PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA
BAB I PENDAHULUAN
Keselamatan pasien di rumah sakit adalah sistem pelayanan dalam suatu RS yang memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman. Risiko terjadinya kesalahan medis yang dialami pasien di rumah sakit sangat besar. Besarnya risiko dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain lamanya pelayanan, keadaan pasien, kompetensi dokter, serta prosedur dan kelengkapan fasilitas. Kesalahan medis tersebut bisa saja terjadi pada saat komunikasi dengan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis maupun terapi dan tindak lanjut, namun bukan disebabkan oleh penyakit underlying diseases. Risiko klinis tersebut bisa berakibat cedera, kehilangan/kerusakan atau bisa juga karena faktor kebetulan atau ada tindakan dini tidak berakibat cedera. Kejadian risiko yang mengakibatkan pasien tidak aman sebagian besar dapat dicegah dengan beberapa cara. Antara lain meningkatkan kompetensi diri, kewaspadaan dini, dan komunikasi aktif dengan pasien. Salah satu yang bisa dilakukan untuk mendukung program patient safety tersebut adalah penggunaan antibiotik secara bijak dan penerapan pengendalian infeksi secara benar. Diharapkan penerapan “Program Pengendalian Resistensi Antibiotik” dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya penanganan kasus-kasus infeksi di rumah sakit serta mampu meminimalkan risiko terjadinya kesalahan medis yang dialami pasien di rumah sakit. Resistansi antibiotika telah menjadi masalah di Indonesia dengan merujuk pada Pedoman Pengendalian Resistensi Antibiotika (PPRA) yang melibatkan 20 rumah sakit pendidikan. Permenkes no. 2406/Menkes/PER.XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik dan beberapa hasil penelitian telah dilakukan antara lain Antimicrobial Resistance in: Indonesia Prevalence and Prevention (AMRIN) menyatakan bahwa Indonesia memiliki resistensi terhadap mikroba. Akibat dari resistensi antibiotika yaitu pengobatan pasien menjadi gagal atau tidak sembuh, biaya jadi meningkat karena LOS (long of stay) lebih lama dan jenis antibiotika beragam serta keberhasilan program kesehaan masyarakat dapat terganggu.
1
Badan Eksekutif WHO telah merekomendasikan untuk memasukkan resistensi antibiotika ke resolusi EB134.R13 pada World Health Assembly 2014 bulan Mei lalu, dengan penyusunan Rencana Aksi Global untuk Resistensi Antibiotika. World Health Day 2011 mengusung tema
2
Antimicrobial Resistance (AMR). Hal ini kemudian dilanjutkan oleh penandatanganan “Jaipur Declaration on Antimicrobial Resistance 2011” oleh Menteri-menteri Kesehatan dari negaranegara anggota WHO Regional Asia Tenggara. Dimana pada Deklarasi Jaipur tersebut ditekankan pentingnya pemerintah menempatkan prioritas utama untuk mempertahankan efikasi antibiotik dan menghindari resistensi antimikroba. Mengatasinya dengan melakukan rencana aksi yang melibatkan multisektor Untuk mendukung kegiatan PPRA di rumah sakit perlu kesiapan infrastruktur rumah sakit melalui kebijakan pimpinan rumah sakit yang mendukung penggunaan antibiotic secara bijak (prudent use of antibiotics), pelaksanaan pengendalian infeksi secara optimal, pelayanan mikrobiologi klinik dari pelayanan farmasi klinik seara professional. Hal ini sesuai dengan hasil rekomendasi Lokakarya Nasional Kedua ‘Staregy to Combat the Emergence and Spread of Antimikrobial Resistant Bacteria in Indonesia’ di Jakarta tanggal 6-7 Desember 2006 bahwa setiap
rumah
sakit
diharapkan
3
segera
menerapkan
PPRA.
BAB II PEMBAHASAN
A. ANTIMIKROBA Antimikroba
adalah
bahan-bahan
atau
obat-obat
yang
digunakan
untuk
memberantas/membasmi infeksi mikroba, khususnya yang merugikan manusia,terbatas yang bukan
parasit
diantaranya
antibiotika,
antiseptika,
khemoterapeutika,
preservative.
Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme, yang dalam konsentrasi kecil mempunyai kemampuan menghambat atau membunuh mikroorganisme lain. Antibiotik bersifat toksik secara selektif pada bakteri, namun tidak toksik pada sel inang (host).
Penggolongan antimikroba Berdasarkan mekanisme kerjanya 1. Bersifat sebagai antimetabolit/ penghambatan metabolisme sel. Koenzim asam folat di perlukan untuk sintesis purin dan pirimidin (prekursor DNA dan RNA) dan senyawa-senyawa lain yang dipelukan untuk pertumbuhan seluler dan replikasi. Untuk banyak mikroorganisme, asam p-amino benzoate (PABA) merupakan metabolit utama. Antimikroba seperti sulfonamide secara struktur mirip dengan PABA, asam folat, dan akan berkompetisi dengan PABA untuk membentuk asam folat, Jika senyawa antimikroba yang menang bersaing dengan PABA maka akan terbentuk asam folat
non
fungsional
yang
akan
mengganggu
kehidupan
mikroorganisme.
Contoh obat: Sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat 2. Penghambatan sintesis dinding sel Antimikroba golongan ini dapat menghambat biosintesis peptidoglikan, sintesis mukopeptida atau menghambat sintesis peptide dinding sel, sehingga dinding sel menjadi lemah dank arena tekanan turgor dari dalam, dinding sel akan pecah atau lisis sehingga bakteri akan mati. Contoh obat: penisilin, sefalosforin, sikloserin, vankomisin, basitrasin, dan antifungi gol. Azol. 3. Penghambatan fungsi permeabilitas membrane sel Antimikroba bekeja secara langsung pada membrane sel yang mempengarui permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa intraseluler mikroorganisme, sehingga sel mengalami kerusakan bahkan mati. Contoh Obat : polimiksin, nistatin, dan amfoteresin
B 4
4. Penghambatan sintesis protein yang reversible Mempengaruhi fungsi sub unit 50S dan 30S. Antimikroba akan menghambat reaksi transfer antara donor dengan aseptor atau menghambat translokasi t-RNA peptidil dari situs
aseptor
kesitus
donor
yang
menyebabkan
sitesis
protein
terhenti.
Contoh obat : kloramfenikol, gol. Tetrasiklin, eritromisin, klindamisin, dan pristinamisin 5. Pengubahan sintesis protein Berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis protein, yang pada akhirnya akan mengakibatkan kematian sel. Contoh obat : aminoglikosida 6. Penghambatan asam nukleat Antimikroba mempengaruhi metabolis asam nukleat bakteri, contoh obat : gol. Rifamisin, yang menghambat RNA polimerase , dan yang menghambat topoisomerase Contoh obat : golongan kuinolon 7. Seny. Antivirus yang terdiri beberapa gol : Analog asam nukleat, secara selektif menghambat DNA polimerase virus (asiklovir ), menghambat transkriptase balik (zidovudin) Inhibitor transkriptase balik non-nukleosida (nevirapin) Inhibitor enzim2 esensial virus lainnya, mis.inhibitor protease HIV atau neuranidase influenza.
Berdasarkan spektrumnya 1. Antibiotik dengan spektrum sempit, efektif terhadap satu jenis mikroba 2. Antibiotik dengan spektrum luas, efektif baik terhadap gram positif maupun gram negatif. Contoh obat: tetrasiklin, amfenikol, aminoglikosida, makrolida, rifampisin, turunan penisilin (ampisilin, amoksisilin, bakampisilin, karbanesilin, hetasilin, pivampisilin, sulbenisilin, dan tirkasilin), dan sebagian besar turunan sefalosporin 3. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap gram positif. Contoh obat: basitrasin, eritromisin, sebagian besar turunan penisilin sprt benzilpenisilin, penisilin G prokain, penisilin V, fenetilisin K, metisilin Na, turunan linkosamida, asam fusidat, dan beberapa turunan sefalosporin. 4. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri gram negatif. Contoh obat: kolkistin, polimiksin B sulfat, dan sulfomisin
5
5. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan thdp Mycobacteriae (antituberkulosis). Contoh obat: streptomisin, kanamisin, sikloserin, rifampisin, viomisin, dan kapreomisin 6. Antibiotik yang aktif terhadap jamur (antijamur). Contoh obat: griseofulvin, dan antibiotik polien seperti nistatin, amfoterisin B, dan kandisidin 7. Antibiotik yang aktif terhadap neoplasma (antikanker). Contoh obat: aktinomisin, bleomisin, daunorubisin, mitomisin, dan mitramisin
Berdasarkan Struktur kimianya 1. Antibiotik β-laktam 2. Turunan amfnikol 3. Turunan tetrasklin 4. Aminoglikosida 5. Makrolida 6. Polipeptida 7. Linkosamida 8. Polien 9. Ansamisin 10. Antrasiklin Berdasarkan Aksi utamanya 1. Bakteriostatik: menghambat pertumbuhan mikroba. Contoh obat : Penisilin, Aminoglikosid, Sefalosporin, Kotrimoksasol, Isoniasid, Eritromisin (kadar tinggi), Vankomisin 2. Bakterisida: membunuh / memusnahkan mikroba. Contoh obat : Tetrasiklin, Asam fusidat, Kloramfenikol, PAS, Linkomisin, Eritromisin kadar rendah), klindamisin Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisida bila
kadar
antimikroba
ditingkatkan
melebihi
KHM
dan
menjadi
KBM.
Kadar Hambat Minimal (KHM): kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan organism. Kadar Bunuh Minimal (KBM): kadar minimal yang diperlukan untuk membunuh mikroorganisme. Berdasarkan Tempat kerjanya
6
1. Dinding sel, menghambat biosintesis peptidoglikan, Contoh obat: penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, sikloserin. 2. Membran sel, fungsi dan integritas membran sel, Contoh obat: nistatin, amfoteresin, polimiksin B. 3. Asam nukleat, menghambat biosintesis DNA, mRNA, biosintesis DNA dan mRNA Contoh obat: mitomisin C, rifampisin, griseofilvin 4. Ribosom, menghambat biosintesis protein (subunit 30S prokariotik contoh: aminosiklitol, tetrasiklin, subunit 50S prokariotik contoh: amfenicol, makrolida, linkosamida.
Efek Samping Penggunaan Antimikroba 1. Reaksi Alergi: reaksi ini dapat ditimbukan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes. 2. Reaksi idiosinkrasi: gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetic terhadap pemberian antimikroba tertentu. 3. Reaksi toksik: AM pada umumnya bersifat toksik – selektif, tetapi sifat ini relative. Selain itu yang turut menentukan terjadinya reaksi toksik yaitu fungsi organ/system tertentu sehubungan dengan biotransformasi dan eksresi obat. 4. Perubahan biologik dan metabolik ; penggunaan AM, terutama yang bersepektrum luas dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan keseimbangan ekologik mikroflora normal tubuh dapat terjadi di saluran cerna, nafas kulit dan kelamin.
7
B. RESISTENSI ANTIMIKROBA Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba.
Sifat
ini merupakan
suatu
mekanisme alamiah
untuk bertahan
hidup.
Pembagian resistensi : a. Resistensi genetic 1. Mutasi spontan gen mikroba berubah karena pengaruh AM terjadi seleksi, galur resisten bermultiplikasi, yang peka terbasmi, tersisa populasi resisten 2. Resistensi dipindahkan - Transformasi - Transduksi - Konjugasi b. Resistensi silang Keadaan resistensi terhadap Antimikroba tertentu yang juga memperlihatkan resistensi terhadap Antimikroba yang lain terjadi : - antara Antimikroba dengan struktur kimia yang mirip - antara Antimikroba beda struktur tapi mekanisme kerja mirip Mekanisme resistensi : 1. Perubahan tempat kerja (target site) obat antimikroba 2. Mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk kedalam sel 3. Inaktivasi obat oleh mikroba 4. Mikroba membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh mikroba 5. Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia, yaitu Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan ExtendedSpectrum BetaLactamase (ESBL), Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii dan Multiresistant Mycobacterium tuberculosis (Guzman-Blanco et al. 2000; Stevenson et al. 2005). Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak benar di fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik 8
antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%). Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011): 1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi. 2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik. 3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri. 4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri. 5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel. Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik (µg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten. Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan beta-laktam, pertama dikenal pada Tahun 1945 dengan nama penisilinase yang ditemukan pada Staphylococcus aureus dari pasien yang mendapat pengobatan penisilin. Masalah serupa juga ditemukan pada pasien terinfeksi Escherichia coli yang mendapat terapi ampisilin (Acar and Goldstein, 1998). Resistensi terhadap golongan beta-laktam antara lain terjadi karena perubahan atau mutasi gen penyandi protein (Penicillin Binding Protein, PBP). Ikatan obat golongan beta-laktam pada PBP akan menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis. Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa terjadi dengan 2 cara, yaitu: 1) Mekanisme Selection Pressure. Jika bakteri resisten tersebut berkembang berbiak secara duplikasi setiap 20-30 menit (untuk bakteriyang berbiak cepat), maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut dipenuhi oleh bakteri resisten. Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri yang resisten maka upaya penanganan infeksi dengan antibiotik semakin sulit. 2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui plasmid. Hal ini dapat disebarkan antar kuman sekelompok maupun dari satu orang ke orang lain.
9
Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten: 1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics). 2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar (universal precaution).
10
C. PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Pengendalian Resistensi Antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten. Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA adalah komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan di masyarakat. Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global. Penggunaan antimikro khususnya antibiotik yang tidak rasional dan tidak terkendali merupakan sebab utama timbul dan menyebarnya resistensi antimikroba secara global, termasuk munculnya mikroba yang multiresisten terhadap sekelompok antibiotik terutama di lingkungan rumah sakit (health care associated infection). Malasah yang dihadapi sangat serius dan bila tidak ditanggapi secara sungguh-sungguh, akan timbul dampak yang merugikan seperti pada era preantibiotik. Organisasi kesehatan sedunia (world health organization, WHO) telah secara pro aktif menyikapi masalah ini. Berbagai upaya dan strategi telah disusun antara lain intervensi edukasi berupa edukasi formal, seminar, pelatihan, penyebaran brosur dan literatur ; intervensi managerial seperti penyusunan formularium rumah sakit, panduan/pedoman pengobatan, kebijakan penggunaan antibiotik, supervise klinik, audit medik dan sebagainya, serta intervensi regulasi di kalangan profesi medis dan paramedic seperti registrasi dan ijin praktek tenaga dokter. Semua kegiatan tersebut di atas memerlukan pendekatan multidisiplin baik dalam perencanaan maupun implementasi di lapangan agar promosi penggunaan antimikroba secara optimal dan penanggulangan infeksi dapat terwujud. Kebijakan WHO ini juga ditanggapi positif oleh pemerintah Indonesia melalui seperangkat kebijakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 8 tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit antara lain yaitu penilaian infrastruktur rumah sakit untuk mendukung Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di tingkat rumah sakit. Tugas dan fungsi Tim pelaksana PPRA antara lain: 11
1. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba 2. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan umum dan pengaduan penggunaan antibiotik di rumah sakit 3. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba 4. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba 5. Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi terintegrasi 6. Melakukan surveilens pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaanya terhadap antibiotik 7. Melakukan surveilens pola penggunaan antibiotik 8. Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang prinsip pengendalian resistensi antimikroba, pengunaan antibiotik secara bijak, dan ketaatan terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan 9. Mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi antimikroba 10. Melaporkan kegiatan program pengendalian resistensi antimikroba kepada Kepala/Direktur rumah sakit Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dibentuk melalui keputusan kepala/direktur rumah sakit. Susunan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota. Kualifikasi ketua tim PPRA merupakan seorang klinisi yang berminat di bidang infeksi. Dalam melaksanakan tugasnya, tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba bertanggung jawab langsung kepada kepala/direktur rumah sakit. Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba harus merupakan tenaga kesehatan yang kompeten. Bila dalam hal pelaksanaanya terdapat keterbatasan tenaga kesehatan yang kompeten, keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba disesuaikan dengan unsur tenaga kesehatan yang tersedia. Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba rumah sakit paling sedikit terdiri atas unsur: a. klinisi perwakilan SMF/bagian; b. keperawatan; c. instalasi farmasi; d. laboratorium mikrobiologi klinik; 12
e. komite/tim Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI); dan f. Komite/tim Farmasi dan Terapi (KFT). Evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit menggunakan metode audit kuantitas penggunaan antibiotik dan audit kualitas penggunaan antibiotik. Pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten di rumah sakit dilakukan melalui surveilans mikroba multiresisten. Evaluasi terhadap pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit dilakukan melalui: a. evaluasi penggunaan antibiotik; dan b. pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten. Indikator mutu Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit meliputi : a. Perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik b. Perbaikan kualiatas penggunaan antibiotik c. Perbaikan pola kepekaan antibiotik dan penurunan pola resistensi antimikroba d. Penurunan angka kejadian infeksi di rumah sakit yang disebabkanoleh mikroba multiresisten e. Peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin melalui forum kajian kasus infeksi terintegrasi Berdasarkan hasil penelitian tentang Implementasi Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dalam mendukung Patient Savety menunjukan bahwa Sosialisasi PPRA ternyata memberikan dampak peningkatan kesadaran klinisi untuk memeriksakan kultur, yaitu dari 29,75 % menjadi 64,56 % dan setelah ditunjang oleh kesiapan tim mikrobiologi klinik, terdapat 79,26 % hasil kultur kelompok PPRA yang dilaporkan kepada tim klinisi, penggunaan antibiotik pada kelompok pasca-sosialisasi PPRA sebesar 84% lebih banyak dibandingkan pra sosialisasi PPRA sebesar 53,12% dan hal ini karena diagnosis kasus infeksi yang disebabkan bakteri lebih banyak pada pascasosialisasi PPRA., serta sosialisasi PPRA mampu menghemat pengeluaran belanja antibiotic sebesar Rp203.000 per pasien selama rawat inap dibandingkan pra-sosialisasi PPRA. Strategi pengendalian resistensi antimikroba yaitu : a. Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent) Penggunaan antibiotik secara bijak ialah penggunaan antibiotik yang sesuai dengan penyebab infeksi dengan rejimen dosis optimal, lama pemberian optimal, efek samping 13
minimal, dan dampak minimal terhadap munculnya mikroba resisten. Oleh sebab itu pemberian antibiotik harus disertai dengan upaya menemukan penyebab infeksi dan pola kepekaannya. Penggunaan antibiotik secara bijak memerlukan kebijakan pembatasan dalam penerapannya. Antibiotik dibedakan dalam kelompok antibiotik yang bebas digunakan oleh semua klinisi (non-restricted) dan antibiotik yang dihemat dan penggunaannya memerlukan persetujuan tim ahli (restricted dan reserved). Peresepan antibiotik bertujuan mengatasi penyakit infeksi (terapi) dan mencegah infeksi pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami infeksi bekteri pada tindakan pembedahan (profilaksis bedah) dan beberapa kondisi medis tertentu (profilaksis medik). Antibiotik tidak diberikan pada penyakit non-infeksi dan penyakit infeksi yang dapat sembuh sendiri (selflimited) seperti infeksi virus. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi atau berdasarkan pola mikroba dan pola kepekaan antibiotik, dan diarahkan pada antibiotik berspektrum sempit untuk mengurangi tekanan seleksi (selection pressure). Penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas masih dibenarkan pada keadaan tertentu, selanjutnya dilakukan penyesuaian dan evaluasi setelah ada hasil pemeriksaan mikrobiologi (streamlining atau de-eskalasi). Beberapa masalah dalam pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit perlu diatasi. Misalnya, tersedianya laboratorium mikrobiologi yang memadai, komunikasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan perlu ditingkatkan. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved antibiotics). Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited). Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada: a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotik. 14
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi. c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik. d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat. e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman. Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut: a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik secara bijak. b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada laboratorium hematologi, imunologi, dan mikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi. c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi. d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team work). e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotic secara bijak yang bersifat multi disiplin. f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan. g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat. b. Kebijakan Pengguanaan Antibiotik di Rumah Sakit Pengendalian penggunaan antibiotik dalam upaya mengatasi masalah resistensi antimikroba dilakukan dengan menetapkan “Kebijakan Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit”, serta menyusun dan menerapkan “Panduan Penggunaan Antibiotik Profilaksis dan Terapi”. Dasar penyusunan kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit mengacu pada Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan Pola mikroba dan kepekaan antibiotik setempat. 1. Kebijakan Umum a. Kebijakan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin. b. Kebijakan pemberian antibiotik terapi meliputi antibiotik empirik dan definitif Terapi antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya. 15
Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya. c.
Kebijakan pemberian antibiotik profilaksis bedah meliputi antibiotic profilaksis atas indikasi operasi bersih dan bersih terkontaminasi sebagaimana tercantum dalam ketentuan yang berlaku. Antibiotik Profilaksis Bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka daerah operasi.
d. Pemberian antibiotik pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor tergolong dalam pemberian antibiotik terapi sehingga tidak perlu ditambahkan antibiotik profilaksis 2. Kebijakan Khusus a. Pengobatan awal 1) Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami infeksi bakteri diberi antibiotik empirik selama 48-72 jam. 2) Pemberian antibiotik lanjutan harus didukung data hasil pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologi. 3) Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologi. b. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan antibiotik setempat. c. Prinsip pemilihan antibiotik. 1) Pilihan pertama (first choice). 2) Pembatasan antibiotik (restricted/reserved). 3) Kelompok antibiotik profilaksis dan terapi. d. Pengendalian lama pemberian antibiotik dilakukan dengan menerapkan automatic stop order sesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yaitu profilaksis, terapi empirik, atau terapi definitif. e. Pelayanan laboratorium mikrobiologi. 1) Pelaporan pola mikroba dan kepekaan antibiotik dikeluarkan secara berkala/tahun. 2) Pelaporan hasil uji kultur dan sensitivitas harus cepat dan akurat. 3) Bila sarana pemeriksaan mikrobiologi belum lengkap, maka diupayakan adanya pemeriksaan pulasan gram dan KOH. 16
c. Pencegahan Penyebaran Mikroba Resisten Pencegahan penyebaran mikroba resisten di rumah sakit dilakukan melalui upaya Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI). Pasien yang terinfeksi atau membawa koloni mikroba resisten dapat menyebarkan mikroba tersebut ke lingkungan, sehingga perlu dilakukan upaya membatasi terjadinya transmisi mikroba tersebut, terdiri dari 4 (empat) upaya berikut ini : 1. Meningkatkan kewaspadaan standar (standard precaution), meliputi: a. kebersihan tangan b. alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face shield (pelindung wajah), dan gaun c. dekontaminasi peralatan perawatan pasien d. pengendalian lingkungan e. penatalaksanaan linen f. perlindungan petugas kesehatan g. penempatan pasien h. hygiene respirasi/etika batuk i. praktek menyuntik yang aman j. praktek yang aman untuk lumbal punksi 2. Melaksanakan kewaspadaan transmisi a. Melalui kontak b. Melalui droplet c. Melalui udara (airborne) d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan) e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus) Pada kewaspadaaan transmisi, pasien ditempatkan di ruang terpisah. Bila tidak memungkinkan, maka dilakukan cohorting yaitu merawat beberapa pasien dengan pola penyebab infeksi yang sama dalam satu ruangan. 3. Dekolonisasi Dekolonisasi adalah tindakan menghilangkan koloni mikroba multiresisten pada individu pengidap (carrier). Contoh: pemberian mupirosin topikal pada carrier MRSA.
17
4. Tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten atau MultidrugResistant Organisms (MDRO) seperti Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), bakteri penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), atau mikroba multiresisten yang lain. Apabila ditemukan mikroba multiresisten sebagai penyebab infeksi, maka laboratorium mikrobiologi segera melaporkan kepada tim PPI dan dokter penanggung jawab pasien, agar segera dilakukan tindakan untuk membatasi penyebaran strain mikroba multiresisten tersebut. Cara pengujian resistensi mikroba terhadap suatu jenis antibiotik dapat dilakukan dengan uji resistensi. Teknik ini menggunakan zat kimia untuk mengurangi dan membunuh mikroorganisme, biasa
dipakai
menentukan
terutama
mikroba
yang
patogen. Metode
yang
adalah metode Metode Kirby-Bauer yang merupakan cara untuk
sensitifitas
antibiotik untuk bakteri. Sensitifitas suatu bakteri terhadap
antibiotik ditentukan oleh diameter zona hambat terbentuk. Semakin besar diameternya maka semakin terhambat pertumbuhannya. Faktor-faktor yang berpengaruh pada metode Kirby-Bauer adalah: a. Ketebalan
media
agar:
Dapat
mempengaruhi
penyebaran
dan
difusi
antibiotik yang digunakan. b. Umur bakteri: Bakteri yang berumur tua (fase stationer) tidak efektif untuk diuji karena mendekati kematian dan tidak terjadi pertumbuhan lagi sehingga yang dipakai bekteri berumur sedang (fase eksponential) karena aktivitas metabolitnya tinggi, pertumbuhan cepat sehingga lebih peka terhadapa daya kerja obat dan hasilnya lebih akurat. c. Waktu inkubasi: Waktu yang cukup supaya bakteri dapat berkembang biak dengan optimal dan cepat. Waktunya minimal 16 jam. d. pH, temperature: Bakteri memiliki pH dan temperature optimal untuk tumbuh yang berbeda- beda sehingga sebaiknya dilakukan saat pH dan temperature yang optimal. e.
Konsentrasi antibioti: Semakin besar konsentrasinya semakin besar diameter
hambatannya.. f. Jenis antibiotic: setiap bakteri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap
antibiotiknya,
tergantung
sifat
luas/berspektrum sempit).
18
antibiotik
tersebut
(berspektrum
BAB III KESIM PULAN
Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Pengendalian Resistensi Antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten. Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA adalah komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan di masyarakat. Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global. Penggunaan antimikro khususnya antibiotik yang tidak rasional dan tidak terkendali merupakan sebab utama timbul dan menyebarnya resistensi antimikroba secara global, termasuk munculnya mikroba yang multiresisten terhadap
sekelompok
antibiotik terutama di lingkungan rumah sakit (health care
associated infection). Malasah yang dihadapi sangat serius dan bila tidak ditanggapi secara sungguh-sungguh, akan
timbul dampak
yang merugikan seperti pada era
preantibiotik. Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics) dan penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan meningkatkan ketaatan terhadap prinsip- prinsip kewaspadaan standar (universal precaution).
19
DAFTAR PUSTAKA 1. Triyono E. A, Implementasi Program Pengendalian Resistensi Antibiotik dalam Mendukung Program Patient Safety dalam Cermin Dunia Kedokteran edisi 208/ vol. 40 no. 9, th. 2013 2. Permenkes nomor 8 tahun 2015 tentang Pengendalian Resistensi Antimikrobadi Rumah Sakit 3. Permenkes nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik 4. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotika nomor : HK.03.05/III/569/11 5. Finch R. Antimicrobial therapy Principles of use. Medical Progress 2011;38:58-63 6. Satt G. antibiotics resistance. Medical Progress 2011;38:64-70 7. World health organization regional official for South East Asia Frequently. Asked question antimicrobial resistance. New Dehli
20
21