Makalah Fiqh Muamalah 2.docx

  • Uploaded by: MUAMMAR
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Fiqh Muamalah 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,065
  • Pages: 17
“Ijmak Sebagai Sumber Hukum dalam Muamalah” Dosen pembimbing:

M. Daniala,SPdi, M.Ag

Disusun oleh:

Muammar (170604038 ) Akmal Muzammil (170604069) Habib Mubarak (170604077)

Universitas Islam Negeri Ar – Raniry Banda Aceh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Jurusan Ilmu Ekonomi 2018-2019

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah swt Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur kami panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang sederhana in, dengan mata kuliah Fiqh Muamalah. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah senantiasa meridhai-nya. Amin.

Banda Aceh, 2 Maret 2019 Penyusun:

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................

i

DAFTAR ISI..................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................

1

A. Latar Belakang ...............................................................................

2

B. Rumusan Masalah ...........................................................................

3

C. Tujuan Penulisan.............................................................................

4

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................

5

A. Pengertian dan Kedudukan Ijma’ ...................................................

6

B. Perkembangan Pendapat Ulama tentang Ijma’……………………

7

C. Persyaratan Ijma’ dan Pendapat Ulama Tentangnya ......................

8

D. Pembagian Ijma’ dan pandangan Ulama. .......................................

9

E. Ijma’ Dalam Masalah Muamalah………………………………….

10

F. Contoh-contoh Ijma’ Kolektif Konterporer dalam Muamalah……

11

BAB III PENUTUP…………………………………………………………

12

A. Kesimpulan……………………………………………………………. 13 B. Saran ......................................................................................…………...14 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum-hukum seperti sholat, puasa, jual beli dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah dalam landasan agama. Untuk mengetahui hukum-hukum syari’at agama, para ulama telah melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum yang belum ada dalam Al-Qur’an dan hadist. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal-hal yang pada zaman Rasul SAW tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimana hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama yaitu ijma’. 1.2 Rumusan Masalah (1). Bagaimana Pengertian dan Kedudukan Ijma’? (2). Bagaimana Perkembangan Pendapat Ulama tentang Ijma’? (3). Apa Saja Persyaratan Ijma’ dan Pendapat Ulama Tentangnya? (4). Bagaimana Pembagian Ijma’ dan pandangan Ulama? (5). Bagaimana Ijma’ Dalam Masalah Muamalah? (6). Apa saja Contoh-contoh Ijma’ Kolektif Konterporer dalam Muamalah? 1.3 Tujuan Penulisan (1). Untuk mengetahui Pengertian dan Kedudukan Ijma’ (2). Untuk Mengetahui Perkembangan Pendapat Ulama tentang Ijma’ (3). Untuk Mengetahui Apa Saja Persyaratan Ijma’ dan Pendapat Ulama Tentangnya (4). Untuk Mengetahui Bagaimana Pembagian Ijma’ dan pandangan Ulama (5). Untuk mengetahui Bagaimana Ijma’ Dalam Masalah Muamalah (6). Untuk mengetahui Apa saja Contoh-contoh Ijma’ Kolektif Konterporer dalam Muamalah

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan Kedudukan Ijma Pengertian Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan sesorang ‫ اجمح القو م على كذا‬yang berarti “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu”.3 Ijma' (‫)اِلجْ َماع‬ ‫ إ‬adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (‫ )أَجْ َم َع‬yang memiliki dua makna: Tekad yang kuat (‫ )العَ ْزم الم َؤ َّكد‬seperti: ‫سفَر‬ َ ‫( أ َ َج َم َع ف ََل ٌن َعلَى‬sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan). Kesepakatan (‫ )االتإفَاق‬seperti: (‫)أَجْ َم َع الم ْس إلم ْونَ َع َلى َكذَا‬ kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu. Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah: ‫ص إر إمنَ العص ْو إر َعلَى أَ ْمر إمنَ األم ْو إر‬ ْ ‫سلَّ َم بَ ْعدَ َوفَاتإ إه فإ ْي َع‬ َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي إه َو‬ َ ‫ي أ َّم إة م َح َّمد‬ ْ ‫اتإفَاق مجْ تَ إه إد‬ "kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).

Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain: Kesepakatan (‫)االتإفَاق‬ artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap. Para Mujtahid ( َ‫)المجْ تَ إهد ْون‬. Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum. Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang rima seruan dakwah Nabi saw).Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut ijma'. Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja. Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).

Menurut istilah Ijma’, ialah kespakatan mujtahid ummat islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah saw meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah saw meninggal dunia diperlukan penangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kamu muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar ra. sebagai khalifah pertama, Sekalipun pada permulaanya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar ra.itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’. Sedangkan kedudukan Ijma’ ialah, Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al – Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi (kuat). Jika sudah terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya. Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’ sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut firman Allah SWT Artinya: “wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul Muhammad dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S.an – Nisa’ 59 )

B. Perkembangan Pendapat Ulama tentang Ijma’ 1. Keikutsertaan kalangan awam dalam Ijma’ Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah umat yang awam atau yang bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota ijma’, jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijma’. Karena yang berhak menentukan hukum dalam ijma’ adalah orang-orang yang mampu memahami sumber fiqih dan mengeluarkan hukumnya. Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa suara orang awam menentukan dalam penetapan ijma’ karena pendapat umat mempunyai kekuatan hujjah karena ia bebas dari kesalahan. 2. Ijma’ sesudah masa Sahabat Terdapat perbedaan ulama mengenai hal ini, apakah ijma’ itu hanya terbatas pada masa sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah berpendapat bahwa ijma’ tidak hanya berlaku pada masa sahabat saja, tetapi pada setiap masa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi ketentuannya. 3. Kesepakatan mayoritas Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sahnya ijma’ bila hanya mayoritas ulama saja yang bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya. 4. Kesepakatan ulama madinah Ulama madinah telah sepakat tentang suatu hukum atau suatu kejadian, sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat yang berbeda.

5. Kesepakatan Ahlu al-Bait Ahlu al-Bait dalam pandangan ulama syi’ah adalah keturunan nabi Muhammad melalui putrinya. Di kalangan ulama syi’ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahlu al-Bait atas suatu hukum di anggap ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain. 6. Kesepakatan Khulafaur rasyidin Empat orang sahabat Nabi yng kemudian bersepakat tentang suatu hukum, namun sahabat lainnya mempunyai pendapat berlainan dengan kesepakatan itu, mereka dianggap sebagai ijma’ yang mengikat umat islam. C. Persyaratan Ijma’ dan Pendapat Ulama Tentangnya Menurut Jumhur syarat-syarat Ijma’ yaitu: 1. Syarat pertama berkenaan dengan kesepakatan, kesepakatan yang dimaksud adalah kesamaan pendapat antara seseorang dengan yang lain; baik dalam hal keyakinan, perkataan atau perbuatan. Meyangkut syarat ini terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi bagi terlaksanya Ijma’ a.) Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang ijma’, jika sepakatan itu hanya berasal dari sebagian mujtahid saja sedangkan sebagian kecil lainnya tidak. Akan tetapi pakar Ushul Fiqh menilai bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sebagai hujjah b.) Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak dipandang ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat saja.

c.) Kesepakatan para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat dilihat dalam perbuatan. d.) Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma‘, karena ijma‘ itu hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh. 2. Syarat kedua berkenaan dengan mujtahid, ada tiga syarat yang harus terpenuhi bagi seorang untuk menjadi mujtahid yakni: a.) Memiliki pengetahuan tentang Al-Quran, Sunnah dan persoalan-persoalan yang telah menjadi obyek Ijma’ sebelumnya b.) Mengetahui pengetahuan tentang Ilmu Ushul Fiqh c.) Memiliki pengetahuan kebahasaan (Arab) 3. Syarat ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal dari umat Muhammad, bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu 4. Ijma’ mesti berlangsung sesudah wafat Nabi saw 5. Ijma’ itu merupakan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah hukum syara’, seperti wajib, haram, sunnat dan seterusnya.

D. Pembagian Ijma’ dan pandangan Ulama Adapun pembagian Ijma' yaitu:  Ijma’ shahih (jelas/tegas) Kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum dari suatu kasus dengan cara masingmasing menyatakan pendapatnya secara tegas terhadap hukum tersebut. Ijma’ ini merupakan Ijma’ yang menunjukkan dengan pasti hukum kasus itu. Tidak dimungkinkan memberi hukum dengan yang berbeda dengan hukum itu, dan tidak satu ijtihad pun yang berbeda dengannya boleh dianggap. Barangsiapa mengingkari setelah tahu tentang Ijma’ itu hukumnya kafir, sebab pengingkarannya itu dia sama saja dengan orang yang mengingkari nas yang pasti (qath’iy) yang mutawatir.  Ijma’ sukutiy Adanya sementara mujtahid yang menyatakan pendapat terhadap suatu masalah, sedang ahl al-hill wa al-‘aqd selebihnya mengetahuinya dan mereka diam saja, tidak mengingkarinya, baik hal ini menyangkut para sahabat maupun bukan. Pandangan ulama terhadap Ijma’ semacam ini berbeda-beda:  Ia merupakan Ijma’ yang sahih dan menjadi hujah menurut Imam Ahmad, mayoritas Hanafiyah, jumhur Syafi’iyah, segolongan ahli ushul, dan diriwayatkan seperti itu dari Imam al-Syafi’iy itu sendiri. Imam al-‘Amidiy dalam kitab ushulnya mengatakan: “Itu pendapat umum Ahlisunnah”.  Ia Ijma’ tapi bukan merupakan hujah, menurut pendapat al-Dzairafiy dan salah satu pendapat mazhab Syafi’iy. Pendapat ini merupakan pilihan Imam al-‘Amidiy.  Ia bukan Ijma’ menurut Malikiyah, Imam al-Baqillaniy, Isa ibn Abban, al-Syafi’iy sendiri, Dawud al-¨ahiriy, serta pilihan Imam Fakhr al-Raziy dan Imam al-Baidhawiy.  Perlu mendapat perhatian bahwa masalah-masalah Ijma’ sukutiymerupakan masalah Ijma’ yang terbesar, mengingat luasnya kawasan dunia Islam dan sulitnya menghitung ahli ijtihad. Ibn Qudamah berkata: “Tidak ada cara untuk menukil pendapat seluruh sahabat dalam suatu masalah, tidak juga penukilan pendapat isyarah. Yang ada hanyalah pendapat yang tersiar”. Yang beliau maksud dengan itu adalah Ijma’ sukutiy.

Menurut jumhur, Ijma’ yang pertama (shahih) merupakan Ijma’ yang hakiki, yang dijadikan hujah syar’iyah sedang Ijma’ yang kedua (sukutiy) yaitu i’tibariy (dianggap ada Ijma’) karena seorang mujtahid yang diam tidak tentu dia setuju, dengan demikian tidak ada kesepakatan sehingga dipertentangkan kehujahannya. E. Ijma’ dalam Masalah Muamalah Semakin kompleks problematika dan perkembangan perekonomian pada zaman modern ini, beberapa ijma' (keputusan) ulama dalam hal muamalah pada kondisi kontemporer sekarang ini adalah sebagai berikut: 1. Ijma' tentang pengharaman bunga bank. Menurut syekh Yusuf Qardhawi dalam bukunya, bunga bank adalah haram, bahwa sebanyak 300 ualama dan pakar ekonomi dunia telah menghasilkan suatu ijma' tentang keharaman bunga bank (mereka terdiri dari ahli fikih, ahli ekonomi, dan keuangan dunia) melalui suatu pertemuan dimana 'telah lahir ijma' ulama dari berbagai lembaga, pusat penelitian, muktamar, seminar-seminar ahli fikih dan ahli ekonomi islam yang mengharamkan bunga bank dalam segalanya bentuknya dan bunga bank itu adalah riba tanpa diragukan sedikitpun. Beberapa hasil keputusan dari lembaga internasional antara lain: a.) Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) Semua peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu: Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah islam. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hasil kesepakatan inilah yang melatar belakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam.

b.) Mufti Negara Mesir Keputusan kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bung bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.  Dasar-dasar Penetapan a.) Bunga bank memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT seperti dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu, Ibn Al-Araby dalam ahkam Al-qur'an, Al-Aini dalam Umdah Al-Qary, dll. b.) Bunga uang dari pinjaman / simpanan yang berlaku diatas lebih buruk daripada riba yang diharamkan Allah dalam Al-Qur'an karena riba hanya dikenakan tambahan pada saat jatuh tempo. sedangkan bunga bank sudah langsung di kenakan tambahan sejak transaksi. 2. Ijma' ulama tentang asuransi bisnis yang mengharamkan, sesungguhnya Majelis Ulama Fikih pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya'ban 1398 M, di Makkah AlMukarramah di pusat Rabitha Al-Alam Al-Islami meneliti persoalan asuransi barang dagangan berdasarkan analisis sebagai berikut: Dimana memberlakuan premi tetap sebagaimana dilakukan berbagai perusahaan asuransi bisnis merupakan perjanjian usaha yang mengandung unsur "menjual kucing dalam karung" karena pihak yang akan menerima asuransi pada saat perjanjian tidak mengetahui jumlah uang yang akan dia berikan dan akan diterima. karena bisa jadi sekali, dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi, hal ini juga sangat bergantung pada perkembangan saat tanggungan itu harus dibayar penanggungan. sehingga ijma' ulama mengharamkan asuransi bisnis di konvensional. 3. Ijma' tentang keabsahan kontrak pembelian barang yang belum diolah atau diproduksi ('Aqdhul Istishna). Aturan normalnya adalah pelarangan penjualan barang yang tidak ada (nonexist). Karena adanya ketidakpastian. Tapi penjualan barang seperti ini yang tidak, yang belum ada hukumnya tidak sah karena ia belum pasti hukumnya. kesepakatan para ulama membolehkannya ditujukan untuk memperoleh jalan keluar yang mudah.

4. Ijma' ulama tentang instrument keuangan syariah SBIS dalam akad Ju'alah. Madzhab Maliki, syafi'i dan Hanbali berpendapat, bahwa Ju'alah boleh dilakukan dengan alasan: a.) Firman Allah : Penyeru-penyeru itu berkata: "kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya." QS. Yusuf: 72 b.) Dalam hadits diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau uupah dengan cara ju'alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajeking dengan cara membaca surat al-fatihah. Ketika mereka ceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah tidak halal. Rasulullah pun ternyata seraya bersabda: "tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi(yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagai."(HR. Jamaah, mayoritas ahli hadits An Nasa'i) 5. Jual beli pelelangan (muzayadah), dimana pelelangan itu, boleh berdasarkan ijma' (consensus) kaum muslimin. Pelelangan adalah penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para pembeli saling menawar dengan harga tertinggi sampai kepada batas harga tertinggi yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa mengabil barang yang dijual. 6. Jual beli Madhaamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar, sangat jelas karena jika penjual ingin menjual anak yang masih dalam perut induknya yang berarti barang belum ada, sedang si pembeli menghadapi suatu risiko antara berhasil mendapatkan anak tersebut atau tidak.

F. Contoh-contoh Ijma’ Kolektif Kontemporer dalam Muamalah Ijma’ Kolektif adalah “Usaha sungguh-sungguh sejumlah ulama dalam memahami hukum syar’i dari dalil-dalil yang mu’tabar, kemudian mereka sepakat terhadap sebuah keputusan hukum setelah terjadi dialoq di antara mereka.” Perkataan “sejumlah ulama” dalam devinisi di atas, supaya dipahami bahwa ijtihad kolektif ini tidak temasuk dalam katagori ijmak. Karena syarat ijmak sebagaimana dimaklumi dalam kajian ushul fiqh harus merupakan kesepakatan semua ulama mujtahid yang hidup pada suatu masa tanpa kecuali. Sedangkan ijtihad kolektif hanya diikuti oleh sekelompok ulama yang bisa saja dibatasi oleh letak geografi tertentu seperti Indonesia atau organisasi tertentu. Seiring perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang. Berikut adalah Ijma’ kolektif kon temporer dalam masalah Muamalah. 1. Ijma’ Ulama tentang Jual beli online Sebagaimana diputuskan oleh Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fiqih OKI) keputusan no. 52 (3/6) tahun 1990, yang berbunyi “Apabila akad terjadi antara dua orang yang berjauhan tidak berada dalam satu majlis dan pelaku transaksi, satu dengan lainnya tidak saling melihat, tidak saling mendengar rekan transaksinya, dan media antara mereka adalah tulisan atau surat atau orang suruhan, hal ini dapat diterapkan pada faksimili, teleks, dan layar komputer (internet). Maka akad berlangsung dengan sampainya ijab dan qabul kepada masing-masing pihak yang bertransaksi. Bila transaksi berlangsung dalam satu waktu sedangkan kedua belah pihak berada di tempat yang berjauhan, hal ini dapat diterapkan pada transaksi melalui telepon ataupun telepon seluler, maka ijab dan qabul yang terjadi adalah langsung seolah-olah keduanya berada dalam satu tempat.” Jadi, Transaksi seperti ini (jual beli online) mayoritas para Ulama menghalalkannya selama tidak ada unsur gharar atau ketidakjelasan, dengan memberikan spesifikasi baik berupa gambar, jenis, warna, bentuk, model dan yang mempengaruhi harga barang.

2. Ijma’ ulama tentang BIT COIN MUI memberi penjelasan, sebagai investasi Bitcoin haram, tetapi apabila digunakan sebagai alat tukar boleh. "Bitcoin hukumnya adalah mubah sebagai alat tukar bagi yang berkenan untuk menggunakannya dan mengakuinya. Namun Bitcoin sebagi investasi hukumnya adalah haram karena hanya alat sepekulasi bukan untuk investasi, hanya alat permainan untung rugi buka bisnis yang menghasilkan,"

PENUTUP 1.1 Kesimpulan Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis dalam suatu perkara yang terjadi. Dan merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadist. Syarat ijma’ yakni ijma’ harus berkaitan dengan hukum syara’ yang disepakati oleh seluruh mujtahid yang merupakan umat Nabi Muhammad SAW dan dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Adapun dalil-dalil yang mendukung pendapat jumhur ulama diantaranya yang terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 115 dan hadist-hadist nabawi yang menunjukkan kemaksuman umat Islam dari kesalahan dan kesesatan. Ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar. 3.2 Saran Penyusun mengharapkan sekali kepada para pembaca agar lebih mengkaji lebih jauh tentang masalah Ijma’ menurut para mujtahidin agar tidak terjadi kesalah pahaman para mujtahid. Dengan itu diharapkan agar pengertian Ijma’ telah disepakati oleh para ijtihad.

DAFTAR PUSTAKA Abd al-Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Cet. VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). M Jafar, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam, (Volume XIII, No. 2, 2014), Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Syafe’i, Rachmad. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2010. Syukur, Sarmin. Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993. Taqwim, Ahmad.

Related Documents


More Documents from "dazzat"