Pemukiman Kumuh Wilayah kawasan kumuh menurut Bank Dunia (1999) merupakan bagian yang terabaikan dalam pembangunan perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi sosial demografis di kawasan kumuh seperti kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak memenuhi syarat serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana prasarana sosial budaya. Tumbuhnya kawasan kumuh terjadi karena tidak terbendungnya arus urbanisasi. Kota Denpasar sebagai ibu kota provinsi dan pusat perdagangan tidak lepas dari masalah urbanisasi. Dengan luas wilayah yang relatif stabil tetapi laju pertambahan penduduk yang terus meningkat maka kebutuhan akan lahan permukiman akan meningkat. Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan rancangan studi kasus yang bersifat eksploratif. Wilayah penelitian dipilih secara purposive berdasarkan jumlah wilayah kumuh yang berada di satu wilayah. Penelitian dilakukan di dua permukiman kumuh yang ada di Desa Pemecutan Kaja yaitu di Br. Belong Menak dan Gang Angsa. Subyek dari penelitian ini adalah keluarga di permukiman kumuh dan responden adalah kepala keluarga atau istrinya. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan instrumen yang telah dikembangkan khusus untuk itu. Untuk melengkapi kajian, pengumpulan data juga dilakukan dengan observasi, analisis dokumen dan wawancara mendalam dengan pejabat terkait di pemerintahan Kota Denpasar. Hasil Penelitian Luas dua lokasi penelitian adalah 1,3 Ha atau sekitar 6,5% dari luas permukiman kumuh di Kota Denpasar. Akses masuk ke dua wilayah permukiman sudah cukup baik. Kepadatan penduduk di kedua wilayah penelitian sangat tinggi yaitu 50.923 jiwa/km2. Hampir seluruh penduduk yang tinggal di dua wilayah adalah penduduk pendatang yaitu pendatang lokal dari Bali (47,5%) dan dari luar Bali (51,4%). Tingkat kepemilikan kartu KK, KTP dan Kipem masih rendah yaitu berturut-turut 60%, 58% dan 15%.
Dari 177 KK yang diwawancarai, hampir seluruhnya tergolong usia produktif. Sebagian terbesar responden berpendidikan menengah kebawah Tingkat sosial ekonomi keluarga di kedua wilayah pada umumnya rendah. Akses keluarga terhadap komunikasi, informasi, hiburan dan transportasi di kedua wilayah ini cukup memadai. Hal ini dibuktikan dengan lebih dari 50% kepemilikan keluarga terhadap telepon/HP, televisi, radio dan sepeda motor. Perilaku kesehatan yang dikaji pada studi ini adalah perilaku merokok dikalangan penduduk yang berusia di atas 10 tahun, minum minuman beralkohol, kebiasaan membuang sampah dan penggunaan garam beriodium. Total jumlah perokok adalah 130 orang atau 24% dari 533 penduduk yang berusia di atas 10 tahun. Sebagian terbesar keluarga (82,5%) sudah memakai garam beriodium untuk memasak. Sebagian besar keluarga di sini (72,5%) membuang sampah sembarangan, hampir tidak ada penduduk yang memiliki kebiasaan minum alkohol. Sanitasi lingkungan merupakan masalah yang menonjol di daerah kumuh. Lingkungan yang terkesan kotor dan kumuh lebih tampak di wilayah Belong Menak. Sebagian besar responden (80%) mengaku tidak memiliki jamban, dan membuang kotoran di sungai. Akses penduduk di kedua wilayah ini ke pelayanan kesehatan dikaji berdasarkan pemanfaatan fasilitas rawat jalan dan rawat inap, pemeriksaan ibu hamil oleh tenaga kesehatan, imunisasi balita. Dari enam ibu hamil yang ada, semuanya sudah pernah memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan. Sebagian besar balita (75,7%) sudah diimunisasi lengkap. Pelayanan kesehatan yang menjadi pilihan untuk mengimunisasi anak adalah puskesmas (52,2%), posyandu (26,1%) dan bidan atau dokter praktek
swasta (21,7%). Sebagian besar balita (84,4%) di kedua wilayah ini termasuk status gizi normal (BMI antara 20-25), dan 15,6% balita gizinya kurang (BMI kurang dari 20). Pemanfaatan rawat jalan dalam satu bulan terakhir, 47 orang (6,7%) mengaku sudah memanfaatkan fasilitas rawat jalan 13 orang (2%) memanfaatkan rawat inap dalam satu tahun terakhir dari penduduk di permukiman kumuh. Keluhan utama yang menyebabkan mereka mencari perawatan adalah ISPA, diare, DBD dan thypoid. Dilihat dari kepemilikan jaminan pembiayaan kesehatan, hanya sebagian kecil (14,7%) masyarakat di kedua wilayah ini yang sudah terlindungi oleh jaminan pemeliharaan kesehatan. Jaminan kesehatan yang dimiliki adalah Askes PNS (3%), Askeskin (35%), Jamsostek (35%) dan Askes swasta lainnya (27%). Kemampuan keluarga membayar jaminan pelayanan kesehatan (ability to pay) sebesar 5% dari pendapatan per kapita per bulan.
Kesimpulan dan saran Dari hasil penelitian didapatkan empat masalah besar yang dihadapi Kota Denpasar terkait dengan permukiman kumuh yaitu masalah administrasi kependudukan, kesemrawutan tata ruang, berkembangnya faktor risiko masalah kesehatan masyarakat dan kemiskinan. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk penataan lingkungan permukiman kumuh adalah: 1. Lebih mengefektifkan penertiban administrasi kependudukan bekerja sama dengan perangkat desa yang mewilayahi permukiman kumuh di Kota Denpasar. 2. Penataan kembali lingkungan dengan penyediaan kamar mandi dan jamban umum, program sanimas dan pengelolaan sampah swadaya di permukiman kumuh. 3. Peningkatan perilaku hidup sehat masyarakat 4. Sosialisasi kebijakan pemerintah kota terkait dengan program penataan kembali permukiman kumuh perlu lebih digalakkan dengan melibatkan kelompok masyarakat di permukiman kumuh. 5. Perlu dilakukan studi lanjutan untuk menggali informasi yang lebih luas terkait dengan penataan kembali lingkungan permukiman kumuh.