Epilepsy Umum Tonik Klonik dengan Penatalaksanaannya Hardianti 102016134 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat Alamat Korespondensi :
[email protected]
Abstrak Kejang adalah masalah neurologik yang sering dijumpai, kejang yang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan adanya kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etilologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan neuron kortikal secara berlebihan. Epilepsi dibagi menjadi beberapa jenis, salah satu yang paling sering adalah epilepsi tonik-klonik. Epilepsi tonik-klonik dikenal juga dengan nama epilepsi grand mal adalah kejang epilepsi yang klasik, kejang tonik-klonik diawali penurunan kesadaran yang cepat. Penatalaksaan yang penting adalah pemberian obat anti kejang sepert fenitoin, karbamazepin, atau fenobarbital untuk mencegah dan mengurangi frekuensi kejang agar kualitas hidup pasien membaik. Kata Kunci : Kejang, epilepsi, tonik klonik, gran mal
Abstract Seizures are a common neurological problem, recurrent, spontaneous seizures, and do not involve more and more abnormalities called epilepsy. Epilepsy is a manifestation of brain disorders with various ethylologies but with a unique single symptom, namely a periodic attack caused by excessive release of cortical neuronal load. Epilepsy is divided into several types, one of the most common being tonic-clonic epilepsy. Tonic-clonic epilepsy also known as grand mal epilepsy is a classic epileptic seizure, tonic-clonic seizures are initiated by rapid awareness. Important management is anti-seizure drugs such as phenytoin, carbamazepine, or phenobarbital to prevent and reduce the frequency of seizures so that the patient's quality of life improves. Keywords: Seizures, epilepsy, clonic tonics, gran mal
1
PENDAHULUAN Kejang adalah masalah neurologik yang sering dijumpai, kejang yang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan adanya kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etilologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan neuron kortikal secara berlebihan. Definsi fisologi dari epilepsy masih belum berubah dari definisi yang diberikan oleh Hughlings Jackson pada abad ke 19 :1 “epilespsi adalah istilah untuk cetusan listrik local pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak dan sangat cepat’.1 Secara klinis epilepsy merupakan gangguan paroksisal di mana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motoric atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara kejang yang terjadi sendiri dan tendensi kejang berulang yang berupa epilepsy.1 DIAGNOSIS AWAL. Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang atau bukan , dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui alamat Korespondensi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung.2 Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:2 1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb. 2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini
2
disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis. 3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks. 4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang. 5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari. 6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang. 7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti kejang . 8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ? 9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap. 10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan
3
kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka. 11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai. Riwayat medik dahulu. Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer 2004).2 1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses persalinannya? 2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”? 3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia? 4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13 %. 5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis. 6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama? 7. Apakah ada riwayat tumor otak? 8. Apakah ada riwayat stroke? Riwayat sosial. Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi (Ahmed, Spencer 2004).2 1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu. 2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak
4
terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan dirinya. 3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor. 4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya. 5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol . Riwayat keluarga. Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed, Spencer 2004).2 Riwayat allergi. Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer 2004).2 Riwayat pengobatan. Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed, Spencer 2004)
5
Riwayat Pemeriksaan penunjang lain. Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed, Spencer 2004).2
PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI. Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry hemangioma) pada sturgeweber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004).2 Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).2 Pemeriksaan laboratorium Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat
6
memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).2 Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004).2 1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi. 2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik. 3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat. Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :2 1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali. 2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi. 3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak. 4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum. Pemeriksaan vidio EEG
7
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).2 Pemeriksaan radiologi Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004).2 Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003) -
Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak. - Perubahan serangan kejang. - Ada defisit neurologis fokal. - Serangan kejang parsial. - Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun. - Untuk persiapan operasi epilepsi. CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).2
Pemeriksaan neuropsikologi Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).2 KLASIFIKASI DAN DIFERENTIAL DIAGNOSIS Bangkitan parsial (epilepsy petitmal)
8
Bangkitan parsial (atau lebih dikenal dengan nama epilepsy petitmal yang timbul pada derah otak yang terbatas akan menimbulkan keluhan dan gejala local. Bangkitan epilepsy ini diklasifikasi berdasarkan akibatnya pada kesadaran pasien dan apakah bangkitan tersebut menyebar melalui lintasan motoric hingga terjadi bangkitan yang menyeluruh.3 Kejang parsial/fokal dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum:1,7 -
Kejang parsial sederhana, tidak ada gangguan kesadaran, kejang parsial sederhana dibagi lagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tanda dan gejala yang dihasilkan oleh kejang.
-
Kejang parsial kompleks, disertai gangguan kesadaran kesadaran. Lepas muatan kejang ini sering berasal dari lobus temporalis medial atau inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta proses perilaku yang kompleks. Kejang inidapat dipicu musik, cahaya berkedip-kedip, atau rasngsang lain, dan dan sering disertai aktifitas motorik repetitif involuntar yang terkordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis. Contoh perulaku ini adalah, menarik-narik baju, meraba-raba benda, menegecap bibir atau mengunyah berulangulang.
-
Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umum, kejang ini didahului kejang parsial sederhana maupun kompleks yang menjadi kejang umum biasanya tonikklonik.
Bangkitan menyeluruh (epilepsy grandma) Sebagaimana ditunjuk oleh namanya , bangkitan epilepsy yang menyeluruh (atau lebih dikenal dengan sebutan epilepsy grandmal) menimbbulkan abnormalitas elektrik yang menyeluruh diotak. Bangkitan ini bisa berupa serangan kejang atau serangan tanpa kejang dan mencakup beberapa tipe epilepsy:3 -
Absence seizures paling sering ditemukan pada anak-anak meskipun dapat pula mengenai dewasa, bangkitan ini dimulai dengan perubahan tingkat kesadaran selama sesaat yang ditunjukan oleh gerakan mengedipkan mata atau bola mata yang berputar, pandangan yang kosong dan sedikit gerakan mulut. Pasien tetap mempertahankan postur tubuhnya dan melanjutkan aktivitas pra-bangkitan tanpa kesulitan. Secara khas, setiap serangan absence seizure berlangsung selama 1-10 detik. Jika tidak ditangani dengan baik, bangkitan, bangkitan epilepsy ini dapat muncul kembali sampai 100 kali per hari. absence seizure bukan bangkitan epilepsy dengan serangan kejang. Tetapi tipe ini dapat berlanjut menjadi tipe bangkitan yang menyeluruh dengan kejang tonik klonik.3
9
-
-
-
Bangkitan mioklonik (mioklonus epileptic bilateral yang masif) merupakan gerakan menyentak yang singkat pada otot involunter tubuh atau pada otot ekstremitas yang bisa berirama. Kesadaran biasanya tidak dipengaruhi.3 Bangkita tonik klonik yang menyeluruh secara khas dimulai dengan tangisan keras, yang ditimbulkan oleh udara yang dihembuskan keluar dari dalam paru-paru melalui pita suara. Kemudian pasien tidak sadarkan diri dan jatuh ke tanah. Tubuhnya mengejang (fase tonik) dan kemudian terjadi spasme serta relaksasi otot secara bergantian ( fase klonik). Lidah yang tergigit, inkotinensia, pernapasan yang berat, apnea, dan selanjutnya sianosis dapat terjadi. Bangkitan epilepsy ini berhenti dalam waktu dua hingga lima menit ketika hantaran implus elektrik yang abnormal terhenti. Ketika pasien sadar kembali, ia akan tampak bingung dan mungkin sulit berkata-kata. Jika tidak berkata, pasien mungkin mengeluhkan rasa mengantuk, lelah, sakit kepala, rasa pegal pada otot dan kelemahan pada lengan atau tungkai. Mungkin pasien akan tertidur nyenyak setelah mengalami bangkitann epilepsy tersebut.3 Bangkitan atonik ditandai oleh kehilangan tonus postural yang menyeluruh dan kehilangan kesadaran temporer. Bangkitan ini dapat terjadi pada anak kecil dan kadangkadang disebut “serangan roboh” karena membuat anak itu terjatuh.3
Serangan non-epileptik psikogenik Gejala yang dapat membedakannya dari epilepsi adalah durasi yang lama, tidak pernah terjadi waktu tidur, perjalanan penyakit yang berfluktuasi, gerakan asinkron, gerakan pelvis, gerakan kepala ke kiri dan kanan, menutup mata saat serangan, menangis saat serangan, ingat dan mengetahui apa yang terjadi saat serangan, dan tidak adanya gejala bingung pasca serangan. Serangan hampir selalu terjadi bila ada orang lain di sekitarnya.Serangan non-Epileptic psikogenik sering disertai berbagai gangguan psikiatrik.6 Epilepsi simtomatik Penyebab diketahui dan dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, enselopati, abses otak dan jaringan parut atau kelainan ekstrakranial dimana penyebab bermula ekstrakranial kemudian mengganggu fungsi otak juga misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat dan gangguan keseimbangan cairan.7
WORKING DIAGNOSIS Epilepsy umum tonik klonik Bangkitan tonik klonik yang menyeluruh secara khas dimulai dengan tangisan keras, yang ditimbulkan oleh udara yang dihembuskan keluar dari dalam paru-paru melalui pita suara. Kemudian pasien tidak sadarkan diri dan jatuh ke tanah. Tubuhnya mengejang (fase tonik) dan
10
kemudian terjadi spasme serta relaksasi otot secara bergantian ( fase klonik). Lidah yang tergigit, inkotinensia, pernapasan yang berat, apnea, dan selanjutnya sianosis dapat terjadi. Bangkitan epilepsy ini berhenti dalam waktu dua hingga lima menit ketika hantaran implus elektrik yang abnormal terhenti. Ketika pasien sadar kembali, ia akan tampak bingung dan mungkin sulit berkata-kata. Jika tidak berkata, pasien mungkin mengeluhkan rasa mengantuk, lelah, sakit kepala, rasa pegal pada otot dan kelemahan pada lengan atau tungkai. Mungkin pasien akan tertidur nyenyak setelah mengalami bangkitann epilepsy tersebut. Epidemiologi Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsy aktif, dengan 20-50 pasien baru yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsy adalah 2 per 100.000. kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan diantara serangan pasien tidak sadar. Atau jika terjadi akibat cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kemaatian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsy (suden unexplained death in epilepsy, SUDEP) diasumsikan berhubungan dengan aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardioresepirasi.1 Etiologi Sekitar separuh dari semua kasus epilepsy bersifat idiopatik. Kemungkinana keadaan lain yang menjadi penyebab bangkitan epilepsy meliputi :3
Trauma lahir (pasokan oksigen yang tidak mencukupi ke dalam otak, inkompatibilitas darah, atau perdarahan) Infeksi perinatal Anoksia Penyakit infeksi (meningitis, ensefalitis, atau abses serebri) Tumor otak Gangguan bawaan atau penyakit degenerative, seperti fenilketonuria atau sclerosis tuberosa Cedera atau trauma kepala Gangguan metabolic, seperti hipoglikemia dan hiperparatiroidisme Stroke (perdarahan, thrombosis, atau emboli).3
Patofisiologi Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Potensial aksi itu disalurkan melalui akson yang bersinaps dengan dendrit neuron lain. Pada keadaan patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron, sehingga
11
neuron melepaskan muatan listriknya. Manifestasi klinisnya berupa kejang atau terasanya suatu modalitas perasaan. Diduga neurotransmitter acetylcholine merupakan zat yang merendahkan potensial membran postsinaptik. Apabila sudah cukup acetylcholine tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik neuron-neuron kortikal dipermudah. Penimbunan acetylcholine setempat harus mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Oleh karena itu, fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi secara berkala.4 Ditinjau dari bidang biokimia, didapatkan juga faktor etiologik yang dapat menjelaskan mekanisme epilepsi yang hingga saat ini dianggap sebagai idiopatik. Misalnya zat yang dikenal sebagai gama-aminobutyric-acid (GABA). Substansi serbral itu dapat dianggap sebagai zat antikonvulsi alamiah. Pada orang tertentu zat itu kurang cukup, sehingga neuron-neuron kortikalnya mudah sekali terganggu dan bereaksi dengan melepaskan muatan listriknya secara menyeluruh.4 Pada kejang grand mal yang secara primer melepaskan muatan listriknya adalah nuklei intralaminares talami atau inti centrecephalic. Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens ektralemniskal. “Input” korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bila sama sekali tidak ada “input”, maka timbullah koma. Pada grand mal, terjadi lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebihan. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang otot seluruh tubuh (konvulsi umum) dan sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina kesdaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang. Selain mekanisme di atas, terdapat bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik, sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot skeletal. Hal ini terjadi pada kejang petit mal. Demam merupakan keadaan dimana nuklei intralaminares talami menjadi lebih peka untuk diaktifkan atau merupakan keadaan dimana ambang lepas muatan listrik neuron-neuron kortikal direndahkan, sehingga kejang umum mudah terjadi.4
Gejala klinis Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gambaran klinis pasien dengan epilepsi tonik-klonik adalah: ketidaksadaran biasanya disertai dengan jatuh, otot-otot seluruh badan kaku dan diikuti oleh kejang klonik. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas. Pasien juga dapat mengalami inkontinensia urin dan atau alvi. Setelah
12
kejang berhenti, pasien tertidur beberapa lama atau terbangun dengan kesadaran yang masih rendah, dapat pula langsung sadar dengan keluhan bada pegal, lelah, dan nyeri kepala.5 Komplikasi Komplikasi dari trauma medulla spinalis meliputi :3
Disfreleksia otonom Syok spinal Syok neurogenic
Penatalaksanaan Setelah bangkitan yang pertama, keputusan untuk memulai pengobatan bergantung pada risiko adanya bangkitan dikemudian hari serta apakah bangkitan dimulai dengan suatu status epileptikus. Risiko ini tergantung dari kondisi bangkitan dan hasil pemeriksaan. Risiko berulangnya kejang dalam 10 tahun terjadi pada 19% setelah kejang simptomatik akut akibat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, tetapi risiko berulang tiga kali lipat pada bangkitan tanpa provokasi. Selain itu seberapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi psikososial, masalah pekerjaan, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya dan pertimbangan untung rugi antara pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan. Ketepatan diagnosis merupakan dasar terapi. Tujuan medikasi Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal dan tercapa kualitas hidup optimal. Harapannya adalah ‘bebas bangkitan, tanpa efek samping’, walaupun hal ini sulit terjadi pada medikasi inisial.8
Prinsip penatalaksanaan
Pertolongan pertama
Keluarga harus diedukasi mengenai pertolongan pertama apa yang harus dilakukan bila serangan timbul sebelum dibawa ke unit gawatdarurat. Pertama, dipastikan pasien aman dari sekitarnya dengan menjauhkan pasien dari benda-benda yang dapat melukai pasien. Kemudian
13
penolong jangan menahan gerakan kejang pasien dan jangan memasukan benda apapun ke mulut pasien karena akan menambah cedera. Direkomendasikan untuk memiringkan posisi pasien supaya mencegah obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jangan memberikan makanan atau minuman sampai kesadaran pasien pulih. Terapi farmakologis
Prinsip Pemberian OAE
-
Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
-
Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
-
Penyandang atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan dan efek sampingnya
-
Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan ditingkatkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.8 Penyesuaian dosis diperlukan ketika timbulnya efek samping atau terjadi bangkitan yang tidak dapat dibedakan karena dosis yang kurang tepat atau adanya faktor presipitasi seperti penggunaan etanol berlebih. Jika efek samping ringan, maka penyesuaian ringan dosis mungkin bermanfaat. Bila masalahnya adalah timbulnya bangkitan, maka diperlukan titrasi OAE ke dosis yang lebih besar, atau sampai ke dosis maksimal yang dapat ditoleransi. Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. OAE kedua harus memiliki mekansisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama. Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi maka OAE pertama diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Bila respon yang terjadi buruk, kedua OAE harus digantikan dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respsons dengan OAE kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama sudah maksimal. Pemilihan, Jenis Obat, dan Mekanisme Kerjanya
14
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil farmakologi, dan interaksi antar obat.8 Tabel 5. Pemilihan Obat Anti Epilepsi8
Tabel 6. Dosis OAE untuk dewasa8
15
Tabel 7. Efek samping OAE8
Tabel 8. Profil farmakologi OAE
Tabel 9. Interaksi farmakokinetik antar OAE
16
Penghentian OAE Pada suatu studi meta analisis, kekambuhan kejang terjadi 25% setelah penghentian OAE selama 1 tahun dan 29% setelah penghentian selama 2 tahun. Namun, angka kejadian kekambuhan setiap tahunnya hanya sekitar 8% pada penghentian OAE selama 2 tahun. Inisiasi penghentian OAE dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang. Syarat lain penghentian OAE adalah disetujui oleh penyandang dan keluarga, dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 3-6 bulan, serta bila terapi dengan lebih dari satu OAE maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.8 Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut: -
Semakin tua usia
-
Epilepsi simptomatik
-
Gambaran EEG abnormal
-
Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
-
Pengunaan lebih dari satu OAE
-
Telah mendapat terapi selama 10 tahun atau lebih
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.8 Terapi bedah Akhir-akhir ini terapi bedah saraf semakin dipertimbangkan untuk pasien dengan epilepsy yang terus-menerus, refrakter terhadap dosis maksimal antikonvulsan terutama pada pasien dengan lokasi onset kejang yang jelas. Sekarang ini dengan pencitraan MR telah dapat diidentifikasi lesi kecil lobus temporal, sclerosis atau kelainan perkembangan (hamartoma) yang sebelumnya tidak dapat dideteksi oleh CT scan, seperti ditujukan gambar 10.2. Pada pasien lain dimana tidak ada lesi pada pencitraan, maka focus epileptogenic dapat dideteksi dari elektrofisiologi. Pasien ini dapat menjalani operasi pembedahan untuk menghilangkan jaringan epileptogenic. Pada kasus simtomatik lain yang kurang spesifik, prosedur bedah dapat diindikasikan, termasuk hemisferektomi dan prosedur-prosedur pemutusan hubungan, seperti pemotongan korpus kalosum. Pada semua kasus, terapi bedah hanya dilakukann pada pasien-pasien terpilih, dinilai
17
oleh pusat studi saraf (neuroscience), termasuk penentuan fungsi dihilangkan.1
jaringan yang akan
KESIMPULAN Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas yaitu serangan berkala yang disebabkan lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebih. Salah satu jenis epilepsi yang paling umum ditemui adalah epilepsi tonik-klonik umum dimana penderitanya akan mengalami kejang tonik lalu klonik selama beberapa menit. Penatalaksaan yang penting adalah pemberian obat anti kejang sepert fenitoin, karbamazepin, atau fenobarbital untuk mencegah dan mengurangi frekuensi kejang agar kualitas hidup pasien membaik.
DAFTAR PUSTAKA 1. Ginsberg L. Lecture notes neurologi .2007. Penerbit Erlangga. Ed 8 2. Sunaryo U. Diagnosis epilepsy. 2007. Jurnal Ilmiah Kedokteraan Wijaya Kusuma. 1(1). 3. Kowalak, Welsh, Mayer. Buku ajar patofisiologi. 2014. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi dasar klinis. Jakarta: Dian Rakyat; 2012. 5. Mansjoer A, Kuspuji T, Savitri R. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius; 2013. 6. Pusponegoro. Keadaan mirip epilepsy. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan VI 7. Haryanti R, Dimyati Y, Saing J.H. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif pada epilepsy. Medan: Majalah Kedokteran Nusantara.50(4): 2017 8. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis Banding. In: Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 4th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2014.
18