Pemerintah Sudan Mempertahankan Nama UIIS Bagikan 28 Maret 2009 jam 16:12 Banyak orang menganggap pemberian nama Universitas Islam Indonesia Sudan (UIIS) berlebih-lebihan, jika alasannya hanya karena telah dijalin kerjasama di antara dua Negara. Mereka yang tidak sependapat dengan pemberian nama itu, mempertanyakan mengapa hanya dengan bekerjasama di bidang perguruan tinggi harus mengubah nama segala. Mengapa tidak tetap saja bernama STAIN Malang, tetapi dibina bersama antara dua Negara. Atau bernama Universitas Islam, tanpa menyebut nama negara masing-masing tetapi pengembangannya melibatkan keduanya. Mereka mencontohkan, banyak kerjasama yang dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri ataupun swasta, tetapi dengan bekerjasama itu tidak ada satupun yang kemudian mengganti nama perguruan tingginya dengan mengambil dua nama negara secara bersamaan. Apalagi, banyak orang mengatakan bahwa Sudan bukan termasuk negara maju, sehingga mereka bertanya-tanya tentang apa yang akan diperoleh dari bekerjasama dengan Sudan. Orang beralasan bahwa Sudan masih sama dengan Indonesia, yakni sama-sama sebagai negara berkembang. Karena itu banyak orang bertanya kenapa bekerjasama dengan Sudan, dan tidak dengan Negara Islam lainnya ---- seperti dengan Saudi Arabia, Kuwait, Yordan dan lain-lain. Terhadap berbagai pertanyaan itu, sebagai pimpinan perguruan tinggi ini, saya dituntut untuk menjelaskannya. Pertanyaan tersebut datang dari berbagai pihak. Untungnya, tidak banyak pertanyaan itu yang berasal dari kalangan internal, seperti dosen, karyawan maupun mahasiswa. Kalangan internal pada umumnya percaya bahwa dengan nama dan kerjasama itu akan didapat keuntungan. Mereka pada umumnya tidak mempersoalkan, sekalipun banyak komentar dari berbagai kalangan, terutama dari eksternal kampus. Kebijakan kerjasama dua Negara hingga melahirkan UIIS sesungguhnya merupakan buah dari kunjungan Menteri Agama RI, ----ketika itu dijabat oleh KH Tholkhah Hasan, ke Sudan. Dalam kunjungan itu dihasilkan kesepakat bersama, akan membangun kerjasama antara Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan Tinggi Tinggi dan Riset Sudan. Sayang tidak lama kemudian pemerintahan RI berganti, Presiden Abdurrahman Wahid digantikan oleh Megawati Soekarno Putri. Atas pergantian itu maka Menteri Agama pun juga berganti, dari KH Tholkhah Hasan digantikan oleh Prof.Dr.KH Said Agil Munawar, MA. Tidak lama kemudian, Menteri Agama yang baru itu, juga berkunjung ke Sudan dan disepakati akan meneruskan program yang telah dirintis
oleh Menteri Agama RI sebelumnya. Kunjungan Menteri Agama, Prof.Dr. Said Agil Munawar,MA ke Sudan tersebut bahkan menghasilkan kesepakatan bentuk kerjasama itu lebih konkrit. Yaitu kedua menteri, yakni Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Sudan, merencanakan akan membangun perguruan tinggi Islam bersama di masing-masing Negara. Perguruan tinggi yang akan dibangun dimaksud ialah Universitas Islam Indonesia Sudan di Indonesia dan Universitas Islam Indonesia Sudan di Sudan. Rencananya, kedua perguruan tinggi tersebut akan dikelola dan dibiayai secara bersama. Menurut informasi yang saya terima, kedua perguruan tinggi tersebut akan saling memberi dan menerima atas kelebihan dan kekurangan masing-masing. UIIS di Indonesia oleh Sudan akan dibantu berupa tenaga-tenaga ahli di bidang studi Islam yang akan didatangkan dari Sudan, sedangkan UIIS di Sudan akan dikirim dari Indonesia dosen-dosen di bidang teknologi. Setelah melewati diskusi panjang, akhirnya disadari bahwa membangun perguruan tinggi akan memakan waktu yang lama. Tidak mungkin perguruan tinggi, baik yang akan dibangun di Indonesia maupun di Sudan dapat diwujudkan dalam waktu singkat. Padahal, jabatan menteri di manapun selalu dibatasi oleh masa bhakti dan periode tertentu. Oleh sebab itu, Menteri Agama RI mengambil strategi, mengubah salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri yang sudah ada -----STAIN atau IAIN, menjadi universitas, sekaligus ditugasi untuk melaksanakan MoU antara kedua Menteri dua Negara tersebut. Di Indonesia ketika itu terdapat 14 IAIN dan 33 STAIN. Untuk memilih satu di antara sejumlah perguruan tinggi Islam negeri tersebut, maka dibentuklah tiem yang bertugas melakukan survey untuk memilih satu di antaranya. Dari berbagai kunjungan, maka dipilihlah STAIN Malang untuk melaksanakan MoU itu, dengan pertimbangan, sbb . : (1) STAIN Malang telah memiliki program yang relevan dengan kerjasama itu, ialah sudah beberapa tahun memiliki Program Pengembangan Bahasa Arab secara Intensif. Melalui program itu para mahasiswa dalam batasbatas tertentu mampu berbahasa Arab. Sehingga, jika didatangkan para dosen dari Sudan yang sehari-hari berbahasa Arab, mahasiswa dipandang sudah bisa mengikutinya. (2) STAIN Malang selama itu telah mengembangkan program studi yang bervariatif. Selain mengembangkan jurusan tarbiyah dan syari’ah sebagaimana Perguruan Tinggi Islam Negeri pada umumnya, juga telah mengembangkan program studi Psikologi, Bahasa Inggris, IPS, Matematika dan Biologi. (3) STAIN Malang memiliki program penunjang pendidikan yang tidak dimiliki oleh perguruan tinggi Islam Negeri lainnya, yaitu program Ma’had. Program pendidikan Ma’had ketika itu dianggap sebagai kelebihan dan sekaligus ciri khas perguruan tinggi
Islam, dan tentu masih ada pertimbangan lainnya. Atas dasar pertimbangan tersebut, Menteri Agama menetapkan STAIN Malang sebagai pelaksana MoU dan sekaligus mengubah lembaga ini menjadi Universitas Islam Indonesia Sudan. Segera keputusan itu diambil, maka hadir Wakil Presiden Republik Sudan dan beberapa Menterinya ke Indonesia. Dalam kesempatan kunjungan itu dimanfaatkan pula untuk meresmikan berdirinya UIIS Malang bersamasama Wakil Presiden Republik Indonesia, ketika itu Hamzah Haz. Setelah peresmian dilakukan, maka dilanjutkan dengan berbagai diskusi untuk mendapatkan kesepakatan bersama tentang pengelolaan perguruan tinggi yang baru tersebut. Diskusi yang memakan waktu panjang. Saya mengikuti pertemuan-pertemuan itu, dan ternyata tidak mudah mendapatkan kesepakatan dari kedua belah pihak. Pemerintah Sudan menganggap MoU sangat serius, karena terkait dengan penganggaran yang harus dikeluarkan olehnya pada setiap tahunnya. Demikian pula pihak Tim Indonesia, tidak mau jika UIIS didominasi oleh pemerintah Sudan. Pemerintah Sudan ketika itu, menuntut keterlibatan terlalu jauh, misalnya meminta agar pimpinan UIIS harus ditetapkan bersama oleh kedua Menteri ----Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset, Sudan. Termasuk juga penetapan jumlah anggaran yang harus dikeluarkan pada setiap tahunnya oleh masing-masing negara. Tentu saja pemerintah Indonesia tidak mau kerjasama tersebut dilakukan sejauh itu. Akhirnya setelah melalui diskusi panjang, ketentuan-ketentuan kerjasama dapat disepakati bersama. Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan pada bagian lain terdahulu, ternyata Surat Keputusan Presiden tentang penetapan Universitas Islam Indonesia Sudan tidak segera bisa disetujui dan diterbitkan. Menteri Pendidikan Nasional ketika itu menolak mengusulkan SK pendirian UIIS ke Presiden. Alasannya, terdapat undang-undang yang masih berlaku di Indonesia, bahwa tidak boleh perguruan tinggi negeri menggunakan dua nama negara sekaligus. Menurut Menteri Pendidikan Nasional tidak mungkin diusulkan nama UIIS ke Presiden hingga diterbitkan Surat Keputusan Presiden. Akibatnya, sekalipun UIIS sudah terlanjur diresmikan, namun statusnya masih belum jelas. Keadaan seperti itu berlangsung lama, sehingga dirasakan sangat menggelisahkan. Perbedaan pandangan antara dua menteri ----Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan Nasional, berlangsung lama dan tidak segera ada kompromi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun akhirnya, setelah melewati berdiskusi berkali-kali dalam masa yang panjang -----kurang lebih dua tahun, dihasilkanlah kesepakatan, yaitu, STAIN Malang disetujui oleh Menteri Pendidikan Nasional berubah menjadi universitas dengan catatan tidak menggunakan nama UIIS melainkan Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang. Setelah disetujui perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang oleh Menteri Pendidikan Nasional, belum berarti persoalan itu telah selesai. Pendirian sebuah perguruan tinggi negeri harus didasarkan pada Surat Keputusan Presiden. Oleh karena itu untuk menuntaskan segala sesuatu yang terkait dengan status UIN Malang sedikitnya ada dua hal yang harus diselesaikan. Pertama, meneruskan proses penyelesaian SK Presiden. Proses itu ternyata masih memerlukan waktu dan tahaptahap yang panjang. Untuk mendapatkan SK Presiden masih harus mendapatkan rekomendasi dari Menpan, Menteri Keungan dan Menteri Sekretaris Negara. Rekomendasi dari Menpan diperlukan karena instansi ini yang berwenang menyediakan ketenagaan, baik dosen maupun karyawan. Sedangkan Menteri Keungan terkait dengan penganggaran UIN pada setiap tahunnya. Setelah didapat rekomendasi tersebut, ----tentu diperoleh dengan susah payah, maka selanjutnya dikaji lagi oleh Menterian Secretaris Negara dengan melibatkan berbagai pihak. Tahap inipun ternyata tidak mudah diselesaikan, namun dengan bekal ketekunan dan keuletan akhirnya mendapatkan persetujuan, dan pada tanggal 21 Juni 2004 SK tentang perubahan status STAIN Malang menjadi UIN Malang ditandatangani oleh Presiden. Kedua, perubahan nama dari UIIS menjadi UIN Malang tentu harus mengubah kesepakatan dengan pihak Sudan. Sebab dengan perubahan itu akan membawa konsekuensi perubahan terhadap kesepakatan dengan Sudan yang telah dirumuskan dan juga ditandatangani bersama sebelumnya. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka Menteri Agama didampingi oleh Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan saya selaku Rektor bersama beberapa staf pimpinan UIIS melakukan kunjungan ke Sudan. Menteri Agama dengan didampingi oleh beberapa staf tersebut menyampaikan perkembangan UIIS. Dikemukakan oleh Menteri Agama ketika itu, bahwa UIIS tidak bisa dilanjutkan atas dasar alasan adanya perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang tidak membolehkan ada perguruan tinggi negeri menggunakan dua nama negara, yaitu Indonesia dan Sudan. Dialog untuk membahas persoalan itu memerlukan waktu panjang, tidak cukup sehari. Dalam dialog itu pihak Sudan melibatkan beberapa menteri, di samping juga beberapa Rektor Perguruan Tinggi dari Kourtum yang sebelumnya hadir bersama-sama ke Indonesia ketika meresmikan UIIS. Dalam perundingan itu, semua delegasi Sudan dengan argumentasinya masing-masing, menolak dilakukan perubahan atas kesepakatan yang telah ditanda-tangani bersama. Mereka keberatan mengubah semua kesepakatan itu, dengan alasan bahwa hal itu sudah
merupakan hasil dialog yang panjang, dengan melibatkan berbagai pihak. Lebih dari itu, UIIS sudah diresmikan oleh dua pejabat penting masing-masing Negara, yaitu masing-masing Wakil Presiden dan disaksikan oleh beberapa Menteri serta pejabat lain dari kedua Negara. Atas dasar kenyataan itu, mereka menganggap tidak mungkin kesepakatan yang sedemikian mahal, kemudian akhirnya dibatalkan. Selain itu, pihak Sudan juga sudah terlanjur memasukkan kegiatan kerjasama universitas tersebut pada Anggaran Belanja Negara. Peninjauan dan bahkan pembatalan MoU tidak akan mungkin dilakukan hanya mengikuti kepentingan sepihak, yakni adanya perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ketika itu. Para pejabat Sudan ketika itu rupanya kurang bisa memahami jika peninjauan kembali MoU hanya didasarkan atas alasan itu. Mereka menggunakan logika dengan pertanyaan, bahwa jika benar perubahan MoU yang dimaui itu atas alasan perundang-undangan, maka mengapa hal itu disampaikan setelah sekian lama kesepakatan kerjasama ditanda-tangani bersama. Beberapa kali dialog dengan menghimpun berbagai pendapat, ternyata tetap gagal mendapatkan kesepakatan. Selanjutnya, untuk mendapatkan penyelesaian, kedua belah pihak ----tim dari Sudan dan juga dari Indonesia, bersama-sama menghadap Presiden Sudan, Umar Basyir di kediamannya. Setelah mendapatkan penjelasan secukupnya, Presiden memberikan keputusan yang saya anggap sangat arif. Presiden menyetujui perubahan MoU jika hal itu memang bertentangan dengan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi, Umar Basyir, Presiden Sudan, dalam kesempatan itu meminta agar kesepakatan kerjasama dua Negara di bidang pendidikan ini, apapun bentuknya kemudian, jangan sampai dihentikan. Kerjasama, menurut pandangan Presiden, agar diteruskan. Presiden ketika itu menyebut bahwa dahulu ada ulama’ Sudan yang berdakwah di Indonesia, bernama Syekh Ahmad Syurkathy. Menurut informasi yang diterima oleh Umar Basyir, ulama’ tersebut mengembangkan pendidikan Islam ----al Irsyad dan masih berkembang sampai saat ini. Sekalipun Syekh Ahmad Syurkathy sudah wafat, dakwahnya masih berlanjut sampai sekarang. Presiden dalam kesempatan itu berharap agar kerjasama pengembangan perguruan tinggi yang dirintis pada saat ini, ------dipelopori oleh Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Sudan, kelak menjadi gerakan Syekh Syurkathy ke dua di Indonesia. Sudah barang tentu keputusan Presiden tersebut akhirnya diterima oleh kedua belah pihak. Akhirnya, untuk merealisasikan keinginan Presiden Republik Sudan, Umar Basyir, dibentuklah sebuah lembaga di UIN Malang dengan nama Markaz Ulumul Qur’an wa Lughotul Arobiyah As Sudan fi Jami’ah Islamiyah Hukumiyah Malang. Untuk mengembangkan lembaga ini, pemerintah Sudan menyanggupi untuk menugaskan beberapa dosen
perguruan tinggi di Sudan ke UIN Malang. Saat ini markaz itu telah dibentuk dan pihak Sudan, sampai saat ini sudah menempatkan tenaga dosennya sejumlah empat orang di UIN Malang. Bagi Pemerintah Sudan sudah merasa cukup, sekalipun nama “Sudan” tidak lagi melekat pada nama universitas Islam Negeri Malang, tetapi tokh masih tetap nama itu bisa dibaca dan dikenali melalui lembaga yang dikembangkan itu. Semangat kerjasama mereka memang perlu dihargai. Dan sesungguhnyha, agar perguruan tinggi Islam mengalami kemajuan, maka kerjasama selalu harus dikembangkan.(bersambung)