Resistensi Creative

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Resistensi Creative as PDF for free.

More details

  • Words: 2,023
  • Pages: 5
RESISTENSI KREATIF PERANAN SENI DALAM PEMBENTUKAN INDENTITAS BUDAYA KREATIF.

Berbeda dengan cara pandang teoritisi kajian budaya “Mazbab Frankfurt” serta teori postmodernisme Baudrillard seputar ketersesatan masyarakat kapitalisme mutakhir –yang beranggapan bahwa subjek berperan pasif terserap ke dalam hegemoni lubang hitam kebudayan massa sehingga ruang resistensi tidak dimungkinkan- “Mazhab Brimingham” melihat bahwa ternyata ruang resistensi masih dimungkinkan dan individu ternyata bukan semata-mata merupakan objek pasif melainkan subjek yang aktif menjalankan peran progresif dalam membentuk dan mengarahkan bangunan kebudayaanya. Secara khusus, peran ini diemban oleh individu kreatif yang dapat keluar dari hegemoni budaya arus utama di jamannya melalui suatu ruang resistensi dalam bentuk budaya tandingan yang memfasilitasi kehadiran ide-ide kritis sehingga tercipta suatu counter hegemoni cultural sesuai dengan apa yang di gagas oleh Gramsci tentang tindakan praxsis menuju transformasi sosial. Gramsci sendiri adalah seorang revisionis pemikiran Marx yang pisau analisanya masih kerap dipakai hingga saat ini karena teori-teorinya tentang masyarakat sipil masih sejalan dan dapat dimasukan ke dalam bingkai demokrasi. Dalam realitanya kini, ikhtiar teoretis di atas nampaknya memang dimungkinkan dan tengah terjadi di antara kita. Harus kita akui bahwa perkembangan teknologi informasi yang bergerak begitu cepat melalui media internet dewasa ini, telah memulai babak baru dari suatu bentuk interdependesi jejaring informasi yang terjadi dalam skala global. Akibat dari interdependensi tersebut, kini kita secara mudah dapat mengakses informasi melalui jejaring dunia maya yang tak berujung di internet. Hasilnya, individu kini dapat menyaring, mencari dan memilah begitu banyak asupan informasi sesuai dengan hasrat mereka masing-masing tanpa harus disuapi seperti yang terjadi ketika kita mendapatkan informasi melalui media satu arah macam TV. Pada akhirnya kelahiran media baru internet yang memungkinkan partisipasi aktif setiap penggunanya ini, pada tahapan selanjutnya, secara tidak langsung telah menjadi rahim bagi kelahiran spesies mutan-mutan anak jaman penghamba nilai-nilai kemanusiaan baru dan kesenian sebagai muara akhir proses pencarian tanpa akhir mereka terhadap identitas. Kelahiran generasi muda baru yang terlahir oleh hasil hibridisasi arus informasi internet penghamba berbagai hal “keren” ini kemudian memiliki karakter yang cenderung untuk kritis memaknai identitas personalnya dan senantiasa resisten terhadap hegemoni budaya arus utama. Hegemoni Budaya Pop Global. Individu yang dibentuk melaui media parsipatori dalam dunia internet yang memerlukan partisipasi aktif penggunanya, tentu akan sangat berbeda dengan individu yang terbentuk oleh indoktrinasi media satu arah macam televisi. Harus kita akui bersama bahwa TV merupakan suatu mesin propaganda dunia modern terampuh di dalam abad 21 ini. Hal ini di

sebabkan karena TV, sebagai bentuk media informasi dan hiburan yang hadir hampir di setiap ruang tengah setiap keluarga modern, mempunyai kekuatan untuk membentuk pola pikir para pemirsanya bagai lempung tanah liat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh industri media, korporasi dan pemerintah sehingga control elit terhadap publik dapat dijalankan secara efektif dan efisien bagai mengembalakan hewan ternak. Hal ini juga senada dengan kritik yang di layangkan oleh Noam Chomsky tentang media arus utama di Amerika. Noam Chomsky sebagai kritikus media terbesar di Amerika dan seorang professor linguistik Yahudi, secara intens melancarkan kritik-kritik pedas terhadap korporasi global media Amerika yang beroperasi secara menggurita di seluruh dunia. Istilah bombastis yang sering digunakan Chomsky adalah “Thoughts Control in A Democratic Society”. Dengan istilah ini Chomsky menjelaskan bagaimana sistem propaganda dijalankan di Amerika dengan suatu sistem serba efisien yang berisi 5 sistematika saringan berita(News Filters) yang menjamin berita akan selalu bias sesuai dengan perspektif yang ingin dibentuk para elit untuk rakyatnya. Dalam salah satu buku nya “The Necessary Illusions”, Chomsky membeberkan bagaimana control pemikiran dan propaganda diterapkan di dalam media TV untuk memberikan semacam “ilusi demokrasi”. Hal itu diperlukan sebagai alat untuk melanggengkan control elite dan korporasi agar rakyat tetap di dalam pengaruhnya sehingga menjadi konstituen yang patuh serta konsumen yang setia untuk bergaya hidup tertentu, mempunyai sistem nilai tertentu yang sejalan dengan agenda penguasa. Patut diketahui bahwa saham kepemilikan Korporasi media di Amerika ternyata hanya terpusat di segelintir elit yang secara kebetulan juga memiliki berbagai korporasi yang menggurita di setiap sektor penting yang menyangkut hajat hidup mayoritas rakyat di Amerika. Hal ini menyebabkan media besar seperti TV di Amerika pada akhirnya hanya menjadi “Public relations” bagi kepentingan segelintir elit yang secara otomatis menguasai Amerika dan dunia saat ini. Melalui TV para elit ini kemudian mempunyai kekuatan untuk membentuk persepsi khalayak umum mengenai realitas dan membentuk cetakan bangunan kebudayaan pop global yang berasaskan dekandensi moral, mediokrasi serta pemenuhan nafsu-nafsu materialistic yang sifatnya “menjual”. Akhirnya kebudayaan pop menjadi tempat yang hanya menjual budaya-budaya rendahan yang efektif serta efisien untuk dijual ke pasaran. Hasilnya adalah berupa paket kebudayaan instant serba dekaden yang siap di import ke seluruh dunia. Inilah sekelumit sisi gelap dari kemilau kebudayaan kapitalisme mutakhir yang tanpa di sadari telah mengkonstruksi kehidupan kita sehari-hari. Kondisi ini tentu masih jauh berbeda dengan realita TV di Indonesia yang kepemilikannya belum jatuh kepada segelintir elit sehingga menjadi suatu alat propaganda seperti apa yang terjadi di Amerika. Tapi meskipun demikian mengingat bahwa TV merupakan media strategis yang paling banyak di akses rakyat di Indonesia sehingga dapat menjadi alat propaganda ampuh, maka kita sudah sepatutnya berhati-hati dan selalu kritis memaknai apa yang kita lihat seharai-hari di layer kaca kita. Namun kini dengan adanya media alternative dan generasi baru hasil bentukan media arus bawah yang lebih demokratis, maka akan lahir sebuah fajar baru harapan dan optimisme yang akan bersuara lantang terhadap

tantangan akhir jaman yang di hadapi dunia saat ini seperti ; krisis ekonomi, fenomena pemanasan global, potensi bahaya rawan pangan, kemiskinan spiritual dan struktural, dekadensi moral dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di berbagai belahan dunia sebagai konsekuensi logis dari keserakahan fenomena globalisasi dengan kembali mengumandangkan nilainilai kemanusiaan universal yang selama ini terinjak-injak. Melalui pemahaman nilai-nilai kemanusiaan yang moderat dan selalu terperbaharui maka diharapkan kita dapat terbebas dari “Thoughts Control in A Democratic Society”, dan hiperalitas oleh media arus utama. Hal ini disebabkan karena suatu pemahaman kritis yang mengacu kepada pemahaman seni tidak berkepentingan dan hanya akan melayani dan mendekati kebenaran yang senantiasa berdialektika.

Peran Keseninan Dalam Membentuk Identitas Budaya Kreatif Sebagai Budaya Tandingan Melawan Hegemoni Budaya Pop Global. Ketika jurnalisme di bungkam maka sastra ataupun seni harus berbicara. Hal tersebut merupakan ucapan pembuka yang di utarakan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu esianya yang berjudul serupa. Melihat kenyataan terhadap apa yang telah di paparkan di atas seputar bias media arus utama karena dikuasai sebagai alat propaganda untuk segelintir elit dan pihak industri sehingga kehilangan objektifitasnya, maka anjuran bahwa sastra ataupun seni harus berbicara memperlihatkan urgensinya untuk kasus ini. Untuk menjadi semacam nurani ketika media arus utama terikat oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik sehingga mengalami kendala untuk menghantarkan kebenaran. Peran sentral dan strategis dari seni sebagai kendaraan untuk mengadvokasi kritik terhadap kebudayaan kontemporer merupakan satusatunya cara dalam membentuk suatu tradisi kritik kebudayaan yang resisten terhadap budaya dominan melalui suatu bentuk seni yang merdeka dan hanya berpretensi mengusung kebenaran dan kejujuran dalam karyanya yang di usung oleh para seniman pecinta kebijaksanaan dan keindahan. Hal ini kemudian dapat menciptakan suatu bentuk budaya tandingan yang beroposisi langsung terhadap budaya visual utama saat ini yang notabene merupakan jantung dari kebudayaan kapitalisme mutakhir dan merupakan elemen utama pembentuk persepsi kita terhadap realitas melalui iklan. Di saat setiap lini kehidupan sudah terkooptasi oleh berbagai kepentingan yang hanya berhenti di materi, maka seni harus dapat menjadi rumah terakhir bagi partikel bebas manusia postmodern penghamba keseninan, keberanian dan kebenaran untuk mengembangankan narasi nya sendiri melalui karya dan ruang alternative dengan pembacaan yang baik terhadap apa yang terjadi di lingkup cultural nya. Seorang garda depan budaya kini harus tetap mampu menyuarakan gerakan anti pelembagaan dan anti modernisme dalam seni , dengan menengahi , turun ke bawah dan menjadi semacam pelita yang menerangi dalam budaya creative yang sedang berkembang di Bandung secara khusus, untuk mengarahkan nya sehingga terbentuk wajah budaya creative yang murni lahir dari perjuangan wacana-wacana kritis yang terus menerus

memperbaharui dirinya sesuai dengan apa yang sedang actual terjadi dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hal ini usaha yang di lakukan tidak harus membentuk suatu wacana yang bersifat konfrotatif total terhadap kebudayaan konsumerisme tetapi lebih ke sekedar penciptaan identitas yang tidak pretensius dan relevan dengan konteks kebudayaan massa dan sesuai dengan dinamika culture lokal. Dalam level ini, seni berperan sebagai tempat dimana gerakan counter hegemoni berperang memperebutkan posisi ,dengan berbagai narasi ideal nya untuk saling berkompetisi secara sehat memperjuangkan utopia dan idelaismenya agar menjadi cetak biru bak mercusuar yang menerangi berjalan nya budaya kreatif di bandung secara khusus dan di Indonesia pada umumnya. Pada perkembangan selanjutnya, resistensi kreatif ini kemudian dapat menjadi bagian integral dari semua aspek budaya kreatif melalui suatu bentuk pengadopsian sebagai refrensi trend visual aplikatif yang Hip oleh para seniman terapan. Dengan cara-cara tersebut esensi budaya tandingan akan kembali tersulut sebagai kritik terhadap budaya Pop global. Dalam perkembangannya di level global, resistensi kreatif yang matang sudah bermula di budaya barat sebagai jawaban mereka terhadap stagansi dari kebudayaan pop global. bebas yang di bentuk oleh korporasi internasional dan jaringan media global. Salah satu contoh bentuk resistensi kreatif dalam dunia film adalah film yang di buat oleh Michael Moore dengan agenda kritisisme tentang demokrasi atau film yang telah membukakan mata masyarakat global terhadap bahaya Global Warming “the Inconvenient Truth” yang di bawakan oleh Al Gore. Film-film ini adalah sebuah awal dari social movement yang lebih besar yang menjadi penyemaian kesadaran kritis kepada rakyat global dalam satu pesawat universal atas nama kemanusiaan. Propaganda dan penciptaan kesadaran kritis ini di semai melalui channel soft politics budaya waktu luang yang bersifat ringan tetapi tetap memungkinkan adanya transfer nilai untuk transformasi social menuju ke arah yang lebih baik. Selain itu di ranah budaya creative lain di dunia Barat bermunculan juga suara-suara kritis dalam berbagai produk kebudayaan kreatif seperti Music, Literasi dan berbagai eksponen budaya kreatif lainnya. Akhirnya, jika proses reintegrasi antara seni dengan kebudayaan nya dapat berjalan, maka dunia senirupa di Bandung secara khusus akan menjadi semakin semarak dan tidak statis terjebak dalam lingkaran elitis industri senirupa kontemporer. Nampaknya itulah missing link yang harus kita satukan kembali untuk menciptakan wajah kebudayaan yang lebih authentic. Kebudayaan postmodern lahir sebagai pengganti ketika narasi besar di coba untuk diruntuhkan dan kemudian digantikan oleh kemunculan narasi-narasi kecil termarginalkan yang saling berkompetisi untuk merebut pasar dan kemudian menjadi menjadi narasi popular untuk mengarahkan dan menjadi nyawa bagi kebudayaan creative. Untuk menjadikan seni kontemporer sebagai rumah bagi generasi kritis baru sehingga dapat mengusung suatu pergerakan yang konspetual serta kontesktual dengan budayanya, maka diperlukan suatu manifesto semangat jaman baru yang khas untuk membakar dada mereka, seperti semangat jaman yang di usung, di gembar-gemborkan dan di amini oleh figure penting seni rupa modern Indonesia S Sudjoyono dalam esai fenomenalnya “Senirupa Sekarang dan yang Akan Datang” yang kemudian

menjadi nyawa senirupa pergerakan di masa awal revolusi Indonesia. jika dahulu S.Sudjoyono membakar semangat para seniman untuk keluar dari arus utama kesenian penjajah dan mengembangkan gaya kesenian sendiri dengan cara berbicara jujur seputar realitas social Indonesia melalui karyakarya lukis saat itu, maka kali ini semangat tersebut juga dapat di aplikasikan oleh para perupa kontemporer dengan semangat yang cenderung sama dengan isu-isu baru. Inti pemikiran sudjoyono yang masih cukup relevan adalah semangatnya untuk keluar dari kungkungan jaman sebagai seorang” Uber menchs” untuk mengusung kebenaran dan keberanian dalam berkarya sehingga dapat terbang bagai garuda untuk menghampiri dewi kesenian atas nama kebenaran dan kembali berkata cukup, cukup, cukup Bayu Laksmono Adalah seorang Cyber Bohemian lulusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNPAR kini aktif di RumahBuku 25 % persen di konsumsi oleh 5 persen penduduk gurita ¾ miskin 24000 kelaparan 30000 mati karma penyakit 1% dari 5 persen menguasai 25% recouces tersebut Elit penguasa yang menguasai media dan korporasi

But the last two decades have seen unprecedented corporate media consolidation. The U.S. media was already fairly homogeneous in the early 1980s: some fifty media conglomerates dominated all media outlets, including television, radio, newspapers, magazines, music, publishing and film. In the year 2000, just six corporations dominated the U.S. media. In addition, corporate media outlets in the U.S. are legally responsible to their shareholders to maximize profits. And U.S. “public” media outlets accept funding from major corporations, as well as from the Corporation for Public Broadcasting, which has attempted in the past to exert political and editorial influence on public news producers. Democracy Now! is funded entirely through contributions from listeners, viewers, and foundations. We do not accept advertisers, corporate underwriting, or government funding. This allows us to maintain our independence.

Related Documents

Resistensi Creative
June 2020 5
Resistensi Obat.docx
June 2020 8
Creative
November 2019 43
Creative
December 2019 37
Creative
May 2020 24