Pdrb Hijau Prov Sulawesi Barat.pdf

  • Uploaded by: Andi Bae
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pdrb Hijau Prov Sulawesi Barat.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 26,326
  • Pages: 151
PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT BADAN LINGKUNGAN HIDUP

SAMBUTAN Lingkungan memiliki sifat sebagai milik publik, sumberdaya yang tersedia secara luas (common property), dan externalitas yang kemudian menjadikan lingkungan menjadi asset yang seringkali dianggap sepele dan murah (priceless). Hal tersebut membangun stigma berfikir yang menyebabkan sisi kerusakan lingkungan seringkali dikesampingkan dalam berbagai program dan kegiatan pembangunan ekonomi. Indikasi yang paling sederhana adalah masih terbatasnya ketersediaan publikasi indikator capaian pembangunan ekonomi yang telah dikoreksi oleh nilai-nilai kerusakan akibat aktifitas ekonomi tersebut. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai salah satu indikator penting capaian pembangunan regional dan daerah sangat perlu untuk disempurnakan dengan menyertakan nilai ekonomi dampak negatif pembangunan, sehingga konsekuensi negatif dan positif pembangunan terhadap lingkungan dapat tergambarkan secara lebih jelas. Informasi ekonomi besaran manfaat (benefit) dan kerusakana (degradasi) lingkungan ini nantinya akan menjadi referensi untuk perumusan kebijakan pemerintah secara lebih arif guna perencanaan dan implementasi pembangunan berkelanjutan. Olehnya itu, kami menyambut gembira atas penerbitan publikasi PDRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat ini dan berharap agar semua institusi dan stakeholder terkait dengan pemberdayaan lingkungan hidup dapat melakukan upaya yang sama. Mamuju, Desember 2015 Kepala Badan

dr. Hj. Fatimah, MM

PDRB-HIJAU| SAMBUTAN

i

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami haturkan hehadirat Allah SWA atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya hingga penyusunan laporan akhir Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau Sektor Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat ini dapat diselesaikan sesuai dengan agenda yang telah ditentukan semula. PDRB sebagaimana yang kita kenal selama ini adalah salah satu indikator pembangunan perekonomian daerah dan regional yang telah banyak dan meluas digunakan, bahkan indikator tersebut merupakan bagian penting dalam pertimbangan perencanaan pembangunan dalam daerah. Namun demikian, salah satu kekurangan dalam PBRB, yang dalam konteks ini disebut dengan PDRB-Coklat, bahwa dalam analisisnya belum memasukkan nilai-nilai penyusutan (deplesi) dan kerusakan (degradasi) sumberdaya alam. Sehingga pada dasarnya indikasi nilai ekonomi yang selama ini diketahui secara implisit mengandung nilai-nilai kerugian ekoonomi yang cukup besar dan bahkan dapat menjadi bahan pebanding antara sejauhmana besar manfaat dan kerusakan yang ditimbulkan dari suatu aktifitas (sektor atau sub-sektor). Penysunan PDRB-Hijau sebenarnya bukan hal yang baru, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 42 ayat (1) bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Dijelaskan lebih lanjut pada pasal 43 ayat (1) huruf b, Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud, adalah penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup. Olehnya sebagai bagian dari amanah konstitusi, maka BLH Provinsi Sulawesi Barat melakukan inisiasi untuk melakukan penyusunan PDRB-Hijau bersama dengan CV. Lestari Global Resources. Pada kesempatan pertama ini, sebagai langkah permulaan maka penyusunan terlebih dahulu dilakukan pada lingkup sub-sektor kehutanan, yang nantinya akan terus dikembangkan hingga menyentuh semua sektor pembangunan yang ada. Makassar, Desember 2015

Tim Penyusun

ii

KATA PENGANTAR | PDRB-HIJAU

DAFTAR SINGKATAN ADHB ADHK APL CA DAS HP HPK HPT IUPHHK IUPHHK-HA

Atas dasar harga berlaku Atas dasar harga konstan Areal penggunaan Lain Cagar alam Daerah aliran sungai Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Konservasi Hutan Produksi Terbatas Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam IUPHHK-HTI Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan KayuHutan Tanaman Industri IUPHHK-HTR Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat KPA Kawasan Pelestarian Alam KSA Kawasan Suaka Alam Mateng Mamuju Tengah Matra Mamuju Utara PDRB Produk Domestik Regional Bruto PDB Produk Domestik Bruto Polman Polewali Mandar SM Suaka Marga Satwa Kemenhut Kementerian Kehutanan BPS Badan Pusat Statistik Sulbar Sulawesi Barat PSDH Provisi Sumber Daya Hutan DR Dana reboisasi

PDRB-HIJAU| DAFTAR SINGKATAN

iii

DAFTAR ISTILAH Berikut ini beberapa istilah yang digunakan dalam dokumen ini yang dikutip dari Publikasi BPRB-Hijau Karang Ngasem, Tahun 2007; PDRB-Hijua Kabupaten Bantaeng Tahun 2009; Glossarium BPS-RI dan beberapa literatur pendukung lainnya: BALAS JASA INVESTASI: Jumlah uang yang dinyatakan dalam persentase terhadap jumlah dana yang diinvestasikan atau biaya yang dikeluarkan untuk produksi barang yang bersangkutan. Umumnya diperkirakan sebesar tingkat suku bunga yang berlaku di pasar (lihat laba layak). CONTINGENT VALUATION: Metode valuasi ekonomi terhadap jasa lingkungan yang diberikan oleh suatu ekosistem dan tidak dijual belikan di pasar. Metode ini biasanya melibatkan survei terhadap responden tentang kesediaannya melakukan pembayaran (contingent variation = CV) atau kesediaannya menerima pembayaran (equivalent variation = EV). DEGRADASI: Kerusakan lingkungan yang merupakan penurunan kualitas lingkungan alami. Contoh: penurunan kesuburan tanah, rusaknya tata air, dsb. DEPLESI: Menunjuk pada produksi, pengambilan, pengurasan, pengurangan volume atau jumlah sumberdaya alam. Contoh: volume penebangan kayu, jumlah batu bara yang ditambang. HARGA PASAR: Harga barang dan jasa yang timbul karena transaksi permintaan dan penawaran di pasar. Pasar adalah pertemuan antara pembeli dan penjual. IDENTIFIKASI: Merupakan kegiatan meneliti dan mengamati macam sumberdaya alam yang dieksploitasi atau dideplesi, maupun sumberdaya alam dan lingkungan yang rusak atau terdegradasi. INPUT ANTARA (Intermediate Inputs): Bahan atau masukan atau input yang digunakan dalam proses produksi suatu barang sehingga menjadi produk baru. Contoh:

iv

DAFTAR ISTILAH | PDRB-HIJAU

Untuk menghasilkan kayu lapis diperlukan bahan mentah kayu bulat, bahan pembantu lem, kanji tapioka, dan obat pengawet. Semua bahan mentah dan bahan pembantu yang digunakan disebut dengan input antara. JASA BIOLOGI: Jasa suatu habitat, misalnya hutan, terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, danau, sungai, dan sebagainya, yang berupa pelayanan bagi hidup dan berkembangnya keanekaragaman hayati termasuk flora dan fauna. JASA LINGKUNGAN: Jasa yang diberikan oleh suatu habitat seperti hutan terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, danau, sungai dan sebagainya, yang berupa pelayanan seperti menyerap karbon, menaham banjir, menjaga cadangan air, mempengaruhi tata air, dan sebagainya. KESEDIAAN MEMBAYAR (Willingness to Pay): Metode untuk menentukan nilai suatu lingkungan dengan menanyakannya kepada responden tentang kesediaannya memberikan kontribusi dipertahankannya suatu proyek atau untuk ditolaknya suatu proyek. KESEDIAAN MENERIMA PEMBAYARAN (Willingness to Accept): Metode valuasi untuk suatu lingkungan dengan menanyakannya kepada responden tentang kesediaannya menerima ganti rugi untuk dipertahankannya suatu proyek atau ditolaknya suatu proyek. KONTRIBUSI KEHUTANAN: Kontribusi atau sumbangan atau share sektor kehutanan dalam pembentukan PDRB Konvensional atau PDRB Hijau. KUANTIFIKASI: Suatu langkah dalam penilaian ekonomi setelah dampak dari suatu proyek diidentifikasi, kemudian ingin diketahui berapa besar volume atau luasnya dampak tersebut. LABA LAYAK: Jumlah atau persentase laba atau balas jasa yang layak diterima oleh seorang pengusaha karena

PDRB-HIJAU| DAFTAR ISTILAH

v

menanamkan uangnya pada usaha tertentu. Biasanya besarnya persentase tersebut disamakan dengan tingginya suku bunga bank yang berlaku di pasar. NILAI EKONOMI TOTAL: Jumlah seluruh nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang terdiri dari nilai atas penggunaan (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non-use value). NILAI KEBERADAAN: Nilai sumberdaya alam dan lingkungan tanpa harus adanya kontak antara seseorang dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang dimaksud. NILAI PILIHAN: Nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang timbul karena orang memilih untuk tidak menggunakannya sekarang dan lebih senang menggunakannya di waktu nyang akan datang. NILAI PRODUKSI: Jumlah produk dan atau jasa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan dikalikan dengan harganya di pasar. Contoh: jumlah kayu yang ditebang dalam m3 dikalikan dengan harga kayu per m3 di pasar atau di toko kayu. NILAI TAMBAH: Harga produk atau jasa di pasar atau di toko dikurangi dengan nilai semua input antara. Sebagai contoh: Harga kayu gergajian di perusahaan penggergajian kayu Rp. 800.000/m3. Harga kayu bulat Rp. 400.000/m3, maka nilai tambahnya adalah Rp. 800.000 – Rp. 400.000 = Rp. 400.000,NON-USE VALUE: Nilai lingkungan tanpa harus menggunakan atau kontak langsung dengan orang yang memberikan penilaian. Contoh: nilai satwa langka, nilai air terjun dan nilai hutan lindung. PDB: Produk Domestik Bruto untuk tingkat nasional PDRB: Produk Domestik Regional Bruto adalah PDB untuk tingkat daerah provinsi, kabupaten, atau kota. PDRB COKLAT: Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung secara konvensional belum memasukan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan.

vi

DAFTAR ISTILAH | PDRB-HIJAU

PDRB HIJAU: Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung dengan memasukan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan atau nilai PDRB Coklat dikurangi dengan nilai deplesi sumberdaya alam dan nilai degradasi lingkunga. PDRB HIJAU KEHUTANAN: Nilai tambah yang diciptakan sektor kehutanan dengan memasukan unsur deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan di sektor kehutanan. PDRB KONVENSIONAL: Sama dengan PDRB Coklat. PDRB SEMI HIJAU: Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung dengan mengurangi nilai PDRB Coklat dengan nilai deplesi sumberdaya alam saja. PDRB PADA HARGA BERLAKU: PDRB yang nilainya dihitung menurut hargaharga pada tahun yang bersangkutan. PDRB HARGA KONSTAN: PDRB yang dihitung berdasarkan pada harga tahun tertentu. Contoh: PDRB pada harga konstan tahun 2010. PENDAPATAN NASIONAL: Nilai PDB dikurangi penyusutan dan pajak tidak langsung, kemudian dikurangi lagi dengan aliran pendapatan dari faktor produksi yang ditanam atau dipekerjakan orang asing di Indonesia, ditambah dengan aliran pendapatan dari faktor produksi yang ditanam atau dipekerjakan orang Indonesia di luar negeri. PENDAPATAN REGIONAL: Pendapatan yang diciptakan oleh faktorfaktor produksi di dalam suatu daerah. Nilai pendapatan regional sama dengan nilai PDRB dikurangi nilai penyusutan dan nilai pajak tidak langsung. PRODUK EKSTRAKTIF: Produk yang dapat diambil langsung dari hutan. Contoh: kayu, madu, rotan. PRODUK NON EKSTRAKTIF: Produk atau jasa yang dapat dinikmati tanpa harus diambil dari hutan. Contoh: rekreasi, pendidikan, penelitian, keindahan.

PDRB-HIJAU| DAFTAR ISTILAH

vii

RENTE EKONOMI: Economic Rent, yaitu nilai sumberdaya alam semasa masih di tempatnya. Nilai rente ekonomi disebut juga dengan nilai penggunaan (user cost), (royalty). Contoh: nilai kayu tegakan (stumpage value), nilai bahan tambang tatkala masih di dalam tanah. TRAVEL COST METHOD: Metode valuasi ekonomi dengan menghitung biaya perjalanan seperti biaya financial dan biaya waktu, serta total pengeluaran selama di lokasi yang dituju. Biasanya digunakan untuk menilai taman rekreasi. UNIT RENT: adalah rata-rata nilai rente ekonomi per unit produk atau nilai rente ekonomi total dibagi dengan jumlah produk yang dihasilkan atau dideplesi. USE VALUE: Nilai ekonomi terhadap produk-produk ekstraktif sumberdaya alam. Contoh: nilai kayu, nilai ikan, nilai timah yang diekstraksi. VALUASI EKONOMI: Metode penghitungan nilai ekonomi untuk sumberdaya alam dan lingkungan. WTP (WILLINGNESS TO PAY): kesediaan membayar oleh seseorang untuk mendapatkan lingkungan yang bersih. WTA (WILLINGNESS TO ACCEPT): kesediaan seseorang menerima pembayaran agar tetap bersedia menerima pencemaran.

viii

DAFTAR ISTILAH | PDRB-HIJAU

DAFTAR ISI SAMBUTAN i KATA PENGANTAR ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xvi DAFTAR LAMPIRAN xvii RINGKASAN EKSEKUTIF xviii BAB 1.

BAB 2.

BAB 3.

PENDAHULUAN 1 1.1.

Latar Belakang 1

1.2.

Maksud dan Tujuan 4

1.3.

Manfaat 4

1.4.

Ruang Lingkup 4

KONSEP PDRB HIJAU 5 2.1.

Pendapatan Daerah Reginal Bruto (PDRB) 5

2.2.

PDRB Hijau 12

2.3.

Ekonomi Sumberdaya Hutan 15

2.4.

Kerangka Pikir 18

2.5.

Visi, Misi dan Sasaran Pembangunan Ekonomi Provinsi Sulawesi Barat 20

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 39 3.1.

Pendekatan 39

3.2.

Tahapan Pelaksanaan Studi 39

3.3.

Perhitungan PDRB Coklat 41

3.4.

Kinerja Pembangunan Sektoral 42

3.5.

Perhitungan PDRB Semi Hijau 43

PDRB-HIJAU| DAFTAR ISI

ix

3.6.

Perhitungan PDRB Hijau 44

3.7.

Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan 44

3.8.

Perhitungan Deplesi Sumberdaya Kehutanan 47

3.8.1. Estimasi Volume dan Valuasi Deplesi (kerusakan) Hutan 47 3.8.2. Prakiraan Nilai Degradasi 50 3.8.3. Perhitungan Konstribusi Hijau 52 3.9.

Perhitungan Unit Rent 53

3.10. Menghitung Degradasi Sektor Kehutanan 54 3.11. Aplikasi Perhitungan Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan 55 3.11.1. Konsep Perhitungan 55 3.11.2. Data yang Diperlukan 58 BAB 4.

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN 59 4.1.

Keadaan Umum 59

4.1.1. Geografi dan Adminsitrasi 59 4.1.2. Demografi 60 4.2.

Perekonomian 66

4.2.1. Pertumbuhan Ekonomi 66 4.2.2. Struktur Perekonomian 69 4.2.3. Ketenagakerjaan 72 4.3.

Gambaran Sektor Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat 74

4.3.1. Luas Kawasan Hutan dan DAS 74 4.3.2. Sumberdaya dan Ekonomi 81 4.3.3. Pengelolaan Hutan 85 BAB 5.

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) 89 5.1.

PDRB Coklat Sektor Kehutanan 89

5.1.1. Nilai Tambah Sektor Kehutanan 89 x

DAFTAR ISI | PDRB-HIJAU

5.1.2. Konstribusi Coklat Sektor Kehutanan 98 5.2.

PDRB Hijau Sektor Kehutanan 101

5.2.1. Deplesi Sumberdaya Hutan 101 5.2.2. Degradasi Sumberdaya Hutan 106 5.2.3. Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan 113 5.3. BAB 6.

Implikasi Hasil Analisis 115

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 119 6.1.

Kesimpulan 119

6.2.

Rekomendasi 121

Referensi: 122 LAMPIRAN 125

PDRB-HIJAU| DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL Tabel 3-1.

Forest Value Of Goods And Services Loss Due To Timber Cutting (USD/Ha) ---------------------- 48

Tabel 3-2.

Persentase dan Nilai Jasa Hutan ------------------ 51

Tabel 4-1.

Luas, Persentase wilayah, banyak kecamatan dan desa/kelurahan menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 -------------- 60

Tabel 4-2.

Jumlah, distribusi dan kepadadatan penduduk menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 ----------------------- 61

Tabel 4-3.

Jumlah dan rasio penduduk laki-laki dan perempuan menurut Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 ----------------------- 61

Tabel 4-4.

Rasio kelamin (laki-laki terhadap perempuan) menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 --------------------------------- 65

Tabel 4-5.

Struktur ekonomi Provinsi Sulawesi Barat menurut lapangan usaha, Tahun 2010 – 2013 --- 70

Tabel 4-6.

Pertumbuhan rill ekonomi Provinsi Sulawesi Barat menurut lapangan usaha, Tahun 2010 – 2013 ------------------------------------------------ 71

Tabel 4-7.

Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 berdasarkan SK Menteri Kehutanan SK 726/Menhut-II/2012 ------------------------------- 76

Tabel 4-8.

Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 berdasarkan SK Menteri Kehutanan SK 862/Menhut-II/2014 ------------------------------- 78

Tabel 4-9.

Luas penutupan lahan kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Barat ---------------------------- 79

Tabel 4-10. Kawasan hutan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Sulawesi Barat ------------------ 80 xii

DAFTAR TABEL | PDRB-HIJAU

Tabel 4-11. Produksi kayu gergajian menurut perusahaan di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014 ----------- 82 Tabel 4-12. Produksi non-kayu menurut perusahaaan pengelola di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2012------------------------------------------------- 82 Tabel 4-13. Produksi rotan menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2010-2014 -------- 83 Tabel 4-14. Produksi getah pinus menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2010-2014 -------- 83 Tabel 4-15. Perkembangan luas hutan rakyat menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014 ------------------------------------------ 86 Tabel 4-16. Produksi kayu kebun masyarakat menurut jenis kayu di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014------------------------------------------------- 88 Tabel 5-1.

Nilai tambah (PDRB-ADHB) sektor pertanian menurut sub sektor di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014 --------------------------- 90

Tabel 5-2.

Nilai tambah (PDRB-ADHB) sektor pertanian menurut sub sektor dan kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014 -------------- 90

Tabel 5-3.

Perkembangan PDRB-ADHB sub-sektor Kehutanan di Provinsi Sulawesi Barat menurut kabupaten, Tahun 2011-2014 ----------- 91

Tabel 5-4.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Majene --------------------------------- 93

Tabel 5-5.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Polman --------------------------------- 93

Tabel 5-6.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor PDRB-HIJAU| DAFTAR TABEL

xiii

Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Mamasa ------------------------------- 93 Tabel 5-7.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Mamuju-------------------------------- 94

Tabel 5-8.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Mamuju Utara ------------------------- 94

Tabel 5-9.

Perkembangan distribusi PDRB-ADHB kehutanan terhadap total PDRB daerah menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2011-2014 -------------------------- 100

Tabel 5-10. Nilai rente ekonomi kayu hutan menurut kebupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014----------------------------------------- 104 Tabel 5-11. Estimasi volume produksi kayu yang hilang akibat kebakaran hutan di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014 --------------------------------- 105 Tabel 5-12. Nilai deplesi produk kayu akibat kebakaran hutan di provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014--- 106 Tabel 5-13. Estimasi luas hutan yang mengalami degradasi menurut luas kebakaran hutan dan estimmasi luas penebangan hutan, Tahun 2014 ----------------------------------------------- 107 Tabel 5-14. Koefisien nilai jasa hutan dalam USD dan nilai konversi dalam rupiah per 30 September 2014 ---------------------------------- 108 Tabel 5-15. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak langsung dan bukan penggunaan di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014 ---------------------- 109 Tabel 5-16. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak langsung dan bukan penggunaan untuk xiv

DAFTAR TABEL | PDRB-HIJAU

kabupaten Mejene dan Kabupaten Polman, Tahun 2014 --------------------------------------- 109 Tabel 5-17. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak langsung dan bukan penggunaan untuk kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju, Tahun 2014 --------------------------------------- 110 Tabel 5-18. Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak langsung dan bukan penggunaan untuk kabupaten Mamuju Utara dan Kabupaten Mamuju Tengah, Tahun 2014 ------------------- 110 Tabel 5-19. PDRB Semi Hiajau dan PDRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014 114 Tabel 5-20. PDRB Semi Hijau dan PDRB Hijau menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014----------------------------------------------- 115

PDRB-HIJAU| DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR Gambar 2-1. Kerangka pikir yang mendasari perumusan dan penyusunan PDRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat. ----------------------------------- 19 Gambar 4-1. Perkembangan jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010 – 2013. ------------------------------ 62 Gambar 4-2. Jumlah penduduk menurut kelompok umur di PRovinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013--------- 63 Gambar 4-3. Pertumbuhan PDRB (HK) dan ekonomi provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010 - 2013 ---- 66 Gambar 4-4. Pertumbuhan PDRB Perkapita (Ribu Rp) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar harga Konstan (ADHK) Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010 – 2013 ------------- 67 Gambar 4-5. Jumlah angkatan kerja dan penduduk angkatan kerja yang bekerja di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013---------------------- 73 Gambar 4-6. Persentase penduduk usia +15 tahun yang bekerja menurut status pekerjaan utama, Tahun 2014. -------------------------------------- 74 Gambar 4-7. Perkembangan luas wilaya hutan di Provinsi Sulawesi Batar, Tahun 2010 – 2014 ------------- 75 Gambar 4-8. Persentase kawasan hutan menurut jenisnya di lima Kabupaten Provinsi Sulawesi Barat ------------------------------------ 77 Gambar 5-1. Konstribusi sektor pertanian terhadap PDRB daerah, kehutanan terhadap pertanian, dan kehutanan terhadap PDRB total, Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014 --------------- 99 Gambar 5-2. Posisi repatif nilai degradasi sumberdaya hutan kabupaten terhadap nilai rata-rata provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014 ----------- 111 xvi

DAFTAR GAMBAR | PDRB-HIJAU

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi Sulawesi Barat----------------- 126 Lampiran 2. Nilai Tambah (PDRB-ADHB) Semua Sektor di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 20102014----------------------------------------------- 127 Lampiran 3. NIlai PDRB sub-sektor kehutananan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan dan nilai indeks implisitnya ------------ 128

PDRB-HIJAU| DAFTAR LAMPIRAN

xvii

RINGKASAN EKSEKUTIF BAB I. PENDAHULUAN Kegiatan penyusunan PDRB HIJAU ini bertujuan untuk menghitung secara lengkap kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di Provinsi Sulawesi Barat dan menyediakan dokumen statistik yang menggambarkan peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah yang tampak lebih realistis sehingga perencanaan serta pelaksanaan pembangunan daerah akan dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan. Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan penyempurnaan dokumen perencanaan dan pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di sektor kehutanan dan pemerintah, tetapi semua stakeholder pada sektor kehutanan. Teridentifikasinya tingkat keberhasilan pembangunan dalam presfektif lingkungan hidup serta khususnya pada sektor kehutanan.

BAB II. KONSEP PDRB HIJAU Untuk menghitung angka-angka PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: 1) Menurut pendekatan produksi; 2) menurut pendekata pendapatan; 3) menurut pendekatan pengeluaran. Pendekatan pertama merupakan pendekatan utama yang dijadikan dasar dalam penyusunan PDRB Hijau, dengan kata lain nilai-nilai deplesi dan degradasi yang diperkurangkan berasal dari nila PDRB pendekatan yang pertama, yang dalam konteks ini disebut denan PDRB Coklat. PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. Untuk menghindari dampak pembangunan yang semakin parah terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, maka paradigma pembangunan haruslah berwawasan lingkungan, dengan tidak hanya memperhatikan aspek ekonomis jangka pendek saja, namun juga pada aspek ekologis yang akan menjamin keberlanjutan ekonomi itu sendiri (produksi = ekonomi + ekologi), atau disebut juga dengan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

BAB III. METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah pendekatan statistik kuantitatif dengan dasar analisis parameter-parameter pendapatan (ekonomi) dan kerusakan (deplesi dan degradasi). Khusus dalam menghitung dampak negatif yang timbul akibat

xviii

RINGKASAN EKSEKUTIF | PDRB-HIJAU

pengolahan industri hasil hutan, digunakan berbagai metode yang paling mendekatai angka degradasi, yakni dengan metode prevention cost. Selain itu, metode lain yang digunakan adalah metode observasi langsung dan metode perkiraan dengan menggunakan benefit transfer. Kemudian valuasi ekonomi dapat menggunakan metode biaya pengganti (replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang (forgone income). Tahapan Studi adalah: 1) Review literatur terhadap konsep PDRB hijua dan pedoman-pedoman terkait PDRB hijau yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup maupun oleh kementerian Kehutanan; 2) Review dan pengambilan data laporan-laporan PDRB provinsi Sulawesi Barat dan beberapa Kabupaten yang masuk dalam ruanglingkup lokasi studi; 3) Review dan pengambilan data sekunder dari berbagai data dan informasi statistik yang relevan dengan pendekatan yang dilakukan seperti publikasi statistik Daerah dalam Angka baik tingkat provinsi maupun kabupaten; 4) Mengindentifikasi macam produk sumberdaya hutan yang ada dalam daerah berdasarkan dokkumen statistik/publikasi yang telah dikumpulkan sebelumya; 5) Pengambilan data promer melalui survey dan observasi lapangan pada beberapa kabupaten dalam lokasi studi; 6) Identifikasi ragam produk kehutanan yang mengalami deplesi; 7) Menghitung volume deplesi produk (sumberdaya) kehutanan yang telah diidentifikasi pada poin 6; 8) Perhitungan valuasi deplesi produk/summberdaya kebutunan; 9)Perhitungan konstribusi semi hijau sektor kehutanan; 10) Perhitungan degradasi lingkungan sektor kehutanan; dan 11) perhitungan konstribusi hijau sektor kehutanan.

BAB IV. PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN Selama periode 2010 – 2013 (empat tahun) pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Barat secara umum menunjukkan pola perkembangan linier. Pada Tahun 2010. Nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp 17.184 milyar secara signifikan telah mengalami peningkatan menjadi Rp. 22.229 Milyar di tahun 2013. Demikian pula dengan pendapatan perkapita penduduk, pada tahun 2010 sebesar Rp. 14,76 juta/kapita menjadi Rp 20,46 juta/kapita. Struktur perekonomian daerah pada Tahun 2014 di dominasi oleh sektor primer dengan Pertanian (terdiri dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan kehutanan) sebagai kontributor utama sebesar 47,30%, kemudian sektor tertier, yaitu Jasa-jasa sebesar 17,47%, dan yang ketiga adalah pada sektor sekunder yaitu Perdagangan, Hotel dan Restauran dengan konstribusi sebesar 12,64%. Pada tahun 2010 total luas wilayah hutan di provinsi

PDRB-HIJAU| RINGKASAN EKSEKUTIF

xix

Sulawesi Barat seluas 1.119.876 ha, kemudian mengalami perluasan sekitar 5,25% menjadi 1.178.416 ha di tahun 2011; selanjutnya di Tahun 2012 luas wilayah hutan mengalami kenaikan 0,18% atau 5,41% dari luas Tahun 2010 menjadi 1.180.516 ha. Luas wilayah hutan tersbut kemudian mengalami penurunan secara signifikan selama tahun 2013-2104 bahkan lebih rendah dari keadaan di tahun 2010. Di Tahun 2013 luas wilayah hutan menurun 6,3% menjadi 1.105.821 ha; dan 1,22% di tahun 2014 menjadi 1.092.376 ha.

BAB V. KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB Nilai tambah kehutanan menunjukkan nilai yang paling kecil, yakni hanya sekitar 84,5 milyar di tahun 2010, namun meningkat menjadi 103,3 milyar di tahun 2014. Pada tingkat kabupaten, nilai tambah kehutanan dalam struktur PDRB sektor pertanian terlihat sangat bervariasi. Kabupaten Polman menunjukkan nilai tambah kehutanan yang paling besar di Tahun 2014, kemudian kabupaten Mamuju, Mamasa, Mamuju Utara dan terkecil kabupaten Majene. Sebagaina keadaan provinsi, besarnya nilai tambah sub-sektor kehutanan adalah yang paling kecil dibandingkan dengan sub-sektor lain di sekrot pertanian. Pada tingkat provinsi, perkembangan PDRB kehutanan terlihat mengalami peningkatan dalam kurun waktu 20112014, perkembangan yang paling rendah terjadi di tahun 2011 yaitu sebesar 3,9%; namun memasuki tahun 2014, perkembangan PDRB kehutanan meningkat menjadi 6,67%. kabupaten Polman dan kabupaten Mamuju menunjukkan nilai share yang negatif, sementara kabupaten lainnya menunjukkan nilai share yang positif. Hal ini berarti bahwa perkembangan share sub-sektor kehutanan di kabuapten Polman dan Mamuju cenderung mengalami penurunan dibandinngkan dengn alokasi sub-sektor lainnya dalam menyusun pendapatan dalam kabupaten dan regional. Pertumbuhan nilai share sektor kehutanan yang paling tinggi adalah di kabupaten Mamasa, kemudian Mamuju Utara, Majene, Mamuju dan Kabupaten Polman. Nilai deplesi sumberdaya kayu dari akibat kebakaran hutan lebih tinggi dibandingkan dengan deplesi akibat aktifitas produksi kayu gergajian. Total nila deplesi dari kedua parameter di atas sebesar Rp 4,2 milyar lebih, nilai deplesi akibat kebakaran hutan tertinggi di kabupaten polewali Mandar diikuti kabupaten Mamuju, untuk deplesi nilai kayu gergajian hanya ditemuakn di tiga kabupaten, dan terbesar di kabupaten Mamuju Tengah. Nilai degradasri atau nilai pengurangan jasa hutan yang tertinggi adalah di Kabupaten Polewali Mandar yang mencapai 2,44 milyar rupiah, selanjutnya kabupaten Mamuju Tengah sebesar 2,07 milyar rupiah, kabupaten Mamuju

xx

RINGKASAN EKSEKUTIF | PDRB-HIJAU

sebesar 1,4 milyar rupiah, kabupaten Mamasa sebesar 1,3 milyar rupiah dan kabupaten Majene sebesar 298 juta rupiah.

BAB VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Sumberdaya hutan bukan hanya sebatas memberikan nilai tambah melalui produksi kayu dan non-kayu yang selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan bagi daerah maupun sebagai devisa negara, namun hutan juga memiliki berbagai nilai jasa lingkungan yang dapat dikuantifikasi sesuai dengan kondisi dan kemungkinan di masing-masing wilayah. Kabupaten dengan wilayah hutan terluas adala di kabupaten Mamuju dan Mamasa sedangkan yang paling sempit adalah di kabupaten Majene. Produk hutan utama berupa barang yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Provinsi Sulawesi Barat adalah kayu, rotan dan getah pinus. Informasi penebangan kayu dan produksi kayu bulat tidak ditemukan sejak tahun 2011, namun untuk produksi damar dan getah pinus masih tersedia. Daerah penghasil rotan tertinggi adalah di kabupaten Mamuju dan Polewali Mandar, sedangkan getah pinus hanya diproduksi di Kabupaten Mamasa. Besarnya konstribusi PDRB Coklat sub-sektor kehutanan sebsar 0,46 di tahun 2011 kemudian menurun menjadi 0,38 di athun 2014. Dalam struktur sektor pertanian, subsektor kehutanan merupakan konstributor produk daerah yang paling kecil. Perkembangan dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2014 menunjukkan besar nilai konstribusi yang positif namun belum mempengaruhi dinamika peningkatan sektor secara nyata. Dibandingkan dengan sub-sektor lainnya, laju petumbuhan sektor kehutanan masih lebih rendah; dan kecuali di kabupaten Polewali Mandar dan kabupaten Mamuju menunjukkan nila share yang positif yangn berarti bahwa besaran konstribusi khsusunya dari sektor kehutanan secara relatif semakin besar di empat Kabupaten lainnya.

PDRB-HIJAU| RINGKASAN EKSEKUTIF

xxi

BAB I 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan penghasil devisa dan penghidupan masyarakat secara luas. Industri primer berbasis sumber daya alam menyumbang 16,6 persen terhadap PDB nasional dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi 8,8 juta penduduk Indonesia pada tahun 2013. Sulawesi

Barat

merupakan

salah

satu

provinsi

dengan

pembangunan yang masih sangat bertumpu pada sumberdaya alam, sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan kontributor terbesar dengan capaian sebesar 47,44%, sektor jasa-jasa pada urutan kedua (19%), dan perdagangan, hotel, dan restoran pada urutan ketiga (13,15%). Pertumbuhan ekonomi dalam daerah juga menunjukkan akselerasi yang memuaskan dari tahun-ketahun. Pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Barat terus mengalami peningktan dari tahun ketahun. Pada Tahun 2010 nilai PDRB Provinsi sebesar Rp. 10 985,15 M dan telah meningkat sekitar 47% menjadi Rp.16.184,01 M pada tahun 2013. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang stabil tersebut

tidak

selalu

berbanding

lurus

dengan

kondisi

lingkungan hidup, karena aktifitas ekonomi yang mengkonversi sumberdaya

alam

tersebut

ikut

berkonstribusi

terhadap

kerusakan lingkuangan. Secara nasional, kurang lebih 25% Produk Domestik Bruto (PDB), khususnya minyak, sumberdaya mineral, dan hutan, menyebabkan deplesi sumberdaya alam PDRB-HIJAU| PENDAHULUAN

1

dan degradasi lingkungan. Oleh karenanya, dalam RPJMN 20152019 pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup masyarakat dengan tata kelola pelaksanaan pembangunan yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya menjadi salah satu issue strategis dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan sasaran pada tata kelola dan perencanaan yang dilakuakan secara terencana, terkoordinasi, sistematis dan berkesinambungan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator penting pembangunan daerah sebagai alat ukur nilai produksi yang dihasilkan dari suatu kegiatan ekonomi wilayah. PDRB disusun tiap tahun dan diterapkan untuk tingkat regional atau daerah, seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota. Hanya saja PDRB yang selama ini dihitung atau yang disebut sebagai PDRB Konvensional (Coklat), hanya mengukur hasil kegiatan

ekonomi

semata

tanpa

memasukkan

dimensi

lingkungan hidup didalamnya. Oleh karena itu, PDRB harus dikembangkan dengan memasukan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau disebut sebagai PDRB Hijau. PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. PDRB Hijau dapat dimanfaatkan sebagai perangkat perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang lebih baik karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian

2

PENDAHULUAN | PDRB-HIJAU

setiap tahunnya secara lebih lengkap.

Sektor-sektor dalam

PDRB Hijau mencakup sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, sektor pertambangan dan penggalian, sektor perindustrian pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan (konstruksi), sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

dikatakan

bahwa

Perlindungan

dan

pengelolaan

lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah

terjadinya

pencemaran

dan/atau

kerusakan

lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sebagai wujud implementasi dari undang-undang tersebut, dan untuk ikut mendukung sistem perencanaan yang berwawasan lingkungan, maka Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Barat berinisiatif untuk melakukan analisis PDRB Hijau untuk provinsi Sulawesi Barat Tahun 2015. Dengan maksud untuk menghasilkan laporan yang reliable, valid dan lebih bermanfaat, maka ruang lingkup PDRB Hijau pada Tahun Anggaran 2015 ini difokuskan atau memrioritaskan sektor kehutanan.

PDRB-HIJAU| PENDAHULUAN

3

1.2. Maksud dan Tujuan • Kegiatan penyusunan PDRB HIJAU ini bertujuan untuk menghitung “secara lengkap” kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di Provinsi Sulawesi Barat; • Menyediakan dokumen statistik yang menggambarkan peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah yang tampak lebih realistis sehingga perencanaan serta pelaksanaan pembangunan daerah akan dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan. 1.3. Manfaat • Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan penyempurnaan dokumen perencanaan dan pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di sektor kehutanan dan pemerintah, tetapi semua stakeholder pada sektor kehutanan • Teridentifikasinya tingkat keberhasilan pembangunan dalam presfektif lingkungan hidup serta khususnya pada sektor kehutanan 1.4. Ruang Lingkup o

o o

Runga lingkup wilayah. Ruang lingkup wilayah yang akan dianalisis adalah 6 (enam) kabupaten di provinsi Sulawesi Barat. Runga lingkup sektor. Ruang lingkup sektor yang dianalisis pada studi ini adalah sektor kehutanan. Ruang lingkup data. Ruang lingkup data adalah 1) laporan/publikasi PDRB pada tingkat kabupaten dan provinsi, khususnya pada sektor kehutanan dan turunannya; 2) laporan/publikasi Status Lingkungan Hidup (SLH) Provinsi;

4

PENDAHULUAN | PDRB-HIJAU

BAB II 2. KONSEP PDRB HIJAU 2.1. Pendapatan Daerah Reginal Bruto (PDRB) Terdapat tiga unsur utama yang menjadi penyusun indikator ekonomi Pendapatan Daerah Regional Broto, berikut ini beberapa batasan dan defenisi terkait dengan PDRB dalam glosarium Badan Pusat Statistik Nasional. Pertama adalah “regional” atau wilayah domestik yang dapat merupakan Provinsi atau Kabupaten/Kota. Transaksi ekonomi yang dihitung adalah transaksi yang terjadi di wilayah domestik suatu daerah tanpa

memperhatikan

apakah

transaksi

dilakukan

oleh

masyarakat (residen) dari daerah tersebut atau masyarakat lain (non-residen). Kedua adalah Produk Domestik, yakni semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut atau merupakan produk domestik daerah yang bersangkutan. Pendapatan yang timbul oleh karena

adanya

kegiatan

produksi

tersebut

merupakan

pendapatan domestik. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian dari faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi di suatu daerah berasal dari daerah lain atau dari luar negeri, demikian juga sebaliknya faktor produksi yang dimilki oleh penduduk daerah tersebut ikut serta dalam proses produksi di daerah lain atau di luar negeri. Hal ini menyebabkan nilai produk domestik yang timbul di suatu daerah tidak sama dengan pendapatan PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

5

yang diterima penduduk daerah tersebut. Dengan adanya arus pendapatan yang mengalir antar daerah ini (termasuk juga dari da ke luar negeri) yang pada umumnya berupa upah/gaji, bunga, deviden dan keuntungan maka timbul perbedaan antara produk domestik dan produk regional. Produk regional merupakan produk domestik ditambah dengan pendapatan dari faktor produksi yang diterima dari luar daerah/negeri dikurangi dengan pendapatan dari faktor produksi yang dibayarkan ke luar daerah/negeri. Jadi produk regional merupakan produk yang ditimbulkan oleh faktor produksi yang dimiliki oleh residen. PDRB atas dasar harga pasar adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah. Nilai tambah adalah nilai yang ditambahkan dari kombinasi faktor produksi dan bahan baku dalam proses produksi. Penghitungan nilai tambah adalah nilai produksi (output) dikurangi biaya antara. Nilai tambah bruto di sini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menjumlahkan nlai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor tadi, akan diperoleh Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Biaya Faktor. Perbedaan antara konsep biaya faktor di sini dan konsep harga pasar di atas, ialah karena adanya pajak tidak langsung yang dipungut pemerintah dan subsidi yang diberikan oleh

6

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

pemerintah kepada unit-unit produksi. Pajak tidak langsung ini meliputi pajak penjualan, bea ekspor dan impor, cukai dan lainlain pajak, kecuali pajak pendapatan dan pajak perseorangan. Pajak tidak langsung dari unit-unit produksi dibebankan pada biaya produksi atau pada pembeli hingga langsung berakibat menaikkan harga barang. Berlawanan dengan pajak tidak langsung yang berakibat menaikkan harga tadi, ialah subsidi yang diberikan pemerintah kepada unit-unit produksi, yang bisa mengakibatkan penurunan harga. Jadi pajak tidak langsung dan subsidi mempunyai pengaruh terhadap harga barang-barang, hanya yang satu berpengaruh menaikkan sedang yang lain menurunkan harga, hingga kalau pajak tidak langsung dikurangi subsidi akan diperoleh pajak tidak langsung neto. Kalau Produk Domestik Regional Neto atas dasar harga pasar dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, maka hasilnya adalah Produk Domestik Regional Neto atas dasar biaya faktor. Pendapatan

Regional.

Dari

konsep-konsep

yang

diterangkan di atas dapat diketahui bahwa Produk Domestik Regional Neto

atas

dasar biaya faktor itu sebenarnya

merupakan jumlah balas jasa faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi disuatu daerah. Produk Domestik Regional Neto atas dasar biaya faktor, merupakan jumlah dari pendapatan yang berupa upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan yang timbul atau merupakan pendapatan yang berasal dari daerah tersebut. Akan tetapi pendapatan yang dihasilkan tadi, tidak seluruhnya menjadi pendapatan penduduk daerah itu, sebab ada sebagian pendapatan yang diterima oleh

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

7

penduduk daerah lain, misalnya suatu perusahaan yang modalnya dimiliki oleh orang luar, tetapi perusahaan tadi beroperasi di daerah tersebut, maka dengan sendirinya keuntungan perusahaan itu sebagian akan menjadi milik orang luar yaitu milik orang yang mempunyai modal tadi. Sebaliknya kalau ada penduduk daerah ini yang menambahkan modalnya di luar daerah maka sebagian keuntungan perusahaan akan mengalir ke dalam daerah tersebut, dan menjadi pendapatan dari pemilik modal. Kalau Produk Domestik Regional Neto atas dasar biaya faktor dikurangi dengan pendapatan yang mengalir ke luar dan ditambah dengan pendapatan yang mengalir ke dalam, maka hasilnya akan merupakan Produk Regional Neto yaitu merupakan jumlah pendapatan yang benar-benar diterima oleh seluruh yang tinggal di daerah yang dimaksud. Produk Regional Neto inilah yang merupakan Pendapatan Regional. Untuk

menghitung

angka-angka

PDRB

ada

tiga

pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: 1. Menurut Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unitunit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu:

8

o

Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

o

Pertambangan dan Penggalian

o

Industri Pengolahan

o

Listrik, Gas dan Air Bersih

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

o

Konstruksi

o

Perdagangan, Hotel dan Restoran

o

Pengangkutan dan Komunikasi

o

Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan

o

Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi subsub sektor.

2. Menurut Pendekatan Pendapatan PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). 3. Menurut Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: o

Pengeluaran

konsumsi

rumah

tangga

dan

lembaga swasta nirlaba o

Pengeluaran konsumsi pemerintah

o

Pembentukan modal tetap domestik bruto

o

Perubahan inventori, dan

o

Ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

9

Secara

konsep

ketiga

pendekatan

tersebut

akan

menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto. PDRB hingga saat ini masih sangat popular digunakan sebagai salah satu indikator ekonomi makro, untuk melihat pertumbuhan ekonomi, biasanya digunakan PDRB atas dasar harga konstan. Disamping untuk mengukur pertumbuhan ekonomi,

angka

PDRB

sektoral

juga

bermanfaat

untuk

mengukur besar konstribusi masing-masing sektor dalam membentuk

PDRB,

yang

secara

langsung

juga

dapat

menggambarkan pertumbuhan ekonomi pada masing-masing sektor. Penggunaan PDRB bersifat simultan sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembanging antar wilayah, baik antar provinsi secara nasional maupun antar kabupaten dalam provinsi atau kabupaten dengan kabupaten lain di provinsi yang berbeda. Hanya saja penggunaan PDRB belakangan ini dianggap memiliki banyak kelemahan, terutama penggambaran PDRB terhadap perkembangan kesejahteraan, sumberdaya manusia, bahkan terhadap sumberdaya alam. Salah satu kebijakan ekonomi yang mengemuka pada masa lalu adalah Kebijakan trickle down effect, yang dimaksudkan untuk mengejar dan mewujudkan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan

10

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

cara

menambah

jumlah

investasi-investasi

baru

dengan

membuka akses dan pendanaan secara menyeluruh terhadap segala aktivistas investasi domestik yang diharapkan akan berjalan dan berlipat dengan semakin gencarnya fokus pada sektor bisnis infrastruktur serta pasar keuangan sehingga pada gilirannya akan menciptakan sebuah struktur kapasitas produksi yang meningkat.

Berdasarkan skema ini, laju produksi yang

menggeliat kemudian akan menggiring harga-harga pada tingkat yang lebih rendah dan menciptakan lapangan kerja untuk para kelas menengah dan menengah kebawah, sehingga kesejahteraan diasumsikan akan menetes sampai kesemua level sosial ekonomi masyarakat. Pada Tahun 2004 hingga 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh di atas 5%, kecuali pada tahun 2009 (turun menjadi 4,5%) akibat krisis keuangan global. Sejalan dengan membaiknya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga membaik dan mencapai angka 6,49% pada tahun 2011, setelah itu terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi, meskipun masih pada kisaran 6% atau masih cukup tinggi (BPS, 2012-2013). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup besar tersebut tentu telah memberikan dampak kepada seluruh kelompok ekonomi. Namun demikian, pendekatan yang hanya terpusat pada pertumbuhan ekonomi ternyata memiliki dampak yang kurang baik. pendapatan kesejahteraan

nasional

tidak

masyarakat

secara

menjadi

Peningkatan

otomatis

lebih

baik.

berarti Pada

kenyataannya pendapatan terdistribusi secara tidak merata, sehingga meskipun secara nasional perhitungan pendapatan

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

11

lebih tinggi, mayoritas rumah tangga tetap berada pada keadaan sosial ekonomi yang buruk. Keadaan ini juga cukup memprihatinkan pada aspek kelestarian lingkuangan, sebagai dampak yang sama, lingkungan mengalami degradasi akibat pengurasan dan eksploitasi yang berlehan karena pengukuran kualitas lingkungan hidup lebih dikesampingkan dibandingkan denngan pengukuran kualitas ekonomi. Oleh karena dua maslah pokok di atas, maka saat ini pengukuran kualitas pembangunan /kesejahteraan manusia dan lingkungan tidak hanya bergantung pada nilai PDRB saja, namun telah dikembangkan beberapa indikator yang lebih mewakili seperti Indeks

Pembangunan

Manusia,

termasuk

didalamnya

pengembangan konsep PDRB Hijau. 2.2. PDRB Hijau Perencanaan pembangunan daerah hingga saat ini masih menjadikan PDRB sebagai salah satu landasan prioritas dan sasaran program, besarnya nilai PDRB sektor selau dijadikan sebagai ukuran keberhasilan program/kinerja pemerintah. Namun demikian, penggunaan indikator tersebut bisa saja keliru karena parameter yang digunakan hanya menampilkan nilai tambah kegiatan produksi, sementara sumberdaya alam (lingkkungan hidup) yang menjadi (modal) kegiatan ekonomi tidak dimasukkan kedalam perhitungan PDRB. Angka PDRB yang

belum

memasukkan

parameter

lingkungan

dalam

perhitungannya tersebut, dalam konteks ini deisebut sebagai PDRB konvensional atau PDRB Coklat. Soeparmoko, (2006),

12

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. Deplesi dan degradasi lingkungan saat ini telah menjadi perhatian banyak pihak, laju pembangunan yang semakin pesat, pertumbuhan penduduk, konversi lahan, dan peningkatan kebutuhan hidup secara akumulatif berkonsekuensi pada peningkatan penamfaatan sumberdaya alam. Peningkatan pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya alam baik kualitas maupun kuantitasnya terutama oleh indsutri juga telah dirasakan dampak negatifnya bagi lingkungan banhak kepada manusia sendiri. Untuk menghindari dampak pembangunan yang

semakin

lingkungan,

parah

maka

terhadap

paradigma

sumberdaya

alam

pembangunan

dan

haruslah

berwawasan lingkungan, dengan tidak hanya memperhatikan aspek ekonomis jangka pendek saja, namun juga pada aspek ekologis yang akan menjamin keberlanjutan ekonomi itu sendiri (produksi = ekonomi + ekologi), atau disebut juga dengan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang

memenuhi

kebutuhan

generasi

sekarang

tanpa

mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Tuntuan berwawasan

perubahan lingkungan

paradigma

seyogyanya

telah

pembangunan terlihat

dari

banyaknya kebijakan-kebijakan nasional maupun daerah dalam

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

13

upaya pembatasan pengelolaan sumberdaya alam (terbarukan dan tidak terbarukan). Pola pembangunan berkelanjutan mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam harus dikelola secara nasional dan bijaksana, hal ini berarti bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus memadukan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup (pembangungan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup). Pembangunan berwasasan lingkunan merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup/sumberdaya kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi mendatang. Hal ini berarti bahwa pembangunan suatu sektor harus memperhatikan dampaknya bagi sektor yang lain. Kemajuan pembangunan daerah tentu hanya akan dicapai apabila pembangunan dilakukan secara lebih menyeluruh di segala bidang. Proses pengolahan sumberdaya alam dan pendayagunaan sumberdaya manusia dengan memanfaatkan tenologi

sebagai

pola

pembangunan,

perlu

untuk

memperhatikan fungsi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia agar secara terus menerus menunjang keberlanjtan pembangunan. Sumarwoto (2006) mengemukakan bahwa pengertian pembanguna berkelanjutan adalah: Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan

sosial

keberhasilan

dimana

masyarakat

penerapannya

bergantung memerlukan

kepadanya, kebijakan,

perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas

14

polotiknya

tergantung

pada

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

dukungan

penuh

masyarakat melalui pemerintahnya, elembagaan sosialnya, dan kegiatan

dunia

usahanya.

Sebagai

perwujudan

bentuk

perubahan paradigma pembanngunan berkelanjutan ini maka seyogyanya, parameter pengukuran keberhasilan pembangunan harus

mengakomodasi

aspek

keberlanjutan

(lingkungan)

tersebut, oleh karena itu maka indikator pembangunan juga semestinya diubah, tidak lagi menggunakan PDB yang dihitung atas dasar System of National Account (SNA), tetapi didasarkan pada PDB Hijau (Green Gross Domestic Product atau GreenGDP) yang dihitung atas dasar konsep sistem penghitungan terpadu antara lingkungan dan ekonomi atau System of Integrated

Environmental

and

Economic

Account

(United

Nations, 1993). 2.3. Ekonomi Sumberdaya Hutan Hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan. Jika pengertian hutan ditinjau dari sudut pandang sumberdaya ekonomi terdapat sekaligus tiga sumberdaya ekonomi (Wirakusumah, 2003), yaitu: lahan, vegetasi bersama semua komponen hayatinya serta lingkungan itu sendiri sebagai sumberdaya ekonomi yang pada akhir-akhir ini tidak dapat diabaikan. Sedangkan kehutanan diartikan sebagai segala pengurusan yang berkaitan dengan hutan, mengandung sumberdaya ekonomi yang beragam dan sangat luas pula dari kegiatan-kegiatan yang bersifat biologis seperti

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

15

rangkain proses silvikultur sampai dengan berbagai kegiatan administrasi pengurusan hutan. Hal ini berarti kehutanan sendiri merupakan sumberdaya yang mampu menciptakan sederetan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Hasil hutan juga jelas merupakan sumberdaya ekonomi potensial yang beragam yang didalam areal kawasan hutan mampu menghasilkan hasil hutan kayu, non kayu dan hasil hutan tidak kentara (intangible) seperti perlindungan tanah, pelestarian sumberdaya air dan beragam hasil wisata. Uraian tersebut di atas terungkap bahwa hutan, kehutanan dan hasil hutan sesungguhnya menjadi sumberdaya (resources) yang mempunyai potensi menciptakan barang, jasa serta aktifitas ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Kajian ekonomi akan meliputi semberdaya sendiri-sendiri atau secara majemuk sehingga disebut sumberdaya hutan (Wirakusumah, 2003). Sumberdaya hutan (SDH) sebagai penggerak ekonomi dapat teridentifikasi daalam beberapa hal, yaitu: pertama, penyediaan devisa untuk membangun sektor lain yang membutuhkan teknologi dari luar negeri; kedua, penyediaan hutan dan lahan sebagai modal awal untuk pembangunan berbagai sektor, terutama untuk kegiatan perkebunan, industri dan sektor ekonomi lainnya; dan yang ketiga, peran kehutanan dalam pelayanan jasa lingkungan hidup dan lingkungan sosial masyarakat. Ketiga bentuk peranan tersebut berkaitan dengan peranan sumberdaya hutan sebagai penggerak ekonomi yang sangat potensial, sangat kompleks dan saling terkait. Peran SDH

16

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

tersebut dikarenakan sifat produk SDH yang multiguna, tingkat konsumsi produk yang relatif stabil, berpengaruh luas terhadap keadaan ekonomi, padat karya, dan bersifat industrial. Kayu merupakan produk multiguna, sehingga diperlukan banyak jenis industri dan produk kayu hampir selalu berperan pada

setiap

tahapan

perkembangan

teknologi

dan

perekonomian. Produk konsumsi hasil hutan (kayu dan bukan kayu) relatif stabil dan investasi usahanya relatif kecil serta pengembalian modalnya dapat cepat kembali pada areal hutan alam. Produk hasil hutan memiliki ”forward lingkage” dan ”backward lingkage” yang kuat terhadap perkembangan sektor ekonomi lainnya, sehingga dapat mendorong berkembangnya ekonomi pedesaan, karena sifat produk sumberdaya hutan tersebar dan volume produksinya besar, biaya angkut tinggi, dapat menciptakan kegiatan ekonomi di permukiman dekat kawasan hutan. Industri hasil hutan relatif lebih muda didirikan, biasanya tidak memerlukan input teknologi tinggi dan skala usaha tidak terlalu besar. Peranan sumberdaya hutan sebagai penghasil devisa sangat

penting

untuk

perbaikan

ekonomi

makro

dan

perdagangan global. Peranan hasil hutan selalu lebih tinggi untuk menghasilkan devisa, terutama pada negara yang baru berkembang dan berbasis pada sumberdaya, karena hutan pada awal perkembangan ekonomi suatu negara sangat mudah dipanen (biaya eksploitasinya rendah. Sebagai penggerak sektor ekonomi lainnya, maka hasil hutan memberi dukungan modal bagi pembangunan infrastruktur industri dalam negeri dan

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

17

untuk penyediaan teknologi yang berasal dari impor. Dukungan lainnya adalah banyak kegiatan yang dibiayai langsung dari hasil kayu tebangan untuk mendorong kegiatan perkebunan, sebagai hasil konversi hutan. Sumberdaya hutan juga sangat penting artinya dalam penyediaan lapangan kerja, karena kehutanan

memiliki

banyak

alternatif

lapangan

usaha.

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dari sektor kehutanan saat ini mengalami penurunan dibandingkan pada awal pembangunan Indonesia, disamping itu angka dan konstribusinya sangat kecil dari seharusnya karena perhitungan PDB (Produk Domestik Bruto) hanya menghitung nilai uang (nilai pasar), tidak menghitung intangible benefit seperti fungsi sumberdaya hutan dalam pengaturan tata air, pencegah erosi dan penyerapan karbon, dan tidak melihat keterkaitan /dampak positif dari sektor kehutanan ke sektor lain seperti dampak terhadap peningkatan sektor industri dan pertanian sawah irigasi. 2.4. Kerangka Pikir Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator penting pembangunan daerah sebagai alat ukur nilai produksi yang dihasilkan dari suatu kegiatan ekonomi wilayah. PDRB disusun tiap tahun dan diterapkan untuk tingkat regional atau daerah, seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota. Hanya saja PDRB yang selama ini dihitung atau yang disebut sebagai PDRB Konvensional (Coklat), hanya mengukur hasil kegiatan

ekonomi

semata

tanpa

memasukkan

dimensi

lingkungan hidup didalamnya. Oleh karena itu, PDRB harus

18

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

dikembangkan dengan memasukan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau disebut sebagai PDRB Hijau. Adapun kerangka pikir yang mendasari perumusan dan penyusunan PDRB Hijau provinsi Sulawesi Barat, khususnya

untuk

sektor

kehutanan

dapat

dilihat

pada

Gambar 2-1.

Gambar 2-1. Kerangka pikir yang mendasari perumusan dan penyusunan PDRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

19

2.5. Visi, Misi dan Sasaran Pembangunan Ekonomi Provinsi Sulawesi Barat Berdasarkan kondisi Provinsi Sulawesi Barat saat ini, maka tantangan yang dihadapi dalam 20 tahun ke depan dengan memperhatikan potensi dan faktor strategis yang dimiliki daerah ini, maka dibuatlah Visi dan Misi Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Sulawesi Barat tahun 2005-¬2025 yang telah dituangkan

dalam

bentuk

visi

pembangunan.

Visi

pembangunan berfungsi untuk mengarahkan aktivitas dari semua tatanan internal pada satu sasaran yang disepakati bersama. Visi Pembangunan Jangka Panjang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Sulawesi Barat 2005-2025 merumuskan bahwa Visi Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Sulawesi Barat 2005-2025, adalah: ”Terwujudnya Sulawesi Barat yang Sejahtera, Maju, dan Malaqbi” Visi Sulawesi Barat ini mengandung pengertian yang luas dan

menggambarkan

aspirasi

serta

cita-cita

masyarakat

Sulawesi Barat dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang. Makna yang terkandung dalam Visi diuraikan berikut ini: Sulawesi Barat yang Sejahtera dapat dimaknakan sebagai pencapaian kondisi kehidupan yang lebih baik, yang ditandai oleh terpenuhinya hak-hak dasar dan meningkatnya taraf hidup masyarakat secara berkelanjutan. Sulawesi Barat yang Maju dapat diartikan sebagai kemampuan daerah ini untuk mampu sejajar dengan provinsi

20

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

lainnya di Indonesia. Visi ini penting mengingat bahwa Provinsi Sulawesi Barat merupakan provinsi yang baru terbentuk (pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan). Dukungan sumberdaya alam dan akar budaya yang kuat, menjadi pondasi yang kuat untuk menuju Sulawesi Barat yang Maju. Sulawesi Barat yang Malaqbi lebih dimaknakan sebagai kemampuan manusia daerah ini untuk mencapai derajat sebagai manusia mulia dan bermartabat. Manusia mulia dan bermartabat dimaksud merupakan manifestasi dari nilai-nilai budaya dan agama masyarakat Sulawesi Barat. Visi ini sekaligus ingin menegaskan bahwa manusia merupakan muara dari seluruh aktivitas pembangunan. Misi Pembangunan Jangka Panjang Misi Pembangunan Jangka Panjang Sulawesi Barat tahun 2005-2025 dapat dirumuskan sebagai berikut: •

Mendorong Pemenuhan Hak-hak Dasar Masyarakat Sulawesi Barat. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dapat

didorong

melalui

pertumbuhan

ekonomi,

perluasan lapangan kerja, dan peningkatan akses penduduk terhadap sumberdaya. •

Mendorong Kemajuan Daerah Sulawesi Barat Secara Merata Kemajuan daerah secara merata dapat didorong melalui optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lokal serta pengembangan kerjasama antar daerah dan kemitraan antar pelaku dalam pengelolaan sumberdaya.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

21



Mewujudkan Peningkatan Kualitas Manusia Sulawesi Barat

Meningkatkan

kualitas

manusia

melalui

peningkatan kehidupan beragama, perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan, pengembangan seni budaya dan olah raga. Kualitas manusia mengandung arti memiliki jatidiri dan wawasan yang luas sehingga selain mampu mengaktualisasikan dirinya secara mandiri juga mampu bersikap dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota dari tatanan pada berbagai strata

dan

sebagai

makhluk

menyadari

bahwa

ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan suatu keniscayaan Nilai-Nilai Pembangunan Jangka Panjang Masyarakat Sulawesi Barat yang multi etnik, setidaknya memiliki nilai-nilai budaya lokal yang diwarnai oleh empat etnik besar yakni Mandar, Toraja, Bugis, dan Makassar membentuk nilai

universal

yang

dapat

membangun

suatu

tatanan

masyarakat. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa, pengaruh nilai luar, juga ikut memberikan nuansa yang makin menguatkan akar jati diri Masyarakat Sulawesi Barat. Nilai Budaya Tradisional menjadi kuat karena pengaruh Nilai-nilai agama yang diterima secara baik, sekalipun terkadang masih muncul pemahaman berbeda dalam implementasi kehidupan sosial sehari-hari. Nilai-nilai luhur Budaya Lokal mampu menyatu dengan nilai-nilai ajaran Agama sehingga menciptakan masyarakat Sulawesi Barat yang religius.

22

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

Inti nilai luhur budaya lokal Sulawesi Barat sesungguhnya tercermin dalam nilai malaqbi’. Malaqbi' dalam bahasa mandar dapat diartikan sebagai nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan keutamaan dalam sifat-sifat berharkat dan bermartabat. Makna ini dapat ditemukan dalam budaya mandar yang diungkapkan diberbagai lontar yaitu: ”pelindo lindo maririo nanacanringngo’ opaqbanua” (anda diharuskan memiliki sifat yang berharkat dan bermartabat agar dicintai oleh rakyat) Nilai-nilai dasar masyarakat Sulawesi Barat dalam RPJPD ini diharapkan menjadi landasan moral dan etika dalam visi, misi dan arah kebijakan pembangunan daerah. Bahkan diharapkan dapat dijabarkan dalam prioritas program melalui implementasi pembangunan Budaya lokal yang dapat membentuk jati diri Manusia Sulawesi Barat yang malaqbi. Untuk itu diperlukan identifikasikan nilai-nilai yang dibutuhkan itu yang dapat ditemukenali melalui berbagai literature-lontarak-pappaseng-pasanga

atau

pada

semua

rumpun budaya lokal, namun sesuai wacana kemandirian lokal, setidaknya dibutuhkan nilai yang bersifat universal. Nilai kemandirian berbasis pada nilai kerja keras yang berbasis pada makna resopa temmangingi namalomo naletei pammpase dewata; yang hanya dapat berhasil jika etos kerja kerja keras yang diridhoi oleh Tuhan yang maha kuasa. Sebagai semangat kerja, tekad untuk pantang mundur sebelum berhasil dalam falsafah, kualleangngangi tallangi natowaliya; takkalai nisombalang dotai ruppu dai natuwali.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

23

Nilai kemitraan dan kebersamaan yang berbasis pada falsafah sipakatau, sipakalebbi - sipakalabbiri; sirondo-rondoi; sitaiyyang apiangang tassitaiyyang addaiyyang; abbulo sipappaallemo sibatu-tallang sipahua manya siparampe dengan makna menjalin kerjasama dan kebersamaan berdasarkan penghargaan sesama manusia atau kelompok manusia. Saling mengingatkan kepada kebaikan dan saling mencegah pada kejahatan. Nilai keterbukaan/akuntabilitas dapat ditemukan dalam falsafah, lempu; getteng; ada tongeng; temmapassilaingeng; tappa; barani sukaran aluk; mballa asi-asinna jiong mangapagna tana; membawa makna kehidupan kemasyarakatan dan penegakan hukum secara jujur, tegas, adil terpercaya, berani karena benar, tunduk pada hukum, transparan dan bertanggungjawab. Nilai kesadaran kosmologis, berbasis pada falsafah, parrampunganta; malilu sipakainge mali siparappe sipatuo sipatokkong; siama amasei;

yang mengandung makna mempersatukan atau

memposisikan secara integral antara alam, manusia dan sang pencipta. Harus saling melindungi, menyadarkan, tolong menolong satu dengan lainnya bahkan saling mendukung untuk kebaikan bersama. Oleh karena itu harus terjadi interkoneksitas harmonis agar tetap terlindungi oleh sang pencipta

Falsafah

ini

sekaligus

memberitahu

makna

tanggungjawab dalam kelestarian lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. Nilai kebhinekaan yakni menghargai keberagaman untuk kebersamaan dalam bingkai kesetiakawanan sosial dalam masyarakat

24

sebagai

kekayaan

budaya

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

yang

menjamin

terselenggaranya pembangunan yang berkesinambungan, basis falsafah ini dapat ditarik dari makna siri na pacce; pesse; siama masei; sianaccapamei; yakni memiliki rasa kesetiakawanan sosial. Nilai demokrasi dapat dicermati melalui angngarumangngaru, sumpah kesetiaan dan kontak sosial antara pemerintah dan masyarakat assamaturuseng; passamaturukang; abbulo sibatang; ademi ripopuang; luka taro arung-telluka taro ade-luka taro ade-telluka taro anang; tengkona tang diturungajokkana tang dilendokang; persatuan dan kesatuan dengan makna kebersamaan dalam kemufakatan sebagai kiat untuk mempertemukan berbagai aspirasi masyarakat menjadi basis harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Adat lebih menentukan dari penguasa, bahkan rakyat lebih menentukan dari adat. Kekuasaan di tangan rakyat karena aturan ade’ yang dipatuhi bukan karena kehendak sang penguasa. Nilai profesionalisme/kwalitas SDM sebagai modal dasar untuk pengembangan tataran modern dapat dipetik makna budaya lokal dari falsafah sulapa eppa; sulapa appa; toddopuli temmalara; misa kada sipatuo; pantang kada dipomate; anre nakulle nigiling nijarrekkija tanirokkai; yakni jika tekad memang sudah bulat tidak akan bisa diubah oleh siapapun. Nekad bertindak menurut kesepakatan, dalam pengertian seseorang akan memiliki tekad keras yang bulat karena dalam pengertian seseorang akan memiliki kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang memadai sehingga bisa bertekad untuk mengemban amanah/tugas yang dibebankan kepadanya.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

25

Mewujudkan Daerah Sulawesi Barat yang Maju Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi yang baru terbentuk,

ketimpangan

pembangunan

dan

pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang belum optimal nampaknya masih cukup terasakan secara signifikan di daerah ini. Untuk menjadikan Provinsi Sulawesi Barat sebagai daerah yang maju, maka arah pembangunan daerah ke depan harus diorientasikan pada pembangunan yang merata baik antar sektor maupun antar wilayah dan optimalisasi pengelolaan sumberdaya

alam

untuk

menuju

kepada

terciptanya

pembangunan berkelanjutan. 1. Terwujudnya pembangunan yang merata antar sektor dan antar wilayah a. Infrastruktur Daerah Arah kebijakan bidang infrastruktur daerah diarahkan pada berkurangnya kesenjangan antarwilayah yang tercermin dari terpenuhinya pelayanan dasar masyarakat sampai ke wilayah terpencil seperti ketersediaan air, listrik, transportasi dan telekomunikasi; meningkatnya pertumbuhan ekonomi daerah dan pemerataan pendapatan sebagai akibat dari kelancaran distribusi barang dan jasa; meningkatnya arus informasi IPTEK; dan meningkatnya investasi dari sektor swasta. Arah pembangunan infrastruktur daerah dijabarkan dalam bentuk: 1. Perbaikan infrastruktur jalanan dan jembatan provinsi dan kabupaten melalui pengaspalan dan pelebaran jalanan, pelebaran jembatan permanent dan perbaikan

26

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

jalanan semua desa agar dapat dijangkau kendaraan roda empat 2. Peningkatan pelayanan infrastruktur air bersih dan tenaga listrik 3. Peningkatan kerjasama dengan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur b. Investasi Daerah Pengembangan

investasi

daerah

diarahkan

pada

terwujudnya iklim investasi yang kondusif dan sehat untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi, penurunan pengangguran, dan tingkat kemiskinan baik di perkotaan

maupun dipedesaan; terciptanya pengembangan

wilayah; dan meningkatnya peran Sulawesi Barat dalam pembangunan regional Sulawesi. Hal ini dilakukan melalui upaya: 1. Peningkatan

jaminan

dan

kepastian

hukum

termasuk didalamnya jaminan atas keamanan usaha dan kejelasan peraturan daerah 2. Penciptaan iklim investasi yang kondusif seperti pemberian insentif bagi dunia bisnis, kemudahan perijinan usaha (pemangkasan birokrasi) 3. Peningkatan promosi dan kerjasama investasi seperti

penyusunan

pengembangan

profil

pameran

investasi

daerah,

investasi

dan

pengembangan potensi unggulan daerah. c. Wilayah dan Tata Ruang

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

27

Arah pembangunan wilayah dan tata ruang diarahkan pada terciptanya keserasian pemanfaatan tata ruang dan terciptanya pemanfaatan

optimalisasi

pengembangan

potensi-potensi

wilayah

unggulan

melalui

wilayah.

Arah

pembangunan ini dijabarkan dalam bentuk: 1. Perbaikan percepatan infrastruktur 2. Pemetaan ruang secara optimal seperti perbaikan lokasi kegiatan dan batasan kemampuan lahan 3. Pemanfaatan

ruang

wilayah

dengan

tetap

memperhatikan aspek wilayah lainnya 4. Penguatan kelembagaan daerah 5. Peningkatan

koordinasi dan

kerjasama

antar

wilayah 6. Regulasi

tata

berkurangnya

ruang

yang

kerentanan

mendukung

wilayah

terhadap

bencana d. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pengembangan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi

diarahkan pada lahirnya teknologi berbasis pengetahuan asli masyarakat dan tepat guna bagi pengembangan produk unggulan serta sumberdaya lokal. Arah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dijabarkan dalam bentuk: 1. Kegiatan penelitian dan pengembangan inovasi serta adopsi teknologi dari luar 2. Peningkatan

kreativitas

masyarakat

pelatihan penerapan teknologi

28

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

melalui

3. Penyiapan

sarana

dan

prasarana

untuk

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi e. Kerja Sama Daerah Pengembangan

kerjasama

daerah

meningkatnya pelayanan publik

diarahkan

pada

kepada masyarakat

dan

meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang dijabarkan dalam bentuk: 1. Pengembangan

kerjasama

dalam

keterkaitan

fungsional antar wilayah perencanaan Provinsi Sulawesi Barat, terutama keterkaitan aktivitas ekonomi antara kabupatan dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat 2. Pengembangan

kerjasama

fungsional

dengan

wilayah-wilayah yang berbatasan secara langsung, khususnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tengah,

dan

Kalimantan

Timur,

khususnya yang berkaitan dengan pengembangan jaringan

industri

dan

distribusi

komoditas-

komoditas unggulan 3. Pengembangan

pola

kemitraan

dalam

pembangunan infrastruktur 4. Peningkatan koordinasi antar daerah 5. Penguatan kelembagaan baik pemerintah, swasta maupun masyarakat 6. Peningkatan investasi melalui perbaikan iklim investasi yang kondusif; dan (vii) peningkatan kerjasama di bidang ekonomi.

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

29

2. Terwujudnya pengelolaan sumberdaya lingkungan hidup secara berkelanjutan

alam

dan

a. Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Pengembangan sumberdaya alam dan lingkungan hidup diarahkan

pada

meningkatnya

hasil

dan

nilai

tambah

sumberdaya alam, tertekannya tingkat kerusakan sumberdaya alam secara fisik dan biotik serta meningkatnya daya dukung lingkungan bagi keberlanjutan pembangunan. Pengembangan ini dijabarkan dalam bentuk: 1. Penegakan hukum untuk menjamin berkurangnya kerusakan lingkungan 2. Perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup 3. Optimalisasi

pemanfaatan

sumberdaya

alam

seperti hasil hutan, hasil tambang dan hasil laut 4. Perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup 5. Peningkatan nilai tambah hasil sumberdaya alam 6. Peningkatan lingkungan

investasi yang

yang

mendukung

berwawasan pengembangan

pariwisata. b. Perikanan dan Kelautan Pembangunan perikanan dan kelautan diarahkan pada: 1. Meningkatnya produksi dan nilai tambah hasil perikanan dan kelautan seperti rumput laut, ikan tuna, teripang, lobster dan lain-lain

30

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

2. Meningkatnya kemampuan petani nelayan dalam mengelola sumberdaya alam yang selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan petani nelayan 3. Berkurangnya

pelanggaran

dan

perusakan

sumberdaya pesisir dan laut Arah pembangunan perikanan dan kelautan dapat dijabarkan dalam bentuk upaya: 1. Penataan dan perbaikan lingkungan perikanan budidaya 2. Perbaikan dan peningkatan sumberdaya perikanan tangkap 3. Pengembangan kelembagaan dan pembinaan petani nelayan 4. Pengembangan pasca panen untuk meningkatkan nilai tambah 5. Pengembangan budidaya perikanan dan kelautan 6. Peningkatan kemampuan kualitas SDM petani nelayan 7. Optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi perikanan

dan

kelautan

(hasil

tangkap

dan

budidaya) 8. Pengelolaan

sumberdaya

laut

yang

berbasis

ekosistem 9. Pengurangan

pelanggaran

dan

perusakan

sumberdaya pesisir dan laut. c. Perkebunan Arah pengembangan perkebunan diarahkan pada:

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

31

1. Meningkatnya daya saing, produksi, produktivitas dan nilai tambah hasil perkebunan seperti, kakao, kopi, kelapa sawit, dan kelapa dalam 2. Meningkatnya kesejahteraan petani 3. Meningkatnya volume ekspor komoditas unggulan hasil perkebunan Arah pengembangan perkebunan dapat dijabarkan dalam bentuk upaya: 1. Peningkatan kualitas SDM petani melalui kegiatan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, serta penguatan kelembagaan para petani 2. Peningkatan penciptaan

kesejahteraan kualitas

dan

petani,melalui

nilai

tambah

hasil

perkebunan 3. Peningkatan pemasaran hasil perkebunan 4. Peningkatan penerapan teknologi 5. Peningkatan volume ekspor komoditas unggulan hasil perkebunan melalui peningkatan mutu dan kualitas produk hasil perkebunan. d. Kehutanan Arah

pembangunan

kehutanan

diarahkan

pada

meningkatnya produksi dan nilai tambah hasil hutan dan terpeliharanya pendapatan

hutan

secara

masyarakat

berkelanjutan,

disekitar

kawasan

meningkatnya hutan,

dan

terwujudnya keseimbangan fungsi hutan dan alam hayati lainnya sebagai penopang kelanjutan sistem kehidupan. Arah pembangunan kehutanan dapat dijabarkan dalam bentuk:

32

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

1. Pemanfaatan secara optimal potensi sumberdaya hutan 2. Pengembangan jenis-jenis tanaman baru yang memiliki nilai tinggi dan mampu berproduktivitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan industri 3. Pemberdayaan

dan

peningkatan

peran

serta

masyarakat terhadap reboisasi dan rehabilitasi hutan serta lahan dan penghijauan di luar kawasan hutan 4. Perlindungan

sumberdaya

hutan

seperti

penyadaran kepada masyarakat mengenai dampak pembakaran

hutan,

sosialisasi

pencegahan

kebakaran hutan dan lahan 5. Pengembangan industri dan pemasaran hasil hutan 6. Penataan kawasan hutan dan pembuatan tata batas

untuk

menjamin

terciptanya

kepastian

hukum dalam pengelolaan kawasan hutan, baik oleh masyarakat maupun untuk kepentingan industri dan perlindungan dalam arti luas 7. Peningkatan

koordinasi

dan

penguatan

kelembagaan dalam wilayah DAS dan diikuti dengan peningkatan pengawasan dan penegakan hukum. e. Pertambangan Arah

pembangunan

pertambangan

diarahkan

pada

terkondisinya pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

33

yang dikelola secara efisien dan berkelanjutan, yang dijabarkan dalam bentuk: 1. Identifikasi potensi-potensi pertambangan yang potensial dan berdaya saing 2. peningkatan produksi dan nilai tambah hasil pertambangan 3. pengelolaan potensi sumberdaya tambang secara efisien dan berkelanjutan, terutama eksplorasi migas, baik di darat maupun di lepas pantai. f. Industri Arah

pengembangan

perindustrian

diarahkan

pada

meningkatnya daya saing, produksi, produktivitas dan nilai tambah hasil industri, terciptanya perluasan lapangan kerja, berkembangnya industri yang berorientasi ekspor dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Pengembangan perindustrian dijabarkan dalam bentuk: 1. Peningkatan daya saing melalui peningkatan mutu dan kualitas produk 2. Peningkatan pola kemitraan/kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait 3. Penguatan

kelembagaan

industri

kecil

dan

menengah 4. Peningkatan pemasaran hasil industri 5. Peningkatan kemudahan aksesibilitas modal bagi industri kecil kepada perbankan 6. Peningkatan kemampuan penerapan teknologi industri

34

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

7. Pengembangan sentra-sentra industri potensial 8. Penyediaan

fasilitas

sarana

dan

prasarana

pendukung. g. Perdagangan Arah

pengembangan

perdagangan

diarahkan

pada

meningkatnya skala dan volume perdagangan antar daerah, kawasan, dan pulau serta membaiknya sistem distribusi barang dan jasa melalui upaya: 1. Peningkatan efisiensi dan efektifitas sistem pemasaran dan distribusi barang dan jasa antar daerah, kawasan, dan pulau 2. Pengembangan pasar lokal di daerah-daerah perdesaan, terutama daerah terpencil, terisolasi dan tertinggal 3. Peningkatan peran usaha perdagangan skala mikro, kecil dan menengah dalam bidang jasa perdagangan 4. Peningkatan kerjasama perdagangan antar kawasan, pulau, dan negara 5. Penguatan kelembagaan perdagangan seperti kelembagaan perlindungan konsumen dan kelembagaan persaingan usaha yang sehat serta kelembagaan perdagangan lainnya 6. Penyederhanaan prosedur dan perijinan yang menghambat kelancaran distribusi barang dan jasa. h. Pariwisata Pembangunan pariwisata diarahkan pada peningkatan penerimaan daerah, memperluas kesempatan kerja, pelestarian dan pengenalan kebudayaan daerah yang sejalan dengan letak Provinsi Sulawesi Barat yang strategis dalam Lintas Sulawesi. Sasaran pengembangan pariwisata tersebut dapat dicapai dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya yang dimiliki PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

35

Sulawesi Barat, khususnya yang berkaitan dengan kebaharian, kebudayaan dan sejarah yang dijabarkan dalam bentuk: 1. Pengembangan pemasaran pariwisata melalui pembentukan jaringan kerjasama 2. Pembangunan dan peningkatan pembangunan sarana dan prasarana pariwisata 3. Pengembangan daerah tujuan wisata 4. Pengembangan SDM di bidang kebudayaan dan pariwisata 5. Pembangunan infrastruktur pendukung kepariwisataan. 3. Terwujudnya pemerintahan yang kuat dan kehidupan demokrasi yang sehat dan dinamis a. Pemerintahan Arah

pembangunan

pemerintahan

diarahkan

pada

terimplementasikannya prinsip-prinsip good governance dan clean government dalam pelaksanaan pemerintahan dan pelayanan publik, yang dijabarkan dalam bentuk: 1. Pelaksanaan pemerintahan yang kolaboratif antara kelembagaan pemerintah, kelembagaan swasta dan kelembagaan masyarakat yang berlangsung transparan dan akuntabel 2. Peningkatan

kualitas

pelayanan

publik

dan

pelayanan dasar masyarakat 3. Penguatan kelembagaan dan kapasitas aparat pemerintah pada setiap tingkatan pemerintahan 4. Efektifitas koordinasi antar unit kerja dan antar daerah kabupaten

36

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

5. Peluasan jangkauan pelayanan pemerintahan pada daerah-daerah terisolasi dan terpencil, rawan bencana, serta daerah tertinggal dan perbatasan. b. Politik Arah pembangunan politik diarahkan pada terwujudnya stabilitas politik dan keamanan serta kematangan berdemokrasi, yang dijabarkan dalam bentuk: 1. Pengembangan organisasi sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kemasyarakatan lainnya sebagai wadah penyaluran aspirasi masyarakat 2. Posialisasi nilai-nilai demokrasi melalui kerjasama dengan instansi terkait 3. Pengembangan organisasi dan profesionalisme partai politik 4. Peningkatan peran partai politik sebagai sarana sosialisasi, komunikasi, dan rekruitmen politik 5. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan publik 6. Peningkatan

kapasitas

dan

kapabilitas

DPRD

sebagai mitra kerja eksekutif. c.Hukum & Kesatuan Bangsa Arah pembangunan hukum diarahkan pada terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib dan sadar hukum, iklim investasi yang baik dan hubungan perusahaan dengan pekerja yang harmonis, melalui upaya perumusan peraturan daerah dan penegakan hukum. Pembangunan hukum juga diarahkan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi dan

PDRB-HIJAU| KONSEP PDRB HIJAU

37

nepotisme. Arah pengembangan kesatuan bangsa diarahkan untuk memantapkan harmoni antar etnis, agama, golongan dan lapisan serta merestorasi modal sosial melalui dorongan kerjasama, resolusi konflik, dan saling percaya serta penguatan organisasi sosial kemasyarakatan.

38

KONSEP PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

BAB III 3. METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU 3.1. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah pendekatan

statistik

kuantitatif

dengan

dasar

analisis

parameter-parameter pendapatan (ekonomi) dan kerusakan (deplesi dan degradasi). Khusus dalam menghitung dampak negatif yang timbul akibat pengolahan industri hasil hutan, digunakan berbagai metode yang paling mendekatai angka degradasi, yakni dengan metode prevention cost. Selain itu, metode lain yang digunakan adalah metode observasi langsung dan metode perkiraan dengan menggunakan benefit transfer. Kemudian valuasi ekonomi dapat menggunakan metode biaya pengganti (replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang (forgone income). 3.2. Tahapan Pelaksanaan Studi Untuk mencapai tujuan penelitian (studi), maka secara sistematis prosedur penelitian yang dilakukan menurut tahapan sebagai berikkut: 1. Studi/review literatur terhadap konsep PDRB hijua dan pedoman-pedoman

terkait

PDRB

hijau

yang

diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup maupun oleh kementerian Kehutanan; 2. Studi/review dan pengambilan data laporan-laporan PDRB

provinsi

Sulawesi

Barat

dan

beberapa

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

39

Kabupaten yang masuk dalam ruanglingkup lokasi studi; 3. Studi/review dan pengambilan data sekunder dari berbagai data dan informasi statistik yang relevan dengan pendekatan yang dilakukan seperti publikasi statistik Daerah dalam Angka baik tingkat provinsi maupun kabupaten, dan laporan kinerja institusi atau statistik yang disusun oleh SKPD di Provinsi Sulawesi Barat terkait bidanng kebuhatan dan lingkungan hidup, seperti Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian, Dinas Pendapatan Daerah dan lain sebagainya yang dianggap relevan dan mendukung

dalam

pengayaan

informasi

dalam

penyusunan PDRB Hijau ini; 4. Mengindentifikasi macam produk sumberdaya hutan yang ada dalam daerah berdasarkan dokkumen statistik/publikasi yang telah dikumpulkan sebelumya; 5. Pengambilan

data

promer

melalui

survey

dan

observasi lapangan pada beberapa kabupaten dalam lokasi studi; 6. Identifikasi ragam produk kehutanan yang mengalami deplesi; 7. Menghitung volume deplesi produk (sumberdaya) kehutanan yang telah diidentifikasi pada poin 6 8. Menghitung valuasi deplesi produk/summberdaya kebutunan 9. Menghitung konstribusi semi hijau sektor kehutanan

40

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

10. Menghitung degradasi lingkungan sektor kehutanan 11. Menghitung konstribusi hijau sektor kehutanan dan konstribusi sektor kehutanan dalam pembangunan berkelanjutan. 3.3. Perhitungan PDRB Coklat Perhitungan PDB atau PDRB apabila dalam lingkup regional yang terbatas menggunakan dua metode utama, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung.

PDRB yang

umum kita dapati adalah hasil perhitungan dengan metode langsung, dimana perhitungan dilakukan dengan menggunakan data

yang

bersumber

dan

tersedia

oleh

badan-badan

pemangku kepentingan dari daerah. Dalam implementasinya, terdapat tiga pendekatan yang digunakan dalam perhitungan PDRB langsung ini, yaitu 1) Pendekatan Produksi; 2) Pendekatan Pendapatan; dan 3) Pendekatan Pengeluaran.

Nilai produksi

Rp. ……………

Input Perantara (Intermediate Inputs)

Rp. …………… (-)

Nilai Tambah (PDRB) Coklat

Rp. ……………

Persamaan i

Pendekatan Produksi merupakan pendekatan yang paling banyak

digunakan apabila perhitungan dilakukan terkait

dengan sumberdaya alam. Dalam pendekatan ini perhitungan nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi dilakukan dengan cara mengurangi output dari masing-masing sektor atau sub sektor dengan biaya

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

41

antaranya olehnya pendekatan ini dikenal juga dengan pendekatan Nilai Tambah. Konstribusi sektoral terhadap angka PDRB dihitung dengan Persamaan (i). 3.4. Kinerja Pembangunan Sektoral Identifikasi terhadap kinerja pembangunan sub-sektor kehutanan dalam subsektor pertanian (sektor primer) diukur dengan menggunakan metode Shift Share Analysis (disingkat SSA). Menurut Setiyanto, dkk (2014), analisis SSA digunakan untuk mengetahui pergeseran struktur aktivitas perekonomian suatu wilayah, mengukur kemampuan berkompetansi aktivitas tertentu (sektor atau sub-sektor), dan mengkur kinerja aktifitas tertentu dalam suatu wilayah. Bentuk umum dan persamaan dari analisis Shift-Share dan komponen-komponennya adalah sebagai berikut: Dij = Nij + Mij + Cij Dimana: i

= sektor ekonomi yang dikaji

j

= variabel wilayah yang dikaji

Dij

= perubahan sektor ke-i didaerah ke-j (daerah bawah)

Nij

= pertumbuhan regional sektor ke-i di daerah ke-j (daerah bawah)

Mij

= bauran industri/pertumbuhan proporsional sektor ke-i di daerah ke-j (daerah bawah)

Cij

= keunggulan kompetitif/pertumbuhan pangsa wilayah sektor ke-i didaerah ke-j (daerah bawah)

42

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

Variabel yang digunakan adalah tenaga kerja atau PDRB yang dinotasikan sebagai (E), maka: Dij = E*ij – Eij Nij = Eij x Rn Mij = Eij (Rin – Rn) Cij = Eij (Rij – Rin) Eij

Dimana: PDRB sektor ke-i di daerah ke j (daerah bawah)

E*ij

PDRB sektor ke-i di daerah ke j akhir tahun analisis (daerah bawah)

Rij

Laju pertumbuhan ekonomi sektor ke-i di daerah ke j (daerah bawah)

Rin

Laju pertumbuhan ekonomi sektor ke-i di daerah ke j (daerah atas)

Rn

Laju pertumbuhan GNP di daerah n (daerah atas)

3.5. Perhitungan PDRB Semi Hijau Hasil pengembangan konsep PDRB Coklat dengan memasukkan dimensi lingkungan (deplesi sumberdaya alam dan kerusakan-kerusakan lingkungan) ke dalam perhitungan PDRB konvensional (PDRB-Coklat) kemudian desebut dengan PDRB Semi Hijau. Pada kajian ini, fokus analisis PDRB adalah pada sektor kehutanan, sehingga nilai tambah produksi yang digunakan dalam PDRB Coklat adalah nilai tambah dari sektor kehutanan.

PDRB Coklat sektor kehutanan selanjutnya

dikurangi dengan nilai deplesi dari sektor kehutanan, Perhatikan Persamaan (ii) berikut ini:

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

43

Nilai produksi Sek. Kehutanan

Rp. ……………

Input Perantara (Intermediate Inputs)

Rp. …………… (-)

Nilai Tambah (PDRB) Coklat Sek. Kehutanan

Rp. ……………

Deplesi Sumberdaya Alam

Rp. …………… (-)

PDRB Semi Hijau

Rp. ……………

Persamaan ii

3.6. Perhitungan PDRB Hijau PDRB Hijau merupakan nilai-nilai pada PDRB Semi Hijau yang dikurangi lagi dengan nilai kerusakan atau degradasi lingkungan. Jadi pengembangan menjadi PDRB Hijau adalah sebagaimana pada Persamaan (iii) berikut ini:

PDRB Semi Hijau

Rp. ……………

Degradasi Lingkungan

Rp. …………… (-)

PDRB Hijau

Rp. ……………

Persamaan iii

3.7. Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan Ruang lingkup studi dalam kajian BPRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat ini adalah sektor kehutanan. Selain merupakan inisiasi pemerintah daerah untuk menggunakan parameter dan paradigm baru dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan, provinsi Sulawesi Barat juga masih memiliki kawasan hutan yang luas dan masih berpengaruh penting terhadap pendapatan dan pertumbuhan ekonomi

44

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

daerah. Karena hutan merupakan bagian dari sistem lingkungan hidup yang tidak terlepas dari sektor-sektor lain, maka dalam tahapan penyusunan konstribusi PDRB Hijau Sektor Kehutanan tetap

dilakukan

identifikasi

berkaitan/relevan.

sektor-sektor

lain

yang

Secara sederhana penyusunan Kontribusi

Hijau Sektor Kehutanan diuraikan sebagai berikut: 1)

Identifikasi dan analisis sektor turunan Kehutanan Identifikasi dan analisis terhadap sektor turunan yang berkaitan dengan sektor kehutanan (sub sektor kehutanan), paling tidak industri pengolahan hasil hutan;

2)

Identifikasi Produksi Sumberdaya Hutan Identifikasi

produksi

hutan

adalah

upaya

untuk

menginfentarisir jenis dan volume sumberdaya hutan (produk) yang memiliki nilai ekonomi dalam wilayah. Produk atau sumberdaya ini dapat merupakan kayu maupun non kayu yang diambil/digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara teknis, informasi ini dapat diperoleh dari Dinas Perindustrian, Badan Pusat Statistik,

atau

melalui

wawancara

dengan

beberapa

perusahaan dan industri yang ada. 3)

Menentukan/Menghitung Valuasi Ekonomi, Deplesi dan Degradasi Sumberdaya Hutan Valuasi ekonomi sumberdaya hutan dilakukan untuk menyatakan seluruh hasil produk hutan yang digunakan (diekstrak dari hutan) kemudian menyatakannya dalam satu nilai moneter.

Penentuan valuasi ekonomi, deplesi dan

degradasi sumberdaya hutan mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

45

Nomor 15 Tahun 2012, tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan. Penetapan nilai ekonomi total maupun nilai ekonomi kerusakan lingkungan dapat menggunakan pendekatan harga pasar dan pendekatan non pasar. Pendekatan

harga

pasar

dapat

dilakukan

melalui

pendekatan produktivitas, pendekatan modal manusia (human capital) atau pendekatan nilai yang hilang (foregone earning), dan pendekatan biaya kesempatan (opportunity cost). Sedangkan pendekatan harga non pasar dapat digunakan melalui pendekatan preferensi masyarakat (nonmarket method).

Beberapa pendekatan non pasar yang

dapat digunakan antara lain adalah metode nilai hedonis (hedonic pricing), metode biaya perjalanan (travel cost), metode kesediaan membayar atau kesediaan menerima ganti rugi (contingent valuation), dan metode benefit transfer. Data harga diperoleh dari data sekunder ataupun data primer dari perusahaan yang terlibat dalam proses produksi dan penggunaan sumberdaya hutan. 4)

Menghitung volume kerusakan deplesif Menghitung volume kerusakan akibat deplesi sumberdaya hutan dan menghitung dampak negatif yang ditimbulkan akibat adanya proses produksi industri hasil hutan. Khusus dalam menghitung dampak negatif yang timbul akibat pengolahan industri hasil hutan ini maka digunakan berbagai metode yang paling mendekati angka degradasi, misalnya dengan metode prevention cost yaitu dengan menginternalkan biaya pengolahan limbah pada hasil akhir industri pengolahan. Selain itu metode lain yang digunakan adalah metode observasi langsung dan metode perkiraan 46

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

dengan menggunakan benefits transfer. Kemudian valuasi ekonominya dapat menggunakan metode biaya pengganti (replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang (forgone income). 5)

Setelah nilai deplesi, degradasi lingkungan dan degradasi industri pengolahan hasil hutan dapat dihitung, selanjutnya nilai-nilai tersebut dikurangkan dari kontribusi sektor kehutanan sehingga akan diperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB.

6)

Kontribusi riil sektor kehutanan pada pembangunan diperoleh dengan jalan menjumlahkan kontribusi sektor kehutanan

dengan

depresiasi

lingkungan

kemudian

dikurangi dengan degradasi industri pengolahan hasil hutan. 3.8. Perhitungan Deplesi Sumberdaya Kehutanan 3.8.1. Estimasi Volume (kerusakan) Hutan Perkiraan

nilai

deplesi

dan

Valuasi

(kerusakan)

dan

Deplesi degradasi

lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya hutan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) macam metode.

Pertama metode

dan nilai yang diberikan oleh Natural Resources Management (NRM) yang merupakan proyek yang dikelola oleh BAPPENAS dan USAID; Kedua, pendekatan yang telah dibuat oleh Bintang Simangunsong yang memberikan nilai yang berbeda terhadap berbagai fungsi hutan; dan Ketiga, pendekatan yang dibuat oleh Suparmoko dkk (2006) yang memperkirakan nilai deplesi dan

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

47

degradasi atas dasar pungutan dana reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar 15% dari nilai hutan secara keseluruhan. Nilai sumber daya hutan atas dasar perkiraan ini adalah 100/15 x (nilai PSDH dan nilai degradasi). Pada penelitian ini, perhitungan estimasi volume deplesi hutan menggunakan pendekatan kedua, yaitu pendekatan yang digunakan oleh Simangunsong (2003). Apabila hutan ditebang diperkirakan oleh Simangunsong akan terjadi kerusakan seperti dalam Tabel 3-1. Tabel 3-1.

Forest Value Of Goods And Services Loss Due To Timber Cutting (USD/Ha)

Service

USD/Ha 8.59

Non Timber Residual Stand Damage

79.41 1.33

Soil and Water Conservation service loss Carbon Sink Service

113.01

Food protection service

1.18

The Option value

0.41

The existence value

1,41

Total Loss

205.34

Sumber: Simangunsong, 2003

Perhitungan Simangunsong hanya mencakup degradasi atau kehilangan nilai barang dan jasa hutan karena penebangan hutan. Nilai kayu yang ditebang belum diberikan nilai. Untuk mendapatkan nilai total deplesi dan degradasi hutan, dalam pendekatan ini akan dijumlahkan antara nilai deplesi atas dasar perhitungan NRM dan nilai degradasi atas dasar perhitungan 48

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

Simangunsong. Luas areal hutan yang ditebang dan yang rusak atau yang terbakar (A). Luas areal hutan yang ditebang dan yang terbakar umumnya dapat diketahui dari data yang disajikan oleh Dinas Kehutanan setempat. Volume kayu yang ditebang dan terbakar diestimasi dengan menggunakan Persamaan di bawah ini kecuali bila datanya langsung tersedia dalam volume kayu. Qk = A x k ………Persamaan (iv) Dimana:

Qk = volume kayu total A = Luas area hutan ditebang (ha) K = volume kayu perhektar

Volume produk lain (non kayu) yang hilang: rotan, damar, madu, sarang burung dan sebagaimnya (Qi), dihitung dengan persamaan: QI = A x I ………Persamaan (v) Dimana:

QI = volume produk non-kayu A = Luas area hutan ditebang (ha) I = volume produk non-kayu perhektar

Perhitungan valuasi ekonomi deplisi sumberdaya hutan untuk kayu (timber) dengan persamaan (vi) dan non kayu (non timber) dengan persamaan (vii), sebagai berikut: VK = Qk x Pk ………Persamaan (vi) Dimana:

Vk = nilai deplesi kayu Pk = Unit rent kayu VI = QI x PI ………Persamaan (vii)

Dimana:

VI = nilai deplesi produk non-kayu Pk = Unit rent produk non-kayu

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

49

3.8.2. Prakiraan Nilai Degradasi Perhitungan nilai degradasi lingkungan pada dasarnya lebih kompleks dibandingkan pada perhitungan nilai deplesi yang lebih terukur. Sehingga dalam perhitungannya diperlukan perkiraan-perkiraan sesuai dengan jenis sumberdaya alam dan lingkungan yang terdegradasi, serta pemahaman hubungan kausal antara sumber kerusakan dengan dampak ditimbulkan.

yang

Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan

Hidup Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 disebutkan bahwa kerugian utama yang timbul sebagai akibat kerusakan hutan dan penebangan hutan dapat berupa: 1. Kehilangan produk kayu dan non kayu; 2. Erosi tanah; 3. Kehilangan unsur hara tanah; 4. Penimbunan tanah di bagian hilir; 5. Pengurangan kesuburan tanah; 6. Penurunan produktifitas pertanian, perikanan dan transportasi; dan/atau 7. Kehilangan air karena tingkat larian air yang tinggi (water run-off). 8. Selain beberapa variable kerusakan di atas yang dinilai juga

adalah

parameter

serapan

karbon

yang

merupakan salah satu fungsi hutan. Sehingga, dalam pengukuran degradasi hutan pada kajian ini mengacu pada letentuan Natural Resources Management (NRM), yang mengukur nilai-nilai degradasi lingkungan oleh

50

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

akibat pengunaan langsung dan penggunaan tidak langsung. Koefisien yang digunakan dalam perkiraan nilai ekonomi (valuasi) degradasi sebagai kompensasi dari nilai-nilai fungsi hutan disajikan pada Tabel 3-2. Tabel 3-2.

Persentase dan Nilai Jasa Hutan

Jenis Nilai Jasa Hutan

Persentase (%)

Atas dasar penggunaan - Nilai penggunaan langsung Kayu Kayu bakar Produk hutan non kayu Konsumsi air - Nilai penggunaan tak langsung

Konservasi air dan tanah

Nilai (US$/ha/thn)

95,42 52,39

4.071,26 2.235,44

29,11

1.242,14

0,08

3,2

23,00

981,43

0,20

8,66

43,03

1.835,83

19,85

847,12

Penyerap karbon

3,14

133,85

Pencegah banjir

12,33

525,92

Transportasi air

2,90

123,81

Keanekaragaman hayati

4,94

210,79

Atas dasar bukan penggunaan

4,58

195,34

Nilai opsi

1,62

69,28

Nilai keberadaan

2,95

126,05

Nilai Ekonomi Total 100 4.266,60 Sumber: NRM, 2006. Catatan: Nilai degradasi ditunjukan oleh nilai penggunaan tak langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan. Nilai ekonomi tersebut dengan asumsi bahwa penebangan kayu dihutan berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan seperti tersebut diatas.

Nilai degradasi (valuasi degradasi) selanjutnya dikalikan dengan volume kerusakan yang terjadi. Dengan asumsi 1 hektar

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

51

hutan menghasilkan 40 m3 kayu, besarnya dana reboisasi sebesar US$ 16/m3 kayu, maka dana reboisasi yang terkumpul per hektar hutan adalah US$ 640/ha; 1 ha hutan primer menyimpan 283 ton karbon (Brown dan Peaece, 1994). Nilai karbon adalah $ 5/ton. 3.8.3. Perhitungan Konstribusi Hijau Perhitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB provinsi

selanjutnya

dilakukan

dengan

mengurangkan

konstribusi total dalam PDRB Coklat dengan nilai (valuasi) deplesi dan nilai degradasi, dengan persamaan berikut: KH = KCkl - (VK + VL) – (VE + VC + VS) – (VK + VP)….. Persamaan (viii) Dimana:

Selanjutnya,

KH

= kontribusi hijau

KCkl

= kontribusi coklat

VK

= nilai deplisi kayu

VL

= nilai deplisi produk non kayu

VE

= nilai erosi

VC

= nilai penyerapan karbon (CO2)

Vs

= nilai sedimentasi

VK

= nilai keberadaan

Vo

= nilai pilihan

nilai

ekonomi

total

dihitung

dengan

menjumlahkan semua nilai ekonomi dari sektor kehutanan di atas (baik deplesi maupun degradasi) termasuk nilai konstribusi rill dan konstribusi coklat dengan persamaan:

52

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

Kpemb = KCkl + (VK+VL) + (VE+VC+VS) + (VK+VP)…Persamaan (ix) Dimana:

Kpem

= kontribusi pembangunan

3.9. Perhitungan Unit Rent Perhitungan unit rent dilakukan dengan menggunakan Persamaan (x), sebagai berikut: Harga per unit Biaya produksi per unit (bahan, sewa, tenaker,dll) Laba Kotor per Unit Laba layak (balas jasa investasi) (Suku Bungan SBI x total biaya produksi) Unit Rent

Rp. …………… Rp. …………… (-) Rp. …………… Rp. …………… (-) Rp. ……………

Sehubungan dengan kebutuhan dalam menentukan nilai deplesi sumberdaya hutan dibutuhkan nilai unit rent untuk masing-masing

jenis

produk

sumberdaya

hutan.

Cara

menghitung unit rent adalah dengan mengurangkan seluruh biaya produksi dari nilai penerimaan hasil pengambilan sumberdaya hutan itu. Dari perhitungan ini diperoleh nilai laba kotor. Untuk sampai pada perhitungan nilai unit rent, terhadap nilai laba kotor itu harus dikurangkan lagi nilai laba yang layak diterima oleh si pengusaha. Adapun nilai laba yang layak diterima pengusaha dianggap sama dengan tingkat bunga pinjaman di bank sebagai alternative cost dari modal yang ditanam untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya hutan di kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan.

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

53

3.10. Menghitung Degradasi Sektor Kehutanan Perhitungan nilai degradasi lingkungan lebih kompleks, karena perlu menggunakan berbagai perkiraan sesuai dengan jenis sumberdaya alam dan lingkungan yang terdegradasi. Sebagai misal dengan adanya penebangan hutan, ekan terjadi erosi sumberdaya tanah, sehingga lapisan tanah yang subur (stop soil) akan hilang. Dalam hal ini terjadi degradasi sumberdaya lahan. Selanjutnya kalau tanah yang terbawa erosi itu terbawa melalui sungai akan terjadi pendangkalan sungai dan menambah kekeruhan air sungai. Dalam hal ini terjadi degradasi sumberdaya air, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kalau tanah yang terbawa erosi itu diendapkan dimuara sungai dan pantai, maka akan terjadi degradasi pantai yang dapat mengakibatkan terganggunya kegiatan rekreasi atau wisata pantai di pantai tersebut. Untuk menilai degradasi tersebut perlu diadakan penelitian pendahuluan mengenai sumberdaya alam dan komponen lingkungan yang mana yang mengalami degradasi pada tahun yang bersangkutan. Langkah ini

merupakan

langkah

identifikasi.

Kemudian

langkah

berikutnya adalah langkah mengkuantifikasi besaran atau luasan degradasi yang bersangkutan. Akhirnya terhadap lauasan degradasi tersebut dapat diperkirakan besarnya nilai degradasi yang bersangkutan. Bagaimana cara menilainya? Untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan sumberdaya ekstraktif dapat didekati dengan menggunakan harga pasar dan unit rent. Selanjutnya untuk halhal yang merupakan jasa lingkungan dan jasa keanekaragaman

54

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

hayati penilaiannya harus didekati dengan menggunakan nilai biaya pengganti, nilai kesenangan (hedonik) atau biaya perjalanan (travel cost), maupun dengan cara survey (contingent valuation) dengan meneliti tentang kesediaan membayar (willingnes to pay) atau kesediaan untuik menerima ganti rugi (willingnes to accept). Degradasi lain yang sangat mungkin terjadi adalah degradasi di sektor industri pengolahan hasil hutan, dimana kegiatan

ini

juga

menghasilkan

limbah

yang

dapat

mendegradasi fungsi lingkungan. Dalam hal ini, peneliti menganalisa dengan pendekatan metode prevention cost yaitu pihak perusahaan melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke badan sungai. Sehingga nilai degradasi ini dapat didekati dengan melihat besarnya biaya pengolahan limbah termasuk didalamnya tenaga kerja, bahan-bahan kimia yang dibutuhkan dan harga penyusutan alat pengolah limbah per tahun. Biaya keseluruhan kegiatan pengolahan limbah inilah yang nantinya digunakan sebagai angka degradasi pada industri pengolahan hasil hutan.

3.11. Aplikasi Perhitungan Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan 3.11.1. Konsep Perhitungan Berikut ini adalah salah satu contoh perhitungan nilai ekonomi hijau dari beberapa produk kehutanan yang dihitung dalam dokumen ini. Sebagai ilustrasi, dibawah ini dilakukan

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

55

perhitungan nilai tambah (nilai coklat) pada produk kayu gelondongan yang ditebang di hutan: Nilai tambah = Nilai Produk Kayu – Nilai bahan NTK = Hk – Ni Dimana: NTk = nilai tambah kayu di hutan Hk = harga kayu Ni = nilai input untuk menghasilkan kayu Harga kayu tegakan (stumpage value) adalah nilai rente kayu per unit (unit rent) lyang merupakan nilai tambah yang dihasilkan oleh hutan atau sektor kehutanan. Karena input perantara (intermediate input) sektor kehutanan tidak perlu diberikan oleh manusia melalui usaha-usaha tertentu (alam hutan sendiri yang memberikan/menyediakan intermediate input-nya), maka nilai intermediate input sama dengan nol. Oleh karena itu nilai tambah yang diciptakan sama dengan harga kayu tegakan itu sendiri. Konsep ini berlaku pula untuk semua jenis sumberdaya alam yang tidak perlu dibudidayakan oleh manusia. Contoh

perhitungan

berikut

menunjukan

bahwa

sumbangan sektor kehutanan untuk PDRB adalah nilai tambah yang diciptakan di sektor kehutaan yang terdiri dari laba perusahaan ditambah dengan nilai rente ekonomi kayu dan produk ekstraktif kainnya yang sesungguhnya adalah sama dengan laba kotor. Laba kotor adalah nilai produksi kayu bulat dan produk ekstraktif lainnya yang dihasilkan dari hutan ditambah dengan nilai rente ekonomi. Secara teoritis nilai rente ekonomi harus sama dengan nilai pungutan pemerintah dari 56

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

sektor kehutanan seperti PSDH, Dana Reboisasi, IHH, IHPH, dan sebagainya. Contoh Perhitungan: Nilai rente ekonomi kayu bulat (komersil I) tahun 2010 Satuan Nilai Produksi Biaya Produksi: - Biaya Umum - Biaya Pemeliharaan - Biaya sarana & prasarana - Biaya Eksploitasi - Biaya pemasaran - Biaya penyusutan - Biaya lain-lain Laba Kotor Laba perusahaan (balas jasa investasi) (Suku bunga SBI = 11,03% x total biaya produksi) Rente Ekonomi

-----Rupiah (Rp)----620.0001 128.000 145.000 24.000 70.000 18.000 8.000 5.000 + 398.000222.00043.899132.100

Catatan:

Untuk sampai pada nilai Unit Rent maka Rente Ekonomi dibagi dengan volume produksi. Sumber: Suparmoko dan Maria Ratnaningsih, M. Asta, Harlini Kahar, ”Forest Resource Accounting” dalam M Suparmoko, Editor, Neraca Sumberdaya Alam (Natural Resource Accounting), BPFE Yogyakarta, 2005.

1

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.68/Menhut-II/2014 tentang Penetapan harga patokan hasil hutan untuk perhitungan provisi sumber daya hutan, ganti rugi tegakan dan penggantian nilai tegakan

PDRB-HIJAU| METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU

57

3.11.2. Data yang Diperlukan Dalam

rangka

menyusun

kontribusi

hijau

sektor

kehutanan terhadap PDRB suatu daerah, tentunya diperlukan data atau informasi mengenai: 1. Macam dan jumlah produk kehutanan yang diekstrak dari hutan (kayu, damar, rotan, dsb) di daerah yang bersangkutan pada tahun tertentu. 2. Biaya pengambilan atau biaya produksi masingmasing jenis produk hutan tersebut (kayu, damar, rotan, dsb) 3. Harga masing-masing jenis produk industri yang menggunakan bahan mentah produk hutan (kayu gergajian, kayu lapis, perabot rumah tangga, dan lain sebagainya) 4. Biaya produksi masing-masing jenis produk industri berbasis produk hutan (kayu gergajian, kayu lapis, perabot rumah tangga, dsb). 5. Tingkat

bunga

bank

yang

berlaku

di

daerah

bersangkutan untuk investasi di kehutanan. 6. Data

yang

pengolahan

berkenaan limbah

dengan

oleh

besarnya

biaya

perusahaan-perusahaan

pengolahan industri kehutanan; 7. Data

lain

terkait

atau

yang

diperlukan

dalam

pendugaan nilai kerusakan lingkungan (misal debit air, biaya

pengerukan,

laju

dan

besar

sedimentasi,

pembuatan tanggul, teknik penanganan pencemaran, dsb).

58

METODE PENYUSUNAN PDRB HIJAU | PDRB-HIJAU

BAB IV 4. PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN 4.1. Keadaan Umum 4.1.1. Geografi dan Adminsitrasi Secara geografis, Provinsi Barat terletak anatara 0o12"3o38" Lintang Selatan dan antara 118o43"15" – 119o54"3" Bujur Timur. Sebelah utara, berbatasan dengan provinsi Sulawesi Tengah, sebelah Timur dan Selatan dengan Sulawesi Selatan dan sebelah Brat dengan Selat Makassar dan pulau Kalimantan. Secara administrasi terbagi menjadi 6 Kabupaten (UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Kabupaten Mamuju Tengah Di Provinsi Sulawesi Barat), 69 Kecamatan dan 649 Desa/Kelurahan (BPS-Sulbar, 2015). Wilayah perairan provinsi Sulawesi Barat masuk dalam alur pelayaran Selat Makassar, yang menghubungkan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Panjang garis pantai ±752 km, dengan luas wilayah laut ±7.668,84 km², dan luas daratan ±16.937,16 km2. Sebagai ibu kota provinsi, Kabupaten Mamuju adalah daerah dengan persentase wilayah yang paling luas, bahkan Kabupaten Mamuju Tengah merupakan bagian/pecahan dari Kabupaten Mamuju. Kabupaten dengan persentase wilayah yang paling kecil adalah Kabupaten Majene (Tabel 4-1).

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

59

Tabel 4-1.

Luas, Persentase wilayah, banyak kecamatan dan desa/kelurahan menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 Persentase Luas Wilayah (%)

Luas (km2)

Kabupaten

Majene

Jumlah Kecamatan

Desa/ Keluarahan

947,84

5,60

8

82

Polewali

2.022,30

11,94

16

167

Mamasa

2.909,21

17,18

17

182

Mamuju

4.999,69

29,52

11

99

Mamuju Utara

3.043,75

17,97

12

63

Mamuju Tengah

3.014,37

17,80

5

56

Sulawesi Barat

16.937,16

100,00

69

649

Sumber:BPS-Sulbar, 2014

4.1.2. Demografi Estimasi jumlah penduduk provinsi Sulawesi Barat pada Tahun

2013

sebanyak

1.234.251

jiwa

dengan

distribusi

penduduk terbesar di Kabupaten Polewali Mandar sedangkan Mamuju Tengah diperkirakan merupakan daerah dengan jumlah penduduk terendah sebesar 115.118 jiwa. Secara keseluruhan kepadan penduduk sebesar 72,9 jiwa/km2 dengan kepadatan tertinggi di kabupaten Polewali Mandar dan terendah di Kabupaten Mamuju Tengah (Tabel 4-2). Perbandingan jumlah penduduk laki-laki relatif lebih tinggi dibandingakan dengan penduduk perempuan, pada Tahun 2013, terdapat sebanyak 618.800 jiwa penduduk laki-laki dan 615.451 jiwa penduduk perempuan, dengan rasio total lakilaki berbanding perempuan sebesar 1,01. Kabupaten Majene dan Polewali Mandar adalah dua kabuapten dengan jumlah

60

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah lakilaki (Tabel 4-3). Tabel 4-2.

Jumlah, distribusi dan kepadadatan penduduk menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013

Kabupaten

Penduduk (jiwa)

Distribusi (%)

Kepadatan (jiwa/Km2)

Majene

158.890

12,9

167,6

Polewali

412.122

33,4

203,8

Mamasa

147.660

12,0

50,8

Mamuju

252.262

20,4

50,5

Mamuju Utara

148.129

12,0

48,7

Mamuju Tengah

115.188

9,3

38,2

Sulawesi Barat

1.234.251,00

100,00

72,9

Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar, 2014 Tabel 4-3.

Jumlah dan rasio penduduk laki-laki dan perempuan menurut Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013

Kecamatan

Laki-Laki (L)

Perempuan (P)

Rasio Sex ( L/P)

Majene

77.521

81.369

0,95

Polewali

201.112

211.010

0,95

Mamasa

74.779

72.881

1,03

Mamuju

128.671

123.591

1,04

Mamuju Utara

77.104

71.025

1,09

Mamuju Tengah

59.613

55.575

1,07

Sulawesi Barat

618.800

615.451

1,01

Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar, 2014.

Laju pertumbuhan penduduk di relatif cepat, selama periode 2010–2013 laju pertumbuhan penduduk mencapai PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

61

angka 2,14%/tahun. Pertumbuhan penduduk berdasarkan jenis kelamin menunjukkan: penduduk laki-laki tumbuh dengan ratarata 2,09%/tahun sementara perempuan sebesar 2,19%/tahun. Dengan laju pertumbuhan sedemikian, diperkirakan terjadi pertambahan penduduk rata-rata tahunan yang melebih angka sepuluh ribu jiwa (Gambar 4-1). 630,0

1240,0

Laki-laki

620,0 610,0

1220,0

Total Jumlah Penduduk

Jumlah Penduduk L / P

Perempuan Jumlah

1200,0

600,0 590,0

1180,0

580,0

1160,0

570,0

1140,0

560,0 550,0

1120,0 2010,0

2011

2012

2013

Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar, 2014. Gambar 4-1. Perkembangan jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010 – 2013.

Perubahan demografis yang selalu mendapat perhatian dalam analisis kependudukan adalah perubahan struktur umur. Perubahan struktur umur ini umumnya akibat dari menurunnya tingkat fertilitas dan mortalitas. Proporsi penduduk yang berumur

muda

akan

mengalami

penurunan,

sedangkan

proporsi penduduk yang berumur tua akan mengalami peningkatan. Keadaan struktur umur penduduk akan tampak jelas dengan menggunakan grafik piramida penduduk. Bentuk 62

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

piramida penduduk Provinsi Sulawesi Barat di Tahun 2013 disajikan pada Gambar 4-2. 75+ 70-74 65-69

Kelompok Umur (tahun)

60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4 ,0

50000,0

100000,0

150000,0

Jumlah Penduduk (jiwa) Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar, 2014 Gambar 4-2. Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013

Piramida

penduduk

menggambarkan

perkembangan

penduduk pada setiap kelompok umur yang berbeda. Bentuk piramida penduduk dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, tingkat kelangsungan hidup setiap kelompok umur, dan oleh mobilitas penduduk. Penduduk dengan tingkat kelahiran tinggi biasanya PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

63

ditandai dengan bentuk piramida penduduk yang alasnya besar dan berangsur mengecil hingga puncak piramida. Tingkat kelahiran rendah ditandai oleh bentuk piramida dengan alas tidak begitu besar dan tidak langsung mengecil hingga puncaknya. Adapun tingkat kelangsungan hidup dan tingkat perpindahan penduduk pada setiap kelompok umur akan mempengaruhi

fluktuasi

pada

piramida.

Apabila

memperhatikan proporsi penduduk menurut kelompok umur di atas, terlihat komposisi penduduk berusia antara 0 hingga 14 tahun sebesar 32,5%, 63,4% berusia antara 15 hingga 64 tahun dan

4,1%

sisanya

penduduk

berusia

65

tahun

keatas

(Gambar 4-2). Penduduk Sulawesi Barat dapat digolongkan penduduk muda. Artinya, lebih banyak jumlah penduduk pada kelompok usia muda dibandingkan dengan penduduk usia tua. Batang piramid untuk kelompok umur 0-4 tahun dan 5–9 tahun terlihat relatif panjang dibandingkan kelompok umur lainnya, hal ini dapat bermakna fertilitas penduduk masih cukup tinggi. Apabila dibandingkang dengan batang piramida kelompok umur 10-14 yang hampir sama, maka dapat ditafsirkan paling tidak dalam 15 tahun terakhir tidak terjadi penurunan kelahiran yang signifikan, bahkan untuk 20 tahun terakhir.

Berkaitan

dengan gambar di atas, Tabel 4-4 menunjukkan rasio jenis kelamin penduduk usia 65 tahun keatas sebesar 84,16 atau 0,84 yang mengindikasikan bahwa harapan hidup laki-laki lebih tinggi bdibandingkan dengan perempuan.

64

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

Tabel 4-4.

Rasio kelamin (laki-laki terhadap perempuan) menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013

Kelompok Umur

Kabupaten Majene Polewali Mandar Mamasa Mamuju Mamuju Utara Mamuju Tengah

0-4 104,65 104,91 104,95 106,78 103,98 105,38

15-16 92,29 93,09 102,23 102,93 110,7 107,73

65+ 74,99 71,72 91,43 99,95 118,69 118,81

SulBar

105,20

99,36

84,16

Jumlah 95,27 95,31 102,6 104,11 108,56 107,27 100,54

Sumber: BPS-Sulbar, 2014

Dengan

memperhatikan

komposisi

usia

penduduk

tersebut, dapat diketahui rasio beban tanggungan (dependency ratio) sebesar 57,6% yang berarti sebanyak kurang lebih 56 penduduk penduduk usia non produktif (usia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) di tanggung oleh setiap 100 penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun). Tingginya angka beban tanggung dapat menyebabkan pembangunan manusia menjadi lebih lambat, dikarenakan sebagian pendapatan yang diperoleh golongan penduduk usia produktif harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia non produktif. Gambaran keadaan diatas menunjukkan rasio beban tanggung yang cukup ideal, karena jumlah penduduk dalam usia produktif hampir dua kali libat dibandingkan dengan penduduk yang belm dan sudah tidak produktif.

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

65

4.2. Perekonomian 4.2.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu ukuran kinerja pembangunan daerah khususnya di bidang perekonomian. Pertumbuhan ekonomi ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan

PDRB

menghilangkan

atas

faktor

harga

konstan,

perubahan

harga

yaitu

dengan

(inflasi)

dan

menggunakan faktor pengali harga konstan (at constant price inflation factor) sehingga diperoleh gambaran peningkatan produksi secara makro. Meskipun instrument ini tidak mutlak memberi

gambaran

kemajuan

dan

kesejahteraan

masyarakatnya, namun paling tidak bisa digunakan sebagai parameter

kuantitatif

dalam

menghitung

pertumbuhan

ekonomi dalam daerah. PDRB (HK)

12,0

Ekonomi

25000,0

10,0

20000,0

8,0

15000,0

6,0

10000,0

4,0

5000,0

2,0

Pertumbuhan Ekonomi (%)

PDRB (RpMilyar)

30000,0

,0

,0 2010

2011

2012

2013

Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar (PDRB-Sulbar), 2014 Gambar 4-3. Pertumbuhan PDRB (HK) dan ekonomi provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010 - 2013

66

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

Selama periode 2010 – 2013 (empat tahun) pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Barat secara umum menunjukkan pola perkembangan linier. Pada Tahun 2010 (Gambar 4-3). Nilai PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2010 sebesar Rp 17.184 milyar secara signifikan telah mengalami peningkatan menjadi Rp. 22.229 Milyar di tahun 2013. Demikian pula dengan pendapatan perkapita penduduk, pada tahun 2010 sebesar Rp. 14,76 juta/kapita menjadi Rp 20,46 juta/kapita. Pertumbuhan PDRB (ADK) diatas tidak selaju dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonommi dalam daerah dalam empat tahun terahir ini tumbuh melambat, pada tahun 2010 capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 11,13 sedangkan pada tahun 2014 mengalami pertumbuhan lebih lambat menjadi 6,94. 25000

2,5 ADHK

Pertumbuhan

20000

2

15000

1,5

10000

1

5000

Pertumbuhan (%/tahun)

PDRB/Kapita (Ribu Rp)

ADHB

0,5

0

0 2010

2011

2012

2013

Sumber: Hasil olah BPS-Sulbar (PDRB), 2014 Gambar 4-4. Pertumbuhan PDRB Perkapita (Ribu Rp) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar harga Konstan (ADHK) Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010 – 2013

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

67

Secara

sederhana,

Gambar

4-4

menunjukkan

pertumbuhan PDRB provinsi Sulawesi Barata atas dasar harga konstan (ADHK) dan atas dasar harga berlaku (ADHB) yang mengalami peningkatan setiap tahunnya selama periode 2010– 2013. Namun demikian, pertumbuhan perkapita secara rill terlihat

mengalami

pertumbuhan

rill

perlambatan,

PDRB

pada

perkapita

Tahun

sebesar

2011

1,97%/tahun,

kemudian terus melambat di tahaun 2012 dan 2013 menjadi 1,96 dan 1,94%/tahun. Gambaran tersebut menunjukkan indikasi

bahwa

secara

makro,

pendapatan

masyarakat

mengalami peningkatan, namun besaran peningkatan tidak bertumbuh secara linier atau lebih rendah

dari tahun

sebelumnya, bahkan cenderung menurun. Apabila nilai PDRB perkapita dianggap sebagai proksi pendapatan masyarakat,

dan nilai pendapatan perkapita

tersebut dikonversi kedalam nilai US dolar (kurs 13 Juni 2013), maka diketahui bahwa pendapatan rata-rata penduduk provinsi Sulawesi Barat sebesar USD 2,77.

Mengacu pada parameter

prasejahtera oleh UNDP dalam MDGs-2015 (UNDP, 2008), maka secara sederhana dapat dinyatakan bahwa sebagian besar penduduk Provinsi Sulawesi Barat telah berpenghasilan di atas USD 1, atau sudah keluar dari kemiskinan golongan USD 1. Namun demikian, berdasarkan Sistem Informasi Pembangunan Derah (SIPD) tahun 2013 menunjukkan bahwa Indeks Gini provinsi Sulawesi Barat sebesar 0,35 atau masuk dalam kategori “Sedang”, dan lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional 0,38, mengalami peningkatan dari atahun 2012 sebesar

68

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

0,31 (BI, 2014). Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat ketimpangan pendapatan yang realatif tinggi di provinsi Sulawesi Barat. 4.2.2. Struktur Perekonomian Struktur perekonomian menunjukkan besarnya kontribusi masing-masing sektor ekonomi dan merupakan indikasi seberapa besar kekuatan ekonomi dalam suatu daerah. Indikator

makro

ini

penting

bagi

evaluasi

capaian

pembangunan dan pengambilan keputusan untuk menentukan arah dan sasaran kebijakan pembangunan di masa yang akan datang termasuk kebijakan-kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan. Struktur ekonomi tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai pendapatan domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan. Struktur perekonomian daerah pada Tahun 2014 di dominasi oleh sektor primer dengan Pertanian (terdiri dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan kehutanan)

sebagai

kontributor

utama

sebesar

47,30%,

kemudian sektor tertier, yaitu Jasa-jasa sebesar 17,47%, dan yang ketiga adalah pada sektor sekunder yaitu Perdagangan, Hotel dan Restauran dengan konstribusi sebesar 12,64%. Secara struktural tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam perekonomian

daerah

baik

berdasrkan

3

(tiga)

sektor

utama/unggulan, maupun berdasarkan 9 (sembilan) sektor lapangan usaha. Sektor pertanian tetap menjadi leading sektor sekaligus merupakan tempat bergantung hidup sebagian besar PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

69

penduduk, namun dengan proporsi distribusi yang cenderung menurun. Sektor Jasa-jasa sebagai kontributor terbesar kedua, dalam perkembangan lima tahun terkhir menunjukkan pola perkembangan parabolik dengan kecenderungan tumbuh positif, .sedangkan pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran menunjukkan pola perkembangan yang fluktuatif juga dengan kecendrungan penurunan konstribusi (Tabel 4-5). Tabel 4-5.

Struktur ekonomi Provinsi Sulawesi Barat menurut lapangan usaha, Tahun 2010 – 2013

Lapangan Usaha/ Sub-Sektor

Tahun 2010

2011

2012

2013

47,30

46,25

45,38 44,72

0,93

0,94

0,96

0,99

Indusri Pengolahan

8,79

9,19

8,9

8,87

Listrik, Gas dan Air Bersih

0,47

0,48

0,52

0,56

Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restauran Angkutan dan Komunikasi

4,66

4,66

5,64

4,78

12,69

12,65

3,43

3,5

3,39

3,44

6,95

6,51

6,35

6,52

14,79

15,81

100

100

SEKTOR PRIMER Pertanian Pertambangan dan Penggalian SEKTOR SEKUNDER

SEKTOR TERSIER Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa TOTAL

12,45 12,64

17,41 17,47 100

100

Sumber: Hasl olah BPS-Sulbar, 2014

70

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

Tabel 4-6.

Pertumbuhan rill ekonomi Provinsi Sulawesi Barat menurut lapangan usaha, Tahun 2010 – 2013

Tahun

Lapangan Usaha/ Sub-Sektor

2010

2011

2012

2013

SEKTOR PRIMER Pertanian Pertambangan Penggalian

14,55

7,87

6,94

5,6

1,56

11,29

11,77

10,6

Indusri Pengolahan

15,47

15,3

5,57

6,84

Listrik, Gas dan Air Bersih

22,01

14,23

16,23 15,58

Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restauran Angkutan dan Komunikasi

-2,85

10,42

8,62 10,36

13,87

9,93

7,31

8,82

21,29

12,74

5,64

8,68

SEKTOR TERSIER Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa

5,12

3,41

7,22

17,96

20

7,53

TOTAL

11,89

10,32

9,01

7,16

dan

SEKTOR SEKUNDER

6,25 10,13

Sumber: Hasl olah BPS-Sulbar, 2014

Berdasarkan pertumbuhan rill ekonomi menurut sektor (Tabel 4-6), pada Tahun 2013, diketahui bahwa sektor Listrik, Gas dan Air Bersih menunjukkan capaian peningkatan tertinggi, sedangkan beberapa sektor lain yang mengalami pertumbuhan di atas 10% antara lain: Pertambangan dan Penggalian; Bangunan; dan Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, sementara pertanian sebagai sektor andalan menunjukkan perkembangan yang kurang memuaskan. Sebagaimana laju pertumbuhan ekonomi, konstribusi sektor pertanian mengalami penurunan secara konsisten selama periode 2010 – 2013 (Tabel PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

71

4-5), bahkan pada tahun 2013, pertumbuhan rill sektor pertanian hanya mampu meningkat sebanyak 5,6%; bahkan sektor ini merupakan sektor dengan laju pertumbuhan yang paling

rendah

dianatara

sembilan

sektor

yang

ada

(Tabel 4-6). Selain sektor pertanian, dua sektor dengan konstribusi tertinggi

terhadap

PDRB

dalam

daerah

lainnya

juga

menunjukkan kinerja yang kurang memuaskan. Sektor Jasa-jasa sebagai kontributor terbesar kedua (Tabel 4-5), mengalami perlambatan yang sangat signifikan, dimana pada tahun 2012 pertumbuhannya sebesar 20% kemudian turun menjadi 7,53% pada tahun 2013. Selanjutnya pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran, sektor ini juga mengalami perlambatan, walaupun tidak sebesar sektor prioritas kedua, namun di tahun 2013 perumbuhan sektor Perdagangan, Hotel dan Restauran kembali membaik sebesar 8,82% dibandibbg tahun sebelumnya 7,31%. 4.2.3. Ketenagakerjaan Perhatian pada sisi ketenagakerjaan setidaknya meliputi dua hal utama, pertama terkait dengan sumberdaya manusia dan kedua dengan lapangan kerja. sumberdaya

manusia meliputi

kajian

Penelaahan pada terhadap

distribusi

penduduk usia kerja, pendidikan tenaga kerja (anngkatan kerja), dan efisiensi tenaga kerja. Berdasarkan gambaran piramida penduduk (Gambar 4-2) dan Rasio penduduk menurut jenis kelamin (Tabel 4-4), diketahun bahwa pada Tahun 2013

72

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

persentase angkatan kerja (penduduk 15+ tahun) di Sulawesi Barat sebesar 61,95%, dan 38,06% penduduk bukan angkatan kerja. Angkatan kerja di provinnsi Sulawesi Barat terutama pada kelompok usia 25 hingga 44 tahun, tenaga kerja muda menunjukkan jumlah yang seimbang dengan tenaga kerja yang berusia 45 tahun keatas. Kira-kira 94 hingga 96% penduduk usia kerja dalam status bekerja, yang berarti banyak penduduk yang pengangguran hanya kurang lebih 2%. Pada penduduk yang berusa lebiih dari 60 tahun terlihat semuanya masih bekerja (Gambar 4-5).

Sumber: BPS-Sulbar (Keadaan Tenaker), 2014 Gambar 4-5. Jumlah angkatan kerja dan penduduk angkatan kerja yang bekerja di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

73

Gambar 4-6. Persentase penduduk usia +15 tahun yang bekerja menurut status pekerjaan utama, Tahun 2014.

Gambar 4-6 menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja dominan berstatus pekerjaan Pekerja Tak Dibayar; kemudian Pekerja Bebas di Sektor Pertanian; Buruh atau Karyawan; dan Pengusaha yang dibantu buruh tidak tetap. Status pekerjaan “Pekerja Tak Dibayar” dengan proporsi 33% tersebut adalah pekerja yang umumya bekerja di tempat keluarga, seperti miliki orang tua, namun secara defenisi mereka tidak memperolah upah/gaji baik berupa barang maupun uang. 4.3. Gambaran Sektor Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat 4.3.1. Luas Kawasan Hutan dan DAS Kawasan hutan adalah wilayah tertentu, yang ditunjuk dan atau

ditetapkan

oleh

pemerintah

untuk

dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan

74

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

tetap. Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global. Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Barat demikain juga di Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk

Surat

Keputusan

Menteri

Kehutanan

tentang

Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi. Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Lampiran 1. Luas Wil. Hutan (ha) 1178416,0

1180516,0

1119876,0 1105821,0 1092376,0

2010 2011 2012 Sumber: BPS-Sulbar, 2011 – 2015

2013

Gambar 4-7. Perkembangan luas wilaya hutan Sulawesi Batar, Tahun 2010 – 2014

2014 di

Provinsi

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat yang diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Barat, pada Publikasi Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka terbitan Tahun 2011 hingga pada Tahun 2015, diperoleh perkembangan luas hutan sebagaimana disajikan pada Gambar PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

75

4-7. Secara umum terllihat perkembangan luas wilayah hutan dalam daerah mengalami pertumbuhan yang cukup dinamis dengan adanya peningkatan dan penurunan yang cukup signifikan sejalan dengan perjalanan tahun. Pada tahun 2010 total luas wilayah hutan di provinsi Sulawesi Barat seluas 1.119.876 ha, kemudian mengalami perluasan sekitar 5,25% menjadi 1.178.416 ha di tahun 2011; selanjutnya di Tahun 2012 luas wilayah hutan mengalami kenaikan 0,18% atau 5,41% dari luas Tahun 2010 menjadi 1.180.516 ha. Luas wilayah hutan tersbut kemudian mengalami penurunan secara signifikan selama tahun 2013-2104 bahkan lebih rendah dari keadaan di tahun 2010. Di Tahun 2013 luas wilayah hutan menurun 6,3% menjadi 1.105.821 ha; dan 1,22% di tahun 2014 menjadi 1.092.376 ha. Tabel 4-7.

Kabupaten Majene Polman Mamasa Mamuju Matra Mateng2 SulBar

Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 berdasarkan SK Menteri Kehutanan SK 726/MenhutII/2012

Luas Hutan menurut Fungsi (ha) KSA/KPA HL HPT HP 944

Jumlah

HPK

45.259

7.564

-

-

52.823

55.472 91.732 153.883

22.660 51.935 198.589

75.133

433 18.038

79.076 207.879 595.104

106.041

55.313

2.212

8.610

172.176

214.184 452.387 Sumber: Kemenhut, 2013

336.061

77.345

27.081

1.107.058

63.779 149.461 -

2

Pemekaran Kab. Mamuju menjadi Kab. Mamuju dan Mamuju Tengah berlangsung setelah penerbitan SK SK 726/Menhut-II/2012, yaitu pada Tahun 2013.

76

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

Kawasan hutan provinsi Sulawesi Barat yang ditetapkan pada Tahun 2012 mencapai 65,6% dari total wilayah daratan provinsi. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No: SK 726/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Peraturan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, potensi luas daratan kawasan hutan provinsi Sulawsi Barat adalah 1.107.058 ha. Kabupaten Mamuju, Mamasa dan Mamuju Utara adalah tiga kabupaten dengan arahan pengembangan wilayah hutan yang luas sedangkan daerah hutan paling sempit ada di Kabupaten Majene (Tabel 4-7).

Gambar 4-8. Persentase kawasan hutan menurut jenisnya di lima Kabupaten Provinsi Sulawesi Barat

Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seluas 214.184 ha ditepakan di kabupaten Mamuju, Mamasa dan kabupaten Polewali Mandar, dan kabupaten Mamuju, dengan persentase areal masing-masing 24,9; 21,9; dan 0,5%. Kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi konservasi paling luas di Kabupate Mamuju, PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

77

dengan proporsi masing-masing kawasan terhadap total luas wilayah kabupaten masing-masing 25,6; 33,1; 12,5; dan 3,0% (Gambar 4-7). Dalam

perkembangan

selanjutnya,

sejalan

dengan

pemerkaran wilayah Kabupaten Memuju menjadi Kabupaten Mamuju dan Mamuju Tengah, pada Tahun 2014, Menteri Kehutanan mengeluarkan keputusan melalui SK

Menteri

Kehutanan SK: 862/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sulawesu Barat, sebagaimana disajikan pad Tabel 4-8. Tabel 4-8.

Kabupaten

Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2013 berdasarkan SK Menteri Kehutanan SK 862/MenhutII/2014

Luas Hutan menurut Fungsi (ha) KSA/KPA HL HPT HP HPK

Jumlah

Majene

-

45.091

7.518

-

-

52.609

Polman

989

65.464

22.830

-

-

89.283

Mamasa

63.329

89.386

49.499

-

400

202.614

Mamuju

95.504

132.765

85.352

41.057

12.510

367.188

-

103.049

54.855

2.186

8.457

168.547

Matra Mateng SulBar

55.368

16.275

110.646

28.616

1.230

212.135

215.190

452.030

330.700

71.859

22.597

1.092.376

Sumber: Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Barat, 2015

Luas kawasan hutan provinsi pada Tabel 4-8 adalah sama dengan luas wilayah hutan menurut fungsinya seebagaimana diterbitkan oleh BPS-Sulsel, 2015. Selain perubahan alokasi wilayah hutan akibat pemekaran wilayah, terlihat bahwa luas wilayah hutan menurut fungsinya antara tahun 2012 dan 2014 memang mengalami perubahan yang signifikan (lihat juga Gambar 4-7). Apabila dilakukan perbandingan luas wilayah

78

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

hutan antara (menurut) SK 726/Menhut-II/2012 dengan SK: 862/Menhut-II/2014 (luas wilayah hutan mamuju dan mamuju utara dijumlahkan), maka beradasarkan fungsinya, semua bagian hutan mengalami penurunan luasan wilayah, kecuali pada fungsi KSA/KPA. Penurunan luas wilayah hutan untuk HL, HPT, HP dan HPK, secara berturut-turut adalah 0,08; 1,60; dan

16,56%,

smentara

alokasi

wilayah

untuk

7,09;

kawasan

pelestarian dan suaka alam mengalami peningkatan 0,47%. Apabila ditelusuri pada tingkat kabupaten, maka kabupaten Polewali

Manda

aadalah

satu-satunya

kabupaten

yang

mengalami peningkatan untuk alokasi wilayah hutan untuk fungsi pertama hingga ke tiga, sementara kabupaten Mamuju dan Mamuju Tengah (nilai agregat) menunjukkan peningkatan alokasi wilayah hutan untuk fungsi KSA/KPA. Tabel 4-9.

Luas penutupan lahan kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Barat

Tutupan Lahan

Luas Hutan menurut Fungsi (ha) KSA/ HL HPT HP HPK KPA

Jumlah

A. Hutan

0

491,8

286,2

32

12,5

822,5

- Hutan Primer

0

234,7

89,8

12,3

0

336,8

- Hutan Sekunder

0

257,1

196,4

19,6

12,5

485,6

- Hutan Tanaman

0

0

0

0

0

0

1,3

186,1

75,6

33

67,2

363,2

Total 1,3 677,9 Sumber: Kemenhut, 2013

361,8

65

79,7

1.185,7

B. Non Hutan

Rekapitulasi luas penutupan lahan dalam dan luar kawasan hutan berdasarkan Penafsiran citra satelit s/d 2012 dan landsat 7 ETM+ 2011 yang dimuat dalam statistik Kementerian PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

79

Kehutanan hingga pada tahun 2013 sebagaiman disajikan pada Tabel 4-9. Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit, total tutupan daerah hutan di provinsi Sulawesi Barat adalah 1.185,7 ha, hutan lindung merupakan jenis/fungsi hutan yang paling banyak sekitar 57% dari total luas hutan yang ada. Jensi hutan kedua adalah hutan produksi konservasi kemudian hutan produksi terbatas, masing-masing 6,7 dan 5,5% dari total luas hutan dalam daerah. Tabel 4-10.

Kawasan hutan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Sulawesi Barat

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Luas Kawasan Hutan (ha)

Luas K. Hutan thd Luas DAS (%)

304.978

72,1

375.433 309.345 143.457 71.542 119.496 84.711 398.401 213.078 44.098 15.892 157.101 93.244 32.280 14.270 153 1.693.644 1.107.060

82,4 49,9 70,9 53,5 36,0 59,4 44,2

Luas DAS (ha)

Budong-Budong Karama Lariang Mamuju Mapilli Pasang Kayu Saddang Surumana Pulau-Pulau Jumlah

423.225

65,4

Sumber: Kemenhut, 2013a

Sisi konservasi juga terutama dilakukan pada daerahdaerah yang dialiri oleh sungai atau daerah aliran sugai, posisi sebagian besar kawasaan hutan cukup luas dibandingkan dengan luas DAS sebagaimana disajikan pada Tabel 4-10. DAS terluas adalah Budong-budong dan Mapilli, merupakan salah

80

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

dua aliran sungai yang melalui kabupaten Mamuju dan Polewali Mandar. Luas DAS Budong-budong mencapai 423.225 ha dengan panjang seitar 309,5km dan melalui kawasan hutan di kabupaten Mamuju sekitar 304.978 atau 72,1% dari luas DAS. Sedangkan di kabupaten Polaman, DAS Mapilli membentang sepanjang 285,8 km, menutupi areal sekitar 398.401 ha dan melalui kawasan hutan 213.078 ha atau 53,5% dari laus kawasan hutan. 4.3.2.

Sumberdaya dan Ekonomi Potensi sumberdaya hutan di Provinsi Sulawesi Barat

meliputi potensi produksi kayu dan non-kayu. Potensi kayu yang dapat dimanfaatkan dari kawasan hutan negara meliputi Kayu Eboni, Meranti, Jati, Palapi, Damar, Kemiri, Rotan, Durian, Getah Pinus dan Kayu, Campuran lainnya, sedangkan Potensi Kayu di hutan rakyat meliputi Jati Emas, Jati Ambon, Durian, Sengon dan Kayu Campuran lainnya. Berdasarkan data statistik kehutanan Nasional Tahun 2013, produksi Kayu Bulat di provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2012 sebesar 21.694,70m3 yang berasal dari IUPHHK PT. Rante Mario sebesar 14.597,35 m3 dan yang berasal dari Hutan Rakyat sebesar 7.097,35 m3. Keadaan di Tahun 2014 berdasarkan data dari dinas Kehutanan Povinsi Sulawesi Barat, produksi kayu gergajian mencapai 2.654,3 m3 yang merupakan produksi dari enam perusahaan /pengusaha kayu dari tiga kabupaten, yaitu kabupaten Mamuju, Mamuju tengah dan Mamuju Utara (Tabel 4-11).

PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

81

Tabel 4-11.

Produksi kayu gergajian menurut perusahaan di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014

Nama Perusahaan UD Ampera UD Sumber Rejeki CV Nur Arif UD Surya Latibung CV. Bukit Harapan Karya Utama

Batang

M3

13.680 1.545 32.223 4.796 8.253 976 61.473,0

202,76 33,17 1.945,89 211,60 147,17 113,72 2.654,3

Lokasi/ Kabupaten Mamuju Mamuju Mateng Mateng Matra Matra SulBar

Sumber: Dishut-Sulbar, 2015

Produksi non kayu yang banyak dikembangkan di Provinsi Sulawesi Barat adalah rotan dan getah pinus. Menurut data Statistik Kehutanan Kementerian Kehutanan tahun 2013, produksi rotan dalam Provinsi Sulawesi Barat di tahun 2012 yang dikelola oleh 5 perusahaan secara keseluruhan sebesar 697,654 ton. Sedangkan produksi getah pinus mencapai 124 drum atau setara dengan 9.619 kg (Tabel 4-12). Tabel 4-12.

Produksi non-kayu menurut perusahaaan pengelola di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2012

Produksi (ton)

Nama Perusahaan

Rotan

PT Sinar Beru-beru

219.154

0

CV.Sinar Wonomulyo

279.000

0

CV. Sinar Niaga Utama

159.500

0

UD Citra Belang-Belang

40.000

0

0

9,62

697.654

9,62

PT Milatronika Total

Getah Pinus

Sumber: Kemenhut, 2013.

82

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

Secara lebih terperinci, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Barat mencatat perkembangan produksi hasil hutan non-kayu, adapun perkembangan sejak tahun 2010 hingga 2014 dapat dilihat pada Tabel 4-13 dan Tabel 4-14. Tabel 4-13.

Produksi rotan menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2010-2014

Kabupaten Majene Polman Mamasa Mamuju Matra Mateng SulBar

2010

Produksi Rotan (ton) 2011 2012 2013

530

0

0

0

0

0

1.040

510.000

254,8

205.963

0

0

0

0

0

110

1.526

25.843

846,9

866.863

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

535.843

1.101,7

1.072.826

640 2.566 Sumber: BPS-Sulbar 2011 – 2015

Tabel 4-14.

Kabupaten Majene Polman Mamasa Mamuju Matra Mateng SulBar

2014

Produksi getah pinus menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2010-2014

2010 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Produksi Getah Pinus (ton) 2011 2012 2013 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 132.359,0 154.789,0 29.038,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 132.359,0 154.789,0 29.038,0

2014 0,0 0,0 48.612,0 0,0 0,0 0,0 48.612,0

Sumber: BPS-Sulbar 2011 – 2015

Produksi hasil hutan yang paling dominan adalah rotan dan getah pinus, pada tahun 2014 produksi rotan Provinsi Sulawesi Barat mencapai 1.072.826 ton, dan produksi getah pinus sebesar 48.612 ton. Perkembangan dalam kurun waktu PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

83

lima tehun terakhir, menunjukkan terdapat tiga daerah produsen rotan di Provinsi Sulawesi Barat, yaitu Kabupaten Majene, Polman dan Mamuju Utara, namun sejak tahun 2011 produksi rotan kabupaten Majene tidak terlihat lagi dalam berbagai publikasi statistik yang tersedia.

Sementara satu-

satunya daerah produsen getah pinus adalah kabupaten Mamasa. Perkembangan produksi rotan terlihat berfluktuasi secara signifikan dari tahun-ketahun, produksi rotan yang tinggi terlihat di Tahun 2012 dan di Tahun 2014. Pola pertumbuhan yang sama juga ditunjukkan pada komoditi getah pinus, antara tahun 2011 hingga 2014 produksi getah pinus di Kabupaten Mamasa terlihat berfluktuasi dari 132.359 ton di tahun 2011, kemudian meningkat menjadi 154.789 ton di tahun 2012. Namun,

berbeda

dengan

produksi

rotan,

pertumbuhan

produksi getah pinus menunjukkan trend penurunan sementara rotan cenderung mengalami kenaikan. Memasuki tahun 2013 produksi

getah

ppinus

kemudian

mengalami

penuruna

signifikan menjadi 29.038 ton atau menurun sekitar 64% dari tahun sebelumnya (Tabel 4-14). Untuk flora dan fauna, di Prov. Sulawesi Barat mempunyai spesies unggulan seperti pohon Ebony (kayu hitam), Cempaka hutan, Palapi, Aren dan Rotan. Cempaka hutan kasar (kadang disebut juga cempaka hutan) merupakan flora identitas provinsi Sulawesi Barat. Banyak literatur berbahasa Indonesia yang memberi nama latin Elmerrillia ovalis kepada tanaman ini meskipun nama ilmiah resminya adalah Magnolia vrieseana. Nama yang pertama adalah nama sinonim. Sedangkan pada

84

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

fauna terdapat jenis Babi Rusa, Burung Maleo, Ayam Hutan serta Kera, semuanya tersebar dibeberapa Kabupaten di Sulawesi Barat. Babirusa hanya terdapat di sekitar Sulawesi, Pulau Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering menyerang (Kemenhut, 2014). Selain menyediakan produk dalam bentuk barang, hutan juga menyediakan jasa-jasa lingkungan yang salah satu bentuknya adalah wilsata alam. Terdapat beberapa lokasi wisata alam di provinsi Sulawesi Barat, salah satunya adalah Taman Nasional Ganda Dewata yang kwasannya meliputi kabupaten Mamuju dan Kabupaten Mamasa, terdapat juga Taman Hutan Raya Lampoko yang terletak kabupaten Polewali Mandar. Kawasan-kawasan

tersebut

masih

menyimpan

keindahan

panorama alam hutan yang menarik untuk dikelola untuk pengembangan ekowisata. sedangkan untuk pemanfaatan jasa lingkungan lainnya. 4.3.3. Pengelolaan Hutan Pengelolaan hutan di Provinsi Sulawesi Barat dilakukan melalui

kerjasama

antara

perusahaan

swasta

maupun

masyarakat (publik) menurut koridor perizinan sesuai peraturan pernudang-udangan

yang

berlaku.

Kerjasama

tersebut

merupakan bentuk Bina Usaha Kehutanan, dengan kegiatan PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

85

antara lain mencakup rencana pemanfaatan hutan produksi, pengembangan hutan alam dan hutan tanaman, pengelolaan iuran kehutanan, peredaran hasil hutan serta pengolahan dan pemasaran

hasil

merupakan

hutan.

bentuk

Pemanfaatan

usaha

yang

hasil

hutan

kayu

memanfaatkan

dan

mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Kegiatan pemanfaata ini pun dibatasi pada pada areal hutan yang memilki potensi untuk dilakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dan dapat dilaksanakan setelah diperoleh izin usaha. Beberapa izin pengelolaan yang terdapat di Provinsi Sulawesi Barat adalah IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, skema HTR, HKm dan Hutan Desa/Rakyat. Berdasarkan statistik kehutanan Tahun 2013, luas hutan di provinsi Sulawesi Barat dengan izin penglolaan seluas 189.450,06 ha, yang terdiri atas 163.205 ha IUPHHK-HA; 20.240 ha IUPHHK-HTI; dan 6.005,06 ha IUPHHKHTR. Tabel 4-15.

Perkembangan luas hutan rakyat menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 20102014

Kabupaten

a

2010 3.032

Majene Polman Mamasa Mamuju Matra

285 375 125 0

Mateng SulBar

3.817 a

Luas Hutan Rakyat (ha) 2011a 2012ab 2013b 3.032 30.032 3.032 100 0 0 375 375 14.198 50 2.450 2.450 0 0 0 3.557

5.857

19.680

2014b 3.032 100 14.198 2.450 0 19.780

b

Sumber: Kemenhut, 2014; dan Dinhut-Sulbar, 2015.

86

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik atau hak lainnya dengan luas minimum 0,25

Ha.

Pembangunan

hutan

rakyat

diarahkan

untuk

mengembalikan produktivitas lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan hutan dan pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat (Kemenhut, 2013). Hutan rakyat di Sulawesi Barat pada Tahun 2012 mengalami perluasan yang cukup

signifikan

dibandingkan

perkembangan

tahun

sebelumnya, dimana antara tahun 2008 hingga 2010 hutan rakyat hanya 3.817 ha, meningkat menjadi 5.857 ha di tahun 2012. Perluasan yang paling signifikan adalah di Kabupaten Mamuju, dari 50 ha di Tahun 2011 meningkat menjadi 2.450 ha di Tahun 2011. Perkembangan selanjutnya, antara tahun 2012 hingga tahun 2014 menunjukkan perluasan areal hutan rakyat menjadi 19.780 ha (Tabel 4-15). Di Sulawesi Barat pengelolaan hutan rakyat dilakukan masyarakat secara swadaya maupun kerjasama/dukungan dari instansi pemerintah. Pemerintah dalam hal in imenjadi mitra masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat dan usaha berbasis hutan dan kebun (agroforestry). Secara kelembagaan pengembangan

hutan

rakyat

tersebut

dilakukan

melalui

pembentukan kelompok tani kehutanan dan perkebunan serta kelompok. Produk jenis kayu yang dikembangkan di hutan rakyat Sulawesi Barat antara lain jenis tanaman/kayu Sengon, Jati Ambon (Jabon), Gmelina dan Kemiri sedangkan untuk non kayu seperti Bambu, Kakao, Durian dan Kelapa Sawit. Relevan dengan hal tersebut, dalam buku Statistik Kehutanan Provinsi PDRB-HIJAU| PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN

87

Sulawesi Barat tahun 2015 menunjukkan produksi kayu dari kebun masyarakat menurut jenisnya (Tabel 4-16). Tabel 4-16.

Kabupaten Majene Polman Mamasa Mamuju Matra Mateng SulBar

Produksi kayu kebun masyarakat menurut jenis kayu di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014

Produksi menurut Jenis Kayu (m3) Kayu Rimba Meranti Jati Indah Campuran 0 0 0 0 245,3 976,0 23,2 647,9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 150 245

976

23

798

Sumber: Dishut-Sulbar, 2015

Belum tersedia data yang mendetail tentang produksi, ragam produksi dan kegiatan produksi apa yang telah dan yang sedang dikembangkan pada hutan rakyat di Provinsi Sulawesi Barat. Data yang paling relevan/identik yang diperoleh adalah data produksi kayu kebun masyarakat sebagaimana disajikan di atas. Jenis kayu jati perupakan komoditi kayu dengan produksi tertinggi, kemudian berbagai macam kayu (rimba campuran), kayu meranti, dan kayu indah.

88

PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN | PDRB-HIJAU

BAB V 5. KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) 5.1. PDRB Coklat Sektor Kehutanan 5.1.1. Nilai Tambah Sektor Kehutanan 5.1.1.1. PDRB Sub-Sektor Kehutanan Di Provinsi Sulawesi Barat, sektor kehutanan cukup berperan penting dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dalam daerah baik langsung maupun tidak langsung. Peranan sektor kehutanan ini dalam melayani dan menyediakan kebutuhan pembangunan dapat dilihat bagaimana pengarauhnya kedepan (forward linkages) ataupun bagaimana pengaruhnya di belakang (backward linkages). Pengaruh kebelakang bermakna telah sedemikian rupa hutan berkonstribusi bagi penghidupan masyarakat yang secara langsung memanfaatkan hasil hutan, dan bagaimana hutan berperan dalam sistem ekologi kehidupan flora, fauna dan lingkungan hidup; pengaruh kedepan adalah kesinambungan potensi hutan untuk memberikan hasil secara ekonomi dan ekologis bagi manusia dan pembangunan daerah. Saat ini kontribusi kehutanan hanya dihitung dari nilai tambah kontribusinya terhadap pembentukan PDRB dan masuk kedalam

kelompok

sektor

pertanian.

Khususnya

dalam

kelompok sektor pertanian, nilai tambah sektor kehutanan di provisi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Tabel 5-1.

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

89

Tabel 5-1.

Nilai tambah (PDRB-ADHB) sektor pertanian menurut sub sektor di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014 Milyar rupah

Sektor Pertanian Tan.Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan

2010 1.758,3 3.619,5 373,8 84,5 1.650,6

Pertanian

7.486,6

2011 1.793,3 4.196,1 413,7 87,8 2.146,2

Tahun 2012 1.960,7 4.656,8 438,1 91,9 2.336,8

2013 2.129,0 5.275,2 486,3 96,8 2.688,9

2014 2.340,3 6.178,4 536,4 103,3 3.150,9

8.637,0

9.484,4

10.676,4

12.309,4

Sumber: BPS-PDRB-Sulbar, 2014 Tabel 5-2.

Nilai tambah (PDRB-ADHB) sektor pertanian menurut sub sektor dan kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014 Milyar rupah

Sektor Pertanian Tan.Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertanian

Tahun 2014 Majene

a

Polman

Mamasa

Mamuju

501,6 984,7 175,2 23,3 948,0

172,1 308,3 53,3 5,9 584,7

652,8 1.199,2 234,6 32,8 1.077,7

245,2 277,9 56,4 20,0 56,0

1.124,3

3.197,1

655,6

Matra

374,3 2.444,9 22,9 10,2 247,9

2.632,8 3.100,2

Sumber: PDRB Polman, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara, 2014; aKab. Majene dalam Angka 2015

Table 5-1 menunjukkan, nilai tambah sektor pertanian terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Perkebunan memiliki nila tambah yang paling tinggi dibandingkan dengan subsektor lainnya, diikuti perikanan, tanaman pangan dan peternakan. Nilai tambah kehutanan menunjukkan nilai yang paling kecil, yakni hanya sekitar 84,5 milyar di tahun 2010, 90

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

namun meningkat menjadi 103,3 milyar di tahun 2014. Pada tingkat kabupaten, nilai tambah kehutanan dalam struktur PDRB sektor pertanian terlihat sangat bervariasi. Kabupaten Polman menunjukkan nilai tambah kehutanan yang paling besar di Tahun 2014, kemudian kabupaten Mamuju, Mamasa, Mamuju Utara dan terkecil kabupaten Majene. Sebagaina keadaan provinsi, besarnya nilai tambah sub-sektor kehutanan adalah yang paling kecil dibandingkan dengan sub-sektor lain di sekrot pertanian (Tabel 5-2). Tabel 5-3.

Kabupaten

Perkembangan PDRB-ADHB sub-sektor Kehutanan di Provinsi Sulawesi Barat menurut kabupaten, Tahun 2011-2014

Perkembangan BDRB Kehutanan (%)

Majene

2011 3,62

2012 1,05

2013 3,33

2014 3,97

Polman

2,58

2,02

3,08

2,39

Mamasa

6,01

11,98

3,93

7,67

Mamuju

3,06

3,17

3,84

10,29

Matra SULBAR

7,56 3,90

10,58 4,65

3,28 5,36

6,65 6,67

Sumber: PDRB Polman, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara, SulBar 2014

Pada tingkat provinsi, perkembangan PDRB kehutanan terlihat mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2011-2014, perkembangan yang paling rendah terjadi di tahun 2011 yaitu sebesar 3,9%; namun memasuki tahun 2014, perkembangan PDRB kehutanan meningkat menjadi 6,67%. Pada tingkat kabupaten, berdasarkan Tabel 5-3 diketahui bahwa kabupaten Polewali Mandar merupakan daerah dengan laju perkembangan sub-sektor kehutanan yang paling lamban, selama periode PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

91

2011-2014, terlihat tidak ada peningkatan yang signifikan, walaupun di Tahun 2013 sempat mengalami peningkatan dari angka 2,58% di tahun 2011 menjadi 3,08%, pada tahun 2014 perkembangannya menjadi 2,39. Kabupaten Polewali Mandar juga merupakan satu-satunya kabupaten yang mengalami perlambatan petumbuhan di Tahun 2014. Pada tahun 2012, kabupaten Mamasa dan Mamuju Utara terlihat mengalami perkembangan yang signifikan, hanya saja setahun kemudian kembali mengalami penurunan dan kembali menunjukkan akselerasi pada Tahun 2013. Untuk keadaan di tahun 2014, kabupaten Mamuju bukan hanya memperlihatkan nilai tambah yang cukup besar dibandingkan dengan kabupaten lain, namun juga pada persentase perkembangan yang cukup signifikan dari angka 3,84% pada tahun 2013 meningkat menjadi 10,29 di tahun 2014 (Tabel 5-3). 5.1.1.2. Kinerja Pembangunan Sub-Sektor Kehutanan Pengukuran kinerja pembangunan sub-sektor kehutanan secara ekonomi dibandingkan dengan sub-sektor lain dalam sektor pertanian, melalui penggunaan metode analisis Shift Share,

menghasilkan

indikasi

petumbuhan

wilayah

(Dij),

pertumbuhan regiona sektor pertanian (Nij), bauran sub-sektor kehutanan

(Mij),

dan

keunggulan

kompetitif

sub-sektor

kehutanan (Cij). Hasil analisis pada masing-masing kabupaten di provinsi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Tabel 5-4 sampai Tabel 5-8.

92

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

Tabel 5-4.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Majene

Sub-Sektor

Nij

Mij

Cij

Dij

Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan

56,12 100,65 15,70 2,00 174,30

-16,56 8,57 -3,34 -1,04 23,22

-5,25 -48,01 2,43 0,04 -40,68

34,30 61,22 14,78 1,00 156,84

ΔE = E*ij - Eij 34,30 61,22 14,78 1,00 156,84

Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015 Tabel 5-5.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Polman

Sub-Sektor

Nij

Mij

Cij

Dij

Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan

194,45 358,43 69,61 11,47 300,89

-57,39 30,52 -14,82 -5,96 40,09

38,44 -69,65 8,89 -0,88 -1,97

175,50 319,29 63,68 4,63 339,01

ΔE = E*ij - Eij 175,50 319,29 63,68 4,63 339,01

Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015 Tabel 5-6.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Mamasa

Sub-Sektor

Nij

Mij

Cij

Dij

Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan

75,08 104,88 19,91 6,51 15,06

-22,16 8,93 -4,24 -3,38 2,01

7,99 -93,36 -8,17 0,93 2,00

60,91 20,45 7,50 4,05 19,07

ΔE = E*ij - Eij 60,91 20,45 7,50 4,05 19,07

Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

93

Tabel 5-7.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Mamuju

Sub-Sektor

Nij

Mij

Cij

Dij

Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan

166,44 267,16 54,81 8,02 244,41

-49,13 22,75 -11,67 -4,17 32,56

-24,32 39,00 -2,54 -0,28 71,08

93,00 328,91 40,60 3,57 348,05

ΔE = E*ij - Eij 93,00 328,91 40,60 3,57 348,05

Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015 Tabel 5-8.

Indikator kuantitatif Shift Share Analysis kinerja pembangunan ekonomi sub-sektor Kehutanan dalam Sektor Petanian di Kabupaten Mamuju Utara

Sub-Sektor

Nij

Mij

Cij

Dij

Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan

123,78 642,05 7,26 3,42 77,58

-36,54 54,67 -1,54 -1,78 10,34

-16,86 172,02 -0,60 0,19 -30,43

70,39 868,74 5,12 1,83 57,49

ΔE = E*ij - Eij 70,39 868,74 5,12 1,83 57,49

Sumber: diolah dari PDRB-Sulsel, 2015

Pertumbuhan regiona sektor pertanian (N), merupakan pertumbuhan total wilayah antara tahun 2011 dan 2014 yang menunjukkan dinamika total wilayah. Perubahan produksi suatu wilayah disebabkan perubahan produksi diwilayah atasnya, perubahan kebijakan ekonomi regional atau kebijakan yang mempengaruhi semua sektor dalam wilayah. Hasil analisis menujukkan nilai pertumbuhan regional (N) yang bernilai positif pada semua sub-sektor di semua kabupaten kota. Hal ini bermakna bahwa sektor pertanian secara umum memberikan efek positif terhadap konstribusi pendapatan wilayah baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Sub-sektor perkebunan 94

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

menunjukkan nilai pertumbuhan regional (N) relatif tertinggi kecuali di kabupaten Majene dengan sub-sektor perikanan yang berada pada posisi N tertinggi. Hal ini berarti bahwa sektor perkebunan cenderung memberikan efek yang paling tinggi dalam mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, kecuali kabupaten Majene yang lebih bergantung pada sub-sektor perikanan. Peran sub-sektor kehutanan dalam mengungkit laju pertumbuhan sektor pertanian secara regional tertinggi di Kabupaten Polman, kemudian Mamuju, Mamasa, Mamuju Utara dan terakhir Kabupaten Majene. Hal ini bermakna dalam kurun waktu 2011-2014, kabupaten Polman merupakan wilayah yang memberikan pengaruh paling tinggi terhadap pertumbuhan sektor kehutanan provinsi. Bauran sub-sektor kehutanan (M), atau pertumbuhan proporsional total aktifitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika aktifitas total dalam wilayah. Pengaruh bauran sub-sektor akan bernilai positif jika sektor tertentu tumbuh lebih cepat daripada sektor keseluaruhan dalam suatu wilayah. Dari lima subsektor penyusun sektor pertanian, hanya sub-sektor

perkebunan

dan

sub-sektor

perikanan

yang

menunjukkan bauran (M) yang bernilai positif di seluruh kabupaten. Keadaan ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan sektor perkebunan dan perikanan dalam kurun waktu tahun 2011-2014 di seluruh wilayah kabupaten merupakan sub-sektor yang bertumbuh paling cepat. Dibandingkan dengan sektor PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

95

lainnya yang bernilai negatif, hal ini mengindikasikan bahwa akselerasi

pertumbhan

sub-sektor

tersebut

tidak

secara

signifikan dalam mengungkit laju pertumbuhan sub-sektor dan sektor baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat provinsi. Khsusunya apda sub-sektor kehutanan, nilai bauran subsektor kehutanan (M) bernilai negatif di seluruh kabupaten. Nilai terendah secara berturut-turut adalah di Kabupaten Polman, Mamuju, Mamasa, Mamuju Utara dan kabupaten Majene. Memperhatikan kembali nilai pertumbuhan regional (N) subsektor kehutanan sebelumnya, nila bauran masing-masing kabupaten menunjukkan nilai urutan yang sama dengan sifat perbandingan terbalik. Hal ini berarti, bahwa tingkat pengaruh pertumbuhan sub-sektor kehutanan pada masing-masing kabupaten terhadap pertumbuhan sub-sektor kehutanan di tingkat

provinsi

memang

pertumbuhan sub-sektor

masih

berperan,

kehutanan

masih

namun lebih

laju

rendah

dibandingkan dengan laju pertumbuhan keseluruhan sektor pertanian. Keunggulan

kompetitif

sub-sektor

kehutanan

(C)

merupaan tingkat kompetensi sub-sektor dibandingkan dengan sub-sektor lainnya dalam suatu wilayah, atau nilai share suatu sub-sektor dalam sektornya. Nilai share sub-sektor yang negatif mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan sub-sektor atau sektor tersebut mengalami penurunan, sedangkan nilai share positif menunjukkan adanya peningkatan konstribusi sub-sektor secara

relatif,

dalam

kurun

waktu

analisis.

Sub-sektor

perkebunan yang pada analisis sebelumnya menunjukkan 96

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

pengaruh

atau

efek

yang

paling

tinggi

terhadap

laju

pertumbuhan sektor pertanian regional, ternyata tidak serta merta diikuti dengan kenaikan nilai share pada secra regional maupun pada tiap-tiap kabupaten. Selama periode tahun 20112014, terlihat adanya penurunan proporsi konstribusi (share) di kabupaten Majene, Polman, dan kabupaten Mamasa. Berbeda dengan sub-sektor perikanan, yang sebelumnya memiliki nilai pertumbuhan regional (N) kedua terbesar setelah sub-sektor perebunan, menunjukkan nilai share yang berbeda-beda pada masing-masing kabupaten. Kabupaten Majene yang produk regionalnya

paling

besar

dipengaruhi

oleh

sub-sektor

perikanan, senyatanya tidak identik dengan knaikan alokasi konstribusi sektor perikanan sepanjang tahun, keadaan yang sama juga terlihat di kabupaten Mamuju Utara dimana sektor perikanan berada pada urutan ketiga konstributor produk regional kabupaten. Khususnya

pada

sub-sektor

kehutanan,

kabupaten

Polman dan kabupaten Mamuju menunjukkan nilai share yang negatif, sementara kabupaten lainnya menunjukkan nilai share yang positif. Hal ini berarti bahwa perkembangan share subsektor kehutanan di kabuapten Polman dan Mamuju cenderung mengalami penurunan dibandinngkan dengn alokasi sub-sektor lainnya dalam menyusun pendapatan dalam kabupaten dan regional. Pertumbuhan nilai share sektor kehutanan yang paling tinggi adalah di kabupaten Mamasa, kemudian Mamuju Utara, Majene, Mamuju dan Kabupaten Polman.

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

97

Perubahan sektoral (D) secara keseluruhan menunjukkan angka positif baik pada nilai-nilai menurut sub-sektor maupun pada tiap-tiap kabupaten kota. Hal ini berarti bahwa perubahan atau pertumbuhan sektor pertanian masih bernilai positif dalam kurun waktu tahun 2011-2014. Suatu hal yang menjadi catatan, adalah bahwa pada semua indikator yang ada, apabila perbandinan dilakukan diantara sub-sektor, sektor kehutanan adalah sub-sektor yang selalu memperoleh nilai terendah. Hal ini berarti bahwa konstribusi sektor kehutanan menurut nilai produksi regional adalah yang terendah dibandingkan dengan sub-sektor lain dalam sektor pertanian. 5.1.2. Konstribusi Coklat Sektor Kehutanan Besar konstribusi sektor kehutanan dalam perekonomian daerah,

dalam

sudut

pandang

coklat

tercermin

dari

perbandingan nilai tambah sub-sektor kehutanan terhadap sektor pertanian dan terhadap total nilai tambah daerah. Konstribusi kehutanan terhadap sektor pertanian merupakan yang paling kecil diantara 5 (lima) sub-sektor dalam kelompok pertanian,

walaupun

dengan

nilai

tambah

yang

terus

mengalami peningkatan darti tahun-ketahun (Tabel 5-9), terlihat adanya penurunan besar konstribusi kehutanan dalam lima tahun terahir. Terhadap sektor pertanian, kehutanan berkonstribusi sebesar 1,13% pada tahun 2010, namun kemudian mengalami perlambatan hingga pada tahun 2014, besar konstriusi hanya sebesar 0,84%. Terhadap total nilai PDRB provinsi, sektor kehutanan secara coklat hanya berkonstribusi 98

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

0,49% di tahun 2010 dan 0,35% di tahun 2014 (Gambar 5-1). Besar konstribusi sub-sektor kehutanan diduga kerena adanya sektor lain atau sub-sektor lain yang semakin mendominasi ruang PDRB, hal ini terindikasi dari perkembangan yang menurun pada konstribusi sektor pertanian secara umum, dalam tiga tahun terakhir konstribusi sektor pertanian hanya bisa bertahan pada angka 41,9%, setelah mengalami penurunan dari angka 43,6% pada tahun 2010 dan 42,8% pada tahun 2011. 45

Kehutanan thd Pertanian Kehutanan thd Total Pertanian thp Total (aksis kanan)

01 01

44

43,5678

01

43

42,7801 01

42,2836

01

000

41

001

001

000

000 001

001

000

000 001

00 00

41,880842

41,9178

00

40 2010

2011

2012

2013

2015

Sumber: Diolah dari BPS-Sulbar, 2014 Gambar 5-1. Konstribusi sektor pertanian terhadap PDRB daerah, kehutanan terhadap pertanian, dan kehutanan terhadap PDRB total, Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014

Konstribusi sub-sektor kehutanan di Kabupaten Mamuju Utara dan Majene adalah yang terendah dibandingkan dengan kabupaten lainnya, selain itu, dalam tiga tahun terakhir terlihat penurnan dari angka 0,20 menjadi 0,15%. Perkembangan PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

99

konstribusi yang hampir sama di Kebupaten Mamuju dan Polewali Mandar. Peranan sub-sektor kehutanan yang paling tinggi terlihat di kabupaten Mamasa, namun demikian nilai konstribusi tersebt juga menunjukkan penurunan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (Tabel 5-9). Secara umum, konstribusi sektor kehutanan memang cukup rendah sebagaimana terlihat pada keadaan konstribusinya di tingkat provinsi (Gambar 5-1). Tabel 5-9.

Perkembangan distribusi PDRB-ADHB kehutanan terhadap total PDRB daerah menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2011-2014

Kabupaten

Konstribusi BDRB Kehutanan (%) 2011

2012

2013

2014

Majene

0,21

0,20

0,19

0,19

Polman

0,49

0,45

0,43

0,4

Mamasa

1,09

1,1

1,06

1,05

Mamuju

0,4

0,36

0,33

0,32

Matra

0,2

0,2

0,18

0,15

0,46

0,42

0,41

0,38

SULBAR

Sumber: PDRB Polman, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara, SulBar 2014

Sebagaimana keadaan pada sub sektor pertanian lainnya atau sektor-sektor yang mengelola sumberdaya alam, dalam pengukuran nilai tambahnya (PDRB), terutama pada sub-sektor kehutanan, tidak semua hasil hutan diperhitunngakn sebagai nilai tambah (value added) dalam proses perhitungan, padahal terdapat

banyak

pemanfaatkan

secara

langsung

oleh

masyarakat sekitar hutan untuk pemenuhan kebutuhan seharihari (misalnya untuk kayu bakar, tanaman obat, madu, dll). Nilai tambah tersebut, pada dasarnya memiliki nilai yang sama 100

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

dengan jumlah penghasilan dari faktor produksi (upah/gaji, sewa, bunga modal dan laba) yang diciptakan dalam kegiatan ekonomi. Demikian pula dengan nilai bahan atau sumberdaya alam yang mealami deplesi tidak diperhitungakn atau tidak muncul dalam bentuk nilai tambah, hal ini sehingga nilai tambah sub-sektor kehutanan selalu berada pada posisi terkecil dibandingkan dengan sub sektor lain dalam sektor pertanian atau sektor lainya dalam perhitungan PDRB. Karena itu jika penghitungan untuk PDRB bagi sektorsektor yang mengelola sumberdaya alam sebenarnya kurang tepat

dan

bersifat

misleading

dalam

penghitungan

kontribusinya bagi pembangunan daerah. Salah satu dampak tidak diperhitungkannya nilai-nilai deplesi lingkungan tersebut adalah nilai konstribusi yang relatif kecil jika dibandingkan dengan sektor lainnya, walaupun pada kenyataanya, terdapat banyak penduduk yang bergantung dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sektor tersebut. 5.2. PDRB Hijau Sektor Kehutanan 5.2.1. Deplesi Sumberdaya Hutan Secara umum deplesi (depletion) merupakan katalain penyusutan atau amortisasi yang terjadi pada suatu benda ayng bersifat alami dan tidak dapat diperbaharui, istilah ini umumnya digunakan pada ekonomi geografi yang digunakan dalam dunia pertambangan untuk menyatakan penyusutan pada SDA yang tidak dapat diperbaharui. Dalam konteks biologi, penggunaan istilah deplesi digunakan untuk penyusutan yang tidak bersifat PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

101

merugikan tetapi mempunyai manfaat bagi bagian-bagian yang menerima hasil dari penyusutan tersebut (www.kamusq.com). Dalam konteks deplesi sumberdaya hutan, maka pendekatan defenisi secara biologis lebih mengena dibandingkan dengan defenisi sebelumnya. Sehingga term deplesi yang dimaksud pada konteks ini adalah hilangnya sumberdaya hutan terutama kayu. Hal ini didasarkan pada Kartodiharjo (1996) yang mengemukakan bahwa hutan merupakan salah satu sumbedaya alam yang pada dasarnya memiliki atau bernilai fungsi untuk dimanfaatkan bagi hidup dan kehidupan mahluk sehingga perlu disertakan dengan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, alat, infrastruktur dan lainnya, untuk itu setiap kegiatan penggunaan sumberdaya hutan selalu diperhitungkan sebagai deplesi. Dalam Manual Kehutanan Tahun 1992, deplesi didefenisikan sebagai biaya asli (intrinsik) suatu sumberdaya alam seperti hutan bila ditebang, atau sama dengan depresiasi pada hutan, sehingga deplesi sumberdaya hutan diartikan secara

bebas

sebagai

penguranngan

atau

pengambilan

sumberdaya huhtan dari persediaan yang ada. Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa hal utama yang menjadi penyebab deplesi hutan, yaitu pengambilan hasil hutan, konversi hutan, dan kerusakan hutan. Oleh karena itu, dalam perhitungan nilai deplesi sumberdaya hutan pada perhitungan PDRB HIjau Provinsi Sulawesi Barat ini, khususnya pada komoditi kayu yang akan dihitung nilai deplesinya akan menggunakan data hasil

102

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

produksi kayu dan nilai dari data kebakaran/kerusakan hutan yang terjadi. Salah satu kendala yang dihadapi dalam analisis deplesi sumberdaya hutan, khususnya produk kayu, baik gergajian maupun kayu bulat adalah, tidak tersedianya data series terkait dengan produksi kayu baik dari BPS-Provinsi dan Kabupaten maupun dari Dinas Kehutanan Setempat. Data produksi kayu terakhir ditemukan pada Publikasi Sulawesi Barat Dalam Angka Tahun 2011, pada publikasi selanjutnya hingga saat ini, produksi hutan yang tersedia hanya untuk kategori Non Kayu. Sementara buku

statistik

kehutanan

provinsi

Sulawesi

Barat,

baru

dipublikasi di Tahun 2015 untuk statistik tahun 2014. Selain keterbatasan data prduksi kayu, keterbatasan Data juga ditemukan pada kuantitas penebangan hutan. Sehingga untuk kebutuhan anallisis deplesi nilai penebangan hutan dapat menggunakan nilai konfersi dari luas kebakaran hutan dan data pencurian kayu. Informasi tentang pencurian kayu, secara resmi tidak ada publikasi yang menerbitkan, namun untuk informasi kebakaran hutan, publikasi Statistik Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat telah menerbitkan data tersebut. Adapun tambahan informasi luas kebakaran hutan yang telah digali dari berbagai referensi

dengan

maksud

untuk

menyusun

data

series

perkembangan luasan kebakaran hutan di Provinsi Sulawesi Barat, yang kami temaukan bahwa tidak pernanah ada laporan baik pada Statistik Kehutanan Kementerian Kehutanan RI dari Tahun 2011 hingga 2013, maupun data agregat kejadian kebakaran hutan yang tersdia dlam SiPongi3. 3

Aplikasi sistem deteksi kebakaran hutan yang diluncurkan oleh kementerian kehutanan dan lingkungan hidup RI, lunch pada 12 Maret 2015 pada laman http://sipongi.menlhk.go.id/

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

103

Dalam perhitungan Unit Rent atau Rente Ekonomi hasil hutan digunakan estimasi perhitungan unit rent berdasarkan nilai inflate menggunakan indeks implisit4 sektor kehutanan provinsi Sulawesi Barat

(Lampiran

3)

dikalikan dengan

perhitungan unit rent pada tahun 2014 menurut harga kayu per-unit, pada masing-masing kabupaten dengan nilai SBI (BI Rate) sebesar 7,54% (Lampiran 4). Adapun nilai rente ekonomi kayu hutan hasil analisis disajikan pada Tabel 5-10. Tabel 5-10.

Kabupate n Majene Polman Mamasa Mamuju Matra SulBar

Nilai rente ekonomi kayu hutan menurut kebupaten di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014

Rente Ekonomi Kayu Hutan (Rp/m3) 2010 2011 2012 2013 2014 294.814,8

306.619,4

337.178,7

379.574,8

447.437,5

282.219,4

285.344,6

291.626,8

309.116,6

340.904,8

301.511,3

302.079,5

317.313,5

337.289,7

374.995,3

338.424,4

342.114,4

357.148,4

377.535,3

426.131,0

287.507,0

299.211,5

340.429,2

397.633,6

497.152,8

327.588,0

328.112,1

344.572,7

369.604,3

417.324,3

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Nilai

rente

ekonomi

tersebut

di

atas

selanjutnya

digunakan sebagai pengali untuk menghitung nilai produksi kayu menurut konversi luas hutan yang terbakar dan produksi kayu gergajian (sesuai data tersedia). Nilai perkiraan produksi kayu untuk kawasan hutan primer dan sekunder sesuai dengan nilai asumsi kementerian kehutanan adalah 40 m3/ha untuk dalam kawasan hutan primer, dan dari hutan sekunder diperkirakan volume kayunya adalah setengahnya yaitu 20 m3/ha, maka atas dasar perkiraan ini dapat diperoleh angka 4

Rasio PDRB atas dasar harga berlaku dengan PDRB atas dasar harga konstan dikali 100%

104

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

produksi/volume sumber daya kayu hutan yang hilang di provinsi Sulawesi Barat yang diakibatkan oleh kebakaran hutan sebagaimana disajikan pada Tabel 5-11. Kejadian kebakaran hutan dalam kawasan hutan primer terlihat lebih besar dibandingkan diluar kawasan hutan primer. Total luas kawasan hutan yang terbakar pada tahun 2014 seluas 273,25 ha dengan kejadian paling tinggi di kabupaten Polewali Mandar, kemudian Mamasan dan seterusnya. Total estimasi produksi kayu yang hilang (terdeplesi) berdasarkan hasil konversi sebesar 7.510 m3. Tabel 5-11.

Kabupaten Majene Polman Mamasa Mamuju Matra Mateng SulBar

Estimasi volume produksi kayu yang hilang akibat kebakaran hutan di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014

Luas Kebakaran Hutan Rakyat (ha) Dalam Luar Kawas Kawas Total an an 2 10 12 21 77 98 25 27 52 20 31 51 15 16 31 19,25 10 29,25 102,25 171,00 273,25

Estimasi Volume kayu (m3) Dalam Luar Kawas Kawa Total an san 80 200 280 840 1.540 2.380 1.000 540 1.540 800 620 1.420 600 320 920 770 200 970 4.090 3.420 7.510

Sumber: Diolah dari data Dinas Kehutanan-Sumbar, 2015

Berdasarkan hasil estimasi nilai produk kayu yang hilang akibat kebakaran hutan pada Tabel 5-11, dan volume kayu gergajian yang diproduksi pada tiga kabupaten seperti ditunjukkan

pada

Tebel

4-11

(Bagian

4)

maka

dapat

diperkirakan nilai deplesi sumberdaya kayu untuk tahun 2014 sebagaimana pada Tabel 5-12. PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

105

Tabel 5-12.

Nilai deplesi produk kayu akibat kebakaran hutan di provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014

Kabupaten

Unit Rent

Majene Polman Mamasa Mamuju Matra Mateng SulBar

447,4 340,9 375,0 426,1 497,2 426,1 417,3

Keterangan:

Deplesi Deplesi Kayu Kayu Kebakaran Gergajian -----Rp. X 1000----125.282,5 811.353,4 577.492,7 605.106,0 457.380,6 413.347,0 3.134.105,2

Total

0,0 125.282,5 0,0 811.353,4 0,0 577.492,7 100.540,3 705.646,3 129.706,0 587.086,5 919.370,7 1.332.717,7 1.107.711,8 4.241.817,0

Unit rent yang digunakan untuk kabuaten Mamuju Tengah mengacu pada nilai kabupaten Mamuju

Dari hasil perhitungan yang diperoleh terlihat bahwa nilai deplesi sumberdaya kayu dari akibat kebakaran hutan lebih tinggi dibandingkan dengan deplesi akibat aktifitas produksi kayu gergajian. Total nila deplesi dari kedua parameter di atas sebesar Rp 4,2 milyar lebih, nilai deplesi akibat kebakaran hutan tertinggi di kabupaten polewali Mandar diikuti kabupaten Mamuju, untuk deplesi nilai kayu gergajian hanya ditemuakn di tiga kabupaten, dan terbesar di kabupaten Mamuju Tengah. Total nilai deplesi kayu tertinggi di kabupaten Mamuju Tengah dan Kabupaten mamuju, atau dalam nilai agregat di Kabupaten Mamuju. 5.2.2. Degradasi Sumberdaya Hutan Setelah menghitung nilai deplesi sumberdaya hutan sebagaimana yang teah dilakukan di atas, selanjutnya akan dihitung nilai degradasi hutan, atau nilai-nilai jasa secara 106

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

ekonomi yang timbul sebagai dampak aktifitas kegiatan pengelolaan hutan, terutama penebangan hutan. Sebagaiman dikemukakan sebelumnya, bahwa tidak terdapat data arela penebangan hutan secara terperinci dan valid yang terpublikasi secara resmi. Namun demikian, dengan menggunakan asumsiasumsi nilai konversi kayu/hektar hutan yang sama pada perhitungan nilai deplesi, maka dapat diperkirakan luas area hutan yang terdegradasi seperi disajikan pada Tabel 5-13. Tabel 5-13.

Kabupaten

Estimasi luas hutan yang mengalami degradasi menurut luas kebakaran hutan dan estimmasi luas penebangan hutan, Tahun 2014

Luas Area Terbakar

Konversi Nilai Produksi

Estimasi Luas Tebangan

----- ha ----Majene Polman

12,0 98,0

0,00

12,00

0,00

98,00

Mamasa Mamuju

52,0

0,00

52,00

51,0

Matra

31,0

5,90 6,52

56,90 37,52

29,3 273,3

53,94 66,4

83,19 339,6

Mateng SulBar

Sumber: Hasil olah Dinhut-Sulbar, 2015

Sebagai cacatan bahwa metode estimasi di atas tentu tidak begitu akurat, apabila dibandingkan dengan keadaan dimana data penebangan hutan tersedia secara jelas. Belum lagi, belum terdapat metode untuk mengestimasi besaran penebangan liar mengingat data tersebut juga tidak tersedia atau belum terpublikasi, dengan demikian maka nilai degradasi yang terhitung nantinya belum termasuk nilai yang berasal dari aktifitas penebangan liar. PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

107

Nilai jasa hutan yang dihitung pada peniaian degradasi hutan adalah nilai penggunaan tidak langusng dan nilai atas dasar bukan penggunaan, seperti yang disajikan pada Tabel 32 (Bagian 2). Berdasarkan nilai-nilai tersebut, maka konversi kedalam rupiah per 30 September 2014 sebesar Rp. 12.202,diperoleh koefisien nilai jasa hutan sebagaimana disasjikan pada Tabel 5-14. Tabel 5-14.

Koefisien nilai jasa hutan dalam USD dan nilai konversi dalam rupiah per 30 September 2014

Jenis Nilai Jasa Hutan

Nilai (US$/ha/thn)

Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan Nilai Ekonomi Total

(Rp/ha/thn)

847,12 133,85 525,92 123,81 210,79

10.336.558,24 1.633.237,70 6.417.275,84 1.510.729,62 2.572.059,58

69,28 126,05 2.036,82

845.354,56 1.538.062,10 24.853.277,64

Berdasar koefisien nilai jasa hutan di atas selanjutnya diperoleh nilai jasa hutan menurut penggunaan untuk provinisi Sulawesi

Barat

sebagaimana

pada

Tabel

5-15.

Hasil

perhitungan nilai jasa hutan untuk enam kabupaten dalam provinsi Sulawesi Barat yang dikelompokkan menjadi tiap dua kabupaten, dapat dilihat pada Tabel 5-16 sampai Tabel 5-18.

108

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

Tabel 5-15.

Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak langsung dan bukan penggunaan di Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014

Paramater Nilai Jasa Hutan Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan Nilai Ekonomi Total Tabel 5-16.

Nilai US$ x 1000/ thn

Rp x 1000/ thn

287,7

3.510.377,6

45,5 178,6 42,0 71,6

554.660,6 2.179.358,1 513.055,8 873.492,0

23,5 42,8 691,7

287.089,2 522.338,2 8.440.371,4

Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak langsung dan bukan penggunaan untuk kabupaten Mejene dan Kabupaten Polman, Tahun 2014

Paramater Nilai Jasa Hutan Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan Nilai Ekonomi Total

Nilai Jasa Hutan (Rp. X 1000) Majene Polman

124.038,7 19.598,9 77.007,3 18.128,8 30.864,7

1.012.982,7 160.057,3 628.893,0 148.051,5 252.061,8

10.144,3 18.456,7 298.239,3

82.844,7 150.730,1 2.435.621,2

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

109

Tabel 5-17.

Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak langsung dan bukan penggunaan untuk kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju, Tahun 2014

Paramater Nilai Jasa Hutan Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan Nilai Ekonomi Total Tabel 5-18.

537.501,0 84.928,4 333.698,3 78.557,9 133.747,1

588.134,0 92.928,7 365.133,0 85.958,2 146.346,2

43.958,4 79.979,2 1.292.370,4

48.099,4 87.513,3 1.414.112,7

Nilai jasa hutan atas dasar penggunaan tidak langsung dan bukan penggunaan untuk kabupaten Matra dan Kabupaten Mateng, Tahun 2014

Paramater Nilai Jasa Hutan Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan Nilai Ekonomi Total 110

Nilai Jasa Hutan (Rp. X 1000) Mamasa Mamuju

Nilai Jasa Hutan (Rp. X 1000) Mamuju Mamuju Utara Tengah

387.852,9 61.283,1 240.791,8 56.686,3 96.510,0

859.868,3 135.864,3 533.834,6 125.673,2 213.962,2

31.719,8 57.711,8 932.555,6

70.322,6 127.946,9 2.067.472,0

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

Nilai Degradasi Hutan (Rp.Juta)

3000,0

Kabupaten

2500,0 2000,0 1500,0 1000,0 500,0 ,0 Majene Polewali Mamasa Mamuju Mamuju Mamuju Mandar Utara Tengah

Gambar 5-2. Posisi repatif nilai degradasi sumberdaya hutan kabupaten terhadap nilai rata-rata provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014

Nilai jasa hutan yang merupakan wujud dari nilai degradasi hutan, atau bentuk-bentuk nilai hutan yang berasal dari nilai penggunaan tidak langsung dan atas dasar bukan penggunaan ternyata cukup besar untuk provinsi Sulawesi Barat. Pada Tahun 2014, nilai jasa hutan hasil analisis lebih dari 2 kali lipat dari nilai jasa menurut penggunaan langusng sebagaiman hasil hitungan nila deplesi. Total nilai jasa hutan di provinsi Sulawesi Barat adala 8,4 trilyun lebih atau sekitar 691,7 ribu dolar/tahun. Pada tingkat provinsi, nilai penggunaan tak langsung dari konservasi air dan tanah menunjukkan nilai terbesar mencapai Rp. 3,5 trilyun kemudian nilai jasa untuk fungsi pencegahan banjir yang mencapai Rp. 2,2 trilyun lebih (Tabel 5-15). PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

111

Berdasarkan perhitungan pada tingkat kabupaten, nilai degradasri atau nilai pengurangan jasa hutan yang tertinggi adalah di Kabupaten Polewali Mandar yang mencapai 2,44 milyar rupiah, selanjutnya kabupaten Mamuju Tengah sebesar 2,07 milyar rupiah, kabupaten Mamuju sebesar 1,4 milyar rupiah, kabupaten Mamasa sebesar 1,3 milyar rupiah dan kabupaten Majene sebesar 298 juta rupiah (Tabel 5-16 sampai Tabel 5-18). Apabila memperhatikan posisi relatif masingmasing kabupaten terhadap nilai rata-rata provinsi, maka tiga kabupaten, yaitu kabupaten Polma, mamuju Tengah dan Mamuju berada di atas rata-rata sementara tiga kabupaten lainya berada dibawah rata-rata provnsi (Gambar 5-2). Secara umum, urutan dari nilai terbesar ke terendah pada parameter nilai penggunaan tidak langsung, paling tinggi adalah pada perameter konservasi air dan tanah; kemudian pencegah banjir, keanekaragaman hayati, penyerap karbon dan jasa hutan untuk transportasi air. Sementara atas dasar bukan penggunaan, nilai keberadaan hutan lebiih tinggi dibandingkan dengan nila opsi/pilihan. Nilai keberadaan menurut Widada (2004) adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat, baik oleh penduduk setempat maupun pengunjung terhadap suatu kawasan, seperti manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Keberadaan Hutan memberikan manfaat spiritual dapat ditunjukkan antara lain: a) kekayaan dan keindahan alam hutan yang dapat membangkitkan naluri rasa syukur manusia akan kebesaran Sang Pencipta atas ciptaanNya, b) keharmonisan hubungan unsur ekosistem hutan dapat 112

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

melahirkan keakraban manusia dengan manusia, alam seisinya serta Penciptanya, dan c) tingginya keanekaragaman hayati dan keaslian ekosistem hutan yang dapat mengilhami manusia untuk terus menerus menggali misteri tentang ilmu biologi konservasi, disamping dapat mengilhami manusia dalam berbagai bidang karya seni. Adapun nilai pilihan adalah nilainilai asumsi dimana terdapat keterbatasan peneliti untuk mengakomodir semua nilai degradasi yang terambil akibat kegiatan eksploitasi hutan. Misalnya dalam analisis ini, kita belum mengukur nilai madu, buah-buahan, tumbuhan obat, tanaman hias dan lain sebagainya. Perhitungan series (menurut) perjalanan tahun sulit untuk dilakukan mengingat keterbatasan data mentah untuk analisis di atas. Namun demikian, sebagai bentuk permulaan dalam upaya menghasilkan analisis PDRB Hijau untuk prvinsi Sulawei Barat, maka inisiasi yang memang baru dilakukan pada Tahun 2014 ini sekiranya dapat menjadi stimulant untuk terus mengembangankan perhituang PDRB hijua, khususnya bagi sub-sektor kehutanan dan tentunya untuk sektor lain yang identik memiliki pengaruh terhadap lingkungan. 5.2.3. Konstribusi Hijau Sektor Kehutanan Besarnya PDRB Hijau sub-sektor kehutanan atau nilai tambah hijau adalah nilai PDRB Coklat dikurangi dengan total nilai Deplesi, dan dikurangi lagi dengan nilai Degradasi atau nilai jasa hutan. Adapun nilai PDRB Semi Hiaua dan PDRB Hijau tersebut disajikan pada Tabel 5-19 dan 5-20. PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

113

Tabel 5-19.

PDRB Semi Hiajau dan PDRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2014

Uraian PDRB Coklat Deplesi PDRB Semi Hijau Degradasi PDRB Hijau

Nilai (Rp. M) 103,30 4,24 99,06 8,44 90,62

Nilai PDRB semi hijau dan PDRB Hijau Provinsi Sulawei Barat setelah melalui prosedur analisis yang telah dilakukan menunjukkan nilai PDRB Semi Hijaua sebesar Rp. 99,06 M dan PDRB Hijau sebesar Rp, 90,62 M, dengan isaran perbedaan sebesar 12,28%. Nilai PDRB Hijau yang dipoerleh menunjukan nilai yang lebih kecil sebagai akibat dari pengurangan nilai Deplesi dan Degradasi hutan, dengan kata lain maka nilai tambah sesuangguhnya apabila besar konstribusi sektor kehutanan dikurangi dengan nilai kerusakan yang timbul dalam hutan selama setahun adalah sebesar Rp. 90,06 M. Nilai PDRB Semi Hijau dan PDRB Hijau yang bernilai positif (tidak hingga minus) berarti bahwa aktifitas penggunaan langsung terhadap sumberdaya hutan di provinsi Sulawesi Barat masih memberikan konstribusi yang lebih besar terhadap pendapatan daerah (nilai tambah) demikian pula dengan dampak kerusakan lingkungan secara tidak langsung yang timbl dari penggunaan-penggunaan secara tidak langsung. Dengan kata lain karena nilainya yang positif maka nilai ekonomi yang dihasilkan oleh penggunaan melebihi nilai kerusakan yang ditimbulkannya (Tabel 5-19). 114

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

Tabel 5-20.

Kabupaten

PDRB Semi Hijau dan PDRB Hijau menurut kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, tahun 2014

PDRB Coklat

PDRB Nilai Semi Degradasi Hijau ---- Rp. Juta ----

Nilai Deplesi

PDRB Hijau

Majene

5.906,1

125,3

5.780,8

298,2

5.482,5

Polman

32.781,0

811,4

31.969,6

2.435,6

29.534,0

Mamasa

20.030,0

577,5

19.452,5

1.292,4

18.160,1

Mamuju Matra

23.250,0

705,6

22.544,4

1.414,1

21.130,2

10.231,4

587,1

9.644,3

932,6

8.711,8

Keadaan provinsi terseebut di atas sama dengan keadaan di tingkat kabupaten. Tabel 5-20 menunjukkan semua nila PDRB semi Hijau maupun PDRB Semi Hijau menunjukkan angka positif yang berarti bahwa nilai ekonomi aktifitas penggunaan sumberdaya hutan masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekonomi kerusakan yang ditimbulkan. Namun demikian, sebagai bentuk evaluasi dari keseluruhan nilai analisis yang diperoleh diatas, bahwa persentase nilai ekonomi keusakan yang timbul akibat aktifitas penggunaan hutan aling tinggi di Kabupaten Mamuju Utara, yaitu sebesar 14,85% dari total nilai tambah sub-sektor kehutanan, selanjutnya adalah Kabupaten Polewali mandar, sebesar 9,9% atau hampir mencapai 10%, kemudian kabupaten Mamasa dan Mamuju sebesar 9,3 dan 9,1% dan terkecil di Kabupaten Majene yang hanya sebesar 7,2%. 5.3. Implikasi Hasil Analisis Pendapatan nasional yang terus mengalami peningkatan hampir di semua negara di planet bumi ini telah mendorong PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

115

pengurasan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Hal ini kemudian menjadi perhatian Club of Rome pada tahun 1972 (Kuncoro, 2003) termasuk para pemimpin negara-negara di dunia dalam KTT BUMI di Rio de Janeiro pada tahun 1991. Guna mencegah semakin memburuknya dampak pembangunan terhadap lingkungan, perlu dianut suatu paradigma baru, yaitu bahwa pembangunan harus berwawasan lingkungan, sehingga pembangunan itu dapat bersifat berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan sedemikian

dengan

rupa

pengelolaan

sehingga

sumberdaya

ketersediaan

dan

alam

kualitasnya

terjamin untuk generasi mendatang (Callan, 2002). Oleh karena paradigma pembangunan akan berubah ke arah pembangunan yang

berkelanjutan,

maka

indikator

pembangunan

juga

semestinya diubah, tidak lagi menggunakan PDB yang dihitung atas dasar System of National Account (SNA), tetapi didasarkan pada PDB Hijau (Green Gross Domestic Product atau Green GDP) yang dihitung atas dasar konsep sistem penghitungan terpadu antara lingkungan dan ekonomi atau System of Integrated Environmental and Economic Account (United Nations, 1993). Apresiasi

terhadap

lingkungan

sebagai

faktor

produksi

perekonomian, juga dikemukakan oleh Pearce dan Worford (1993). Modal lingkungan hidup (enveronmental capital), misalnya hutan, kualitas tanah, dan sebagainya tidak boleh susut, dan harus terjaga dari waktu ke waktu. Atas dasar itu kalkulasi GDP konvesional harus dikoreksi menjadi SGDP (sustainable gross domestik product). 116

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

Hasil perhitungan PDRB Hijau yang diperoleh di atas banyak berbeda dengan beberapa hasil perhitungan yang telah dilaporkan dari beberapa hasil penelitian. Setyarko (2006), hasil pengukuran PDRB Hijau Kabupaten Batang Hari pada tahun 2004 dan tahun 2005, masing-masing negatif Rp 89,27 M; dan negatif Rp 72,64 M. hal yang sama juga ditemukan oleh Utama (2009) menemukan hasil dimana konstribusi sektor kehutanan dengan nilai total deplesi dan degradasi antara tahun 2004 – 2006 sebesar Rp.54,83 juta; Rp. 75,86 juta ; dan negatif Rp.46,64 Juta. yang bermakna bahwa nilai manfaat kehutanan yang diciptakan oleh sektor kehutanan sebagaimana dilaporkan pada PDRB coklat Kabupaten Karangasem lebh kecil daripada modal alami yang dikorbankan karena terdeplesi dan terdegradasi. Berbeda dengan keadaan tersebut, hasil ujicoba yang dilakukan pada sektor pertanian oleh Waluyati, dkk (2010) menunjukkan bahwa pada sektor pertanian di kabupaten Jayapura dan Merauke selama periode 2006 hingga 2008 mengindikasikan adanya peningkatan PRDB Hijau, pada tahun 2006 naik sebesar Rp 181.791,46 juta rupiah (45,43 persen), tahun 2007 naik sebesar 153.495,13 juta rupiah (34,98 persen) dan tahun 2008 naik sebesar 176.664,89 juta rupiah (36,96 persen). Besar

kecilnya

ukuran

PDRB

Hijau,

tentu

sangat

bergantung pada luasnya kerusakan yang ditimbulkan oleh segama bentuk pemanfaatan dan ekstraksi sumberdaya hutan. Demikian dengan hasil analisis sementara (permulaan) yang telah dilakukan untuk provinsi Sulawesi Barat. Namun demikian,

PDRB-HIJAU| KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU)

117

sebagai catatan penting dari hasil analisis yang telah diuraikan di atas, antara lain sebagai berikut: 1.

2.

3. 4.

Belum tersedianya data terkait dengan daya guna hutan secara lebih meluas, produk-produk hutan, serta keadaan lingkungan masyarakat di sekitar hutan. Beberapa komponen penggunaan langsung hutan kemungkinan besar dapat diidentifikasi melalui observasi pasar. Madu, tanaman obat dan beberapa produk lainnya dapat dijumpai dipasaran, sehingga kedepan diperlukan metode sampling yang efektif untuk mengakomodir semua bentuk ekstraksi sumberdaya hutan tersebut. Produk kayu sebagai produk utama hutan tingkat produksinya dilaporkan setiap tahunnya melalui publikasi resmi BPS atau Dinas Kehutanan, namun demikian data porduksi kayu sudah tidak muncul sejak publikasi Tahun 2012; Kita mendengar adanya kasusu pencurian kayu, namun tidak menemukan data resminya; Nilai-nailai jasa hutan yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditingkatkan keragamannya agar menjadi lebih detail apabila semua data dan informasi bentuk-bentuk penggunaan jasa hutan disatukan dan difenisikan secara terpadu lintas sektoral.

Berdasarkan beberapa catatan di atas maka sudah tentu nilai PDRB Hijau yang akan dianalisis akan semakin menurun, walaupun kemungkinan besar belum mengeser nila konstribusi hijau kebawah nilai minus. Namun demikian dukungan dari semua pihak guna menginisiasi program penyusunan Dokumen PRDB-Hijau per-institusi/ bidang/ sektor/ sub-sektor/ level pemerintahan/ publik dan swasta sangat diperlukan, demi untuk pembangunan provinsi Sulawesi Barat yang berwawasan lingkungan secara terpadu berkesinambungan. 118

KONSTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB (COKLAT DAN HIJAU) | PDRB-HIJAU

BAB VI 6. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan Hasil analis yang teah dilakukan maka dapat ditarik bebebrapa kesimpulan sebagai berikut: •

Sumberdaya hutan bukan hanya sebatas memberikan nilai tambah melalui produksi kayu dan non-kayu yang

selama

ini

menjadi

salah

satu

sumber

pendapatan bagi daerah maupun sebagai devisa negara, namun hutan juga memiliki berbagai nilai jasa lingkungan yang dapat dikuantifikasi sesuai dengan kondisi dan kemungkinan di masing-masing wilayah; •

Kabupaten dengan wilayah hutan terluas adala di kabupaten Mamuju dan Mamasa sedangkan yang paling sempit adalah di kabupaten Majene.



Produk hutan utama berupa barang yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Provinsi Sulawesi Barat adalah kayu, rotan dan getah pinus. Informasi penebangan kayu dan produksi kayu bulat tidak ditemukan sejak tahun 2011, namun untuk produksi damar dan getah pinus masih tersedia.



Daerah penghasil rotan tertinggi adalah di kabupaten Mamuju dan Polewali Mandar, sedangkan getah pinus hanya diproduksi di Kabupaten Mamasa.



Besarnya

konstribusi

PDRB

Coklat

sub-sektor

kehutanan sebsar 0,46 di tahun 2011 kemudian menurun menjadi 0,38 di athun 2014. Dalam struktur PDRB-HIJAU| KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

119

sektor pertanian, sub-sektor kehutanan merupakan konstributor

produk

daerah

yang

paling

kecil.

Perkembangan dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2014 menunjukkan besar nilai konstribusi yang positif namun belum mempengaruhi dinamika peningkatan sektor secara nyata. Dibandingkan dengan sub-sektor lainnya, laju petumbuhan sektor kehutanan masih lebih rendah; dan kecuali di kabupaten Polewali Mandar dan kabupaten Mamuju menunjukkan nila share yang positif yangn berarti bahwa besaran konstribusi khsusunya dari sektor kehutanan secara relatif semakin besar di empat Kabupaten lainnya; •

Nilai deplesi sumberdaya hutan di provinsi Sulawesi Barat pada Tahun 2014 sebesar Rp 4,2 Milyar, yang terdiri dari Rp 3,1 M nilai deplesi akibat kebakaran hutan dan Rp 1,11 M akkibat kegiatan penggarjian kayu. Berdasarkna nilai tersebut, mana PDRB semi hijau provinsi Sulawesi Barat sebesar Rp. 99,06 M dari nilai Rp. 103,30 M.



Nilai degradasi sumberdaya hutan atau penguranngan nilai jasa-jasa hutan akibat kegiatan tidak langsung dan akibat bukan kegiatan sebesar Rp. 8,44 M, dengan demikian maka besar nila PDRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat sebesar Rp. 90,62 M dari nilai Rp. 99,06 M.



Nilai PDRB Semi Hijau dan PDRB Hijau Provinsi Sulawesi Barat dan lima kabupaten (termasuk Mamuju

120

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN | PDRB-HIJAU

Tengah yang diagregat kedalam kabupaten Mamuju dalam analisis ini) mengindikasikan bahwa konstribusi nilai ekonomi kegiatan kehutanan masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai-nilai kerusakan secara ekonomi yang ditimbulkan dari aktifitas sub-sektor. 6.2. Rekomendasi •

Perlunya penyediaan data terkait dengan daya guna hutan, produksi hutan dan keadaan lingkungan masuarakat di sekitar hutan;



Dinas kehutanan sebaiknya menyajikan data laporan kasus

pencurian

mengkuantifikasi

kayu

yang

aktifitas

terjadi;

perladangan

dan

perpindah

yang masih ada; •

Nilai-nailai

jasa

hutan

yang

digunakan

dalam

penelitian ini dapat ditingkatkan agar menjadi dlebih detail apabila semua data dan informasi bentukbentuk

penggunaan

jasa

hutan

disatukan

dan

difenisikan secara terpadu oleh lintas sektoral; •

Penggunaan indikator PDRB Hijau sebagai salah satu indikator pembangunan secara nyata menunjukkan konstribusi sub-sektor atau sektor setelah dikurang dengan

nilai

kerusakan

dan

hutang

terhadap

lingkuangan. Nilai selisih antara PDRB Coklat dan PDRB Hijau dapat menjadi bahan rujukan dalam perumusan kebijakan penganggaran khususnya pada bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

PDRB-HIJAU| KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

121

Referensi: BPS-Majene, 2015. Kabupaten Majene dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majene, Majene. BPS-Majene, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha Kabupaten Majene Tahun 2014, Badan Pusat Statistik Kabupaten Majene, Majene. BPS-Mamasa, 2015. Kabupaten Mamasa dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamasa, Mamasa. BPS-Mamasa, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha Kabupaten Mamasa Tahun 2014, Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamasa, Mamasa. BPS-Mamuju, 2015. Kabupaten Mamuju dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju, Mamuju. BPS-Mamuju, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha Kabupaten Mamuju Tahun 2014, Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju, Mamuju. BPS-Matra, 2015. Kabupaten Mamuju Utara dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju Utara, Mamuju. BPS-Matra, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha Kabupaten Mamuju Utara Tahun 2014, Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju Utara, Mamuju Utara. BPS-Nasinoal, 2012-2013. Data Pertumbuhan Ekonomi Nasional Tahun 2012 hingga 2013. Badan Pusat Statistik Nasional (www.bps.go.id). BPS-Polman, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha Kabupaten Polewali Mandar Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Polewali Mandar, Polman.

122

Referensi: | PDRB-HIJAU

BPS-Polman, 2015.Kabupaten Polewali Mandar dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Polewali Mandar, Polman. BPS-Sulbar, 2011. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat, Mamuju. BPS-Sulbar, 2012. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat, Mamuju. BPS-Sulbar, 2013. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat, Mamuju. BPS-Sulbar, 2014. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat, Mamuju. BPS-Sulbar, 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2011-2014. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat, Mamuju. BPS-Sulbar, 2015. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawsi Barat, Mamuju. Callan, Scott J. And Jennets M. Thomas. 2002. Ekonomika dan Manajemen Lingkungan: Teori, Kebijakan, dan Aplikasi. Alih bahasa: I Ketut Nehen. Program Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia. Dishut-Sulbar. 2015. Statistik Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat, Mamuju. Kartodihardjo, H. 1996. Restrukturisasi industri kehutanan dalam pembangunan kehutanan secara lestari. Makalah disampaikan dalam Seminar Mahasiswa Kehutanan (SMKI) VI tanggal 26 Desember 1996, Bogor.

PDRB-HIJAU| Referensi:

123

Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Setiyanto, A. Irawan, B., Tafakresnanto, C.,Diyanti, F., Sativa, M., Widiasih, SCL., Suwandi, dan Adji, T.S. 2014. Metode Analisis Perencanaan Kawasan Pertanian. Lumintu, Yogyakarta. Setyarko, Y. 2006. Kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB dan pembangunan regional Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12, No.2, 2008: 1 – 20. Soemarwoto, O. 2006. Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan Realitas. Departemen Pendidikan Nasional, Penerbit Universitas Padjadjaran, Bandung. United Nations. 1993. Handbook of Integrated Environmental and Economic Accounting, Statistical Devision of United Nations, New York. Utama, M. S., 2009. Integrasi antara aspek lingkungan dan ekonomi dalam penghitungan PDRB Hijau pada sektor kehutanan di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Jurnal Bumi Lestari, Vol. 9 No. 2, Agustus 2009: 129 – 137. Waluyati, LR., Suryantini, A., Masbaitubun, H, Herkulen, L. dan Irawan NC. 2010. Penyusunan model produk domestic regional bruto hijau (PDRB-Hijau) sektor pertanian di Kabupten Jayapura serta Kabupaten Marauke. Ringakasan Eksekutif: Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T). Widada, 2004. Valuasi Ekonomi Taman Nasional Gunung Halimun. Desertasi Doktor Program Studi Ilmu Kehutanan. IPB, Bogor. Tidak Diterbitkan. Wirakusumah, S. 2003. Mendambakan Kelestarian Sumberdaya Hutan bagi Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

124

Referensi: | PDRB-HIJAU

LAMPIRAN

PDRB-HIJAU| LAMPIRAN

125

Lampiran 1. Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi Sulawesi Barat

126

LAMPIRAN | PDRB-HIJAU

Lampiran 2. Nilai Tambah (PDRB-ADHB) Semua Sektor Provinsi Sulawesi Barat, Tahun 2010-2014

Sumber: BDPR-Sulbar, 2015

PDRB-HIJAU| LAMPIRAN

127

di

Lampiran 3. NIlai PDRB sub-sektor kehutanana atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan dan nilai indeks implisitnya

PDRB ADHB dan ADHK 2010

2011

Tahun 2012

ADHB

1,03

4,91

5,21

5,48

5,91

ADHK

0,83

4,72

4,77

4,93

5,13

ADHB

27,15

28,15

29,02

30,94

32,78

ADHK

27,15

27,85

28,41

29,29

29,99

ADHB

15,08

15,98

17,90

18,60

20,03

ADHK

15,08

15,95

17,08

17,56

18,20

ADHB

19,09

19,68

20,30

21,08

23,25

ADHK

19,09

19,47

19,48

20,00

20,87

Kabupaten Majene Polewali Mandar Mamasa Mamuju

PDRB

2013

2014

Mamuju Utara

ADHB

7,81

8,40

9,29

9,59

10,23

ADHK

7,81

8,08

8,28

8,39

8,52

SulBar

ADHB

84,5

87,8

91,9

96,8

103,3

ADHK

84,54

87,66

87,71

90,66

92,7

INDEKS IMPLISIT 2010

Indeks Implisit 2011 2012 2013

2014

Majene

100,0

103,8

109,1

111,2

115,2

Polman

100,0

101,1

102,2

105,7

109,3

Mamasa

100,0

100,2

104,8

105,9

110,1

Mamuju

100,0

101,1

104,2

105,4

111,4

Mamuju Utara

100,0

103,9

112,1

114,4

120,0

100,0

100,2

104,8

106,8

111,4

Kabupaten

SulBar

128

LAMPIRAN | PDRB-HIJAU

Lampiran 4. Perkembangan dan Nilai Rerata Suku Bunga SBI Selama tahun 2014

Period BI Rate 17-Nov-15 7,50% 15-Oct-15 7,50% 17-Sep-15 7,50% 18-Aug-15 7,50% 14-Jul-15 7,50% 18-Jun-15 7,50% 19-May-15 7,50% 14-Apr-15 7,50% 17-Mar-15 7,50% 17-Feb-15 7,50% 15-Jan-15 7,75% 11-Dec-14 7,75% 18-Nov-14 7,75% 13-Nov-14 7,50% 07-Oct-14 7,50% 11-Sep-14 7,50% 14-Aug-14 7,50% 10-Jul-14 7,50% 12-Jun-14 7,50% 08-May-14 7,50% 08-Apr-14 7,50% 13-Mar-14 7,50% 13-Feb-14 7,50% 09-Jan-14 7,50% Rata-rata 2014 7,54% Sumber: http://www.bi.go.id/en/moneter/birate/data/Default.aspx

PDRB-HIJAU| LAMPIRAN

129

Related Documents

Hijau
October 2019 28
Arsitektur Hijau
June 2020 18
Prov Web
November 2019 25
Energi Hijau
June 2020 22

More Documents from ""