Penilaian Portofolio Yang Mendukung Konstruktivistik Reformasi di bidang pendidikan dari teacher centered ke student centered telah mengakibatkan banyak perubahan di dunia pendidikan. Yang pertama terkena imbas dari arus reformasi tersebut tentunya adalah proses belajar mengajar ( PBM ) karena PBM ini merupakan salah satu esensi dalam dunia pendidikan. PBM yang selama ini berparadigmakan behaviorisme kini bergeser ke konstruktivisme. Inti dari pergeseran paradigma itu adalah jika sebelumnya PBM dipandang sebagai penuangan berbagai pengetahuan dari pengajar ke pembelajar, maka dengan konstruktivisme PBM dipandang sebagai upaya membantu pembelajar merekonstruksi berbagai pengalaman belajar yang diperolehnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Duffy dan Jonassen (1992) bahwa pengkonstruksian pengetahuan merupakan proses desain yang difasilitasi pada saat mahasiswa secara aktif mendesain pengetahuan. Mahasiswa menjadi desainer pengetahuan ketika ia memfokuskan pada tujuan untuk membangun pengetahuan, struktur yang mendasarinya, mengembangkan model, serta menggunakan argumen-argumen yang diperlukan oleh masalah pokok bagi penyesuaian desainnya. Pembelajaran dengan paradigma baru ini memiliki keunggulan dibandingkan model behaviorisme. Seperti yang ditegaskan oleh Jonassen dkk. (1996), memproduksi pengetahuan lewat aktivitas pembelajaran dan penilaian merupakan bentuk yang paling komplit dan memberdayakan dari konstruktivisme. Dengan mengkonstruksi mahasiswa akan memperoleh pengetahuan yang serba lebih; sebaliknya, jika pembelajaran hanya didudukkan sebagai kontainer pencurahan pengetahuan, mahasiswa akan memperoleh pengetahuan yang statis dan ‘kering’. Perubahan paradigma dalam PBM ini otomatis berimplikasi pada berbagai kegiatan yang berkaitan dengan PBM. Salah satunya adalah terhadap proses penilaian dalam PBM. Dalam behaviorisme, proses belajar merupakan preses pencurahan pengetahuan ke dalam otak pembelajar. Maka, penilaian ditujukan untuk mengukur seberapa besar pengetahuan tersebut mampu dikuasai oleh pembelajar. Oleh karena itu, penilaian ini dilakukan pada akhir sessi PBM. Artinya, behaviorisme melakukan penilaian pada hasil PBM yang dijalani oleh pembelajar. Sebaliknya, konstruktivistime
melakukan penilaian selama PBM berjalan. Jika pembelajaran dipandang sebagai proses pengkonstruksian pengalaman belajar, maka penilaian dalam PBM mestinya didesain agar mampu mengoptimalisasikan serta menggambarkan interaksi antara pembelajar dengan pengalaman belajar yang dikonstruksinya itu. Dalam diskursus yang berkembang, penilaian yang sesuai dengan ini adalah penilaian portofolio. Pengertian Portofolio Secara etimologi, portofolio berasal dari bahasa Inggris, yang artinya dokumen atau kumpulan surat-surat. Dapat diartikan juga sebagai kumpulan kertas-kertas berharga dari suatu pekerjaan tertentu. Sebelum digunakan sebagai model penilaian di dalam dunia pendidikan, portofolio ini telah lama digunakan di kalangan seniman. Mereka menggunakan portofolio untuk menunjukkan karya-karya terbaik mereka bagi berbagai macam tujuan, misalkan untuk mendapatkan persetujuan dari galeri-galeri yang akan menampilkan karya-karya mereka atau untuk diberikan kepada para kolektor. Artinya, portofolio ini digunakan sebagai sarana promosi bagi para penciptanya. Dengan demikian, yang ditampilkan sebagai portofolio tentulah karya-karya terbaik dari si seniman. Maka, kalangan tertentu mengartikan portofolio merupakan kumpulan karya-karya terbaik. Dengan pengertian seperti maka portofolio bisa digunakan baik oleh penilaian yang berbasis behavioristik maupun penilaian yang berbasis konstruktivistik. Penilaian yang berlandaskan behavioristik menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Penilaian yang behavioristik cenderung menuntut satu jawaban yang, hal ini karena pengetahuan, bagi behaviorist, dipandang bersifat tetap. Penilaian lebih ditujukan untuk mengukur pemerolehan hasil pengetahuan, karena itu bentuk penilaiannya adalah mengukur seberapa banyak pembelajar dapat mengungkap kembali berbagai pengetahuan yang diperoleh ( yang biasanya berasal dari curahan pengajar ) dalam PBM. Karena orientasinya pada hasil, maka proses penilaian dilakukan pada akhir proses. Dan yang lebih fatal lagi, pembelajar tidak pernah dilibatkan dalam proses penilaian tersebut. Biasanya, hasil penilaian ini berbentuk angka atau huruf. Misalnya, rentangan 1 sampai 4; 1 sampai 10; 1 sampai 100 atau huruf E sampai A.
Model penilaian ala behaviorisme tersebut terbukti membawa beberapa mudhlarat. Pertama, karena orientasinya pada hasil, mengakibatkan banyak pembelajar kurang menghargai atau tidak memahami pentingnya proses belajar. Hal ini mengakibatkan timbulnya kecurangan-kecurangan selama proses penilaian berlangsung. Bagi kelompok pembelajar ini, yang penting nilainya bagus. Apapun caranya untuk memperoleh nilai bagus tersebut, bukanlah masalah. Selaian itu, penilaian model behaviorisme tidak menyertakan pembelajar dalam proses penilaian ini. Pembelajar tidak terlalu paham apa yang dimaksud dengan angka 1,50 atau huruf D yang diberikan oleh penilai. Artinya, pembelajar tidak mengerti mengapa ia diberi nilai seperti itu dan apa yang harus dilakukan dengan nilai-nilai tersebut. Yang pasti, siswa yang mendapat nilai E lebih bodoh dari siswa yang mendapat nilai B. Di saat diskursus tentang portofolio ini mengemuka belakangan ini, para behaviorist juga tak mau ketinggalan. Mereka juga mengembangkan model penilaian portofolio. Tapi, mereka juga tidak mau bergeser dari model terdahulu, yakni berorientasi pada hasil. Perhatikan difinisi portofolio yang berikut : Portofolio merupakan kumpulan hasil karya siswa sebagai hasil belajarnya. Portofolio, selain sangat bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kemampuan dan pemahaman siswa serta memberikan gambaran mengenai sikap dan minat siswa terhadap pelajaran yang diberikan, juga dapat menunjukkan pencapaian atau peningkatan yang diperoleh siswa dari proses pembelajaran. (Stiggins, 1994 dalam Mangkoesapoetra, 2004). Dengan pandangan seperti ini, mengacu pada hasil seberapa banyak pembelajar mampu menumpuk pengetahuan dalam otaknya, maka tugas portofolio biasanya berupa pekerjaan rumah yang isinya menerjemahkan, merangkum, mengerjakan soal-soal latihan dan semacamnya. Dengan tugas-tugas semacam itu, pembelajar pasti mengalami kejenuhan,bahkan stress. Hal ini karena mereka tidak diberi “ruang” untuk berkreatifitas atau berkesplorasi. Konstruktivistik memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap penilaian portofolio ini. Jika para behaviorist memandang bahwa pengetahuan bersifat objektif, pasti, dan tetap--tidak berubah. Teori konstruktivistik memandang bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong- konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Karena itu, menurut teori konstruktivistik, pengetahuan adalah non-objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu (Brooks & Brooks, 1993). Dengan pemahaman mengenai pengetahuan seperti itu, para konstruktivis berpandangan bahwa belajar merupakan penyusunan pengetahuan, aktivitas kolaboratif, serta refleksi dan interpretasi dari pengalaman yang dilakukan pembelajar. Untuk itu, pembelajar harus dilatih memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan menemukan ide-ide sebagai hasil dari pergulatannya dengan berbagai pengalaman belajarnya. Dari pengalaman ini pembelajar akan menemukan atau mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, bukan menerima pengetahuan dari pengajar. Bagi konstruktivist, dalam belajar, yang dipentingkan adalah bagaimana strategi memperoleh pengetahuan, bukan seberapa banyak pembelajar memperoleh pengetahuan. Konstruktivistik memandang bahwa penilaian merupakan bagian utuh dari belajar, untuk itu pembelajaran dilaksanakan dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata (periksa Reeves & Okey, 1996). Implikasi dari cara pandang seperti itu adalah penilaian bukanlah lagi mengukur seberapa banyak pembelajar mampu mengemukakan kembali berbagai pengetahuan yang dikuasai. Dalam pengajaran yang konstruktivistik, penilaian haruslah mendukung upaya pembelajar menguasai strategi memperoleh pengetahuan. Karena itu, proses penilaian haruslah dilakukan selama proses pembelajar melakukan berbagai pengalaman belajarnya, bukan di akhir PBM. Dengan demikian pembelajar tidak akan merasa dihakimi oleh pengajar tetapi dibantu untuk mencapai apa yang diharapkan. Dengan tuntutan penilaian seperti itu, maka penilaian portofolio dalam konstruktivistik bukan lagi berbentuk penilaian kumpulan hasil karya terbaik pembelajar. Karena, penilaian terhadap karya terbaik tersebut tetaplah berorientasi pada hasil. Penilaian portofolio dalam konstruktivistik digunakan untuk memantau kegiatan dan kemajuan hasil belajar pembelajar selama PBM berlangsung dan hasilnya menjadi bahan masukan untuk perbaikan pembelajaran lebih lanjut.
Jika hasil penilaian berbentuk angka atau huruf sebagaimana dilakukan oleh kalangan behaviorist di atas, maka tidaklah mungkin bisa digunakan sebagai masukan untuk perbaikan pembelajaran lebih lanjut. Hasil penilaian mestinya berupa catatan tentang apa yang belum dikuasai dan apa yang harus dilakukan oleh pembelajar; kemana mencari nara sumber atau sumber belajar yang terjangkau; sikap-sikap apa yang harus dikembangkan oleh pembelajar ( karena seringkali kegagalan dalam belajar disebabkan oleh sikap yang salah ); dan lain sebagainya.
Yang perlu diperhatikan dalam implementasi penilaian portofolio berbasis konstruktivistik ini adalah model ini merupakan hal baru bagi pembelajar kita. Karena itu, sebelum diimplementasikan haruslah dijelaskan lebih dulu kepada mereka apa yang dimaksud dengan penilaian model ini, apa tujuannya dan apa manfaatnya bagi mereka. Setelah itu, perlu pula dijelaskan mengenai tujuan dan indikator keberhasilan, tema dan jadwal waktu penyelesaian, format dan cakupan setiap tugas.
Selain menginformasikan berbagai hal di atas, antara pembelajar dan pengajar harus memegang dokumentasi format penilaian yang sama. Hal ini bertujuan agar selama proses penilaian dalam penyelesaian tugas-tugas portofolio tersebut, mereka memiliki pemahaman yang sama terhadap hasil penilaian yang dilakukan oleh pengajar. Selain itu, dengan memegang dokumen penilaian, pembelejar akan mengetahui seberapa jauh pencapaian keberhasilannya dalam menyelesaikan tugas portofolionya dan juga akan mengetahui apa saja yang harus dilakukan untuk memperbaiki kinerjanya. Satu hal yang juga tak kalah pentingnya adalah bahwa pengajar harus memberi waktu konsultasi ( selama konsultasi ini belum menjadi kebiasaan pembelajar, pengajar harus mewajibkan adanya konsultasi ini ) minimal 3 kali selama masa penyelesaian tugas tersebut. Mengapa hal ini penting, karena orientasi penilaian ada pada proses, bukan hasil. Saat konsultasi tersebut pengajar melakukan penilaian dan feedback kepada pembelajar. Semakin banyak pembelajar melakukan konsultasi, karya yang dihasilkan akan semakin baik.