Paradigma Kuhn dan Perkembangan Teori Kritis
Lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnari, Ohio. Kuhn merupakan tokoh pemberontak terhadap ilmu positivisme. Gagasannya yang sangat radikal memberikan sumbangan pengaruh pemikiran yang sangat besar terhadap post-positivisme dengan menggunakan pluralisme paradigma ilmiah. Kuhn mengemukakan bahwa seorang ilmuwan harus jeli dalam melihat hubungan antara konseptual teoretis, instrumental dan metodologis untuk memecahkan teka-teki dalam riset ilmu pengetahuan. Bahasan berikut akan menjelaskan mengenai pluralisme paradigma dalam ilmu pengetahuan sosialbudaya. 1. Pemikiran Kuhn dan Penolakan atas Positivisme Sebagai seorang pemberontak ilmu positivisme Kuhn melahirkan sebuah karya “The Structure of Scientific Revolution” yang berhasil merobohkan konsepsi dasar tentang ilmu pengetahuan, teori dan praktik ilmiah yang menurutnya telah usang. Dalam karya “The Structure of Scientific Revolution” Kuhn mengkritik positivisme yang melihat perkembangan ilmu pengetahuan bersifat komulatif dan evolusioner didasarkan pada pandangan positivisme Popper yang menyatakan bahwa perkembangan ilmiah diawali oleh pengajuan hipotesis yang kemudian disusul oleh upaya untuk membuktikan kesalahan hipotesis tersebut. Dan jika tidak menemukan kesalahan hipotesis telah berubah menjadi tesis (teori) yang diterima sebagai satu kebenaran yang tentatif. Artinya, kebenaran teori diterima sampai ditemukan kesalahan teori oleh ilmuwan lain. Kuhn membantah karena menurutnya ilmu pengetahuan berkembang melalui revolusi ilmiah, dan revolusi ilmiah terjadi melalui perubahan paradigma, bukan berasal dari temuan kesalahan teori dari ilmuwan lain. A. Revolusi Ilmiah Konsepsi revolusi ilmiah adalah perubahan drastis yang terjadi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam perubahan paradigma lama ke paradigma baru, dapat terjadi hanya sebagian maupun keseluruhan. Yang terpenting dalam perubahan paradigma ilmiah adalah, akan terjadi perubahan yang sangat mendasar antara paradigma baru dan lama. Dengan demikian jelas bahwa Kuhn mengatakan pemikiran radikal dan revolusioner menjadi lompatan pergantian paradigma dalam ilmu pengetahuan. Berikut skema revolusi ilmiah Kuhn.
Paradigma
Crisis
Scientific Revolution Revolution
Normal Science
Anomali
Paradigma baru
Kuhn merumuskan (Kuhn, 1970: 10) bahwa paradigma berarti “pola”, “model” atau “skema” dan “pemahaman” aspek-aspek tertentu atas ihwal realitas (kenyataan) yang dikaji. Kuhn membagi tiga tipe paradigma yaitu 1. Paradigma Metafisik merupakan konsensus terluas dala bidang ilmu yang membantu membatasi bidang (scope) dari satu bidang ilmu, sehingga membantu mengarahkan komunitas ilmuwan dalam melakukan penelitiannya. 2. Paradigma Sosiologi, Kuhn memberikan pengetian mengenai paradigma sosiologi seperti eksemplar yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan, keputusan-keputusan, dan aturan serta hasil yang diterima secara umum. Durkheim menjadi model bagi paradigma fakta sosial, dan Max Weber dengan Social Action-nya menduduki eksemplar bagi sosiologi interpretatif, sehingga mereka disebut sebagai “Jembatan Paradigma”. 3. Paradigma Konstruk, Masterman (1970) membantu kita memahami paradigma konstruk dengan memberikan contoh pembangunan reaktor nuklir merupakan paradigma konstruk dalam fisika nuklir dan mendirikan laboratorium dan seterusnya (Ritzer 2002:6) Kuhn sebagai penggagas pluralisme paradigma menyatakan bahwa setiap paradigma memiliki aturan dan kriteria kebenarannya masing-masing, sehingga satu kriteria paradigma (teori/kebenaran) tertentu tidak bisa dipaksakan untuk menilai paradigma (teori/kebenaran) lainnya. Ini artinya, aturan dan kriteria antar satu paradigma dengan paradigma lain tidak sepadan atau tak terbandingkan (lantaran tak ada satu pengertian atau kriteria umum yang sama-sama diterima oleh pelbagai paradigma). Inilah yang dimaksud dengan istilah prinsip ketidaksepadanan (incommensurability) pada Kuhn tersebut. Sebagai pemikir post-positivisme Kuhn tidak terlalu tertarik dengan pembahasan tentang penentuan kriteria-kriteria sesuatu digolongkan dalam ilmu atau non ilmu menjadi persoalan penting. Daripada menentukan kriteria ilmu dan non ilmu, Kuhn lebih tertarik mengemukakan sejumlah kriteria dimana suatu teori (ilmiah) dianggap lebih baik dari teori lainnya. Kriteria tersebut adalah (1) accuracy, (2) consistency, (3) scope, (4) simplicity dan fruitfullness (Kuhn, 1977: 320-329). 2. Paradigma Post Positivisme Post-positivisme adalah pemikiran ilmuwan yang umumnya berlatar belakang fisika dan matematika yang mengkritik paradigma positivisme dengan argumen yang berbeda. Asumsi post-positivisme dapat dijelaskan seperti berikut: a. Asumsi Ontologis: Post-positivisme (disebut juga realisme kritis) tidak menolak adanya realitas eksternal, akan tetapi realitas eksternal itu bagi post-positivisme tidak dapat dijelaskan sepenuhnya karena tidak dapat melihatnya secara sempurna. Popper melihat teori post-positivis terlalu tentatif dan kebenaran tidak bersifat absolut, tetapi semakin lama semakin mendekati kebenaran (verisimilitude) b. Asumsi Epistimologis: Kebenaran teori dalam pandangan post-positivisme tidak pernah sempurna karena ilmuwan selalu menghadapi realitas berdasarkan paradigma (Kuhn), berdasarkan perspektif atau kerangka konseptual tertentu (Puttnam). c. Asumsi Metodologis: Post positivisme memodifikasi metode eksperimental manipulatif dengan “pengembangbiakkan kritik” (critical multiplism) sebagai upaya
memfalsifikasi hipotesis. Pendapat post-positivisme yang menekankan kriteris falsifikasi, serta prediksi dan kontrol sebagai tujuan ilmiah, ini menempatkan posisi post-positivisme sebetulnya belum benar-benar melepaskan diri dari paradigma positivisme) 3. Paradigma Teori Kritis Pendiriannya didasarkan pada pemikiran tokoh Mahzab Frankfurt melalui lembaga riset sosial (Institite of Social Research) yang didirikan di Universitas Frankfurt pada 23 Februari 23 Februari 1923 yang dilakukan oleh Herbert Marcuse,Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin dan Erich Fromm. Teori kritis modern juga telah dipengaruhi oleh Gyorgy Lukacs dan Antonio Gramsci melalui konsep hegemoninya. Serta generasi kedua mahzab frankfurt terutama Juergen Habermas. Pemikiran ilmuwan yang tergabung dalam lingkaran ini ditandai oleh sikap kritis terhadap berbagai aspek kehidupan sosial-budaya dan intelektual dengan tujuan utama menyingkap secara akurat kondisi masyarakat dan ilmu pengetahuan modern. Teori kritis telah menghasilkan paradigma baru yang memiliki asumsi dan ciri sebagai berikut: a. Asumsi Ontologis: Teori kritis melihat bahwa ilmu sosial-budaya tidak dapat disamakan dengan realitas ilmu-ilmu alam yang sifatnya statis dan tidak tercampur dengan ilmu sosial-budaya. Realitas sosial menurut teori kritis diasumsikan sebagai suatu yang bersifat lentur dan dapat dibentuk atau dipengaruhi oleh faktor sosial, kultural, ekonomi, etnik dan lain-lain. b. Asumsi Epistimologis: Mengemukakan adanya pengaruh peneliti dengan objek manusia dan budaya yang diteliti. Objektivitas disini sulit diterapkan karena nilainilai tanpa disadari berperan dalam setiap bidang ilmu. Habermas mengemukakan tiga bentuk interesse (kepentingan) yang mempengaruhi konstruksi ilmu pengetahuan, yaitu: (1) Kelompok ilmu-ilmu empiris-analitis (ilmu-ilmu alam). (2) Kelompok ilmu-ilmu historis-hermeneutis (humaniora); (3) kelompok ilmu-ilmu sosial sosial-kritis yang bertujuan emansipatoris. c. Asumsi Metodologis: metode ini mengakui hubungan yang dialogis antara subjek dengan objek yang diteliti (teks, responden). Metode ini memungkinkan adanya berbagai macam konstruksi (interpretasi) atas objek yang diteliti. Sebagai teori yang didasarkan atas kritik untuk membebaskan manusia dari keadaan yang memperbudak mereka, sangat jelas teori kritis dipengaruhi oleh adanya pemikiran Karl Marx atau neo marxisme.