Pembiayaan Kesehatan_inarningtyas Ismi Kirana 1808020268_anisa Muamala 1808020302.docx

  • Uploaded by: Inarningtyas Ismi Kirana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembiayaan Kesehatan_inarningtyas Ismi Kirana 1808020268_anisa Muamala 1808020302.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,962
  • Pages: 17
PEMBIAYAAN KESEHATAN Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat

DISUSUN OLEH :

INARNINGTYAS ISMI KIRANA (1808020268) ANISA MUAMALA (1808020302)

DOSEN PENGAMPU : ARIF BUDIMAN, MPH., Apt.

PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2019

BAB I PEMBIAYAAN KESEHATAN

A. PENGERTIAN Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan kesehatan. Biaya kesehatan ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan: 1. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian ini bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi (investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost). 2. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan, namun dalam batas-batas tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan

kebutuhan

pelayanan

kesehatan

bagi

masyarakat

yang

membutuhkannya. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan. (Azwar, A. 1999). Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri. (Departemen Kesehatan RI, 2004).

Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Pelayanan kesehatan itu sendiri pada akhir-akhir ini menjadi amat mahal baik pada negara maju maupun pada negara berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari pelayanan kesehatan dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab utamanya. Penyebab yang lain adalah dominasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran tunai (fee for service) dan lemahnya kemampuan dalam penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor management of resources and services). (Departemen Kesehatan RI, 2004).

B. TUJUAN PEMBIAYAAN KESEHATAN Sebuah sistem pembiayaan pelayanan kesehatan haruslah bertujuan untuk: 1. Risk spreading, pembiayaan kesehatan harus mampu meratakan besaran resiko biaya sepanjang waktu sehingga besaran tersebut dapat terjangkau oleh setiap rumah tangga. Artinya sebuah sistem pembiayaan harus mampu memprediksikan resiko kesakitan individu dan besarnya pembiayaan dalam jangka waktu tertentu (misalnya satu tahun). Kemudian besaran tersebut diratakan atau disebarkan dalam tiap bulan sehingga menjadi premi (iuran, tabungan) bulanan yang terjangkau. 2. Risk pooling, beberapa jenis pelayanan kesehatan (meskipun resiko rendah dan tidak merata) dapat sangat mahal misalnya hemodialisis, operasi spesialis (jantung koroner) yang tidak dapat ditanggung oleh tabungan individu (risk spreading). Sistem pembiayaan harus mampu menghitung dengan mengakumulasikan resiko suatu kesakitan dengan biaya yang mahal antar individu dalam suatu komunitas sehingga kelompok masyarakat dengan tingkat kebutuhan rendah (tidak terjangkit sakit, tidak membutuhkan pelayanan kesehatan) dapat mensubsidi kelompok masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Secara sederhana, suatu sistem pembiayaan akan menghitung resiko terjadinya masalah kesehatan dengan biaya mahal dalam satu komunitas, dan menghitung besaran biaya tersebut

kemudian membaginya kepada setiap individu anggota komunitas. Sehingga sesuai dengan prinsip solidaritas, besaran biaya pelayanan kesehatan yang mahal tidak ditanggung dari tabungan individu tapi ditanggung bersama oleh masyarakat. 3. Connection between ill-health and poverty, karena adanya keterkaitan antara kemiskinan dan kesehatan, suatu sistem pembiayaan juga harus mampu memastikan bahwa orang miskin juga mampu pelayanan kesehatan yang layak sesuai standar dan kebutuhan sehingga tidak harus mengeluarkan pembiayaan yang besarnya tidak proporsional dengan pendapatan. Pada umumnya di negara miskin dan berkembang hal ini sering terjadi. Orang miskin harus membayar biaya pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh penghasilan mereka dan juga memperoleh pelayanan kesehatan di bawah standar. 4. Fundamental importance of health, kesehatan merupakan kebutuhan dasar dimana individu tidak dapat menikmati kehidupan tanpa status kesehatan yang baik (Departemen Kesehatan RI, 2004)

C. STRATEGI PEMBIAYAAN KESEHATAN Organisasi kesehatan se-dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan yang memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada umumnya adalah dalam area sebagai berikut: 1. Meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan 2. Mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan permeliharaan kesehatan masyarakat miskin 3. Pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi kesehatan sosial 4. Penggalian dukungan nasional dan internasional 5. Penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional 6. Pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data dan fakta ilmiah 7. Pemantauan dan evaluasi. Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya

(resources) serta kualitas pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa. Sumber dana biaya kesehatan berbeda pada beberapa negara, namun secara garis besar berasal dari: 1. Anggaran pemerintah. 2. Anggaran masyarakat. 3. Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri. 4. Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat. D. MACAM – MACAM BIAYA KESEHATAN Biaya kesehatan banyak macamnya, karena kesemuanya tergantung dari jenis dan kompleksitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan atau yang dimanfaatkan. Hanya saja disesuaikan dengan pembagian pelayanan kesehatan, maka biaya kesehatan tersebut dapat dibedakan atas dua macam yaitu: 1. Biaya pelayanan kedokteran Biaya yang dimaksudkan adalah yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran, yakni yang tujuan utamanya untuk mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita. 2. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat Biaya yang dimaksud adalah yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yaitu yang tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah penyakit. Sama halnya dengan biaya kesehatan secara keseluruhan, maka masing-masing biaya kesehatan ini dapat pula ditinjau dari dua sudut yaitu dari sudut penyelenggara kesehatan (health provider) dan dari sudut pemakai jasa pelayanan (health consumer).

BAB II PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

Saat ini di Indonesia banyak yang beranggapan bahwa kesehatan bukan merupakan faktor penting dalam pembangunan, kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam pembangunan kesehatan itu sendiri bertujuan untuk mencapai atau meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Jika dilihat dari kenyataannya yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya pada masyarakat miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Asuransi kesehatan adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketidakmampuan terhadap pembiayaan pelayanan kesehatan. Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan kesehatan. Biaya kesehatan ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat (Febri, 2018). Perkembangan pembiayaan kesehetan di Indonesia jika dilihat pada masa penjajahan, masa kemerdakaan dan orde lama, masa orde baru, masa orde reformasi dan masa sekarang antara lain: a. Pembiayaan kesehatan pada masa penjajahan ( Colonial Period ) Sejarah kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda pada abad ke-19. Pada tahun 1807 dimasa pemerintahan Gubernur Jenderal Deandles pembiayaan kesehatan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu pernah dilakukan pelatihan dukun bayi dalam praktik persalinan dengan tujuan penurunan angka kematian bayi yang sangat tinggi pada masa tersebut. Upaya tersebut tidak berlangsung lama karena terbatasnya dana dalam penyediaan tenaga pelatih kebidanan. Pada tahun 1930 upaya ini dilanjutkan kembali dengan mendata semua dukun bayi yang ada di Indonesia untuk diberikan pelatihan pertolongan. Persalinan selain itu, pada masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan berbagai fasilitas kesehatan diberbagai daerah di Indonesia seperti Laboratorium Eykman di Bandung tahun 1888 yang juga berdiri di Medan, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta. Namun pada masa penjajahan, pembiayaan kesehatan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu bersumber dari pajak dan hasil bumi yang dihasilkan dari Indonesia. Kebijakan pembiayaan

kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintah Hindia Belanda, warga Indonesia yang sedang terjajah tidak bisa ikut berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, akses masyarakat Indonesia terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda juga dibatasi. Masyarakat Indonesia hanya berperan sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik. Pemerintah Hindia Belanda hanya mementingkan pelayanan kesehatan bagi para pegawai pemerintah Hindia Belanda, Militer belanda dan pegawai perusahaan milik pemerintah pada masa itu (Notoatmodjo, 2005). b. Pembiayaan kesehatan pada masa kemerdekaan dan orde lama Salah satu aspek yang menjadi harapan pada masa kemerdekaaan dan orde lama yang menjadi harapan adalah bidang kesehatan. Perbaikan di sektor kesehatan terutama dititik beratkan pada upaya pemerataan pelayanan kesehatan yang bisa menjangkau seluruh masyarakat diwilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan yang sangat luas wilayahnya. Pembiayaan kesehatan negara Indonesia pada masa tersebut sepenuhnya berada dalam domain pemerintah Republik Indonesia yang dialokasikan melalui anggaran negara. Keterbatasan anggaran belanja negara yang juga masih membutuhkan dana terutama dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan membuat aspek kesehatan belum menjadi priorotas utama pemerintahan pada masa itu dalam pembangunan. Salah satu perkembangan penting bidang kesehatan pada masa kemerdekaan adalah konsep Bandung ( Bandung Plan ) pada tahun 1951 oleh dr. J. Leimena dan dr. Patah. Konsep ini memperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan rehabilitatif tidak bisa dipisahkan. Kemudian pada Tahun 1956, dr. J. Sulianti mengembangkan konsep baru dalam upaya pengembangan kesehatan masyarakat yaitu dengan model pelayanan pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia atau yang sekarang dikenal dengan nama pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) (Notoatmodjo, 2005). Pada masa kemerdekaan dan orde lama, pembiayaan kesehatan pemerintah pada waktu itu bersumber hampir seluruhnya dari anggaran pemerintah. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintahan Presiden Soekarno. Warga Indonesia sudah mulai dilibatkan dan ikut

berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai dibuka. Pada masa ini Pemerintah orde lama belum mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik (Arianto, 2011). c. Pembiayaan kesehatan pada masa orde baru Pada masa orde baru indonesia pernah mengalami masa kejayaan dalam bidang ekonomi yang juga memberikan dampak positif terhadap pembiayaan sektor kesehatan. Adanya konsep puskesmas dan posyandu bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembiayaan kesehatan pada masa ini tidak lagi sepenuhnya bersumber dari anggaran pemerintah tetapi juga mulai dilakukan oleh sektor swasta yang di tandai dengan meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang didirikan di berbagai wilayah di indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan masyarakat sepenuhnya berada dalam kendali penuh pemerintah preside suharto. Pada zaman orde baru dikenal 3 macam asuransi kesehatan antara lain: 1. Perum husada bakti yang sekarang menjadi PT.Askes, yang menangggung pembiayaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil, pensiunan, veteran dan anggota keluarganya. 2. PT. ASTEK, yang didirikan pada tahun 1977 berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 1977 yang kemudian berubah menjadi PT. Jamsostek pada tahun 1995 berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 1995. 3. PT. Asabri, yang menanggung pembiayaan kesehatan bagi anggota TNI, Kepolisian RI, PNS Departemen Pertahanan beserta anggota keluarganya. Hal tersebut dibentuk berdasarkan PP Nomor 44 Tahun 1971 yang disempurnakan lagi dengan PP Nomr 67 Tahun 1991 (KemenKes RI, 2011). d. Pembiyaan kesehatan pada masa reformasi Pada masa reformasi dimana kondisi negara yang mengalami krisis ekonomi. Dalam bidang pembiayaan kesehatan, kebijakan yang diambil adalah memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat tidak mampu disemua fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Program ini dilakukan untuk meminimalisir dampak yang dirasakan oleh masyarakat kecil dan tidak mampu terutama dalam bidang kesehatan

terhadap dampak krisis ekonomi. Pembiayaan kesehatan pada masa ini juga mengalami masalah yang berimbas terjadinya krisis ekonomi. Anggaran pemerintah disektor kesehatan pada periode awal reformasi juga menurun. Peran sektor swasta juiga meningkat pada masa ini yang ditandai dengan terus bertambahnya jumlah sakit swasta yang didirikan di berbagai wilayah di Indonesia. Kebijakan pembiayaan kesehatan pemerintah lebih dititik beratkan pada program untuk mengurangi dampak krisis ekonomi yang langsung dirasakan oleh masyarakat, salah satu bentuknya adalah program JPS-BK. Pelaksanaan otonomi daerah juga memberikan pengaruh yang signifikan dalam kebijakan pembiayaan kesehatan. Bidang kesehatan sejak masa ini tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah pusat tetapi diserahkan pada pemerintah daerah, pemerintah pusat lebih banyak mengambil peran sebagi regulator dalam bidang kesehatan. Akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah mulai merata. Pada masa ini pemerintah sudah mulai mampu menjamin pelayanan kesehatan berbasis kemasyarakatan yang bisa memberikan jaminan bahwa setiap penduduk memiliki status kesehatan yang baik. e. Pembiayaan kesehatan pada masa sekarang Beberapa kebijakan dan pembiayaan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain pada tahun 2004 Lahirnya UU Nomor 40 tahun 2009 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan harapan baru bagi sistem pembiayaan kesehatan Indonesia dimasa yang akan datang. Dalam UU tersebut terdapat empat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu: 1. PT. Askes, yang diperuntukan bagi semua PNS, penerima pension, perintis kemerdekaan, veteran dan anggota keluarganya dengan jumlah peserta tahun 2010 mencapai 3,7 juta PNS (belum termasuk anggota keluarga yang ikut ditanggung biaya kesehatannya yaitu 1 orang isteri/suami dan 2 orang anak). 2. PT. Jamsostek, yang diperuntukkan bagi semua pekerja sektor BUMN dan swasta yang telah bekerjasama dengan Jamsostek. 3. PT. Asabri, yang diperuntukkan bagi anggota TNI dan POLRI. 4. PT. Taspen, yaitu dana tabungan pegawai negeri sipil (KemenKes RI, 2011). UU SJSN No. 40 Tahun 2004 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas jaminan sosial untuk pemenuhan kebutuhan dasar hidup yg layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Ini merupakan cikal bakal terbentuknya Sistem Jaminan Sosial

Nasional Bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 2011, DPR dan pemerintah mengesahkan Undang-undang tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS ) diantaranya adalah: 1. UU BPJS 1 yang diasumsikan akan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014 dengan tujuan penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk menampung pengalihan program Jamkesmas, Askes, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan PT. Jamsostek dan PT. Asabri. 2. UU BPJS 2 yang diasumsikan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014 atau selambat-lambatnya 1 Juli 2015 dengan tujuan pengelolaan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pension yang merupakan transformasi dari PT. Jamsostek.

BAB III MODEL SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN (MANAGED CARE/INDENMITY)

Terdapat beberapa model sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh beberapa negara, berdasarkan sumber pembiayaannya: 1. Direct Payments by Patients Ciri utama model direct payment adalah setiap individu menanggung secara langsung besaran biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat penggunaannya. Pada umumnya sistem ini akan mendorong penggunaan pelayanan kesehatan secara lebih hati-hati, serta adanya kompetisi antara para provider pelayanan kesehatan untuk menarik konsumen atau free market. Meskipun tampaknya sehat, namun transaksi kesehatan pada umumnya bersifat tidak seimbang dimana pasien sebagai konsumen tidak mampu mengenali permasalahan dan kebutuhannya, sehingga tingkat kebutuhan dan penggunaan jasa lebih banyak diarahkan oleh provider. Sehingga free market dalam pelayanan kesehatan tidak selalu berakhir dengan peningkatan mutu dan efisiensi namun dapat mengarah pada penggunaan terapi yang berlebihan. 2. User payments Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta. Perbedaannya dengan model informal adalah besaran dan mekanisme pembayaran, juga kelompok yang menjadi pengecualian telah diatur secara formal oleh pemerintah dan provider. Bentuk yang paling kompleks adalah besaran biaya yang bebeda setiap kunjungan sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan yang diberikan (biasanya terjadi untuk fasilitas pelayanan kesehatan swasta). Namun model yang umum digunakan adalah ’flat rate’, dimana besaran biaya per-episode sakit bersifat tetap. 3. Saving based Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada individu namun tidak terjadi risk pooling antar individu. Artinya biaya kesehatan langsung, akan ditanggung oleh individu sesuai dengan tingkat penggunaannya, namun individu tersebut mendapatkan bantuan dalam mengelola pengumpulan dana (saving) dan penggunaannya bilamana membutuhkan pelayanan kesehatan. Biasanya model ini hanya mampu mencakup pelayanan kesehatan primer dan akut, bukan pelayanan kesehatan yang bersifat kronis dan kompleks yang biasanya tidak bisa ditanggung

oleh setiap individu meskipun dengan mekanisme saving. Sehingga model ini tidak dapat dijadikan model tunggal pada suatu negara, harus didukung model lain yang menanggung biaya kesehatan lain dan pada kelompok yang lebih luas. 4. Informal Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan oleh individu pada provider kesehatan formal misalnya dokter, bidan tetapi juga pada provider kesehatan lain misalnya: mantri, dan pengobatan tradisional; tidak dilakukan secara formal atau tidak diatur besaran, jenis dan mekanisme pembayarannya. Besaran biaya biasanya timbul dari kesepakatan atau banyak diatur oleh provider dan juga dapat berupa pembayaran dengan barang. Model ini biasanya muncul pada negara berkembang dimana belum mempunyai sistem pelayanan kesehatan dan pembiayaan yang mampu mencakup semua golongan masyarakat dan jenis pelayanan. 5. Insurance Based Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi mempunyai perbedaan utama dimana individu tidak menanggung biaya langsung pelayanan kesehatan. Konsep asuransi memiliki dua karakteristik khusus yaitu pengalihan resiko kesakitan pada satu individu pada satu kelompok serta adanya sharing looses secara adil. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa satu kelompok individu mempunyai resiko kesakitan yang telah diperhitungkan jenis, frekuensi dan besaran biayanya. Keseluruhan besaran resiko tersebut diperhitungkan dan dibagi antar anggota kelompok sebagai premi yang harus dibayarkan. Apabila anggota kelompok, maka keseluruhan biaya pelayanan kesehatan sesuai yang diperhitungkan akan ditanggung dari dana yang telah dikumpulkan bersama. Besaran premi dan jenis pelayanan yang ditanggung serta mekanime pembayaran ditentukan oleh organisasi pengelola dana asuransi.

BAB IV BENTUK PEMBAYARAN FASILITAS KESEHATAN (FFS, Capitation system, Budget tariff, INA DRG’S)

Pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang penting dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam Permenkes No 27 tahun 2014, disebutkan tujuan dari pembiayaan kesehatan adalah mendorong peningkatan mutu, mendorong layanan terhadap

berorientasi

pasien,

mendorong

provider yang melakukan

efisiensi

tidak

memberikan reward

over treatment, unde treatment maupun

melakukan adverse event dan mendorong pelayanan tim. Terdapat dua jenis sistem pembiayaan pelayanan kesehatan, yaitu dengan retrospektif dan prospektif. Metode pembayaran retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas layanan yang diberikan, semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya yang harus dibayarkan. Sedangkan Metode pembayaran prospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan. 1. Fee for service (FFS) fee for service merupakan metode pembayaran rumah sakit berjenis retrospektif, dimana pembayaran ditetapkan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Dengan sistem tarif ini, pihak provider, atau penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit, dapat memperolehincome yang tidak terbatas. Sebab, provider dapat menawarkan segala macam pelayanan kesehatan kepada pasien, bahkan termasuk pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan sekalipun. Sehingga, hal ini berpotensi menimbulkan terjadinya over treatment (pemeriksaan yang berlebihan), over prescription (peresepan obat yang berlebihan), serta over utilility (penggunaan alat pemeriksa yang berlebihan). Selain itu, tidak ada kepastian dalam pembiayaan pelayanan kesehatan fee for service, sebab setiap provider menerapkan biaya yang berbeda-beda satu sama lain sehingga menyulitkan pasien dan pembayar untuk memprediksi besarnya biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung. Misalnya, biaya operasi caesar di rumah sakit A lebih mahal ketimbang rumah sakit B, padahal tindakan medis yang dilakukan sama (https://BPJS Kesehatan RI). 2. Capitation system

Sistem pembayaran kapitasi adalah sistem pembayaran yang dilaksanakan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama khususnya pelayanan rawat jalan tingkat pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan yang didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di faskes tersebut dikalikan dengan besaran kapitasi perjiwa (https://BPJS Kesehatan RI). Menurut Perpres no. 32 Tahun 2014 kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Kapitasi dibayar BPJS mengacu beberapa hal seperti jumlah dokter yang bertugas pada satu fasilitas kesehatan (taskes) primer. Kapitasi dibayar BPJS untuk pelayanan tingkat primer, yang dilakukan oleh dokter umum. Pelayanan tingkat primer karena merupakan tahap awal atau kontak pertama pasien dengan dokter yang biasanya bertempat di klinik pribadi, klinik dokter bersama, puskesmas, balai pengobatan, klinik perusahaan, atau poliklinik umum di RS (Ayesha Qanita, 2013). Dana kapitasi bervariasi yaitu Rp.3.000-Rp.6.000 untuk puskesmas dan Rp.8.000Rp10.000 untuk klinik pratama dan praktek dokter, serta Rp 2.000 untuk praktek dokter gigi mandiri. Fasilitas kesehatan primer dalam sistem kapitasi dituntut bukan hanya mengobati peserta tetapi juga memberikan pelayanan promotive dan preventif, sehingga perlu suatu penelitian tentang pemanfaatan dana kapitasi oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yaitu puskesmas, klinik pratama, dokter dan dokter gigi praktek swasta dalam pelaksanaan JKN. 3. Budget tariff Merupakan cara pendanaan rumah sakit oleh pemerintah atau suatu badan asuransi kesehatan nasional dimana rumah sakit mendapatkan dana untuk membiayai seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun. Alokasi dan ke rumah sakit tersebut di perhitungkan dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan tahun sebelumnya kegiatannya lain yang diperkirakan akan dilaksanakan dan kinerja rumah sakit mempunyai keleluasaan mengatur dana anggaran global tersebut untuk gaji dokter, belanja operasional, pemeliharaan rumah sakit dan lain-lain. 4. Indonesia Diagnostic Related Groups (INA-DRGs) Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) merupakan sistem pembayaran dengan sistem "paket", berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan tarif INA CBGs yang merupakan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis. Misalnya, seorang pasien

menderita demam berdarah. Dengan demikian, sistem INA-CBG sudah "menghitung" layanan apa saja yang akan diterima pasien tersebut, berikut pengobatannya, sampai dinyatakan sembuh atau selama satu periode di rawat di rumah sakit. Sistem pembayaran menggunakan Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs) yang digunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak akan merugikan rumah sakit (RS) karena sebagian besar tarifnya diatas standar. Tarif cuci darah atau dialisis, misalnya, di RS kelas C Rp450-600 tapi di INA- CBGs dibayar Rp900 ribu, bahkan di RS kelas A dibayar Rp1,3 juta. (BPJS, 2014).

BAB V PERMASALAHAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

Kurangnya dana yang tersedia di banyak negara terutama negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Dana yang disediakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan tidaklah memadai. Rendahnya alokasi anggaran ini kait berkait dengan masih kurangnya kesadaran pengambil keputusan akan pentingnya arti kesehatan. Kebanyakan dari pengambilan keputusan menganggap pelayanan kesehatan tidak bersifat produktif melainkan bersifat konsumtif dan karena itu kurang diprioritaskan. Kita dapat mengambil contoh di Indonesia misalnya, jumlah dana yang disediakan hanya berkisar antara 2 – 3% dari total anggaran belanja dalam setahun. Dalam menangani hal tersebut, perlu upaya meningkatkan jumlah dana kesehatan: Terhadap pemerintah, meningkatkan alokasi biaya kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan terhadap badan-badan lain di luar pemerintah, menghimpun dana dari sumber masyarakat serta bantuan luar negri. Peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang makin tidak terkendali serta mengantisipasi ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan sehingga perkembangan penyakit semakin tidak terkendali, maka pilihan yang tepat untuk pembiayaan kesehatan adalah asuransi kesehatan. Mengingat kondisi ekonomi negara dan masyarakat serta keterbatasan sumber daya yang ada, maka perlu dikembangkan pilihan asuransi kesehatan dengan suatu pendekatan yang efisien, efektif dan berkualitas agar dapat menjangkau masyarakat luas. Untuk itu, sudah saatnya dikembangkan asuransi kesehatan nasional dengan managed care sebagai bentuk operasionalnya. Dengan cakupan asuransi yang semakin luas, maka diperlukan jaringan pelayanan (Rumah Sakit) yang semakin luas pula. Tuntutan terhadap pelayanan yang berkualitas

baik

terhadap

penyelenggaraan

asuransi

kesehatan

maupun

penyelenggaraan pelayanan kesehatan akan semakin meningkat, upaya peningkatan yang berkesinambungan tidak hanya menjadi tanggungjawab pemberi pelayanan kesehatan saja tetapi juga bagi penyelenggaraan asuransi. Sebaiknya mengikuti program asuransi kesehatan sejak umur yang masih dini. Hal ini untuk mengantisipasi terhadap penolakan keikutsertaan asuransi kesehatan. Oleh karena risiko yang harus ditanggung pada usia tua besar sekali, berbeda dengan kalau masih berusia muda.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A. 1999. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga. Binarupa Aksara. Jakarta. BPJS Kesehatan. (2014). Info BPJS Kesehatan: Perubahan Tarif INA-CBGs Membuat biaya Kesehatan Lebih Efektif. Jakarta. BPJS Kesehatan. Tersedia pada: BPJS Kesehatan RI [Diakses, 22 februari 2019]. Departemen Kesehatan RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta. [KemenKes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Alokasi Anggaran Kesehatan. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Related Documents


More Documents from "fauzi"