BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perang Salib (1096-1291) terjadi sebagai reaksi dunia Kristen di Eropa terhadap dunia Islam di Asia, sejak 632 M, dianggap sebagai pihak “penyerang” bukan saja di Syiria dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Disebut Perang Salib, karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan Salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerussalem) dari tangan orang-orang Islam.1 Masa kekuasaan Saljuq mencatat satu peristiwa penting yang sangat besar artinya dalam sejarah hubungan Barat-Timur Tengah atau Kristen-Islam, yakni Perang Salib. Perang, atau lebih tepatnya serbuan pasukan Salib ini dimulai pada tahun 1096 dan dilancarkan selama sembilan kali. Lima kali ke wilayah Syam, dua kali ke Mesir, satu kali ke Tunis dan satu kali ke Konstantinopel yang saat itu merupakan pusat Gereja Kristen Timur. Dalam hubungan ke luar dunia Islam, peristiwa besar yang tidak boleh dilupakan adalah perang Salib yang berlangsung selama hampir tiga abad, mulai tahun 1096 M. Perang, atau lebih tepatnya perang-perang itu tidak dilakukan oleh Bani Abbas di pihak kaum muslimin, melainkan oleh dinasti-dinasti yang berkuasa di daerah Syam dan pantai Selatan Laut Tengah. Sultan Shalahuddin al - Ayyubi, panglima Islam yang paling terkenal dalam perang-perang ini, berkuasa di Mesir dan kemudian Syiria. Peperangan dipicu oleh gangguan kaum Saljuk, yang menguasai Syam dan sekitarnya sejak tahun 1071, terhadap para peziarah Kristen di tanah suci mereka di Jerussalem dan sekitarnya. Ada yang mengatakan bahwa peziarah Kristen tidak diperbolehkan sama sekali untuk berziarah ke wilayah ini. Sebenarnya hubungan Muslim-Kristen-Yahudi di Yerussalem dan sekitarnya, sejak penaklukan daerah ini oleh kaum muslimin pada masa Umar ibn alKhaththab, tidak tercatat mengalami gangguan sampai menjelang perang Salib. Berita yang sampai di Eropa bahkan menyebutkan penghancuran Gereja Sepulcher oleh penguasa Mesir, al-Hakim bi Amr Allah.
1
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : CV Pustaka Setia, 2008, hal. 171
1
Ini merupakan salah satu dari beberapa penyebab yang mengundang invasi pasukan Salib ke Palestina dan perebutan kota ini. Paus Urbanus II yang mengundang kekuatan Kristen Eropa untuk membebaskan tanah suci mereka dengan melakukan serangan besarbesaran. Mereka berhasil menguasai Yerussalem pada bulan Juli 1099 M. Mereka terus berkuasa di kota ini sampai dikalahkan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187 M. Dalam kekuasaan mereka, Dome of the Rock dijadikan gereja, sedangkan al-Aqsha dijadikan kantor pusat para ksatria Biarawan (Knights Templars).2
1.2 Rumusan Masalah Setelah dipaparkan sedikit dalam latar belakang di atas, didapatlah rumusan masalah yaitu: 1. Apa itu Perang Salib? 2. Apa yang menjadi latar belakang yang memicu terjadinya Perang Salib antara kaum Muslim dan Kristen? 3. Bagaimana Proses berlangsungnya Perang Salib? 4. Dampak Perang Salib bagi umat Islam dan Kristen?
1.3 Tujuan 1. Mengetahui apa itu Perang Salib. 2. Mengetahui apa yang menjadi latar belakang yang memicu terjadinya Perang Salib antara kaum Muslim dan Kristen. 3. Mengetahui bagaimana Proses berlangsungnya Perang Salib. 4. Mengetahui dampak Perang Salib bagi umat Islam dan Kristen.
2
Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, LESFI, 2004, hal. 116
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Perang Salib Perang Salib (The Crusades) adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan
tujuan
untuk
merebut Tanah
Suci
dari
kekuasaan
kaum
Muslim
dan
mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance. Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
2.2 Latar Belakang terjadinya Perang Salib. Terjadinya Perang Salib antara kedua belah pihak, Islam dengan Kristen disebabkan oleh faktor-faktor utama yaitu agama, politik dan sosial ekonomi. 1. Faktor Agama Pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu. Mereka merasa 3
mendapat perlakuan jelek dari orang-orang Seljuk yang fanatic. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Seljuk sangat berbeda dengan para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya. Sebelumnya, Paus Urbanus II memerintahkan untuk ekspedisi besar-besaran atas permintaan Alexius I yang ingin merebut kembali Asia Kecil (Anatolia) yang direbut Turki Utsmani. Semangat ini semakin besar tatkala Paus menerima berita bahwa Khalifah Abdul Hakim-yang menguasai Palestina saat itu-menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orangorang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus. Disanalah kaum Kristen merasa semakin sulit berziarah dan ingin merebut kembali daerah Palestina. 2. Faktor Politik
Kekalahan Bizantium (sejak tahun 330 M disebut Constantinopel atau sekarang Istanbul Turki) tahun 1071 M di Manzikart (Malazkird atau Malasyird, Armenia) dan Asia kecil jatuh ke bawah kekuasaan Seljuk, mendorong Kaisar Alexius I Comnenus (Kaisar Constantinopel) meminta bantuan seperti yang sudah dipaparkan di atas kepada Paus Urbanus II untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah pendudukan Dinasti Seljuk. Sementara itu, kondisi kekuasaan Islam sedang melemah sehingga orang-orang Kristen di Eropa berani untuk ikut dalam Perang Salib. Dinasti Fathimiyah dalam keadaan lumpuh dan kekuasaan Islam di Andalusia semakin goyah dengan dikuasainya Toledo dan Sicilia oleh Kristen Spanyol. 3. Faktor Sosial Ekonomi
Pedagang-pedangan besar di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada di kota Venezia, Genoa dan Pisa berambisi untuk menguasai kota-kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah sehingga rela menanggung sebagian dana Perang Salib. Apabila pihak Kristen Eropa menang, mereka menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka. Stratifikasi sosial masyarakat Eropa terdiri dari tiga kelompok yaitu kaum gereja, kaum bangsawan dan ksatria dan rakyat jelata. Ketika rakyat jelata dimobilisasi oleh pihak gereja untuk ikut Perang Salib dijanjikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila menang perang, mereka menyambut secara spontan dan berduyun-duyun terlibat dalam perang itu.
4
Saat itu, di Eropa berlaku hukum waris bahwa anak tertua yang berhak menerima harta warisan, apabila anak tertua meninggal maka harta warisan harus diserahkan kepada gereja. Oleh karena itu, populasi orang miskin meningkat sehingga anak-anak yang miskin beramai-ramai mengikuti seruan mobilisasi umum Perang Salib dengan harapan mendapatkan perbaikan ekonomi.
Pada tahun 1063, Paus Alexander
II
memberikan restu kepausan bagi
kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Pentahbisan, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Pentahbisan berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerussalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antiokhia (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika
5
bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.
2.3 Proses terjadinya perang salib Sejak berdirinya kekuasaan Islam, orang-orang Kristen diberi kekuasaan beragama dan berbagai jabatan dalam pemerintahan. Ketika Yerussalem dan Syiria di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah dari Mesir, penguasa Mesir mendorong perniagaan dan perdagangan Kristen. Akan tetapi, segala hak istimewa dan toleransi tersebut tidak bisa menentramkan orang Krsiten yang menganggap kehadiran orang Islam di Yerussalem sebagai suatu hal yang tidak disukai.3 Sejumlah ekspedisi militer yang dilancarkan oleh pihak Kristen terhadap kekuatan muslim sejak tahun 1096 dikenal sebagai perang Salib. Hal ini disebabkan karena adanya dugaan bahwa pihak Kristen dalam melancarkan serangan tersbut didorong oleh motivasi keagamaan, selain itu mereka menggunakan simbol Salib. Berikut ini adalah beberapa penyebab turut melatar belakangi terjadinya perang Salib: Pertama, bahwa perang Salib merupakan puncak dari sejumlah konflik antara negeri Barat dan negeri Timur, jelasnya antara pihak Kristen dan Muslim. Perkembangan dan kemajuan umat muslim yang sangat pesat, pada akhir-akhir ini, menimbulkan kecemasan tokoh-tokoh Barat Kristen. Terdorong oleh kecemasan ini, maka mereka melancarkan serangan terhadap kekuatan muslim. Kedua, munculnya kekuatan bani Saljuk yang berhasil merebut Asia Kecil setelah mengalahkan pasukan Bizantium di Manzikart tahun 1071, dan selanjutnya Saljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan dinasti Fatimiyah tahun 1078 M. Kekuasaan Saljuk di Asia Kecil dan Yerussalem dianggap sebagai halangan bagi pihak Kristen Barat untuk melaksanakan 3
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, hal. 136
6
ibadah ke Bait al-Maqdis. Padahal yang terjadi adalah bahwa pihak Kristen bebas saja melaksanakan ibadah secara berbondong-bondong. Pihak Kristen menyebarkan desas-desus perlakuan kejam Turkil Saljuk terhadap jemaah Kristen. Desas-desus ini membakar amarah umat Kristen Eropa. Ketiga, semenjak abad ke-10 pasukan muslim menjadi penguasa jalur perdagangan di lautan tengah. Para pedagang Pisa, Vinesia, dan Genoa merasa terganggu atas kehadiran pasukan Islam sebagai penguasa jalur perdagangan di lautan tengah ini.satu-satunya jalan untuk memperluas memperlancar perdagangan mereka adalah dengan mendesak kekuatan muslim dari lautan ini. Jalur perdagangan internasional terpenting, dalam hal ini Laut Tengah, dikuasai oleh orang Islam. Lalu lintas pedagang Kristen dari kawasan Eropa tertentu (Pisa, Venezia, dan Genoa) terhambat. Dengan demikian, persaingan ekonomi memicu terjadinya Perang Salib. Keempat, propaganda Alexius Comnenus kepada Paus Urbanus II. Untuk membalas kekalahannya dalam peperangan melawan pasukan Saljuk. Bahwa Paus merupakan sumber otoritas tertinggi di barat yang didengar dan ditaati propagandanya. Paus Urbanus II segera mengumpulkan tokoh-tokoh Kristen pada 26 November 1095 di Clermont, sebelah tenggara Perancis. Dalam pidatonya di Clermont sang Paus memerintahkan kepada pengikut Kristen agar mengangkat senjata melawan pasukan Muslim. Tujuan utama Paus saat itu adalah memperluas pengaruhnya sehingga gereja-gereja Romawi akan bernaung di bawah otoritasnya. Dalam propagandanya, sang Paus Urbanus II menjanjikan ampunan atas segala dosa bagi mereka yang bersedia bergabung dalam peperangan ini.4 Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa yang menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam yang kemudian mencetuskan perang Salib.5 Menurut Neil J. smelser dalam menjelaskan prakondisiprakondisi yang menimbulkan terjadinya konflik antar kelompok dalam struktur sosial, yaitu: 1. Adanya struktur sosial yang kondusif bagi terjadinya konflik; 2. Adanya hambatan struktural dalam menengahi pendidikan; 3. Pertumbuhan dan perkembangan suatu perasaan umum pada sesuatu kelompok bahwa mereka tertindas oleh kelompok lain dan harus diatasi;
4 5
K. Ali. Sejarah Islam. Jakarta PT Rajagrafindo Persada : 2003, hal. 414 H. Fatah Syukur NC. Sejarah Peradaban Islam. Semarang :PT. Pustaka Rizki Putra, hal.115
7
4. Mobilsasi tindakan dalam mengatasi perasaan umum diatas; dan 5. Adanya pengorganisasian tindakan yang terkendalikan sedemikian rupa.6
2.4 Periode Perang Salib
a. Perang Salib I (Periode Pertama) Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099) M), dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M). Tripoli (1109 M), dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan Latin IV, rajanya adalah Raymond.
b. Perang Salib II (Periode Kedua) Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M, tugasnya dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin Zanki. Nuruddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali. Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Akan tetapi gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalah 6
Ibid., hal. 138
8
al-Din al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalah al-Din yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarosa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Ingris. Dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. meskipun mendapat tantangan berat dari Shalah Al-Din, mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibukota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggak 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara Salib dengan Shalah al-Din yang disebut dengan Shul al-Ramlah. Dalam penjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
c. Perang Salib III (Periode Ketiga) Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al Kamil, membuat perjanjian dengan. Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan Kristen di Syiria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinati Ayyubiyah pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. 7 Perang Salib berkesudahan dengan perjanjian perdamaian di Ramleh pada tahun 1192. Diantaranya syarat-syarat penting perjanjian perdamaian itu ialah:
Jerussalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan ibadah di tanah suci.
7
Orang-orang Salib akan mempertahankan partai Syiria dari Tyre sampai ke Jaffa.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo, 1996, hal. 77-79
9
Umat Islam akan mengembalikan relics Kristen kepada umat Kristen.8
2.5 Dampak Perang Salib bagi Dunia Islam dan Eropa Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (1095 – 1291) membawa dampak yang sangat berarti terutama bagi Eropa yang beradabtasi dengan peradaban Islam yang jauh lebih maju dari berbagai sisi. Perang Salib menghasilkan hubungan antara dua dunia yang sangat berlainan. Masyarakat Eropa yang lamban dan enggan terhadap perdagangan dan pendapatnya yang naïf terhadap dunia usaha. Masyarakat Eropa terkesan ortodok dan tradisional. Di sisi lain terdapat masyarakat Bizantium yang gemerlapan dengan vitalitas perkotaan, kebebasan berekonomi secara luas dengan tidak ada pencelaan dari ideologi tertentu dan dengan perdagangan yang maju. Prajurit perang Salib datang dari benteng-benteng yang sangat gersang dan mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan Bangsa yang biadab dan Barbar yang lebih dari mereka, ternyata terperangah ketika sudah berhadapan langsung dengan dunia Timur yang lebih beradab, maju dengan peredaran uang yang cukup banyak sebagai pondasi perekonomian. Mereka sangat tertarik dengan peradaban serta budaya Islam yang jauh lebih maju. Bahasa Arab mulai mereka gunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Tidak sedikit pula diantara mereka yag memeluk agama Islam dan kawin dengan penduduk asli. Hal inilah yang terjadi pada Richard the Lion Heart. Secara sederhana dampak Perang Salib dapat dijelaskan sebagaimana berikut: Pertama : Perang salib yang berlangsung antara Bangsa Timur dengan Barat menjadi penghubung bagi Bangsa Eropa khususnya untuk mengenali dunia Islam secara lebih dekat lagi. Ini memiliki arti yang cukup penting dalam kontak peradaban antara Bangsa Barat dengan peradaban Timur yang lebih maju dan terbuka. Kontak peradaban ini berdampak kepada pertukaran ide dan pemikiran kedua wilayah tersebut. Bangsa Barat melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan tata kehidupan di Timur dan hal ini menjadi daya dorong yang cukup kuat bagi Bangsa Barat dalam pertumbuhan intelektual dan tata kehidupan Bangsa Barat di Eropa. Interaksi ini sangat besar andilnya dalam gerakan renaisance di Eropa. Sehingga dapat dikatakan kemajuan Eropa adalah hasil transformasi peradaban dari Timur.
8
Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Kota Kembang, 1989, hal. 287
10
Kedua : Pra-Perang Salib masyarakat Eropa belum melakukan perdagangan ke Bangsa Timur, namun setelah Perang Salib interaksi perdaganganpun dilakukan. Sehingga pembauran peradaban pun tidak dapat dihindarkan terlebih lagi setelah Bangsa Barat mengenal tabiat serta kemajuan Bangsa Timur. Perang Salib membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi Bangsa Eropa. Kehidupan lama Bangsa Eropa yang berdasarkan ekonomi semata sudah berkembang dengan berdasarkan mata uang yang cukup kuat.
Dengan kata lain Perang Salib mempercepat proses transformasi
perekonomian Eropa.9 Ketiga : Perang Salib sebagai sarana mengalirnya ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat. Pasca penyerbuan yang berlangsung lebih dari 2 abad, para tentara Barat mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan Bangsa Timur. Mereka melihat ketinggian peradaban dan budaya Islam dalam berbagai aspek kehidupan, yakni, makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, musik, alat-alat perang, obat-obatan, ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, tanam-tanaman, sastra, ilmu militer, pertambangan, pemerintahan, pelayaran (navigasi) dan lain-lain. Tentara Salib (crusaders) membawa berbagai keilmuan ke negara mereka dengan kata lain terjadi transformasi budaya (culture) dan peradaban (civilazation) dari Timur ke Barat. Keempat : Bangsa Barat melakukan penyelidikan terhadap seni dan budaya (art and culture) serta pengetahuan (knowledge) dan berbagai penemuan ilmiah yang ada di Timur. Hal ini meliputi sistem pertanian, sistem industri Timur yang sudah berkembang dan maju serta alat-alat teknologi yang dihasilkan Bangsa Timur seperti kompas kelautan, kincir angin dan lain-lain. Setelah kembali ke negerinya Bangsa Eropa menyadari betapa pentingnya memasarkan produk-produk Timur yang lebih maju, mereka mendirikan sistem-sistem pemasaran produk Timur. Maka semakin pesatlah perkembangan perdagangan antara Timur dengan Barat. Kelima : Perang Salib yang meluluh-lantakkan infra dan suprastruktur terutama di negara-negara Timur berakibat tertanamnya rasa kebencian antara Timur dan Barat. Di benak Kristen Eropa diyakini sangat membenci warga Negara Timur baik yang beragama Kristen, Yahudi terutama terhadap muslim. Tentunya hal ini jika tidak disikapi dengan bijaksana akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
9
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban, hal. 141-142
11
Keenam pada awal kedatangan tentara Salib kondisi Umat Islam tidak bersatu, terbukti adanya tiga kerajaan besar yang bertikai yaitu: Dinasti Fatimiyah di Mesir, Daulah Abbasiyah di Baghdad yang dikendalikan orang-orang Saljuk dan Dinasti Muwahidun di Afrika, ditambah lagi dari tiga dinasti ini masing-masing internnya pun selalu bertikai, tentu hal ini memudahkan para tentara Salib menyerang Umat Islam yang tidak bersatu. Untuk itu hikmah yang perlu diambil adalah perlunya persatuan dan yang dibangun dengan akidah benar berdasarkan Alquran.
12
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Perang Salib adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut kota suci Baitul Makdis dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, bukan berarti ini adalah perang agama, melainkan karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka, atau mereka menggunakan salib sebagai simbol peperangan yang mereka lakukan. Penyebab terjadinya Perang Salib adalah permintaan langsung Alexius Conneus kepada Paus Urbanus II, pidato oleh Paus Urban, faktor sosial ekonomi, dan alasan dengan jaminan masuk surga. Periodisasi Perang Salib disederhanakan kedalam tiga periode, periode pertama atau periode penaklukan (1009-1144), periode kedua atau periode reaksi umat Islam (1144-1192), dan periode ketiga atau periode perang saudara kecil-kecilan atau periode kehancuran didalam pasukan Salib. Perang salib membawa hal positif bagi Eropa karena dengan terjadinya Perang Salib, bangsa Eropa dapat menambah lapangan perdagangan, mempelajari kesenian, dan penemuan penting, seperti kompas pelaut, kincir angin, dan sebagainya dari orang Islam. Peninggalan Perang Salib sangat terasa dalam bidang politik dan budaya, perdagangan, dalam dunia Islam, komunitas Yahudi, dan pegunungan Kaukasus.
3.2 Saran Para pembaca yang budiman, di penghujung tulisan ini kami berharap semoga kita semua mampu mengartikan dan memahami cerita tentang Perang Salib ini. Semoga tidak membuat kita saling membenci, akan tetapi terus menjaga kerukunan sesama umat manusia. Semoga pembaca yang budiman tidak puas akan hasil makalah ini dan dapat menindaklanjutinya.
13
HIKMAH
"Tak selamanya catatan sejarah perang meninggalkan ketidakjantanan", kata sejarawan Marshal DGS. Hodgson. Bertempur dalam medan peperangan (jihad) selalu dan selalu membutuhkan persiapan dan perencanaan yang panjang dan matang. Persiapan jiwa dan raga, harta benda dan perbekalan, serta perencanaan strategi dan taktik yang cerdas dan jitu. Inilah yang diperagakan oleh para pemimpin kaum Muslimin (Imaduddin Zanki, Nuruddin Mahmud Zanki, dan Shalahuddin Al-Ayyubi) ketika hendak menghadapi Perang Salib. Ini pula yang dilupakan oleh Paus dan para pemimpin pasukan Salib ketika bernafsu menaklukkan kaum Muslimin di Baitul Maqdis. Keyakinan akan pertolongan Allah SWT kepada para hamba-Nya yang ikhlas berjuang menegakkan Islam di muka bumi adalah faktor terpenting dari sekian banyak faktor penentu kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Salib. Do’a para pemimpin, ulama’, dan kaum Muslimin kepada Allah SWT menjadi senjata pamungkas ketika tidak ada lagi jalan keluar untuk mengalahkan pasukan Salib. Tanpa keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin, maka tidak akan ada semangat untuk berjuang membebaskan kiblat pertama kaum Muslimin, Baitul Maqdis. Kemudian sabar menjalani serangkaian persiapan, perencanaan, dan peperangan yang memakan waktu lama juga menjadi salah satu faktor penentu kemenangan kaum Muslimin pada Perang Salib. Bersabar untuk tidak gegabah bertindak dan membalas pasukan Salib yang telah merebut Baitul Maqdis pada Perang Salib I. Bersabar untuk tidak membalas dengan pembantaian serupa sebagaimana yang telah dilakukan pasukan Salib pada Perang Salib I, di saat kaum Muslimin berhasil menduduki Baitul Maqdis. “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (An-Nahl : 127). Perbaikan dan persatuan di tubuh kaum Muslimin menjadi syarat mutlak keberhasilan setiap langkah dakwah dan jihad, di manapun dan kapanpun. Inilah yang menjadi perhatian utama para pemimpin kaum Muslimin sebelum mereka menggerakkan (memobilisasi) pasukan Islam di medan jihad. Perpecahan dan perbedaan hanya akan menuai bencana dan berujung pada kekalahan di medan jihad. Persatuan akan menuai rahmat dari Allah SWT dan berakhir dengan kemenangan yang gemilang. Penaklukan Baitul Maqdis adalah sebuah kemenangan yang mendekati kesempurnaan, tanpa terlalu banyak darah yang tertumpah. Tidak ada pembantaian seperti pada waktu ekspedisi Salib ketiga yang berhasil mengalahkan dan menguasai Baitul Maqdis. Muslimin yang dibunuh saat itu mencapai 60.000 sehingga kuda-kuda para Tentara Salib berenang di genangan darah sebatas lututnya. Shalahuddin dan kaum Muslimin yang bersamanya telah mengajari kepada dunia bagaimana menjadi “manusia” dengan
14
kemanusiaannya. Dan itu dilakukan saat dia bisa saja memperagakan kecongkakannya, toh kemenangan berada di tangannya. Dia adalah guru peradaban. “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah : 193).
15