Gagal Jantung Kronik dan Penatalaksanaanya Nama: Hardianti NIM: 102016134 Alamat Korespondensi: Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara, No 6, Jakarta 11510. Alamat Email Korespondensi:
[email protected] Abstract Heart failure or heart failure is defined as a condition in which the heart cannot deliver enough cardiac output to meet the body's metabolic needs. This is based on both structural and functional disorders of the heart. The diagnosis is based on history, physical examination, electrocardiography / chest X-ray, Doppler echocardiography, and catheterization. In the early stages of heart failure, various compensatory mechanisms are generated to maintain normal metabolic function. This compensation mechanism will gradually become ineffective, which is described by increasingly severe clinical manifestations. It is very important to detect and consider the treatment of cardiovascular and non-cardiovascular cormorbids that are often encountered. The purpose of diagnosis and treatment of heart failure is to reduce morbidity and mortality. key words: heart failure, dyspneu, cardiac output. Abstrak Gagal jantung atau heart failure didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana jantung tidak dapat menghantarkan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Hal ini didasari baik akibat gangguan struktural maupun fungsional dari jantung. Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi/ foto toraks, ekokardiografi Doppler, dan kateterisasi. Pada stadium awal gagal jantung, berbagai mekanisme kompensatoir dibangkitkan untuk mempertahankan fungsi metabolik normal. Mekanisme kompensasi ini lambat laun akan menjadi tidak efektif, yang mana digambarkan melalui manifestasi klinis yang semakin berat. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai. Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. kata kunci : gagal jantung, sesak, curah jantung.
1
PENDAHULUAN Gagal jantung atau heart failure didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana jantung tidak dapat menghantarkan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Hal ini didasari baik akibat gangguan struktural maupun fungsional dari jantung.
Pada stadium awal gagal jantung, berbagai mekanisme kompensatoir dibangkitkan untuk mempertahankan fungsi metabolik normal. Mekanisme kompensasi ini lambat laun akan menjadi tidak efektif, yang mana digambarkan melalui manifestasi klinis yang semakin berat.1
ANAMNESIS
Anamnesa Umum a. Nama, umur, alamat, pekerjaan. Laki-laki berusia 60tahun b. Keluhan Utama Sesak nafas bila beraktivitas Pelengkap : sesak nafas ini dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. c. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien juga mengalami batuk, pasien merasa nafasnya sering tersengal-sengal, terutama bila berjalan agak jauh, sehingga mengganggu keseharian, tapi keluhan berkurang bila pasien istirahat, saat malam pasien merasa lebih nyaman bila menggunakana bantal yang agak tinggi. 2 bulan terakhir ini ia merasa kakinya sering bengkak d. Riwayat Penyakit Dahulu Dua tahun lalu pasien perna mengalami serangan jantung dan di lakukan kateterisasi jantung, satu tahun lalu pasien menjalani Coronary Atery Bypass Graft(CABG), pasien juga didiagnosisi menderita darah tinggi sejak berusia 36 tahun dan diabetes mellitus pada usia 40 tahun e. Riwayat Penyakit Keluarga f. Riwayat Pengobatan
2
Pasien tidak minum obat dan control secara teratur, dan saat ini hanya meminum aspirin 80mg 1x1tab/hari, bisoprolol 5mg 1x1tab/hari.
Anamnesa Khusus Gejala gagal jantung secara konvensional dibagi menjadi gagal ventrikel kiri , gagal ventrikel kanan, atau kedua-duanya. Gagal jantung bukan merupakan diagnosis dan penyebab yang mendasarinya harus selalu dicari. Gagal jantung adalah alasan yang sangat sering, mencakup 5% dari pasien yang dirawat di bangsal rumah sakit.2
Gagal ventrikel kiri : a. Sesak nafas b. Dispnea nocturnal paroksismal – ortopnea ( Adakah masalah dengan pernafasan di malam hari ? jumlah bantal yang dipakai ? ) c. Yang lebih jarang adalah mengi (wheezing), batuk, sputum merah muda berbusa, toleransi olahraga berkurang
Gagal ventrikel kanan : a. Edema perifer khususnya pada pergelangan kaki, tungkai, sacrum b. Asites c. Ikterus, nyeri hati, mual, dan nafsu makan berkurang (akibat edema usus), namun jarang terjadi d. Efusi pleura Gagal jantung akut biasa timbul dengan gejala sesak napas mendadak dan hebat, sianosis dan distress. Gagal jantung kronis biasa berhubungan dengan berkurangnya toleransi olahraga, edema perifer, letargi, malaise dan penurunan berat badan.2
PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan mulai dari bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak yaitu kaki. yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga kesadaran pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu
3
mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a. radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-80 kali permenit. Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit. pemeriksaan mulai dari bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak yaitu kaki. Kemudian periksan bagian ekremitas apakah ada edema atau tidak. Pada pemeriksaan dada dan jantung, pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan urutan: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskulitasi. Inspeksi. Secara umum hal-hal yang berkaitan dengan akibat penyakit jantung diamati, misalnya c, kelelahan karena cardiac output rendah, sesak yang menunjukkan adanya bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan clubbing finger dan kaki berkaitan dengan adanya aliran shunt kanan ke kiri. Begitu juga dengan ada tidaknya edem. Khusus inspeksi organ jantung adalah dengan melihat pulsasi di area apeks, trikuspidal, pulmonal, aorta. Perlu juga melihat bentuk dada dan pergerakan napas. Palpasi. Dengan menggunakan ujung-ujung jari atau telapak tangan, tergantung rasa sensitivitasnya, meraba area-area apeks, trikuspidal, septal, pulmonal, dan aorta. Yang diperhatikan dalam pemeriksaan adalah:4 1. Pulsasi 2. Thrill yaitu getaran yang terasa pada tangan pemeriksa 3. Heaving yaitu rasa gelombang yang kita rasakan di tangan kita 4. Lift yaitu dorongan terhadap tangan pemeriksa 5. Ictus cordis yaitu pulsasi apeks, biasanya terletak pada 2 jari medial dari garis midclavikula kiri Perkusi. Telapak tangan kiri berikut jari-jarinya diletakkan di dinding dada, dengan jari tengah sebagai landasan ketok, sedangkan telapak dan keempat jari lain agak diangkat. Tujuannya agar tidak meredam suara ketukan. Hal yang dilakukan dalam perkusi adalah mencari batas jantung kanan, kiri, atas, bawah, dan pinggang jantung. Batas kanan jantung dicari dari batas paru-hati, lalu naik 2 jari dan diperkusi ke arah medial. Batas kiri jantung ditentukan dari garis aksilaris anterior kiri, perkusi ke arah medial pada sela iga tiga hingga enam, yang mana yang paling
4
lateral. Batas atas jantung ditentukan pada garis sternal kiri. Pinggang jantung ditentuan pada garis parasternal kiri. Dengan auskultasi akan didengarkan bunyi-bunyi dari jantung dan juga bising jantung bila ada kelainan. Bunyi jantung normal terdiri atas bunyi jantung (BJ) I dan II. Di area apeks dan tirkuspidalis BJ I lebih keras daripada BJ II, sedangkan di area basal yaitu pulmonal dan aorta, BJ I lebih lemah daripada BJ II. Lokasi-lokasi pemeriksaan auskultasi sebagai berikut:4 1. Apeks untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup mitral 2. Sela iga IV-V sternal kiri dan sela iga IV-V kanan untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup trikuspidal 3. Sela iga III kiri untuk mendengarkan bunyi patologis yang berasal dari septal bila ada kelainan ASD dan VSD 4. Sela iga II kiri untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup pulmonal 5. Sela iga II kanan untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup aorta Hasil pemeriksaan keadaan umum pasien adalah sakit berat. Kesadaran pasien compos mentis. Tanda-tanda vital menunjukkan tekanan darah 160/90mmHg, frekuensi nadi 65x/menit, frekuensi napas 22x/menit, dan suhu afebris. Pada hasil auskultasi didapatkan gallop positif dan murmur negatif. Terdapat adanya edema pada kaki. Gagal jantung kiri Peningkatan tekanan atrium kiri meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan menyebabkan kongesti paru dan akhirnya udema alveolar, mengakibatkan sesak nafas, batuk, dan kadang hemoptisis. Dipsnu awalnya timbul pada aktivitas, namun bila gagal ventrikel kiri berlanjut dapat terjadi saat istirahat,menyebabkan dipsnu nokturnal paroksismal. Pemeriksaan fisik seringkali normal, namun dengan perkembangan gagal jantung hal-hal berikut dapat ditemukan: 1. kulit lembab dan pucat akibat vasokonstriksi perifer 2. tekanan darah dapat tinggi pada kasus penyakit jantung hipertensi, normal atau rendah dengan perburukan disfungsi jantung 3. denyut nadi mungkin memiliki volume kecil dan irama mungkin normal atau ireguler 4. pada auskultasi dapat ditemukan krepitasi paru yang menandakan efusi pleura, bunyi jantung ketiga S3) gallop dan murmur total dari regurgitasi mitral sekunder karena
5
dilatasi anulus mitral. terdengarnya murmur tidak menutup kemungkinan menandakan adanya penyakit katup jantung intrinsik.
Gagal jantung kanan Gejala mungkin minimal, terutama jika telah diberi diuretik. Gejala yang timbul antara lain : 1. pembengkakan pergelangan kaki 2. dipsnu 3. penurunan kapasitas aktivitas 4. nyeri dada ditemukan apabila terdapat dilatasi atau peningkatan tekanan ventrikel kanan 5. denyut nadi mungkin memiliki volume kecil dan irama mungkin normal atau ireguler 6. tekanan vena jugularis meningkat, kecuali diberikan terapi diuretik sebelum pemeriksaan 7. edema perifer, hepatomegali dan asites 8. pada palpasi mungkin didapatkan gerakan bergelombang akibat hipertrofi ventrikel kanan dan atau dilatasi 9. pada auskultasi didapatkan bunyi jantung S3 dan S4 ventrikel kanan serta efusi pleura
PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung. EKG memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian besar pasien (8090%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertrofi LV, gangguan konduksi, aritmia. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).
b. Foto Toraks Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
6
c. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR),
glukosa,
tes
fungsi
hati
dan
urinalisis.
Pemeriksaan
tambahan
laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone.
d. Peptida Natriuretik Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptidanatriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan
pasien,
dan
mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejalagejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil. Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk.Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.
e. Troponin I atau T Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.
f. Ekokardiografi
7
Pemeriksaan ini harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katup jantung dapat disingkirkan. Regurgitasi mitral sering disebabkan pembesaran ventrikel kiri yang disebabkan dilatasi anulus mitral.5 DIAGNOSIS DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. Gagal jantung akut Gagal jantung akut didefiniskan sebagai serangan cepat / rapid onset atau adanya perubahan mendadak gejala atau tanda gagal jantung. Ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa yang memerlukan perhatian medis segera dan biasanya perlu dibawa ke rumah sakit. Klasifikasi klinis gagal jantung akut : a. Perburukan atau gagak jantung kronik (GJK) dekompensasi, adanya riwayat perburukan progresif pada pasien yang sudah diketahui dan mendapat terapi sebelumnya sebagai pasien GJK dan dijumpai adanya kongesti iskemik dan kongesti paru. Tekanan darah yang rendah saat masuk RS, merupakan pertanda prognosis buruk b. Edema paru Pasien respiratory distress yang berat, pernapasan yang cepat, dan ortopnea dan ronki pada seluruh lapang paru. Saturasi oksigen arterial <90% pada suhu ruangan, sebelum mendapat terapi oksigen c. Gagal jantunng hipertensif, terdapat gejala dan tanda-tanda gagal jantung yang disertai tekanan darah yang tinggi dan biasanya fungsi sistolik jantung masih relative cukup baik, juga terdapat tanda-tanda peninggian tonus simpatik dengan takikardi dan vasokonstriksi. Pasien mungkin masih eu volemia atau hanya hipovolumia yang ringan. Umumnya memperlihatkan kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik d. Syok kardiogenik, didefiniskan sebagai adanaya bukti tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang disebabkan oleh gagal jantung, walau sesudah preload dan aritmia berat sudah dikoreksi secara adekuat. Ciri khas dari syok kardiogenik
8
adalah tekanan darah sistolik yang rendah <90 mmHg atau penurunan dari tekanan arteriol rata-rata dan tidak adanya produksi urin atau berkurag. e. Gagal jantung kanan terisolasi, ditandai dengan adanya sinddrom “low out put” tanpa disertai oleh kongesti paru dengan peninggian vena jugularis dengan atau tanpa hepatomegaly dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah f. Sindrom coroner akut
dan gagal jantung. banyak pasien GJA timbul
bersamaan dengan SKA yang dibuktikan dari gambaran klinik dan pemeriksaan penunjang. Kira-kira 15% pasien SKA memperlihatkan gejala dan tanda-tanda GJ. 2. Gagal ginjal kronik Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi penyebab penyakit ginjal kronik diantaranya adalah glomerulonephritis, diabetes mellitus, daan hipertensi. Anemia ikut berkontribusi untuk penurunan kualitas hidup pada pasien dengan penyakit ginjal kronik. National Kidney Foundation mendefinisikan anemia pada penyakit ginjal kronik apabila kadar Hb ≤13.5 g/dl pada pria dan 12.0 g/dl pada wanita.2 Gejala dan tanda dari anemia pada pasien penyakit ginjal kronik adalah uremia, kelelahan, berkurangnya nafsu makan, dan vasodilatasi pembuluh darah perifer.29 Anemia merupakan hal yang sering dijumpai pada pasien dengan penyakit diabetes dan penyakit ginjal kronik. 3. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. Gejala klinis
9
yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut: Batuk kronik, berdahak, sesak nafas. Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian pada penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang merokok memiliki resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Resiko untuk perokok aktif sekitar 25%.
WORKING DIAGNOSIS GAGAL JANTUNG KRONIK Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi/ foto toraks, ekokardiografi Doppler, dan kateterisasi seperti terlihat pada bagan dibawah ini.1 Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.1 Kriteria Major
Paroksismal nokturnal dispnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
10
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120 menit) Terdapat klasifikasi gagal jantung menurut NYHA (New York Heart Association) yaitu:
Kelas
Kapasitas Fungsional
I
Pasien tanpa keterbatasan aktivitas fisik
II
Pasien dengan sedikit keterbatasan aktivitas fisik, dimana aktivitas fisik biasa dapat mengarah pada kelelahan, jantung berdebar, dispnue, atau nyeri angina ; Nyaman saat istirahat. Pasien dengan keterbatasan aktivitas fisik yang jelas, dimana aktivitas fisik kurang
III
dari biasa dapat mengarah pada kelelahan, jantung berdebar, dispnue, atau nyeri angina ; Nyaman saat istirahat. Pasien tidak hanya tidak bisa melakukan aktivitas fisik tetapi juga mendapat gejala
IV
gagal jantung atau sindrom angina bahkan saat istirahat; ketidaknyamanan pasioen bertambah bila aktivitas fisik dilakukan Tabel 1. Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung Menurut NYHA.
Gagal jantung adalah Suatu kondisi patofisiologi dimana kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel. Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefiniskan sebagai sindrom klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. EPIDEMIOLOGI Sekitar 3-20 per 1000 orang pada populasi mengalami gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas 65 tahun), dan angka
11
ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan hidup setelah infark miokard akut. Di Inggris, sekitar 100.000 pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun untuk gagal jantung, merepresentasikan 5% dari semua perawatan medis dan menghabiskan lebih dari 1% dana perawatan kesehatan nasional.5 ETIOLOGI Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti yang terjadi pada infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Namun, pada kondisi tertentu, bahkan miokard dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini disebabkan misalnya masalah mekanik seperti regurgitasi katup berat dan, lebih jarang, fistula arteriovena, defisiensi tiamin (beri-beri), dan anemia berat. Keadaan curah jantung yang tinggi ini sendiri dapat menyebabkan gagal jantung, tetapi bila tidak terlalu berat dapat mempresipitasi gagal jantung pada orang-orang dengan penyakit jantung dasar. Prevalensi faktor etiologi tergantung dari populasi yang diteliti, penyakit jantung koroner dan hipertensi merupakan penyebab tersering pada masyarakat Barat (90% kasus), sementara penyakit katup jantung dan defisiensi nutrisi mungkin lebih penting di negara berkembang. Faktor risiko independen untuk terjadinya gagal jantung serupa dengan faktor risiko pada penyakit jantung koroner (peningkatan kolesterol, hipertensi, dan diabetes) ditambah adanya hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy / LVH) pada EKG istirahat. Bila terdapat pada hipertensi, LVH dikaitkan dengan 14 kali risiko gagal jantung pada orang berusia lebih dari 65 tahun. Selain itu, prevalensi faktor etiologi telah berubah seiring perjalanan waktu. Data kohort dari studi Framingham mengidentifikasi riwayat hipertensi pada >75% pasien dengan gagal jantung, sementara penelitian lebih baru menyatakan prevalensu yang lebih rendah (1015%), mungkin karena terapi hipertensi yang lebih baik. Dari telah studi klinis pada hipertensi, terapi efektif dapat mengurangi insidensi gagal jantung sebesar 50%. Berbagai faktor dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi perkembangan gagal jantung pada pasien dengan penyakit jantung primer:4
12
Obat-obatan seperti penyekat dan antagonis kalsium dapat menekan kontraktilitas miokard dan obat kemoterapeutik seperti doksorubisin dapat menyebabkan kerusakan miokard.
Alkohol bersifat kardiotoksik, terutama bila dikonsumsi dalam jumlah besar
Aritmia mengurangi efisiensi jantung, seperti yang terjadi bila kontraksi atrium hilang (fibrilasi atrium, AF) atau disosiasi dari kontraksi ventrikel (blok jantung). Takikardia (ventrikel atau atrium) menurunkan waktu pengisian ventrikel, meningkatkan beban kerja miokard dan kebutuhan oksigen menyebabkan iskemia miokard, dan bila terjadi dalam waktu lama, dapat menyebabkan dilatasi ventrikel serta perburukan fungsi ventrikel. Aritmia sendiri merupakan konsekuensi gagal jantung yang umum terjadi, apapun etiologinya, dengan AF dilaporkan pada 20-30% kasus gagal jantung. Aritmia ventrikel merupakan penyebab umum kematian mendadak pada keadaan ini.
PATOGENESIS Gagal jantung terjadi akibat sejumlah proses yang mengakibatkan penurunan kapasitas pompa jantung seperti iskemia, hipertensi, infeksi, dan sebagainya. Penurunan kapasitas awalnya akan dikompensasi oleh mekanisme neurohormonal: system saraf adrenergic, system renin-angiotensialdosteron, dan system sitokin. Kompensasi awalnya bertujuan untuk menjaga curah jantung dengan meningkatkan tekanan pengisian ventrikel (preload) dan kontraksi miokardium. Namun seiring dengan berjalannya waktu. Aktivitas system tersebut akan menyebabkan kerusakan sekunder pada ventrikel. Seperti remodeling ventrikel kiri dan dekompensasi jantung. Kadar angiotensin II, aldosterone, dan katekolamin akan semakin tinggi, mengakibatkan fibrosis dan opotosis mikardium yang bersifat progresif. Pada tahap lanjut, penurunan fungsi ini juga akan disertai peningkatan resiko terjadinya aritmia jantung. Prinsip neurohormonal inilah yang mendasari terapi gagal jantung saat ini.5
MANIFESTASI KLINIK Gejala utama dari gagal jantung adalah kelelahan dan napas yang pendek. Meskipun kelelahan biasanya sudah dianggap pada rendahnya cardiac output dalam gagal jantung, seperti pada
13
keabnormalan sistem muskuloskeletal dan sakit bukan jantung lainnya (misalnya anemia), juga berperan dalam gejala ini. Dalam tahap awal gagal jantung, dispnue diamati hanya pada pengerahan tenaga; namun, dalam perkembangan penyakitnya, dispnue terjadi dalam level stress yang lebih rendah, dan mungkin dapat terjadi saat istirahat. Penyebab dari dispnue dalam gagal jantung mungkin multifaktorial. Mekanisme paling penting adalah kongesti paru dengan akumulasi dari jaringan interstisial atau cairan intraalveolar, dimana aktivitas reseptor juxtakapiler J, yang menstimulasi dengan cepat, karakteristik napas pendek dari dispnue jantung. Faktor lain yang berkontribusi pada dispnue dalam tenaga termasuk reduksi dalam compliance paru, penambahan resistensi sirkulasi, otot pernapasam dan/atau kelelahan diafragma, dan anemia. Dispnue mungkin menjadi lebih rendah frekuensinya dengan onset kegagalan ventrikel kanan dan regurgitasi trikuspidalis. Gejala ortopnue, dimana didefinisikan sebagai dispnue yang terjadi dalam posisi terlentang, biasanya manifestasi lanjut dari gagal jantung dibanding dispnue oleh pengerahan tenaga. Hal tersebut dihasilkan dari redistribusi cairan dari sirkulasi splanicus dan ekstremitas bawah menuju sirkulasi sentral selama terlentang, dengan diakibatkan meningkat tekanan dalam kapiler pulmonal. Batuk nokturnal merupakan manifestasi yang biasa terjadi dalam proses ini dan biasanya diabaikan sebagai gejala gagal jantung. Ortopnue secara umum lebih lega dengan duduk tegak lurus atau tidur dengan bantal khusus. Meskipun ortopnue merupakan gejala spesifik gagal jantung, mungkin terjadi dalam pasien obesitas abdomen atau ascites dan pasien dengan penyakit paru yang mekanisme parunya mendukung posisi tegak lurus. Gejala lainnya adalah paroxysmal noxturnal dyspnea (PND). Istilah ini mengacu pada episode akut sesak napas yang hebat dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi dengan batuk atau wheezing, mungkin karena tekanan yang bertambah di dalam arteri bronkial mengarah kepada kompresi jalan napas, sejalan dengan edema paru interstisial yang mengarah ke penahanan jalan napas. Padahal orthopnue mungkin lebih baik dengan duduk tegak disamping berbaring di kasur dengan kaki dalam posisi tertentu, pasien dengan PND sering mempunyai batuk persisten dan wheezing bahkan setelah mereka berada di posisi tegak lurus. Cardiac asthma berkaitan erat dengan PND, dikarakterisitikkan dengan wheezing sekunder
14
menuju bronkospasme, dan haris dibedakan dengan asma promer dan penyakit paru karena wheezing. Ada pula gejala yang disebut pernapasan Cheyne-stokes, juga dikaitkan sebagai pernapasan periodik. Pernapasan Cheyne-Stokes diderita 40 pasien dengan gagal jantung dan biasanya diasosiasikan dengan cardiac output yang rendah. Pernapasan Cheyne-Stokes ini disebabkan kurangnya sensitivitas dari pusat respirasi menuju tekanan PCO2 arteri. Ada fase apneu, selama PO2 arteri turun dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan dalam kandungan gas darah arteri menstimulasi turunnya pusat pernapasan, menyebabkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti dengan kekambuhan apneu. Pernapasan Cheyne-Stokes mungkin dirasakan oleh pasien atau keluarga pasien sebagai dispnue parah atau penghentian sementara pernapasan. Pasien dengan gagal jantung mungkin menunjukkan gejala gastrointestinal. Anoreksia, nausea, dan rasa penuh yang cepat yang berkaitan dengan nyeri perut dan kekenyangan adalah masalah biasa dan mungkin berelasi dengan edema dari dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti hati dan perenggangan kapsulnya mungkin mengarah pada nyeri kuadran kanan atas. Gejala serebral seperti kebingungan, disorientasi, dan tidur dan gangguan mood mungkin diamati dalam pasien dengan gagal jantung parah, khususnya pasien tua dengan cerebral arteriosclerosis dan pengurangan cerebral perfusion. Nokturia adalah gejala yang biasa terjadi pada gagal jantung dan berkontribusi pada insomnia.8 TATALAKSANA NON-FARMAKOLOGI Anjuran umum :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan. Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan). Hentikan rokok Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
15
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang). Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
TATA LAKSANA FARMAKOLOGI Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah
penting
untuk
mendeteksi
dan
mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.9 Indikasi pemberian ACEI : Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala. Kontraindikasi pemberian ACEI : Riwayat angioedema; Stenosis renal bilateral; Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L ; Serum kreatinin > 2,5 mg/dL ;Stenosis aorta berat. Penyekat β Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.9 Indikasi pemberian penyekat β : Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % ;Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) ;ACEI / ARB
(dan antagonis
aldosteron jika indikasi) sudah diberikan ;Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat).
16
Kontraindikasi pemberian penyekat β : Asma ; Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit) Antagonis Aldosteron Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.9 Indikasi pemberian antagonis aldosteron : Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % ; Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA) ; Dosis optimal penyekat β
dan
ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB). Kontraindikasi
pemberian antagonis aldosteron : Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L; Serum kreatinin> 2,5 mg/Dl; Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium; Kombinasi ACEI dan ARB. Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton: Hiperkalemia ; Perburukan fungsi ginjal ; Nyeri dan/atau pembesaran payudara Angiotensin Receptor Blokers (ARB) Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB :8 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % ; Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI ; ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk. Kontraindikasi pemberian ARB : Sama seperti ACEI, kecuali angioedema ; Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan ; Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI.9
17
Table 2 : dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung.9 Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN) Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B). Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN : Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi ; Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi ; Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis aldosterone. Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN : Hipotensi simtomatik ; Sindroma lupus ; Gagal ginjal berat Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN: Hipotensi simtomatik ; Nyeri sendi atau nyeri otot Digoksin Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak
mempunyai
efek
terhadap angkakelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).9 Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin: Blok sinoatrial dan blok AV ; Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada
18
pasien hipokalemia ; Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat warna Diuretik Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.9
GAGAL JANTUNG DAN KOMORBIDITAS Penanganan komorbiditas ( penyakit penyerta ) merupakan hal yang sangat penting pada tatalaksana pasien dengan gagal jantung. Terdapat 4 alasan utama dalam hal ini, yaitu :9 1. Penyakit penyerta dapat mempengaruhi pengobatan gagal jantung itu sendiri 2. Terapi untuk penyakit penyerta dapat memperburuk gejala dan kondisi gagal jantung (misalnya penggunaan NSAID) 3. Obat yang digunakan untuk gagal jantung dan yang digunakan untuk penyakit penyerta dapat saling berinteraksi ( misalnya penggunaan penyekat β pada penderita asma berat ), sehingga akan mengurangi kepatuhan pasien dalam berobat 4. Sebagian besar penyakit penyerta berhubungan dengan keadaan klinis gagal jantung dan prognosis yang lebih buruk (misalnya diabetes, hipertensi, dll) HIPERTENSI Hipertensi berhubungan dengan peningkatan risiko menjadi gagal jantung. Terapi antihipertensi secara jelas menurunkan angka kejadian gagal jantung ( kecuali penghambat adrenoreseptor alfa, yang kurang efektif disbanding antihipertensi lain dalam pencegahan gagal jantung ). Penghambat kanal kalsium (CCB) dengan inotropic negative (verapamil dan diltiazem) seharusnya tidak digunakan utnuk mengobatai hipertensi pada pasien gagal jantung sistolik (tetapi masih dapat digunakan pada gagal jantung diastolik). Bila tekanan darah belum terkontrol
19
dengan pemberian ACE/ ARB, penyekat β, MRA dan diuretic, maka hidralazin dan amlodipine dapat diberikan. Pada pasien dengan gagal jantung akut, direkomndasikan pemberian nitrat untuk menurunkan tekanan darah.9
Tabel 3 : rekomendasi terapi hipertensi pasien gagal jantung. DIABETES Diabetes merupakan penyakit penyerta yang sangat sering terjadi pada gagal jantung, dan berhubungan dengan perburukan prognosis dan status fungsional.Diabetes dapat dicegahkan dengan pemberian ACE/ ARB. Penyekat β bukan merupakan kontraindikasi pada diabetes dan memiliki efek yang sama dalam memperbaiki prognosis pada pasien diabetes maupun non diabetes. Golongan Tiazolidindion (glitazon) menyebabkan retensi garam dan cairan serta meningkatkan perburukan gagal jantung dan hospitlisasi, sehingga pemberiannya harus dihindarkan. Metformin tidak direkomendasikan bagi pasien dengan gangguan ginjal atau hati yang berat, karena risiko asidosis laktat, tetapi sampai saat ini merupakan terapi yang paling sering digunakan dan aman bagi pasien gagal jantung lain. Obat anti diabetik yang baru belum diketahui keamanannya bagi pasien gagal jantung.9
20
Tabel 4 : rekomendasi tatalaksana gagal jantung pada pasien diabetes.9 KOMPLIKASI Berikut merupakan komplikasi dari gagal jantung:10
Tromboemboli: risiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam atau DVT dan emboli paru) dan emboli sistemik tinggi, terutama gagal jantung berat.
Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada gagal jantung yang bisa menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauam denyut jantung (dengan pemberian digoksin bloker) dan pemberian warfarin.
Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik denagn dosis yang ditinggikan. Transplantasi jantung merupakan pilihan pada pasien tertentu.
Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau kematian jantung mendadak (25-50% kematian pada gagal jantung). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, bloker, dan defibrilator yang ditanaqm mungkin turut mempunyai peranan.
PROGNOSIS Mortalitas 1 tahun pada pasien dengan gagal jantung cukup tinggi (20-60%) dan berkaitan dengan derajat keparahannya. Data Framinham yang dikumpulkan sebelum penggunaan vasodilatasi untuk gagal jantung menunjukkan mortalitas 1 tahun rerata sebesar 30% bila semua pasien dengan gagal jantung dikelompokkan bersama, dan lebih dari 60% padas NYHA kelas IV. Maka kondisi ini memiliki prognosis yang lebih buruk daripada sebagian besar kanker.
21
Kematian terjadi karena gagal jantung progresif atau secara mendadak (diduga aritmia) dengan frekuensi yang kurang lebih sama. Sejumlah faktor yang berkaitan dengan prognosis gagal jantung:5
Klinis: semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas, dan gambaran klinis, semakin buruk prognosis
Hemodinamik: semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup, dan fraksi ejeksi semakin buruk prognosisnya
Biokimia: terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepinefrin, renin, vasopresin, dan peptida natriuretik plasma. Hiponatremi dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk
Aritmia: fokus ektopik ventrkel yang sering atau takikardia ventrikel pada pengawasan EKG ambulatori menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas apakah aritmia ventrikel hanya merupakan peninda prognosis yang buruk atau apakah aritmia merupakan penyebab kematian.
PENCEGAHAN Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada kelompok risiko tinggi. Berikut cara pencegahannya:4
Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung coroner
Pengobatan infark jantung segera di triase, serta ppenceggahan infark ulangan
Pengobatan hipertensi yang agresif
Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup
Memerlukan pembahasan khusus
Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari disfungsi asimptomatik menjadi gagal jantung.1
KESIMPULAN Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis menderita gagal jantung kronik. Hal ini ditegakan dengan ditemukan gejala khass gagal jantung yaitu sesak nafas saat aktivitas atau istirahat, progresif, edema tungkai, takipnea, peningkatan tekanan vena jugularis, dan suara gallop S3 pada auskultasi. Penatalaksanaan yang sesuai dan
22
adekuat dapat membantu menurunkan mortalitas dan memperpanjang hidup pasien namun tidak dapat disembuhkan. Dengan demikian maka prognosispun buruk. DAFTAR PUSTAKA 1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5, Jilid 2. Jakarta: Internal Publishing; 2013 2. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2004.p.1645,175. 3. Gray HH. Lecture notes kardiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005.h.80-97 4. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture notes kardiologi. 4th ed. Jakarta: Erlangga; 2003.p.80-8. 5. Tanto C, Liwang F, Hanafati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. 6. Ramani GV, Uber PA, Mehra MR. Chornic Heart Failure: Contemporary Diagnosis and Management. 03 Mei 2011. SYMPOSIUM ON CARDIOVASKULAR DISEAS; Chornic Heart Failure: Contemporary and management. USA: Mayo fondution for medical Education and Research; 2010. p 180-95. 7. Dwiyanti F. (2014). A 50-Year-Old Woman WithHeart Failure WithType IIDiabetes Mellitus and Hypertension As Risk Factors. Jurnal medula unila. 3 (2), 163-4 8. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies; 2012. 9. Siswanto BB, Hersunatri R, Erwinanto dkk, Buku pedoman tatalaksana gagal jantung. Jakarta: PERKI; 2015 10. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2003.p.151.
23