Virologi.docx

  • Uploaded by: Elsa Yunia
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Virologi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,944
  • Pages: 16
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat inflamasi pada ruang subarachnoid yang dibuktikan dengan pleositosis cairan serebrospinalis (CSS). Meningitis dapat terjadi akut, subakut atau kronis tergantung etiologi dan pengobatan awal yang tepat. Meningitis akut terjadi dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari, yang disebabkan oleh bakteri, virus, non infeksi. Meningitis akut pada anak dirawat di rumah sakit secara rutin dan diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur karena sulit membedakan meningitis bakterial dengan meningitis aseptik. Meningitis akut pada anak umumnya merupakan meningitis aseptik dan tidak memerlukan pengobatan spesifik, namun 6- 18% kasus meningitis akut merupakan meningitis bakteria. Selain disebabkan oleh bakteri, meningitis juga bisa disebabkan oleh mikroorganisme lain seperti virus dan jamur (Bicanic et al, 2004). Di Australia, 3-5% anak meninggal tiap tahunnya akibat komplikasi otitis media dan 15 anak menderita kehilangan pendengaran permanen akibat otitis media (O'Connor, 2009). Komplikasi otitis media yang paling sering terjadi adalah yang ekstrakranial yang berupa antara lain mastoiditis, kolesteatoma, dan otitis media dengan perforasi. Sedangkan komplikasi intrakranial, yang jarang terjadi, antara lain meningitis, abses otak, dan trombosis sinus lateral. 60% anak yang menderita otitis media akan mengalami komplikasi, baik itu ekstrakranial maupun intracranial. Meningitis merupakan manifestasi paling sering kriptokokosis, peradangan ini juga disertai dengan peradangan parenkim otak sehingga istilah meningoensefalitis lebih tepat digunakan. Kriptokokal meningitis harus selalu dimasukkan dalam diagnosis diferensial pada kasus meningoensefalitis kronis atau subakut karena gambaran klinis yang tidak spesifik (Bicanic et al, 2004). Kriptokokosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans. Infeksi ini secara luas ditemukan di dunia dan umumnya dialami oleh

1

penderita dengan sistem imun yang rendah, seperti penderita human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS), pasien dengan pengobatan kortikosteroid jangka panjang, transplantasi organ, dan keganasan limforetikuler. Infeksi oleh Cryptococcus neoformans terutama menyebabkan meningitis dan meningoensefalitis pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS didiagnosis sebagai kriptokokal meningitis. Kriptokokal meningitis adalah manifestasi klinis yang paling sering ditemukan merupakan infeksi oportunistik kedua paling umum yang terkait dengan AIDS di Afrika dan Asia Selatan dengan kejadian kriptokokosis 15%-30% ditemukan pada pasien dengan AIDS. Tanpa pengobatan dengan antifungal yang spesifik, mortalitas dilaporkan 100% dalam dua minggu setelah munculan klinis kriptokokosis dengan meningoensefalitis pada populasi terinfeksi HIV (Park BJ et al, 2009). 1.2 Tujuan Untuk mengetahui pra analitik dan metode untuk pemeriksaan meningitis yang disebabkan oleh jamur.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lapisan Meningens Otak dan medulla spinalis dilapisi oleh meningens yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan serebrospinal. Selaput meningens terdiri dari 3 lapisan yaitu : 2.1.1 Duramater Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal (Snell RS., 2006). Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekatpada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fossa temporalis (fossa media).

3

2.1.2 Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial,

disebut

spatium

subdural dan

dari

piamater

oleh spatium

subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (Snell RS., 2006). 2.1.3 Piamater Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri (Komisi trauma IKABI, 2004). Piamater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana

ini

membungkus

saraf

otak

dan

menyatu

dengan

epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh piamater (Snell RS., 2006). 2.2 Meningitis Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur (Smeltzer, 2001). Meningitis adalah radang dari selaput otak (arachnoid dan piamater). Bakteri dan virus merupakan penyebab utama dari meningitis. Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningococcus, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996). Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).

4

2.3 Meningitis Kriptokokus Meningitis kriptikokus merupakan meningitis yang disebabkan oleh jamur kriptikokus. Jamur ini bisa masuk ketubuh kita saat kita menghirup debu atau kotoran burung yang kering. Kriptikokus ini dapat menginfeksikan kulit, paru, dan bagian tubuh lain. Meningitis kriptikokus ini paling sering terjadi pada orang dengan CD4 dibawah 100. Diagnosis untuk meningitis ini menggunakan sampel darah atau cairan sumsum tulang belakang. Tes yang dilakukan ada dua cara yaitu ‘CRAG’ dan biakan. ‘CRAG’ mencari antigen (sebuah protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes ‘biakan’ mencoba menumbuhkan jamur kriptokokus dari sampel. Tes CRAG cepat dilakukan dan dapat memberi hasil pada hari yang sama. Tes biakan akan membutuhkan waktu satu minggu atau lebih untuk menunjukan hasil positif. Cairan sumsum tulang belakang juga dapat diidentifikasi secara cepat apabila diwarnai dengan tinta india. (Yayasan Spiritia., 2006) 2.4 Morfologi C. neoformans Cryptococcus neoformans adalah organisme dimorfik, merupakan basidiomisetes yang bersifat saprofit, ditemukan di seluruh dunia karena habitatnya adalah pada kotoran burung dan tanah yang terkontaminasi kotoran burung. Basidiospora berukuran kecil yaitu 1,8 µm sampai 3,0 µm, dapat dalam bentuk sel ragi pada suhu 37°C atau membentuk hifa dikariotik pada suhu 24°C. Secara mikroskopis Cryptococcus neoformans di dalam jaringan atau cairan spinal berbentuk sferis sampai oval dengan diameter 3 µm-10 µm, sering bertunas (budding) dan dikelilingi oleh kapsul yang tebal. Pada agar Sabouraud dengan suhu kamar, koloni yang terbentuk berwarna kecoklatan, mengkilat, dan mukoid.

5

2.5 Transmisi Penyakit Transmisi penyakit ini terjadi secara inhalasi. Basidiospora terhirup bersama debu

lingkungan, biasanya terdapat di sekitar tempat tenggeran

merpati, pada kayu yang lapuk, dan tanah yang terkontaminasi kotoran burung. Penyakit ini tidak ditularkan langsung dari orang ke orang melalui jalur respirasi atau dari binatang ke manusia. C. neoformans banyak terdapat pada lingkungan yang tercemar kotoran burung atau kelelawar, tetapi burung tersebut

tidak

terinfeksi. Transmisi terjadi melalui jalur pulmonal

dan

menyebar secara hematogen sampai ke target utamanya pada sistem saraf pusat (Efrida et al, 2012). 2.6 Patogenesis dan Patofisiologi Infeksi berawal dari inhalasi sel ragi kecil atau basidiospora yang memicu terjadinya kolonisasi pada saluran nafas dan kemudian diikuti oleh infeksi. Makrofag pada paru-paru sangat penting dalam sistem kontrol terhadap inokulasi jamur. Makrofag dan sel dendritik berperan penting dalam respons terhadap infeksi Cryptococcus. Sel ini berperan dalam pengenalan terhadap jamur, dalam fagositosis, presentasi antigen, dan aktivasi respons pada pejamu, serta meningkatkan efektivitas opsonisasi fagositosis terhadap jamur. Pada sel dendritik reseptor mannose berperan penting untuk pengenalan jamur dan presentasi antigen terhadap sel T, sel ini bereaksi dengan C. neoformans dan mengekspresikannya ke limfosit kemudian bermigrasi ke jaringan limfoid. Makrofag memberikan respons terhadap C. neoformans dengan melepaskan sitokin proinflamasi yaitu IL-1. Sekresi IL1 mengatur proliferasi dan aktivasi limfosit T yang penting dalam memediasi pembersihan paru (Efrida et al, 2012). Imunitas yang dimediasi oleh sel memiliki peranan penting dalam pertahanan

terhadap Cryptococcus.

Pada

banyak

kasus

penyebaran

kriptokokosis terjadi pada keadaan defisiensi sel T CD4+ (HIV/AIDS), imunitas dihubungkan dengan respons sel Th1 yang aktif menghancurkan 6

C. neoformans. Sel CD4+ dan CD8+ berperan pada jaringan yang terinfeksi. Limfosit T CD4+ dan CD8+ secara langsung menghambat pertumbuhan

jamur melalui

perlekatan

terhadap

permukaan

sel

Cryptococcus. Kurangnya atau tidak adanya respons imun yang baik untuk menginaktifkan dan menghancurkan organisme yang masuk menyebabkan perluasan dan peningkatan kerusakan sel/jaringan akibat infeksi (Efrida et al, 2012). 2.7 Patologi Meningitis Leptomeningitis, atau meningitis, seperti yang lebih sering disebut, mengacu pada peradangan leptomeningen dan ruang subarachnoid. Sebagian besar kasus terjadi akibat infeksi, meskipun zat kimia tertentu yang dimasukan kedalam ruang subarachnoid juga dapat menyebabkan meningitis. Meningitis infeksius dapat dibagi menjadi meningitis purulen akut, biasanya disebabkan oleh bakteri; meningitis limfositik akut, biasanya oleh virus; dan meningitis kronis, yang mungkin disebabkan oleh sejumlah agen infeksius yang berbedabeda. Leptominingitis

akut

(purulen)

merupakan

penyebab

penting

morbiditas dan mortalitas pada semua usia. Hampir semua kasus disebabkan oleh bakteri, yang umumnya mencapai SSP melalui aliran darah setelah mengoloni nasofaring. Meskipun identifikasi organisme spesifik penyebab infeksi sangat penting dalam merencanakan terapi, usia pasien dan gambaran klinis lain dapat memberikan petunjuk penting untuk memberikan terapi empiris. Meningitis limfositik (virus) akut sebagian besar disebabkan oleh virus. Karena biakan rutin negative meningitis virus juga disebut meningitis aseptic. Berbeda dengan meningitis bakterialis, kebanyakan kasus meningitis virus bersifat swarsirna dan pasien umumnya memiliki prognosis yang lebih baik. Meningitis dapat terjadi dalam perjalanan setiap infeksi virus. Pada beberapa kasus, meningitis virus berkaitan dengan infeksi pada parenkim (ensefaliti),

7

tetapi meningitis biasanya adalah manifestasi satu-satunya infeksi SSP. Penyebab penting adalah echovirus, coxsackievirus, virus gondongan dan virus imuno defisiensi manusia (HIV). Leptomeningitis kronis paling sering disebabkan oleh bakteri dan jamur. Etiologi yang penting adalah mycobacterium tuberculosis, sryptococcus neoformans, dan yang lebih jarang, spesias brucella dan treponema palidiu. Meningitis criptococcus merupakan penyebab penting leptomeningitis pada pasien dengan sindrom imuno defisiensi didapat (AIDS). 2.8 Epidemiologi Kriptokokosis tidak hanya merupakan penyakit infeksi yang umumnya berakibat

fatal

pada

individu

yang immunocompromised

tetapi

Cryptococcus juga merupakan suatu patogen pada individu imunokompeten. Mortalitas pasien HIV terkait meningitis yang disebabkan oleh Cryptococcus cukup tinggi yaitu sekitar 10%-30%. Suatu analisis kohor pasien dengan infeksi HIV di Afrika menunjukkan persentase kriptokokosis adalah 13%44% dari semua penyebab kematian. Defek sistem imun yang dimediasi oleh sel T (seperti penderita AIDS) merupakan faktor predisposisi pada 80%90% pasien dengan infeksi Cryptococcus. Insidensi kriptokokosis juga meningkat pada pasien dengan keganasan limforetikular (khususnya penyakit Hodgkin’s) (Efrida et al, 2012). 2.9 Faktor Risiko Meningitis Faktor resiko orang-orang yang mudah terkena menengitis adalah : 2.9.1 Faktor Usia Kebanyakan meningitis disebabkan oleh virus dan bakteri terjadi pada anak-anak dibawah usia 5 thn namun, sejak pertengahan tahun 1980-an, setelah adanya vaksin untuk anak, pasien miningitis bergeser dari usia 15bln sampai 25 tahun.

8

2.9.2 Faktor Tempat Tinggal Orang yang tinggal diperumahan yang padat penduduk, siswa yang tinggal di asrama, personil di pangkalan militer atau anak-anak yang dititipkan di penitipan anak (day care) akan meningkatkan resiko meningitis. Hal ini dikarenakan penyebaran penyakit menjadi lebih cepat bila sekelompok orang berkumpul 2.9.3 Ibu hamil Pada wanita yang hamil, ada peningakatan kontraksi listeriosis, yaitu infeksi yang di sebabkan oleh bakteri listeria, yang juga dapat menyebabkan meningitis bila memiliki listeriosis bayi yang belum melahirpun akan beresiko terkena. 2.9.4 Faktor Lingkungan Kerja Pekerjaan yang selalu berhubungan dengan hewan seperti pertenak, juga memiliki resiko tinggi tertular listeria, yang dapat mengakibatkan meningitis. 2.9.5 Faktor Imunitas 1. Orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah antara lain : 

Bayi yang lahir terang bulan ( prematur) dan berat kelahiran rendah



Bayi yang hanya di beri ASI sebentar atau sedikit



Orang sering terpapang asap rokok

2. Orang yang sering mengalami infeksi virus di saluran pernapasan 

Penderita penyakit kronis seperti kanker dan diabetes, penderita HIV



Pengguna obat immunosuppresan juga lebih rentan terhadap meningitis

9

2.10 Manifestasi Klinis Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa nyeri dapat menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku (kaku kuduk) yang disebakan oleh otot-ototekstensor tengkuk yang mengenjang. Bila hebat, terjadi opistotonus yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Selain itu kesadaran dapat menurun. Tanda kernig dan brudzinsky positif (Harsono, 2005). Tanda dan gejala meningitis secara umum: 1) Aktivitas/istirahat: malaise, aktivitas terbatas, ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter, kelemahan dan hipotonia. 2) Sirkulasi: riwayat endokarditis, abses otak, TD, nadi, tekanan nadi berat, takikardi dan disritmia pada fase akut. 3) Eliminasi : adanya inkontinensia atau retensi urin. 4) Makanan/cairan: anorexia, kesulitan menelan, muntah, turgor kulit jelek, mukosa kering. 5) Nyeri/kenyamanan : sakit kepala hebat, kaku kuduk, nyeri gerakan okuler, fotosensitivitas, nyeri tenggorokan, gelisah, mengaduh/mengeluh. 6) Pernapasan : riwayat infeksi sinus atau paru, napas, letargi dan gelisah. 7) Keamanan : riwayat mastoiditis, otitis media, sinusitis, infeksi pelvis, abdomen atau kulit, fungsi lumbal, pembedahan, fraktur cranial, anemia sel sabit, imunisasi yangbaru berlangsung, campak, chiken pox, herpes simpleks, demam, diaforesios, menggigil, rash, gangguan sensasi.

10

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Praanalitik Pemeriksaan Syarat

pengumpulan

sampel

untuk

pemeriksaan laboratorium,

pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan kultur, dan serologi adalah sebagai berikut: 1. sampel diambil

secara

aseptis sebelum pemberian

antifungal,

dikumpulkan pada wadah yang steril dan segera dibawa ke laboratorium 2. sampel diambil sesegera mungkin setelah timbulnya gejala yang mendukung ke arah diagnosis 3. jumlah sampel yang dianjurkan untuk cairan serebrospinal (CSS) adalah >2 mL. Sampel darah 10-20 mL untuk dewasa dan 4-10 mL untuk anak-anak . Pengiriman, penyimpanan, dan pemrosesan sampel adalah sebagai berikut: 1. sampel harus dikirim sesegera mungkin ke laboratorium, waktu maksimum yang dibolehkan untuk transpor adalah sampai 24 jam pada suhu kamar untuk sampel yang diambil pada tempat yang steril 2. sesampai di laboratorium sampel harus diproses sesegera mungkin, sampel diproses dalam waktu kurang dari empat jam, untuk isolasi Cryptococcus sampel tidak boleh disimpan di refrigerator. Untuk pemeriksaan serologi dan molekular, spesimen yang tidak langsung diperiksa dapat disimpan pada refrigerator selama dua minggu dan dapat disimpan beku selama satu bulan. 3. sampel cairan serebrospinal disentrifus pada tabung sentrifus yang steril selama 10

menit pada

2000-2500

rpm,

supernatan

kemudian

dituangkan ke wadah lain dan disimpan untuk deteksi antigen. Pelet

11

digunakan untuk membuat sediaan hapus dan basah serta untuk kultur. 3.2 Pemeriksaan Mikroskopis Langsung Metode yang digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis langsung adalah pewarnaan dengan tinta India dan dibaca dengan mikroskop cahaya, merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi kapsul sel jamur C. neoformans. 3.3 Pewarnaan dengan Tinta India Persiapan pewarnaan C. neoformans dengan Tinta India adalah: 1. disiapkan kaca objek yang bersih dan tidak berminyak 2. diteteskan 1 tetes tinta India pada bagian tengah kaca objek 3. diambil spesimen (CSS) satu loop, lebih baik sedimen hasil sentrifus dengan loop yang sudah dipijarkan dan didinginkan terlebih dahulu. 4. kedua tetesan dicampurkan dengan loop atau jarum steril, kemudian tetesan tersebut ditutup dengan kaca penutup 5. sediaan diperiksa dengan mikroskop cahaya. Pada pembesaran 400x Cryptococcus neoformans terlihat sebagai titik-titik bercahaya pada latar belakang gelap sedangkan dengan pembesaran 1000x sel terlihat mengandung badan refraktil yang dikelilingi oleh kapsul tebal, karakteristik

adalah

adanya

budding

yang menegaskan untuk

diagnosis. 3.4 Deteksi Antigen C. neoformans dengan Aglutinasi Lateks Prinsip Pemeriksaan : Partikel

lateks

yang

dilapisi

dengan

anticryptococcal globulin reagent (ACGR) akan bereaksi dengan antigen cryptococcus dalam serum atau cairan serebrospinal pasien. Apabila terdapat antigen

cryptococcus

dalam

sampel

yang

diperiksa

maka

akan

terbentuk/terlihat aglutinasi.

12

3.5 Pemeriksaan Berdasarkan Metode Enzyme Immunoassay Penelitian klinis menunjukkan bahwa enzyme immunoassay digunakan sebagai

metode

pendukung untuk

pengukuran

antibodi

IgG

pada

kriptokokosis. . Literatur menyatakan metode untuk mendeteksi antibodi Cryptococcus yang ada sekarang kurang spesifik dan kurang sensitif. Tes aglutinasi

tabung mendeteksi hanya 30% pasien dengan

Cryptococcus,

immunofluorescence assay (IFA) mendeteksi kira-kira 38% kasus dengan Cryptococcus. Gabungan kedua pemeriksaan tersebut direkomendasikan dengan kemampuan mendeteksi kira-kira 50% kasus kriptokokosis. 3.6 Kultur Cryptococcus Diagnosis kriptokokosis dikonfirmasi dengan melakukan kultur organisme yang merupakan baku emas dalam diagnosis laboratorium. Media yang paling umum digunakan untuk kultur jamur adalah Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA). Sabouraud’s Dextrose Agar digunakan untuk isolasi dan penanaman jamur. a. Kultur pada Sabouraud’s Dextrose Agar Prinsip Pemeriksaan: Sabouraud’s Dextrose Agar merupakan media yang mengandung pepton, glukosa, dan dengan pH rendah yang optimal bagi jamur. Pepton merupakan sumber nitrogen sedangkan glukosa merupakan sumber energi untuk pertumbuhan jamur. Glukosa dalam konsentrasi tinggi memberikan suatu keuntungan dalam pertumbuhan jamur. b. Kultur pada Birdseed (NIGER) Agar Birdseed agar merupakan media selektif, media diferensial yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi C. neoformans dari jamur lainnya termasuk dari spesies cryptococcus yang lain. Prinsip pemeriksaan: Cryptococcus neoformans mempunyai aktivitas phenoloksidase, terdapat di dalam dinding sel yang mampu memetabolisme asam

caffeic.

Guizotia abysinics

seeds

berfungsi

sebagai

substrat 13

phenoloksidase. C. neoformans menghasilkan enzim dalam substrat yang akan dikonversi menjadi melanin atau pigmen seperti melanin menghasilkan warna coklat gelap, sedangkan jamur lain menghasilkan sangat sedikit atau bahkan tidak menghasilkan enzim sehingga tidak terjadi perubahan warna. 3.7 Metode Secara Molekular Pendekatan diagnostik secara mlekular yaitu deteksi DNA dengan amplifikasi secara Polymerase Chain Reaction (PCR) dan amplifikasi hasil PCR dideteksi secara elektroforesis. Amplifikasi gen oleh Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik terbaru yang dikembangkan dan merupakan metode yang paling sensitif. Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik yang digunakan untuk memperbesar jejak DNA yang sedikit untuk mendeteksi keberadaan DNA di dalam likuor serebrospinalis; pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik karena hanya dibutuhkan sejumlah kecil DNA dari agen penginfeksi yang dibutuhkan. Pemeriksaan ini bisa mengidentifikasi jamur pada meningitis, dan bisa membantu dalam membedakan berbagai kasus meningitis bagi mereka yang tidak mendapatkan vaksinasi.

14

BAB IV KESIMPULAN Meningitis merupakan radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) yang bisa disebabkan oleh jamur. Jamur yang biasa menyebabkan meningitis yaitu C. neoformans. Pra analitik untuk identifikasi ini harus memperhatikan proses pengambilan sampel, penyimpanan, dan pengiriman yang tepat. Identifikasi jamur ini bisa dilakukan dengan metode pewarnaan indian ink, aglutinasi lateks, enzyme immunoassay, kultur dengan Sabouraud’s Dextrose Agar, kultur dengan Birdseed (NIGER) agar, dan PCR.

15

DAFTAR PUSTAKA Bicanic T and Harrison TS. Cryptococcal Meningitis. Br Med Bull. 2004; 72: 99118. Efrida, Desiekawati. Kriptokokal meningitis: Aspek klinis dan diagnosis laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1). Harsono. 2003. Meningitis Kapita Selekta Neurologi 2. URL http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm Park BJ, Wannemuehler KA, and Marston BJ. Estimation of The Current Global Burden of Cryptococcal Meningitis Among Person Living with HIV/AIDS. AIDS. 2009; 23: 525-30 Snell RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, edisi ke-6. Jakarta: EGC. Hlm. 240-5. Suriadi, Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan pada Penyakit Dalam. Edisi 1. Jakarta: Agung Setia. Yayasan Spiritia. 2006. Meningitis Kriptokokus. Lembaran Informasi 503. URL http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=503

16

More Documents from "Elsa Yunia"