Peb Kasus Iship.docx

  • Uploaded by: Dwi Widya Hariska
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Peb Kasus Iship.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,141
  • Pages: 46
BAB I PENDAHULUAN

Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis tantangan global yang tidak ringan, maka dari itu Indonesia berkomitmen mencapai Millenium Development Goals (MDGs) dengan maksud manusia sebagai fokus utama program pembangunan. Dari semua target yang ingin dicapai MDGs, khususnya tentang kinerja penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) secara global masih rendah, sehingga perlu target dimasa mendatang pada tahun 2015 dimana AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup. Diharapkan dengan mengetahui sedini mungkin faktor-faktor risiko untuk terjadinya komplikasi selama kehamilan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Hal ini masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus untuk mewujudkan MDGs.1 Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tentang angka kematian ibu di seluruh dunia, ternyata terdapat 5 keadaan obsetrik yang menjadi penyebab kematian ibu, yaitu perdarahan post partum, sepsis, preeklampsiaeklampsia, jalan lahir sempit dan aborsi. Angka kejadian terjadinya preeklampsia diperkirakan 3,2% dari di setiap angka kelahiran. Angka ini memberikan total sekitar lebih dari 4 miliar kasus per tahunnya di seluruh dunia. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh WHO tahun 2011, dengan peserta wanita yang hamil atau wanita hamil yang mengakhiri kehamilannya di periode antara tahun 1997-2002, terdapat sekitar 14,9% wanita meninggal dengan preeklampsia. Selain itu preeklampsia merupakan pembunuh nomor satu penyebab kematian ibu di Amerika Latin sebanyak 25,7%, disusul oleh Afrika dan Asia sebanyak 9,1%. Penelitian ini menjadi salah satu bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu yang paling serius, selain perdarahan di seluruh negara, terutama negara yang sedang berkembang.2,3,4 Di Indonesia sendiri tingginya angka kematian ibu menjadi agenda kesehatan yang paling utama. Berdasarkan Maternal Mortality Ratio, perkiraan terjadi 300–400 kematian ibu per 100,000 kelahiran, ini artinya wanita Indonesia

meninggal setiap jamnya karena kehamilan. Hal ini juga diperkuat menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007 angka kematian ibu adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target yang ingin dicapai oleh pemerintah pada tahun 2015 dimana AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, angka tersebut masih tergolong tinggi.3,5 Beragam pendapat telah diutarakan dalam pemahaman preeklampsia secara mendasar dan telah dilakukan pula berbagai peneltian untuk memperoleh penatalaksanaan

yang

dapat

dipakai

sebagai

dasar

pengobatan

untuk

preeklampsia. Namun demikian, preeklampsia tetap menjadi satu di antara banyak penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin di Indonesia, sehingga masih menjadi kendala dalam penanganannya. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia

yang

merupakan

tingkat

pendahuluan

eklampsia,

serta

penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, edema, dan proteinuri sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan; pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain.6,7 Untuk menurunkan angka kematian karena eklampsia ini, maka ketersediaan akses untuk memperoleh Antenatal Care (ANC) minimal secara rutin dilakukan 4 kali selama periode masa kehamilan sangat penting. Karena hal ini dapat memberikan pengaruh positif sikap wanita terhadap Antenatal Care secara benar. Upaya pencegahan, pengamatan dini, dan terapi sangat penting untuk mencegah angka kematian pada ganguan ini.8 Selain itu perdarahan obstetrik yang terjadi pada kehamilan trisemester ketiga dan yang terjadi setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah perdarahan yang berat, dan jika tidak mendapat penanganan yang cepat bisa mendatangkan syok yang fatal. Salah satu sebabnya adalah plasenta previa. Oleh karena itu perlulah keadaan ini diantisipasi seawal-awalnya sebelum perdarahan belum sampai ke tahap yang membahayakan ibu dan janin. Pada umumnya penyakit ini berlangsung perlahan diawali gejala dini berupa perdarahan berulang yang mulanya tidak banyak tanpa disertai rasa nyeri dan terjadi pada waktu yang

tidak tertentu, tanpa trauma. Sering disertai dengan kelainan letak janin atau pada kehamilan lanjut bagian bawah janin tidak masuk ke dalam panggul, tetapi masih mengambang diatas pintu atas panggul. Wanita yang menderita plasenta previa harus dibawa ke rumah sakit terdekat tanpa melakukan pemeriksaan dalam karena tindakan tersebut dapat memprovokasi perdarahan berlangsung cepat dan deras. 3

BAB II LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN Nama

: Ny. IT

Jenis kelamin

: Perempuan

Usia

: 40 tahun

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: IRT

Suku

: Bugis

Alamat

: Mendahara Ilir RT.02

Tanggal pemeriksaan : 16 November 2018

2.2. ANAMNESIS (SUBJEKTIF) Keluhan Utama : Os mengeluh bengkak pada kedua kaki sejak ± 1 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang : Ny. IT 40 tahun datang ke IGD RS dr. Bratanata dengan keluhan bengkak pada kedua kakinya sejak ± 1 bulan yang lalu. Keluhan tidak disertai dengan adanya keluhan perut mules-mules ingin melahirkan, riwayat keluar air-air dari kemaluan tidak ada, keluar darah lendir tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada, nyeri kepala hebat tidak ada, gangguan penglihatan tidak ada. Gerakan anak masih dirasakan sampai sekarang. Selama kehamilan pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan adanya flek ataupun perdarahan dari jalan lahir. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama.

Riwayat Menstruasi : Menarche sejak usia 12 tahun, siklus haid teratur 30 hari, lama haid ± 5-6 hari dengan ganti pembalut 2 kali dalam sehari. HPHT pada tanggal 18 Februari 2018.

Riwayat Pernikahan : Usia pertama kali menikah adalah 18 tahun, menikah sebanyak 1 kali, dan sudah menikah selama 22 tahun.

Riwayat Kontrasepsi: Kontrasepsi terakhir yang digunakan oleh pasien adalah Pil Kontrasepsi dengan lama penggunaan 2 tahun.

Riwayat Obstetri :

No

Tahun partus

Umur keham ilan

Jenis persalinan

Penolong penyulit

Anak JK/BB

Ket

1.

2000

Aterm

Spontan

Bidan

-

Lk/3000

Sehat

2.

2006

Aterm

Spontan

Bidan

-

Lk/lupa

Sehat

3.

2009

Aterm

Spontan

Bidan

-

Lk/lupa

Sehat

4.

Kehamilan

saat

ini

2.3. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis

:



Keadaan umum

: Tampak Sakit sedang



Kesadaran

: Compos mentis, GCS E4V5M6

Tanda-TandaVital

:



Tekanan darah

: 170/100 mmHg



Frekuensi nadi

: 96 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup.



Pernafasan

: 22 x/menit, regular.



Suhu

: 36,7 oC.

Status Gizi

:



Berat badan

: 70 kg



Tinggi badan

: 158 cm

Kepala dan Leher Mata

: :



Kelopak

: Edema (-/-)



Konjungtiva

: Anemis (-/-)



Sklera

: Ikterik (-/-)



Pupil

: Bulat, isokor 3mm/3mm, refleks cahaya(+/+)

Telinga

:

Pendengaran dalam batas normal. Hidung

:

Pernafasan cuping hidung (-). Mulut

:

Sianosis (-), perdarahan pada gusi (-). Leher

:

Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), JVP dalam batas normal.

Thorax Paru

: :

Inspeksi

: Bentuk dan pergerakan dada simetris, retraksi ICS (-/-).

Palpasi

: Fremitus dada kanan sama dengan kiri, nyeri (-/-).

Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-).

Jantung

:

Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak.

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba.

Auskultasi

: S1 S2 tunggal regular, bising jantung (-).

Abdomen

:

Inspeksi

: cembung membesar, striae gravidarum (+), caput medusa

(-), skar operasi (-) Auskultasi

: bising usus normal

Perkusi

: tymphani pada bawah prosessus xiphoideus, redup pada

uterus Palpasi

Ektremitas

: hepar dan lien sukar dinilai

:

Akral hangat, oedem tungkai (+/+), sianosis (-/-)

2.4 STATUS OBSTETRI 

Inspeksi

: cembung membesar, striae gravidarum (+), caput

medusa (-), skar operasi (-)  Palpasi (pemeriksaan luar) Tinggi Fundus Uteri : 3 jari di bawah processus xyphoideus (36 cm) Leopold 1

: teraba masa lunak tidak melenting

Leopold 2

: punggung kanan

Leopold 3

: teraba masa keras melenting

Leopold 4

: konvergen

Denyut Jantung Janin : 149 x/menit regular His

:-

Taksiran Berat Janin : 3720 gr  Pemeriksaan Dalam (Vaginal toucher) Vulva/vagina : tidak dilakukan

.

Portio

: tidak dilakukan

Pembukaan

: tidak dilakukan

Ketuban

: tidak dilakukan

Penunjuk

: tidak dilakukan

Presentasi

: tidak dilakukan

Penurunan

: tidak dilakukan

Posisi

: tidak dilakukan

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG 

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Pemeriksaan

Nilai Normal

Hemoglobin

8.9

11-16 g/dl

Hematokrit

26.7

37-43 %

Leukosit

23.6

4-10 103/mm3

Trombosit

293

150–450 103/mm3

Eritrosit

2.96

4.0-5.0 106/uL

MCV

94.3

80-100 fL

MCH

30.2

26-34 pg

MCHC

32.0

32-36 %

Tes Kehamilan

(+)

2.6. DIAGNOSIS KERJA G4P3A0 gravida 38-39 minggu belum inpartu JTH IU Preskep dengan Preeklampsia Berat + Plasenta Previa

2.7

2.8

Diagnosis Banding: -

Abortus Imminens

-

Mola Hidatidosa

-

Kehamilan Ektopik

Tatalaksana IVFD RL 20 tts/mnt Inj Cefotaxim 2x1gr Misoprostol tab no III

2.9

Prognosis

Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad bonam

LEMBAR OBSERVASI Tanggal 11 Juli 2017

Menerima pasien dari IGD dengan keluahan keluar darah

22.00 WIB

dari kemaluan. Belum dilakukan USG  Susp. Abortus Imminens Diagnosis G2P1A0 gravid 7-8 minggu + Abortus Imminens. Tanda-Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/80 mmHg. Frekuensi Nadi: 83 x/menit, reguler, isi cukup Frekuensi nafas: 20 x/menit, reguler Suhu:36,20 C (per axiller). Hasil Laboratorium : Hb 12.5; Leukosit 12.100 ; Trombosit 329.000 ; Gravindex tes (+) Rawat Bangsal Meranti

23.00 WIB

Sampai di bangsal dilakukan Pemeriksaan Vital Sign : Tekanan darah : 120/70 mmHg Frekuensi Nadi: 80x/menit, reguler, isi cukup Frekuensi nafas: 24 x/menit, reguler Suhu:36,40 C (per axiller) Melapor dr. Ferry Sp.OG

12 Juli 217

Pemeriksaan Vital Sign :

06.00 WIB

Tekanan darah : 120/80 mmHg Frekuensi Nadi: 82 x/menit, reguler, isi cukup

Frekuensi nafas: 22 x/menit, reguler Suhu:36,40 C (per axiller)

14.00 WIB

Visit dr. Ferry Sp. OG : - USG  Abortus Inkomplit - Pro kuretase nanti malam, pukul 23.00 WIB di ruang VK - Observasi perdarahan. Persiapan untuk kuret  puasa (+)

13 Juli 2017

Siap dilakukan Kuretase

02.00 WIB

Pasien stabil.

2.7. Laporan Kuretase Ny. RE Laporan Kuretase

Meranti 27 tahun

Nama Ahli Bedah : dr. Mhd. Ferry S Sp.OG Diagnosa Pre Operasi:

G2P1A0 gravid 7-8 minggu + Abortus Inkomplit. Diagnosa Post Operasi: P1A1 post kuretase a/i abortus inkomplit H-I Tanggal 12 Juli 2017, pukul 02.00 WIB Macam Tindakan: Kuretase Laporan Operasi

1. Pasien diminta mengosongkan kantung kemihnya. 2. Pasien disiapkan di meja tindakan, diposisikan berbaring litotomi. 3. Dilakukan tindakan anastesi. 4. Dilakukan

desinfeksi

pada

daerah

vulva

dan

sekitarnya. 5. Mempersempit lapangan operasi. 6. Memasang spekulum sims, dilakukan desinfeksi pada portio. 7. Menjempit bibir portio dengan tenakulum pada arah jam 11, dan dilakukan tindakan sondage. Didapakan uterus dalam posisi antefleksi dengan panjang 8 cm. 8. Mengambil jaringan sisa kehamilan yang besar terlebih dahulu dengan cunam abortus. 9. Dilakukan tindakan kuretase, didapatkan jaringan sebanyak ± 30 cc, perdarahan ± 50 cc 10. Kuretase selesai. Instruksi Post-Operasi : -

Ciprofloxacin 3x1

-

As mefenamat 3x1

2.8. FOLLOW UP Tanggal

S

O

A

11/07/2017

nyeri perut bawah (+), perdarahan (+).

TD: 130/80 mmHg.

G2P1A0 perdarahan pervaginam

N: 83 x/mnt

+ Abortus Inkomplit

P IVFD RL 20 tts/mnt Observasi VK Co. SP.OG

RR: 20 x/mnt Temp. 36,2°C Hb 12.5 Leukosit 12.100 Trombosit 329.000 12/07/2017

nyeri perut bawah berkurang, perdarahan (+).

TD: 120/80 mmHg

G2P1A0 perdarahan pervaginam

IVFD RL 20 tts/mnt

Nadi: 82 x/menit,

+ Abortus Inkomplit

Inj Cefotaxim 2x1gr

RR: 22 x/menit,

Misoprostol tab no III

Suhu:36,40 C 13/072017

Perdarahan (+)

TD: 120/80 mmHg

P1A1 post kuretase a/i abortus Post kuretase

Nadi: 82 x/menit

inkomplit H-I

RR: 22 x/menit

Ciprofloxacin 3x1 As mefenamat 3x1

0

Suhu:36,4 C

BLPL

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Preeklampsia

3.1.1 Definisi Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan / atau edema akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.9, 10,11 Sebelumnya, edema termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis preeklampsia, namun sekarang tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis, kecuali edema anasarka yang bisa ditandai dengan kenaikan berat badan >500 gr/minggu.12 Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik ≥140/90 mmHg dapat membantu ditegakkannya diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 4 jam pada keadaan istirahat.12,13 Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam yang kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+ atau 1 gram/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Umumnya proteinuria timbul lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda yang serius.10,11 Walaupun edema tidak lagi menjadi bagian kriteria diagnosis preeklampsia, namun adanya penumpukan cairan secara umum dan berlebihan di jaringan tubuh seperti pretibia, dinding perut, lumbosakral, wajah dan tangan harus tetap diwaspadai. Edema dapat menyebabkan kenaikan berat badan tubuh. Normalnya, wanita hamil mengalami kenaikan berat badan sekitar 500 gr per minggu, 2000 gr per bulan, atau 13 kg selama kehamilan. Apabila kenaikan berat badannya lebih dari normal, perlu dicurigai timbulnya pre-eklampsia.10,11,13

Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang menjadi eklampsia, yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Eklampsia dapat

menyebabkan

terjadinya

DIC

(Disseminated

intravascular

coagulation) yang menyebabkan jejas iskemi pada berbagai organ, sehingga eklampsia dapat berakibat fatal.10,13 Dikatakan sebagai preeklampsia-eklampsia apabila memiliki salah satu atau lebih dari gejala dan tanda-tanda yang ada dibawah ini :14 1.

Preeklampsia ringan, adalah suatu keadaan pada ibu hamil disertai kenaikan tekanan darah sistolik 140/90 mm/Hg atau kenaikan diastolik 15 mm/Hg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mm/Hg atau setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal dan adanya proteinuria kuantitatif >3 gr perliter atau kuantitatif 1+ atau 2+ pada urin kateter atau midstream.

2.

Preeklamsia berat, adalah suatu keadaan pada ibu hamil bila disertai kenaikan

tekanan darah 160/110 mm/Hg atau lebih, adanya

proteiunuria 5 gr atau lebih per liter dalam 24 jam atau kuantitatif 3+ atau kuantitatif 4+, adanya oliguria (jumlah urin kurang dari 500cc per jam, adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, rasa nyeri di epigastrium, adanya tanda sianosis, edema paru, trombositopeni, gangguan fungsi hati, serta yang terakhir adalah pertumbuhan janin terhambat. 3.

Eklampsia merupakan preeklampsia yang disertai kejang dan disusul dengan koma.

Terdapat empat jenis penyakit hipertensi, antara lain :9,12 1.

Hipertensi kronik, dengan gejala yaitu tekanan darah >140/90 mm/Hg sebelum hamil atau didiagnosa sebelum usia gestasi 20 minggu , atau bila terdapat hipertensi didiagnosa setelah usia gestasi 20 minggu dan persisten 12 minggu setelah melahirkan.

2.

Hipertensi gestasional dengan gejala yaitu tekanan darah >140/90 mm/Hg untuk pertama kalinya ketika hamil, bila tidak terdapat

proteinuria, dan tekanan darah kembali normal kurang dari 12 minggu setelah melahirkan. 3.

Preeklampsia-eklampsia dengan gejala yaitu tekanan darah >140/90 mm/Hg setelah usia gestasi 20 minggu pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah yang bormal dan adanya proteinuria (0,3 gr protein dalam specimen urin dalam 24 jam), sedangkan eklampsia didefinisikan sebagai kejang yang tidak dapat dihubungkan dengan kasus lain pada wanita dengan preeklampsia.

4.

Superimposed Preeclampsia (preeklampsia pada pengidap hipertensi kronis) dengan gejala yaitu onset baru proteinuria dengan jumlah proteinuria > 300 mg/24 jam pada ibu hamil dengan hipertensi, tetapi tidak ada proteinuria sebelum usia gestasi 20 minggu.

3.1.2 Epidemiologi Angka kejadian preeklampsia – eklampsia berkisar antara 2% dan 10% dari kehamilan di seluruh dunia. Kejadian preeklampsia merupakan penanda awal dari kejadian eklampsia, dan diperkirakan kejadian preeklampsia menjadi lebih tinggi di negara berkembang. Angka kejadian preeklampsia di negara berkembang, seperti di negara Amerika Utara dan Eropa adalah sama dan diperkirakan sekitar 5-7 kasus per 10.000 kelahiran. Disisi lain kejadian eklampsia di negara berkembang bervariasi secara luas. Mulai dari satu kasus per 100 kehamilan untuk 1 kasus per 1700 kehamilan. Rentang angka kejadian preeklampsia-eklampsia di negara berkembang seperti negara Afrika seperti Afrika selatan, Mesir, Tanzania, dan Ethiopia bervariasi dari 1,8% sampai 7,1%. Di Nigeria angka kejadiannya berkisar antara 2% sampai 16,7% Dan juga preeklampsia ini juga dipengaruhi oleh ibu nullipara, karena ibu nullipara memiliki resiko 4-5 kali lebih tinggi dari pada ibu multipara .4,7,15 Angka kejadian dari preeklampsia di Indonesia sekitar 7-10%, ini merupakan bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian nomor dua di Indonesia bagi ibu hamil, sedangkan no.1 penyebab kematian ibu di Indonesia adalah akibat perdarahan.5

3.1.3 Faktor Risiko dan Etiologi Penelitian berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada kehamilan / preeklampsia /eklampsia.9,12,13 a. Usia Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi laten b. Paritas Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko lebih tinggi untuk pre-eklampsia berat. c. Ras/golongan etnik Mungkin ada perbedaan perlakuan/akses terhadap berbagai etnik di banyak Negara d. Faktor keturunan Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat sampai + 25% e. Faktor gen Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. f. Diet/gizi Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight. g. Iklim / musim Di daerah tropis insidens lebih tinggi h. Tingkah laku/sosioekonomi Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi.

Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan. i. Hiperplasentosis Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik. j. Hidrops fetalis : berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus k. Diabetes mellitus : angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan preeklampsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vaskular primer akibat diabetesnya. l. Mola hidatidosa : diduga degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada pre-eklampsia. m. Riwayat pre-eklampsia. n. Kehamilan pertama o. Usia lebih dari 40 tahun dan remaja p. Obesitas q. Kehamilan multiple r. Diabetes gestasional s. Riwayat diabetes, penyakit ginjal, lupus, atau rheumatoid arthritis. Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah : 6,7,9,13,16,17

1. Faktor Trofoblast Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkinan terjadinya Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik setelah plasenta lahir. 2. Faktor Imunologik Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan

bahwa pada kehamilan pertama pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan “Blocking Antibodies” akan lebih banyak akibat respon imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi. 3. Faktor Hormonal Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema. 4. Faktor Genetik Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian PreeklampsiaEklampsia antara lain: a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi PreeklampsiaEklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita PreeklampsiaEklampsia. c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan bukan pada ipar mereka. 5. Faktor Gizi Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis

Prostaglandin

akan

menyebabkan

“Loss

Angiotensin

Refraktoriness” yang memicu terjadinya preeklampsia. 6. Peran Prostasiklin dan Tromboksan Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan

fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

3.1.4 Gejala Klinis Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Bila peningkatan tekanan darah tercatat pada waktu kunjungan pertama kali dalam trimester pertama atau kedua awal, ini mungkin menunjukkan bahwa penderita menderita hipertensi kronik. Tetapi bila tekanan darah ini meninggi dan tercatat pada akhir trimester kedua dan ketiga, mungkin penderita menderita preeclampsia.5 Peningkatan tekanan sistolik sekurang-kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan tekanan diastolik sekurang-kurangnya 15 mm Hg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-kurangnya 140 mmHg, atau tekanan diastolic sekurang-kurangnya 90 mm Hg atau lebih atau dengan kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnose. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat. Tetapi bila diastolik sudah mencapai 100 mmHg atau lebih, ini sebuah indikasi terjadi preeklampsia berat.6 Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan kelebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan pada kaki, jari-jari tangan, dan muka, atau pembengkan pada ektrimitas dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklampsia. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih diangap normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali atau 3 kg dalam sebulan preeklampsia harus dicurigai.

Atau bila terjadi pertambahan berat badan

lebih dari 2,5 kg tiap minggu pada akhir kehamilan mungkin merupakan tanda preeklampsia. Tambah berat yang sekonyong-konyong ini disebabkan retensi air dalam jaringan dan kemudian edema nampak dan

edema tidak hilang dengan istirahat. Hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklampsia. Edema dapat terjadi pada semua derajat PIH ( Hipertensi dalam kehamilan) tetapi hanya mempunyai nilai sedikit diagnostik kecuali jika edemanya general.1,2,5 Proteinuria timbul lebih lambat dari hipertensi dan tambah berat badan. Proteinuria sering ditemukan pada preeklampsia, hal ini disebabkan karena vasospasmus pembuluh-pembuluh darah ginjal. Karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius.8 Gejala subyektif yang membawa pasien ke dokter, sakit kepala yang keras karena vasospasmus atau edema otak, sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau edema, atau sakit kerena perubahan pada lambung. Gangguan penglihatan menjadi kabur sampai pasien buta. Gangguan ini disebabkan vasospasmus, edema atau ablatio retinae. Perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoscop. Gangguan pernafasan sampai sianosis. Pada keadaan berat akan diikuti gangguan kesadaran.5

3.1.5 Patogenesis Belum diketahui dengan pasti, secara umum pada Preeklampsia terjadi perubahan dan gangguan vaskuler dan hemostatis. Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik uteroplasenta, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk

mempertahankan

penyediaan

kalsium

pada

janin,

terjadi

perangsangan kelenjar paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel.

Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Teori

vasospasme

dan

respons

vasopresor

yang

meningkat

menyatakan prostaglandin berperan sebagai mediator poten reaktivitas vaskuler. Penurunan sintesis prostaglandin dan peningkatan pemecahannya akan meningkatkan kepekaan vaskuler terhadap Angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi langsung sel endotel yang resistensinya terhadap efek vasopresor berkurang, sehingga terjadi vasospasme. Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan tejadinya hipertensi arterial yang membahayakan pembuluh darah karena gangguan aliran darah vasavasorum, sehingga terjadi hipoksia dan kerusakan endotel pembuluh darah yang menyebabkan dilepasnya Endothelin – 1 yang merupakan vasokonstriktor kuat. Semua ini menyebabkan

kebocoran

antar

sel

endotel,

sehingga

unsur-unsur

pembentukan darah seperti thrombosit dan fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel yang menyebabkan gangguan ke berbagai sistem organ.18 Fungsi organ-organ lain :12,13,19 a. Otak Pada hamil normal, perfusi serebral tidak berubah, namun pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah otak, penurunan perfusi dan suplai oksigen otak sampai 20%. Spasme menyebabkan hipertensi serebral, faktor penting terjadinya perdarahan otak dan kejang / eklampsia. b. Hati Terjadi peningkatan aktifitas enzim-enzim hati pada pre-eklampsia, yang berhubungan dengan beratnya penyakit. c. Ginjal Pada pre-eklampsia, arus darah efektif ginjal berkurang + 20%, filtrasi glomerulus berkurang + 30%. Pada kasus berat terjadi oligouria, uremia, sampai nekrosis tubular akut dan nekrosis korteks renalis. Ureum-kreatinin meningkat jauh di atas normal. Terjadi juga peningkatan pengeluaran protein (”sindroma nefrotik pada kehamilan”).

d. Sirkulasi uterus , koriodsidua Perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada pre-eklampsia, dan merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. - Terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. - hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi. - karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya bervariasi dari gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.

3.1.6

Diagnosis Dikatakan preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala

berikut :10,11,18 1. TD ≥ 160 / 110 mmHg 2. Proteinuria > 5 gr / 24 jamatau kualitatif 3+ / 4+ 3. Oliguria ≤ 500 ml / 24 jam disertai kenaikan kadar kreatinin darah 4. Peningkatan kadar enzim hati dan / atau ikterus 5. Gangguan visus dan cerebral 6. Nyeri epigastrium 7. Edema paru atau sianosis 8. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat (IUFGR) 9. HELLP Syndrom (H = Hemolysis, E = Elevated, L = Liver enzyme, LP = Low Platelet Counts) Impending eklampsia bila dijumpai tanda/ gejala berikut :10,11 1. Nyeri kepala hebat

2. Gangguan visual 3. Muntah-muntah 4. Nyeri epigastrium 5. TD naik secara progresif Pemeriksaan Fisik : Pada pemeriksaan fisik harus diketahui :16 a. Tekanan darah harus diukur dalam setiap ANC b. Tinggi fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion c. Edema pada pretibia, dinding perut, lumbosakral, wajah dan tangan yang memberat d. Peningkatan berat badan lebih dari 500 gr per minggu atau peningkatan berat badan secara tiba-tiba dalam 1-2 hari. Pemeriksaan Penunjang : Saat ini belum ada pemeriksaan penyaring yang terpercaya dan efektif untuk preeklampsia. Dulu, kadar asam urat digunakan sebagai indikator preeklampsia, namun ternyata tidak sensitif dan spesifik sebagai alat diagnostik. Namun, peningkatan kadar asam urat serum pada wanita yang menderita hipertensi kronik menandakan peningkatan resiko terjadinya preeklampsia superimpose. Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada wanita dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari pemeriksaan kadar enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, protein total, reduksi bilirubin, sedimen pada urin 24 jam. Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga pemeriksaan kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan dan pembekuan serta untuk mengetahui keadaan janin perlu dilakukan pemeriksaan USG. Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk memantau progresifitas penyakit.13,20

3.1.7 Komplikasi Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, yaitu :13,18

1.

Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.

2.

Hipofibrinogenemia

3.

Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal hati pada penderita pre-eklampsia.

4.

Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.

5.

Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi. Perdarahan pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang menunjukkan adanya apopleksia serebri.

6.

Edema paru

7.

Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol umum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.

8.

Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).

9.

Prematuritas

10.

Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa juga terjadi anuria atau gagal ginjal.

11.

DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah mencapai tahap eklampsia.

3.1.8 Penatalaksanaan a. Perawatan aktif Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi ditambah pengobatan medisinal. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan pemeriksaan fetal assesment (NST dan USG). Indikasi : Ibu 

Usia kehamilan 37 minggu atau lebih



Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia, kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan meditasi terjadi kenaikan

desakan darah atau setelah 24 jam perawatan medisinal, ada gejala-gejala tidak ada perbaikan. Janin 

Hasil fetal assesment jelek



Adanya tanda IUGR (janin terhambat)

Laboratorium 

Adanya “HELLP Syndrome” (hemolisis dan peningkatan fungsi hepar, trombositopenia)

Pengobatan medisinal Pengobatan medisinal pasien preeklampsia berat adalah  Segera masuk rumah sakit.  Tirah baring miring ke satu sisi.  Tanda vital perlu diperiksa setiap 30 menit, refleks patella setiap jam.  Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125 cc/jam) 500 cc.  Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.  Pemberian obat anti kejang magnesium sulfat (MgSO4). -

Dosis awal sekitar 4 gr MgSO4) IV (20% dalam 20 cc) selama 1 gr/menit kemasan 20% dalam 25 cc larutan MgSO4 (dalam 3-5 menit). Diikuti segera 4 gram di pantat kiri dan 4 gr di pantat kanan (40% dalam 10 cc) dengan jarum no 21 panjang 3,7 cm. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan xylocain 2% yang tidak mengandung adrenalin pada suntikan IM.

-

Dosis ulang : diberikan 4 gr IM 40% setelah 6 jam pemberian dosis awal lalu dosis ulang diberikan 4 gram IM setiap 6 jam dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.

Syarat-syarat pemberian MgSO4 -

Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10% 1 gr (10% dalam 10 cc) diberikan IV dalam 3 menit.

-

Refleks patella positif kuat.

-

Frekuensi pernapasan lebih 16 x/menit.

-

Produksi urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/KgBB/jam)

MgSO4 dihentikan bila : -

Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, refleks fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot pernapasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12-15 mEq/liter dapat terjadi kelumpuhan otot pernapasan dan > 15 mEq/liter terjadi kematian jantung.

-

Bila timbul tanda-tanda keracunan MgSO4 : Hentikan pemberian MgSO4 Berikan calcium gluconase 10% 1 gr (10% dalam 10 cc) secara IV dalam waktu 3 menit Berikan oksigen.

Deuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg IM. Anti hipertensi diberikan bila : -

Desakan darah sistolik > 180 mmHg, diastolik > 110 mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Sasaran pengobatan adalah tekanan diastolik <105 mmHg (bukan < 90 mmHg) karena akan menurunkan perfusi plasenta.

-

Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada umumnya.

-

Bila diperlukan penurunan tekanan darah secepatnya dapat diberikan obatobat antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang dapat dipakai 5 ampul dalam 500 cc cairan infus atau press disesuaikan dengan tekanan darah.

-

Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan tablet antihipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam, maksimal 4-5 kali.

Bersama dengan awal pemberian sublingual maka obat yang sama mulai diberikan secara oral (syakib bakri,1997)

b. Perawatan Konservatif Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan medisinal. 1. Indikasi : bila kehamilan preterm lebih dari 28 minggu dan kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik. 2. Pengobatan medisinal : sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan aktif. Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan IV, cukup intramuskular saja dimana gram pada pantat kiri dan 4 gram pada pantat kanan.

3. Pengobatan obstetri : -

Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.

-

MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam

-

Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan medisinal gagal dan harus diterminasi.

-

Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dulu MgSO4 20% 2 gr IV.

3.1.9 Prognosis Penentuan prognosis ibu dan janin sangat bergantung pada umur gestasi

janin, ada tidaknya perbaikan setelah perawatan, kapan dan

bagaimana proses bersalin dilaksanakan, dan apakah terjadi eklampsia. Kematian ibu antara 9.8%-25.5%, kematian bayi 42.2% -48.9%.9,13

3.2 Plasenta Previa 3.2.1 Definisi

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga menutupi seluruh atau sebahagian dari ostium uteri internum.3 Sejalan dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen bawah

bawah

rahim

kearah

proksimal

memungkinkan

plasenta

yang

berimplantasi pada segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah luas permukaan serviks yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh karena itu pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan antenatal maupun intranatal.3

3.2.2 Etiologi Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belumlah diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah rahim.3 Plasenta

previa

meningkat

kejadiannya

pada

keadaan-keadaan

endometrium yang kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang baiknya vaskularisasi desidua. Keadaan ini bisa ditemukan pada :2,4,5 1. Multipara, terutama jika jarak kehamilannya pendek 2. Mioma uteri 3. Kuretasi yang berulang 4. Umur lanjut (diatas 35 tahun)

5. Bekas seksio sesaria 6. Riwayat abortus 7. Defek vaskularisasi pada desidua 8. Plasenta yang besar dan luas : pada kehamilan kembar, eriblastosis fetalis. 9. Wanita yang mempunyai riwayat plasenta previa pada kehamilan sebelumnya 10. Perubahan inflamasi atau atrofi misalnya pada wanita perokok atau pemakai kokain. Hipoksemia yang terjadi akibat CO akan dikompensasi dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terutama terjadi pada perokok berat (> 20 batang/hari).

Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas akan mendekati atau menutupi ostoum uteri internum.2 Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari tempat implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat yang lebih rendah dekat ostium uteri internum. Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan yang luas seperti pada eritroblastosis, diabetes mellitus, atau kehamilan multiple.2 3.2.3 Insiden Kejadian plasenta previa bervariasi antara 0,3-0,5% dari seluruh kelahiran. Dari seluruh kasus perdarahan antepartum, Plasenta previa merupakan penyebab terbanyak. Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dari pada usia diatas 30 tahun. Juga lebih sering pada kehamilan ganda daripada kehamilan tunggal.2,3 3.2.4 Klasifikasi Klasifikasi dari plasenta previa (empat tingkatan):

1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum. Pada jenis ini, jelas tidak mungkin bayi dilahirkan secara normal, karena risiko perdarahan sangat hebat. 2. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum. Pada jenis inipun risiko perdarahan sangat besar, dan biasanya janin tetap tidak dilahirkan secara normal. 3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum. Hanya bagian tepi plasenta yang menutupi jalan lahir. Janin bisa dilahirkan secara normal, tetapi risiko perdarahan tetap besar. 4. Plasenta letak rendah, plasenta lateralis, atau kadang disebut juga dangerous placenta adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap plasenta letak normal. Risiko perdarahan tetap ada namun tidak besar, dan janin bisa dilahirkan secara normal asal tetap berhati-hati.3,6 Gambar Klasifikasi plasenta Previa:

3.2.5 Faktor Risiko Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian plasenta previa adalah:1 1. Umur penderita 

Umur muda karena endometrium masih belum sempurna.



Umur diatas 35 tahun karena tumbuh endometrium yang kurang subur.

2. Paritas

Pada paritas yang tinggi kejadian plasenta previa makin besar karena endometrium belum sempat tumbuh. 3. Endometrium yang cacat 

Bekas persalinan berulang dengan jarak pendek



Bekas operasi, bekas kuretage atau plasenta manual



Perubahan endometrium pada mioma uteri atau polip



Pada keadaan malnutrisi

3.2.6 Patofisiologi Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trisemester ketiga dan mungkin juga lebih awal oleh karena mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tampak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua pada tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruang intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti kan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu relative dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta dimana perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Demikian perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (pain-less).3

Pada plasenta yang menutupi seluruh uteri internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa parsialis atau letak rendah perdarahan baru akan terjadi pada waktu mendekati atau mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan yang pertama sudah bisa terjadi pada kehamilan dibawah 30 minggu, tetapi lebih separuh kejadiannya pada kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak pada dekat dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar rahim dan tidak membentuk hematom retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.3 Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan inkreta bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus buli-buli dan ke rectum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh sebab kurangnya elemen otot yang terdapat disana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan pasca persalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna (retensio plasenta) atau setelah uri lepas karena segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan baik.3

3.2.7 Gejala Klinis 1. Gejala yang terpenting adalah perdarahan tanpa nyeri.2 Biasanya perdarahan karena plasenta previa baru timbul setelah bulan ketujuh. Hal ini disebabkan oleh:



Perdarahan sebelum bulan ketujuh memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus.



Perdarahan pada plasenta previa disebabkan pergerakan antara plasenta dan dinding rahim.

2. Bagian terendah anak sangat tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah rahim sehingga bagian terendah tidak dapat mendekati pintu atas panggul.2 3. Pada plasenta previa, ukuran panjang rahim berkurang maka pada plasenta previa lebih sering disertai kelainan letak jika perdarahan disebabkan oleh plasenta previa lateral dan marginal serta robekannya marginal, sedangkan plasenta letak rendah, robekannya beberapa sentimeter dari tepi plasenta.2

3.2.8 Diagnosis Diagnosis plasenta previa ditegakkan berdasarkan pada gejala klinik, pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan penunjang.1 1. Anamnesa plasenta previa1 a. Terjadi perdarahan pada kehamilan sekitar 28 minggu. b. Sifat perdarahan -

Tanpa rasa sakit terjadi secara tiba-tiba

-

Tanpa sebab yang jelas

-

Dapat berulang

c. Perdarahan menimbulkan penyulit pada ibu maupun janin. 2. Pada inspeksi dijumpai:1 a. Perdarahan pervaginam encer sampai bergumpal. b. Pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis. 3. Pemeriksaan fisik ibu1 a. Dijumpai keadaan bervariasi dari keadaan normal sampai syok b. Kesadaran penderita bervariasi dari kesadaran baik sampai koma c. Pada pemeriksaan dapat dijumpai :

-

Tekanan darah, nadi dan pernapasan dalam batas normal

-

Tekanan darah turun, nadi dan pernapasan meningkat

-

Daerah ujung menjadi dingin

-

Tampak anemis

4. Pemeriksaan khusus kebidanan.1 1. Pemeriksaan palpasi abdomen -

Janin belum cukup bulan, tinggi fundus uteri sesuai dengan umur kehamilan

-

Karena plasenta di segmen bawah rahim, maka dapat dijumpai kelainan letak janin dalam rahim dan bagian terendah masih tinggi.

2. Pemeriksaan denyut jantung janin -

Bervariasi dari normal sampai asfiksia dan kematian dalam rahim.

3. Pemeriksaan dalam Pemeriksaan dalam dilakukan diatas meja operasi dan siap untuk segera mengambil tindakan. Tujuan pemeriksan dalam untuk: -

Menegakkan diagnosis pasti

-

Mempersiapkan

tindakan

untuk

melakukan

operasi

persalinan atau hanya memecahkan ketuban 4. Pemeriksaan penunjang -

Pemeriksaan ultrasonografi

-

Mengurangi pemeriksaan dalam

-

Menegakkan diagnosis

Diagnosis plasenta previa (dengan perdarahan sedikit) yang diterapi ekspektatif ditegakkan dengan pemeriksaan USG. Dengan pemeriksaan USG transabdominal ketepatan diagnosisnya mencapai 95-98%. Dengan USG transvaginal atau transperineal (translabial), ketepatannya akan lebih tinggi lagi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi kelainan pada plasenta termasuk plasenta previa.2,3

Dengan bantuan USG, diagnosis plasenta previa/plasenta letak rendah sering kali sudah dapat ditegakkan sejak dini sebelum kehamilan trisemester ketiga. Namun dalam perkembangannya dapat terjadi migrasi plasenta. Sebenarnya

bukan

plasenta

yang

berpindah

tetapi

dengan

semakin

berkembangnya segmen bawah rahim, plasenta (yang berimplantasi di situ) akan ikut naik menjauhi ostium uteri internum.2

3.2.9 Komplikasi Kemungkinan infeksi nifas besar karena luka plasenta lebih dekat pada ostium dan merupakan porte d’entrée yang mudah tercapai. Lagi pula, pasien biasanya anemis karena perdarahan sehingga daya tahannya lemah. 2 Bahaya plasenta previa adalah : 2,3 1.

Anemia dan syok hipovolemik karena pembentukan segmen rahim terjadi secara ritmik, maka pelepasan plasenta dari tempat melekatnya diuterus dapat berulang dan semakin banyak dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah.

2. Karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan invasinya menorobos ke dalam miometrium bahkan sampai ke perimetrium dan menjadi sebab dari kejadian plasenta inkreta bahkan plasenta perkreta. Paling ringan adalah plasenta akreta yang perlekatannya lebih kuat tetapi vilinya masih belum masuk ke dalam miometrium. Walaupun tidak seluruh permukaan maternal plasenta mengalami akreta atau inkreta akan tetapi dengan demikian terjadi retensio plasenta dan pada bagian plasenta yang sudah terlepas timbullah perdarahan dalam kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada uterus yang yang pernah seksio sesaria. Dilaporkan plasenta akreta terjadi sampai 10%-35% pada pasien yang pernah seksio sesaria satu kali dan naik menjadi 60%-65% bila telah seksio sesaria tiga kali.

3.

Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat potensial untuk robek disertai dengan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual ditempat ini misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim, ligasi a.uterina, ligasi a.ovarika, pemasangan tampon atau ligasi a.hipogastrika maka pada keadaan yang sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi total. Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung dari plasenta previa.

4.

Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala konsekuensinya.

5.

Kehamila premature dan gawat janin sering tidak terhindarkan karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm.

Pada kehamilan < 37 minggu dapat

dilakukan amniosintesis untuk mengetahui kematangan paru-paru janin dan pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya antisipasi. 6.

Solusio plasenta

7.

Kematian maternal akibat perdarahan

8.

Disseminated intravascular coagulation (DIC)

9.

Infeksi sepsis

3.2.10 Penatalaksanaan Setiap perempuan hamil yang mengalami perdarahan pada trisemester kedua atau trisemester ketiga harus dirawat di dalam rumah sakit. Pasien diminta istirahat baring dan dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk golongan darah dan factor Rh. Jika rhesus negative RhoGam perlu diberikan pada pasien yang belum pernah mengalami sensitisasi. Jika kemudian ternyata perdarahan tidak banyak dan berhenti serta janin dalam keadaan sehat dan janin masih premature, dibolehkan pulang dan dilanjutkan dengan rawat rumah atau rawat jalan dengan syarat telah mendapat konsultasi yang cukup dengan pihak keluarga agar dengan segera kembali kerumah sakit bila terjadi perdarahan ulang, walaupun kelihatannya tidak mencemaskan. Dalam keadaan yang stabil tidak keberatan pasien untuk di rawat di rumah atau rawat jalan. Pada kehamilan antara 24-34 minggu diberikan steroid dalam perawatan antenatal untuk pematangan paru janin. Dengan rawat jalan pasien lebih bebas dan kurang stress serta biaya dapat ditekan. Rawat inap kembali diberlakukan bila keadaan menjadi lebih serius.3 . Semua pasien dengan perdarahan per vagina pada kehamilan trimester ketiga, dirawat di rumah sakit tanpa periksa dalam. Jika ada gejala hipovolemia seperti hipotensi dan takikardi pasien tersebut mungkin telah mengalami

perdarahan

yang

cukup

berat,

lebih

berat

dari

pada

penampakannya secara klinis. Bila pasien dalam keadaan syok karena pendarahan yang banyak, harus segera diperbaiki keadaan umumnya dengan pemberian infus atau tranfusi darah. 3,7 Pengobatan plasenta previa dapat dibagi dalam 2 golongan:2 1. Terminasi

Kehamilan segera diakhiri sebelum terjadi perdarahan yang membawa maut, misalnya: kehamilan cukup bulan, perdarahan banyak, parturien, dan janin mati (tidak selalu). a. Cara vaginal yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada plasenta, yang dengan demikian menutup pembuluhpembuluh darah yang terbuka (tamponade pada plasenta). b. Dengan seksio sesarea, dimaksudkan untuk mengosongkan rahim hingga rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Seksio sesarea juga mencegah terjadinya robekan serviks yang agak sering terjadi pada persalinan pervaginam. 2. Ekspektatif Dilakukan apabila janin masih kecil sehingga kemungkinan hidup di dunia luar baginya kecil sekali. Sikap ekspektatif hanya dapat dibenarkan jika keadaan ibu baik dan perdarahan sudah berhenti atau sedikit sekali. Penderita plasenta previa juga harus diberikan terapi antibiotic mengingat kemungkinan terjadinya infeksi yang besar disebabkan oleh perdarahan dan tindakan-tindakan intrauterine. Jenis persalinan yang kita pilih pada pengobatan plasenta previa dan kapan melaksanakan tergantung pada:2 a. Perdarahan banyak atau sedikit b. Keadaan ibu dan anak c. Besarnya pembukaan d. Tingkat plasenta previa e. Paritas Perdarahan yang banyak, pembukaan yang kecil, nullipara dan tingkat plasenta previa yang berat mendorong kita melakukan seksio sesaria. Sebaliknya perdarahan yang sedang/sedikit, pembukaan yang sudah besar, multiparitas dan tingkat plasenta previa yang ringan dan anak yang mati cenderung untuk dilahirkan pervaginam.2

Pada

perdarahan

yang

sedikit

dan

anak

masih

belum

matur

dipertimbangkan terapi ekspektatif, dengan syarat keadaan ibu dan anak baik, Hb normal dan perdarahan tidak banyak. Pada terapi ekspektatif pasien di rawat di rumah sakit sampai berat anak ± 2500 gram atau kehamilan sudah sampai 37 minggu. Selama terapi ekspektatif diusahakan untuk menentukan lokalisasi plasenta dengan pemeriksaan USG dan memperbaiki keadaan umum ibu. Jika kehamilan telah 37 minggu, kehamilan dapat diakhiri dengan cara vaginal atau seksio sesaria. Dengan cara vaginal dimaksudkan untuk mengadakan tekanan pada plasenta, yang dengan demikian menutup pembuluh-pembuluh darah yang terbuka (tamponade pada plasenta). Dengan seksio sesaria dimaksudkan untuk mengosongkan rahim hingga rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Seksio sesaria juga mencegah terjadinya robekan serviks yang agak sering pada persalinan pervaginam.2 Prinsip

utama

dalam

melakukan

seksio

sesaria

adalah

untuk

menyelamatkan ibu, sehingga walaupun janin meninggal atau tak punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilaksanakan. Adapun tujuan dari seksio sesaria adalah:8 

Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan.



Menghindarkan kemungkinan terjadinya robekan pada serviks uteri, jika janin dilahirkan pervaginam.



Tempat implantasi plasenta previa terdapat banyak vaskularisasi sehingga serviks uteri dan segmen bawah rahim menjadi tipis dan mudah robek, selain itu, bekas tempat implantasi plasenta sering menjadi sumber perdarahan karena adanya perbedaan vaskularisasi dan susunan serabut otot dengan korpus uteri.



Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan kondisi ibu.



Lakukan perawatan lanjut pascabedah termasuk pemantauan perdarahan, infeksi dan keseimbangan cairan masuk-keluar.

Pertolongan persalinan seksio sesarea merupakan bentuk pertolongan yang paling banyak dilakukan. Bentuk operasi lainnya seperti:1,2 a. Cunam Willet Gausz -

Bertujuan untuk mengadakan tamponade plasenta pada kepala.

-

Menjempit kulit kepala bayi pada placenta previayang ketubannya telah dipecahkan.

-

Memberikan pemberat sehingga pembukaan dipercepat.

-

Diharapkan persalinan spontan.

-

Sebagian besar dilakukan pada janin telah meninggal.

b. Versi Braxton Hicks -

Bertujuan untuk mengadakan tamponade plasenta dengan bokong dan untuk menghentikan perdarahan dalam rangka menyelamatkan ibu.

-

Dilakukan versi ke letak sunsang.

-

Satu kaki dikeluarkan sebagai tampon dan diberikan pemberat untuk mempercepat pembukaan dan menghentikan perdarahan.

-

Diharapkan persalinan spontan.

-

Janin sebagian besar akan meninggal.

c. Pemasangan Kantong Karet Metreurynter Kantong karet dipasang untuk menghentikan perdarahan dan mempercepat pembukaan sehingga persalinan dapat segera berlangsung.1 Dengan kemajuan dalam operasi kebidanan, narkosa, pemberian transfusi, dan cairan maka tatalaksana pertolongan perdarahan plasenta previa hanya dalam bentuk:1 -

Memecahkan ketuban

-

Melskuksn seksio sesarea

-

Untuk bidan segera melakukan rujukan sehingga mendapat pertolongan yang cepat dan tepat.

Pemecahan ketuban dapat menghentikan perdarahan karena:2 -

Setelah pemecahan ketuban, uterus mengadakan retraksi hingga kepala anak menekan pada plasenta.

-

Plasenta tidak tertahan lagioleh ketuban dan dapat mengikuti gerakan dinding rahim hingga tidak terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim.

3.2.11 Prognosis Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tidak invasive dengan USG di samping ketersedian transfusi darah dan infus cairan telah ada di hamper semua rumah sakit kabupaten. Rawat inap yang lebih radikal ikut berperan terutama bagi kasus yang pernah melahirkan dengan seksio sesaria atau bertempat tinggal jauh dari fasilitas yang diperlukan. Penurunan jumlah ibu hamil dengan dengan paritas tinggi dan usia tinggi berkat sosialissasi program keluarga berencana menambah penurunan insiden plasenta previa. Dengan demikian banyak komplikasi maternal dapat dihindarkan. Namun nasib janin masih belum terlepas dari komplikasi kelahiran premature baik yang lahir spontan maupun karena intervensi seksio sesaria. Karena kelahiran premature belum sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan konservatif dilakukan. Karena dahulu penanganan relatif bersifat konservatif maka mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi tinggi. Sekarang penanganan bersifat operasi dini, maka angka kematian dan kesakitan ibu dan perinatal jauh menurun.3,4,9

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Diagnosis Ny. RE 30 tahun datang ke IGD Rs. Dr. Bratanata dengan keluhan keluar darah dari kemaluan sejak 3 jam SMRS. Darah yang keluar berwarna merah segar yang kemudian diikuti dengan keluarnya gumpalan-gumpalan seperti daging, sebanyak ¼ gelas kecil. Sejak ± 2 hari SMRS pasien megeluh sudah mengalami keluar flek-flek hitam dari kemaluannya tetapi sedikit. Keesokan harinya pasien merasakan nyeri perut dibagian bawahnya dan kluar flek hitam lebih banyak diikuti keluar darah segar dan akhirnya Ny.RE memutuskan untuk ke IGD. Dari riwayat mentsruasi pasien, diketahui bahwa pasien tidak mengalami menstruasi sejak 2 bulan terakhir (HPHT 19 Mei 2017). Pasien telah melakukan tes kehamilan sebelumnya, dan hasilnya adalah (+). Dari anamnesis,diketahui bahwa pasien tidak mengalami menstruasi sejak 2 bulan terakhir, dan telah melakukan tes kehamilan dengan hasil (+), sehingga mendukung bahwa bahwa saat itu pasien sedang hamil. Adanya keluhan perdarahan pervaginam yang cukup banyak disertai dengan adanya serta keluhan nyeri perut bagian bawah serta riwayat melakukan hubungan suami istri sebelumnya, mengarah kepada gejala abortus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan general dalam batas normal.Pada pemeriksaan abdomen fundus uteri 3 jari di atas simpisis, terdapat nyeri tekan pada perut bawah, tidak ada cairan bebas, dan tidak ada massa. Dari pemeriksaan inspekulo didapatkan Portio terbuka 1-2 cm, terdapat jaringan di depan portio. Perdarahan aktif tetapi tidak terlalu banyak.. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini antara lain adalah pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap dan tes kehamilan, dan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil leukosit sedikit meningkat, tes kehamilan menujukkan hasil (+), dan dari pemeriksaan USG yang dilakukan 3 jam SMRS didapatkan kesan abortus inkomplit.

Berdasarkan uraian anamnesa dan pemeriksaan fisik diatas, maka diagnosa pasien ini mengarah pada abortus inkomplit. Adanya diagnosa banding yaitu abortus iminens, kehamilan ektopik dan mola dapat disingkirkan baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hematologi rutin dan pada kasus ini didapatkan hasilnya dalam batas normal, sehingga tidak perlu ditakutkan adanya keadaan anemia. Pemeriksaan penunjang lainnya, yakni USG dapat pula digunakan untuk menegakkan diagnosa dan menyingkirkan diagnosa banding seperti kehamilan ektopik atau suatu mola hidatidosa. Pada kasus ini pemeriksaan USG menujukkan kesan abortus inkomplit.

4.3. Penatalaksanaan Pada kasus ini, keadaan umum pasien ketika MRS ialah stabil, dan tidak didapatkan adanya tanda-tanda syok. Tatalaksana selanjutnya bertujuan untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi yang masih tertingal di dalam uterus, yakni dengan kuretase, yang kemudian dilanjutkan dengan terapi medikamentosa seperti antibiotika, analgetika, dan uterotonika. Yang terpenting setelah tindakan kuretase tersebut adalah observasi dua jam setelahnya untuk monitoring vital sign sehingga adanya komplikasi seperti perdarahan ringan sampai berat, infeksi, dan kelainan fungsi pembekuan darah dapat dihindari. Mengingat komplikasi tindakan ini cukup banyak, maka perlu dilakukan dengan prosedur yang benar dan hati-hati untuk mengurangi resiko tersebut seminimal mungkin. Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada kasus ini adalah: 

Kuretase tajam dengan general anesthesia.



Pemberian medikamentosa :



-

Inj Cefotaxim 2x1gr

-

Misoprostol tab no III

KIE Setelah dilakukan tindakan kuretase, keadaan pasien cukup stabil, dan

kemudian diberikan terapi medikamentosa. Terapi medikamentosa yang diberikan berupa Cefotaxim untuk mengatasi infeksi mengingat tindakan kuretase dalah

tindakan yang invasif, Asam Mefenamat untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan dari tindakan kuretase. Pada kasus ini, tidak dilakukan pemberian uterotonika, karena perdarahan yang terjadi selama dan setelah dilakukan tindakan kuretase adalah minimal. Keadaan tersebut menandakan bahwanya kontraksi uterus pasien pada kasus ini masih adekuat untuk meminimalisir perdarahan, sehingga pemberian uterotonika tidak dibutuhkan. Pada kasus ini, observasi terhadap tanda-tanda vital dan kemungkinan terjadinya komplikasi atas tindakan yang diberikan, dilakukan selama 24 jam. Selanjutnya,

pasien

diperkenankan

melakukan

pengobatan

rawat

jalan.

Penderita disarankan untuk kontrol ke poliklinik kandungan 3 hari kemudian untuk mengetahui perkembangan kondisinya. KIE merupakan hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan kasus ini dimana yang harus dititik beratkan adalah tentang diagnosis penyakit, tatalaksana serta komplikasinya, rencana tentang kehamilan yang berikutnya, kontol atau evaluasi terhadap tindakan (febris, nyeri) yang telah dberkan dan yang tidak kalah pentingnya adalah mencari penyebab abortus (untuk persiapan kehamilan beikutnya).

4.4. Prognosis Prognosis pada kasus ini adalah baik, dubius ad bonam karena tindakan kuretase yang telah dilakukan berhasil mengeluarkan semua sisa jaringan yang tertinggal di uterus sehingga resiko perdarahan menjadi sangat minimal.Setelah observasi dua jam pasca tindakan kuretase, keadaan umum pasien stabil dan pasienpun tidak mengalami keluhan. Selain itu, pada pasien ini tidak didapatkan adanya penyulit atau komplikasi yang berbahaya misalnya perdarahan, perforasi, infeksi maupun syok.

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan Seorang Nyonya berusia 30 tahun, datang dengan keluhan perdarahan pervaginam sejak ± 3 jam SMRS. Darah yang keluar berwarna merah segar yang kemudian diikuti dengan keluarnya gumpalan-gumpalan seperti daging. Selain itu, pasien juga mengeluhan nyeri pada perut bagian bawah sejak ± 2 hari SMRS. Pasien sudah tidak mengalami menstruasi sejak ± 2 bulan terakhir. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis pasien ini yaitu G2P1A0 gravid 7-8 minggu + Abortus Inkomplit. Tatalaksana yang dilakukan adalah kuretase. Secara umum, penegakan diagnosis, alur penatalaksanaan sudah sesuai dengan literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini berdasarkan perjalanan penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkan adalah bonam.

5.2. Saran Agar diagnosis pada pasien dapat ditegakkan secara tepat dan cepat, dibutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat pula serta pemeriksaan penunjang yang sesuai, sehingga keputusan untuk penatalaksanaan yang tepat kedepannya sesuai dengan diagnosis yang tepat pula.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wibowo B. Wiknjosastro GH. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan. Dalam :Wiknjosastro GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kebidanan. Edisi 5. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2002 : hal. 302 - 312. 2. Ministry of Health Republic of Indonesia. Indonesia Reproductive Health Profile 2003. 2003. Available at: http:/w3.whosea.org/LinkFiles/Reproduc-tive_Health__Profile_RHPIndonesia.pdf. 3. Abortion. In : Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Bilstrap LC, Wenstrom KD, editors. William Obsetrics. 22nd ed. USA : The McGraw-Hills Companies, Inc ; 2005 : p. 231-247. 4. Abortion. In: Leveno KJ, et all. Williams Manual of Obstetrics. USA: McGraw-Hill Companies, 2003 : p. 45 – 55 5. Stovall TG. Early Pregnancy Loss and Ectopic Pregnancy. In : Berek JS, et all. Novak's Gynaecology. 13th ed. Philadelphia; 2002 : p. 507 - 9. 6. Griebel CP, Vorsen JH, Golemon TB, Day AA. Management of Spontaneus Abortion. AAFP Home Page>New & Publications>Joumals>American Family Physician. October 012005;72;1. 7. Rand SE. Recurrent spontaneous abortion: evaluation and management. In: AmericanFamilyPhysician.December1993. 8. Disorder of Early Pregnancy (ectopic, miscarriage, GTI) In : Campbell S, Monga A, editors. Gynaecology. London : Arnold, 2000 ; p. 102-6. 9. Lindsey.J.L.Missed Abortion.from htpp :// www.emedicine.com/med/topic 10. Saifudin AB, Wiknjosastro GH, Affandi B, Waspodo D. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002. 11. Wiknjosastro GH, Saifflidin AB, Rachimadhi T. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirorahardjo, 2000. 12. Valley.V.T.Abortion,Incomplete.In:Emedicine.http://www.emedicine.com/emerg/obstetrics_and_gynecology.htm

46

Related Documents

Peb Kasus Iship.docx
June 2020 6
Peb Fix.docx
May 2020 24
Peb Drawings
June 2020 8
Peb Loading.xlsx
November 2019 34
Peb Resume.docx
December 2019 23

More Documents from "Vania Wijaya"

Portofolio Kpd.docx
June 2020 4
Peb Kasus Iship.docx
June 2020 6
Obgyn 50.doc
June 2020 7
Portofolio Bp.docx
June 2020 11
57-511.en.id.docx
October 2019 47