebagai “kasus hukum” karena perempuan pencari keadilan belum meminta pertolongan dari pihak ketiga untuk penyelesaian sengketanya. Dengan demikian, tidak ada kasus yang diperoleh dari wilayah kontrol WLE di Pemalang, Jawa Tengah.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

9

Bagian 1. Pendahuluan

Tabel 1. Kasus terpilih berdasarkan tipologi kasus Jenis Kasus

Jumlah

Kekerasan seksual (incest dan perkosaan)

9 kasus

Perceraian legal

8 kasus

Perceraian non legal (bawah tangan)

3 kasus

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

1 kasus

Diskriminasi perburuhan

1 kasus

Trafficking/TKW (termasuk KDRT dan penipuan gaji)

3 kasus

Kejahatan perkawinan

2 kasus

Warisan

1 kasus TOTAL

28 kasus

Gambaran yang lebih lengkap tentang masing-masing kasus, yaitu berdasarkan wilayah, karakteristik perempuan pencari keadilan (penyintas) dan pihak pelaku/lawan dalam kasus hukum, kronologi kasus, hasil penyelesaian kasus serta pihak-pihak yang terlibat (pihak yang membantu terbongkarnya kasus hingga melaporkan kasus ke sistem hukum negara maupun pihak yang mendampingi penyintas selama proses penyelesaian kasus), dapat dilihat pada Tabel 2a, 2b dan 2c tentang deskripsi kasus berikut ini.

10

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Buruh Usia: 42 tahun (Anggota PEKKA)

Anak perempuan Usia 11 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Guru SD Usia: 43 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Wilayah WLE)

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Wilayah WLE)

Anak Usia: 15 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Wilayah WLE)

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Wilayah WLE)

Penyintas (Perempuan Pencari Keadilan)

Lokasi

Disnaker (anggota PL PEKKA MSF Cianjur)

Polisi desa Kepala dusun Tetangga Bidan desa

Diskriminasi perburuhan Penyintas adalah janda dengan tujuh anak yang bekerja pada sebuah pabrik sejak 1998. Status penyintas adalah buruh tak tetap yang kontraknya setiap tahun diperbaharui. Tahun 2006, perusahaan tak lagi memanggil penyintas tanpa alasan. Penyintas hadir mengungkapkan persoalannya dalam pertemuan MSF. Disnaker Cianjur yang juga hadir dalam pertemuan MSF segera menindaklanjuti kasus dengan mengontak perusahaan. Setelah dua kali menghubungi pihak perusahaan, akhirnya perusahaan kembali memanggil penyintas bekerja. Hasil Penyintas dapat bekerja kembali, namun perusahaan memperlakukannya seperti buruh baru, tidak mendapat pesangon Lebaran. Perkosaan Penyintas diperkosa oleh tetangga sampai lima kali. Perkosaan terungkap berdasarkan kesaksian teman penyintas. Tetangga dan kepala dusun membawa penyintas ke bidan desa. Bidan desa melaporkan kasus ke Kader Hukum PEKKA, yang kemudian melaporkan kasus ke Polisi dan mendampingi penyintas selama penyidikan. Pelaku dibawa ke Polisi oleh Kepala Dusun dan Babinmas Polsek, di sana ia mengakui perbuatannya. Sementara itu, penyintas didampingi oleh aparat Polsek dan Kader Hukum menjalani visum. Baik kePolisian, kejaksaan dan pengadilan memberikan respon positif. Kepala dusun mengaku sempat melakukan mediasi, namun tidak berhasil. Hasil Sidang berlangsung singkat dan majelis hakim menghukum pelaku 14 tahun penjara dan denda Rp. 60 juta subsider 4 bulan penjara. Perceraian legal Suami penyintas beberapa kali menikah lagi dengan perempuan lain tanpa sepengetuhan penyintas, sehingga menyulut pertengkaran. Penyintas mengadu pada teman kerjanya yang memperkenalkan penyintas pada adiknya, Kader Hukum PEKKA, yang kemudian memberikan informasi hukum yang diperlukan dan kemudian memfasilitasi proses perceraian secara legal. Dengan dukungan kepala sekolah, proses perceraian dilakukan dengan mengurus izin cerai dari bupati Cianjur melalui Badan Kepegawaian Daerah. Sidang pertama dilakukan pada 9 Agustus dan pada 16 Oktober surat izin dari Bupati diperoleh. Hasil 16 November 2006, Pengadilan Agama Negeri Cianjur memutuskan bahwa penyintas dan suami resmi bercerai.

Manajemen pabrik

Tetangga Usia: 41 tahun Pekerjaan: buruh tani

Suami Usia: 46 tahun Pekerjaan: supir angkot

Kepala sekolah

Bidan desa Polisi desa Ketua RT

Kader Hukum

Kader Hukum

Kader Hukum

Mendampingi

Perkosaan Penyintas diperkosa ayahnya pada bulan Februari, Maret dan April 2006. Ketika tetangga mengetahui, mereka ingin menghakimi pelaku, tapi ketua RT dan pemuka agama mengamankan pelaku ke kantor desa. Kader Hukum PEKKA datang dan mengontak kePolisian serta membawa penyintas ke bidan desa, sementara itu pelaku dibawa ke Polsek. Kasus langsung ditangani oleh kePolisian yang memberikan respon positif begitu pula jaksa dan hakim. Keluarga pelaku sempat mengancam penyintas dalam masa persidangan. Kader Hukum mengupayakan pendampingan terhadap penyintas di persidangan, namun upaya ini tidak berhasil karena hakim tidak mengizinkan. Hasil Setelah 17 kali sidang, pelaku dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp. 60 juta subsider 4 bulan penjara.

Membantu Ayah Usia: 37 tahun Pekerjaan: Buruh tani & tukang ojek

Pihak Terlibat*

Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus

CIANJUR – JAWA BARAT Pelaku/ Lawan

Tabel 2a. Deskripsi kasus di Cianjur

Bagian 1. Pendahuluan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

11

12 Kakak, Amil

Keluarga, Amil

Pihak sekolah Orang tua

Perceraian bawah tangan Penyintas telah enam kali menikah dan tiap kali dinikahkan oleh ayahnya yang adalah seorang ulama (ajengan). Hanya pernikahan terakhir yang dicatatkan ke KUA, sehingga hak-hak penyintas dari lima perkawinan sebelumnya tidak terlindungi, antara lain anak tidak memilki akta lahir. Walaupun nikah tercatat, namun perceraian dengan suami keenam hanya dilakukan dengan mediasi penghulu desa (Amil). Alhasil, walau suami membuat surat pernyataan pembagian harta bersama, penyintas tidak memperoleh bagian harta bersama sebagai jerih payahnya bekerja. Hasil Penyintas bercerai secara bawah tangan dihadapan Amil, tanpa memperoleh pembagian harta gono gini.

Perceraian Setelah 14 tahun menikah dan dikaruniai seorang anak, penyintas menuntut cerai dari suaminya karena suami tidak memberi nafkah dan justru menghabiskan uang kiriman penyintas selama 2 tahun bekerja di Arab Saudi. Namun suami tidak mau menceraikan penyintas walau telah dilakukan musyawarah keluarga. Penyintas meminta bantuan penghulu desa (Amil), yang kemudian meminta uang sebesar Rp. 750 ribu untuk mengurus perceraian ke PA. Lama menunggu, penyintas tidak juga dipanggil bersidang. Seorang pengacara yang ditemui di PA akhirnya turut membantu. Dalam sidang, suami menuntut uang “beli talak” sebesar Rp. 10 juta, bagian dari hasil kerja penyintas sebagai TKI dan bagian rumah yang diakuinya sebagai milik bersama, sehingga proses peradilan berjalan panjang. Total biaya yang dikeluarkan penyintas selama proses perceraian sebesar Rp. 8 juta, diperoleh dari kakak yang bekerja di Arab dan dari menggadaikan sawah keluarga. Hasil Putusan cerai dijatuhkan Hakim tanpa kehadiran suami. Hakim juga tidak mengabulkan tuntutan suami. Perkosaan Setelah berkenalan dengan pelaku, penyintas diajak pergi ke beberapa tempat di Cianjur, diperkosa di sebuah hotel dan dibawa kabur ke rumah orangtua pelaku di Jakarta selama 6 hari. Sepuluh hari setelah itu pelaku tertangkap saat sedang mengunjungi sekolah penyintas. Ibu penyintas, yang sedang menuju sekolah anaknya, mendengar pelaku menyebut nama anaknya dan segera melapor ke guru sekolah yang kemudian melaporkan pelaku ke Polsek Cianjur. Jaksa menuntut pelaku dihukum 6 tahun penjara sementara BAPAS turut memberi perlindungan terhadap pelaku karena masih usia anak. Dalam persidangan, ibu penyintas merasa Hakim tidak berpihak pada penyintas karena terus mempertanyakan mengapa penyintas terbujuk oleh pelaku. Walaupun nenek penyintas adalah anggota PEKKA, keluarga tidak mengakses bantuan Kader Hukum karena tidak mau kabar tersebut tersebar luas. Hasil Pelaku dihukum 4 tahun penjara. Pihak sekolah meminta penyintas untuk mengundurkan diri dari sekolah untuk kebaikan penyintas.

Suami Usia: 46 tahun Pekerjaan: buruh bangunan

Suami Usia: 39 tahun

Teman Usia: 17 tahun Pengamen

Istri (mantan TKW) Usia: 26 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Murid SMA Usia: 16 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Wilayah non PEKKA)

Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur (Wilayah WLE)

Membantu

Pengacara

Mendampingi

Pihak Terlibat*

Istri Usia: 39 tahun Pekerjaan: buruh pabrik (Anggota PEKKA)

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Wilayah WLE)

CIANJUR – JAWA BARAT Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus

Pelaku/ Lawan

Penyintas (Perempuan Pencari Keadilan)

Lokasi

Bagian 1. Pendahuluan

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Suami Usia: 50 tahun Pekerjaan: pegawai perusahaan pertanian

Suami Usia: 27 tahun Pekerjaan: Pemilik warung

Istri (ibu rumahtangga) Usia: 25 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi (Wilayah kontrol WLE)

Ketua RT, Media lokal & nasional

Perceraian bawah tangan Penyintas dan suaminya menikah di KUA Sukabumi pada 11 Juni 1998. Pada 17 Januari 2007, suami mentalak cerai penyintas, menuduh istrinya berselingkuh dengan tetangganya. Walau tuduhan tidak benar, penyintas hanya pasrah saat ditalak suaminya tidak tahu harus berbuat apa. Suami mengaku tidak mengerti bahwa perceraian bawah tangan itu belum resmi secara hukum, sementara Amil tidak menjelaskan prosedur resmi perceraian melalui PA. Amil membantu membuatkan surat keterangan cerai dan menahan surat kawin penyintas dan suami dengan alasan akan mengembalikannya apabila ternyata mereka rujuk kembali selama masa iddah. Hanya dalam 3 hari suami kembali menikahi penyintas dengan difasilitasi Amil kembali. Hasil Penyintas dicerai oleh suaminya disaksikan oleh Amil walau tuduhan suami tidak benar.

Amil Desa, Ketua RT

Bidan desa,

Tokoh Masyarakat (Tetangga, mantan ABRI),

Mendampingi

Pihak Terlibat*

Membantu

Poligami dan perceraian Amil desa Penyintas dicerai suaminya setelah ijin poligami yang diajukan pada 22 Mei 2000 ditolak oleh PA Cibadak. Alasan untuk poligami adalah karena istri tidak dapat memenuhi kebutuhan biologisnya, istri mengijinkan, dan sanggup berlaku adil. Melalui proses pengujian dipersidangan, pada 12 Juli 2000, PA Cibadak menolak permohonan tersebut, karena mendapati penyintas sehat, penghasilan suami tidak dapat mencukupi, dan penyintas mengelak telah memberi ijin suaminya. Kecewa dengan keputusan tersebut, seminggu kemudian suami langsung mengajukan permonan cerai ke PA Cibadak, dengan alasan istri tidak sanggup melayani kebutuhan suami. Penyintas tidak berusaha membela diri atas tuduhan tersebut. Hakim menyetujui permohonan cerai suami karena penyintas tidak berusaha membela diri, walaupun alasan yang sama tidak terbukti dalam persidangan sebelumnya untuk kasus permohonan poligami. Hasil Setelah 2 kali sidang, pada 18 September 2000 PA Cibadak meresmikan perceraian penyintas dan suaminya.

KDRT di Arab Saudi Penyintas bekerja ke Arab Saudi dan mengalami kekerasan, dipukul kepalanya oleh anak majikan, hingga pingsan dan dirawat di rumah sakit selama 2 bulan. Setelah sembuh ia langsung dipulangkan ke Indonesia dengan diberi 6 bulan gaji. Setelah sebulan di desa, penyintas kembali sakit, dirawat di rumah sakit selama 17 hari dan mengalami lumpuh sebelah badan. Bidan desa membantu mengakses asuransi kesehatan, namun orangtua penyintas tetap harus menggadai rumah untuk pengobatan. Seorang tetangga yang mantan ABRI membawa wartawan media cetak dan TV untuk meliput kasus penyintas, hingga pihak Disnaker, Pemda dan perusahaan PJTKI datang memberikan bantuan. Melalui proses pembuktian yang panjang, perusahaan PJTKI memberikan penggantian uang pengobatan penyintas sebesar Rp. 12 juta dalam empat tahap, yang tidak lain dari asuransi kesehatan. Sementara bantuan dari Pemda dan Disnaker yang diperoleh berjumlah sekitar Rp. 2 juta. Hasil Penyintas memperoleh total bantuan sebesar Rp. 14 juta untuk berobat dan sembuh setelah setahun berobat.

Majikan di Arab Saudi

PRT di Arab Saudi Usia: 16 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Istri (buruh tani) Usia: 38 tahun (Anggota PEKKA)

Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus

Pelaku/ Lawan

Penyintas (Perempuan Pencari Keadilan)

Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi (Wilayah kontrol WLE)

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Wilayah non PEKKA)

Lokasi

CIANJUR – JAWA BARAT

Bagian 1. Pendahuluan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

13

14

Penyintas (Perempuan Pencari Keadilan)

Penyanyi Usia: 16 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Istri (ibu rumah tangga) Usia: 16 tahun

PRT di Malaysia Usia: 19 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Lokasi

Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes (Wilayah WLE)

Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes (Wilayah WLE)

Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes (Wilayah WLE)

BREBES DAN PEMALANG – JAWA TENGAH Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia: Majikan perempuan di Malaysia

Suami Usia: 22 tahun Pekerjaan: Supir angkutan

PL PEKKA, Kader Hukum

Ibu Lurah, Tokoh Pemuda, Media, LSM Puspa-Tegal

KDRT dan penipuan gaji Selama bekerja di Malaysia sejak tahun 2003 hingga 13 Juni 2005, penyintas sering mengalami kekerasan fisik oleh majikan perempuannya. Penyintas sempat melapor ke agen di Malaysia, tetapi tetap disuruh bekerja. Saat kembali ke Indonesia, majikan hanya memberi 500 RM dan menyuruh penyintas menandatangani surat bahwa ia telah menerima seluruh gajinya. Di kampung, penyintas diperkenalkan dengan PL PEKKA, yang kemudian membantu melapor kasus ke Disnaker, Polsek Brebes dan LSM Puspa Tegal. Liputan media massa berhasil menginspirasi dukungan dari anggota DPRD dan mendorong PJTKI untuk bertanggungjawab mengurus kasus. Hasil Penyintas berhasil memperoleh 50% dari sekitar Rp. 24 juta total gajinya.

LSM Puspa Tegal, Media, Anggota DPRD Brebes

PL PEKKA

Kader Hukum

Mendampingi

Pihak Terlibat* Membantu

Perceraian bawah tangan Lebe Penyintas yang menikah dengan suaminya karena desakan orangtua pada 10 Juli 2005, ditinggal suami setelah 6 bulan menikah. Konflik terjadi karena suami sering pulang larut malam, mabok, memberikan nafkah harian yang semakin berkurang, bahkan pernah memukul penyintas. Setelah 9 bulan ditinggal suami, penyintas menuntut cerai. Lebe awalnya tidak mau memberi surat pengantar ke PA, karena melihat pasangan masih saling mencintai, tapi akhirnya meminta uang Rp. 400 ribu untuk memberikan surat pengantar. Untuk mengurus gugat cerai ke PA Brebes, ibu penyintas meminta bantuan Kader Hukum PEKKA, yang memfasilitasi sehingga proses persidangan berjalan cepat, dan penyintas tidak perlu mengeluarkan biaya untuk jasa dan transportasi Kader Hukum, sebagaimana biasanya hal tersebut biasanya dituntut oleh Lebe jika mengurus proses ke PA. Hasil Putusan cerai ditetapkan pada 13 November 2006 melalui 2 kali sidang tanpa dihadiri suami.

Pengusaha lokal Perkosaan Penyintas, penyanyi dangdut pemula, diajak temannya untuk bernyanyi, tapi ternyata dibawa ke cafe keturunan dan dipertemukan dengan pelaku, seorang pedagang keturunan Cina. Pelaku membawa penyintas ke Usia: 45 tahun hotel, diperkosa dan diberi uang Rp. 100 ribu. Paginya penyintas memberi tahu ayahnya, yang kemudian membawa penyintas diperiksa di puskesmas, lalu mencoba mencari pelaku dan akhirnya melaporkan kejadian ke Polres Brebes dan LBH Brebes. Pelaku ditangkap tapi menyangkal telah melakukan perkosaan dengan menuduh korban adalah pekerja seksual. Proses penyidikan sangat alot, BAP sempat diulang 2 kali. Persidangan berlangsung selama 6 bulan (13 kali sidang), diwarnai oleh demo penduduk desa karena menduga pelaku melakukan suap ke aparat. PL dan Kader Hukum PEKKA terlibat memfasilitasi perempuan desa melakukan demo di PN Brebes. Pasca kasus, masyarakat tetap mendukung penyintas dengan memberikan pekerjaan. Hasil Pelaku dihukum 4 tahun penjara dengan dakwaan melakukan pencabulan terhadap anak dibawah umur (Pasal 293 KUHP). Penyintas dan keluarganya menganggap hukuman terlalu ringan.

Pelaku/ Lawan

Tabel 2b. Deskripsi kasus di Brebes

Bagian 1. Pendahuluan

Suami Usia: Pekerjaan:

Suami (Almarhum) Usia: Pekerjaan: pensiunan Polisi

Istri Usia: 40 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Istri (guru PNS) Usia: 45 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes (Wilayah WLE)

Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes (Wilayah Non PEKKA)

Majikan di Malaysia

Suami Usia: 55 tahun Pekerjaan: penjual nasi goreng

PRT di Malaysia Usia: 40 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Istri (petani dan pedagang bawang) Usia: 50 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes (Wilayah WLE)

Pelaku/ Lawan

Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes (Wilayah WLE)

Penyintas (Perempuan Pencari Keadilan)

Lokasi

BREBES DAN PEMALANG – JAWA TENGAH

Lebe

RPK

Perceraian dan Kejahatan Perkawinan Setelah 18 tahun menikah, baik penyintas maupun suami, saling berselingkuh. Suami menikah lagi dengan istri keduanya secara bawah tangan pada 2003. Suami mengajukan talak cerai atas penyintas ke PA Brebes pada Desember 2005, sementara penyintas melaporkan suaminya ke Polisi pada 23 Januari 2006 dengan tuduhan “penipuan harta dan nikah di luar ijin istri.” Permohonan cerai suami disetujui oleh PA Brebes. Sementara laporan penyintas masih dalam proses di kePolisian karena saksi nikah bawah tangan suami tidak dapat ditemukan dan kasus penipuan tidak bisa diproses karena saat itu penyintas masih dalam ikatan perkawinan, sehingga seluruhnya harta adalah harta bersama. Saat ini suami sudah meninggal. Hasil Kasus pidana tak dapat dilanjutkan, karena saksi perkawinan bawah tangan tidak dapat diperoleh.

Aktivis desa (tetangga)

PL PEKKA

Kader Hukum

Kader Hukum

PL PEKKA, Kader Hukum PEKKA

Mendampingi

Pihak Terlibat* Membantu

Perceraian Sejak menikah pada 5 Juli 2000 di KUA, sering terjadi konflik antara penyintas dan suami. Akhirnya mereka sepakat ingin bercerai pada 14 Mei 2003, namun tertunda karena suami pergi bekerja ke Malaysia pada Agustus 2003. Selama 2 tahun suami tidak pernah mengirim uang, sehingga penyintas meminta cerai. Suami menyuruh penyintas mengurus sendiri perceraiannya. Dibantu oleh Kader Hukum PEKKA, gugatan cerai dimasukkan ke PA Brebes pada 1 Februari 2006. Sidang sempat tertunda 4 bulan karena majelis hakim mencoba memanggil suami datang ke pengadilan. Hasil Gugatan cerai dikabulkan pada 30 Juni 2006 karena suami terbukti menelantarkan keluarga selama 2 tahun 7 bulan.

KDRT dan penipuan gaji Selama 3 tahun bekerja dirumah pelaku, penyintas terus mengalami kekerasan fisik. Penyintas juga hanya menerima 60% dari gajinya, karena selebihnya dipotong (4. 414 RM) untuk kesalahan dan kelalaian yang dilakukan, seperti merusakan barang, terlambat bangun, lupa mengunci pintu. Di kampungnya, penyintas meminta bantuan Kader Hukum PEKKA, yang kemudian melaporkan kasus ke Disnakertrans Brebes. Karena belum juga menerima jawaban dari Disnakertrans, penyintas dikenalkan oleh tetangganya kepada seorang aktivis sosial di Kota Brebes, yang kemudian membantu membuat surat tuntutan ke pihak PJTKI dengan tembusan Disnakertrans. Bantuan Kader Hukum PEKKA dan seorang aktivis desa Brebes telah membantu penyintas menerima sebagian dari haknya yang dipotong pelaku. Hasil Pada awal Maret 2007 penyintas menerima uang sebesar 1.800 RM (Rp. 4,5 juta) yang dikirim majikannya melalui PJTKI.

Perceraian dan KDRT Penyintas sering mengalami kekerasan dari suami, bahkan ancaman pembunuhan, karena suami cemburu dan menuduh penyintas berselingkuh. Penyintas sudah sering mencari pertolongan ke aparat desa, yang kemudian mencoba mengamankan penyintas dan menegur suami, namun tidak ada sanksi yang tegas atas suami. Akhirnya penyintas meminta bantuan PL PEKKA, yang kemudian menyerahkan kasus kepada Kader Hukum PEKKA untuk mengurus gugat cerai di PA Brebes. Kader Hukum membantu mendaftarkan kasus ke PA Brebes dan mencarikan saksi-saksi bagi penyintas sehingga proses persidangan berlangsung cepat. Kasus diproses di PA Brebes sejak 3 Oktober 2005, namun suami tidak pernah hadir di persidangan. Penyintas mengeluarkan biaya sebesar Rp. 500 ribu untuk seluruh proses perceraian, termasuk biaya transport ke PA Brebes. Hasil Gugatan cerai penyintas dikabulkan oleh PA Brebes pada 1 Maret 2006.

Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus

Bagian 1. Pendahuluan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

15

16 Pelaku/ Lawan

Anak Usia: 12 tahun Pekerjaan: pelajar kelas 4 SD

Suami Usia: 42 tahun Pekerjaan: Dokter

Penyintas (Perempuan Pencari Keadilan)

2 orang anak Usia: masingmasing 5 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Istri (mahasiswa) (Bukan anggota PEKKA)

Lokasi

Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes (Wilayah non PEKKA)

Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes (Wilayah non PEKKA)

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia: RPK, BAPAS, MSF, Polisi, Wartawan,

Membantu

Mendampingi

Pihak Terlibat*

Kejahatan Perkawinan Pengacara LBH Setelah 7 tahun menikah, pada 27 April 2005, suami menjatuhkan talak satu pada penyintas, lalu kemudian Brebes memproses perceraiannya ke PA Brebes. Sebelum keputusan PA Brebes keluar, suami sudah menikah lagi dengan istri keduanya secara bawah tangan pada 24 September 2005. Keluarga penyintas, meminta bantuan pengacara LBH, segera melaporkan suami ke Polres Brebes dengan tuduhan melakukan tindak pidana kejahatan perkawinan. Melalui 20 kali sidang akhirnya PN Brebes melepaskan suami dari segala tuntutan hukum karena tindakannya dianggap bukan tindakan pidana. Talak yang dijatuhkan suami di hadapan orangtua penyintas dianggap sah, dan putusan cerai PA hanya merupakan syarat administrasi. Hasil Jaksa melakukan kasasi ke MA RI pada tanggal 16 Oktober 2006. Belum ada keputusan hingga laporan ini dibuat.

Perkosaan Dua orang penyintas diperkosa oleh pelaku yang tiba-tiba terdorong untuk mempraktekan adegan-adegan yang ditontonnya dari VCD porno, pada 19 dan 22 Juni 2006, dengan bujukan dan ancaman. Pelaku menceritakan perbuatannya pada kakak penyintas, hingga kejadian terungkap. Pelaku diamankan oleh ibu RT, dibawa kerumah Lurah. Lurah berusaha mendamaikan warganya, tapi wartawan melaporkan kasus ke Polsek Brebes dan ke anggota MSF, sehingga pelaku ditangkap Polsek Brebes dan kemudian ditangani oleh unit RPK/UPPA Polres Brebes. Lurah masih tetap mencarikan jalan damai bagi warganya, tapi tidak berhasil. BAPAS merekomendasikan agar pelaku dibebaskan bersyarat, tapi Hakim, yang adalah juga anggota MSF, memberikan hukuman terendah karena mempertimbangkan kondisi dan masa depan kedua penyintas. Selama 6 bulan, kedua penyintas masih terus berobat jalan karena luka akibat kekerasan seksual masih belum kunjung sembuh. Hasil Pelaku dihukum 3 tahun penjara dengan denda Rp. 60 juta subsider 15 hari. Orangtua penyintas menganggap hukuman terlalu rendah dan berharap biaya pengobatan (Rp. 10 juta untuk kedua penyintas) dapat diganti oleh orangtua pelaku.

Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus

BREBES DAN PEMALANG – JAWA TENGAH

Bagian 1. Pendahuluan

Pembantu Rumah Tangga Usia: 38 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Istri (pengusaha toko) Usia: 38 tahun (Anggota PEKKA setelah kasus selesai)

Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat (Wilayah WLE)

Anak Usia: 16 tahun

Penyintas (Perempuan Pencari Keadilan)

Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat (Wilayah non PEKKA)

Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat (Wilayah non PEKKA)

Lokasi

Perkosaan Penyintas diperkosa ayahnya sejak akhir 2005 hingga pertengahan 2006 dengan ancaman kekerasan, hingga akhirnya penyintas hamil dan kasus terbongkar. Warga desa marah dan mau melakukan tindakan anarkis, karena menganggap peristiwa itu telah membawa aib bagi kampung mereka. Pelaku dilaporkan oleh Kepala Dusun ke Polsek pada 28 Juni 2006, sementara penyintas dirawat di Shelter Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan NTB (Juni - Oktober 2006). Pelayanan yang komprehensif dari Shelter memulihkan kondisi psikologis penyintas. Pekerja Sosial dan Polwan RPK/ UPPA yang merupakan bagian dari Shelter membantu mendampingi Penyintas selama masa penyidikan dan persidangan, termasuk dengan meminta Hakim agar pelaku dikeluarkan dari ruang sidang saat mau mencari keterangan dari penyintas karena penyintas begitu terintimidasi oleh pelaku. Dalam persidangan, pelaku mengakui semua perbuatannya. Hakim menghukum pelaku dengan pertimbangan usianya yang sudah tua. Penyintas tidak menginginkan bayinya, sehingga diadopsi oleh orang lain dan tidak mau kembali ke kampungnya, tahu masyarakat tidak menerimanya lagi. Hasil Pelaku dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp. 30 juta subsider 4 bulan penjara pada 8 Nopember 2006. Perkosaan Penyintas, yang memiliki kesulitan berbicara, diperkosa pelaku sejak 1999 hingga awal 2006 dengan ancaman kekerasan. Keluarga penyintas baru mengetahui pada awal 2006, kemudian dengan melakukan musyawarah keluarga berdasarkan adat Hindu, meminta keterangan dari pelaku, dan setelah pelaku mengakui perbuatannya, meminta pelaku menikahi penyintas. Pelaku awalnya setuju, tetapi akhirnya membatalkan rencana perkawinan karena istrinya tidak setuju. Segera keluarga penyintas melaporkan pelaku ke Polisi (21 Februari 2006) dengan tuduhan perkosaan, serta meminta bantuan LBH Apik Mataram (April 2006). Proses persidangan tertunda hampir setahun karena Kejaksaan 4 kali mengembalikan BAP ke Polisi karena menganggap bukti pendukung bagi unsur kekerasan dan paksaan belum lengkap. LBH Apik mengorganisir demo dan hearing di Kejaksaan, hingga akhirnya berkas dinyatakan lengkap pada bulan Maret 2007. Persidangan di berjalan alot, diwarnai oleh demo masyarakat, diakhiri oleh keputusan Hakim untuk membebaskan pelaku. Hasil Jaksa mengajukan naik banding dan hingga laporan ini dibuat belum ada keputusan lebih lanjut. Perceraian Setelah empat tahun menikah suami berselingkuh dan menceraikan penyintas secara talak Islam, padahal pernikahan tercatat di KUA. Penyintas menuntut sepertiga gaji suaminya kepada Kepala Cabang Dinas Pendidikan dan memperolehnya selama 10 tahun. Pada Juni 2004 suami mengajukan gugat cerai kepada penyintas di PA Praya. Penyintas, mendapat informasi dari kawannya, mencari bantuan dari LBH Apik Mataram, yang kemudian memfasilitas proses perceraian di PA Praya. Penyintas menuntut suami untuk mengganti biaya ‘idah (nafkah selama 3 bulan setelah bercerai) sebesar Rp. 8 juta dan menuduh suaminya melanggar peraturan Larangan Poligami untuk PNS. Hasil Pada 15 September 2004, PA Praya mengesahkan perceraian tersebut dan menetapkan suami untuk membayar ganti rugi masa ‘iddah’ (Rp. 3,5 juta) dan memberikan dua pertiga gaji kepada penyintas dan kedua anaknya.

Majikan dan paman tidak langsung Usia: 45 tahun Pekerjaan: Kepala Desa

Suami Usia: 45 tahun Pekerjaan: Guru SD PNS

Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus

LOMBOK BARAT DAN LOMBOK TENGAH – NTB

Ayah Usia: 60 tahun Pekerjaan: pembuat genteng

Pelaku/ Lawan

Tabel 2c. Deskripsi kasus di Lombok

Keluarga besar penyintas yang adalah juga tokoh adat Hindu

LPA Mataram, Pekerja Sosial Dinkesos dan PP Mataram,

Membantu

LBH Pengacowa

LBH Pengacowa

Pekerja Sosial Dinkesos dan PP Mataram, RPK

Mendampingi

Pihak Terlibat*

Bagian 1. Pendahuluan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

17

18

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia: Teman kerja Usia: 20 tahun Pekerjaan: Buruh Bangunan

Perempuan buruh bangunan Usia: 18 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat (Wilayah WLE)

Kepala Dusun

Kepala Dusun, Panitera PA, Polisi, Keluarga Penyintas

KDRT dan perceraian Pada tanggal 16 Mei 2006, penyintas dianiaya oleh suami, yang adalah sepupunya, karena menjual hasil panen untuk membayar hutang, hingga dirawat 8 hari di rumah sakit. Keluarga penyintas melaporkan suami ke Polisi sehingga suami ditahan Polisi selama 10 hari. Kedua pihak keluarga kemudian bermusyarah untuk berdamai dengan difasilitasi oleh Kepala Desa dari desa asal penyintas dan desa suaminya. Laporan penyintas ke Polisi akhirnya ditarik kembali. Suami sepakat untuk memberi uang ganti rugi biaya kesehatan penyintas sebesar Rp. 4 juta dan membayar Polisi Rp. 1 juta, namun kemudian menjatuhkan talak cerai atas penyintas. Ingin menuntut pembagian harta bersama, penyintas dianjurkan penghulu desa pergi ke PA Gerung. Berdasarkan informasi dari panitera di PA Gerung, penyintas mengajukan isbath nikah dan kemudian gugatan cerai sehingga dapat menggugat harta gono gini dari suaminya. Suami mengatakan bahwa sebagian harta mereka telah digunakan untuk membayar ganti rugi pengobatan. Hasil Pada 2 Oktober 2006 PA Gerung mengabulkan gugatan cerai penyintas dan memutuskan suami untuk memberikan Rp. 1,25 juta dari suami sebagai harta gono gini

Suami Usia: 48 tahun Pekerjaan: Petani

Istri (buruh tani) Usia: 28 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat (Wilayah WLE)

Perkosaan: Penyintas memulai hubungan cinta dengan teman kerjanya di suatu proyek bangunan di tahun 2005, tapi kemudian memutuskan hubungan karena mengetahui pelaku sudah beristri. Namun sebelumnya ia sempat 3 kali diperkosa pelaku dengan ancaman kekerasan dan janji akan dinikahi. Penyintas hamil dan sempat bekerja ke Bali untuk menghindar dari masyarakat tempat tinggalnya (di kampung ayahnya). Karena kandungannya makin besar, akhirnya ia pulang ke Lombok, namun kemudan tinggal dirumah ibunya di kampung yang berbeda. Kasus dilaporkan ke Kepala Dusun, yang menganggap kasus bukan perkosaan karena saling suka, sehingga berusaha mencari pelaku untuk mengawinkannya dengan penyintas, tetapi tidak berhasil. Sementara itu di kampung yang baru penyintas mengaku bahwa ia sudah sempat dikawinkan dengan pelaku di kampung asalnya. Hasil Kepala Dusun tidak dapat menemukan pelaku. Tetapi karena berita yang beredar di desa tempat tinggal penyintas adalah Kepala Dusun sempat menikahkan penyintas dengan pelaku tapi pelaku langsung menceraikan kembali, penyintas dapat diterima oleh masyarakat setempat.

Anak laki-laki, Kepala Dusun

KDRT Selama 20 tahun menikah, penyintas kadang mengalami kekerasan fisik dari suami. Pada 16 Maret 2006, suami memukul kepala penyintas dengan balok setelah bertengkar akibat penyintas memakai uang hasil panen untuk membayar hutang. Penyintas, ditemani anak tertuanya, segera melapor ke Kepala Dusun dan setelah mendapat persetujuan Kepala Dusun, segera melaporkan kasus ke Polsek. Setelah itu ia dibawa anaknya berobat ke RS Gerung. Malam itu juga suami ditangkap Polisi. Namun di hari ketiga terjadi rekonsiliasi antara penyintas dan suami, suami membujuk penyintas untuk menarik laporan agar suami masih bisa mencari nafkah. Penyintas kemudian menarik gugatannya di Polsek dengan membayar sebesar Rp. 500 ribu yang diperolehnya dengan meminjam ke uang kas PEKKA. Sebelum melepas, Polisi meminta suami untuk menandatangani pernyataan tidak akan melakukan kekerasan lagi terhadap penyintas. Hasil Laporan KDRT di kePolisian ditarik oleh penyintas dan suami dibebaskan dari tahanan.

Suami Usia: 45 tahun Pekerjaan: Buruh Bangunan di Bali

Istri (pedagang makanan) Usia: 35 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Membantu

Mendampingi

Pihak Terlibat*

Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat (Wilayah WLE)

Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus

Pelaku/ Lawan

Penyintas (Perempuan Pencari Keadilan)

Lokasi

LOMBOK BARAT DAN LOMBOK TENGAH – NTB

Bagian 1. Pendahuluan

Pembagian warisan Karena penyintas bekerja di Arab Saudi (tahun 1982-2000), ia menitipkan akte tanah warisan bagiannya kepada pelaku dan setiap tahun menitipkan uang pembayaran pajak tanahnya kepada pelaku. Setelah kembali ke kampung, ternyata sertifikat tanah tersebut sudah atas nama pelaku. Menurut pelaku semua tanah itu adalah bagiannya sebagai anak laki-laki, karena penyintas sudah mendapat warisan rumah yang ditempatinya sekarang. Sementara itu, pembagian tanah yang diucapkan orangtua mereka sebelum meninggal tidak memiliki bukti tertulis. Penyintas mencari kejelasan tentang haknya ke Kepala Desa, Pembantu Penghulu, dan pertemuan MSF, tetapi tidak mendapatkannya. Kepala Desa mencoba mengatasi kasus tapi tidak berhasil. Saat laporan ini ditulis, Kepala Desa berencana untuk membawa kasus ke PA. Hasil Hingga kini kasus belum dapat diselesaikan, tanah masih atas nama kakak penyintas. Trafficking dan perkosaan Penyintas diperkosa oleh majikannya di Malaysia hingga hamil (tahun 2004). Saat melapor ke majikan perempuan, ia justru disuruh pulang ke Indonesia tanpa diberi gaji. Penyintas melarikan diri ke hutan, kemudian ditolong oleh sesama TKI dan diantar melapor ke kantor Polisi Johor. Penyintas ditampung selama 2,5 bulan di Kantor Konsulat Indonesia Johor. Pelaku sempat ditahan Polisi selama 15 hari namun tidak mau memberi ganti rugi sebesar 5000 ringgit sesuai permintaan penyintas. Tidak mau menunggu kasusnya diproses di Malaysia, penyintas akhirnya dipulangkan oleh IOM. PPK Mataram turut memberi pendampingan selama setahun. Di desa penyintas tidak diterima oleh keluarga dan masyarakat. Baru setelah suami penyintas menyatakan mau menikahkan ulang penyintas, melalui upacara dihadapan masyarakat, ia dapat diterima kembali. Tak lama setelah itu, suami penyintas meninggal, sehingga penyintas kembali pergi bekerja ke luar negeri sebagai TKW. Hasil Sampai laporan ini dibuat, tidak ada keterangan apapun dari Konsulat Indonesia di Johor tentang panggilan untuk bersidang di Malaysia.

Majikan di Malaysia

Perceraian Penyintas ditinggal suami bekerja ke Malaysia sejak 2003. Di tahun pertama suami masih mengirim uang, tetapi di tahun kedua tidak terdengar kabarnya. Pada tahun kedua itu, tahun 2005, penyintas tertangkap warga berselingkuh dengan laki-laki lain. Masyarakat menuntut agar mereka dikawinkan. Seminggu setelah itu, suami kembali dari Malaysia dan dengan marahnya menuntut penyintas. Dua orang kepala dusun menengahi masalah tersebut, hingga akhirnya suami menuntut talak tebus, yaitu penyintas harus membayar suami agar mendapat talak cerai, sebesar Rp. 1,5 juta. Akhirnya suami menjatuhkan talak cerai terhadap penyintas dihadapan penghulu, kepala Dusun dan orangtua penyintas. Tahun 2006 penyintas dicerai oleh suami keduanya. Hasil Suami menjatuhkan talak cerai kepada penyintas dengan menuntut uang sebesar Rp. 1.5 juta.

Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus

Kakak Laki-laki Usia: Pekerjaan: Buruh tani

Suami Usia: Pekerjaan: TKI di Malaysia

Pelaku/ Lawan

Teman TKI, Polisi Johor, Konjen RI di Johor, IOM, PPK Mataram

Kepala Desa, MSF, Pembantu Penghulu

Kepala Dusun, Penghulu

Membantu

Kader Hukum

Mendampingi

Pihak Terlibat*

Pihak yang membantu adalah berbagai pihak yang membantu terungkapnya kasus sampai dengan pelaporan ke sistem hukum negara. Sementara pihak yang mendampingi adalah berbagai pihak yang mendampingi penyintas dalam proses penyelesaian kasusnya baik melalui sistem hukum negara maupun non negara.

Mantan TKW dari Malaysia Usia: 29 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah (Wilayah WLE)

*

Mantan TKW dari Arab Saudi Usia: 45 tahun (Anggota PEKKA)

Istri Usia: 25 tahun (Bukan anggota PEKKA)

Penyintas (Perempuan Pencari Keadilan)

Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah (Wilayah WLE)

Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat (Wilayah WLE)

Lokasi

LOMBOK BARAT DAN LOMBOK TENGAH – NTB

Bagian 1. Pendahuluan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

19

Bagian 2

Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Pengantar Bagian ini mengulas pembelajaran tentang bagaimana perempuan desa mencari keadilan saat menghadapi kasus hukum.13 Kasus hukum yang dialami umumnya terkait dengan hukum keluarga, serta diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dua puluh delapan kasus yang diangkat dalam studi ini memperlihatkan pengalaman perempuan desa mengakses keadilan, baik melalui sistem hukum non negara di desa maupun sistem hukum negara di luar desa. Secara umum kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa akses mereka terhadap keadilan masih lemah. Mereka harus menghadapi berbagai tembok-tembok institusional bahkan sejak tahap awal saat ingin mencari pertolongan dari pihak ketiga. Ketakutan dan rasa malu, kebutaan terhadap sistem dan proses hukum, serta penilaian, penghakiman dan penerimaan masyarakat, mewarnai sikap dan tindakan mereka untuk mencari pertolongan. Saat suara jeritan mereka mulai terdengar oleh pihak ketiga, baik secara sengaja ataupun tidak, maka saat itulah mereka mulai dapat mengakses keadilan. Karena saat itulah mereka dapat dikatakan mulai mengakses sistem hukum yang ada. Saat mereka bisa mengakses sistem hukum untuk mencari pertolongan, keberhasilan mereka meraih keadilan masih sangat dipengaruhi oleh respon dan kinerja sistem hukum yang ada. Sistem hukum non negara umumnya masih menjadi pilihan pertama penyintas saat ingin mengakses keadilan, terutama karena aktor-aktor penyelesaian sengketa melalui mekanisme non negara ini telah dikenal, mudah ditemui, dan praktis tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk bertemu dan berkonsultasi dengan mereka. Studi ini memperlihatkan bahwa keberadaan sistem hukum negara dan non negara tidak bersifat ekslusif satu sama lain. Beberapa kasus yang diselesaikan melalui sisem hukum negara, ternyata sebelumnya telah dicoba penyelesaiannya melalui sistem hukum non negara. Tidak berhasil diselesaikan oleh sistem hukum non negara, maka penyintas, baik karena kesadarannya sendiri maupun rujukan dari pihak lain, kemudian menempuh jalur sistem hukum negara. Berikut ini adalah salah satu kisah seorang perempuan desa mengakses keadilan untuk kasus kekerasan yang dialaminya. Studi Kasus 1: Kasus incest di Cianjur A (16 tahun) diperkosa ayah kandungnya (37 tahun) sebanyak tiga kali sejak ia tinggal bersama ayahnya dan istri mudanya, setelah kematian ibu kandungnya. Ia diperkosa dengan ancaman dan kekerasan. A sempat menceritakan apa yang dialaminya kepada ibu tirinya, tapi tidak dipercaya. Saat A lari dari rumah dan tinggal di rumah sahabatnya, ayahnya memaksanya kembali ke rumah. Karena khawatir dirinya telah hamil, akhirnya A bercerita ke seorang ibu tetangganya. Dari situ berita mulai tersebar dan massa mulai melakukan tindakan anarki terhadap ayah A. Ketua RT memanggil A dan ayahnya untuk dimintai keterangan. Ayah A awalnya tidak mengakui perbuatannya, namun setelah diancam oleh penduduk desa, akhirnya mau mengakui dan sebagai akibatnya ia dipukuli penduduk. Berusaha mengamankan, Ketua RT bersama seorang tokoh agama segera membawa ayah A ke kantor desa, dan kemudian oleh Polisi Desa (Babinmas) diserahkan ke Kantor Polsek Cimacan. Sementara itu, A dibawa keluarganya ke bidan desa. Seorang warga melaporkan kejadian kepada Kader Hukum B yang sudah dikenal masyarakat, yang kemudian segera menemui A di tempat bidan desa. Ia kemudian mendampingi A menjalani penyidikan di Polsek Cimacan dan pemeriksaan visum et repertum di RS Cimacan. Hasil visum menunjukkan A mengalami kekerasan seksual. Ayah A dikenakan tuduhan tindak pidana pelanggaran Pasal primer 81 UU No. 23 Tahun 2002 dan subsider Pasal 285 Jo. 294 KUHP, yaitu dengan sengaja melakukan persetubuhan dengan anak yang belum dewasa dan ditahan di Polsek Cimacan sejak tanggal 22 April 2006, dua bulan setelah pertama kali ia memperkosa anaknya sendiri. Konflik keluarga timbul setelah ayah A ditangkap. Keluarga dari pihak ayah A, bahkan kakak kandung A, menuduh A telah berbohong. A hanya mendapat pembelaan dari keluarga pihak ibu kandungnya. Keluarga yang pro ayah A mencoba mencari kambing hitam, dengan menuduh seorang teman lelaki A sebagai pihak yang harus bertanggungjawab dan memaksanya untuk menikahi A dengan tawaran sejumlah uang dan teror surat kaleng. A dan teman lelakinya itu sempat diminta untuk menandatangani surat pernyataan yang

13 Fakta bahwa banyak perempuan desa yang bahkan tidak dapat melaporkan kasus hukumnya kepada pihak ketiga atau otoritas penyelesaian sengketa yang ada, sehingga tidak dapat mengakses keadilan, tidak menjadi fokus dari penelitian ini.

22

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

dianggap dapat membebaskan ayah A dari tahanan. Menghadapi situasi ini, Kader Hukum B secara aktif memberikan konsultasi hukum kepada mereka berdua. Selama proses persidangan, Kader Hukum B juga terus mendampingi para saksi hadir di Pengadilan Negeri Cianjur karena mereka mendapat teror dari keluarga ayah A. Ia dan seorang temannya, Kader Hukum C, terus mengawal penyelesaian kasus dengan mendatangi Kejaksaan untuk menanyakan status kasus dan menemui Ketua Majelis Hakim untuk meminta ijin masuk ke ruang sidang. Sayangnya, mereka tidak diijinkan untuk mendampingi saksi-saksi kedalam ruang persidangan. Persidangan berjalan cukup alot karena ayah A tetap tidak mau mengakui perbuatannya. Setelah 17 kali sidang, ayah A divonis bersalah dan dihukum 10 tahun penjara serta denda Rp. 60 juta subsider 6 bulan penjara. A sendiri, sebelum proses pengadilan selesai, telah diungsikan keluarga pihak ibu kandungnya ke Jakarta bekerja sebagai pekerja rumah tangga.

Gambaran kasus di atas memperlihatkan sulitnya perempuan desa yang mengalami kasus hukum mengakses keadilan. Untuk itu, tahapan perjalanan penyintas mencari keadilan akan banyak diulas dalam bagian ini. Bagian pertama ditampilkan profil penyintas dan tipologi kasus hukum yang umumnya dihadapi mereka. Bagaimana umumnya penyintas mengalami kasus hukum menjadi pembelajaran penting, disamping bagaimana kemiskinan dan marjinalisasi perempuan tidak hanya menjadi latar belakang dari timbulnya masalah hukum namun juga menghambat mereka mengakses keadilan. Bagian kedua adalah potret tahapan awal penyintas mencoba mencari pertolongan dari pihak ketiga. Bagian ini memaparkan beberapa hambatan yang menghalangi penyintas mencari pertolongan sebelum dapat mengakses sistem hukum yang ada. Bagian ketiga menyorot tahapan saat penyintas mengakses sistem hukum yang ada, baik non negara maupun negara. Bagian ini menjelaskan bagaimana mereka dapat mengakses sistem hukum tersebut dan bagaimana sistem yang ada dapat memberikan keadilan bagi penyintas. Bagian ini juga membahas tentang aktor-aktor dari sistem hukum non negara dan aktor-aktor intermediasi yang berperan membuka akses kepada sistem hukum negara. Bagian keempat secara khusus menguraikan respon dari para penegak hukum, yaitu aktor di luar desa, dalam penanganan kasus hukum para penyintas. Terakhir, digambarkan secara singkat konsekuensi langsung yang diterima oleh penyintas sebagai hasil dari penyelesaian kasus oleh institusi hukum yang ada.

2,1. Profil Umum Penyintas dan Tipologi Kasus Hukum Temuan Utama • Latar belakang masalah. Kemiskinan, domestikasi dan subordinasi status sosial penyintas melatarbelakangi persoalan hukum yang dialami. • Keterbatasan akses. Kemiskinan dan rendahnya pendidikan juga telah membatasi penyintas dalam mengakses sistem hukum untuk penyelesaian kasus hukum yang dihadapinya. • Kasus berlapis. Penyintas umumnya mengalami beberapa lapisan kasus hukum, namun seringkali hanya kasus terakhir yang diproses untuk penyelesaian hukumnya.

Profil penyintas dalam studi kasus Penyintas dalam studi kasus ini umumnya bekerja di sektor informal yang tidak dapat menjanjikan penghasilan yang baik dan tetap, bahkan diskriminatif, serta sangat minim perlindungan hukum. Buruh tani perempuan yang hanya berpenghasilan antara Rp. 5000-10.000. Mereka umumnya memperoleh 2050 persen penghasilan lebih rendah dari buruh tani laki-laki. Kemiskinan telah mengkondisikan penyintas menjadi rentan terhadap berbagai pelanggaran hak dan praktek diskriminasi. Bahkan sebagai buruh pabrik tidak tetap, mereka rentan untuk diberhentikan begitu saja tanpa ada pemberitahuan terlebih dulu dan pesangon apapun, karena telah menjadi korban dari “sistem kerja panggilan.”

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

23

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Gambar 1. Penyintas/Responden berdasarkan status pekerjaan Pedagang/Ibu Rumah Tangga/PRT Buruh Tani TKW Guru/mahasiswa Buruh Pabrik/Bangunan Anak

Catatan: total responden = 29 (ada 1 kasus perkosaan dengan 2 korban anak)

Kesulitan ekonomi ini selanjutnya turut melatarbelakangi sebagian besar persoalan hukum yang diangkat dalam studi ini, terutama dalam kasus-kasus KDRT, perceraian, perburuhan dan trafficking. Sebagai contoh, dua kasus kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap istrinya (penyintas) di Lombok diawali dengan pertengkaran perihal istri yang memakai uang penjualan hasil panen untuk membayar hutang keluarga. Beberapa kasus perceraian juga dilatarbelakangi masalah tidak berdayanya suami memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Disamping itu, konteks kemiskinan kuat berbicara sebagai motivasi dasar dari setiap penyintas yang bekerja ke luar negeri sebagai TKW, yaitu untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, hingga beberapa dari mereka rela pergi bekerja tanpa mengikuti prosedur yang legal dan berpotensi menjadi korban praktek perdagangan manusia (trafficking). Domestikasi dan subordinasi peran dan status sosial perempuan juga menempatkan penyintas pada posisi yang terpinggirkan/marjinal, sehingga lebih rentan terhadap pelanggaran hak. Dalam konteks yang lebih umum, hal ini berimplikasi terhadap, pertama, posisi perempuan sebagai ibu rumah tangga yang diakui secara hukum dan sistem sosial yang berlaku di masyarakat, telah seringkali direspon secara keliru oleh suami dengan melakukan berbagai kesewenang-wenangan, seperti kekerasan dalam rumahtangga dan pengambilan keputusan secara sepihak. Kedua, di tingkat desa, perempuan masih jarang menduduki posisi dan jabatan penting dan strategis. Mereka umumnya hanya menduduki jabatan yang berdimensi domestik dalam lingkup masyarakat seperti ketua Program Kesejahteraan Keluarga (PKK), ketua posyandu atau bidan desa. Dengan demikian, keputusan-keputusan penting yang diambil di tingkat desa sebagian besar dilakukan oleh laki-laki. Ketiga, perempuan, terutama perempuan kepala keluarga dan janda, seringkali menerima stigma sosial sehingga membatasi kesempatan mereka untuk mengakses berbagai sumberdaya di desa. Keempat, dalam penyelesaian kasus-kasus keluarga oleh para aparat desa, kepentingan perempuan seringkali diletakkan di bawah kepentingan harmoni keluarga dan masyarakat desa, sehingga justru mengorbankan hak-hak perempuan atas keadilan. Selain menjadi akar masalah dari persoalan hukum yang dialami penyintas, kemiskinan dan domestikasi serta subordinasi status sosial perempuan juga turut membatasi kapasitas mereka untuk bergerak mencari keadilan. Pertama, hal tersebut telah mempengaruhi rendahnya peluang penyintas menikmati pendidikan dan mengakses informasi, sehingga pengetahuan umum dan hukum mereka menjadi relatif rendah.14 Kedua, anggapan-anggapan sosial, seperti istri tidak boleh membuka keburukan suaminya atau istri harus menerima begitu saja talak yang dijatuhkan suaminya, telah membuat penyintas sulit melaporkan kasuskasus kekerasan dari suami serta tidak berdaya saat suami menceraikan begitu saja dengan menjatuhkan talak tanpa alasan yang kuat. Ketiga, kesulitan ekonomi telah membatasi keputusan penyintas (atau keluarganya) untuk mencari keadilan ke sistem hukum negara, karena khawatir akan biaya yang besar yang harus ditanggung.

14 Secara umum juga terjadi kesenjangan gender dalam sektor pendidikan. Angka melek huruf dan partisipasi sekolah perempuan relatif lebih rendah dari laki-laki. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki adalah 99,93 persen pada tahun 2006, sementara angka partisipasi murni (APM) pendidikan anak perempuan terhadap anak laki-laki rata-rata (pendidikan SD-pendidikan tinggi) adalah 99,07 persen pada tahun 2002-2006 (Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007).

24

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Mengalami kasus yang berlapis Mengalami beberapa lapisan kasus yang saling terkait menjadi ciri khas penyintas. Sayangnya tidak seluruh lapisan kasus dapat diselesaikan, seringkali hanya kasus yang terakhir dialami penyintas atau kasus yang dominan saja yang dilaporkan atau diselesaikan. Dalam studi ini, ada tiga belas penyintas yang mengalami lapisan kasus hukum, dan hanya kasus terakhir yang diupayakan penyelesaiannya melalui institusi penyelesaian kasus hukum. Dari sebelas kasus perceraian, tujuh diantaranya sebenarnya mengandung lapisan kasus KDRT, kejahatan perkawinan, dan poligami. Dengan demikian, seringkali kasus terakhir, seperti perceraian, hanyalah konsekuensi dari adanya pelanggaran hak yang sebelumnya dialami penyintas, seperti KDRT atau suami menikah lagi tanpa seijin penyintas. Artinya, walaupun perceraian terjadi, seringkali penyintas belum sepenuhnya memperoleh keadilan dari kasus KDRT atau kejahatan perkawinan yang juga dialaminya. Demikian juga, dari sembilan kasus perkosaan ada empat kasus perkosaan yang di dalamnya mengandung lapisan kasus KDRT atau penipuan atau trafficking.

2.2. Beberapa Hambatan Penyintas Mencari Bantuan Temuan Utama • Relasi kuasa yang timpang berbicara. Posisi penyintas yang subordinat terhadap pelaku/lawan sengketa telah menghambat penyintas mencari pertolongan pihak ketiga. • Ancaman sanksi sosial mempengaruhi. Terutama pada kasus perkosaan, ancaman adanya sanksi sosial melatarbelakangi ketakutan korban untuk melaporkan kejadian. • Hukum dirasakan sangat mahal. Anggapan bahwa mengakses sistem hukum negara sama dengan mengeluarkan biaya yang besar menghalangi penyintas/keluarganya mengakses sistem ini.

Saat mengalami kasus hukum, berbagai hambatan dialami penyintas untuk dapat mengakses keadilan, yaitu sejak awal proses mencari bantuan dari pihak ketiga. Tahapan ini menjadi sangat menentukan apakah mereka dapat mengakses keadilan atau tidak. Dilema, ketakutan, dan rasa malu adalah hambatan pertama yang harus diterobos oleh penyintas untuk dapat mencari penyelesaian atas kasusnya. Pergulatan batin inilah yang dirasakan oleh seluruh penyintas pada kasus kekerasan maupun perceraian, sebelum mereka dapat menceritakan atau melaporkan kasus mereka kepada pihak ketiga, bahkan kepada keluarga atau teman dekat mereka. Dalam beberapa kasus, penyintas pada akhirnya dapat menguatkan dirinya untuk bercerita kepada pihak ketiga, yaitu orang yang dekat dengan mereka, untuk mencari tempat menjeritkan isi hatinya. Sementara itu, pada beberapa kasus perkosaan, penyintas tetap memilih untuk bungkam sampai orang lain mencium kejadian karena melihat gejala fisik kehamilan pada penyintas. Beberapa faktor yang turut menghambat mereka mengambil tindakan hukum dibahas di bawah ini.

Relasi kuasa yang timpang “… kamu layani saya sekarang, kalau tidak, saya tidak akan mengurus kamu lagi, saya tidak akan memberikan uang makan dan uang belanja lagi, dan kalau kamu cerita ke orang lain, saya bunuh kamu!” Pelaku kasus incest, di Lombok. Mengalami kasus hukum baik perdata dan pidana bagi seorang perempuan di desa merupakan pergulatan terhadap posisi sosial pelaku yang lebih tinggi dan sistem sosial dan budaya masyarakat yang telah berabadabad lamanya berada dalam posisi dominan. Posisi perempuan yang subordinat dan lemah menjadikan mereka rentan terhadap kekerasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pelaku atau pihak

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

25

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

yang bersengketa dengannya. Masalahnya, saat mereka menghadapi pelanggaran hak, relasi kuasa yang timpang itu pun turut menyumbat mulut mereka untuk mencari pertolongan. Hampir pada seluruh kasus yang diangkat dalam studi ini ditemukan adanya pola relasi yang timpang antara penyintas dan pelaku/ lawan (lihat Tabel di bawah). Tabel 3. Posisi dan status perempuan pencari keadilan terhadap pelaku/lawan Posisi Korban

Posisi Pelaku/Lawan Kasus*

Kasus

Istri

Suami

KDRT dan perceraian

Anak

Ayah

Perkosaan

Pekerja Rumah Tangga/TKW/Buruh

Majikan/Atasan

Perkosaan, KDRT, Perburuhan

Anak cacat mental

Tetangga, laki-laki dewasa

Perkosaan

Penyanyi

Pengusaha keturunan

Perkosaan

* Pelaku pada kasus pidana dan lawan pada kasus perdata

Adanya pola relasi kuasa yang timpang, yang menyebabkan penyintas sulit mencari pertolongan, sangat jelas terlihat pada tiga kasus perkosaan berulang (dua kasus incest/perkosaan anak oleh ayah kandung serta satu kasus perkosaan terhadap penyintas dewasa oleh majikan). Status pelaku yang lebih dominan membungkam penyintas untuk melakukan tindakan hukum. Selain takut terhadap ancaman pelaku, umumnya penyintas sebagai korban perkosaan tergantung secara sosial ekonomi terhadap pelaku, sehingga membongkar kasus berarti perlu mempersiapkan diri dari putusnya akses terhadap aset-aset sosial dan ekonomi. Selain itu, penyintas juga tidak yakin orang lain akan mempercayai cerita mereka, sebagaimana diakui oleh seorang penyintas dalam kasus perkosaan oleh majikannya yang adalah Kepala Desa di Lombok, “..orang tidak akan percaya dengan cerita saya, dikira saya orang gila, karena saya orang bodoh.” Penyintas dalam kasus KDRT atau perceraian pada awalnya juga mengalami kesulitan untuk mencari pertolongan pihak lain karena lawan hukum mereka adalah suami yang menurut interpretasi komunitas setempat memiliki status lebih tinggi baik secara sosial maupun agama. Sebagai korban KDRT, penyintas juga mengalami kesulitan untuk menceritakan kasusnya karena anggapan bahwa hal tersebut adalah rahasia keluarga dan sebagai istri mereka tidak boleh membuka keburukan suami kepada orang lain. Demikian juga pada kasus perceraian di Cianjur dan Lombok, penyintas tidak dapat meminta bantuan kepada siapapun saat suaminya begitu saja menceraikan mereka dengan menjatuhkan talak yang dianggap sah secara hukum Islam, lalu memulangkan penyintas ke rumah orangtuanya. Penyintas menerima perceraian yang dilakukan secara sepihak melalui mekanisme talak karena beranggapan itu adalah hak suami.

Sanksi sosial dan ancaman penghakiman massa “… aib yang dilakukan A dan ayahnya B itu adalah aib satu dusun ini. Di mata masyarakat, korban dan pelaku sama-sama telah membuat aib bagi seluruh penduduk kampung dan berhak menerima hukuman yang sama. Mereka jengkel terhadap A, koq tidak lari dan diam saja menerima perlakuan (perkosaan) seperti itu dari ayahnya sekian lama, kenapa tidak mengadu ke siapa-siapa?” Kepala Dusun kasus incest, di Lombok. Ancaman sanksi sosial, bahkan dalam bentuk ekstrim penghakiman massa bagi kasus-kasus perkosaan dan incest, juga turut menghambat penyintas mencari pertolongan dari pihak lain karena perasaan takut dan malu jika kasus terbongkar. Hal ini terbukti. Beberapa kasus menunjukkan bahwa saat mereka menceritakan kasusnya kepada kerabat, teman dan tetangga mereka, bukan bantuan yang mereka peroleh, namun yang terjadi adalah kisah mereka tersebar ke seluruh desa dan mengundang penghakiman massa. Dalam kasus incest di Lombok, ketika masyarakat desa mengetahui kehamilan penyintas akibat perkosaan yang dilakukan ayahnya, mereka menunjukkan kemarahan tidak saja pada pelaku namun juga pada penyintas, bahkan hampir membakar rumah korban dan pelaku.

26

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Dari gambaran tersebut terlihat bahwa pada kasus-kasus perkosaan/incest, mencari bantuan kepada pihak yang tidak berwenang telah mengakibatkan hak-hak penyintas atas keadilan terabaikan. Seringkali kepanikan massa hanya akan mendorong timbulnya tindakan kolektif penghakiman massa yang turut merugikan penyintas.

Hukum yang mahal menjadi kendala “... nggak langsung lapor ke Polisi, takut biayanya mahal...” Ibu korban perkosaan, di Brebes. Biaya juga menjadi kendala tersendiri bagi penyintas mengakses sistem hukum negara. Sementara itu, anggapan yang sudah beredar di dalam masyarakat adalah “hukum (negara) itu mahal.” Melaporkan kasus ke Polisi atau mengurus perceraian ke Pengadilan Agama sama dengan mengeluarkan biaya besar. Pada kasus perkosaan anak di Brebes, orangtua penyintas tidak melaporkan kasus ke Polisi dengan alasan tersebut di atas. Begitu juga pada kasus-kasus perceraian. Beberapa penyintas tidak segera mengurus perceraiannya, walau suami sudah meninggalkan bertahun-tahun tanpa berita dan nafkah, karena pertimbangan biaya. Tingginya biaya untuk mengurus perceraian di Pengadilan Agama membuat pilihan bercerai secara legal menjadi opsi terakhir. Sementara itu, tidak banyak orang desa yang mengetahui adanya fasilitas prodeo (persidangan cuma-cuma) bagi penduduk miskin. Survey yang dilakukan oleh Indonesia-Australia Legal Development Facility (IALDF) terkait dengan akses dan keadilan pada Pengadilan Agama di Indonesia (Sumner, 2007) membuktikan hal ini. Berdasarkan survey terhadap para eks-klien Pengadilan Agama, ditemui bahwa rata-rata dari total biaya yang perlu dikeluarkan untuk berperkara di Pengadilan Agama adalah Rp. 789.666 atau lima kali lebih besar dari rata-rata penghasilan per bulan penduduk miskin di Indonesia. Biaya ini mencakup biaya pengadilan (dibayarkan ke Pengadilan Agama), biaya untuk pengacara atau pihak ketiga yang membantu (seperti pembantu Penghulu Desa yang sering disebut Amil/Lebe), biaya transportasi (termasuk transportasi saksi dan Penghulu Desa) dan biaya lainnya (termasuk konsumsi) (Sumner, 2007).

2.3. Jalur-jalur Penyintas Mengakses Keadilan Temuan Utama • Pada sistem hukum non negara, Perlindungan hak perempuan masih perlu ditingkatkan. Mekanisme non negara dapat menyelesaikan kasus hukum penyintas, namun perlindungan hak bagi penyintas yang dapat diberikan masih minim. • Sementara itu, seringkali pengambilan keputusan tidak berpihak pada korban. Aparat desa umumnya menghakimi secara subyektif dan lebih mengutamakan harmoni dan reputasi desa daripada kepentingan dan hak penyintas. • Sistem hukum non negara juga masih lemah dalam pemberian sanksi dan penegakan hukum. Dalam proses mediasi dalam kasus KDRT, tidak adanya sanksi mengakibatkan tidak adanya “efek jera” bagi pelaku dan kalaupun telah ada sanksi, tidak ada mekanisme untuk menjamin pelaksanaannya. • Di sisi lain, akses terhadap sistem hukum negara terbatas. Akses penyintas ke sistem hukum negara terbatas, sehingga membutuhkan bantuan aktor intermediasi atau bila dikehendaki oleh pihak yang memiliki otoritas seperti ayah atau suami. • Aktor Desa berpotensi merujuk kasus. Aparat desa dan tokoh masyarakat memiliki potensi untuk merujuk kasus penyintas ke sistem hukum negara, namun inisiatifnya sangat kondisional dan ad hoc. • Fasilitator Hukum di desa membuka akses. Kader Hukum dan Pendamping Lapangan berperan tidak saja merujuk kasus, tetapi memberikan pendampingan hukum, membangun jaringan dengan pihak eksternal desa terkait, dan memberikan dukungan bagi penyintas. • Aktor Eksternal turut memperkuat akses. Forum pemangku kepentingan aparat hukum, media dan LBH/LSM berpotensi membuka akses penyintas terhadap sistem hukum negara, namun informasi tentang keberadaan mereka masih langka

Pada saat mereka dapat menempuh jalur-jalur penyelesaian kasus hukum yang tersedia, saat itulah mereka mulai memiliki akses terhadap keadilan. Dua alternatif jalur penyelesaian kasus hukum yang dapat ditempuh adalah: sistem hukum non negara di desa dan sistem hukum negara di luar desa. Penyelesaian kasus

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

27

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

melalui jalur non negara adalah upaya penyelesaian kasus yang dilakukan oleh berbagai pihak baik secara personal maupun institusional di tingkat desa atau kecamatan. Sementara, penyelesaian kasus melalui jalur negara dalam studi ini dimaknai sebagai proses penyelesaian kasus melalui institusi penegak hukum atau jalur hukum negara. Dua jalur ini menawarkan peluang penyelesaian kasus, walau dengan intensitas dan kapasitas yang berbeda. Tabel 4. Karakteristik sistem hukum non negara dan negara Karakteristik Lokus

Aktor/struktur hukum

Substansi hukum dominan Prosedur penyelesaian kasus hukum Kebutuhan biaya

Sistem Hukum Non Negara Desa Aparat pemerintahan desa (Kepala Desa/Kepala Dusun/Ketua RT) Tokoh Agama (Penghulu Desa/Amil/ Lebe) Tokoh Masyarakat Polisi Desa (aparat keamanan desa) Bidan desa Aturan, nilai, norma di desa (termasuk aturan dan nilai agama)

Sistem Hukum Negara Luar Desa (Kabupaten/Propinsi/Pusat) Polisi Jaksa Hakim (Pengadilan Negeri & Pengadilan Agama) Petugas Dinas Tenaga Kerja

Peraturan Perundangan RI

Informal, utamanya musyawarah

Formal-birokratis, utamanya melalui persidangan

Tidak ada (kecuali pada kasus perceraian saat dirujuk Amil/Lebe ke sistem hukum negara)

Ada (Biaya administrasi resmi dan biaya transport penyintas, keluarga dan saksi)

Umumnya kasus-kasus dapat diselesaikan baik oleh sistem hukum negara maupun non negara, namun ada juga yang tidak dapat diselesaikan. Kasus-kasus yang tidak selesai pada jalur hukum negara disebabkan karena Polisi tidak dapat menemukan saksi (kasus kejahatan perkawinan), sedang dalam proses banding (kasus kejahatan perkawinan dan perkosaan), laporan ditarik kembali (kasus KDRT) dan kasus tidak dilanjutkan ke persidangan (kasus perkosaan atas TKW di Malaysia). Sementara itu, yang tidak selesai pada jalur hukum non negara diantaranya disebabkan karena pelaku perkosaan tidak berhasil ditemukan oleh Kepala Dusun yang berencana akan menikahkan pelaku dengan penyintas. Kejadian ini memang tidak dilaporkan ke Polisi karena dugaan dilakukan atas dasar “suka sama suka.” Pada kasus lainnya, Kepala Desa tidak bisa menyelesaikan masalah warisan, namun tetap bermaksud untuk membawa kasus ke Pengadilan Agama. Tabel di bawah merinci jumlah kasus-kasus tersebut. Tabel 5. Jumlah kasus selesai dan tidak selesai berdasarkan sistem hukum Jenis Kasus 1. Jumlah kasus yang selesai

Jumlah 21 kasus

a. Melalui sistem hukum negara

18 kasus

- dirujuk oleh sistem hukum non negara

(9 kasus)

- langsung dilaporkan ke sistem hukum negara

(9 kasus)

b. Melalui sistem hukum non negara 2. Jumlah kasus yang tidak selesai

3 kasus 7 kasus

a. Melalui sistem hukum negara

5 kasus

b. Melalui sistem hukum non negara TOTAL

28

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

2 kasus 28 kasus

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Beberapa kasus memperlihatkan bahwa sistem hukum negara dan non negara tidak bersifat eksklusif. Beberapa kasus yang diselesaikan melalui sisem hukum negara, ternyata sebelumnya telah dicoba penyelesaiannya melalui sistem hukum non negara. Tidak berhasil diselesaikan oleh sistem hukum non negara, maka penyintas, baik karena kesadarannya sendiri maupun rujukan dari pihak lain, kemudian menempuh jalur sistem hukum negara. Gambar di bawah ini memperlihatkan jalur-jalur hukum yang ditempuh oleh penyintas dalam studi ini. Gambar 2. Jalur penyelesaian kasus hukum penyintas di desa Kasus Hukum Penyintas

Dirujuk

Sistem Hukum NON NEGARA

Selesai

Tidak Selesai

Sistem Hukum NEGARA

Selesai

Tidak Selesai

Ada yang dirujuk & ada yang tidak dilanjutkan lagi

Bagaimana pengalaman penyintas mengakses keadilan melalui jalur-jalur penyelesaian kasus hukum, baik sistem hukum non negara maupun negara, menjadi pembahasan selanjutnya.

1. Melalui Sistem Hukum Non Negara di Tingkat Desa Sebagaimana juga temuan studi Bank Dunia (2008), studi kasus ini juga menemukan bahwa sistem hukum non negara di desa umumnya masih menjadi pilihan pertama penyintas saat ingin mengakses keadilan. Dalam studi ini, walau hanya lima kasus yang ditangani penyelesaiannya melalui jalur ini (tiga kasus perceraian, satu kasus perkosaan dan satu kasus warisan), tapi ada sembilan kasus yang awalnya dilaporkan atau ditangani terlebih dulu oleh jalur non negara, sebelum akhirnya dibawa ke mekanisme hukum negara untuk penyelesaiannya.15 Mengapa jalur non negara menjadi pilihan pertama? Karena aktor-aktor penyelesaian kasus hukum melalui mekanisme non negara ini telah dikenal, mudah ditemui, dan praktis tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk bertemu dan berkonsultasi dengan mereka. Mereka adalah aparat pemerintahan desa (seperti Kepala Dusun/Desa/RT, Pembantu Penghulu/Amil/Lebe, atau Polisi desa) serta tokoh-tokoh agama/adat di desa. Saat menerima kasus hukum, aktor-aktor ini akan mencoba melakukan mediasi, fasilitasi dan penyelesaian kasus berdasarkan aturan, keyakinan, kebiasaan atau budaya yang berlaku di desa tersebut. Beberapa pembelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman penyintas mencari keadilan melalui sistem hukum non negara di desa adalah, pertama, sistem ini dapat diandalkan untuk menyelesaikan kasus hukum

15 Laporan Forging the Middle Ground: Engaging Non-State Justice in Indonesia juga menunjukkan bahwa interaksi antara sistem hukum non negara dan negara juga sering terjadi dalam penyelesaian sengketa kasus-kasus hukum yang umum di desa. Interaksi ini terutama terjadi pada kasus-kasus yang: 1) melibatkan kekerasan yang serius, 2) melibatkan pihak luar, termasuk kepentingan pihak swasta atau minoritas, dan 3) memiliki risiko tinggi (Bank Dunia, 2008, hal x).

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

29

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

yang dialami penyintas, namun perlindungan dan pemenuhan keadilan belum dapat terjamin sepenuhnya. Kedua, sistem ini tidak berhasil menyelesaikan kasus-kasus KDRT dan perkosaan karena gagal memberikan sanksi yang jelas untuk pelanggaran yang terjadi. Kalaupun ada sanksi, gagal untuk memastikan penerapan dan penegakannya.

Minim perlindungan hak perempuan Praktek-praktek perceraian bawah tangan (non legal), suami menjatuhkan talak kepada istri dengan fasilitasi penghulu desa, masih sangat marak terjadi di desa, bahkan pada pasangan-pasangan yang menikah secara legal (tercatat di Kantor Urusan Agama/KUA). Perceraian ini berlaku tidak sah, karena tanpa melalui proses persidangan dan pencatatan di Pengadilan Agama. Padahal, berdasarkan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (PA). Penghulu Desa yang umumnya menjadi pihak pertama yang didatangi penduduk desa untuk urusan pernikahan dan perceraian, seharusnya berfungsi memberikan konsultasi hukum tentang perlunya mengurus perceraian secara resmi melalui Pengadilan Agama. Namun seringkali informasi tersebut tidak disampaikan. Sementara pandangan kebanyakan penduduk desa tentang sah tidaknya suatu perceraian masih rancu, mereka mencampuradukan pengertian perceraian yang resmi berdasarkan agama dan yang resmi berdasarkan negara. Dengan demikian, absennya informasi tentang legalitas perceraian dari Pembantu Penghulu kepada penduduk yang mencari bantuannya, membuat praktek perceraian bawah tangan terus berlangsung di desa. Seorang Amil di Cianjur menjelaskan alasannya tidak merujuk kasus ke Pengadilan Agama: “Saya bukannya tidak mengerti bahwa perceraian seharusnya dilakukan di Pengadilan Agama (PA), tapi orang desa, masuk ke kantor desa saja masih buka sandal, apalagi ke PA.... Belum lagi masalah biaya. Biaya mengurus perceraian di PA sangat besar untuk penduduk desa. Padahal, seringkali pasangan suami-istri yang ingin bercerai hanya sedang emosional. Jadi untuk mendamaikan, saya minta mereka pulang dulu untuk berpikir lagi. Kalau mereka tetap mau cerai, baru dibantu.... Sering juga mereka yang baru bercerai sudah datang lagi minta dinikahkan kembali, jadi daripada disuruh pergi ke PA, lebih baik musyawarah dilakukan di desa saja.” Amil kasus perceraian bawah tangan, di Cianjur. Box 3. Profil Pembantu Penghulu (Amil/Lebe) di desa Pembantu Penghulu, yang disebut juga Amil di Jawa Barat dan Lebe di Jawa Tengah, adalah tokoh desa yang pertama kali dicari warga berkaitan dengan kasus-kasus perceraian maupun perkawinan. Mereka pada dasarnya adalah bagian dari struktur Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan dengan status kepegawaian sebagai non PNS yang tidak menerima gaji. Penghasilan mereka diperoleh dari pendapatan desa, terkadang mereka diberikan sebidang tanah yang dapat digarap sebagai sumber penghasilan. Mereka mengemban sejumlah peran, yakni melayani masyarakat utamanya dalam hal perkawinan, perceraian dan kematian. Selain itu, mereka juga menjadi perpanjangan tangan dari Badan Penasehat Pelestarian Perkawinan (B4P) yang ada di KUA, untuk membantu memberikan nasehat perkawinan dalam rangka mempertahankan keutuhan rumah tangga penduduk di tingkat desa. Sesuai dengan tugasnya, setiap kali menghadapi pasangan suami istri yang bersengketa dan ingin bercerai, mereka pertama-tama harus melakukan upaya untuk mendamaikan kedua pihak. Namun saat kedua pasangan suami istri tetap berkeras ingin bercerai, maka Amil/Lebe merujuk kasus untuk diselesaikan di Pengadilan Agama. Pada kasus-kasus perceraian di Brebes, surat pengantar dari Lebe dibutuhkan oleh Pengadilan Agama. Sementara itu, di Cianjur dan Lombok ditemui kasus perceraian yang difasilitasi langsung oleh Penghulu Desa/Amil sebagai saksi perceraian, tanpa merujuk pasangan suami istri tersebut ke Pengadilan Agama. Sebagai bukti sudah terjadi perceraian, mereka membuatkan surat keterangan cerai yang ditandatangani oleh suami, istri dan saksi.

Tiga kasus perceraian bawah tangan di Cianjur dan Lombok memperlihatkan bahwa sistem hukum non negara di desa belum dapat menjamin hak-hak perempuan atas proses dan hasil perceraian. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan beberapa konsekuensi yang dialami oleh perempuan desa saat perceraian dilakukan secara bawah tangan. Pertama, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk membela dirinya dan mengeluarkan

30

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

pendapat/keberatan atas talak cerai yang dijatuhkan suaminya. Kedua, perempuan menjadi rentan atas keputusan-keputusan perceraian yang tidak beralasan kuat, bersifat emosional dan sepihak, karena suami memiliki otoritas penuh untuk menjatuhkan talak tanpa mendapat pengawasan dan pengujian alasan perceraian dari pihak ketiga, termasuk keluarga. Ketiga, hak perempuan atas pembagian harta, pengasuhan anak, dan perolehan nafkah tidak terjamin, sementara hal ini dijamin oleh UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Keempat, kalaupun hak-hak perempuan tersebut di atas dibicarakan, sistem hukum non negara (terutama melalui Pembantu Penghulu) tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk memastikan bahwa keputusan tersebut terlaksana. Kelima, perempuan rentan terhadap pemerasan oleh suami, yaitu berupa “uang tebus talak” yang harus dibayarkan kepada suami untuk menjatuhkan talak, biasanya saat keinginan bercerai bukan datang dari suami. Kasus di bawah ini memperlihatkan bagaimana seorang penyintas mengalami tiga konsekuensi pertama di atas akibat diceraikan secara bawah tangan oleh suaminya. Studi Kasus 2: Kasus perceraian bawah tangan di Cianjur A menikah secara resmi di KUA Sukabumi, tapi apa daya ia diceraikan oleh suaminya B dengan talak yang difasilitasi Amil setempat. Masalahnya, B cemburu kepada A dan menuduh A berselingkuh dengan tetangga mereka. Kesal karena terus dicemburui akhirnya A mengaku bahwa ia menyukai tetangga tersebut. Mendengar jawaban itu, B segera menyeret A ke rumah Kepala Desa untuk diceraikan. Karena Kepala Desa sedang sakit, mereka dianjurkan untuk menemui Amil di Kantor Desa. Dihadapan Amil, B menyatakan keinginannya untuk menceraikan A dengan alasan tidak ada kecocokan lagi. Amil berusaha menasehati bahwa perceraian itu walaupun halal tapi dibenci oleh Tuhan, dan menyuruh mereka pulang untuk mempertimbangkan kembali maksud tersebut. Namun sore harinya B dan A kembali lagi dengan keputusan yang bulat untuk bercerai. A tidak menerima perlakuan dan keputusan suaminya, namun ia tidak dapat berbuat apapun, karena berpendapat bahwa sebagai istri ia tidak dapat menggugat talak yang dijatuhkan suaminya. Amil tidak menjelaskan bahwa perceraian seharusnya dilakukan di Pengadilan Agama, walau tahu bahwa A dan B menikah tercatat di KUA. Ia juga tidak berusaha menggali dan menguji alasan perceraian serta tidak membahas masalah pemenuhan hak-hak A sebagai istri dari perceraian tersebut, seperti nafkah, pembagian harta dan hak asuh anak. Ia lalu memanggil Ketua RT untuk bersama dirinya menjadi saksi perceraian. Sore itu juga B menjatuhkan talak cerai kepada A dihadapan Amil dan Ketua RT sebagai saksinya. Setelah itu, Amil membuatkan surat keterangan cerai berdasarkan format surat yang ada di Kantor Desa, isinya menyatakan bahwa B telah menceraikan A dengan talak satu. Surat itu ditandatangani B, A dan kedua saksi. Setelah jatuh talak, Amil kemudian mengambil surat nikah B dan A, dengan alasan akan mengembalikannya jika mereka rujuk lagi dalam masa iddah. Pada hari itu juga A diantar B kembali ke rumah orangtuanya. Namun ternyata hanya dalam waktu tiga hari B sudah mengajak A untuk rujuk kembali, dengan memberikan 4 syarat kepada A, yaitu harus pakai kerudung, harus selalu melapor kepada B kemanapun ingin pergi, harus sholat lima waktu, dan harus memenuhi kewajiban istri kepada suami.

Penyintas pada kasus di atas kehilangan haknya atas pembelaan diri, harta, anak, nafkah dan keputusan perceraian yang adil. Peluangnya untuk memperoleh perlindungan dan pemenuhan haknya atas perceraian tertutup saat Amil tidak memberikan informasi tentang proses perceraian yang legal.

Pengambilan keputusan yang tidak berpihak pada korban Keputusan-keputusan dari sistem hukum non negara telah disebutkan seringkali tidak berpihak pada korban, karena didasarkan pada pandangan subyektif yang bias gender serta mengutamakan harmoni dialami oleh beberapa penyintas dalam studi ini. Beberapa kasus perkosaan dan KDRT memperlihatkan bahwa pengambilan keputusan aparat desa masih sangat dilatarbelakangi oleh konsep pikir dan nilai-nilai yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Akibatnya, keputusan mereka memiliki potensi besar untuk merugikan penyintas. Pada kasus perkosaan di Lombok, Kepala Dusun yang dilapori kasus perkosaan yang dialami penyintas saat bekerja sebagai buruh bangunan hingga akhirnya hamil, tidak melaporkan kasus ke Polisi tetapi mencoba

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

31

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

mencari pelaku untuk meminta pertanggungjawaban. Mengapa tidak dilapor ke Polisi walaupun keluarga penyintas melaporkan kasus tersebut adalah perkosaan? Karena ia telah secara subyektif menilai bahwa kasus tersebut adalah kehamilan di luar nikah atas dasar hubungan “suka sama suka.” Anggapannya ini didasarkan atas latar belakang keluarga penyintas, yaitu ibunya meninggalkan suaminya untuk menikah lagi dengan orang lain tanpa ada perceraian dan dua orang kakak penyintas mengalami kejadian hamil di luar nikah. Karena latar belakang ini, penyintas mendapat label negatif sebagai “yang bersalah” bahkan sebelum dilakukan pembuktian secara hukum. Akibat tidak terselesaikannya masalah tersebut, penyintas akhirnya pindah dari desa tempat tinggalnya dan tinggal bersama ibunya di desa lain. “Sebaiknya masalah diselesaikan dengan jalan kekeluargaan saja, agar kedamaian di desa tidak terganggu dan nama baik desa tidak rusak...”’ Pak Lurah kasus perkosaan, Brebes. Keputusan aparat desa juga cenderung memprioritaskan harmoni daripada kepentingan penyintas sebagai korban KDRT atau perkosaan. Ungkapan Pak Lurah di atas memperlihatkan dilema yang dihadapi aparat desa dalam memilih antara kebenaran dan keadilan di satu pihak dan kedamaian dan keharmonisan masyarakat dan desa di pihak lainnya. Seringkali pilihan yang kedua yang diambil dengan mengorbankan hak-hak hukum penyintas. Kerancuan ini juga terlihat pada kasus perkosaan dua orang anak (berusia 5 tahun) oleh pelaku yang juga berusia anak (12 tahun) di Brebes. Walau pelaku sudah ditahan Polisi, Lurah masih berupaya mendamaikan kedua pihak, agar kasus tidak perlu diselesaikan melalui jalur hukum negara. Kerukunan desa lebih diutamakan, terlebih karena menurutnya hal tersebut hanyalah masalah “anak-anak.”

Lemah dalam pemberian sanksi dan penegakan hukum Apa yang di satu sisi menjadi kekuatan sistem hukum non negara—kedekatan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kasus hukum dan sifat informalitas dari penegakan hukumnya—ternyata juga menjadi kelemahan dari sistem ini untuk mengambil keputusan, menetapkan sanksi hukum yang tegas dan memastikan penegakannya. Hal ini secara jelas terlihat pada kasus-kasus KDRT, terutama karena masih kuatnya nilai dan norma yang mengatakan bahwa masalah domestik keluarga adalah masalah pribadi. Anggapan ini, ditambah dengan faktor “kedekatan” dengan pelaku, membuat para aparat desa sulit memberikan sanksi. Pada kasus perkosaan, terlihat bahwa walaupun sanksi sudah ditetapkan, tidak ada mekanisme yang baku untuk memastikan pelaksanaannya. Tiadanya sanksi yang jelas dan penegakkannya menyebabkan tidak mampunya sistem ini memberikan “efek jera” kepada pelaku KDRT. Dalam beberapa kasus KDRT yang tidak dapat diselesaikan oleh sistem ini, terlihat bahwa umumnya aparat desa atau tokoh agama hanya memberikan nasehat-nasehat dan berupaya mendamaikan kedua pihak kembali. Pada kasus-kasus tersebut akibatnya KDRT terus terulang kembali, dan setiap kali penyintas melaporkan kejadian pada aparat desa, penanganan yang sama yang diberikan lagi. Sementara pada kasus perkosaan di Lombok, walaupun sanksi telah ditentukan secara adat Hindu, yaitu pelaku harus menikahi penyintas, sistem ini gagal memastikan penegakannya. Saat pelaku mengingkari janjinya untuk menikahi penyintas, maka sistem ini tidak ada prosedur formal apapun yang menjamin pelaksanaan dari keputusan adat yang sudah ditetapkan tersebut. Gagal memperoleh keadilan melalui sistem hukum non negara, penyintas kemudian melanjutkan upayanya dengan mengakses sistem hukum negara.

2. Melalui Sistem Hukum Negara di Luar Desa Jalur lain yang ditempuh penyintas untuk menyelesaikan kasus hukumnya adalah melalui jalur sistem hukum negara. Namun demikian, jalur ini oleh penyintas masih dirasakan sebagai sesuatu yang birokratis, formal, mahal dan jauh dari desa, sehingga menjadi alternatif terakhir bagi penyelesaian kasus hukum yang dialami penyintas. Tingkat kesadaran hukum penyintas pada dasarnya akan turut menentukan apakah ia akan

32

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

mencari keadilan melalui jalur hukum negara. Masalahnya, kesadaran hukum para penyintas umumnya masih sangat rendah. Dari dua puluh delapan kasus yang diangkat dalam studi ini, hanya satu penyintas, seorang guru PNS yang bersuamikan Polisi, yang dengan kesadaran sendiri melaporkan kasus kejahatan perkawinan yang dilakukan suaminya ke Polisi. Lalu, bagaimana penyintas dalam studi ini berhasil mengakses sistem hukum ini? Studi ini menemukan bahwa penyintas dapat mengakses sistem hukum negara saat: 1) keluarga, biasanya ayah atau suami sebagai pihak yang memiliki otoritas, memutuskan untuk membawa kasus ke sistem hukum negara dan 2) adanya aktor-aktor intermediasi yang merujuk kasus ke sistem hukum negara. Keputusan keluarga untuk mencari penyelesaian kasus hukum melalui jalur hukum negara umumnya terjadi pada saat, pertama, penyintas mengalami penganiayaan berat akibat KDRT atau perkosaan yang dialaminya. Pada kondisi ini biasanya keluarga berkeputusan untuk melaporkan kasus ke Polisi. Kedua, dalam kasuskasus perceraian, saat suami memiliki kepentingan akan adanya perceraian yang legal melalui Pengadilan Agama, misalnya karena statusnya sebagai PNS. Lalu siapa yang dimaksud dengan aktor-aktor intermediasi, yang terbukti telah membukakan akses penyintas kepada sistem hukum negara? Studi ini mengidentifikasi tiga aktor intermediasi yang berfungsi merujuk kasus ke jalur hukum negara. Pertama adalah Aktor Desa (AD), dapat berupa aparat desa dan tokoh agama/masyarakat/adat. Mereka tidak lain adalah aktor-aktor dalam sistem hukum non negara di desa. Kedua adalah Fasilitator Hukum di desa (FH), yaitu tokoh-tokoh yang secara khusus berperan memberikan kesadaran dan bantuan hukum, baik penduduk desa (Kader Hukum) maupun staf PEKKA yang tinggal di desa (pendamping lapangan). Keberadaan FH dalam studi ini terkait dengan pelaksanaan program WLE. Ketiga adalah Aktor Eksternal (AE), yaitu pihak-pihak lain yang berasal dari luar desa. Seringkali ketiga peran intermediasi ini dijalankan bersamaan, misalnya tokoh masyarakat juga mengambil peran sebagai Fasilitator Hukum. Tabel 6. Aktor Intermediasi Karakteristik

Aktor Desa

Fasilitator Hukum

Akter Eksternal

Lokus

Desa

Desa

Luar desa

Aktor

Kepala Desa Kepala Dusun Penghulu Desa/ Amil/Lebe Polisi Desa Tokoh masyarakat Tokoh agama Tokoh adat Bidan Desa.

Kader Hukum Pendamping Lapangan

MSF (Multistakeholder Forum) bidang hukum Wartawan media LBH (Perempuan) LSM

Pengetahuan tentang Hukum

Berkisar pada hukum non negara

Berkisar pada hukum tentang KDRT dan pernikahan

Memahami sistem hukum negara

Pengetahuan tentang isu gender

Tidak ada

Ada

Ada

Melalui Aktor Desa Seringkali, karena tidak dapat menyelesaikan kasus maka Aktor Desa akan merujuk kasus hukum penyintas ke otoritas yang lebih tinggi. Dalam situasi inilah terlihat hubungan saling melengkapi antar kedua jalur penyelesaian kasus hukum negara dan non negara. Dengan demikian, beberapa penyintas dapat mulai mengakses sistem hukum negara untuk mencari keadilan pada saat Aktor Desa “membuka jalan,” yaitu

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

33

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

merujuk kasus mereka ke aparat penegak hukum. Dalam studi ini, ada enam kasus yang dirujuk oleh Aktor Desa ke sistem hukum negara, yaitu satu kasus perkosaan, satu kasus perceraian, tiga kasus KDRT, dan satu kasus warisan. Inisiatif yang kondisional dan ad hoc Masalahnya, umumnya Aktor Desa merujuk kasus bukan karena suatu alasan hukum atau berdasarkan mandat struktural mereka di desa, tetapi berdasarkan subyektivitasnya dalam menilai suatu perkara. Sebagai aktor dalam sistem hukum non negara di desa, mereka cenderung untuk mencoba menyelesaikan kasus hukum di tingkat desa terlebih dulu. Inisiatif untuk merujuk kasus ke Polisi atau Pengadilan Agama umumnya dilakukan apabila, pertama, terjadi penganiayaan yang cukup berat atau konsekuensi fatal yang dialami penyintas; kedua, adanya keresahan sosial di masyarakat akibat kejadian yang dialami penyintas sehingga berpotensi menyulut terjadinya tindakan anarki dari masyarakat; ketiga, perkara tidak dapat diselesaikan melalui jalan musyawarah di tingkat keluarga atau desa, sehingga membutuhkan otoritas yang lebih tinggi lagi untuk penyelesaian perkara; atau keempat, perkara tidak dalam kapasitas mereka. Dengan demikian, Aktor Desa tidak merujuk kasus karena kesadaran mereka bahwa sistem hukum negara dapat memberikan keadilan kepada penyintas. Inisiatif tersebut lebih bersifat kondisional dan ad hoc, didorong oleh keempat faktor tersebut di atas. Faktor pertama dan kedua melatarbelakangi kasus-kasus KDRT dan perkosaan, termasuk incest. Sementara itu faktor ketiga dan keempat melatarbelakangi kasuskasus perceraian, terkait dengan pembagian harta gono gini dan warisan. Contohnya, Amil di Cianjur merujuk kasus perceraian ke Pengadilan Agama saat proses perceraian bawah tangan yang dilakukan dengan fasilitasi keluarga dan tokoh agama tidak membawa hasil, karena suami tetap menolak tuntutan cerai istrinya dan mengatakan baru mau menceraikan istrinya apabila proses dilakukan di Pengadilan Agama. Merujuk saja, minim pendampingan hukum Perlu menjadi catatan bahwa Aktor Desa utamanya hanya melaporkan kasus ke Polisi atau kasus dirujuk ke Pengadilan Agama, tanpa memberikan pendampingan hukum. Dalam beberapa kasus, pendampingan hukum dilakukan oleh Amil/Lebe dalam bentuk mendaftarkan kasus penyintas ke Pengadilan Agama. Dalam kasus-kasus perkosaan, aparat desa umumnya hanya sebatas menyerahkan pelaku ke kantor Polisi dan/ atau membantu Polisi mencarikan saksi-saksi di desa. Tanpa pendampingan hukum, penyintas seringkali menghadapi kesulitan dan intimidasi dari berbagai pihak, termasuk dari pertanyaan-pertanyaan para aparat penegak hukum saat menjalani penyidikan dan persidangan. Merujuk karena ada kepentingan pribadi Dalam kasus-kasus perceraian, Aktor Desa, yaitu Penghulu Desa/Amil/Lebe memiliki kepentingan pribadi untuk merujuk kasus penyintas ke Pengadilan Agama. Merujuk kasus berarti mendatangkan penghasilan tersendiri bagi mereka. Kalau bukan dari surat keterangan yang dibuatkan, “penghasilan” diperoleh dari jasanya mendaftarkan kasus atau bahkan mendampingi penyintas setiap kali pergi ke Pengadilan Agama. Kasus-kasus di Cianjur dan Brebes memperlihatkan hal ini. Sebagai contoh,di Cianjur, seorang Amil menuntut uang sebesar Rp. 1,2 juta untuk membantu proses perceraian penyintas di Pengadilan Agama. Penyintas akhirnya menyanggupi uang sebesar Rp. 750 ribu. Sementara, biaya resmi untuk mendaftarkan gugatan cerai di Pengadilan Agama Cianjur hanya berkisar antara Rp. 286 ribu sampai Rp. 366 ribu. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan inilah yang seringkali membuat penyintas enggan mengurus perceraian secara legal di Pengadilan Agama.

Melalui Fasilitator Hukum di desa Keberadaan Fasilitator Hukum di desa terbukti sangat membuka akses para penyintas terhadap sistem hukum negara. Dalam studi kasus ini, keberadaan Fasilitator Hukum di desa berkaitan dengan keberadaan program Pemberdayaan Hukum Perempuan (WLE) yang dilakukan oleh PEKKA bekerjasama dengan Program Justice

34

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

for the Poor–Bank Dunia. Fasilitator Hukum di desa ini mencakup Kader Hukum dan Pendamping Lapangan (PL) PEKKA. Box 4. Profil Fasilitator Hukum di desa Fasilitator Hukum dalam studi ini adalah Kader Hukum dan pendamping lapangan. Kader Hukum adalah perempuan desa, anggota PEKKA ataupun tidak, yang bergerak aktif memberikan penyadaran hukum bagi perempuan desa dan melakukan dokumentasi kasus-kasus hukum yang dialami perempuan desa. Mereka berasal dari berbagai kalangan, baik tokoh masyarakat (seperti aktivis PKK dan Posyandu), tokoh agama maupun ibu rumah tangga biasa. Namun biasanya Kader Hukum sudah cukup di kenal oleh penduduk desa. Peranan Kader Hukum adalah: 1. Memberikan informasi hukum pada perempuan dan masyarakat di desa 2. Melakukan pendampingan dan merujuk kasus 3. Mendokumentasikan kasus-kasus yang dialami oleh perempuan di desa Kader Hukum tidak memperoleh gaji, namun PEKKA menyediakan anggaran untuk operasional Kader Hukum, terutama untuk transportasi dan konsumsi dalam menjalankan perannya tersebut di atas. Saat studi ini berlangsung, terdapat 8 orang Kader Hukum di wilayah Kabupaten Cianjur, 8 orang Kader Hukum di Kabupaten Brebes dan 15 orang Kader Hukum di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah. Sementara, Pendamping Lapangan adalah staf Sekretariat Nasional PEKKA yang berkedudukan di tingkat kecamatan namun tinggal di desa dan bertugas melakukan pemberdayaan, khususnya bagi kelompok perempuan kepala keluarga di desa, selain masyarakat pada umumnya. Dalam bidang hukum, Pendamping Lapangan bertugas mendampingi Kader Hukum yang ada dalam kecamatan lingkup kerjanya, mempersiapkan mereka untuk menjalankan peran-perannya (kaderisasi).

Apa yang membedakan Fasilitator Hukum dengan Aktor Desa dalam memperkuat akses penyintas terhadap keadilan? Pertama, Fasilitator Hukum memiliki pengetahuan dasar tentang gender dan pengetahuan teknis hukum untuk kasus-kasus hukum yang dialami perempuan. Materi hukum yang dikuasai terutama adalah yang terkait dengan hukum keluarga, pentingnya identitas legal serta kekerasan dalam rumah tangga. Dengan pemahaman ini, mereka secara aktif membantu perempuan desa yang membutuhkan konsultasi hukum, bahkan pendampingan hukum. Kedua, mereka bekerja dalam sebuah sistem jaringan yang menghubungkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), baik yang berada di desa maupun di luar desa, dari kasus hukum yang dialami oleh seorang penyintas, yaitu antara penyintas, Fasilitator Desa dan tokoh-tokoh di desa, dengan para aparat penegak hukum maupun pemerintahan di tingkat kabupaten/ propinsi (MSF). Enam kasus yang difasilitasi oleh Fasilitator Hukum dalam studi ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kasus perkosaan anak di Cianjur, tidak saja pelaku dihukum penjara, tetapi penyintas menikmati pendampingan hukum selama proses penyidikan dan persidangan. Pada kasus-kasus perceraian, penyintas yang ingin bercerai dari suaminya karena alasan KDRT akhirnya dapat memperoleh akte cerai dari Pengadilan Agama. Kader Hukum tidak saja membantu mendaftarkan kasus ke Pengadilan Agama, tetapi juga aktif membantu mencarikan saksi-saksi yang dibutuhkan dalam persidangan. Sementara itu, dua orang penyintas mantan TKW yang menghadapi kasus KDRT dan penipuan gaji dapat dibantu oleh Fasilitator Hukum sehingga berhasil memperoleh sebagian dari gaji yang tidak dibayarkan oleh majikan. Lalu bagaimana penyintas dapat berhubungan dengan Fasilitator Hukum tersebut? Umumnya ada dua cara, pertama, penyintas mendengar kabar tentang keberadaan Fasilitator Hukum dari masyarakat sekitar dan kemudian langsung menemui mereka untuk meminta bantuan. Kedua, masyarakat yang melaporkan kasus hukum yang dialami oleh perempuan desa kepada Fasilitator Hukum, sehingga Fasilitator Hukum yang bertindak proaktif menemui penyintas, lalu merujuk atau sekaligus mendampingi penyintas melaporkan kasus ke pihak yang berwenang. Konsisten merujuk kasus Inisiatif Fasilitator Hukum merujuk kasus ke sistem hukum negara tidak dilandaskan atas situasi-situasi yang ad hoc, tetapi pada pemahaman tentang hak-hak hukum perempuan dan teknik pendampingan hukum

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

35

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

bagi perempuan. Hal ini disebabkan karena peran mereka secara khusus adalah melakukan pemberdayaan hukum bagi perempuan di desa, sehingga mereka memiliki motivasi dan semangat yang khusus dalam membantu penyintas mengakses keadilan dibanding dengan Aktor Desa. Saat menerima laporan atau dilaporkan tentang suatu kasus, biasanya Fasilitator Hukum akan memberikan konsultasi hukum kepada penyintas, memberitahu tentang hak-haknya sebagai perempuan dalam kasus tersebut dan alternatif tindakan hukum yang dapat diambil untuk memperoleh penyelesaian kasus. Saat kesadaran hukum muncul dan penyintas ingin mengakses sistem penyelesaian kasus hukum yang ada, maka Fasilitator Hukum akan memberikan bantuan hukum berupa pendampingan hukum, yang dimulai dengan merujuk kasus ke sistem hukum negara. Berfungsi lebih dari sekedar merujuk kasus Umumnya, Fasilitator Hukum memberikan bantuan lebih dari sekedar merujuk kasus ke sistem hukum negara. Perannya yang kompleks tersebut meliputi: 1) memberikan informasi dan konsultasi hukum; 2) merujuk kasus ke institusi hukum negara; 3) melakukan pendampingan korban selama proses penyidikan di kePolisian dan kejaksaan dan proses persidangan di pengadilan; 4) memberikan penguatan bagi korban selama proses ataupun paska penyelesaian kasus; dan 5) melakukan monitoring kasus serta memberikan laporan perkembangan kasus tersebut kepada korban dan keluarganya. Kasus di bawah menunjukkan peran Kader Hukum tersebut. Studi Kasus 3: Perkosaan anak terbelakang mental di Cianjur A (11 tahun), seorang anak perempuan yang mengalami keterbelakangan mental dan tinggal bersama neneknya, diperkosa beberapa kali oleh B (41 tahun), tetangganya sendiri. B menjanjikan uang sebesar Rp 500 sampai Rp 1.000 sehingga A mau bersetubuh dengannya. Kasus terungkap saat seorang teman A ternyata melihat kejadian dan mulai mengolok-olok A atas apa yang dilakukan dengan B. Ibu-ibu yang mendengar olokan itu langsung memeriksa kebenarannya dan akhirnya membawa A ke puskesmas untuk diperiksa bidan desa. Melihat kondisi A yang sudah tidak perawan lagi, bidan segera menganjurkan warga menghubungi Kader Hukum, yang setelah mengetahui perkara segera melaporkan kasus ke Polisi. B akhirnya diserahkan oleh Kepala Dusun dan beberapa warga ke Polsek Cimacan. Sementara itu, Kader Hukum membawa penyintas menjalani visum dan menemani selama proses penyidikan. Ketiadaan RPK (Ruang Pelayanan Khusus) di Polsek Cimacan sangat tergantikan dengan adanya Kader Hukum, karena ia membantu Polisi penyidik menggali informasi ke penyintas. Kader Hukum juga diminta Hakim memberikan pendampingan bagi penyintas selama persidangan, karena Hakim mengalami kesulitan dalam menggali informasi ke penyintas. Pelaku mengakui perbuatannya, sehingga proses persidangan berjalan lancar. Ia akhirnya divonis 14 tahun hukuman penjara. Seusai proses persidangan, Kader Hukum masih terus mengupayakan kebutuhan pemulihan penyintas, terutama berusaha mencarikan dana untuk pendidikan di sekolah luar biasa, hanya saja upaya ini belum berhasil.

Melakukan intervensi hukum atas kasus yang sedang diproses Tidak hanya memberikan bantuan hukum saat diminta oleh penyintas, Fasilitator Hukum juga tidak segansegan melakukan intervensi hukum atas kasus-kasus yang sedang diproses melalui jalur hukum negara. Komitmen mereka atas upaya pemberdayaan hukum perempuan dan perlindungan hukum atas hak-hak perempuan desa telah mendorong mereka untuk berpartisipasi menjamin adanya proses hukum dan peradilan yang tidak memihak dan adil, sehingga dapat memberikan hasil yang adil kepada penyintas. Studi Kasus 4: Kasus perkosaan anak berprofesi sebagai penyanyi di Brebes A (16 tahun), seorang biduan dangdut yang baru memulai karirnya, diperkosa oleh B (45 th), seorang pengusaha toko emas etnis Cina. Seorang teman mengajaknya untuk bernyanyi, tapi ternyata justru pergi ke cafe bertemu dengan B dan dua orang oknum anggota polsek Larangan. Di sana A diajak B berjoget,

36

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

dipaksa minum-minuman keras lalu diajak beristirahat di sebuah hotel. Di kamar hotel A diperkosa, lalu diberi uang Rp 100 ribu dan diantar pulang ke rumah. Ayahnya yang curiga melihat A pulang subuh, langsung menginterogasi dan membawa A ke Puskesmas untuk diperiksa dan hasilnya mengatakan korban sudah tidak perawan lagi. Ayah A langsung mencari teman yang mengajak A menyanyi, dan setelah mendapatkan nama B sebagai tersangka, langsung melaporkan B ke Polsek Larangan pagi itu juga. Ayah A juga meminta bantuan hukum ke salah satu Lembaga Bantuan Hukum di Brebes, namun tidak berlanjut. Saat penyidikan, B tidak didampingi kuasa hukum, sehingga ia sempat dipaksa membuat pengakuan yang tidak pernah ia lakukan, yaitu sudah pernah berhubungan seksual sebelumnya. Proses hukum berjalan cukup panjang dan alot, karena Polisi sempat memproses ulang penyidikan, sehingga ada 2 versi Berita Acara Polisi (BAP). Proses juga diwarnai isu suap dari pelaku ke aparat penegak hukum. Warga mulai berdemo ke pengadilan. Melihat alotnya proses persidangan, sementara A tidak didampingi pengacara selama persidangan, PL mencoba menghubungi beberapa LSM lokal untuk mencari bantuan hukum, tapi tidak berhasil karena disangsikan kasus adalah murni perkosaan. PL akhirnya melakukan konsultasi hukum dengan dosen hukumnya, dan disarankan untuk membentuk kelompok-kelompok pressure, khususnya kelompok perempuan, yang bergerak secara terbuka di persidangan maupun di lingkungan desa. PL mulai mendiskusikan hal tersebut dengan istri Lurah yang kemudian melahirkan aksi demo ibu-ibu desa di pengadilan, disertai dengan orasi istri Lurah dan kemudian dilanjutkan dengan demo ke gedung DPRD. Komisi A DPRD Kabupaten Brebes kemudian meminta media massa untuk terus memberitakan perkembangan persidangan dengan obyektif sehingga publik bisa turut memantau proses. Selain itu, PL juga berusaha memberikan pendampingan hukum kepada warga desa. Ia, bersama dengan anggota Polres Brebes, mencoba mempertemukan pihak penegak hukum dengan tokoh masyarakat dan pemuda di desa, setelah adanya keresahan masyarakat akibat Polisi menangkap beberapa orang pemuda yang melakukan tindakan kerusuhan dengan membakar rumah pelaku. Akhirnya Hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara bagi pelaku, dengan tuduhan terdakwa telah melakukan pencabulan terhadap anak dibawah umur (Pasal 293 KUHP) dan membiarkan dilakukannya perbuatan cabul terhadap anak-anak (Pasal 82 UU 23/2002).

Dalam kasus di atas, Fasilitator Hukum bersikap responsif terhadap kasus yang dialami perempuan di desa, terlebih karena menimbulkan keresahan penduduk desa. Ia mulai bergerak aktif mencari bantuan hukum bagi penyintas, yang diketahuinya belum mendapat pendampingan hukum dari siapapun. Konsultasinya dengan dosennya semasa kuliah di Fakultas Hukum akhirnya memberinya gagasan untuk menggerakkan massa perempuan desa sebagai peer presure, yang terbukti mengangkat posisi tawar penyintas sebagai korban terhadap pelaku yang memiliki status sosial ekonomi lebih tinggi. Dilihat dari keberadaannya di desa, peran Fasilitator Hukum lebih bersifat sustained dibanding dengan Aktor Desa, karena Fasilitator Hukum memiliki tujuan yang spesifik hukum dari keberadaannya di desa, yaitu untuk melakukan pemberdayaan hukum bagi perempuan desa. Sedangkan peran Aktor Desa lebih bersifat ad hoc karena bersifat situasional dalam melakukan perannya merujuk kasus ke institusi hukum negara. Implikasinya, Fasilitator Hukum dapat lebih diandalkan untuk memperkuat akses perempuan desa kepada sistem hukum negara di banding aktor desa perujuk kasus.

Melalui Aktor Eksternal Selain kedua aktor intermediasi di atas, penyintas juga dapat mengakses sistem hukum negara melalui bantuan atau intervensi dari Aktor Eksternal dari luar desa. Beberapa aktor eksternal teridentifikasi melalui studi ini. Pertama adalah Multi-stakeholder Forum (MSF) yang beranggotakan perwakilan dari KePolisian, Kejaksanaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pemerintah Daerah, Dinas Tenaga Kerja dan LSM lokal. Kedua adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) lokal. Ketiga adalah media, termasuk wartawan media massa yang sering meliput berita di desa. MSF menampung kasus dan melakukan koordinasi Keberadaan MSF telah turut membuka peluang bagi penyintas untuk mengakses keadilan melalui sistem hukum negara. Karena tidak hanya dibentuk untuk lebih memahami berbagai permasalahan hukum

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

37

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

perempuan di desa, MSF juga berperan untuk merespon kasus-kasus hukum yang mereka temui di desa, terutama saat melakukan kunjungan ke desa. Saat mengunjungi desa, MSF secara khusus memberikan penyuluhan hukum langsung kepada perempuan desa, khususnya anggota PEKKA. Dalam kesempatan ini, penyintas mendapat peluang untuk menanyakan prospek penyelesaian kasusnya melalui sistem negara. Sebaliknya, bagi aparat hukum, kesempatan ini juga menjadi peluang untuk “menjemput bola” kasus-kasus hukum yang membutuhkan pelayanan. Seorang penyintas yang mengalami kasus perburuhan berkesempatan untuk mengadukan perkaranya kepada seorang anggota MSF dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Cianjur saat MSF sedang berkunjung ke desa memberikan penyuluhan hukum. Kasus ditampung dan ditindaklanjuti. Staf Disnaker ini mengunjungi pabrik obat tempat penyintas bekerja untuk memastikan tidak ada praktek pelanggaran peraturan ketenagakerjaan di perusahaan tersebut. Fasilitasi ini membawa hasil, perusahaan memberikan uang sejumlah Rp 250 ribu kepada penyintas sebagai pesangon, dan tidak lama kemudian kembali mempekerjakan penyintas. Sesama anggota MSF juga saling berkoordinasi untuk memastikan penyintas memperoleh respon optimal dari sistem hukum negara untuk penyelesaian kasusnya. Dalam kasus perkosaan dua orang anak usia 5 tahun di Brebes, anggota MSF dari Pemda Brebes yang mendengar berita perkosaan tersebut dari seorang wartawan segera menghubungi anggota MSF dari Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polres Brebes untuk memastikan apakah kasus sudah dilaporkan ke Polisi dan agar segera ditangani oleh polwan di RPK karena korbannya adalah anak perempuan. Hubungan yang baik dan intensif yang mulai terjadi diantara para anggota MSF mendorong terbangunnya koordinasi di antara mereka apabila terjadi kasus-kasus terkait dengan perempuan. Box 5. Profil MSF Multi-stakeholder Forum (MSF) adalah forum dari berbagai pemangku kepentingan untuk kasus-kasus hukum perempuan yang dibentuk terkait dengan pelaksanaan program WLE. MSF beranggotakan aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama), aparat pemerintah (terutama dari Pemda Propinsi dan Kabupaten serta Dinas Tenaga Kerja), LSM atau LBH, serta akademisi yang terkait. Tugas dan fungsi MSF adalah: 1. Memberikan masukan baik untuk materi maupun dalam pelatihan dan penyadaran hukum yang dilakukan oleh Pendamping Lapangan (PL) dan Kader Hukum PEKKA di desa. 2. Menjadi narasumber dalam pelatihan hukum bagi kelompok perempuan PEKKA di tingkat desa (Kunjungan MSF ke desa). Dalam kegiatan ini, proses pembelajaran dua arah terjadi, tidak saja perempuan desa belajar materi hukum dari kegiatan ini, tapi anggota MSF belajar tentang kebutuhan hukum yang spesifik perempuan di desa. 3. Melakukan diskusi rutin MSF mengenai isu perempuan pada umumnya dan isu kekerasan terhadap perempuan. 4. Mendiskusikan pengalaman penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi guna memperoleh pembelajaran dan menjadikannya materi pelatihan hukum perempuan anggota PEKKA di desa. 5. Membantu memfasilitasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan. 6. Memberikan dukungan dan masukan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi baik yang dialami oleh perempuan PEKKA maupun perempuan pada umumnya.

LSM dan LBH memberikan bantuan hukum bagi perempuan desa Akses perempuan desa terhadap sistem hukum negara juga diperkuat oleh keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), terutama LBH Perempuan seperti LBH Apik. Masalahnya, tidak setiap perempuan desa memiliki kesempatan mengakses LBH, terutama karena ketidaktahuan. Informasi tentang keberadaan LBH masih sangat terbatas di kalangan masyarakat desa. Beberapa penyintas memiliki akses terhadap LBH karena keberadaan Fasilitator Hukum yang menghubungkan penyintas dengan pelayanan bantuan hukum LBH Perempuan. Dengan bantuan LBH Perempuan, peluang penyintas untuk dapat memperoleh keadilan menjadi lebih besar. Tidak hanya merujuk kasus, LBH Perempuan secara aktif memberikan pendampingan bagi perempuan pencari keadilan. Selain melalui Fasilitator Hukum, beberapa penyintas dalam studi ini secara kebetulan dapat memanfaatkan pelayanan LBH Perempuan karena ada keluarga atau kenalan yang tahu keberadaan LBH atau kenal dengan salah seorang staf LBH.

38

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Kasus berikut ini memberikan gambaran tentang bagaimana keterlibatan LBH Apik sangat berperan dalam menggiring kasus perkosaan yang dialami penyintas, hingga proses penanganannya boleh berlanjut sampai ke persidangan. Studi Kasus 5: Kasus perkosaan oleh majikan di Lombok A (38 tahun) diperkosa oleh B (45 tahun), majikannya yang juga adalah Kepala Dusun dan masih ada hubungan saudara, sejak tahun 1996 sampai awal tahun 2006. Perbuatan itu dilakukan berulang kali dengan ancaman kekerasan dan janji akan mengawini A. Awal tahun 2006, A akhirnya menceritakan apa yang terjadi kepada Bibinya yang mulai mencurigai A karena tubuhnya seperti orang hamil. Keluarga A mencoba menyelesaikan perkara secara hukum adat Hindu. Musyawarah keluarga memutuskan mengirim 4 orang utusan untuk menemui B dan meminta pertanggungjawabannya. Saat itu B mengakui perbuatannya dan mau bertanggungjawab mengawini A, namun beberapa hari kemudian mengurungkan niatnya karena istrinya tidak setuju. Akhirnya ayah A melaporkan B ke Polres Lombok Barat pada tanggal 21 Februari 2006 dengan tuduhan perkosaan. Proses penyidikan cukup alot. Hasil visum menyatakan ada luka lama, sementara pelaku tidak mengakui perbuatannya. Situasi bertambah buruk saat dalam penyidikan pelaku menuduh korban tidak waras. Seorang keluarga mengetahui keberadaan LBH Apik Mataram dan meminta bantuan hukum bagi korban. Setelah LBH Apik terlibat, kasus diproses ulang oleh Polisi, dimasukan sebagai berkas perkara baru pada tanggal 15 April 2006 dengan pelanggaran yang sama, yaitu atas pasal 285 KUHP dan pasal 5 c UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT. LBH Apik terus mendampingi korban selama kasus diproses di Kejaksaan Negeri Mataram. Prosesnya tidak kalah alot, upaya membawa kasus ke persidangan tertunda hampir setahun disebabkan karena berkas perkara dianggap tidak lengkap (status P19) dan dikembalikan ke KePolisian hingga 4 kali. Masalahnya, belum ditemukan adanya bukti pendukung bagi unsur kekerasan dan paksaan, sedangkan hasil visum et repertum yang menyatakan “adanya luka lama” tidak dapat membuktikan unsur kekerasan tersebut. Korban bahkan sempat diminta Kejaksaan untuk melakukan tes kesehatan jiwa di Rumah Sakit Jiwa selama 2 minggu. Hasilnya korban dinyatakan sehat. Penundaan ini membuat LBH Apik mengorganisasi demo dan hearing di Kejaksaan Negeri Mataram, hingga pada Maret 2007 Kejaksaan menyatakan status P 21 (berkas lengkap) dan menyerahkan berkas ke Pengadilan Negeri Mataram. Selama persidangan, LBH Apik juga terus memberikan pendampingan hukum. Saat persidangan mulai menyudutkan korban dengan mempertanyakan apakah ada motivasi “suka sama suka” dengan pelaku, LBH Apik sekali lagi mengorganisasi demo dalam bentuk long march, untuk memberikan dukungan moril bagi korban dan pressure bagi Majelis Hakim untuk menghukum pelaku. Saat ini kasus sedang dalam proses naik banding ke Pengadilan Tinggi Mataram.

Media: menyuarakan, melapor dan mengawasi kasus Keterlibatan media dalam beberapa kasus terlihat turut membuka jalan bagi penyintas untuk dapat menikmati pelayanan sistem hukum negara. Tiga peran media yang dapat ditarik dari pembelajaran studi kasus ini adalah, pertama, pemberitaan media terbukti dapat menarik perhatian pihak otoritas, termasuk aparat hukum, aparat pemerintahan maupun anggota DPR/DPRD, untuk memproses kasus dan memberi keadilan kepada penyintas. Kedua, media dapat mengambil peran sebagai fasilitator yang membawa kasus-kasus penyintas untuk ditangani oleh sistem hukum negara, terutama saat wartawan melaporkan kasus pidana ke Polisi. Ketiga, media memiliki peran penting untuk menjamin transparansi dalam proses penanganan kasus hukum penyintas. Dalam kasus seorang mantan TKW di Cianjur yang dianiaya oleh majikannya dan mengalami kelumpuhan, pemberitaan media berhasil mengundang berbagai pihak yang berkewajiban membantu korban. Ketika TransTV dan ANTV serta harian “Pikiran Rakyat” yang berbasis di Bandung memuat berita mengenai penyintas, maka pada esok harinya, Kepala Seksi Penta Kerja Disnaker Cianjur, yang kebetulan adalah juga anggota MSF, datang mengunjungi rumah penyintas untuk menindaklanjuti kasus dan memberi sedikit bantuan materi. Setelah itu, perusahaan penyalur tenaga kerja (PJTKI) yang mengirimkan penyintas ke Arab Saudi juga mengunjungi rumah penyintas dan kemudian memproses asuransi kesehatan untuk penyintas, sehingga penyintas memperoleh penggantian biaya pengobatan.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

39

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Selain melakukan pemberitaan, wartawan yang meliput berita juga dapat langsung merujuk kasus yang diliputnya ke Polisi. Kasus perkosaan anak di Brebes, yang awalnya ingin diselesaikan oleh otoritas desa hanya di tingkat desa, akhirnya dilaporkan ke Polisi oleh wartawan yang meliput berita ke desa. Sementara itu, dalam kasus perkosaan di Brebes dan Lombok, media lebih berperan untuk membuat proses peradilan lebih transparan, yaitu dengan terus memberitakan kronologis penyelesaian masalah di pengadilan.

2.4. Respon Penegak Hukum Temuan Utama • KePolisian: bersikap responsif menangkap dan menahan pelaku perkosaan, namun umumnya masih belum cukup memiliki kesadaran gender sehingga belum memberikan pelayanan dan perlindungan bagi korban secara optimal, sementara fasilitas RPK/UPPA masih terbatas. • Kejaksaan: sudah berusaha menjaring pelaku perkosaan dengan UU PKDRT, namun struktur kelembagaannya menuntut bukti-bukti yang kuat untuk menahan pelaku kekerasan membuat lembaga ini sulit untuk berpihak kepada perempuan korban. • Pengadilan Negeri: saat adanya sensitivitas dan kesadaran gender, hakim dapat memberikan perlindungan terhadap korban dan menjatuhkan hukuman cukup tinggi pada pelaku perkosaan/percabulan • Pengadilan Agama: prosedurnya menjamin hak-hak perempuan dalam perceraian dan poligami.

Walaupun keberadaan aktor-aktor intermediasi telah membuka akses penyintas terhadap sistem hukum negara, namun sejauh mana mereka dapat mengakses keadilan dari proses hukum masih sangat tergantung pada respon dari penegak hukum.

KePolisian: efektif dalam menangkap dan menahan pelaku KePolisian cukup responsif menangani kasus hukum penyintas, khususnya pada kasus-kasus pidana seperti perkosaan dan percabulan. Setiap kali menerima laporan kasus tersebut dari warga ataupun wartawan, Polisi akan segera turun ke desa mencari kebenaran laporan dan segera mencari dan menangkap pelaku. Namun dalam memproses kasus-kasus ini, salah satu kendala yang dihadapi adalah pada saat mereka harus mengantar penyintas menjalani visum et repertum di rumah sakit, karena KePolisian tidak menyediakan dana untuk itu, sementara penyintas memiliki keterbatasan biaya. “... kita tidak punya dana untuk membayar visum korban, biasanya diantara kita [Polisi] membayar bersama, kerapkali ada dana dari atasan, tapi tidak selalu ada,” Polisi kasus perkosaan, di Brebes. Respon kePolisian masih terbatas pada penangkapan dan penahanan pelaku dan belum secara efektif memberikan penanganan dan perlindungan bagi penyintas. Pada kasus-kasus KDRT, karena bersifat delik aduan, Polisi cenderung mengikuti permintaan penyintas sebagai pihak korban yang ingin mencabut laporannya walaupun kasus KDRT yang dialami oleh penyintas tergolong berat, sehingga tidak dapat dianggap sebagai suatu delik aduan. Dalam konteks tersebut, terlihat bahwa KePolisian masih cenderung membiarkan masalah KDRT yang tergolong berat diselesaikan secara kekeluargaan dan musyawarah saja. Alasan-alasan seperti istri membutuhkan suami sebagai pencari nafkah dan harmoni hubungan keluarga membuat Polisi mengabaikan isu perlindungan bagi korban.16

16 Katjasungkana dan Damanik (2004, p. 9-10) menjelaskan bahwa hal ini juga disebabkan karena aparat penegak hukum, yaitu Polisi, penuntut hukum dan hakim, kerap melihat masalah keluarga sebagai masalah yang masuk dalam lingkup hukum privat (perdata), sehingga bukan merupakan wewenang mereka untuk menyelesaikannya, melainkan institusi lembaga perkawinan seperti Badan Penasehat Perselisihan Perkawinan atau kantor Urusan Agama.

40

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Memberikan pelayanan yang responsif gender Keberadaan RPK/UPPA telah mengisi kebutuhan penyintas akan penanganan dan perlindungan yang spesifik. Terutama dalam proses penyidikan, pendekatan yang dipakai lebih sensitif terhadap kebutuhan perempuan, karena terutama dilayani oleh Polisi wanita dan dengan pendekatan yang dapat membuat perempuan tidak merasa terintimidasi. Hal ini terlihat dari komentar seorang Polwan RPK/UPPA dalam melakukan penyidikan kasus perkosaan anak. “... korban dan pelaku sama-sama masih anak-anak, jadi saat penyidikan kita melakukan pendekatan yang berbeda, kita tidak pakai pakaian dinas, tapi sipil, lalu kita ajak korban jalan-jalan lihat kolam ikan yang ada di kantor Polres dan dibelikan jajanan es krim dan buah..”’ Polwan kasus perkosaan, di Brebes. Keberadaan RPK masih terbatas. Jumlah Polwan yang minim, terutama ditemui di kantor Polisi di tingkat kecamatan (Polsek), telah membuat layanan untuk perempuan korban kekerasan melalui keberadaan RPK menjadi minimal. Padahal sebagian kasus kekerasan terhadap perempuan dalam studi kasus ini terjadi di desa dan dilaporkan ke Polsek. Tanpa keberadaan RPK, aparat Polisi yang umumnya belum memahami aspek penanganan dan perlindungan korban, tidak dapat memberikan perlindungan yang optimal kepada korban.

Kejaksaan: membutuhkan bukti yang kuat untuk menjaring pelaku Dalam penanganan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan, peranan jaksa sangat penting untuk menentukan apakah suatu kasus dapat dilanjutkan ke tahapan berikutnya (ke persidangan). Begitu pula dalam menentukan dakwaan dan tuntutan hukuman bagi pelaku. Kasus-kasus pidana dalam studi ini menunjukkan bahwa tuntutan Jaksa cukup tinggi bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Jaksa juga telah berusaha menjaring pelaku perkosaan dengan UU PKDRT. Tabel 7. Tuntutan Jaksa atas kasus perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan Pasal Primer yang digunakan

Tuntutan Jaksa

Vonis Hakim

Incest di Cianjur

Kasus

Ps 81 UU No. 23/2002 & Ps 290 KUHP

14 tahun penjara

10 tahun penjara

Perkosaan anak terbelakang mental

Ps 81 UU No. 23/2002

15 tahun penjara

14 tahun penjara

Perkosaan anak SMA

Ps 332 KUHP & Ps 82 UU No. 23/2002

6 tahun penjara

4 tahun penjara

Perkosaan penyanyi usia anak

Ps 293 KUHP & Ps 82 UU No. 23/2002

5 tahun penjara

4 tahun penjara

Perkosaan 2 anak

Ps 82 UU No. 23/2002

6 tahun penjara

3 tahun penjara

Incest di Lombok

Ps 81 UU No. 23/2002 & Ps 285 KUHP

8 tahun penjara

5 tahun penjara

Perkosaan oleh majikan

Ps 285 KUHP & Ps 5 UU No. 23/2004

10 tahun penjara

Proses kasasi

Studi ini menyingkapkan pula bahwa struktur kelembagaan dari Kejaksaan dapat menyulitkan posisi Jaksa untuk berpihak kepada korban. Jaksa mendapat tuntutan eksternal maupun internal untuk dapat memenangkan kasus, sehingga tanpa bukti-bukti yang kuat dan lengkap, Jaksa cenderung tidak akan melimpahkan kasus ke pengadilan untuk dilakukan persidangan. Seorang Jaksa mengungkapkan hal ini. “Itu kondite Jaksa, dianggap tidak becus nanti saya. Kalau Jaksa sampai menyidangkan suatu perkara, lalu ternyata pelaku tidak terbukti bersalah dan dibebaskan, Jaksa akan diperiksa oleh Pengawasan Internal di Kejaksaan. Koq sampai perkara bebas ini bagaimana menelitinya, bagaimana membuat Rencana Dakwaannya. Makanya kepada Jaksa harus hati-hati, karena kita harus bisa mempertanggungjawabkan. Kalau penyidik, begitu berkas dilimpahkan ke Kejaksaan tidak ada tanggungjawab apa-apa lagi. Tanggung jawab Jaksa itu jadi berat sekali, sudah gajinya kecil, tanggungjawabnya harus ke luar (ke masyarakat) dan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

41

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

ke dalam (ke Kejaksaan).” Jaksa kasus perkosaan, di Lombok Itu sebabnya, Jaksa akan lebih memiliki keberpihakan kepada korban yang berusia anak. Hal ini terlihat dalam respon jaksa berbeda dalam kasus perkosaan. Sebagian besar jaksa mempercayai hasil visum anak perempuan korban kekerasan dan oleh sebab itu mendukung penanganan kasus serta melakukan tuntutan hukum yang tinggi. Sebaliknya, hasil visum perempuan dewasa sulit untuk dipercaya tanpa adanya dukungan fakta kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Selain karena kesadaran gender, keberpihakan Jaksa kepada korban yang berusia anak sangat dilatarbelakangi oleh subyektivitas. Komentar berikut menjelaskan hal ini. “...mungkin karena saya memiliki anak perempuan, jadi saya selalu mengajukan tuntutan yang tinggi pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak. Namun saya juga telah beberapa kali mengikuti pelatihan gender dan sosialisasi mengenai kekerasan dalam rumah tangga...” Jaksa kasus perkosaan, di Cianjur Kesulitan Jaksa membuktikan unsur kekerasan Tanpa pendekatan yang melindungi hak korban, pasal-pasal dalam UU PKDRT yang awalnya dirancang untuk melindungi korban, pada akhirnya dapat berpotensi diterapkan dan dipakai guna melindungi pelaku. Hal ini dapat terjadi saat Jaksa mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya unsur kekerasan dalam suatu kasus perkosaan yang dialami oleh penyintas yang berusia dewasa. Unsur kekerasan dalam kasus KDRT menjadi lebih sulit untuk dibuktikan saat tidak adanya pendekatan yang berpihak kepada korban, sehingga Jaksa lebih terfokus untuk membuktikan apakah benar pelaku melakukan perbuatan yang dituntutkan kepadanya, demi melindungi hak dari pelaku tersebut. Akibatnya, Jaksa cenderung untuk lebih berupaya membuktikan kelemahan dari kesaksian dan alat bukti yang ada, demi memperkuat keyakinan mereka bahwa seorang pelaku bersalah dan dapat diajukan dakwaan terhadapnya. “Disinilah kesulitannya untuk membuktikan kasus kekerasan. Satu-satunya pembuktian itu sebetulnya dari visum, sementara hasil visum menyatakan luka lama, sehingga tanda-tanda kekerasan sulit sekali untuk dibuktikan... luka lama belum berarti bahwa itu ada kekerasan, padahal pasal 285 KUHP maupun UU PKDRT menyebutkannya kekerasan seksual.” Jaksa kasus perkosaan, di Lombok.

Pengadilan Negeri: Putusan yang efektif saat hakim memiliki perspektif gender Respon pengadilan negeri dalam berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan korban tercatat cukup positif dalam arti, pertama, rata-rata hukuman yang mereka jatuhkan pada pelaku kekerasan cukup tinggi (4-14 tahun hukuman penjara) dan kedua, majelis hakim melakukan pertimbangan yang cukup seksama terhadap kasus kekerasan seksual yang korban dan pelakunya adalah anak-anak. Hal ini ditunjukkan dengan pertimbangan hukum dan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim serta upaya hakim dalam menggali keterangan dari para saksi korban. Hakim dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai pelaku juga mempertimbangkan keberadaan saksi dan keterangan yang dikumpulkan oleh lembaga pendukung seperti BAPAS.

42

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Tabel 8. Hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri atas kasus perkosaan Korban

Pelaku

Hukuman

Anak perempuan

Ayah

10 tahun penjara, denda Rp. 60 juta subsider 4 bulan penjara

Anak perempuan retarded

Tetangga

14 tahun penjara, denda Rp. 60 juta subsider 4 bulan penjara

Anak SMA

Pengamen

4 tahun penjara, denda Rp. 60 juta subsider 15 hari kerja

Anak perempuan penyanyi

Pengusaha

4 tahun penjara

2 anak perempuan (5 tahun)

Anak (12 tahun)

3 tahun penjara, denda Rp. 60 juta subsider 15 hari

Anak perempuan

Ayah

5 tahun penjara, denda Rp. 30 juta subsider 4 bulan kurungan

Namun, ada tidaknya kesadaran gender sangat menentukan sejauh mana seorang Hakim dapat memiliki keberpihakan kepada korban atau tidak. Dalam beberapa kasus, Hakim yang sudah pernah mengikuti pelatihan gender terbukti lebih memahami pentingnya perlindungan bagi korban. Dalam satu kasus perkosaan di Cianjur, Hakim turut menghentikan ancaman pelaku terhadap korban, begitu juga pertanyaanpertanyaannya tidak memojokkan korban, sehingga korban merasa aman dalam memberikan kesaksian. Dalam kasus perkosaan terhadap anak yang terbelakang secara mental, Hakim sangat melibatkan keluarga korban dan bahkan Kader Hukum yang mendampingi dalam proses persidangan. Komentar Hakim di Brebes menunjukkan hal ini. “Kebetulan saya dulu sekolah S2 ambil jurusan humaniora. Disitu saya belajar kalau KUHAP kita itu kan semua pasal melindungi pelaku... akhirnya saya berpikir, walau UU-nya tidak ada, mumpung saya punya kasus ini.... saya mau bangun kepedulian terhadap korban.” Hakim kasus perkosaan , di Brebes.

Pengadilan Agama: prosedurnya menjamin hak perempuan Kerja Pengadilan Agama yang prosedural terbukti telah membuka akses perempuan untuk memperoleh hakhaknya atas proses dan keputusan kasus perceraian, termasuk juga saat suami mengajukan permohonan poligami. Kasus-kasus perceraian yang dibawa ke Pengadilan Agama umumnya dapat diselesaikan secara efektif, terutama karena para aparat hukumnya melakukan tugasnya secara prosedural dan dalam kasus ini terlihat bebas suap serta korupsi. Mengapa? Pertama, karena proses peradilan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mengemukakan pendapat dan membela dirinya. Kedua, karena proses peradilan menguji dengan seksama alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh suami atau istri, serta alasan poligami yang diajukan suami, sehingga dapat menjamin keputusan yang adil bagi perempuan. Apabila seorang suami ingin menjatuhkan talak kepada istrinya, maka sesuai dengan Pasal 131 KHI, PA akan: 1) mempelajari permohonan suami, 2) meminta penjelasan dari istri, 3) menasehati kedua pihak dan 4) menguji alasan perceraian. Setelah itu barulah keputusan dibuat. Prosedur yang kurang lebih sama juga diberlakukan saat suami mengajukan permohonan poligami. Kasus di bawah menjadi salah satu contoh. Studi Kasus 6: Kasus poligami dan perceraian di Cianjur Setelah 20 tahun menikah B (57 tahun) meminta ijin kepada istrinya A (45 tahun) dan anak-anaknya untuk menikah lagi dengan C. Walau awalnya keberatan, akhirnya A dan anak-anak mau mengijinkan dengan syarat bahwa pernikahan itu harus dilakukan di bawah tangan dan B tidak diperkenankan memiliki anak dari C. Namun C menginginkan status sebagai istri yang sah secara hukum. Akhirnya pada 22 Mei 2000, B mengajukan permohonan poligami ke Pengadilan Agama (PA) Cibadak. Alasannya karena A tidak sehat sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan biologisnya, ada surat ijin dari A sebagai istrinya, dan sanggup berlaku adil terhadap kedua istrinya kelak. Melalui 5 kali persidangan, Majelis Hakim melakukan pengujianpengujian atas alasan yang diajukan B, termasuk dengan menghadirkan saksi Amil desa dan ketua RT. Akhirnya pada 12 Juli 2000, PA Cibadak menolak permohonan tersebut, karena mendapati A masih sehat, penghasilan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

43

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

B tidak dapat mencukupi kebutuhan dua keluarga, dan saat persidangan A mengaku telah menandatangani kertas kosong yang kemudian digunakan oleh B sebagai surat pernyataan A memberi ijin suami berpoligami. Merasa penolakan Majelis Sidang disebabkan karena kesaksian A di pengadilan yang tidak benar tentang tandatangan di atas kertas kosong, seminggu setelah itu B langsung mengajukan gugatan cerai atas A ke PA Cibadak, dengan alasan istri tidak sanggup melayani kebutuhan suami. Merasa rumah tangganya tidak bisa diselamatkan lagi, A tidak membela diri saat persidangan. Setelah 2 kali sidang, pada 18 September 2000 PA Cibadak meresmikan perceraian korban dan suaminya.

Sebagaimana pengadilan perkara perdata, Pengadilan Agama bertindak pasif dan bergantung kepada para pihak yang berperkara. Kasus-kasus perceraian umumnya tidak memakan waktu lama, kecuali jika ada pihak yang: 1) mengajukan permohonan pemeriksaan perkara di luar soal perceraian, 2) mengajukan keberatan, atau 3) menggunakan pengacara. Panitera di Pengadilan Agama juga aktif berperan memberikan informasi hukum kepada penyintas yang ingin menyelesaikan perkaranya melalui institusi hukum ini. Manfaat ini juga dinikmati oleh para Kader Hukum yang seringkali mendampingi penyintas mengurus perceraian ke Pengadilan Agama.

2.5. Dampak Kasus Terhadap Penyintas Temuan Utama • Kerugian ekonomi dialami penyintas. Memiliki kasus hukum juga berarti kerugian ekonomi bagi penyintas, karena harus mengeluarkan biaya untuk mengakses hukum dan menanggung biaya akibat tidak efektifnya sistem hukum menyelesaikan sengketa. • Dampak sosial juga ditanggung oleh penyintas. Memiliki kasus hukum juga memberikan dampak sosial cukup besar kepada penyintas, seperti memperoleh stigma sosial serta mengalami luka fisik dan trauma psikologis yang tidak dapat terukur secara materi.

Berhasil tidaknya kasus hukum penyintas diselesaikan oleh sistem hukum yang ada ternyata membawa dampak yang lebih luas dari hanya sekedar pemenuhan hak-hak hukum mereka. Hal tersebut turut mempengaruhi status sosial ekonomi dirinya dan keluarganya, bahkan saat kasus hukumnya berhasil diselesaikan. Hal ini mengindikasikan bahwa memperoleh keadilan dari sistem hukum negara maupun non negara baru merupakan langkah awal penyintas mengakses keadilan sebagaimana yang mereka butuhkan. Kerugian ekonomi Kerugian ekonomi diderita penyintas, pertama saat mereka harus mengeluarkan biaya untuk memproses kasus hukumnya, terutama melalui sistem hukum negara. Biaya tersebut mencakup biaya transportasi, biaya perkara, biaya pengacara atau Lebe/Amil, bahkan biaya pengobatan. Kedua adalah saat penyelesaian yang ditawarkan oleh jalur penyelesaian kasus hukum, baik sistem hukum negara maupun non negara, tidak sepenuhnya mempertimbangkan hak-hak penyintas atas aset dan sumberdaya ekonomi. Contohnya adalah saat Lebe/Amil tidak berhasil memediasi pembagian harta gono gini atau pemberian nafkah oleh suami kepada keluarga saat memfasilitasi perceraian bawah tangan. Atau saat Pengadilan Negeri gagal memperhatikan kebutuhan penyintas akan biaya pengobatan akibat kekerasan seksual yang dialami. Pada kasus perkosaan dua orang anak usia 5 tahun di Brebes, dalam enam bulan pertama, orangtua penyintas masing-masing telah mengeluarkan biaya sekitar Rp 5 juta rupiah untuk pengobatan anak mereka. Dampak sosial Dampak sosial sudah diderita penyintas umumnya sejak awal mengalami kasus. Stigma sosial negatif seringkali melekat pada penyintas sebagai korban perkosaan. Stigma sosial juga melekat kepada kebanyakan perempuan kepala keluarga sebagai janda-janda yang selalu dicitrakan negatif.

44

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Tabel 9. Dampak Sosial pada Penyintas Kasus

Konsekuensi sosial

Perkosaan oleh ayah kandung

Penyintas dan pelaku diusir dari desa

Perkosaan anak SMA

Penyintas diminta mengundurkan diri dari sekolah

Perkosaan PRT oleh majikan

Penyintas diperiksa kewarasannya di RS Jiwa selama 2 minggu

Perkosaan TKW dan Trafficking

Penyintas dan suami dituntut warga untuk menikah ulang

Dampak fisik dan psikologis Kerugian secara fisik dan psikologis juga dialami oleh beberapa penyintas, seperti luka fisik dan trauma psikologis yang tidak mudah untuk disembuhkan. Pada kasus-kasus perkosaan, umumnya penyintas mengalami luka pada alat reproduksi. Beberapa penyintas yang mengalami kekerasan saat bekerja sebagai TKW mengalami berbagai luka fisik dan sakit seperti lumpuh sebagian tubuh, pendengaran berkurang, sakit kepala berkepanjangan, serta kehilangan gigi depan dan kuku jari tangan. Sementara itu, sebagian penyintas yang bercerai dan ditinggal suaminya bertekad tidak akan menikah lagi.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

45

Bagian 3

Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

Pengantar Dua puluh delapan kasus yang diangkat dalam studi ini memperlihatkan bahwa penyintas memiliki peluang untuk mengakses keadilan. Kapan peluang itu ada? Pertama, saat mereka memiliki akses kepada pelayanan hukum, yaitu jalur-jalur penyelesaian kasus hukum yang ada. Kedua, saat mereka dapat memiliki akses kepada keadilan sosial (social justice), keadilan yang lebih luas daripada keadilan secara hukum (legal justice). Kasus di bawah memperlihatkan hal ini. Dalam kasus incest yang dialami oleh seorang penyintas di Lombok, sistem hukum negara telah cukup efektif menangani kasus hukum tersebut, walau sangat sarat dengan latar belakang relasi kuasa yang timpang antara penyintas dengan pelaku. Namun, walaupun kasus dapat diselesaikan hingga keluarnya putusan Pengadilan Negeri atas pelaku, sehingga jika dilihat dari aspek hukum semata, penyintas telah dapat mengakses keadilan, namun ia tetap tidak dapat diterima kembali oleh keluarga dan masyarakat desanya. Dengan demikian, perempuan desa mendefinisikan akses kepada keadilan dalam pengertian yang seutuhnya, yaitu keadilan sosial. Studi Kasus 7: Kasus incest di Lombok A (16 tahun) diperkosa oleh ayah kandungnya, B (60 tahun), berkali-kali sejak akhir tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2006 dengan ancaman kekerasan dan penelantaran, setahun setelah ibunya meninggal dunia. Akhirnya A hamil. B sempat mencoba menggugurkan kandungan tapi tidak berhasil. A juga tidak mau diungsikan ayahnya ke luar desa. Akhirnya B berjanji mencarikan pria untuk menikahi A. Tapi keluarga yang tinggal bertetangga dengan mereka segera mencium kehamilan A dan setelah didesak bibinya, akhirnya A mengaku bahwa hal itu adalah hasil perbuatan B. Akhirnya berita tersebar dan warga mengamuk mengetahui hal tersebut, hampir berhasil membakar rumah A dan B karena mereka dianggap telah mencemari nama baik kampung. Keluarga dan warga bahkan turut menyalahkan A atas peristiwa itu, karena A tidak segera mencari pertolongan atau melarikan diri. A mengalami trauma yang berat akibat perlakuan massa terhadap dirinya. Kepala dusun mengamankan A dan B dan malam itu juga, pada 28 Juni 2006, melaporkan B ke Polsek, di Lombok Barat. Saat disidik oleh Polisi, A tidak didampingi oleh pendamping hukum. Esoknya Polisi mengirim A menjalami visum et repertum di Puskesmas, hasil menunjukkan telah ada kekerasan seksual secara paksa dan ada kehamilan usia 20-24 minggu. Selang beberapa hari, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram yang dilapori kasus oleh istri Camat berinisiatif membawa A ke luar desa untuk ditampung di Shelter milik Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan NTB yang berlokasi di Panti Lanjut Usia (Lansia) Terlantar. Di Shelter, A ditangani oleh Dokter, Psikolog, Polwan RPK, Pekerja Sosial dan unsur agama, yang merupakan unsur dari pelayanan terpadu bagi penyintas kekerasan terhadap perempuan di Mataram. Hampir 3 bulan A hanya mengurung diri di kamar dan tidak mau bicara akibat trauma yang dihadapinya. Pekerja Sosial dan Polwan dari RPK Polres Mataram selalu mendampingi A selama proses penyidikan dan persidangan. Hal ini sangat membantu A, karena keluarga dari pihak B terus menerus mengintimidasi saat bertemu di Pengadilan. Polwan RPK bahkan menuntut agar diperbolehkan masuk ke ruang sidang dan berhasil meminta Hakim untuk mengutus pelaku keluar ruang sidang saat akan mengajukan pertanyaan ke saksi penyintas, karena A sangat ketakutan melihat B di ruang sidang sehingga tidak berani menjawab. B dikenai pasal 285 KUHP dengan hukuman maksimal 12 tahun dan pasal 81 dan 82 UU no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan hukuman maksimal 15 tahun. Proses persidangan berjalan cukup lancar, pelaku mengakui semua perbuatannya. Pada Rabu 8 Nopember 2006, B dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp. 30 juta atau kurungan selama 4 bulan, dengan pertimbangan antara lain adalah usianya yang sudah tua. Pada bulan Oktober, A melahirkan anaknya, walaupun beberapa kali ia mencoba menggugurkan kandungannya saat berada di Shelter. A tidak menginginkan anaknya, demikian juga keluarganya di kampung, sehingga akhirnya anak itu diadopsi orang lain. Setelah melahirkan, A tidak lagi tinggal di Shelter, tapi tinggal dan bekerja di kota Mataram. Ia tidak mau kembali ke kampungnya, tahu bahwa ia tidak diterima lagi oleh masyarakat, bahkan keluarganya. Kepala Dusun juga menjelaskan bahwa warga tidak menginginkan A maupun B kembali ke kampung, karena mereka dianggap telah mencemarkan nama baik kampung.

48

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

Berangkat dari gambaran kasus di atas, bagian ini kemudian akan menampilkan keberhasilan (best practice) penyintas dalam mengakses keadilan. Melalui best practice tersebut kemudian akan ditarik pembelajaran tentang bagaimana penyintas dapat mempertahankan kepentingannya dan memperoleh pemenuhan hakhak hukumnya di tengah kondisi-kondisi yang tidak mendukung dan berpihak. Bagian pertama akan mengulas bahwa akses terhadap keadilan, dalam konteks keadilan secara hukum, setidaknya ditentukan oleh dua faktor, yaitu 1) aksesibilitas penyintas terhadap sistem hukum yang ada (negara atau non negara) dan 2) efektivitas dari sistem hukum tersebut dalam menyelesaikan perkara hukum penyintas dan memberikan hasil penyelesaian kasus yang adil. Studi ini menemukan bahwa aksesibilitas dan efektivitas sistem hukum sangat menentukan sejauh mana penyintas dapat memperoleh penyelesaian kasus hukum yang adil melalui sistem hukum yang diaksesnya. Selanjutnya, bagian kedua akan mengulas kebutuhan penyintas untuk dapat mengakses keadilan dalam pengertian yang lebih luas, yaitu keadilan sosial.

3.1. Aksesibilitas dan Efektivitas Sistem Hukum Temuan Utama • Sistem hukum negara efektif. Sistem hukum negara terbukti lebih efektif dalam menghasilkan keputusan yang adil atas kasus hukum yang dialami penyintas, namun aksesibilitasnya masih rendah. • Pemberdayaan hukum membuka akses. Proses pemberdayaan hukum di desa membantu penyintas mengakses sistem hukum negara. Proses tersebut meliputi 1) penyadaran hukum bagi perempuan desa yang kemudian menciptakan demand bagi sistem hukum negara, 2) pelayanan bantuan hukum melalui keberadaan Fasilitator Hukum di desa, dan 3) membangun jaringan antara penduduk desa dengan aparat penegak hukum di tingkat kabupaten/propinsi sehingga aparat dapat responsif terhadap isu-isu hukum perempuan di desa.

Akses terhadap sistem hukum negara atau non negara menjadi faktor penting yang menentukan akses penyintas terhadap keadilan. Saat penyintas dapat mengakses sistem hukum yang ada, ia melangkah satu tahap dalam mengakses keadilan. Namun dua jalur sistem hukum yang dapat di akses perempuan desa, negara dan non negara, memiliki tingkat aksesibilitas dan efektivitas yang berbeda. Suatu sistem hukum idealnya memiliki aksesibilitas dan efektivitas yang tinggi. Semakin tinggi tingkat aksesibilitas berarti semakin perempuan desa dapat menggunakan sarana yang diberikan oleh institusi penyelesaian kasus hukum tersebut. Sementara semakin tinggi tingkat efektivitas berarti semakin perempuan desa dapat memperoleh keputusan yang adil atas penyelesaian kasus hukumnya, yaitu tidak memihak, dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat dan dengan biaya yang terjangkau.17 Studi ini mendapati bahwa sistem hukum non negara menawarkan aksesibilitas yang tinggi kepada perempuan desa yang memiliki kasus hukum, karena relatif jauh lebih mudah di akses.18 Namun di lain pihak, efektivitas kerjanya dalam menghasilkan keputusan yang adil bagi perempuan desa korban kekerasan dan diskriminasi

17 Definisi tentang penyelesaian sengketa yang efektif merujuk pada strategi akses kepada keadilan dari Justice for the Poor, Bank Dunia “The aim of the Justice for the Poor program is to support poor Indonesian communities to obtain fair and effective dispute resolution, through a time-efficient, unbiased and humane procedure.” 18 Hal ini mengkonfirmasi hasil temuan studi Village Justice in Indonesia (Bank Dunia, 2004, p. 27) dan laporan Forging the Middle Ground: Engaging Non-State Justice in Indonesia (Bank Dunia, 2008, p. 37-40), yaitu bahwa penduduk desa umumnya lebih memilih institusi hukum non negara di desa untuk penyelesaian kasus hukumnya dengan alasan karena 1) lebih mudah, cepat, dan murah, 2) dianggap lebih menjaga kerukunan warga dan menghindari rasa malu terhadap orang luar, 3) sistem peradilan negara dianggap korup dan tidak dapat dipercaya, dan 4) adanya ketakutan terhadap hukum yang dipandang sebagai alat negara yang menekan.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

49

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

terhadap perempuan lebih rendah.19 Beberapa kasus memperlihatkan bahwa sistem hukum non negara di desa cenderung untuk melanggengkan hubungan kekuasaan yang ada di desa maupun antara laki-laki dan perempuan. Kasus-kasus tersebut juga memperlihatkan bahwa sistem ini tidak efektif dalam menangani masalah hukum perempuan, terutama perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan, karena kurang dapat melindungi hak-hak penyintas. Sebaliknya, walaupun tingkat aksesibilitasnya rendah, sistem hukum negara memiliki efektivitas kerja yang lebih baik, karena kasus-kasus dapat diproses dan diselesaikan secara hukum. Bahkan beberapa kasus menunjukkan bahwa sistem ini responsif atas kepentingan perempuan. Aksesibilitas dan efektivitas masing-masing sistem tersebut pada akhirnya sangat menentukan sejauh mana keadilan dapat diraih oleh penyintas. Tabel 10. Kondisi sistem hukum non negara dan negara bagi perempuan desa Aksesibilitas

Sistem Hukum Non Negara

Sistem Hukum Negara

Lebih mudah di akses

Lebih sulit di akses

lemah

cukup efektif

Efektivitas

1. Sistem Hukum Negara Efektif ‘Negara harus mengutuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak menggunakan pertimbangan kebiasaan, tradisi atau agama untuk menghindari diri dari tanggungjawab untuk menghapuskannya. Negara harus mengupayakan, dengan segala upaya yang memadai serta tanpa tunda-tunda, kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, termasuk dengan mengembangkan sanksi-sanksi pidana, perdata, ketenagakerjaan serta saksi administratif dalam peraturan-perundangan domestik guna menghukum dan menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang dialami perempuan korban kekerasan.’ Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan.20 Beberapa kasus yang diteliti dalam studi ini memperlihatkan bahwa sistem hukum negara dapat menjamin penyelesaian kasus hukum yang cukup adil bagi penyintas karena terlihat dapat menjamin hak-hak dan memenuhi kepentingan-kepentingan mereka. Dalam kasus-kasus tersebut, penyintas dapat lebih memiliki akses terhadap keadilan saat kasus hukumnya diselesaikan melalui sistem hukum negara. Dalam studi ini, efektivitas sistem hukum negara dalam menjamin penyelesaian kasus hukum yang adil bagi penyintas terutama terlihat pada kasus-kasus perkosaan dan perceraian. Pada beberapa kasus perkosaan yang korbannya adalah perempuan usia anak, Jaksa maupun Hakim berusaha melindungi hak penyintas dengan memberi tuntutan dan vonis yang cukup berat. Sementara seluruh kasus perceraian dalam studi ini dapat diselesaikan dan perempuan menerima legalitas perceraian mereka. Beberapa penyintas bahkan menerima bagian harta gono gini, ganti rugi masa iddah, dan nafkah dari suami. Sementara itu, pada kasus KDRT sistem hukum negara masih belum cukup efektif menyelesaikan kasus hukum. Walau demikian, studi ini memperlihatkan bahwa Polisi berhasil memberikan ‘efek jera’ kepada pelaku. Tidak demikian halnya pada kasus-kasus KDRT yang ditangani oleh sistem hukum non negara desa, karena nasehat-nasehat aparat desa tidak memberikan sanksi dan efek jera apapun kepada pelaku. Tidak terpengaruh oleh relasi kuasa yang timpang

19 Temuan serupa diperoleh dari studi Village Justice in Indonesia (2004) dan laporan Forging the Middle Ground: Engaging NonState Justice in Indonesia (Bank Dunia, 2008). Perlu diperhatikan juga bahwa dalam 4 kasus ini insitusi hukum non negara berperan sebagai institusi penyelesaian sengketa, sementara dalam kasus-kasus lainnya, beberapa tokoh institusi hukum non negara telah berfungsi sebagai local intermediaries, yaitu merujuk kasus hukum kepada lembaga hukum negara di luar desa. 20 Dikutip dari Katjasungkana, Nursyahbani dan Mumtahanah, Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan (2002), LBH Apik, Jakarta, hal. xx-xxi.

50

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

Hal pertama yang dapat menjelaskan mengapa sistem hukum negara efektif adalah karena sistem ini tidak terpengaruh oleh relasi kuasa yang timpang antara penyintas dan pihak pelaku atau lawan. Sebagaimana telah dibahas dalam Bagian 2 laporan ini, posisi penyintas umumnya subordinat dan lemah terhadap pelaku atau pihak yang bersengketa dengannya, yang memiliki posisi sosial dominan, yaitu suami, ayah, majikan/ Kepala Desa atau laki-laki dewasa. Keberadaan sistem hukum negara yang berlokasi di luar desa membuat aparat penegak hukum tidak terpengaruh dengan pola-pola relasi kekuasaan dan hubungan perkenalan yang ada di desa. Sementara sistem hukum non negara di desa kerap tidak berdaya bersikap “independen” terhadap relasi kekuasaan di desa, karena nilai-nilai sosial budaya yang menghasilkan relasi kuasa yang timpang tersebut juga mempengaruhi sistem hukum non negara tersebut. Substansi dan struktur hukum menunjang Dua faktor lain yang dapat menjelaskan mengapa sistem hukum negara efektif dalam menyelesaikan kasuskasus perkosaan dan perceraian adalah, pertama, sistem ini diperlengkapi dengan substansi hukum yang secara khusus melindungi hak dan kepentingan perempuan, terutama melalui keberadaan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 dan pasal-pasal tentang perkosaan dan percabulan dalam KUHP. Kedua, sistem ini juga didukung oleh struktur hukum, yaitu aparat hukum, yang terus diperlengkapi untuk memberikan perlindungan hak dan kepentingan perempuan, yaitu dengan keberadaan unit RPK/UPPA di KePolisian dan pelaksanaan berbagai pelatihan yang bertujuan untuk membangun kesadaran gender aparat penegak hukum. Dalam beberapa kasus, sistem hukum negara juga terbukti efektif mengeksekusi hasil keputusannya. Misalnya, pelaku-pelaku perkosaan telah masuk kedalam penjara; suami PNS telah memberikan ganti rugi masa iddah sebesar Rp 3.5 juta dan menyerahkan dua pertiga gajinya kepada istri dan dua orang anaknya setiap bulannya; dan juga pembagian harta gono gini akibat perceraian. Sementara itu, dua orang penyintas yang mengakses sistem hukum non negara untuk kasus perceraian dan perkosaan memperlihatkan bahwa kapasitas eksekusi sistem hukum non negara lemah. Seorang penyintas tidak pernah menerima pembagian harta gono gini dari suaminya, walaupun suami telah membuat surat pernyataan pembagian harta tersebut dihadapan Amil yang memfasilitasi perceraiannya. Pelaku perkosaan di Lombok juga mengelak dari keputusan musyawarah keluarga besar secara adat Hindu yang memutuskan untuk mengawinkan pelaku dan penyintas sebagai penyelesaian kasus, tanpa mendapat sanksi apapun. Ada tidaknya kesadaran gender turut menentukan “...mungkin karena saya memiliki anak perempuan, jadi saya selalu ‘gemes’ dengan pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak. Namun saya juga telah beberapa kali mengikuti pelatihan gender dan sosialisasi mengenai kekerasan dalam rumah tangga...” Jaksa kasus perkosaan , di Cianjur

Beberapa kasus perkosaan menunjukkan bahwa efektivitas sistem hukum negara antara lain turut dipengaruhi oleh kapasitas aparat penegak hukum yang sudah mulai responsif terhadap isu-isu gender dan hak-hak perempuan. Kesadaran gender dan isu-isu hukum perempuan telah membuat aparat memberikan perhatian dan perlindungan kepada perempuan korban kekerasan. Mereka pun lebih peka untuk melihat kebutuhan penyintas untuk dilindungi selama proses penyidikan dan persidangan. Jaksa dan Hakim yang telah memiliki kesadaran gender umumnya memiliki rasa keberpihakan yang cukup tinggi kepada penyintas, terutama yang masih berusia anak. Hal ini terlihat dari tuntutan dan vonis mereka yang cukup tinggi kepada terdakwa. Sementara itu Polwan RPK/UPPA, menggunakan pendekatan khusus dalam menginterogasi penyintas, yaitu agar tidak justru membuat penyintas merasa takut dan tertuduh. Absennya kesadaran gender pada aparat hukum terbukti sangat mempengaruhi efektivitas kerja sistem hukum negara, karena bias gender ini turut mempengaruhi pengambilan keputusan aparat hukum. Hal ini terlihat pada kasus perkosaan yang dialami perempuan dewasa dan perempuan dengan profesi penghibur (penyanyi dangdut) dalam studi ini. Penyintas dewasa menerima risiko adanya praduga bahwa kejadian

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

51

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

tersebut dilakukan atas dasar ‘suka sama suka.’ Sementara, sebagai penghibur, walaupun masih berusia anak (16 tahun), harus menanggung ‘tuduhan’ aparat bahwa perkosaan sudah menjadi resikonya, karena anggapan bahwa biasanya penghibur adalah bukan ‘wanita baik-baik.’ Konsekuensinya, proses penyidikan menjadi sangat panjang, kepentingan penyintas terabaikan, bahkan keputusan tidak optimal. Kasus perkosaan pada penyintas dewasa dilanjutkan dengan proses naik banding, sementara pelaku perkosaan atas penyintas yang berprofesi penghibur hanya divonis 4 tahun penjara. Ungkapan Jaksa di bawah memperlihatkan adanya bias gender tersebut . “Kalau umur udah 40 tahun kan kita kadang berpikir, apa benar dipaksa... kan menjadi tanda tanya... Kalau korban bilangnya perkosaan itu hampir rutin, tapi itukan katanya. Sekarang kalau kita berhubungan suka sama suka, itupun nanti visumnya akan berbunyi luka lama, walaupun kita tidak mengalami paksaan atau kekerasan. ” Jaksa kasus perkosaan PRT, di Lombok. Tekanan sosial mendorong akuntabilitas Dalam beberapa kasus, efektivitas sistem hukum negara juga terlihat saat ada tekanan sosial terhadap proses penanganan kasus. Tekanan sosial ini membuat sistem lebih akuntabel dalam mempertanggungjawabkan penanganan kasus. Dalam kasus perkosaan di Brebes dan Lombok, tekanan sosial ini datang dari pihak masyarakat secara langsung, yaitu melalui: 1) surat dari masyarakat kepada aparat penegak hukum untuk memproses kasus dan menghukum terdakwa dengan adil, 2) berbagai bentuk aksi demo atau unjuk rasa yang dilakukan masyarakat dan LSM/LBH terkait, serta 3) permohonan ‘dengar pendapat’ (hearing) antara massa dan aparat penegak hukum. Selain itu, tekanan sosial juga datang dalam bentuk pemberitaan media tentang suatu kasus, termasuk tuntutan pihak otoritas daerah seperti anggota DPRD agar perkara diselesaikan dengan adil. Bentuk kedua ini tidak hanya terlihat efektif pada kasus perkosaan, tetapi juga kasus penipuan dan kekerasan yang dialami TKW. Tekanan sosial ini terbukti telah membuat Polisi, Jaksa maupun Hakim pada kasus-kasus terkait lebih memperhatikan hak dan kepentingan penyintas. Para Hakim pada kasus-kasus perkosaan di Brebes dan Lombok mengakui bahwa tekanan sosial itu telah memberi pesan peringatan tersendiri bagi mereka agar memproses kasus sebaik-baiknya dan memberikan keputusan yang adil. Sementara bagi Jaksa kasus perkosaan di Lombok, tekanan sosial tersebut memberi pesan agar kasus perlu dilanjutkan ke persidangan. Tekanan sosial melalui media juga terbukti telah membuat perusahaan penyalur (PJTKI) bertindak mengurus pengembalian gaji dan penggantian biaya pengobatan bagi beberapa penyintas dalam studi ini. Keterbukaan terhadap jaringan hukum mempengaruhi Sistem hukum negara juga efektif membuka akses perempuan terhadap keadilan karena memiliki keterbukaan untuk berjejaring dengan para pemangku kepentingan lainnya. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa pada saat aparat hukum terbuka untuk bekerjasama dengan Fasilitator Hukum di desa, kepentingan penyintas atas perlindungan dapat lebih terjamin dan proses penanganan kasus dapat lebih efektif. Beberapa kasus perkosaan di Cianjur memperlihatkan bahwa saat Kader Hukum berperan aktif mendampingi penyintas selama proses penyidikan dan persidangan, Polisi, Jaksa maupun Hakim menjadi terbantu dalam menjalankan tugasnya mencari kebenaran dan membuat keputusan. Sebagai contoh, pada kasus perkosaan anak terbelakang mental di Cianjur, Hakim mengijinkan Kader Hukum masuk ke dalam ruang sidang untuk mendampingi penyintas. Pendampingan tersebut telah membantu Hakim dalam menggali keterangan dari penyintas yang mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi. Sementara itu, tanpa keterbukaan untuk bekerjasama, penyelesaian kasus juga akan semakin tertunda, seperti pada kasus perkosaan PRT oleh majikan di Lombok. Seorang pengacara dari LSM mengeluhkan hal ini: “Kadang ada semacam seperti salah paham dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena koq teman-teman di Kejaksaan menganggap kita ini bukan sebagai “partner”-nya. Padahal kita ini kan di pihak korban... Banyak sekali contoh kasus yang kalau tidak dikawal tidak akan berhasil. Contohnya ada kasus yang sudah

52

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

bertahun-tahun... Tapi buktinya begitu ditelusuri, ada kerjasama antara penyidik, JPU, dan Apik, tidak hanya lepas-lepas begitu saja, mencari kekurangan-kekurangannya, akhirnya terdakwa bisa sampai dihukum 15 tahun, itu kan ngga main-main.” Pengacara LSM kasus perkosaan , di Lombok.

2. Pemberdayaan Hukum Meningkatkan Aksesibilitas Sistem Hukum Negara Walaupun beberapa kasus memperlihatkan sistem hukum negara efektif dalam menyelesaikan kasus, aksesibilitasnya terbatas. Studi ini memperlihatkan bahwa rendahnya aksesibilitas sistem hukum negara dapat mulai teratasi saat adanya suatu mekanisme pemberdayaan hukum yang melakukan pemberdayaan di tingkat akar rumput tetapi juga memperkuat kapasitas institusi hukum negara untuk responsif terhadap kebutuhan masyarakat akar rumput tersebut. Kondisi ini diperlukan untuk memastikan penyintas dapat sadar hukum dan kemudian bertindak mengakses sistem hukum negara yang dapat memberikan keadilan atas penyelesaian kasusnya. Pentingnya penyadaran hukum untuk membuka akses ke sistem hukum negara Rendahnya kesadaran hukum penyintas menjadi hambatan utama mereka untuk mengakses sistem hukum negara. Beberapa kasus dalam studi ini memperlihatkan bahwa proses penyadaran hukum yang dilakukan oleh Fasilitator Hukum di desa, yaitu sebagai kegiatan dari program pemberdayaan hukum PEKKA, terbukti efektif meningkatkan kesadaran hukum perempuan desa, terutama berkaitan dengan hal-hal perkawinan dan perceraian secara legal serta kekerasan dalam rumah tangga. Kasus-kasus tersebut juga memperlihatkan bahwa penyintas dapat mengakses sistem hukum negara saat mereka mulai sadar hukum, yaitu saat mereka menyadari bahwa agar hak dan kepentingannya dapat terjamin, kasusnya perlu diselesaikan secara hukum negara. Proses penyadaran hukum umumnya berlangsung di tingkat desa, melalui berbagai kegiatan, baik yang bersifat formal seperti pertemuan-pertemuan PEKKA, pengajian dan PKK, maupun bersifat informal seperti saat santai berkumpul bersama tetangga atau bekerja di sawah. Saat penyintas mengerti akan hak-hak hukumnya dan bentuk-bentuk praktek kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, mereka mulai dapat mengidentifikasi perkara yang mereka hadapi sebagai suatu kasus hukum. Pada saat inilah kebutuhan terhadap sistem hukum negara untuk menyelesaikan kasusnya muncul. Hal ini terlihat pada kasus-kasus perceraian, penipuan dan kekerasan terhadap TKW serta perburuhan. Uniknya, beberapa penyintas menerima proses penyadaran hukum tidak secara langsung dari Fasilitator Hukum desa, tetapi justru dari informasi yang terus menyebar ke seluruh penjuru desa. Seorang penyintas yang mengalami KDRT di Lombok secara tidak langsung mendengar dan terlibat dalam obrolan warga tentang informasi-informasi hukum yang mereka terima dari Fasilitator Hukum, antara lain adalah bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah suatu tindak pidana. Kesadaran hukum ini akhirnya membuat penyintas melaporkan suaminya ke Polisi setelah mengalami penganiayaan cukup berat. Dengan demikian, penyadaran hukum merupakan hal pertama yang dibutuhkan oleh perempuan desa untuk mengakses keadilan, walau adanya informasi hukum tidak selalu menjamin akan adanya tindakan hukum. Pada beberapa kasus lainnya, terlihat bahwa informasi hukum sebatas pengetahuan akan hak-hak hukum saja seringkali tidak cukup untuk membuat penyintas bertindak mencari pertolongan hukum, terutama pada kasus perkosaan atau kekerasan yang dilakukan oleh suami, ayah atau majikan.21 Selain rasa takut dan malu, ketidaktahuan kemana harus melapor dan sejauh mana mereka akan mendapat perlindungan adalah halhal yang menyebabkan penyintas ragu untuk mencari pertolongan. Tampaknya, informasi teknis mengenai bagaimana mengakses lembaga-lembaga bantuan hukum serta lokasi tempat perlindungan (’rumah aman’

21 Temuan Baseline Survey program Pemberdayaan Hukum Perempuan Justice for the Poor, Bank Dunia (2006) juga mengungkapkan bahwa meskipun kesadaran dan pengetahuan hukum tentang kekerasan dalam rumahtangga cukup tinggi, namun hal tersebut tidak menjamin akan adanya tindakan hukum yang diambil.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

53

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

atau Shelter) terdekat yang dapat mereka akses akan dapat lebih lagi memberdayakan perempuan untuk mengakses sistem hukum negara. 22 Fasilitator Hukum membuka akses ke sistem hukum negara Beberapa kasus memperlihatkan bahwa penyadaran hukum semata sering kali tidak cukup untuk membuat penyintas mengakses sistem hukum negara. Hal ini disebabkan karena seringkali informasi hukum yang diperoleh tidak lengkap. Dalam kondisi ini, keberadaan Fasilitator Hukum dapat memperkuat akses penyintas terhadap sistem hukum negara, terutama karena perannya dalam merujuk kasus dan memberikan bantuan hukum berupa konsultasi dan pendampingan hukum, penguatan serta monitoring penyelesaian kasus. Peran mereka tergambar jelas dalam kasus perceraian, perkosaan serta penipuan dan kekerasan yang dialami TKW. Kasus perceraian berikut ini adalah salah satunya. Studi Kasus 8: Kasus perceraian Brebes Setelah 6 bulan menikah dan tinggal di rumah orangtua istrinya, B meninggalkan istrinya A (16 tahun), pulang kembali ke rumah orangtuanya, tanpa pernah memberi nafkah. Sebelumnya itu mereka sering bertengkar akibat B kerap pulang malam dan dalam keadaan mabuk. Melihat status yang menggantung, mendorong A untuk bercerai dari B. Namun karena khawatir akan biaya cerai yang besar dan tidak mengerti bagaimana mengurus perceraian, A tidak juga mengambil tindakan. Didorong ibunya, A dan B sempat dua kali menemui Lebe, tapi Lebe justru menasehati mereka agar tidak bercerai, karena dilihatnya mereka masih dapat didamaikan. Namun B tidak juga kembali ke istrinya. Dari seorang teman, A mendapat informasi tentang Kader Hukum yang dapat membantu proses perceraian dengan gratis. A ditemani ibunya segera menemui Kader Hukum, menceritakan masalahnya dan meminta bantuan. Kader Hukum mau membantu asalkan ada surat keterangan dari Lebe. Dibantu oleh seorang saudara yang cukup dekat dengan Lebe, akhirnya A dapat memperoleh surat pengantar Lebe untuk Pengadilan Agama (PA), dengan membayar Lebe sebesar Rp 250 ribu. Kader Hukum mendampingi A mengurus perceraian ke PA, mulai dari mendaftar gugatan, memberikan informasi tentang proses persidangan, mencarikan saksi untuk persidangan. Ia juga mengajarkan strategi dalam menjawab pertanyaan hakim kepada penyintas dan saksi sehingga mereka dapat memberikan keterangan yang kuat dan tidak diragukan. Akibatnya persidangan hanya berlangsung selama 2 kali. Majelis hakim akhirnya memutuskan bahwa gugatan dikabulkan dengan verstek, yaitu keputusan tanpa kehadiran tergugat. A mengeluarkan biaya sebesar Rp 227 ribu untuk biaya perkara di PA.

Keberadaan Fasilitator Hukum juga terbukti memangkas berbagai biaya untuk dapat mengakses sistem hukum negara, sehingga aksesibilitas sistem hukum ini lebih meningkat. Dalam kasus-kasus perceraian di Brebes, terlihat adanya pemangkasan total biaya yang cukup signifikan yang dikeluarkan oleh penyintas saat kasusnya difasilitasi oleh Fasilitator Hukum. Tanpa bantuan Fasilitator Hukum, penyintas berarti harus mengeluarkan biaya tambahan untuk Lebe/Amil desa, di luar biaya pembuatan surat keterangan untuk Pengadilan Agama yang berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu. Biaya tersebut mencakup biaya jasa, transportasi dan konsumsi untuk Lebe selama proses pengurusan perceraian ke Pengadilan Agama.23 Jaringan dengan aparat hukum membuka jalur komunikasi dan pembelajaran dua arah Studi Kasus 9: Kasus perburuhan di Cianjur A, anggota PEKKA yang telah 8 tahun bekerja sebagai buruh kontrak di sebuah pabrik pengepakan obat, tidak lagi dipanggil bekerja, sementara teman-temannya tetap dipanggil bekerja. Saat itu, perusahaan menaikan upah buruhnya cukup tinggi, dari Rp. 6.000/hari menjadi Rp. 18.000/hari. A berusaha mencari kejelasan pada pihak perusahaan, tapi pengawasnya justru berkilah dengan alasan kondisi A dianggap loyo. Pengawas

22 Baseline Survey (2006) juga menemukan bahwa meningkatkan kesadaran hukum perempuan saja tidak cukup untuk dapat menjamin mereka mengambil tindakan hukum, tetapi perlu untuk memperlengkapi perempuan dengan pengetahuan teknis tentang bagaimana dapat mengakses lembaga hukum. 23 Dalam studi ini, biaya operasional Fasilitator Hukum disediakan PEKKA dalam konteks program WLE.

54

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

perusahaan saat itu berjanji akan memanggil A kembali apabila ada pekerjaan, dan memberikan A uang sebesar Rp. 300 ribu. A menganggap uang itu adalah uang kompensasi selama ia tidak bekerja, namun ia tak kunjung dipanggil lagi bekerja. Sampai suatu saat, PEKKA memfasilitasi kegiatan kunjungan anggota MSF ke desa. Saat itu staf Disnaker Kabupaten Cianjur turut hadir untuk memberikan informasi tentang hak-hak pekerja. A mengungkapkan masalahnya dan staf Disnaker berjanji membantu. Setelah pertemuan itu, A merasa tidak ada perkembangan dari masalahnya. Sementara itu, staf Disnaker sudah menghubungi perusahaan tempat A bekerja, namun mereka berdalih bahwa A sudah bekerja di tempat lain saat mereka mau memanggil A bekerja. Pada kegiatan kunjungan MSF ke desa yang berikutnya, pihak Disnaker bertanya kepada A tentang perkembangan kasusnya dan A menjelaskan bahwa ia tidak bekerja di tempat lain dan masih juga belum dipanggil bekerja oleh perusahaannya. Meresponi hal ini, pihak Disnaker kembali menghubungi perusahaan. Perusahaan mengaku bahwa hal tersebut sebenarnya hanya kesalahpahaman saja yang dapat diselesaikan dengan jalan kekeluargaan, tanpa perlu melibatkan pihak Disnaker. Tak lama kemudian A pun dipanggil kembali untuk bekerja. Namun perusahaan memperlakukan A seperti buruh baru, sehingga walau upah hariannya mengikuti peraturan baru, yaitu Rp. 18.000/hari, bonus hari raya yang seharusnya sebesar Rp 150, ribu hanya diterima Rp 50 ribu saja.

Adanya jaringan antara perempuan desa dengan aparat hukum negara telah turut meningkatkan aksesibilitas penyintas ke sistem hukum negara. Jaringan ini membuka akses penyintas kepada informasi hukum dan pelayanan sistem hukum negara di tingkat kabupaten/propinsi. Dalam studi ini, jaringan yang dimaksud adalah keberadaan MSF yang bekerjasama dengan kelompok PEKKA di desa. Salah satu kegiatan MSF, yaitu kunjungan ke desa, yang diselenggarakan secara berkala dengan koordinasi PEKKA, telah mendekatkan aparat hukum kepada keadaan kongkrit perempuan desa beserta segala permasalahan hukumnya, sehingga kesadaran mereka akan isu-isu hukum perempuan desa meningkat. Ini menjadi pembelajaran tersendiri bagi mereka. Sementara di pihak lain, perempuan desa dapat dengan leluasa mengakses bantuan aparat penegak hukum, seperti mendapatkan informasi dan konsultasi hukum hingga penanganan kasus. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa jaringan ini turut meningkatkan aksesibilitas sistem hukum negara, karena, pertama, secara langsung telah merobohkan tembok-tembok birokrasi yang seringkali membatasi perempuan-perempuan desa mengakses bantuan sistem hukum negara, seperti rasa takut dan tidak percaya. Kedua, mengatasi masalah jarak tempuh yang seringkali membatasi perempuan desa mengakses sistem hukum negara, karena lokasi kegiatan ada di desa. Hubungan yang terbina antara Fasilitator Hukum dan kelompok PEKKA dengan para anggota MSF juga telah meningkatkan kepercayaan diri para perempuan desa untuk dapat lebih leluasa mengakses sistem hukum negara saat menghadapi atau memfasilitasi kasus hukum. Kader Hukum tidak lagi sungkan untuk datang ke Pengadilan Agama dan bertemu dengan Hakim yang terlibat sebagai anggota MSF untuk mencari informasi atas kasus-kasus yang dihadapinya di desa.

3. Kerjasama Aktor Desa Mempengaruhi Aksesibilitas Sistem Hukum Negara Beberapa penyintas dapat mengakses sistem hukum negara saat aparat atau tokoh desa merujuk kasus mereka ke sistem hukum negara. Studi ini bahkan menjelaskan bahwa peluang penyintas untuk mengakses keadilan akan mencapai titik yang maksimal pada saat sistem hukum non negara di desa dapat bekerjasama dan mendukung sistem hukum negara, yaitu tidak saja merujuk kasus, tapi juga berjejaring memberikan perlindungan bagi penyintas. Namun demikian, umumnya peran sebagai Aktor Desa dan keberadaan jejaring di desa hanya muncul pada saat-saat kritis, sehingga bersifat ad hoc. Jejaring di desa membuka akses Studi Kasus 10: Kasus kekerasan eks TKW di Cianjur A (16 tahun), saat bekerja ke Arab Saudi sebagai TKW mengalami kekerasan yang dilakukan oleh anak majikannya. Kepalanya dipukul hingga ia jatuh pingsan. Akibatnya ia dirawat di RS selama 2 bulan dan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

55

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

setelah itu dokter mengatakan ia harus dipulangkan ke Indonesia. Majikannya segera mengirim A pulang ke Indonesia setelah keluar dari RS. Setibanya di Jakarta, ia tidak bisa melihat dengan jelas, sehingga sempat dititip ke klinik di airport. Sponsornya yang mengantar A kembali ke Cianjur. Sebulan kemudian A kembali sakit, tubuhnya demam. Awalnya ia dirawat oleh bidan desa, namun karena tidak ada kemajuan, maka bidan membawanya ke RS Cianjur. Barulah diketahui bahwa A terserang meningitis. Disana ia sempat koma selama sepuluh hari lamanya. Setelah 17 hari dirawat di RS Cianjur, A kembali ke rumah, namun tubuh bagian kirinya mulai lumpuh. Selama sakit, bidan Desa membantu mengurus asuransi kesehatan (ASKES) bagi A sehingga memotong banyak biaya obat. Berita terdengar oleh seorang aktivis desa, pensiunan ABRI, yang kemudian membawa kasus kepada wartawan cetak dan elektronik. Akibat liputan beberapa saluran TV dan koran, pegawai Disnaker Cianjur (anggota MSF) dan perwakilan PJTKI di Jakarta, mendatangi rumah penyintas. Aktivis desa dan Ketua RT terus mendampingi ayah penyintas mendatangi PJTKI di Jakarta, hingga asuransi kesehatan di Arab Saudi menggantikan biaya berobat penyintas di Indonesia. Aktivis desa juga melaporkan kasus ke Pemda Cianjur sehingga penyintas memperoleh bantuan dana untuk kesehatannya.

Kemampuan aktor desa perujuk kasus untuk berjejaring dengan aktor eksternal, terutama media, dapat membuka peluang penyintas untuk mengakses sistem hukum negara. Keterlibatan media dalam beberapa kasus terbukti efektif dalam mengangkat kasus sehingga bisa ditangani oleh aparat hukum. Hal ini terjadi karena media sanggup membuat kasus menjadi pusat perhatian berbagai pemangku kepentingan sehingga kasus dapat diproses secara lebih adil. Demikian juga saat aktor desa berjejaring dengan pihak-pihak potensial di desa, seperti bidan desa, maka penyintas memiliki akses yang lebih besar terhadap sistem hukum negara. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa kesadaran hukum dan gender bidan desa relatif lebih baik daripada aparat desa lainnya, sehingga mereka berani mengambil tindakan penanganan kasus. Tindakan tersebut meliputi, pertama, merujuk kasus ke rumah sakit guna pemeriksaan lebih lanjut agar ada bukti yang menguatkan dari perspektif hukum bahwa suatu kekerasan seksual telah terjadi pada penyintas. Kedua, mengontak Fasilitator Hukum agar kasus dapat dilanjutkan ke pihak penegak hukum. Ketiga, membantu mengakses fasilitas kesehatan seperti asuransi kesehatan di rumah sakit, memonitor penyintas yang sakit dan memberikan dukungan tambahan seperti mengantarkan dan menghubungkan penyintas ke pihak yang dapat membantu penyintas secara medis. Dengan demikian studi ini memperlihatkan bahwa dalam kasus-kasus keluarga dan kekerasan terhadap perempuan, sistem hukum negara dapat berfungsi efektif memberikan hasil yang adil bagi penyintas, walaupun untuk mengakses sistem hukum negara tersebut diperlukan penyadaran hukum bagi penyintas serta keterlibatan dan kerjasama berbagai aktor-aktor pendukung/pendamping.

3.2. Akses Kepada Keadilan Sosial Temuan Utama • Akses terhadap keadilan sosial dibutuhkan penyintas. Penyintas mendefinisikan keadilan sebagai suatu keadilan sosial, sehingga memiliki akses kepada keadilan secara hukum merupakan satu tahap dalam proses mengakses keadilan sosial. • Diperoleh melalui penanganan korban yang bersifat holistik. Keadilan sosial dapat mulai diakses penyintas saat penanganan kasus-kasus perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan menggunakan pendekatan yang melibatkan berbagai unsur. • Juga saat adanya agen pemberdayaan perempuan di desa. Keadilan sosial juga mulai dapat diakses penyintas saat adanya agen-agen yang dapat mempromosikan nilai-nilai yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat menerima dan mendukung perempuan korban kekerasan dan menghormati hak-hak hukum perempuan.

Saat penyintas berhasil mengakses sistem hukum negara, ia telah menerobos separuh dari perjalanannya mengakses keadilan. Namun itu satu tahap dalam memperoleh keadilan. Beberapa kasus dalam studi ini menunjukkan hal ini. Mengapa demikian? Pertama, karena penyelesaian kasus yang adil yang dapat

56

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

dihasilkan oleh sistem hukum negara masih tetap tidak dapat sepenuhnya mengembalikan fungsi utilitas dan wellbeing dari penyintas. Berbagai kerugian fisik dan psikis yang dialami penyintas belum dapat digantikan dengan keputusan sistem hukum negara menghukum pelaku atau bahkan dengan retribusi dalam bentuk apapun. Kedua, karena ada biaya sosial yang begitu tinggi yang masih tetap harus ditanggung oleh penyintas–seperti penolakan dari masyarakat desa, stigma sosial yang dikenakan oleh masyarakat, penolakan dari pihak sekolah–walaupun kasusnya dapat diselesaikan melalui sistem hukum negara. Dengan demikian, studi kasus ini memperlihatkan bahwa efektivitas dan aksesibilitas sistem hukum negara, betapapun idealnya, belum sepenuhnya memberikan keadilan kepada penyintas khususnya dalam kasuskasus kekerasan dan diskriminasi, bahkan perceraian. Penyintas masih menghadapi stigma sosial. Bahkan tak jarang ‘kearifan lokal’ turut memojokkan posisi perempuan sebagai pihak yang bersalah pada kasuskasus perceraian, KDRT, kekerasan, bahkan perkosaan. Untuk itu, penyintas seringkali mendefinisikan keadilan dalam pengertian yang lebih luas, yaitu keadilan sosial (social justice). Studi kasus ini berhasil mengangkat dua kasus yang dapat dipakai menjadi best practice bagaimana penyintas dapat mulai mengakses keadilan dalam pengertian yang lebih luas tersebut. Ada dua kondisi yang dapat memberikan peluang bagi penyintas mengakses keadilan sosial. Pertama, saat penanganan kasus dilakukan secara holistik, yaitu dengan menangani berbagai aspek kehidupan dan kepentingan korban, dalam upaya mengembalikan fungsi utilitas dan wellbeing-nya. Kedua, saat adanya agen-agen pemberdayaan perempuan di desa yang mulai mempromosikan nilai-nilai yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan ketengah masyarakat, sehingga penyintas dapat memperoleh penerimaan dan dukungan sosial atas status dan keberadaannya sebagai korban kekerasan dan diskriminasi.

1. Pendekatan yang Holistik dalam Penanganan Penyintas Dibutuhkan Akses terhadap keadilan sosial mulai terbuka saat penyintas dapat memperoleh penanganan yang holistik atas dirinya sebagai korban kekerasan. Kasus incest di Lombok memperlihatkan hal ini. Adanya pelayanan terpadu yang dilandasi dengan keberadaan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, terbukti memberikan manfaat yang besar bagi penyintas sebagai korban perkosaan. Box 6. SKB Tiga Menteri dan Kapolri tentang “Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Pada tanggal 23 Oktober 2002, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan serta Kapolri menandatangani kesepatakan kerjasama untuk membangun layanan terpadu yang berbasis di Rumah Sakit Umum di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten serta Rumah Sakit Bhayangkara milik Polri di seluruh Indonesia. Layanan terpadu yang utamanya bertujuan untuk memberikan layanan psikososial dan medis pada perempuan dan anak korban kekerasan. Untuk itu, Pusat Layanan Terpadu (PPT) juga bekerjasama dengan organisasi perempuan penyedia layanan untuk memudahkan layanan pada korban kekerasan. Di tingkat lokal, Pemerintah Daerah Propinsi NTB mengeluarkan semacam Surat Edaran (yang dikeluarkan oleh Sekda Kepala Biro Kesejahteraan Sosial, Propinsi NTB) untuk meneruskan informasi SKB yang ditandatangi di tingkat nasional ini, agar dapat mendorong kerjasama serupa di tingkat propinsi. Wujud konkretnya adalah pembentukan Shelter atau rumah aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan lengkap dengan bangunan, (guideline) serta kontrak antara pengguna rumah aman dan pengelolanya. Adapun jaringan organisasi lokal yang aktif bekerjasama adalah LPA (Lembaga Perlindungan Anak), Dinas Sosial Propinsi NTB (pengelola rumah aman), dan RPK tingkat Polda, termasuk psikolog, dokter, dan unsur agama.

Melalui pelayanan terpadu ini penyintas memperoleh penanganan yang bersifat holistik. Di salah satu kasus di Lombok, penyintas tidak hanya mendapatkan pendampingan hukum, tetapi juga pelayanan kesehatan dan pemulihan kondisi mental dan psikologisnya. Adanya pelayanan yang terpadu, yang melibatkan aspek hukum, sosial, kesehatan, psikologi dan agama, terbukti dapat secara sinergis memulihkan kondisi penyintas pasca kejadian kekerasan. Penyintas bahkan mendapatkan penanganan untuk masalah kehamilannya hingga saat melahirkan. Dinas Sosial juga turut bertanggungjawab memelihara dan mengurus proses adopsi atas bayi penyintas.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

57

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

Dalam kasus ini, adanya penanganan korban yang bersifat holistik ini turut melengkapi efektivitas sistem hukum negara dalam menyelesaikan kasus secara hukum, sehingga keadilan yang lebih luas dari sekedar keadilan secara hukum dapat dinikmati oleh penyintas. Tanpa adanya penanganan yang holistik terhadap korban, sanksi dan keadilan yang ditetapkan oleh sistem hukum negara hanya bersifat menghukum pelaku, tapi tidak untuk mengembalikan fungsi utilitas dan wellbeing dari penyintas. Namun pelayanan terpadu ini terbukti efektif sebatas mengembalikan fungsi utilitas dan wellbeing penyintas yang terkait pada aspek medis dan psikis saja. Ada aspek-aspek sosial yang tidak dapat tergantikan dalam kehidupan penyintas, seperti aset-aset sosial yang hilang dari yang pernah ia miliki sebelumnya di desa, karena terbukti keluarga dan penduduk desa tidak menginginkan penyintas untuk kembali ke kampung. Penghakiman massa dalam bentuk sanksi sosial ini adalah biaya sosial yang dibayar penyintas dan tidak tergantikan melalui penanganan terpadu dalam kasus ini. Terlihat bahwa intervensi di tingkat desa juga dibutuhkan untuk dapat menjamin keadilan sosial bagi penyintas.

2. Agen Pemberdayaan Perempuan di Desa Membuka Akses Terhadap Keadilan Sosial Tanpa adanya suatu sistem sosial budaya yang responsif terhadap isu gender, hak serta kebutuhan praktis dan strategis perempuan, maka keadilan yang sesungguhnya tidak dapat diperoleh oleh penyintas. Hal inilah yang absen dalam kasus incest di Lombok, sehingga penyintas mengalami penolakan sosial tidak dapat kembali ke kampungnya. Masalahnya lagi, sebagaimana umumnya terjadi di desa-desa studi, kondisi absennya sistem sosial budaya yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan di Lombok justru mengkristal ke dalam praktek-praktek sistem hukum non negara, sehingga efektivitas sistem ini dalam menangani kasus-kasus hukum perempuan menjadi sangat rendah. Pada kasus incest di Lombok, bahkan Kepala Dusun turut mendukung sanksi sosial “pengusiran” kepada penyintas tersebut. Namun pada kasus perkosaan di Brebes, terlihat bahwa ada peluang bagi penyintas untuk mengakses keadilan sosial. Kapan peluang itu hadir? Pertama, pada saat penyintas memperoleh dukungan massa atas proses penegakan hukum yang terjadi dan kedua, pada saat ia memperoleh penerimaan sosial atas status dan keberadaannya sebagai korban kekerasan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana peluang tersebut dapat hadir? Pada dasarnya kasus perkosaan ini sangat diwarnai dengan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), karena pelaku adalah etnis Cina dan pengusaha kelas menengah-atas di Brebes, sehingga dukungan massa tersebut dapat dikaitkan dengan isu ini. Namun kasus ini juga memberikan best practice tentang keberadaan Fasilitator Hukum di desa yang berperan sebagai agen pemberdayaan perempuan dan terbukti secara efektif membangun kepedulian dan dukungan massa terhadap penyintas. Kasus ini memperlihatkan secara jelas bagaimana Fasilitator Hukum bergerak melakukan pemberdayaan hukum dan gender secara dua arah, yaitu secara khusus kepada penyintas dan secara umum kepada masyarakat desa. Pada target yang terakhir ini Fasilitator Hukum berperan sebagai agen pemberdayaan perempuan, karena mereka secara aktif berusaha memuat kesadaran gender dan hukum ke dalam institusi sosial di desa. Peran ini terutama dilakukan dalam rangka menggalang massa untuk memberi dukungan kepada penyintas serta memberikan tekanan kepada pihak aparat penegak hukum agar menangani kasus dengan adil. Beberapa tindakan yang dilakukan adalah: 1) menggagas pelaksanaan aksi demo yang dilakukan perempuan desa, 2) mengumpulkan perempuan-perempuan desa untuk mendukung penyintas, 3) mengumpulkan dana dari masyarakat untuk membiayai perempuan-perempuan desa melakukan unjuk rasa di Pengadilan Negeri. Peran tersebut terbukti membangkitkan kesadaran hukum perempuan desa. Ibu Lurah mengakui bahwa gagasan untuk melakukan demo timbul setelah Fasilitator Hukum menjelaskan pentingnya keterlibatan perempuan desa dalam mendorong agar kasus penyintas dapat ditangani oleh aparat hukum dengan adil.

58

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

“Semangat ini (untuk terlibat mendukung perempuan penyintas mengakses keadilan – penulis) timbul karena baru saya sadari yang ikut mendukung ke sidang-sidang selalu anak-anak laki-laki dan bapak-bapak, tetapi ibu-ibunya seperti tidak peduli.” Ibu Lurah kasus perkosaan, Brebes Dalam melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menggalang massa, Fasilitator Hukum terbukti secara aktif melakukan pemberdayaan hukum dan gender kepada masyarakat luas. Mereka tidak sematamata membangun simpati masyarakat terhadap penyintas, tetapi juga membangun kesadaran kaum perempuan untuk mengambil perannya dalam memperjuangkan kepentingan penyintas. Saat berupaya mengumpulkan perempuan-perempuan desa untuk berdemo, dalam pertemuan yang dipimpin oleh istri Lurah, Fasilitator Desa memberikan perspektif perempuan pencari keadilan kepada masyarakat yang hadir, termasuk pemimpin dari berbagai tokoh ormas Islam seperti Fatayat dan Muslimat NU, serta Aisyah milik Muhammadiyah. Upaya ini terbukti berhasil membangkitkan kesadaran gender dan politik masyarakat desa, khususnya perempuan desa. Efektif karena terintegrasi ke dalam gerakan sosial-politik desa Mengapa Fasilitator Hukum efektif menggalang dukungan massa atas penyintas? Salah satu faktor adalah karena keberadaan mereka terintegrasi dalam gerakan sosial-politik yang ada di masyarakat, yaitu gerakan perempuan kepala keluarga (PEKKA). Sebagai suatu gerakan, PEKKA berupaya menggalang kekuatan para perempuan kepala keluarga di desa untuk dapat mengaktualisasikan diri mereka di tengah masyarakat serta memperoleh penerimaan sosial dari masyarakat desa. Beberapa bentuk pemberdayaan, seperti di bidang ekonomi, pendidikan serta hukum, dilihat sebagai proses dari menumbuhkan gerakan itu, dan bukan tujuan akhirnya. Dengan demikian, upaya mereka menggalang massa untuk suatu kasus tertentu menjadi lebih mudah karena didukung oleh keberadaan kelompok PEKKA yang sudah mulai dikenal dan mendapat nama di desa. Aksi penggalangan massa tersebut juga menjadi jauh lebih efektif karena “mengatas-namakan” perempuan desa dan bertujuan tidak hanya semata ingin mendukung perempuan korban perkosaan, tapi lebih dari itu, memperjuangkan partisipasi, akses dan kontrol perempuan terhadap politik dan pengakuan sosial. Berhasil memberikan keadilan sosial bagi penyintas Implikasi dari adanya dukungan massa tersebut, pertama, kasus perkosaan bisa diselesaikan dengan cukup efektif oleh sistem hukum negara, karena pelaku perkosaan dihukum.24 Dukungan massa tersebut diterima oleh aparat penegak hukum sebagai pesan agar kasus “diperhatikan” dengan cara berlaku adil melakukan penanganannya. Kedua, dukungan massa tersebut telah membuat masyarakat berpihak mendukung penyintas dan mau menerimanya tanpa mengenakan berbagai stigma sosial yang biasanya harus disandang oleh perempuan eks korban kekerasan. Masyarakat cenderung berusaha menolong penyintas untuk melupakan kejadian. Seusai proses persidangan, masyarakat berupaya untuk mensemangati penyintas dan bahkan beberapa dari mereka menawarkan pekerjaan kepada penyintas sebagai penjaga toko atau pekerja rumah tangga. Akibat adanya penerimaan tersebut, penyintas tidak merasa perlu mengasingkan diri ke luar dari desa. Saat tidak ada penolakan dari masyarakat, penyintas mulai memiliki akses terhadap keadilan sosial.

24 Walaupun pelaku berhasil dijatuhi hukuman, namun perempuan korban dan keluarganya masih tidak puas dengan keputusan vonis 4 tahun yang dianggapnya terlalu ringan tersebut. Mereka menduga ada kasus suap yang telah terjadi kepada aparat penegak hukum.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

59

Bagian 4

Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

4.1. Diskusi: Perlunya Redefinisi Konsep Keadilan Temuan kunci dari studi ini menyuarakan bahwa perempuan memiliki definisi yang lebih luas tentang keadilan. Akses perempuan pencari keadilan (penyintas) terhadap keadilan saat mengalami kasus hukum, tidak dapat semata-mata dilihat dalam konteks hukum dan legalitasnya saja. Penyelesaian kasus secara hukum merupakan langkah awal bagi penyintas mengakses keadilan, namun hal ini belum cukup menjamin penyintas memperoleh keadilan sebagaimana yang didefinisikannya. Jawaban terhadap pertanyaan utama yang mendasari penelitian ini, “bagaimana perempuan desa yang mengalami kasus hukum dapat mengakses keadilan?” perlu didasari atas suatu definisi keadilan yang lebih luas. Lebih dari sekedar keadilan menurut hukum (legal justice), apa yang diperlukan adalah konsep keadilan seutuhnya, yaitu keadilan sosial (social justice). Dua puluh delapan kasus yang diangkat dalam studi ini memperlihatkan bahwa penyelesaian kasus hukum melalui sistem hukum negara maupun non negara, seberapa pun telah memberikan keadilan secara hukum, masih belum sepenuhnya dapat mengembalikan fungsi utilitas dan well-being penyintas . Sementara itu, upaya pemulihan bagi penyintas sebagai korban (remedies), kalaupun ada, umumnya masih hanya terbatas kepada “ganti rugi” berupa materi belaka. Tanpa adanya pemulihan yang holistik terhadap kondisi fisik, psikologis, ekonomi serta status sosial korban di masyarakat, maka keadilan yang sesungguhnya belum dapat diakses penyintas. Diskusi selanjutnya memaparkan tentang kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian ini yang dapat mendasari suatu inisiatif reformasi hukum yang memperjuangkan arti penting akses perempuan terhadap keadilan.

4.2. Kesimpulan Studi ini bertujuan untuk menjawab bagaimana perempuan desa yang mengalami kasus hukum dapat mengakses keadilan. Melalui pengalaman dua puluh delapan orang penyintas mencari keadilan melalui jalur sistem hukum negara dan non negara, studi ini menarik pembelajaran dan best practice tentang bagaimana penyintas, yaitu perempuan desa pencari keadilan, dapat mengakses keadilan saat mengalami kasus hukum yang utamanya terkait dengan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kesimpulan Utama Ada peluang untuk mengakses keadilan bagi penyintas di desa. Penyintas, di tengah kemiskinan dan berbagai hambatan sosial yang dialami, memiliki peluang untuk mengakses keadilan saat mereka dapat mengakses jalur penyelesaian kasus hukum, baik sistem hukum non negara di tingkat desa maupun sistem hukum negara di luar desa. Alternatif jalur penyelesaian kasus hukum yang ada memiliki tingkat aksesibilitas dan efektivitas yang berbeda. Sistem hukum negara relatif efektif dalam memberikan keadilan namun sulit diakses, sebaliknya sistem hukum non negara sangat mudah diakses namun belum cukup efektif memberikan penyelesaian kasus yang melindungi perempuan. Aktor intermediasi memperkuat akses penyintas menggunakan sistem hukum negara. Keberadaan Aktor Desa, Fasilitator Hukum dan Aktor Eksternal, dalam bentuk dan takaran yang berbeda-beda, telah memperkuat akses penyintas untuk mencari bantuan dari sistem hukum negara. Penyintas mendefinisikan akses terhadap keadilan dalam pengertian yang luas. Penyelesaian kasus melalui sistem hukum walaupun sangat penting, merupakan satu tahap dari proses memberikan keadilan kepada penyintas. Karena tidak saja keadilan secara hukum, penyintas juga membutuhkan penanganan yang holistik mencakup dimensi psikologis, kesehatan, sosial dan keamanan, serta dukungan dan penerimaan sosial.

Studi ini memperlihatkan bahwa akses penyintas terhadap keadilan masih lemah. Penyintas baru mulai memiliki akses terhadap keadilan saat ia dapat mengakses sistem penyelesaian kasus hukum yang ada, baik sistem hukum non negara di tingkat desa maupun sistem hukum negara di luar desa. Namun, itu barulah satu langkah dalam memperoleh keadilan. Selanjutnya, keberhasilan mereka mengakses keadilan masih sangat ditentukan oleh efektivitas dari sistem penyelesaian kasus hukum tersebut. Pada kasus-kasus kekerasan, keadilan akan semakin dapat diakses saat mereka memperoleh penanganan korban secara holistik serta penerimaan sosial dari masyarakat.

62

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Sistem hukum negara lebih efektif karena terjamin dan independen Studi ini memperlihatkan bahwa dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama KDRT dan perceraian, sistem hukum negara dapat lebih bersifat responsif terhadap kebutuhan perempuan daripada sistem hukum non negara di tingkat desa. Hal ini telah turut menjamin efektivitasnya dalam menyelesaikan kasus hukum yang dialami penyintas secara adil. Ada beberapa alasan yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Pertama, kerangka hukum dari sistem ini tunduk secara langsung kepada konstitusi negara dan konvensi-konvensi internasional yang terkait dengan hak asasi manusia. Sistem hukum ini juga lebih terbuka terhadap fungsi pengawasan dan hal ini turut meningkatkan kualitas keadilan yang dapat dihasilkan. Sifat transparan ini terjamin melalui keberadaan mekanisme untuk naik banding atau mengajukan keberatan atas keputusan yang ditetapkan oleh otoritas legal dan juga dari keberadaan media dan LSM untuk memonitor perkembangan kasus. Selanjutnya, beberapa kasus memperlihatkan bahwa keputusan dari pengadilan cenderung lebih dapat ditegakkan pelaksanaannya daripada keputusan aparat desa, dan hal ini membuka akses penyintas lebih lagi terhadap keadilan. Selanjutnya, sistem hukum ini cenderung lebih efektif karena tidak terpengaruh dengan dinamika relasi kekuasaan yang ada di desa. Kasus-kasus dalam studi ini umumnya sarat dengan latar belakang pola relasi kuasa yang timpang antara penyintas dan pihak pelaku/lawan. Pola relasi ini terlihat turut mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat desa. Namun, saat kasus-kasus tersebut beralih penanganannya ke sistem hukum negara, dinamika relasi kekuasaan tersebut tidak menjadi ancaman bagi pengambil keputusan. Kemampuan pihak laki-laki dalam kasus untuk dapat mempengaruhi aparat penegak hukum juga dapat diminimalisir secara berarti. Walau relatif lebih efektif, sistem hukum negara masih memiliki kelemahan. Studi ini mengidentifikasi empat faktor yang perlu diperkuat dari sistem hukum negara terkait dengan isu gender. Pertama, kesadaran gender belum dimiliki oleh seluruh jajaran aparat penegak hukum, padahal hal ini mempengaruhi bagaimana mereka menangani kasus. Kedua, adanya standar operasional penanganan kasus yang justru membatasi akses penyintas terhadap keadilan. Ketiga, tanpa adanya aktor intermediasi sistem hukum ini sulit diakses oleh penyintas. Keempat, sementara itu, fasilitasi dari aktor intermediasi tetap membutuhkan adanya kesadaran hukum dari pihak penyintas. Kesadaran gender, termasuk pengertian tentang betapa kesadaran gender dapat meningkatkan efektivitas kerja dalam menegakkan hukum, belum secara merata dimiliki oleh seluruh aparat hukum. Dari beberapa kasus, terlihat perbedaan respon yang diberikan oleh aparat hukum yang telah memiliki kesadaran gender dan yang tidak. Hakim yang telah mengikuti pelatihan gender di Cianjur dan Brebes lebih memiliki kesadaran tentang perlunya memperhatikan kepentingan penyintas, misalnya kebutuhan akan pendampingan. Hal ini terbukti tidak saja memberikan perlindungan kepada penyintas, tetapi juga menghasilkan keputusan yang lebih adil, karena kesaksian penyintas dapat lebih berkualitas. Selain itu, beberapa praktek dalam sistem hukum ini masih membatasi penyintas untuk meraih keadilan. Pertama, terbatasnya biaya operasional KePolisian, terutama biaya untuk melakukan pemeriksaan visum et repertum bagi korban-korban kekerasan seksual, telah membatasi akses penyintas untuk mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sebagai bukti pada kasus-kasus kekerasan seksual. Kedua, standar operasional penanganan kasus di Kejaksaan telah membuat adanya tekanan tersendiri bagi Jaksa dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami penyintas dewasa. Tekanan untuk mencari bukti telah terjadinya kekerasan seksual ini selanjutnya turut mempersulit Jaksa untuk melindungi kepentingan korban. Sebagian besar penyintas yang berhasil mengakses sistem hukum negara untuk penyelesaian kasusnya, mengakses dengan bantuan aktor intermediasi. Ada tiga kelompok intermediasi yang teridentifikasi melalui studi ini. Pertama adalah Aktor Desa yang berperan merujuk kasus ke sistem hukum negara, mencakup aparat dan tokoh-tokoh desa. Namun tindakan mereka merujuk kasus ke sistem hukum negara umumnya

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

63

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

tidak didasarkan atas pertimbangan untuk menjamin kepentingan penyintas. Secara ad hoc mereka merujuk kasus saat terjadi penganiayaan yang berat terhadap penyintas atau kerusuhan massa, serta saat penyelesaian di tingkat desa tidak berhasil atau kurangnya pengetahuan tentang perkara. Mereka umumnya juga merujuk kasus tanpa memberikan pendampingan hukum kepada penyintas. Kedua, studi ini juga mencatat adanya kasus-kasus yang dibawa ke sistem hukum negara melalui bantuan Fasilitator Hukum di desa, yaitu Kader Hukum dan Pendamping Lapangan PEKKA. Mereka berperan sebagai jaringan pendukung bagi penyintas. Tidak saja merujuk kasus, mereka secara aktif memberikan informasi dan bantuan hukum kepada penyintas sepanjang proses penanganan kasus. Ketiga, beberapa penyintas mengakses jalur hukum negara melalui dukungan dari jejaring di luar desa, yaitu Aktor Eksternal, yang meliputi MSF, media, dan LSM/LBH. Walau berpotensi memainkan peran positif dalam membantu penyintas berinteraksi dengan jalur hukum negara, namun keberadaan mereka terbatas. Penyintas menikmati peran mereka secara kebetulan karena adanya program pemberdayaan hukum di desa atau karena kasus merupakan pelanggaran hak azasi manusia dalam tingkatan yang berat.

2. Sistem hukum non negara populer di desa namun perlu diperkuat untuk dapat menjamin hak perempuan Jalur non negara di desa adalah jalur pertama yang akan diakses penyintas saat mencari penyelesaian kasus hukum. Dari kasus-kasus yang diselesaikan melalui jalur ini, tidak ada satupun yang mencatat bahwa aparat desa secara pro-aktif melindungi hak-hak perempuan. Beberapa kasus justru menunjukkan adanya konflik kepentingan antara melindungi hak perempuan dan menjaga harmoni di masyarakat, sehingga sulit bagi aparat desa untuk memiliki keberpihakan kepada penyintas sebagai korban. Selain itu, studi ini memperlihatkan bahwa kapasitas untuk memberikan sanksi dan penegakkan hukum sistem ini lemah, sehingga semakin memperlemah kapasitasnya untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak perempuan. Walau terbatas efektivitasnya dalam memberikan keadilan kepada penyintas, jalur hukum non negara ini tidak dapat diabaikan. Jalur ini menawarkan kemudahan dan biaya yang minim kepada penyintas. Penyintas umumnya menceritakan kasusnya pertama kali kepada keluarga atau kerabat dekat, dan biasanya mereka akan mencari pertolongan dari aparat desa sebelum melaporkan kasus ke sistem hukum negara. Lagipula, tanpa tersedianya fasilitasi dari aktor intermediasi, maka penyintas tidak mempunyai pilihan lain selain mencari keadilan melalui jalur hukum non negara.

3. Keadilan sosial lebih luas dari keadilan secara hukum Temuan kunci dari studi ini adalah bahwa penyelesaian kasus hukum secara legal adalah penting, namun perlu adanya tahap lain untuk menjamin penyintas memperoleh keadilan. Walau studi ini awalnya terfokus kepada interaksi antara perempuan desa pencari keadilan dengan hukum, ternyata mengalami penyelesaian kasus hukum semata tidak dapat secara lengkap menjawab kebutuhan mereka atas keadilan. Konsep keadilan yang didefinisikan mereka dalam studi ini disebut dengan “keadilan sosial.” Lebih dari sekedar keadilan secara hukum, konsep ini mengandung aspek-aspek retribusi ekonomi, akses kepada pelayanan sosial, utamanya kesehatan dan pendidikan, dan penerimaan sosial. Beberapa kasus perkosaan dalam studi ini memberikan contoh bagaimana keadilan sosial diperlukan penyintas. Mencari keadilan secara hukum dapat menciptakan tekanan sosial Upaya untuk mencari keadilan melalui jalur hukum negara dapat menimbulkan tekanan sosial tersendiri antara penyintas dengan keluarga atau masyarakat. Hal ini terlihat dalam beberapa kasus, yaitu saat seorang penyintas yang diperkosa ayahnya lalu dipersalahkan oleh keluarganya atas kejadian tersebut; saat seorang penyintas yang melaporkan kasus KDRT ke Polisi lalu justru diceraikan oleh suaminya; atau seorang penyintas eks TKW yang diperkosa majikannya di Malaysia lalu dituntut keluarga dan masyarakat untuk dinikahkan ulang dengan suaminya sebagai tanda ia diterima kembali oleh suaminya.

64

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

Akses kepada dukungan sosial adalah bagian penting dalam definisi penyintas tentang keadilan Tergantung pada tingkat keseriusan kasus, penyintas seringkali membutuhkan akses kepada pelayanan sosial saat memproses kasus hukumnya. Untuk itu penanganan korban membutuhkan pendekatan yang lebih bersifat holistik. Dalam banyak kasus, terutama kasus perkosaan dan KDRT, ini mencakup pelayanan kesehatan dan psikologis. Kasus incest di Lombok memperlihatkan bahwa proses penyidikan dan persidangan justru seringkali membuat penyintas mengalami trauma tersendiri, terutama saat kesadaran gender belum dimiliki oleh para aparat. Bentuk lainnya dari dukungan sosial kepada penyintas adalah dukungan dari masyarakat. Sayangnya, dalam beberapa kasus, keputusan Hakim yang berpihak kepada penyintas sebagai korban belum menjamin adanya penerimaan sosial bagi penyintas. Hal ini menunjukkan diperlukannya suatu dukungan terhadap penyintas yang berfungsi untuk membantu mereka kembali ke komunitas dan untuk membangun kesadaran dan dukungan masyarakat terhadap penyintas. Studi ini memperlihatkan potensi untuk melakukan dukungan tersebut ada pada peran Fasilitator Hukum saat mereka bertindak sebagai agen pemberdayaan perempuan, yaitu mempromosikan nilai-nilai yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat menerima dan mendukung perempuan korban kekerasan dan menghormati hak-hak hukum perempuan.

4.3. Rekomendasi: Melembagakan Hak-hak Perempuan Laporan ini mengangkat dua kelompok rekomendasi. Pertama, rangkaian rekomendasi ditujukan secara khusus untuk memperkuat akses penyintas terhadap keadilan melalui sistem hukum. Rekomendasi ini mencakup perlunya meningkatkan akses terhadap mekanisme penyelesaian kasus hukum dan meningkatkan kualitas jasa pelayanan yang disediakan oleh mekanisme tersebut. Prioritasnya adalah pada meningkatkan aksesibilitas dan kapasitas dari sistem hukum negara dan non negara. Kedua, rangkaian rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki tersedianya kualitas keadilan yang lebih luas bagi penyintas. Rekomendasi ini lebih terfokus pada keadilan sosial. Namun pendekatannya lebih kepada bagaimana proses hukum dapat mengadopsi suatu pendekatan yang lebih holistik yang dapat lebih menjawab kebutuhan penyintas tentang keadilan. Secara bersamaan, kedua kelompok rekomendasi ini menyediakan suatu kerangka yang menjawab aspirasi penyintas tentang keadilan. Kerangka ini dimaksudkan untuk bersifat praktis dan dapat dicapai, berdasarkan observasi di tingkat desa. Sejauh ini, strateginya membedakan antara rekomendasi yang dapat dicapai dalam jangka pendek dan rekomendasi yang membutuhkan perubahan institusi dalam jangka panjang. Gambar di bawah merekomendasikan kerangka tersebut.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

65

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

Gambar 3. Rekomendasi bagi sistem hukum non negara dan negara Jangka Pendek

Hukum Negara

Jangka Panjang

Meningkatkan aksesibilitas, kesadaran gender penegak hukum, & kaitan system ke komunitas

Perubahan Struktural Pendekatan multi - sektor Mengkaitkan hukum dengan kesehatan, pendidikan, ekonomi

Kapasitas untuk Merujuk kasus

Hukum Non negara

Perubahan sosial melalui: Peningkatan kesadaran, Peningkatan keterwakilan, Peningkatan advokasi

Keadilan Hukum Keadilan Sosial

1. Keadilan Hukum Akses terhadap sistem negara menjadi fokus mendesak Dengan segala keterbatasannya, sistem hukum negara berfungsi efektif dalam memenuhi harapan keadilan perempuan penyintas. Menjadi tidak realistis dan bukan tujuannya untuk mengatur agar segala kasus hukum yang dihadapi penyintas diselesaikan melalui jalur ini. Namun hal yang mendesak untuk dilakukan adalah memperbaiki aksesibilitas dari sistem ini bagi perempuan yang menghadapi permasalahan hukum yang serius. Meningkatkan aksesibilitas dari sistem ini mencakup memberikan pilihan dan dukungan yang lebih baik kepada penyintas saat mencari pertolongan awal untuk penyelesaian kasus hukumnya dan memperkuat sistem rujukan dari jalur sistem hukum non negara ke jalur negara. Perlu penguatan kapasitas jejaring lokal untuk menyediakan dukungan Upaya perlu ditujukan untuk membangun kapasitas dan memperluas cakupan jejaring lokal di desa yang telah aktif dalam berbagai pelayanan sosial, khususnya terkait dengan isu-isu perempuan. Ini termasuk untuk memperkuat akses terhadap informasi dan pelatihan bagi para pemimpin perempuan di desa, seperti bidan desa maupun perempuan dalam kelompok agama. Dalam wilayah-wilayah dimana jejaring lokal ini masih lemah atau bahkan belum ada, perlu dibangun jejaring yang baru. Memperkuat kapasitas jejaring lokal untuk membantu perempuan penyintas memerlukan fasilitasi yang intensif di tahap awal. Model pemberdayaan hukum yang dilakukan oleh PEKKA (program WLE) menyediakan suatu contoh bagaimana membangun kapasitas dari jejaring di desa. Model ini meliputi kegiatan untuk melatih Kader Hukum di desa sehingga mereka dapat menyediakan informasi hukum kepada masyarakat dan mendukung perempuan penyintas saat menghadapi masalah hukum. Dalam hal ini, kapasitas Kader Hukum harus ditingkatkan terus menerus.

66

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

Perlu keterkaitan antara jejaring lokal dengan sistem hukum negara Interaksi yang semakin kuat antara jejaring lokal dengan sistem hukum negara di tingkat Kabupaten maupun Propinsi sangat dibutuhkan untuk memperbaiki aksesibilitas sistem hukum negara. Jaringan ini membutuhkan suatu kombinasi antara pendekatan top-down dan bottom-up secara bersamaan. Upaya untuk memperkuat jaringan ini perlu dilembagakan, sehingga tidak bersifat ad hoc.. Beberapa langkah yang perlu dilakukan adalah dengan memperbaiki mekanisme diseminasi program ke komunitas dan kunjungan ke tingkat desa secara reguler. Tidak kalah penting adalah meningkatkan pemahaman jejaring di desa tentang mekanisme kerja sistem hukum negara, sehingga mereka dapat memberikan keterangan yang jelas tentang pilihan jalur penyelesaian kasus hukum yang dapat ditempuh masyarakat. Sebagaimana dicontohkan oleh pendekatan program WLE dengan membentuk MSF, interaksi dengan tingkat desa tidak hanya menolong meningkatkan kesadaran hukum di desa, tetapi juga memperkuat kesadaran para aparat hukum tentang kebutuhan hukum perempuan di desa. Selanjutnya, interaksi tersebut akan turut mengaburkan batasan sistem hukum negara yang ada di masyarakat. Perubahan kelembagaan dalam sistem hukum negara dibutuhkan namun membutuhkan waktu lama Studi ini memperlihatkan bahwa komitmen untuk membuat sistem hukum negara lebih sensitif terhadap masalah gender telah mulai bermunculan, namun masih perlu diperkuat lagi. Perbaikan yang menyeluruh akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Beberapa rekomendasi konkret yang diperoleh berdasarkan pembelajaran dari studi ini adalah: Pelatihan gender bagi para aparat penegak hukum, walau telah memberikan dampak positif, masih perlu diintegrasikan kedalam kurikulum pendidikan berjenjang dalam KePolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Dukungan bagi korban dalam sistem hukum pidana perlu melembaga dan tidak hanya bergantung pada inisiatif individual aparat penegak hukum. Perempuan korban juga perlu memperoleh akses terhadap pelayanan hukum yang lebih baik. Mendukung inisiatif yang dikembangkan oleh Komnas Perempuan, LBH APIK serta beberapa LSM dan akademisi untuk membangun sistem peradilan pidana yang terintegrasi. Sistem peradilan pidana perlu mengimbangi prinsip ”praduga tak bersalah” dengan hak-hak korban. Hal ini terutama sangat relevan dengan peran Jaksa Penuntut Umum, karena seringkali insentif kelembagaan bagi Jaksa untuk memenangkan kasus menegasikan suara pendakwa. Studi lanjutan tentang bagaimana kelembagaan Kejaksaan dapat lebih baik menjamin hak-hak korban tanpa mengabaikan asas ”praduga tak bersalah” diperlukan. Perlu mendukung lembaga-lembaga penegak hukum agar melakukan berbagai inisiatif terkait dengan isu gender dan hukum. Contohnya, keberadaan RPK/UPPA terbukti memainkan peran penting dalam memberikan keadilan kepada penyintas, walau saat ini masih banyak halangan untuk melaksanakan hal ini secara merata hingga di tingkat Kecamatan, tempat dimana RPK/UPPA paling dibutuhkan oleh penduduk desa. Hingga saat ini, berbagai inisiatif untuk melindungi hak-hak perempuan dalam sistem hukum negara telah dikembangkan, namun masih secara ad hoc. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memonitor secara cermat dampak dari inisiatif tersebut untuk dapat memastikan keberhasilannya serta meminimalkan efek-efek yang tak terduga. Selanjutnya, pendekatan ini harus dipastikan selaras dengan pendekatan reformasi hukum secara keseluruhan yang berupaya mendekati permasalahan gender secara komprehensif, termasuk inisiatif

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

67

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

gender budgeting dan struktur insentif karir yang responsif gender. Studi ini memperlihatkan bahwa adanya keberpihakan kepada perempuan dapat meningkatkan kualitas dari keadilan yang dapat diraih penyintas dan meningkatkan kualitas administrasi lembaga hukum. Kinerja sistem hukum non negara tidak dapat diabaikan, namun membutuhkan pendekatan jangka panjang untuk membangun kapasitas dan sistem pengawasan yang baik Mekanisme hukum non negara di tingkat desa masih menjadi sarana utama dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum masyarakat desa. Untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih efektif kepada perempuan, kinerja sistem ini perlu diperbaiki dalam dua aspek. Pertama, perlu memperkuas kapasitas aktor-aktornya dalam penyelesaian kasus hukum. Kedua, perlu adanya batasan yang jelas tentang kapan perlu merujuk kasus ke sistem hukum negara. Sementara itu, karena sistem hukum non negara merefleksikan dinamika relasi kekuasaan di desa, adanya dukungan bagi keterwakilan perempuan dalam mekanisme penyelesaian kasus hukum diperlukan. Hal ini tentunya membutuhkan perubahan sosial tersendiri dan jangka waktu yang relatif panjang untuk pencapaiannya. Untuk adanya perubahan di dalam sistem hukum non negara membutuhkan beberapa dukungan sebagai berikut: Adanya peningkatan kapasitas bagi aparat desa dan tokoh-tokoh desa yang terlibat dalam penyelesaian kasus agar memiliki kesadaran gender dan pengetahuan tentang isu-isu gender di desa. Adanya upaya untuk mengidentifikasi agen-agen pemberdayaan perempuan dan upaya untuk mendukung peran mereka, termasuk melembagakan perubahan yang ada kedalam pilar-pilar kelembagaan desa. Adanya dukungan terhadap partisipasi perempuan dalam mekanisme penyelesaian di desa dan dalam kepemimpinan desa. Perlu adanya dukungan dari Aktor Eksternal, termasuk juga Aparat Hukum Upaya untuk meningkatkan dukungan sistem hukum non negara bagi perempuan membutuhkan tekanan pihak eksternal. Pertama, landasan hukum perlu menjadi faktor penentu yang melandasi keputusan aparat/ tokoh desa untuk mengatasi kasus di tingkatnya atau merujuk kasus ke sistem hukum negara. Dengan demikian aktor hukum non negara tidak hanya merujuk kasus penyintas secara ad hoc, namun karena adanya kesadaran yang lebih tentang batasan jurisdiksi. Pemerintah juga perlu memiliki peran untuk membangun kapasitas aktor-aktor penyelesaian kasus di desa. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pengaturan dan pengawasan atas sistem hukum tersebut. Fokus yang lebih juga perlu diberikan pada upaya diseminasi informasi tentang peraturan perundangan dan proses penyelesaian kasus serta pentingnya interaksi antara sistem hukum negara dan non negara untuk menjamin keadilan yang optimal bagi penyintas.

2. Keadilan Sosial Laporan ini terutama terkait dengan isu bagaimana perempuan desa mengakses keadilan. Dalam prosesnya, semakin jelas terlihat bahwa pengertian tentang keadilan yang dibutuhkan oleh perempuan desa lebih luas dari sekedar keputusan hukum yang adil. Mereka melihat akses terhadap keadilan hukum sebagai salah satu komponen dari akses terhadap keadilan sosial. Walau rekomendasi yang mendasar tentang bagaimana

68

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

penyintas dapat mengakses keadilan sosial berada di luar cakupan studi ini, namun beberapa rekomendasi dapat digagas berdasarkan temuan awal studi ini. Perempuan, khususnya korban kekerasan, membutuhkan akses terhadap aspek-aspek non-legal dari keadilan Kemampuan penyintas untuk mengakses pelayanan sosial dasar mempengaruhi perspektif perempuan tentang proses hukum. Program hukum seharusnya tidak dilihat sebagai program yang berdiri sendiri, namun sebagai suatu komponen dari program sosial yang lebih luas. Upaya untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas dari pelayanan sosial, termasuk penyediaan pelayanan kesehatan dan psikologis serta Rumah Aman bagi korban kekerasan, dukungan pendidikan dan ekonomi sebagai bagian dari program rehabilitasi sangat dibutuhkan. Untuk itu, koordinasi antara lembaga hukum negara dan berbagai lembaga pemerintah lainnya perlu diperkuat Keberadaan MSF dalam program WLE, yang terutama beranggotakan aparat penegak hukum dan aparat pemerintahan dari berbagai sektor, memperlihatkan bagaimana koordinasi antar lembaga lintas sektoral dapat memperkuat akses perempuan terhadap keadilan. Koordinasi tersebut dapat berupa pertemuan reguler antara pemangku kepentingan di tingkat Kabupaten yang terdiri atas perwakilan dari lembagalembaga hukum, lembaga pemerintah penyedia pelayanan sosial dan masyarakat sipil. Koordinasi tersebut dapat pula diperluas dalam bentuk penempatan Petugas Kesejahteraan Sosial di dalam Kepolisian atau Pengadilan untuk membantu memberikan dukungan kepada korban dan memfasilitasi akses korban kepada lembaga pemerintah terkait. Pemahaman aparat hukum tentang dampak sosial dari keputusan hukum perlu diperkuat Para pengambil keputusan, baik di jalur hukum negara maupun non negara, perlu lebih peka terhadap dampak-dampak sosial dari keputusan mereka. Sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa kasus, proses penyelesaian kasus dapat meningkatkan viktimisasi terhadap korban atau mendorong timbulnya penolakan sosial. Jaringan pendukung perlu diperkuat untuk membantu perempuan di tingkat desa selama proses maupun paska proses penanganan kasus. Untuk itu sistem hukum yang ada perlu mengintegrasikan perspektif tentang hal ini untuk dimengerti oleh para aktornya. Perlu memastikan adanya harmonisasi dukungan dalam jejaring di tingkat desa Perlu diupayakan agar terjadi harmoni diantara jejaring lokal yang ada di tingkat desa. Hal ini mencakup perlunya meningkatkan dialog antara aparat desa dan aktor lain yang ada dalam jejaring tersebut, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, bidan desa, dan kelompok PKK. Juga perlu memperkuat koordinasi antara jejaring ini dengan penyedia layanan masyarakat lainnya, seperti Puskesmas dan kelompokkelompok perempuan di desa. Institusi di tingkat nasional dapat memainkan peran penting dalam reformasi peraturan kebijakan Reformasi peraturan dan kebijakan perlu digerakan dari tingkat nasional, demikian juga reformasi kelembagaan hukum dalam jangka panjang, terutama karena adanya sentralisasi dalam kelembagaan di sektor hukum. Adanya komitmen di tingkat nasional juga dapat mendukung berbagai inisiatif di tingkat lokal, termasuk untuk mendokumentasikannya kedalam kerangka institusi yang telah ada serta untuk memperluas cakupan inisiatif tersebut. Untuk itu, lembaga di tingkat nasional perlu dipersiapkan untuk dapat memperbaiki koordinasi antar lembaga dalam rangka mempersiapkan kelembagaan hukum yang responsif terhadap kebutuhan perempuan mengakses keadilan sosial.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

69

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

Penguatan kapasitas pemerintah tingkat propinsi dan kabupaten memainkan peranan kunci Selain lembaga di tingkat nasional, penguatan kapasitas pemerintah di tingkat propinsi juga diperlukan karena seringkali berbagai upaya reformasi hukum di tingkat nasional jangkauannya hanya sampai dengan tingkat propinsi. Sementara itu, akses perempuan desa kepada hukum negara juga umumnya berhenti sampai di tingkat Kabupaten atau Propinsi. Dengan demikian, peran pemerintah di tingkat Kabupaten dan Propinsi perlu diperkuat untuk dapat menyediakan berbagai pelayanan sosial bagi penyintas. Mereka juga memiliki kapasitas untuk memastikan adaya kerjasama yang lebih kuat antara lembaga-lembaga hukum dengan lembaga pemerintah di Kabupaten atau Propinsi. Organisasi donor dan LSM berperan sebagai aktor eksternal yang mendukung reformasi hukum Organisasi donor dan organisasi masyarakat sipil (LSM atau LBH) diperlukan untuk mendukung berbagai inisiatif yang terkait dengan memperkuat akses penyintas terhadap keadilan, baik yang bersifat top-down dari pihak pemerintah maupun bottom-up dari masyarakat akar rumput.

70

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Daftar Bacaan

Daftar Bacaan Peraturan Perundangan Republik Indonesia UU Dasar 1945 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Undang-undang Hukum Perdata Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU No. 11 Tahun 2005 tentang Konvensi Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Widyatama Peraturan Kepala KePolisian RI No. 10/2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Lingkungan KePolisian

Artikel, Buku atau Laporan Abed, Fazle Hasan. 2003. Legal Empowerment of the Poor: A Critical pathway out of poverty, dalam BrØther, Mone E. & Solberg Jon-Andreas, eds. Legal Empowerment – a way out of povery. The Norwegian Ministry of Foreign Affairs, June 2003 – issue 3. Albright, Madeleine K. 2006. It’s Time for Empowerment, dalam BrØther, Mone E. & Solberg Jon-Andreas, eds. Legal Empowerment – a way out of povery. The Norwegian Ministry of Foreign Affairs, December 2006 – issue 2. Asia Foundation. 2001. Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector. Jakarta: Asia Foundation Bappenas. 2007. Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia. Jakarta: Bank Dunia. 2006. Program Pemberdayaan Hukum Perempuan. Tidak dipublikasinkan. Bedner. 2004. Towards Meaningful Rule of Law Research: An Elementary Approach. MS Unpublished, VVI, Leiden. Evers, P.J. 2002. The Indonesian Rural Judiciary, note prepared for the World Bank Justice for the Poor Project, Indonesia, April 2002. Katjasungkana, Nursyahbani dan Mumtahanah. 2002. Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan: Sebuah drama tentang patriarki dan dominasi laki-laki - Seri 1, Jakarta: LBH Apik. Katjasungkana, ed. 2002. Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan: Sebuah drama tentang patriarki dan dominasi laki-laki - Seri 2, Jakarta: LBH Apik. Komisi Hukum Nasional RI. 2007. Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu Rekomendasi, Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok

71

Daftar Bacaan

Komisi Nasional Perempuan RI. 2004. Peta Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia, Jakarta: Komisi Nasional Perempuan. Mulia, Siti Musdah. 2006. Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan: Perspektif Islam, Jurnal Perempuan edisi 49. Munti, Ratna Batara. 2006. Pasal-pasal Diskriminatif dalam RUU KUHP, Jurnal Perempuan edisi 49. Narrayan, Deepa, et. al. 2000. Voices of the Poor: Crying Out for Change, New York: Oxford University Press Novirianti, Dewi. 2005. Penguatan Hukum Perempuan untuk Melawan Kemiskinan. Jurnal Perempuan edisi 45. Rinaldi, T., Purnomo, M. & Damayanti, D. 2007. Memberantas Korupsi yang Terdesentralisasi, Jakarta, World Bank. Sagala, Valentina. 2006. Program Legislasi Nasional Pro Perempuan: Sebuah Harapan ke Depan, Jurnal Perempuan edisi 49. Sumner, Cate. 2007. Providing Justice to the Justice Seeker: A Report on the Indonesian Religious Courts Access and Equity Study, Jakarta: IALDF. Suryakusuma, Julia. 2004. Sex, Power and Nation, Jakarta: Metafor. UNDP. 2007. Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia, Jakarta: UNDP. World Bank. 2003. Studi-studi Kasus Justice for the Poor Case. Koleksi studi kasus Village Justice in Indonesia yang ditulis oleh tim Program Justice for the Poor. Tidak dipublikasikan. World Bank. 2004. Village Justice in Indonesia: Case Studies on Access to Justice, Village Democracy and Governance, Jakarta: World Bank. World Bank. 2006. Baseline Survey Program Pemberdayaan Hukum Perempuan, Program Justice for the Poor, tidak dipublikasikan. World Bank. 2008. Forging the Middle Ground: Engaging Non-State Justice in Indonesia, Jakarta: World Bank.

72

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Related Documents


More Documents from "dicky"