A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki berbagai sumber daya mineral. Di samping potensi cadangannya cukup besar juga karena kualitasnya sangat baik sehingga menjadi incaran para investor dari luar negeri. Selain itu, jenis mineral yang dimiliki ternyata sangat bermanfaat bagi industriindustri manufaktur, bernilai ekonomi tinggi, dan memiliki keterkaitan hulu dan hilir yang tinggi bagi sektor perekonomian lainnya. Beberapa di antaranya adalah tembaga emas, perak, timah, bauksit, nikel dan pasir besi. Hampir seluruh potensi tersebut sudah diusahakan/dieksploitasi baik oleh perusahaan pemerintah, swasta nasional, maupun internasional, karena jenis-jenis tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi. Pembentukan endapan emas di Indonesia terkait dengan aktivitas hidrotermal, yaitu berupa cairan panas dari sisa magma atau cairan panas yang berasal dari air tanah yang terpanasi oleh magma. Aktivitas magmatik sebagai sumber panas untuk menghasilkan fluida hidrotermal merupakan pengontrol utama terbentuknya deposit emas. Hidrotermal sebagai media pembentukan deposit emas, terbentuk pada jalur gunung api aktif maupun jalur gunung api yang sudah tidak aktif, melintasi hampir sebagian besar wilayah kepulauan Indonesia yang berupa jalur magmatik, sebagai daratan membentang sepanjang 15 ribu km. Sepanjang jalur tersebut emas berpotensi terbentuk. Aktivitas magmatik selain membentuk deposit emas, hidrotermal yang terperangkap di bawah lapisan tudung (cap rock) juga merupakan sumber energi panas bumi. Emas dalam bentuk cebakan di alam dijumpai dalam dua tipe, yaitu cebakan emas primer dan emas sekunder. Cebakan emas primer umumnya terbentuk oleh aktivitas hidrotermal, yang membentuk tubuh bijih dengan kandungan utama silika. Cebakan emas primer mempunyai bentuk sebaran berupa urat atau dalam bentuk tersebar pada batuan. Aktivitas hidrotermal menghasilkan cebakan emas dengan komponen utama silika, terdiri dari dua tipe, yaitu tipe tersebar mengisi pori batuan atau replacement batuan samping dan tipe mengisi celah dari kekar atau sesar. Tipe tersebar umumnya mempunyai kadar relatif rendah namun dapat dijumpai berupa tubuh bijih yang sangat besar. Cebakan mengisi celah membentuk bijih emas urat kuarsa/silika. Lingkungan
pembentukan emas pada daerah endapan mata air panas, lingkungan epitermal, sampai dengan mesotermal. Sebagai hostrock tempat bersarangnya bijih emas berupa batuan samping ataupun tubuh batuan magmatik yang sekaligus sebagai sumber panas. Emas banyak digunakan sebagai barang perhiasan dan cadangan devisa. Potensi endapan emas terdapat di hampir setiap daerah di Indonesia, seperti di Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. (Setiabudi, 2005).
B. SEJARAH PENAMBANGAN EMAS DI INDONESIA Penambangan emas di Indonesia telah dimulai sejak lebih dari seribu tahun lalu dengan kedatangan imigran dari Cina yang menambang emas di beberapa wilayah, dilanjutkan pada Jaman Hindu, pendudukan Belanda dan Jepang. Selama zaman kolonial Belanda (1600-1942) perkembangan penambangan emas sangat terbatas. Beberapa cadangan bijih emas yang ditemukan pada periode ini di daerah Lebong, yaitu Lebong Donok dan Lebong Tandai, Provinsi Bengkulu. Penemuan cebakan emas lainnya yaitu di daerah Banten Selatan yang dikenal sebagai tambang emas Cikotok milik PT Aneka Tambang. Disamping itu pula terdapat penemuan-penemuan cebakan emas lainnya dalam jumlah yang relatif kecil. Pada tahun 1939, produksi logam emas total tercatat sebesar 2,5 ton, yang setengahnya berasal dari Lebong Tandai. Selama Perang Dunia II, semua tambang emas tersebut ditutup dan sesudah perang hanya beberapa tambang yang dibuka kembali termasuk Tambang Emas Cikotok. Produksi emas sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai pertengahan tahun 1980-an tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Produksi total yang tercatat pada tahun 1985 berjumlah sekitar 2,6 ton, dengan lebih dari 90% dari jumlah tersebut merupakan produk sampingan konsentrat tembaga yang dihasilkan PT Freeport Indonesia di Papua (dahulu Irian Jaya), sedangkan sisanya berasal dari produksi PT Aneka Tambang di Cikotok.
C. SEJARAH PENAMBANGAN EMAS DI PT. ANEKA TAMBANG DI CIKOTOK, JAWA BARAT Cikotok merupakan sebuah desa kecil di kecamatan Bayah, Lebak Selatan, atau kurang lebih 130 km di Selatan Rangkasbitung, Banten. Ini adalah tambang emas pertama Antam. Direktur Umum dan CSR Antam I Made Surata mengatakan pertambangan emas Cikotok menjadi salah satu bagian dalam sejarah bangsa Indonesia saat dikuasai oleh Belanda pada 1936 hingga akhirnya menjadi perusahaan negara pada 1960. Setelah itu, barulah pertambangan tersebut menjadi bagian dari Antam pada 1968. "Setelah lebih dari 40 tahun, Antam melaksanakan proses pengakhiran tambang Cikotok sebagai bagian dari implementasi praktik penambangan yang baik," ujarnya dalam seremoni pengakhiran pertambangan emas Cikotok di Kabupaten Lebak, Kamis (21/1/2016). Tambang emas Cikotok merupakan salah satu dari tujuh badan atau perusahaan yang merjer saat pembentukan Antam pada 5 Juli 1968.Adapun pertambangan tersebut mulai memasuki fase pascatambang pada 2008 dan mengakhiri kegiatannya pada bulan ini setelah mendapat persetujuan dari Bupati Banten pada 11 Desember 2015.
Gambar. Penyebaran Emas Di Pt. Aneka Tambang Di Cikotok
D. TEKTONIK PADA DAERAH JAWA BARAT (PT ANEKA TAMBANG DI CIKOTOK)
Van Bammelen beranggapan bahwa secara fisiografis daerah Banten sangat mendekati sifat-sifat pulau Sumatera, apabila dibandungkan dengan bagian sebelah timurnya. Kecuali beberapa kemiripan bentuk-bentuk morfologinya, juga adanya produk vulkanisme yang banyak tufa asam, seperti halnya tufa lempung yang asam. 1. Pola Struktur Berdasarkan data gayaberat,seismic, citra Landsat/foto udara pengamatan di lapangan, di Jawa Barat ini dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: o Arah baratlaut-tenggara o Tmur-barat o Utara-selatan (dominan) Namun berdasarkan citra Landsat dan sebaran episentrum gempa, ada satu lagi yaitu arah timurlaut-baratdaya yang menonjol di sudut baratdaya Pulau Jawa (Cimandiri/Sukabumi). Pola baratlaut-tenggara hanya dapat direkam dengan gayaberat, yang berarti letaknya dalam dan mungkin hingga batuan dasar. Pola sesar ditafsirkan sebagai kelanjuttan tektonik tua Sumatra. Pola berarah barat-timur umumnya berupa sesar naik ke arah utara dan melibatkan sedimen Tersier. Sedangkan yang berarah utara-selatan di bagian
Utara Jawa, dari data seismic Nampak memotong batuan Tersier, ternyata juga mengontrol bedrock. Memisahkan segmen Banten dari bogor dan pegunungan selatan. 2. Satuan-satuan Tektonik Batuan tertua tersingkap di Jawa Barat adalah batuan berumur eosen awal di Ciletuh yang berupa olisostrom. Satuan ini berhubungan secara tektonis dengan batuan ofiolit yang mengalami breksiasi dan serpentinisasi pada jalur-jalur kontaknya. Batuan ofiolit tersebut ditafsirkan merupakan bagian dari melange yang mendasari olisostrom yang berumur eosen awal. Dengan demikian maka satuan tektonik tertua di Jawa Barat adalah jalur subduksi Pra eosen. Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma tersier. Sepanjang jalur pantai selatan pulau Jawa, terdapat kumpulan batuan vulkanik yang dinamakan formasi Andesit tua “old andesite formation” yang berumur oligosen-miosen awal. Di Jabar, bagian dari formasi ini disebut formasi Jampang. Ciri-ciri batuannya merupakan endapan aliran gravitasi seperti lava dan kadang-kadang memperlihatkan struktur bantal. Penelitia terhadap sebaran dan umur batuan vulkanik Tersier lainnya di Jawa Barat, ternyata Jalur Magma Tersier jauh lebih luas lagi, yaitu hamper meliputi seluruh bagian tenggara Jawa Barat. Dengan demikian terdapat kemungkinan bahwa kegiatan vulkanik selama Tersier ini bermula di Selatan Jawa (miosen awal) dan kemudian secara berangsur bergeser ke utara. Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma atau vulkanik kwarter , menempati bagian tengah Jawa Barat atau dapat juga dikatakan berlawanan dengan Jalur Magmatik Tersier muda 3. Mandala Sedimentasi Didasarkan pada mayoritas cirri sedimen, Soedjono (1984) membagi daerah Jabar menjadi 3 mandala sedimentasi, yaitu mandala paparan kontinen yang terletak di utara, diikuti oleh Mandala Cekungan Bogor di bagian tengah, dan ke arah barat terdapat mandala Banten. Mandala paparan kontinen bertepatan dengan zona stratigrafi dataran pantai utaranya Van Bemmelem. Dicirikan oleh pola pengendapan paparan, umumnya terdiri dari endapan gamping,
lempung dan pasir kwarsa serta lingkungan pengendapannya dangkal. Kedalamannya mencapai lebih dari 5000m.Mandala Cekungan Bogor meliputi beberapa zona fisiografi Van Bemmelem (1949), yakni Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala Sedimentasi ini dicirikan oleh endapan “aliran gravitasi” yang sebagian besar terdiri dari fragmen batuan beku dan sedimen, seperti andesit,tufa dan gamping. Ketebalannya mencapai 7000m. Mandala sedimentasi Banten mempunyai cirri-ciri yang serupa dengan Mandala Bogor dan Paparan Kontinen.
E. VULKANISME DAN MAGMATISME PADA PULAU JAWA Posisi pulau Jawa dalam kerangka tektonik terletak pada batas aktif (zona penunjaman) sementara berdasarkan konfigurasi penunjamannya terletak pada jarak kedalaman 100 km di selatan hingga 400 km di utara zona Benioff. Konfigurasi memberikan empat pola busur atau jalur magmatisme, yang terbentuk sebagai formasi-formasibatuan beku dan volkanik. Empat jalur magmatisme tersebut menurut Soeria Atmadja dkk., 1991 adalah : 1. Jalur volkanisme Eosen hingga Miosen Tengah, terwujud sebagai Zona Pegunungan Selatan. 2. Jalur volkanisme Miosen Atas hingga Pliosen. Terletak di sebelah utara jalur Pegnungan Selatan. Berupa intrusi lava dan batuan beku. 3. Jalur volkanisme Kuarter Busur Samudera yang terdiri dari sederetan gunungapi aktif. 4. Jalur volkanisme Kuarter Busur Belakang, jalur ini ditempati oleh sejumlah gunungapi yang berumur Kuarter yang terletak di belakang busur volkanik aktif sekarang.
Magmatisme Pra Tersier Batuan Pra-Tersier di pulau Jawa hanya tersingkap di Ciletuh, Karang Sambung dan Bayat. Dari ketiga tempat tersebut, batuan yang dapat dijumpai umumnya batuan beku dan batuan metamorf. Sementara itu, batuan yang menunjukkan aktifitas magmatisme terdiri atas batuan asal kerak samudra
seperti, peridotite, gabbro, diabase, basalt toleit. Batuan-batuan ini sebagian telah menjadi batuan metamorf.
Magmatisme Eosen Data-data yang menunjukkan adanya aktifitas magmatisme pada Eosen ialah adanya Formasi Jatibarang di bagian utara Jawa Barat, dike basaltik yang memotong Formasi Karang Sambung di daerah Kebumen Utara, batuan berumur Eosen di Bayat dan lava bantal basaltik di sungai Grindulu Pacitan. Formasi Jatibarang merupakan batuan volkanik yang dapat dijumpai di setiap sumur pemboran. Ketebalan Formasi Jatibarang kurang lebih 1200 meter. Sementara di daerah Jawa Tengah dapat ditemui di Gunung Bujil yang berupa dike basaltik yang memotong Formasi Karang Sambung, di Bayat dapat ditemui di kompleks Perbukitan Jiwo berupa dike basaltik dan stok gabroik yang memotong sekis kristalin dan Formasi Gamping-Wungkal.
Magmatisme Oligosen-Miosen Tengah Pulau Jawa terentuk oleh rangkaian gunungapi yang berumur Oligosen-Miosen Tengah dan Pliosen-Kuarter. Batuan penyusun terdiri atas batuan volkanik berupa breksi piroklastik,breksi laharik, lava, batupasir volkanik tufa yang terendapkan dalam lingkungan darat dan laut. Pembentukan deretan gunungapi berkaitan erat dengan penunjaman lempeng samudra Hindia pada akhir Paleogen. Menurut Van Bemmelen (1970) salah satu produk aktivitas volkanik saat itu adalah Formasi Andesit Tua.
Magmatisme Miosen Atas-Pliosen Posisi jalus magmatisme pada periode ini berada di sebelah utara jalur magmatisme periode Oligosen-Miosen Tengah. Pada periode in aktivitas magmatisme tidak terekspresikan dalam bentuk munculnya gunungapi, tetapi berupa intrusi-intrusi seperti dike, sill dan volkanik neck. Batuannya berkomposisi andesitik.
Magmatisme Kuarter Pada periode aktifitas kuarter ini magmatisme muncul sebagai kerucutkerucut gunungapi. Ada dua jalur rangkaian gunungapi yaitu : jalur utama terletak di tengah pulau Jawa atau pada jalur utama dan jalur belakang busur. Gunungapi pada jalur utama ersusun oleh batuan volkanik tipe toleitik, kalk alkali dan kalk alkali kaya potasium. Sedangkan batuan volkanik yan terletak di belakan
busur utama berkomposisi shoshonitik dan ultra potasik dengan
kandungan leusit.
Magmatisme Belakang Busur Gunung Ungaran merupakan magmatisme belakang busur yang terletak di Kota Ungaran, Jawa Tengah dengan ketinggian sekitar 2050 meter di atas permukaan laut. Secara geologis, Gunung Ungaran terletak di atas batuan yan tergabung dalam Formasi batuan tersier dalam Cekungan Serayu Utara di bagian barat dan Cekungan Kendeng di bagian utara-timur. Gunung Ungaran merupakan rangkaian paling utara dari deretan gunungapi (volcanic lineament) Gunung Merapi-Gunung Merbabu-Gunung Ungaran. Beberapa
peneliti
menyatakan bahwa fenomena itu berkaitan dengan adanya patahan besar yan berarah utara-selatan. Komposisi batuan yang terdapat di Gunung Ungaran cukup bervariasi, terdiri dari basal yang mengandung olivin, andesit piroksen, andesit hornblende dan dijumpai juga gabro. Pada perkembangannya, Gunung Ungaran mengalami dua kali pertumbuhan, mulanya menghasilkan batuan volkanik tipe basalt andesit pada kala Pleistosen Bawah. Perkembangan selanjutnya pada Kala Pleistosen Tengah berubah menjadi cenderung bersifat andesit untuk kemudian roboh. Pertumbuhan kedua mulai lagi pada Kala Pleistosen Atas dan Holosen yang menghasilkan Gunung Ungaran kedua dan ketiga. Saat ini Gunung Ungaran dalam kondisi dormant.
F. DEPOSIT MINERAL 13 jenis potensi mineral prospektif di jawa tengah
Diorit
Marmer
Trass
Feldspar
Phospat
Ballclay
Batu kapur
Kaolin
Bentonit
Pasir kuarsa
Andesit
Tanahliat
Pasir besi
Mineral – mineral tersebut tersebar di :
Kawasan pertambangan mineral logam, bukan logam, batuan dan batubara, sebagaimana diatur dalam Perda Prov. Jateng No.5 Tahun 2006 tentang RT RW Prov. Jateng 2009-2029 (Pasal 79 huruf a), terletak di :
Kawasan Majenang-Bantar kawung di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Brebes ;
Kawasan Serayu- Pantai Selatan di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo;
Kawasan Gunung Slamet terletak di Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes;
Kawasan Sumbing - Sindoro-Dieng di Kabupaten Bajarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang,Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang;
Kawasan Merapi- Merbabu- Ungaran di Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Semarang dan KotaSalatiga;
Kawasan Gunung Muria di Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, dan Kabupaten Jepara;
Kawasan Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Kudus ;
Kawasan Kendeng Selatan di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan,dan sedikit wilayah Kabupaten Blora.
Kawasan Gunung Lawu di Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Sragen ;
Kawasan Pegunungan Selatan di Kabupaten Wonogiri;
Kawasan Serayu– Pantai Utara di Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes
G. TIPE MINERALISASI YANG HADIR Alterasi dan mineralisasi yang
berkembang di daerah penelitian
mempunyai intensitas lemah hingga sedang. Alterasi lemah diindikasikan oleh munculnya mineral sulfida serta ubahan mineral lain dalam jumlah sedikit (<25%). Sedangkan alterasi menengah diindikasikan olehmunculnya zona alterasi silisifikasi hingga argilik yang diikuti oleh mineralisasi logam mulia, logam dasar dan sulfida, dengan volume mineral sekunder berkisar 25-75 %. Zona alterasi dengan intensitas menengah muncul pada lokasi LP 7, 8, 9, 10 di sekitarPlampang, Kokap serta lokasi LP 24 dan 25 di Desa Sumorejo, Bagelen. Alterasi silisifikasi ditandai dengan munculnya urat dan stockwork silika-kuarsa yang diikuti oleh mineralisasi logam mulia (Au), barit dan sulfida serta lempung argilik di sekitarnya. Pembentukan urat silika-kuarsa yang diikuti mineralisasi Au umumnya mempunyai arah Timur Laut - Barat Daya dengan arah antara N 212 0E hingga N 230 E. Zona alterasi dan mineralisasi juga terdapat di sekitar intrusi dasit Gunung Curug. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, analisis petrografi, analisis XRD, analisis kimia mineral dan inklusi fluida maka dapat disusun tabel asosiasi mineral pada zone alterasi serta stabilitas mineral pada berbagai suhu pembentukan. Berdasarkan data lapangan, dijumpai adanya mineral barit yang berasosiasi dengan silika-kuarsa. Barit merupakan mineral dengan stabilitas suhu antara 40 – 2500C, namun dengan dijumpainya struktur bladed, maka indikasi pembentukan mineral terjadi pada suhu dibawah boiling level (< 2300C). Data XRD lempung hasil alterasi disekitar urat kuarsa dijumpai adanya muskovit, kuarsa dan pirit yang mengindikasikan bahwa proses alterasi pembentukan lempung terjadi pada suhu tinggi antara 280-3400C (Morisson, 1977). Hal ini diperkuat dengan data petrografi dengan dijumpainya serisit dalam jumlah banyak sebagai hasil ubahan mineral plagioklas pada batuan andesit teralterasi.Sedangkan berdasarkan data mikrotermometri inklusi fluida maka dapat dibuat histogram suhu peleburan dan homogenisasi (Gambar 11). Suhu peleburan berkisar -2,1 s/d – 1,80C.
DAFTAR PUSTAKA 1. Asikin, Sukendar. Geologi Struktur Indonesia. Bandung. ITB Press 2. Simandjuntak.
2004.
Tektonika.
Bandung.
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan Geologi bandung 3. Data Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Koleksi Foto Pusat Sumberdaya Geologi. 4. Achnan, K., Bronto, S. dan Kartawa, W., 2004. Analisis struktur geologi daerah Cupunagara dan sekitarnya, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Publikasi Khusus, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, no. 29, 13. 5. Sunardi, E. and Koesoemadinata, R.P.,1999. New K-Ar Ages and The Magmatic Evolution of the Sunda-Tangkuban Perahu Volcano Complex Formations, West Java, Indonesia. Proceedings of the 28th Annual Convention, IAGI, Jakarta, h.63-71. 6. Rohandi, U dan Gunawan, W., 1990. Peta Anomali Bouger Lembar Jampang, Jawa Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. 7. Rohandi, U dan Sani, M., 1990. Peta Anomali Bouger Lembar Bogor, Jawa Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. 8. Bahagiarti K., S. dan Murwanto, H., 1994, Penentuan tektonogenesis komplek bancuh Karangsambung berdasarkan analisis kekar gerus, Kumpulan Makalah Seminar Geologi dan dan Geotektonik Pulau Jawa sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter, Jurusan Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 101 – 120. 9. Martodjojo, S., 1994, Data stratigrafi, pola tektonik dan perkembangan cekungan pada jalur anjakan-lipatan di P. Jawa, Kumpulan Makalah Seminar Geologi dan dan Geotektonik Pulau Jawa sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter, Jurusan Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 15 – 10. Bemmelen, R.W., 1949. Geology of Indonesia. vol. IA, Martinus Nijhoff, the Hague, pp. 637-647.
11. Budiadi E, 2008. Peranan Tektonik Dalam Mengontrol Geomorfologi Daerah Pegunungan Kulon Progo, Disertasi Doktor Ilmu Geologi, UNPAD, Bandung, Tidak dipublikasikan 12. Harjanto, A., 2008; Magmatisme dan Mineralisasi di Daerah Kulonprogo; Disertasi Doktor Teknik Geologi, ITB, Bandung, tidak dipublikasikan. 13. Pulunggono, A. dan Martodjojo, S., 1994, Perubahan tektonik PaleogenNeogen merupakan peristiwa tektonik penting di Jawa, Kumpulan Makalah Seminar Geologi dan dan Geotektonik Pulau Jawa sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter, Jurusan Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 1 – 14. 14. Kastowo, 1975, Peta Lembar Majenang, Jawa, Skala 1 : 100.000, Direktorat Geologi, Bandung. 15. Asikin, S., 1974, Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya Ditinjau dari Segi Teori Tektonik - Dunia yang Baru, disertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung, Bandung, tidak diterbitkan.