Pandangan Behaviorists DALAM PEMEROLEHAN BAHASA
Oleh
Dra. G u s n a w a t y, M. Hum.
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin 2006/2007
DAFTAR ISI
0.1 Bahasa................................................................................................................................1 0.2 Proses Pemerolehan Bahasa. .............................................................................................3 0.2.1 Proses Mengerti Bahasa..............................................................................................3 0.2.2 Bagaimana Belajar Bahasa..........................................................................................5 0.3 Perspektif Behaviorist........................................................................................................5 0.4 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Pertama..............................................................7 0.5 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Kedua.................................................................9 0.6 Evaluasi Behaviorisme dalam Pembelajarn Bahasa Kedua.............................................10 References.............................................................................................................................13
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page ii
Pandangan Behaviorists DALAM PEMEROLEHAN BAHASA*
0.1 Bahasa Tak dapat dibayangkan bagaimana kehidupan manusia tanpa bahasa. Karena bahasa adalah alat untuk berkomunikasi, alat untuk saling berbagi perasaan, pikiran, kebutuhan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sejak abad 19 banyak ilmuan yang tertarik untuk meneliti bagaimana manusia belajar bahasa. Faktor apa dan situasi bagaimana yang mempengaruhi sehingga banyak orang yang sukses dalam belajar bahasa-bahasa dan banyak pula yang gagal. Sebelum didiskusikan tentang hal-hal yang berpengaruh pada pemerolehan bahasa, kita simak dahulu pendapat Halliday tentang bahasa. Halliday (1975), mengemukakan bahwa ‘language is a system of resources to make meaning in context. System of resources terdiri atas apa yang beliau sebut sebagai lexico-grammar, dan generic structure of texts. Arti dari yang pertama merujuk pada kombinasi kata-kata yang sesuai dengan tatabahasa. Sedang yang dimaksud dengan generic strucuture of texts adalah merujuk pada cara-cara tertentu bagaimana teks entah tertulis atau lisan dipresentasikan dalam konteks. Pada definisi di atas terimplikasikan juga bahwa ‘resources’ mencapai meta functions yang diassosiasikan dengan semantik. Dengan demikian penutur bahasa kadang dapat menciptakan makna yang pada umumnya hanya dapat dimengerti oleh penuturnya sehingga tercapai komunikasi kedua belah pihak. Sebaliknya, menurut Halliday, makna hanya dapat diperoleh melalui serangkaian kata-kata dan struktur gramatikal. Kemudian, makna yang tercipta juga sangat tergantung pada konteks atau lingkungan bahasa tersebut digunakan. Dengan demikian, orang sudah dapat dikatakan menggunakan bahasa bila mereka sudah saling mengerti satu sama lain walaupun bahasa yang digunakan
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 1
hanyalah satu atau dua kata. Karena menurut Halliday, struktur gramatikal sebuah bahasa bukanlah sebuah set yang mesti dipatuhi, tetapi sebuah sumber aset (a set of resources) dari pengguna bahasa untuk menyampaikan makna yang mereka inginkan dalam situasinya. Sebuah contoh penerapan dari pendapat di atas dapat dilihat percakapan yang terjadi antara Tukang Becak dengan Tourist di bawah ini (ini contoh nyata dari Makassar) Situasi: Seorang tourist
meminta izin pada tukang becak untuk mencoba
mengendarai becak. Tourist
: Could you let me to ride your pedicab (pointing the pedicab)?
Becak driver : Oh, becak mister? Tourist
: No, let me t r y y o u r… (dia mencoba menjelaskan dengan gerakan, menujuk pada tempat duduk becak, kemudian menunjuk pada pantatnya beberapa kali) You sit inside (dia menunjuk ke dalam becak, tempat duduk), and I ride it (tangannya membuat gerakan seakan-akan mengayuh)
Becak driver : (mulai mengerti) Yes, yes, mister! (kemudian dia masuk duduk di dalam becak). Tourist
: (Dia mencoba mengendarai becak)
Contoh di atas memperlihatkan bahwa bahasa terbagi atas dua sistem, yakni aspek
verbal
dan
non-verbal.
Mereka
saling
dukung-mendukung
dalam
menyampaikan makna bahasa. Pada kasus di atas, Tukang Becak, sebenarnya, tidak dapat menggunakan bahasa Inggris, tetapi dia dapat mengerti si Tourist karena dukungan sistem non-verbal. Di samping itu, konteks pelaksanaan tuturan juga sangat mendukung terjadinya saling pengertian, karena mereka melakukan transaksi di samping becak. Pada contoh yang telah diberikan di atas, si Tukang Becak tidak memiliki lexico-grammar bahasa Inggris sebagai sumber untuk berkomunikasi dengan si Tourist, tetapi dia memiliki generic structures of texts, walaupun sumber pengetahuan tersebut masih sangat universal, karena bersumber dari pengetahuan bahasa ibunya. Sehingga dia dapat mengerti maksud si tourist. Contoh yang lain, kita kadang-kadang
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 2
mendengar lelucon yang sangat menggelitik bila disampaikan dalam bahasa ibunya, dan membuat pendengarnya tertawa terpingkal-pingkal secara spontan. Tetapi di lain waktu, lelucon yang sama gagal mecapainya tujuannya jika diceritakan dengan bahasa yang berbeda. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan karena cerita tersebut dikeluarkan dari konteks budayanya.
0.2 Proses Pemerolehan Bahasa. 0.2.1 Proses Mengerti Bahasa. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui “Bagaimana manusia belajar bahasa?” Akan tetapi, bagaimana pun juga pertanyaan tersebut belum pernah terjawab secara memuaskan, dan tampaknya masih akan tetap menjadi pertanyaan yang menarik bagi ilmuan yang berkecimpung dalam dunia pengajaran bahasa dan ilmuan bahasa. Seperti yang telah digambarkan di atas bahwa bahasa bukan hanyalah sekedar kata-kata dan penghapalan kata-kata. Kita juga harus tahu bagaimana cara menggunakannya; dalam konteks bagaimana sebuah kata cocok diucapkan, siapa pendengarnya, siapa penuturnya, dan lain sebagainya. Jika sebuah bahasa hanyalah kata-kata dan kombinasi kata-kata, maka mempelajari bahasa mungkin akan lebih gampang, karena orang hanya membutuhkan kamus dwi-lilngual atau multi-lingual, mereka sudah dapat bercakap. Atau mereka juga dapat menggunakan a shortcut atau jalan pintas, dengan cara bertanya pada komputer untuk menerjemahkan bahasa target. Jika bahasa hanyalah sekumpulan kata-kata dan kombinasi kata-kata maka komputer tidak akan membuat terjemahan yang sulit dimengerti dan kadang-kadang terkesan lucu. Bahasa lebih dari sekedar kata-kata dan membutuhkan rasa untuk mengertinya. Oleh karena itu, pelajar bahasa yang akan belajar bahasa harus memasukkan faktor sosial dalam proses pembelajarannya. Mereka harus belajar “Bagaimana cara menggunakannya” sebab makna bahasa bergantung dari siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan terjadinya, dalam konteks bagaimana, apa topiknya, dan lain
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 3
sebagainya. Halliday mengklasifikasikan faktor-faktor sosial ini dalam bahasa sebagai Field, Tenor, dan Mode. Field merujuk pada aktifitas, atau topik yang menjadi pembicaraan; Tenor merujuk pada hubungan antara pembicara dan pendengar; dan Tenor adalah cara penyampaian maksud entah melalui media tulisan (seperti surat, SMS, dan lain sebagainya) dan lisan (seperti percakapan antar semuka, telepon, atau chatting). Sebagai contoh, pembicaraan yang konteksnya di dalam ruangan kelas. guru
: (masuk kelas dan mengeluh ) Panas ya ? (sambil kipas-kipas kepanasan)
murid
: (sebagai reaksi atas tuturan guru, salah seorang murid berdiri dan membuka jendela)
Pada kasus di atas yang menjadi: Field
: pembicaraan tentang temperature yang panas dalam ruangan
Tenor
: hubungan guru dan murid (tanpa perlu disuruh secara langsung mereka sudah mengerti maksud tuturan gurunya, yakni minta dibuka jendela) Pada pembicaraan di atas sama sekali tidak ada kalimat perintah yang meminta murid membuka jendela.
Mode
: lisan
Contoh lain, sepasang kekasih duduk memadu kasih di bawah pohon rindang yang suasananya sejuk karena sore hari. Pria
: “Panas ya, hari ini?”
Wanita
: “Saya yakin, kamu pasti belum mandi deh”
Pada contoh ini yang menjadi: Field
: pembicaraan tentang temperature yang panas diluar ruangan dalam hal ini di bawah pohon yang rindang.
Tenor
: hubungan sepasang kekasih, tak ada perasaan subordinasi, si wanita tidak merasa kepanasan karena sudah mandi sebelum datang ke tempat tersebut. Sementara dia juga tahu kebiasaan
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 4
kekasihnya yang malas mandi. Sehingga dia tahu makna implisit dari tuturan yang didengarnya. Mode
: Lisan
Contoh yang lain dari segi mode, misalnya seorang mahasiswa yang akan meminta uang pembayaran kepada orang tuanya. Bagaimana dan apa yang akan dikatakannya bila dia menulis surat? Bagaimana pula dia mengatakan bila menyatakan maksud yang sama melalui telepon atau kah SMS? Apa makna yang dapat kita petik dari contoh-contoh di atas? Jika bahasa tidak berhubungan dengan konteksnya, maka satu tuturan yang sama pasti akan memperoleh respons yang sama pula, tetapi kenyataannya tidaklah demikian, satu tuturan yang sama bentuknya dapat memperoleh respons yang berbeda-beda tergantung dari field, tenor, dan mode yang telah dikemukakan di atas.
0.2.2 Bagaimana Belajar Bahasa Para ahli psikologi dan linguistik modern tertarik mengetahui bagaimana manusia belajar bahasa mulai timbul pada abad ke dua puluh. Oleh karena itu pengaruh awal terhadap teori pemerolehan bahasa datang dari kedua disiplin ini. Perkembangan paralel pada kedua disiplin ini terlihat menerapkan pendekatan ilmiah terhadap hubungan antara pikiran manusia dan bahasanya. Pendekatan tradisional terhadap pemerolehan bahasa selanjutnya cenderung berorientasi psikologis, dan secara luas dikenal sebagai pendekatan psikolinguistik.
0.3 Perspektif Behaviorist Aliran yang kita bahas dalam makalah kecil ini adalah aliran behaviorisme. Inilah teori yang dominan dalam ilmu psikologi pada tahun 1940-an dan 1950-an. Teori ini penting untuk diketahui sebab banyak pendidik bersandar pada prinsip-prinsip teori ini dalam pengajaran bahasa sampai hari ini. Struktural atau pendekatan audiolingual adalah salah satu pendekatan yang paling dominan dan lama berpengaruh pada pendekatan pengajaran bahasa-bahasa baru. Seperti pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing (*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 5
Behaviorisme adalah teori pengajaran yang dapat diterapkan dalam belajar apa saja seperti bahasa dan matematika. Teori ini mencoba mengerti bagaimana manusia belajar sesuatu dengan penggunaan pendekatan ilmiah dari observasi empiris. Para ahli psikologis behavioris akan tiba pada kesimpulan mereka dengan memperhatikan/meneliti tingkah laku: merekam observasi mereka, mencatat reaksi, memberikan reward/punishement, demikian berulang-ulang sampai kemudian mereka menemukan dan menggambarkan pola-pola yang mereka dapat generalisasikan. Teori pendekatan ini, bagaimana pun juga, memerlukan observasi yang dapat dilakukan dalam kondisi yang terkontrol, seperti laboratorium. Hal ini dimaksudkan untuk
memastikan
bahwa
faktor-faktor
atau
variabel-variabel
yang
dapat
mempengaruhi tingkah laku subjek yang sedang diteliti terbatas. Karena kalau tidak demikian akan sangat sulit untuk menentukan faktor-faktor yang memperngaruhinya. Para ahli psikologis behavioris di jaman dulu pada umumnya meneliti tingkah laku binatang di laboratorium.
Kemudian menemukan teori berdasarkan penemuan
mereka terhadap perlakukan yang mereka lakukan terhadap binatang-binatang tersebut. Para ahli yang terkenal dalam penelitiannya adalah B.F Skinner (19041990), yang meneliti tingkah laku tikus; Ivan Pavlov (1849-1936) yang meneliti anjingnya: bagaimana anjing mengeluarkan air liur setiap kali mendengar lonceng; John Watson (1878-1958), yang terinspirasi oleh Pavlov kemudian meneliti binatang dan tingkah laku anak. Kunci dari teori ini adalah tingkah laku yang diberikan hadiah akan berulang sedangkan yang diberikan hukuman akan hilang dan kemudian tingkah laku tersebut akan menjadi suatu kebiasaan. Ketika psikologi behaviorisme berkembang di Amerika, dalam waktu yang bersamaan strukturalisme juga berkembang dan dikenal luas dalam linguistik Amerika. Aliran ini disebut sebagai strukturalisme Amerika. Pemimpin dan yang paling berpengaruh di sini adalah Leonard Bloomfield (1887-1949). Bukunya yang berpengaruh adalah Language dan diterbitkan 1933, memberikan dasar bagi penelitian ilmiah terhadap pembelajaran bahasa, hal yang serupa juga terjadi pada teori behaviorisme psikologi. Cara Strukturalis Amerika memerikan bahasa adalah dengan cara mengumpulkan sebanyak-banyaknya tuturan bahasa yang akan mereka teliti. Kemudian mereka
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 6
memperhatikan/mempelajari/meneliti data dari korpus untuk memunculkan pola yang konsisten, seperti misalnya sistem bunyi dan sintaksis atau struktur kalimat. Dalam hal ini mereka akan memproduksi sejumlah tuturan berdasarkan pola yang mereka temukan. Dengan demikian mereka menciptakan tuturan dari pola-pola tuturan dari penuturnya. Demikilah penekanan umum atas observasi empiris dari behaviorisme, yang sekaitan dengan psikologi. Dan bentuk-bentuk pola-pola bahasa, yang sekaitan dengan linguistik
0.4 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Pertama Jika Anda percaya bahwa manusia pada umumnya dipengaruhi oleh ransangan (stimulus) dan reaksi (respons), kebiasaan (habit), kondisi (conditioning), penguatan (reinforcement), atau hadiah (rewards), dan hukuman (punishment), maka Anda adalah seorang behahavioris entah Anda menyadarinya atau tidak. Bagi behavioris, belajar adalah berhubungan dengan pemerolehan kebiasaan, yakni belajar sesuatu berarti membuatnya menjadi kebiasaan. Kunci dari pembelajaran adalah imitasi, dan kondisi melalui penguatan. Penguatan itu dapat positif (dalam bentuk hadiah) dapat juga negatif (dalam bentuk hukuman). Proses pembentukan kebiasaan atau pembelajaran diperoleh dengan cara inductive – yakni pembiasaan itu diperoleh dengan cara tanpa instruksi eksplisit. Skinner menyebutnya sebagai kondisi pelaksanaan (operant conditioning). Beginilah contoh pelaksanaannya dalam pemerolehan bahasa: Seorang anak kecil mendengar kata “bola” beberapa kali dari pengasuhnya. Aksi ini disebut ransangan. Dan sebagai reaksi, si anak menirunya dengan menyebut pula “bola”. Tingkah laku si anak meniru menyebut “bola” disebut operant. Pengasuh memberikan bola tersebut untuk bermain. Sehingga anak tersebut memperoleh hadiah dari pengucapannya yang telah mengucapkan kata “bola”. Ini adalah contoh dari penguatan positif, dalam hal ini karena si anak mengucapkan kata yang benar. Jika seandainya si anak mengucapkan, umpamanya, “pola” maka pengasuhnya tidak akan memberikan bola. Dengan tidak memberikan bola berarti terjadi penguatan negatif.
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 7
Karena hadiah atau penguatan positif maka si anak teransang dan berani menucapkan kata “bola” lagi, dan lagi si anak diberikan bola untuk bermain. Sehingga pada akhirnya si anak mengassosiasikan objek tersebut dengan kata “bola” Proses berulang hingga pengucapan kata dan assosiasinya (“bola”) menjadi suatu kebiasaan. Anak, kemudian, belajar kata “bola” dan maknanya. Sebaliknya, jika dia mengucapkan kata “pola”, penguatan negatif akan membuat dia tidak mengucapkannya lagi – dengan demikian tidak akan terbentuk suatu kebiasaan (sebagai pilihan, Anda dapat menjelaskan bahwa kata “pola” tidak punya hubungan dengan benda tersebut yang disebut “bola”) Singkatnya, gambar di bawah ini dapat memperlihatkan proses pemerolehan bahasa menurut ahli behaviorisme.
“stimulasi” IMITASI (RESPONS)
Penghargaan (penguatan) Diulang-ulang penguatan diulang…. PEMBIASAAN = BELAJAR Pencelaan (hukuman) Tak ada pengulangan STOP TIDAK BELAJAR Gambar : Kondisi pelaksanaan behavioris
Penting untuk dikemukakan bahwa ada tiga asumsi pemerolehan bahasa menurut behaviorist adalah pertama manusia ketika baru lahir seperti kertas kosong atau dalam bahasa Latin disebut sebagai tabula rasa. Dengan kata lain, faktor penting dalam pembelajaran adalah faktor lingkungan, dan anak-anak belajar dari lingkungannya. Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, anak-anak mendengar bahasa dan respons dari lingkungannya sehingga proses pembelajaran terjadi. Asumsi berikutnya adalah manusia itu dianggap bereaksi terhadap lingkungannya kurang lebih sama dengan binatang. Hal ini dapat dilihat dari penelitian-penelitian yang (*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 8
dilakukan oleh Behaviorist seperti Skinner (1904-1990), yang meneliti tingkah laku tikus; Ivan Pavlov (1849-1936) yang meneliti anjingnya: bagaimana anjing mengeluarkan air liur setiap kali mendengar lonceng; John Watson (1878-1958), yang terinspirasi oleh Pavlov kemudian meneliti binatang dan tingkah laku anak. Hasil dari penelitianpenelitian tersebut membuat mereka merumuskan teori terhadap tingkah laku manusia. Terakhir, kaum behaviorists berdasarkan pada teori strukturalists Amerika dalam memandang bahasa, yakni bahasa tersusun secara konsisten dalam suatu pola formal. Oleh karena itu, belajar bahasa berarti kemampuan memproduksi pola-pola formal ini secara benar dalam suatu pembentukan kebiasaan.
0.5 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Kedua Kaum behaviorisme percaya bahwa manusia belajar bahasa baru sama prinsipnya dengan anak-anak belajar bahasa pertama, yakni dengan cara pembentukan kebiasaan melalui hukuman
(pencelaan) dan hadiah (penghargaan). Akan tetapi, mereka
menyadari bahwa pemerolehan bahasa kedua, secara logika, tidak sama dengan bahasa pertama. Orang yang belajar bahasa kedua tidak lagi tabula rasa. Bahasa pertama yang telah dipelajari sudah menjadi kebiasaan. Bila bahasa baru yang akan dipelajari mirip secara struktur dengan bahasa pertama tidak akan menjadi soal. Sebaliknya, bila berbeda maka di sinilah akan timbul persoalan yakni pemindahan struktur bahasa pertama dan interferensi (L1 transfer and interference). Misalnya, orang Indonesia belajar bahasa Inggris, biasanya selalu mengalami kesulitan dalam menempatkan ajektiva karena posisi ajektiva dalam bahasa Indonesia terletak sesudah nomina sedang dalam bahasa Inggris sebelum nomina. “love story” atau “story love” biasanya jadi pertanyaan bagi penutur Indonesia. Berdasarkan
prinsip umum di atas, behavioris menyarankan bahwa dalam
pembelajaran bahasa kedua, bahan ajar disusun dalam suatu bagian-bagian kecil sehingga dapat terbentuk pembiasaan bahasa yang baik. Misalnya, Good (morning/afernoon/night/etc). He (plays/works/sleeps/goes/etc.) at (7 oc’lock/half past eight/etc). Tujuan pembelajaran bagi pelajar adalah membentuk suatu pola bahasa menjadi kebiasaan mekanis melalui imitasi dan pengulangan. Guru memegang peranan
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 9
penting dalam hal ini karena menyediakan stimulasi yang diperlukan dengan menyajikan model bahasa. Pelajar kemudian bereaksi dengan mengulang atau mengganti vocabulary yang disediakan guru. Setelah itu, guru memberikan penguatan dengan memberikan penghargaan bila pelajar mengulang atau membentuk kalimat dengan benar. Sebaliknya, guru mencela (hukuman) bila pelajar melakukan kesalahan. Ketika guru sudah yakin bahwa pelajar sudah dapat memproduksi pola dengan benar, maka dia kemudian memberikan latihan-latihan lebih lanjut sehingga pelajar mampu memproduksi kalimat-kalimat berdasarkan pola tidak hanya benar tapi juga otomatis. Cara pembelajaran seperti ini dikenal dengan pola presentation,
practice,
and
production.
Pembelajaran
yang
3 P yakni
diset
dengan
menggunakan pola ini biasanya disebut menggunakan Audiolingual Approach.
0.6 Evaluasi Behaviorisme dalam Pembelajarn Bahasa Kedua Mungkin Anda familiar dengan pendekatan ini dalam pembelajaran bahasa. Atau mungkin Anda menggunakannya saat ini, atau di masa yang lalu. Hal tersebut tidak mengherankan sebab pendekatan ini sangat berpengaruh dalam dunia pembelajaran bahasa di seluruh dunia. Adapun spesifikasi-spesifikasi dari pendekatan ini adalah sebagai berikut. Pendekatan audiolingual sangat praktis. Sebuah metode mudah bagi guru untuk belajar secara cepat sebab langkah-langkahnya sangat sederhana dan dapat diduga: mengemukakan pola-pola bahasa, melatihnya, kemudian mengulangnya. Juga mudah menulis buku-buku latihan sehingga guru dapat menggunakannya secara mekanis. Guru tidak perlu cemas terhadap hal-hal yang tidak diharapkan muncul selama pembelajaran karena setiap sessi pembelajaran akan terstruktur dengan baik. Guru juga, dengan demikian, dapat mengajarkannya walau tidak menguasai bahasa target dengan baik. Singkatnya, teori behavioris telah menawarkan pada guru-guru bahasa suatu pendekatan sistematis dan praktis dalam pengajarannya. Yang lebih penting lagi, teori
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 10
ini menawarkan fondasi penjelasan psikologis bagaimana manusia belajar bahasa. Pembelajaran tidak hanya melulu berdasarkan intuisi dan pengalaman. Teori ini juga berfokus pada hal-hal yang dapat diobservasi dengan penekanan pada lingkungan di mana guru dan orang tua memegang peranan penting dalam penerapan kondisi pembelajaran sehingga memunculkan/mengembangkan semangat belajar. Misalnya seorang anak berjalan bersama ibunya dan melewati sebuah gedung yang memiliki atap unik ciri khas sebuah masjid. Si anak kemudian bertanya: “Ibu, itu apa namanya?” “Itu masjid namanya, sayang” jawab si ibu. Kemudian si anak terangsang bertanya lebih lanjut, “Apa itu masjid, bu?”. “Tempat orang berdoa dan sholat bagi orang yang beragama Islam” Jawab si Ibu. Bandingkan bila jawaban ibu atas pertanyaan yang sama menjawab “Itu kan hanya sebuah gedung biasa. Kenapa sih tanya-tanya?” Terakhir, dalam ide penguatan positif dan penguatan negatif pembelajaran bahasa sebagai
suatu
alat
pembentukan
tingkah
laku
manusia,
behaviorisme
memperkenalkan pentingnya motivasi dan feedback dalam pembelajaran. Walaupun ini adalah sesuatu issu yang kompleks tetapi behaviorist memahami
bahwa
penguatan adalah sesuatu yang berharga dan pembelajaran tidak dapat berjalan tanpa adanya motivasi dan feedback. Di antara spesifikasi-spesifikasi yang telah dikemukakan di atas, muncul beberapa pertanyaan sehubungan dengan asumsi yang telah dikemukakannya seperti berikut. i. kepercayaan bahwa manusia memulai hidup sebagai tabula rasa. Kita melihat dalam kehidupan sehari-hari dan belajar dari hasil penelitian bahwa manusia itu memiliki kemampuan dasar dalam belajar tentang dunia dan bagaimana melakukan sesuatu. Contohnya, manusia memiliki kemampuan mengerti dan memproduksi bahasa walaupun bahasa tersebut belum pernah di dengarnya. ii. Penekanannya bahwa manusia mirip dengan binatang banyak mengundang perdebatan. Manusia memiliki akal (misalnya: membuat alasan-alasan) dan dapat membuat pilihan-pilihan. Selanjutnya, manusia tidak bereaksi secara mekanis terhadap ransangan seperti ahliahli behavioris katakan.
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 11
iii. Hanya mengajarkan pola-pola bahasa yang dapat diobservasi dan gagal menjelaskan bagaimana makna berhubungan dengan bahasa. Sehubungan dengan hal-hal di atas, behaviorisme tidak menaruh perhatian pada pelajar sebagai individual dan sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, walaupun pendekatan ini digunakan dalam pembelajaran, teori ini gagal menjelaskan mengapa ada yang sukses dan ada yang gagal dalam belajar bahasa. Sehubungan dengan proses pembelajaran, ahli behaviorists hanya memperhatikan apa yang tampak dan mengabaikan hal-hal yang berlangsung dalam pikiran. Padahal, kita secara fundamental percaya bahwa belajar melibatkan pikiran, dan perasaan; melibatkan proses kognitif dan mental. Bahkan proses internal merupakan hal-hal yang esensial dalam pembelajaran. Sehubungan dengan hal-hal yang telah dikemukan di atas, implikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran bahasa melahirkan akibat negatif seperti berikut. i.
Pendekatan ini akan melahirkan pelajar pasif karena pelajar hanya bereaksi terhadap instruksi guru. Mereka tidak terangsang untuk berpikir tentang bahasa, mengembangkan strategi sendiri dalam belajar secara efektif, dan bertanggungjawab secara penuh terhadap model pembelajarannya.
ii.
Tidak melahirkan kreatifitas penggunaan bahasa karena pelajar hanya berfokus pada bahasa yang dikontrol guru. Selajutnya, penekanan yang sifatnya selalu mengoreksi bentuk salah akan mengecilkan hati pelajar untuk mengambil resiko kesalahan dalam belajar.
iii.
Karena sedikit perhatian terhadap makna, maka pelajar tidak tertolong untuk menggunakan bahasa dalam berkomunikasi secara nyata dimana makna merupakan hal yang penting. Selanjutnya, pelajar akan jadi pemalu dalam menggunakan bahasanya.
iv.
Tidak ada tempat untuk berkomunikasi secara nyata antara pelajar dengan pelajar; antara pelajar dan guru.
Demikianlah ulasan singkat terhadap teori behaviorisme, cara menerapkan, dan evaluasi terhadap penggunaannya dalam kelas pembelajaran bahasa. Mungkin hal-hal
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 12
yang dikemukakan dalam makalah ini dapat menjadi masukan berharga sebagai bahan pertimbangan dalam pembelajaran.
References Benedict Lin, 2004. Language Acquisition: Social and Psychological Dimensions. RELC Singapore. Brian Tomlinson and Hitomi Masuhara, 2004. Developing Language Course Materials. RELC Portfolio Series 11. Doff, Addrian and Cristopher Jones. 1999. Language In Use. For Beginner. Cambridge University Press. Ellis, R. 1985. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press. Hadfield, Jill. 1999. Beginners’ Communication Games. Longman Kevin Wheldall and Ted Glynn, 1989. Effective Classroom Learning: Theory and Practice. Basil Blackwell Inc. Krashen D. Stephen and Tracy D. Terrel. 1983. The Natural Approach: Language Acquisition in the Classroom. Pergamon Press: Oxford, New York, Toronto, Sydney, Paris, Frankfurt. Alemany Press: San Fransisco. Lightbown, P.M. and Spada, N. 1993. How Languages are learned. Oxford: Oxford University Press. -------------, Patsky M., and Nina Spada. 2000. How Languages are Learned. Revised Edition. Oxford. McNaughton, S. S., Glynn, T. and Robinson, V. (1987). Pause, Prompt and Praise: Effective tutoring for remedial reading. Birmingham: Positive Products.
-----------------------
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 13
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS
Page 14