Pengertian Ijmak Dan Sumber Hukumnya.docx

  • Uploaded by: MUAMMAR
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pengertian Ijmak Dan Sumber Hukumnya.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,581
  • Pages: 22
1. Pengertian ijmak dan sumber hukumnya Pengertian Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan sesorang ‫ اجمح القو م على كذا‬yang berarti “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu”.3 Ijma' (‫)اِلجْ َماع‬ ‫ إ‬adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (‫ )أَجْ َم َع‬yang memiliki dua makna: 3. Tekad yang kuat (‫ )ال َع ْزم الم َؤ َّكد‬seperti: ‫سفَر‬ َ ‫( أ َ َج َم َع ف ََل ٌن َعلَى‬sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan). 4. Kesepakatan (‫ )االتإفَاق‬seperti: (‫علَى َكذَا‬ َ َ‫ )أَجْ َم َع الم ْس إلم ْون‬kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu. 5. Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah: ‫ص إر إمنَ العص ْو إر َعلَى أَ ْمر إمنَ األم ْو إر‬ ْ ‫سلَّ َم بَ ْعدَ َوفَاتإ إه فإ ْي َع‬ َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي إه َو‬ َ ‫ي أ َّم إة م َح َّمد‬ ْ ‫ اتإفَاق مجْ تَ إه إد‬.6 7. "kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).4 8. Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain: 9. Kesepakatan[3] (‫ )االتإفَاق‬artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap. Para Mujtahid ( َ‫)المجْ تَ إهد ْون‬. Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum. Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang rima seruan dakwah Nabi saw).Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut ijma'. 10. Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).5 11. Menurut istilah Ijma’, ialah kespakatan mujtahid ummat islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah saw meninggal dunia.Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah saw meninggal dunia diperlukan penangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kamu muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar ra.sebagai khalifah pertama.Sekalipun pada permulaanya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar ra.itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’6 Ijma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum-hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam urutan –urutan seumebr hukum islam.Ijma’ sebagai sumber hukum ditunujkan dengan ayat Al-Qur’an dan Hadist. Nabi yang mengatakan bahwa kebulatan ahli ilmu dan fikiran menjadi pegangan.di samping ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh memperkokoh kesatuan dan melarang 2.

pemisahan diri. Di antara hadits –hadits yang memberikan kekuatan demikan ialah hadits.”7 umatku tidak [4]bersepakat atas kesesatan “. Jika sudah terjadi kebulatan hukum maka, sudah barang tentu ada dalil (alasan) yang menjadi sandaraannya,6meskipun dalil tersebut boleh jadi tidak diriwayatkan sebab tidak masuk akal kalau para ulama umat islam bersepakat atas suatu hukum tanpa mempunyai dalil syara’. Ijma’ menurut para fuqaha yang ahli ijtihad merupakan hujjah (argumentasi) yang kuat dalam menetapkan hukum fiqih, sumber (hukum islam) yang menempati posisi setelah sunnah. Posisi ini didukung oleh sejumlah ayat dan hadits yang mengakui konsesensus para ahli ilmu (ulama) dan ahli piker (cendekiawan). Nabi saw bersabda , ‫( ال تجتمح امتي على ضَل لة‬umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesesatan ). Banyak hadits yang semakna dengannya, dank arena banyaknya, ditambah dengan ayat al-Qur’an yang mengharuskan berpegang kepada jama’ah dan tidak memisahkan dari dirinya, menjadi dalil yang cukup untuk menujukan kehujjahan ijma’ dalam menetapkan hukum, yang selalu bersandar kepada dalil meskipun tidak disebutkan, karena para ulama tidak mungkin consensus kalau tidak bersandar pada dalil syara’. Oleh karena itu, bila para ulama mutaakhirin ingin mengetahui ijma’ maka yang dijadikan kajian adalah eksistensi ijma’ dan kebenaran riwayatnya mengkaji dalilnya. Sebab,jika yang harus dikaji itu adalah dalilnya tentulah dalil itu sendiri yang dipegaung bukan ijma’, sekalipun ijma’ itu sendiri dapat dijadikan sebagai hujjah.jadi, ijma’ selalu bersandar pada dalil,tetapi tidak mengakuinya sebagai hujjah tidak perlu mengetahui dalilnya Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara yang tidak dimukan dasar hukumnya dalam Al Qur’an dan Hadits. Hal yang demikian pernah dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw., ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw., ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan. Jadi obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah Swt) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al Qur'an dan Hadits. Dasar Hukum. Al Qur’an. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan

Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa’ : 59) Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin. dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, …” (QS. Ali Imran ; 103) “dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itudan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ ; 115). Pada ayat ini Allah Swt melarang untuk: a. Menyakiti/ menentang Rasulullah Saw. b. Membelot/ menentang jalan yang disepakati kaum mu’minin. Ayat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i ketika ada yang menanyakan apa dasarnya bahwa kesepakatan para ulama bisa dijadikan dasar hukum. Imam Syafi’i menunda jawaban atas pertanyaan orang tersebut sehingga tiga hari, beliau mengulang-ulang hafalan Al Qur’an hingga menemukan ayat ini. Contoh Ijma’: kewajiban shalat lima waktu. Hadits. Sabda Rasulullah Saw: "Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan". Apabila para mujtahid telah melakukan ijma’ dalam menentukan hukum syara' dari suatu permasalahan hukum, maka keputusan ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta. Sabda Rasulullah Saw: “Apabila seseorang menginginkan kemakmuran surga, hendaknya selalu berjamaah”. Dalam hadits diatas Imam Syafi’i berkomentar: “Jika keberadaan para mujtahid tersebar diseluruh penjuru dunia, dan apabila tidak dimungkinkan bertemu langsung tetapi pendapatnya dapat sampai pada sejumlah mujtahid, maka dapat terjadi ijma’ dalam menetapkan sebuah hukum. Dan ketetapan para mujtahid ini dianggap sebagai ijma’, dan apabila ada yang mengingkarinya maka harus ditemukan bukti dan dalil baru untuk keputusan ijma’ tersebut”. 12. Kedudukan ijmak dalam islam

Kedudukan ijma’ Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al – Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al – Qur’an maupun sunnah Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya. Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’ sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :Firman Allah SWT : Artinya : “ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )[6] Ijma’ menempati salah satu sumber hukum atau dalil hukum berada setelah al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pendapat beberapa jumhur ulama’ mengenai ijma’. Hal ini menunjukkan bahawa betapa pentingnya kedudukan ijma’ sebagai hujjah atau dalil hukum. Dalil-dalil yang ada pada ijma’ wajib untuk di patuhi oleh semua umat muslim jika tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak mematuhi hal yang di tetapkan dalam ijma’ maka sama saja berarti tidak mematuhi terhadap apa yang telah di tetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini karena dalil yang ada pada ijma’ sumber hukumnya juga berasal dari al-Qur’an dan hadis juga. Jumhur ulama’ mengemukakan pandapat ini tentu dengan menggunakan dasar yang ada pada al-Qur’an dan Sunnah. Berikut beberapa dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama’ kaitannya mengenai ijma’.

Surat an-Nisa (4):115

‫ا‬

Yang artinya:

“dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan orang-orang mukin, Kami biarkan mereka

berkuasa terhadap kesesatan yang telah

dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahanam itu merupakan seburukburuknya tempat kembali”

Dari uraian ayat tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang dinamakan orang-orang mukmin ialah orang yang melaksanakan apa yang semestinya dilaksanakan sebagai umat mukmin. Mukmin yang tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan oleh orang mukmin, maka ia mendapat ancaman neraka jahanam sebagai tempat kembalinya. Neraka jahanam merupakan tempat kembali yang paling buruk. Demikianlah yang di maksud ijma’ kaum muslimin.

Kaum muslimin disuruh untuk mengikuti ijma’. Kaum muslimin dilarang untuk mengikuti jalan selain apa yang di ikuti kaum muslimin. Artinya, menjadi kewajiban bagi kaum muslimin untuk mengikuti atau mentaati ijma’.

Apa yang telah ditetapkan oleh ijma’, wajik dilaksanakan perintahnya, dan apa yang dilarang oleh ijma’ maka wajib dijauhi oleh kaum muslimin. Demikian penjelasan dari surat an-Nisa: 115 yang tersebut diatas. Barang siapa, mukmin yang tidak mengikuti jalan yang telah di tetapkan dalam ijma’, diancam akan dikembalikan pada neraka jahanam.

Selain surat an-Nisa: 115, ada beberapa ayat lain dalam al-Qur’an yang menjadi dasar ijma’. Diantaranya adalah surat al-Imron (3): 110 dan 103, surat an-Nisa ayat 59. Selain dasar dari alQur’an, terdapat juga sumber yang berasal dari sunnah.

Adapun dari dalil sunnah, hadis nabi yang di riwayatkan oleh beberapa perawi yang berbeda, namun inti yang ingin disampaikan adalah sama, yaitu bahwa umat nabi Muhammmad tidak akan pernah sepakat dengan kesalahan.

Berikut isi dari hadist tersebut yang artinya:

‘’umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untk melakukan kesalahan”.

Hadist ini menjelaskan bahwa, apabila ada kesepakatan dalam suatu umat, maka kesepakatan itu pasti diambil yang paling baik dan yang paling benar. Artinya kesepakatan itu terjaga dari kesalahan dan dijaga kebenarannya. Dalam hal urusan apapun, ketika kesepakatan itu dilakukan secara bersama, maka akan terjaga dari kesalahan.

Dari penjelasan hadist diatas, menegaskan bahwa ijma’ itu terpelihara dari kesalahannya. Artinya bahwa kesepakatan didalam ijma’ itu mengandung kebenaran yang telah dijamin oleh Rasulullah SAW. Dalam hadist tersebut telah menjamin bahwa kesepakatan yang diambil oleh umat Muhammad SAW. telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT.

Ada juga pendapat lain dari jumhur ulama’, bahwa apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah (dalil) yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya. Bahkan, apabila ada yang mengingkarinya dianggap kafir.

Menurut pendapat jumhur ulama’ ini, dalil yang telah ditetapkan oleh ulama’ pada generasi tertentu, tidak boleh direvisi atau dibahas oleh generasi yang selanjutnya. Karena ijma’ yang telah ditetapkan sudah menjadi kesepakatan bersama dan sifatnya qath’i (pasti) sebagai hujjah. Dalil Ijma’ tersebut kedudukannya nomor tiga setelah al-Qur’an dan sunnah.

Pendapat ini memang banyak yang menilai terlalu keras. Sehingga banyak yang tidak sepakat dengan dalil ini. Memang setiap golongan mempunyai perbedaan pendapat kaitannya dengan pembahasan mengenai ijma’ sebagai hujjah (dalil). Namun, perbedaan pendapat tersebut kiranya tidak menjadi sebuah masalah yang kemudian dapat menjadikan perpecahan. (*)

3. Perkembangan Pendapat Ulama tentangn Pembatasan Ijma’ 1.

Keikutsertaan kalangan awam dalam Ijma’

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah umat yang awam atau yang bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota ijma’, jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan unruk melaangsungkan suatu ijma’. Karena yang berhak menentukan hukum dalam ijma’ adalah orang-orang yang mampu memahami sumber fiqih dan mengeluarkan hukumnya. Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa suara orang awam menentukan dalam penetapan ijma’ karena pendapat umat mempunyai kekuatan hujjah karena ia bebas dari kesalahan.

2.

Ijma’ sesudah masa Sahabat

Terdapat perbedaan ulama mengenai hal ini, apakah ijma’ itu hanya terbatas pada masa sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatan bahwa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah berpendapat bahwa ijma’ tidak hanya berlaku pada masa sahabat saja, tetapi pada setiap masa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi ketentuannya. 3.

Kesepakatan mayoritas

Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sahnya ijma’ bila hanya mayoritas ulama saja yang bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya. 4.

Kesepakatan ulama madinah

Ulama madinah telah sepakat tentang suatu hukum atau suatu kejadian, sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat yang berbeda. 5.

Kesepakatan Ahlu al-Bait

Ahlu al-Bait dalam pandangan ulama syi’ah adalah keturunan nabi Muhammad melalui putrinya. Di kalangan ulama syi’ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahlu al-Bait atas suatu hukum di anggap ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain. 6.

Kesepakatan Khulafaur rasyidin

Empat orang sahabat Nabi yng kemudian bersepakat tentang suatu hukum, namun sahabat lainnya mempunyai pendapat berlainan dengan kesepakatan itu, mereka dianggap sebagai ijma’ yang mengikat umat islam. Sumber: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 121-127. 4. Syarat –syarat Ijma’ Menurut Jumhur syarat Ijma yaitu 1.

Syarat pertama berkenaan dengan kesepakatan, kesepakatan yang dimaksud adalah

kesamaan pendapat antara seseorang dengan yang lain; baik dalam hal keyakinan, perkataan atau perbuatan. Meyangkut syarat ini terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi bagi terlaksanya Ijma’

a.

Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang

ijma’, jika sepakatan itu hanya berasal dari sebagian mujtahid saja sedangkan sebagian kecil lainnya tidak. Akan tetapi pakar Ushul Fiqh menilai bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sebagai hujjah b.

Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak

dipandang ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat saja. c.

Kesepakatan para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat

dilihat dalam perbuatan. d.

Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada

negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma‘, karena ijma‘ itu hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh. 2.

Syarat kedua berkenaan dengan mujtahid, ada tiga syarat yang harus terpenuhi bagi seorang

untuk menjadi mujtahid yakni: a.

Memiliki pengetahuan tentang Al-Quran, Sunnah dan persoalan-persoalan yang telah

menjadi obyek Ijma’ sebelumnya b.

Mengetahui pengetahuan tentang Ilmu Ushul Fiqh

c.

Memiliki pengetahuan kebahasaan (Arab)

3.

Syarat ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal dari umat Muhammad,

bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu 4.

Ijma’ mesti berlangsung sesudah wafat Nabi saw

5.

Ijma’ itu merupakan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah hukum syara’, seperti

wajib, haram, sunnat dan seterusnya. Sumbernya M Jafar, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam, (Volume XIII, No. 2, 2014), hlm. 96.

Adapun pembagian Ijma', yaitu; Ijma’ sharih (jelas/tegas) Kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum dari suatu kasus dengan cara masing-masing menyatakan pendapatnya secara tegas terhadap hukum tersebut. Ijma’ ini merupakan Ijma’ yang menunjukkan dengan pasti hukum kasus itu. Tidak dimungkinkan memberi hukum dengan yang berbeda dengan hukum itu, dan tidak satu ijtihadpun yang berbeda dengannya boleh dianggap. Barangsiapa mengingkari setelah tahu tentang Ijma’ itu hukumnya kafir, sebab pengingkarannya itu dia sama saja dengan orang yang mengingkari nas yang pasti (qath’iy) yang mutawatir. Ijma’ sukutiy Adanya sementara mujtahid yang menyatakan pendapat terhadap suatu masalah, sedang ahl alhill wa al-‘aqd selebihnya mengetahuinya dan mereka diam saja, tidak mengingkarinya, baik hal ini menyangkut para sahabat maupun bukan. Pandangan ulama terhadap Ijma’ semacam ini berbeda-beda: Ia merupakan Ijma’ yang sahih dan menjadi hujah menurut Imam Ahmad, mayoritas Hanafiyah, jumhur Syafi’iyah, segolongan ahli ushul, dan diriwayatkan seperti itu dari Imam al-Syafi’iy itu sendiri. Imam al-‘Amidiy dalam kitab ushulnya mengatakan: “Itu pendapat umum Ahlisunnah”. Ia Ijma’ tapi bukan merupakan hujah, menurut pendapat al-Dzairafiy dan salah satu pendapat mazhab Syafi’iy. Pendapat ini merupakan pilihan Imam al-‘Amidiy. Ia bukan Ijma’ menurut Malikiyah, Imam al-Baqillaniy, Isa ibn Abban, al-Syafi’iy sendiri, Dawud al-¨ahiriy, serta pilihan Imam Fakhr al-Raziy dan Imam al-Baidhawiy. Perlu mendapat perhatian bahwa masalah-masalah Ijma’ sukutiymerupakan masalah Ijma’ yang terbesar, mengingat luasnya kawasan dunia Islam dan sulitnya menghitung ahli ijtihad. Ibn Qudamah berkata: “Tidak ada cara untuk menukil pendapat seluruh sahabat dalam suatu masalah, tidak juga penukilan pendapat isyarah. Yang ada hanyalah pendapat yang tersiar”. Yang beliau maksud dengan itu adalah Ijma’ sukutiy.

Menurut jumhur, Ijma’ yang pertama (sharih) merupakan Ijma’ yang hakiki, yang dijadikan hujah syar’iyah sedang Ijma’ yang kedua (sukutiy) yaitu i’tibariy (dianggap ada Ijma’) karena seorang mujtahid yang diam tidak tentu dia setuju, dengan demikian tidak ada kesepakatan sehingga dipertentangkan kehujahannya. Sumbernya Abd al-Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Cet. VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996).

APLIKASI IJMA' DALAM EKONOMI / PERBANKAN SYARIAH Semakin kompleks problematika dan perkembangan perekonomian pada zaman modern ini, beberapa ijma' (keputusan) ulama pada kondisi kontemporer sekarang adalah sebagai berikut:

1. Ijma' tentang pengharaman bunga bank. Menurut syekh Yusuf Qardhawi dalam bukunya, bungabank adalah haram, bahwa sebanyak 300 ualama dan pakar ekonomi dunia telah menghasilkan suatu ijma' tentang keharaman bunga bank (mereka terdiri dari ahli fikih, ahli ekonomi, dan keuangan dunia) melalui suatu pertemuan dimana 'telah lahir ijma' ulama dari berbagai lembaga, pusat penelitian, muktamar, seminar-seminar ahli fikih dan ahli ekonomi islam yang mengharamkan bunga bank dalam segalanya bentuknya dan bunga bank itu adalah riba tanpa diragukan sedikitpun.

Beberapa hasil keputusan dari lembaga internasional antara lain: a. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) Semua peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu: Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah islam. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsipprinsip syariah. Hasil kesepakatan inilah yang melatar belakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam.

b. Mufti Negara Mesir Keputusan kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bung bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.

Dasar-dasar Penetapan a. Bunga bank memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT seperti dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu, Ibn Al-Araby dalam ahkam Al-qur'an, Al-Aini dalam Umdah Al-Qary, dll. b. Bunga uang dari pinjaman / simpanan yang berlaku diatas lebih buruk daripada riba yang diharamkan Allah dalam Al-Qur'an karena riba hanya dikenakan tambahan pada saat jatuh tempo. sedangkan bunga bank sudah langsung di kenakan tambahan sejak transaksi.

2. Ijma' ulama tentang asuransi bisnis yang mengharamkan, sesungguhnya Majelis Ulama Fikih pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya'ban 1398 M, di Makkah AlMukarramah di pusat Rabitha Al-Alam Al-Islami meneliti persoalan asuransi barang dagangan berdasarkan analisis sebagai berikut:

Dimana memberlakuan premi tetap sebagaimana dilakukan berbagai perusahaan asuransi bisnis merupakan perjanjian usaha yang mengandung unsur "menjual kucing dalam karung" karena pihak yang akan menerima asuransi pada saat perjanjian tidak mengetahui jumlah uang yang akan dia berikan dan akan diterima. karena bisa jadi sekali, dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan

asuransi, hal ini juga sangat bergantung pada perkembangan saat tanggungan itu harus dibayar penanggungan. sehingga ijma' ulama mengharamkan asuransi bisnis di konvensional.

3. Ijma' tentang keabsahan kontrak pembelian barang yang belum diolah atau diproduksi ('Aqdhul Istishna). Aturan normalnya adalah pelarangan penjualan barang yang tidak ada (nonexist). Karena adanya ketidakpastian. Tapi penjualan barang seperti ini yang tidak, yang belum ada

hukumnya

tidak

sah

karena

ia

belum

pasti

hukumnya.

kesepakatan

para

ulamamembolehkannya ditujukan untuk memperoleh jalan keluar yang mudah.

4. Ijma' ulama tentang instrument keuangan syariah SBIS dalam akad Ju'alah. Madzhab Maliki, syafi'i dan Hanbali berpendapat, bahwa Ju'alah boleh dilakukan dengan alasan:

a. Firman Allah : Penyeru-penyeru itu berkata: "kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya." QS. Yusuf: 72

b. Dalam hadits diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau uupah dengan cara ju'alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajeking dengan cara membaca surat al-fatihah. Ketika mereka ceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah tidak halal. Rasulullah pun ternyata seraya bersabda: "tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi(yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagai."(HR. Jamaah, mayoritas ahli hadits An Nasa'i)

5. Jual beli pelelangan (muzayadah), dimana pelelangan itu, boleh berdasarkan ijma' (consensus) kaum muslimin. Pelelangan adalah penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para pembeli

saling menawar dengan harga tertinggi sampaikepada batas harga tertinggi yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa mengabil barang yang dijual. Jual beli Madhaamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama tidak dibolehkan.[35] Alasannya adalah mengandung unsur gharar, sangat jelas karena jika penjual ingin menjual anak yang masih dalam perut induknya yang berarti barang belum ada, sedang si pembeli menghadapi suatu risiko antara berhasil mendapatkan anak tersebut atau tidak. Salah satu hikmah yang dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi yudisial yang terbatas sebagaimna dunia matematika yang tidak memberi kemungkinan inovasi pemikiran kreatif (ijtihad).

Seiring perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalanpersoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.[9]

Para cendekiawan Islam (ulama) banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi konsensus (Ijma’). Perbedaan pendapat mereka, menurut Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dilandaskan oleh dua hal: Pertama, Penentuan para personal yang mempunyai validitas untuk berkonsensus (dianggap konsensusnya). Kedua, Penentuan corak permasalahan-permasalahan yang dianggap dalam konsensus.[10] Terlepas dari perdebatan soal terminologisnya, ia disepakati (al-Muttafaq Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits.

Dari posisinya yang ketiga tersebut, konsensus memiliki peran signifikan & kuat dalam pengambilan hukum-hukum Islam. Apalagi ia diakui terbebas dari kekeliruan (Ma’shumun An il-Khothoi) dan kesesatan, berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW: “Umatku tidak berkonsensus dalam kesesatan” (HR. Ahmad & at-Thabarani).

Konsepsi konsensus dimulai sejak era sahabat (ash-Shahabah) setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi dengan sistem syura ketika terdapat permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Sistem syura tersebut tak lain adalah mirip dengan sistem ijtihad kolektif yang diterapkan oleh forum-forum ijtihad kolektif kontemporer. Karena menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, jika ijtihad dilakukan dengan sistem kolektif maka ia adalah konsensus (Ijma’), namun jika dilakukan secara individual maka ia adalah silogisme (Qiyas).[11]

Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa sekarang. Padahal zaman sekarang ini permasalahan umat semakin kompleks dan membutuhkan jawaban instant dan cepat, jika ijma’ tidak dapat dilakukan maka penyelesaian permasalahan akan mengalami kemandegan. Sebagaimana yang menjadi pembicaraan akhir-akhir ini, permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan metode ijtihad secara kolektif atau bermusyawarah sejumlah mujtahid, dan mungkin saja cara ini dapat menggantikan posisi ijma’. Ijma’ sangat kental dengan yang namanya ijtihad, dan jika memang ijma’ tidak mungkin dilakukan pada masa kini maka bukan berarti ijtihad juga tertutup, tetapi ijtihad akan lebih akurat jika dilakukan dengan sistem musyawarah dan bertukar pikiran diantara orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih dalam agama atau yang disebut ijtihad kolektif.

Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu (fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i atau yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan.[12] Hanya saja

ijtihad kolektif bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid.[13]

C. IJTIHAD KOLEKTIF

SEBUAH TAWARAN BARU

1. Definisi Ijtihad Kolektif

Kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Muslim dewasa ini, ijtihad tidak boleh dilakukan secara parsial tetapi hendaknya ijtihad dilakukan dengan komprehensif dengan melihatkan pakar dalam ilmu pengetahuan yang terkait. Menurut Yusuf Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan dalam menghadapi era globalisasi ini, yaitu pertama, ijtihad intiqa’i (tarjih)[14] dengan mengambil pendapat terkuat para ulama’ terdahulu kemudian mneyeleksi yang paling kuat dalilnya dan lebih relevan dengan keadaan sekarang. Kedua, ijtihad insya’i,[15] pengambilan kesimpulan baru dari persoalan dan belum pernah dikemukakan oleh ulama’ terdahulu. Sehubungan dengan ijtihad insya’i ini, agar pelaksanaannya efektif dan menghasilkan suatu hukum yang dapat menyelesaikan permasalahan maka perlu digalakkan ijtihad kolektif (jama’i), karena dengan permasalahan yang kompleks serta dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang sehingga dalam menghadapi persoalan harus melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait. Apabila ijtihad fardhi dilaksanakan dalam melaksanakan ijtihad insya’i terhadap suatu kasus yang baru kemungkinan ijtihad yang dilakukan akan terdapat kekeliruan dan tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.[16]

Ijtihad kolektif (ijtihad al-jama’i), yaitu ijtihad yang dilakukan secara bersama atau musyawarah terhadap suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggungjawab bersama, atau ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dan hasil-hasilnya mendapat pengakuan dan persetujuan mujtahid lain. Jadi, ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam merupakan hasil ijtihad kolektif. Ijtihad kolektif merupakan salah satu cara yang sering dilakukan oleh para sahabat

ketika memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada penetapannya, baik dari Alqur’an maupun sunnah, seperti dalam cerita dialog antara Nabi Muhammad saw dengan & Ali ibn Abi Thalib di atas.[17]

Menurut asy-Syarafi, ijtihad kolektif sebuah upaya optimal dari mayoritas ahli fiqih untuk sampai pada sebuah hipotesa terhadap hukum syariat dengan cara menyimpulkan dan telah mencapai kesepakatan bersama atau mayoritas dari mereka semua setelah mengadakan tukar pendapat untuk menentukan suatu hukum.[18] Tujuannya adalah untuk meneliti berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang dibutuhkan umat, sehingga mereka sepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat menghasilkan kemaslahatan.[19] Ijtihad kolektif merupakan aplikasi dari firman Allah yang berbunyi:

öNèdö‘ Ír$x©ur ’ Îû Í•öDF{$# ([20]

“dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.”[21]

öNèdãøBr&ur 3“u‘qä© ö[22]NæhuZ÷t/ [23]

“sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.”

Dengan demikian, jelaslah ijtihad kolektif yang tercermin dalam bentuk musyawarah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam upaya pembinaan dan pelestarian hukum Islam, dengan berupaya mengantisipasi segala permasalahan secara bersama-sama, terutama dalam mengahadapi kasus-kasus besar dalam dunia ekonomi, politik, dan kedokteran melalui pelibatan spesialis atau expert disiplin ilmu lain yang dibutuhkan dengan permasalahan yang dihadapi,

sehingga hasilnya akan lebih valid, kredibel, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Namun demikian, penggunaan ilmu bantu yang diperlukan itu harus ada batasan, yang memerlukan kajian serius untuk membuat standar dan sekaligus formulasi penggunaan ilmu dalam prosedur ijtihad itu, agar tidak menimbulkan dampak negatif yang kontraproduktif.

Menurut Dr. Ahmad Bu’ud, ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihâd jama’îy). Kebutuhan ijtihad kolektif didasari oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang tersebut memiliki kapabilitas. Maka keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Terpahami,

bahwa keberadaan ijtihad kolektif ini akan

tercermin dalam sebuah aktifitas musyawarah (syûrâ). Dari sinilah titik temu (problem solving) dari sebuah permasalahan akan ditemukan.

Inilah yang disebut ijtihad, dimana syarat-syarat para mujtahid yang disebutkan terpenuhi di dalamnya. Mereka berijtihad membahas problematika umat, masing-masing dengan argumentasi dan dalil-dalil yang didasarkan pada nash-nash wahyu dan maqashid as-syâri’ah. Juga bisa kita sebut sebagai musyawarah (syûra), karena di dalamnya mampu menampung komunitas tertentu yang bersama-sama membahas dan memusyawarahkan permasalahan. Usaha seorang mujtahid dan ijtihadnya tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad kolektif sebelum terealisasikan dalam sebuah aktifitas musyawarah. Musyawarah tersebut pun tidak bisa terwujud kecuali dengan dihadiri oleh para mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid serta memiliki kapabilitas dan keahlian di bidangnya masing-masing.[24]

Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia. Guna menetapkan hukumnya, perlu didengar lebih dahulu pendapat ahli dalam bidang kedokteran, khususnya ahli bedah. Darinya akan diperoleh informasi mengenai cara dan mekanisme pencangkokan organ tubuh itu. Setelah diketahui secara jelas, baru dibahas perihal

pencangkokan itu dari berbagai disiplin ilmu agama Islam, untuk kemudian diambil kesimpulan hukumnya.[25] Contoh yang lain masalah KB yang berkaitan erat dengan kependudukan, ilmu ekonomi, ilmu jiwa, ilmu yang berkaitan dengan IT dan tentunya ilmunya keagamaan.

2. Syarat-syarat Ijtihad Kolektif

Sebagaimana konsep ijtihad yang telah ada, begitu juga dengan ijtihad kolektif yang mana di dalamnya juga diatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi. Para mujtahid yang ada dalam ijtihad kolektif juga harus memenuhi persyaratan yang ada dalam mujtahid, seperti Islam, taklif, adil, memahami al-Qur’an dan sunah, memahami bahasa Arab, memahami ushul fiqh, memahami esensi tujuan syari’at, memahami masalah yang sudah jadi ijma’ dan memahami situasi masanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Abdul Wahab Kholaf bahwa ijtihad yang didasarkan pada pendapat satu kelompok tidak akan diterima, kecuali bila setiap anggota kelompok itu telah memenuhi syarat-syarat dan kapasitas profesionalisme ijtihad.

Namun ada hal-hal lain yang ada dalam ijtihad kolektif, anggota lembaga ijtihad kolektif cukup seorang mujtahid juz’i,[26] buka seorang mujtahid mutlaq[27]. Mujtahid mutlaq adalah orang yang mampu melakukan ijtihad dalam seluruh bab fikih dan berbagai permasalahannya. Sedangkan mujtahid juz’i yaitu orang yang memiliki cukup ilmu yang membuatnya mampu untuk melakukan ijtihad dalam sebagian cabang ilmu saja namun tidak pada sebagian yang lain. Salah satu alasan mendesaknya kebutuhan terhadap ijtihad kolektif yang membolehkan hanya dengan mujtahid juz’i adalah karena ijtihad ini adalah karena ijtihad ini berposisi menggantikan peran mujtahid mutlak yang untuk masa sekarang sulit ditemukan. Dan ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam ijtihad kolektif bahwa dalam lembaga tersebut bahwa dalam kurung tersebut terdapat sejumlah anggota yang tidak disyaratkan harus memenuhi syarat-syarat ijtihad, tetapi mereka adalah para ahli dan pakar dalam bidangnya yang akan membantu para mujtahid merkeka hanya memberikan deskripsi, menjelaskan serta memberikan devinisi yang tegas bagi

permasalahan yang di ijtihadi. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam memahami permasalahan secara cermat dan benar kemudian menyimpulkan hukum syar’i yang sesuai.[28]

3. Lembaga-lembaga Aplikasi Ijtihad Kolektif

Saat ini kita bisa melihat ijtihad kolektif tersebut termanifestikan dalam berbagai bentuk lembaga ijtihad. Seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majma’ al-buhuts al-Islamiyyah al-Azhar, Lembaga Fatwa Mesir (Dâr Iftâ’ Mishriy), Lembaga Fikih Islam Mekah yang berpusat di Jedah, Majelis Fatwa Eropa dan Amerika Utara dan masih banyak lagi lembaga-lembaga Islam yang bergerak dalam bidang ijtihad. Lembaga ijtihad tersebut mengakomodir para ulama yang mempunyai wewenang dalam memutuskan hukum tersebut. Dr. Qutub Musthafa Sanu membagi tiga macam bentuk ijtihad kolektif yang ada pada zaman ini dan masing-masing memiliki tugas-tugas tertentu.

Lembaga Ijtihad Lokal (wilayah atau provinsi), yang melihat dan membahas permasalahanpermasalahan lokal atau wilayah tertentu. Lembaga inilah yang kemudian mempunyai keterikatan dan hubungan dengan masyarakat atau suatu komunitas. Maka lembaga ini dituntut untuk benar-benar memusatkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat tersebut agar tercipta kemaslahatan di dalamnya. Semisal Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah provinsi Sumatera Selatan yang berkedudukan di Ogan Komering Palembang Indonesia.

Lembaga Ijtihad Regional. Lembaga ini mempunyai tugas untuk membahas problematika masyarakat dalam wilayah regional yang memiliki sifat, kebiasaan, tradisi yang mengikat dan kemaslahatan bersama. Biasanya strukturnya setingkat negara, seperti MUI atau Mishriy.

Dar Ifta’

Lembaga Ijtihad Internasional. Lembaga ijtihad ini hadir untuk membahas problematika umat kekinian dengan sekup internasional, seperti Lembaga fatwa milik OKI (Organisasi Konferensi Islam). Biasanya lembaga tersebut mengadakan muktamar tahunan guna membahas permasalahan-permasalahan umat yang terjadi di belahan dunia Islam.[29]

Indonesia, seperti yang telah kita ketahui, adalah sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama adalah dua organisasi Islam (sosial keagamaan) yang terbesar di Indonesia. Keduanya memiliki kemiripan dalam visi dan misinya yaitu untuk mengembalikan kejayaan umat Islam serta membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Banyaknya permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, menuntut kedua organisasi tersebut untuk ikut andil dalam menyelesaikannya. Terkait dalam hal ini, kita tahu ada lembaga ijtihad yang ada pada tubuh kedua organisasi ini. Di Muhammadiyah kita mengenalnya dengan Majelis Tarjih dan Tajdid dan dalam Nahdhatul Ulama kita mengenal Bahsul Masa’il. Sedangkan lembaga ijtihad lain yang lebih independen dan di bawah naungan pemerintah (Departemen Agama Indonesia) adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembagalembaga ijtihad ini memilki orientasi dan tugas yang sama, yaitu sama-sama membahas dan memecahkan problematika umat terutama dalam berbagai permasalahan yang terkait dengan hukum-hukum Islam. Namun demikian, masing-masing memiliki manhaj pemikiran yang berbeda. Manhaj pemikiran yang dimaksud adalah sebuah kerangka kerja metodologis dalam merumuskan masalah pemikiran dan prosedur-prosedur penyelesaiannya. Di dalamnya memuat asumsi dasar, prinsip pengembangan, metodologi sekaligus operasionalisasinya. Maka tidak heran kalau terkadang terjadi perbedaan-perbedaan dalam memutuskan perkara-perkara tertentu, semacam penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal Idul Fitri. Walaupun demikian, ketiga lembaga ijtihad tersebut dan berbagai lembaga ijtihad lainnya yang berada di Indonesia, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam.[30]

Mengenai metodologi ijtihad kolektif, kita bisa melihat setiap hasil ijtihad yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ijtihad tersebut karena setiap lembaga memiliki metode yang berbeda-beda.

Misalnya saja dalam menetapkan tanggal 1 Syawal, lembaga Tarjih milik Organisasi Muhammadiyah menegaskan bahwa datangnya awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab dan hisab bisa berdiri sendiri dalam menentukan bulan Qamariyah. Sedangkan Bahtsul Masail menggunakan metode rukyatul hilal bil fi’li, dengan melihat hilal secara langsung dan bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari, hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Qamariyah.[31] Dan lembaga MUI yang berada di bawah naungan pemerintah menggunakan metode imkanur ru’yah yang tergabung dengan lembaga MABIMS. Sumbernya Qardhawi, Yusuf. Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya), 2000. Surabaya: Risalah Gusti.

Related Documents


More Documents from "Harso Laksono"