Maharesi • Sang Tabib PROLOG Dinasti Song, Tiongkok (979 Masehi) Kekaisaran Song Dai Zong Agaknya moralitas merupakan hal tertinggi dalam membentuk figur seorang insan. Hal itulah yang menjadi bukti nyata tentang seorang bijak yang sudah menjadi legenda. Adalah Bao Sheng Da Di, seorang tabib sakti yang sepenuh hidupnya diabdikan untuk menolong dan membantu rakyat jelata, serta mendedikasikan seluruh jiwa dan raganya untuk kemakmuran negara dan Sang Kaisar. *** Terdapat dua kuil legendaris yang memasyhurkan nama Tabib Bao Sheng Da Di. Kuil-kuil tersebut adalah Kuil Qing Jiao Ci Ji di Xiamen dan Kuil Bai Jiao Ci Jing di Zhang Zhou, China. Masingmasing kuil itu juga populer sebagai Kuil Timur dan Kuil Barat. Masyarakat membangun kuil tersebut untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa Tabib Bao Sheng Da Di. Bangunan kuil yang kokoh dan megah tersebut menyimpan histori dan napak tilas seorang bijak berprofesi tabib yang hidup dan lahir pada Kekaisaran Song Dai Zong, Dinasti Song, Tiongkok pada tahun 979 Masehi lalu. Setiap tahun, perhitungan bulan lunar imlek, yang jatuh pada bulan tiga tanggal limabelas, maka kuil-kuil tersebut pasti dibanjiri para peziarah dari berbagai negara. Tabib Bao Sheng Da Di, sesuai sosio-kultural dan kepercayaan umumnya masyarakat China, setelah meninggal pada usia limapuluh delapan tahun, maka berkat jasa-jasa baiknya selama ini, ia pun diangkat sebagai salah satu 'dewa' atau bodhisatva, dan dipuja layaknya tokoh-tokoh pebijak lainnya seperti Guan Yu—salah satu figur bijak dalam masa Tiga Kerajaan atau Sam Kok, dan Guan Im yang lebih lazim disebut Bodhisatva Avalokitesvara. Kemasyhuran tabib bijak itu menjadi legenda, bukan saja di ranah Tiongkok, namun juga sudah meluas di berbagai negara, dimana masyarakat Tionghoa bercokol. Taiwan adalah salah satunya. Di sana, kepopuleran Tabib Bao Sheng Da Di tidak kalah masyhurnya dengan di China sendiri yang notabene merupakan tanah kelahiran tabib berhati baik itu. Pun masyarakat Taiwan mendirikan kuil serupa bernama Xue Jia Ci Ji, terletak di Kota Tai Nan. Lantas, sesungguhnya siapa sebenarnya Bao Sheng Da Di sehingga ia dapat menjadi legenda dan demikian dipuja oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa? Inilah kisahnya! *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Tabib Bao Sheng Da Di sesungguhnya adalah jelata yang lahir pada penanggalan lunar imlek, bulan 1
Weni L. Ratana
ketiga pada tanggal limabelas, di sebuah dusun kecil bernama Bai Jiao, Provinsi Fujian, pada saat Kaisar Song Dai Zhong memerintah di era generasi keempat Dinasti Song. Sejak balita, ia telah menunjukkan rasa welas asihnya kepada semua makhluk hidup, dan hal itu dibuktikannya dengan menjadi vegetarian—tidak makan makhluk bernyawa. Ayahnya bernama Wu Dong, dan ibunya bernama Huang Yeh Hua. Pada suatu hari, ibunya bermimpi menelan seekor kura-kura berwarna putih. Tidak lama kemudian, ibunya hamil. Suatu ketika, pada masa hamil tuanya, ia kembali bermimpi yang merupakan runutan dari mimpi pertamanya dulu. Kali ini, ia didatangi seorang Pendeta Sakti bernama Chang Suh, yang mengaku sebagai utusan Dewa Nang Ling dan Bei Dou Xing Jun—dewa yang dipercaya masyarakat China sebagai dewa yang mengatur dan mengawasi usia manusia. Dalam mimpinya tersebut, Pendeta Sakti itu menyerahkan seorang anak kecil kepadanya. "Anak ini merupakan titisan putra Dewa Zi Wei," demikian katanya sebelum menghilang dan lenyap dalam mimpinya tersebut. Pada pagi hari, setelah terbangun dari mimpi, ibunda Sang Tabib berbudi luhur itu pun mendapati fenomena alam bernuansa indah dan mistis. Di atas langit, tiba-tiba tampak cakrawala dan pelangi yang berkilauan, dan semilir angin mengantar harum dan semerbak wewangian yang tak dapat ia lukiskan dengan kata-kata. Pendar indah cahaya dan wangi yang tak ia pahami maknanya itu masuk menelusup ke dalam rumahnya, dan tak lama kemudian maka lahirlah Tabib Bao Sheng Da Di, yang diberi nama kecil Wu Ben. Wu Ben sejak kecil sudah ikut membantu ayahnya mencari nafkah dengan ikut melaut. Semasa itulah, dalam usianya yang terbilang masih sangat muda, ia berguru kepada seorang Tabib Penawar Bisa Ular. Ia belajar menangkap ular dan ilmu penawar bisa ular, meracik obat penawar bisa ular dan banyak hal lainnya tentang binatang reptil tersebut. Tidak lama kemudian, menginjak masa remaja, ayahnya meninggal dunia karana sakit. Ibunya menyusul tidak lama setelah kematian suaminya. Wu Ben sedih dan merasa benar-benar kehilangan. Apalagi, rundungan kemiskinan secara tidak langsung telah menyebabkan ia merasa gagal dan tak mampu berbuat apa-apa untuk mempersembahkan pengobatan yang layak bagi ayah dan ibunya itu. Ia tak memiliki sepeser pun uang untuk membawa ayah maupun ibunya ke tabib. Wu Ben yatim-piatu pun merantau keluar dari kampung halamannya. Dan sejak saat itu, ia bertekad untuk menjadi tabib handal agar dapat menolong manusia memerangi penyakit yang mendera. Pada tempat perauntauannya yang pertama di Pegunungan Kun Lun, ia bertemu dengan Xi Wang Mu, seorang cenayang sakti. Karena bersimpati pada budi pekerti dan itikad baik dari anak muda yang baru menginjak usia tujuhbelas itu, maka ia pun menurunkan ilmunya tanpa sungkan. Selama tujuh hari tujuh malam, Wu Ben mempelajari berbagai pengobatan versi Xi Wang Mu, terutama eksorsis —upacara atau ilmu tolak bala jahat, roh maupun setan. *** Pada usia duapuluh tahun, Wu Ben mendirikan gubuk di sisi Danau Lung Qiu, di bawah kaki Gunung Qing Jao Zhi, sebelah timur bukit Ming Ling. Di sanalah ia mulai meracik obat-obatan dan mengobati secara sukarela penduduk yang datang meminta pertolongan. Saat bersamaan, ia juga menemukan resep-resep pengobatan tradisional dan mutakhir dari setiap perjalanannya menyusuri dusun maupun desa penduduk sekitar yang meminta bantuan pengobatannya. Ia sangat mendedikasikan hidupnya dalam bidang medika dan pengobatan. Ia mengobati tanpa pamrih. Tak peduli dari kalangan mana. Terpandang atau marjinal. Kehandalan pengobatannya yang nyaris purna dan niat baiknya dalam menolong sesama dibicarakan serta dipuji oleh orang-orang. Dan 2
Weni L. Ratana
sejak itu pulalah ia dijuluki 'Tabib Sakti'. Pada suatu hari, Wu Ben masuk ke dalam hutan berniat mencari ramuan-ramuan untuk obatnya. Ketika ia sampai di kedalaman hutan, alangkah terkejutnya ia karena seekor harimau belang tampak mementang jalannya. Harimau tersebut tampak lunglai, dan menelungkup lemah dengan pandangan mata sayu. Rupanya, sang harimau itu tersedak sebilah tulang manusia dari korban mangsanya barusan. Wu Ben murka luar biasa. Dengan wajah gusar dimarahinya harimau belang tersebut. "Kau telah merenggut nyawa manusia, maka kau menerima balasan dan karma. Saat ini kau tengah mendapat hukuman setimpal dari Yang Maha Kuasa!" (Alkisah Wu Ben dapat berkomunikasi dengan binatang karena buah hasil dari sifat welas asihnya, dan juga merupakan titisan putra Dewa Zi Wei). Sang Harimau Belang tersebut sangat menyesali perbuatannya. Ia menyampaikan pertobatannya kepada Wu Ben, dan berjanji akan menjadi abdi bagi 'Tabib Sakti' itu jika kelak ia lolos dari ambang maut. Wu Ben yang welas asih itu menolong sang harimau, mengobati lukanya sampai sembuh. Maka sejak saat itulah, Sang Harimau Belang tersebut menjadi 'kuda tunggang' bagi Wu Ben. Sejak saat itu pula, maka sang harimau meraga dengan Wu Ben. Ia menyertai perjalanan 'Tabib Sakti', menjadi kendaraan tunggang dan membawa Wu Ben kemana saja. (Dalam mitologi China, dikisahkan bahwa sang harimau telah mencapai pencerahan sempurna karena jasa-jasa baiknya terhadap Wu Ben selama ini, dan mendapat tempat layak sejajar dedewa dan dedewi. Sang harimau dijuluki Jenderal Harimau Hitam, dan pada perjalanan waktu, sang harimau pun memiliki rupam atau diorama yang disucikan oleh umat penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdiri di samping rupam Tabib Bao Sheng Da Di di atas altar puja). *** Pada pemerintahan Kaisar Song Jiong You, generasi penerus Dinasti Song, pada tahun 1036, suatu ketika, daerah Ming Nan, Fujian Selatan, terutama area Zhang Zhou, terjadi wabah penyakit yang telah memakan ratusan korban nyawa manusia. Penyakit tersebut berasal dari limbah udara beracun. Maka atas inisiatifnya sendiri, maka Wu Ben naik ke atas pegunungan mencari rempah dan tumbuhan obat untuk membuat ramuan obat buat menolong penduduk yang tertimpa penyakit. Di gigir tebing Long Chi, Gunung Wen Pu, Wu Ben yang tengah asyik mencari tanaman obat tergelincir dan jatuh ke dalam jurang. Meskipun mendapat pertolongan dari penduduk setempat, namun nyawa Wu Ben tak dapat diselamatkan. Luka parah akibat jatuh dari ketinggian menyebabkan Wu Ben meninggal tidak lama kemudian tepat pada penanggalan lunar imlek yang jatuh pada bulan kelima tanggal dua siang hari. Tidak lama setelah mangkatnya Wu Ben, masyarakat setempat menobatkan ia sebagai 'Yu Ling Zhen Ren' yang berharfiah 'Tabib Sakti nan Mukjizat'. Seiring bergulirnya zaman, kemasyhuran Wu Ben sebagai 'Tabib Sakti' tak lekang dimakan waktu. Pada zaman Nan Song atau kekaisaran Dinasti Song (1151), Kaisar Shao Xing yang berkuasa ketika itu, memberikan maklumat izin pembangunan kuil megah dari permohonon seorang sarjana medika bernama Yan She Luh. Dengan senang hati Sang Kaisar memberikan keleluasaan pada pemuda itu untuk mendirikan kuil penghormatan bagi Wu Ben, yang kala itu sudah dikenal galib sebagai Tabib Bao Sheng Da Di, di tanah temurun keluarganya sendiri, di daeran Qing Jiao. Lalu pada tahun 1171, masih pada dinasti yang sama, Kaisar Song dari generasi ketujuh, Song Xiao Zong mempersembahkan penghormatan setinggi-tingginya untuk 'Tabib Sakti' dengan membuatkan prasasti kayu yang diletakkan di atas gerbang sebuah kuil bernama Ci Ji. Selain itu, mendiang Wu 3
Weni L. Ratana
Ben pun diberi gelar 'Da Dao Zhen Ren' berharfiah 'Tabib Sakti yang Berilmu Tinggi'. Pada Dinasti Ming, berulang kali mendiang Wu Ben mendapat penghargaan dari pemerintah maupun Sang Kaisar. Di zaman itulah 'Tabib Sakti' mendapat gelar terpanjang dalam sejarah pemerintahan manapun dari dinasti yang berkuasa di Tiongkok: 'Tian Yu Ling Miao Hui Zhen Jun Wan Shou Wu Ji Bao Sheng Da Di' berharfiah 'Utusan Suci Tabib Rakyat dari Yang Maha Kuasa, Berhati Welas Asih dan Penolong Jelata yang Handal—Hidup Lestarilah, Dewa Bao Sheng Da Di.' Zaman berubah dari waktu ke waktu. Namun kemasyhuran Wu Ben lagi-lagi tak dilamur oleh masa. Pada zaman Dinasti Qing, dikisahkan, meski raganya telah lama meninggalkan dunia fana ini, namun arwah 'Tabib Sakti' masih tetap menolong rakyat yang didera bencana penyakit. Ketika itu di Taipei, Taiwan, mewabah penyakit aneh yang berpandemi cepat dan mematikan demikian banyak orang. Maka segelintir orang di Taipei yang peduli akan nasib naas saudara mereka, segera berangkat ke Fujian, China. Di sana mereka meminta doa pada rupam Tabib Bao Sheng Da Di di Kuil Ci Ji Bai untuk membasmi wabah penyakit tersebut. Tidak lama kemudian, berangsur wabah penyakit aneh tersebut menghilang, dan masyarakat Taiwan dapat hidup dengan tenteram kembali. Sejak saat itu pula nama dan kesaktian Tabib Bao Zheng Da Di semakin melegenda. Kemashyuran dan ketenarannya menyeruak wangi serupa harum dupa sampai ke pelosok-pelosok pecinan. Sampai saat ini masyarakat di China masih menyimpan tigabelas kitab pengobatan karangan Tabib Bao Sheng Da Di. Tersimpan di dalam keabadian hati yang tulus tanpa pamrih.
4
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Patriot PROLOG Pahlawan, selayaknya bunga, ia adalah semerbak yang harum mewangi. Meski layu, namun sekarnya mengiang sepanjang hayat. Sosok pahlawan lahir lantaran satu hal: patriotisme. Mereka adalah figur-figur heroistik, dan kadang-kadang rela mengorbankan jiwanya untuk membela kebenaran. Sesungguhnya, bukan popularitas atau takhta sebagai imbal sehingga pahlawanpahlawan itu mengejewantah dalam keluhuran pancacita. Bukan semua itu. Namun ada hal yang jauh mendasari pengorbanan tanpa batas tersebut. Adalah moralitas, kemurnian budi pekerti, dan kehormatan dalam nama kebenaran juga menjadi penunjang sehingga sosok nan jelata sekalipun dapat menjelma rani. Dan sesungguhnya mereka ada petuan yang layak disanjung setinggi langit. Karena apa yang telah mereka lakukan dan korbankan, tak dapat ditakar dengan gemerlap kilau permata yang ada di dunia ini. Eksistensi pancacita itu telah dibuktikan oleh seorang jelata bermarga Guan dan bernama Yu, yang dalam perjalanan waktu telah membentuknya menjadi pahlawan sejati. Dan dikenal sebagai Guan Sheng Di Jun—Guan Yu Sang Patriot. *** Alkisah, tersebutlah Guan Shen Di Jun yang lahir pada zaman maharana Sam Kok (Tiga Negara) yang masyhur di Tiongkok kuno. Ia merupakan abdi kekaisaran yang sangat loyal dan patriotik pada negeri Liu (salah satu di antara Tiga Negara yang bertikai), sehingga digelari Yung Chang— Prajurit Gardatama. Ia galib dipanggil dengan nama kecilnya, Guan Yu. Bersama sahabatnya, Liu Bei dan Zhang Fei, mereka mengikrar sebagai saudara sehidup-semati di sebuah taman bunga bernama Tao. Sumpah mereka sebagai saudara itu pun masyhur dikenal sebagai Tao Yuan San Jie Yi—Sumpah Sejati Sedarah nan Abadi di Taman Tao. Dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa, semenjak Dinasti Han yang marak dan baur oleh ajaran konfusiusme-buddhisme-taoisme, ajaran moralitas itu bersenyawa dan menjadi sosio-kultur di dalam masyarakat China. Maka terciptalah sosok atau figur bijak yang berasal dari ruap moralitas, kebenaran, dan pacacita, serta nilai-nilai luhur yang menjadi panutan bijak sampai sekarang. Dan maharana hanyalah latar-belakang yang mendukung semakin bertumbuhnya tokoh-tokoh pemerang kebatilan. Guan Yu adalah salah satu jelata yang sangat menjunjung tinggi perikeadilan. Ia tidak dapat melihat rakyat yang tertindas. Ia tidak tega melihat kesewenang-wenangan yang telah menjadi hakam di ranah Tionggoan, dimana beberapa kaum bangsawan yang kuat menindas rakyat marjinal yang lemah nan papa. Maka ketika kondisi berniskala derita itu semakin meruyak tatanan kehidupan, ia tampil dengan penuh ketulusan bahkan mengorbankan jiwa raganya demi cita-cita luhur yang telah meraja di hatinya. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan 5
Weni L. Ratana
perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Guan Yu lahir pada penanggalan lunar imlek yang jatuh pada tanggal duapuluh empat bulan enam, saat Kaisar Yan Xi dari generasi ketiga Dinasti Han Timur berkuasa (160 Masehi). Merunut catatan sejarah, ia menikah pada saat berumur tujuhbelas tahun. Di usia delapanbelas tahun, ia dikaruniai seorang anak yang diberi nama Guan Ping. Nyaris sepanjang perjalanan masa belia yang dilaluinya dengan berumah tangga berjalan normal dan biasa-biasa saja sampai berusia duapuluh sembilan tahun. Di usianya itulah nuraninya mulai terusik oleh kezaliman beberapa penguasa daerah dan bangsawan terhadap rakyat kecil. Pemuncak dari segala amarahnya adalah, ketika ia melihat seorang saudagar garam kaya yang semena-mena terhadap penduduk desanya. Maka ia membela penduduk yang tertindas tersebut. Dalam sebuah intrik perkelahian, ia dapat membunuh saudagar garam kaya tersebut yang notabene sangat berkuasa dan berpengaruh. Ia lalu kabur menyelamatkan diri bersama keluarganya ke daerah Zhu Zhou, propinsi Hubei. Di sanalah ia bertemu dengan Liu Bei dan Zhang Fei yang memiliki misi luhur yang sama untuk membela rakyat dari tiran penguasa lalim. Di situ pulalah mereka mengikat ikrar dalam sumpah untuk menjadi saudara sehidup-semati, bersama-sama melawan kebatilan. Mereka bertiga kemudian bahu membahu menghimpun kekuatan jelata dan membentuk militan dalam menghadapi pasukan kerajaan Han Utara dan Han Selatan. Loyalitas dan pengabdian Guan Yu yang tulus semasa bergabung dalam militer negeri Liu sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Negeri Liu merupakah salah satu negeri yang berarmada angkatan perang yang kuat di bawah pimpinan ketiga saudara setaklik itu: Guan Yu, Liu Bei, dan Zhang Fei. Pada usia empatpuluh, ia dianugerahi gelar Han Shou Ting Hou—Pengawal Han nan Tangguh, berkat jasa-jasanya dalam kemenangan gemilang di beberapa pertempuran besar melawan dua negeri musuh. Beberapa tahun kemudian, pada usia empatpuluh sembilan, ia diangkat sebagai gubernur di daerah Xiang Yang. Tak lama berselang, pada usia limapuluh empat, ia lagi-lagi diangkat sebagai pejabat tinggi negeri sebagai gubernur di Jiang Zhou, sekaligus salah satu jenderal utama dalam 'Lima Jenderal Harimau' negeri Liu yang sohor. Guan Yu terus bertempur membela negerinya dengan patriot sampai menutup mata saat terbunuh dalam sebuah maharana pada usia limapuluh sembilan tahun (219 Masehi) di Hubei. *** Guan Yu yang digambarkan sebagai sosok satria bertubuh jangkung besar berjanggut panjang khas, merupakan salah satu jelata yang pada akhirnya dianggap totem Langit berkat patriotisme dan budi pekertinya selama hidup menjadi manusia. Sebagian masyarakat Tionghoa di China dan beberapa negara Asia mengategorikan ia sebagai 'Dewa Pelindung' dan merupakan totemis kontrabatil autotrop. Wajahnya yang keras kemerahan dengan sepasang bola mata tajam berhias alis tebal bak bulan sabit dapat dengan mudah diakrabi pada rupam maupun diorama pada beberapa klenteng yang memuja kebesaran jasa-jasanya. Konon dikisahkan pula, solidaritas dan perikeadilan yang sangat dijunjung oleh mendiang Guan Yu tidak berhenti sampai sang ajal menjemputnya. Beberapa masyarakat dusun yang dilanda musibah sering melihat arwah sang Patriotik itu hadir menghalau makhluk-makhluk imbesil hasutan beberapa penguasa jahat. Rupanya, arwah Guan Yu masih mematri pada ikrarnya yang sarat moralitas: ren (kemanusiaan), yi (kebenaran), li (kehormatan), zhi (kebijaksanaan), dan xin (percaya diri). 6
Weni L. Ratana
Dan hal tersebut telah diaplikasikannya sewaktu ia masih hidup. Dengan menempuh serangkaian perjalanan panjang, ia senantiasa menebar interaksi kemanusiaannya menolong jelata sebagai wujud ren, melepas musuh besarnya, Cao Cao, saat terperangkap dalam sebuah pertempuran di daerah Hua Yang sebagai yi, dan masih banyak kebijaksanaan lainnya yang telah ia terapkan atas nama moralitas. Dalam sebuah petuah motivais nan cendekia kepada prajurit-prajuritnya, yang kerap dikobarkannya sebagai penyulut api semangat sebelum mereka bertempur, Guan Yu sering menekankan bahwa betapa pentingnya: bakti terhadap orangtua (xiao), ikatan kasih persaudaraan (di), loyalitas (zhong), kepercayaan (xin), kesederhana (liang), dan siri atau malu berbuat jahat (chi); merupakan unsurunsur yang mendukung sifat luhur manusia yang bermoral. Keberanian dan sikap satria yang telah ditunjukkan Guan Yu memang patut diteladani. Setelah daerah kekuasaannya habis-habisan dibabat musuh dari negeri Wu, maka ia yang hanya bersisa beberapa ratus prajurit saja, dengan gagah berani memasuki daerah tempur musuh berbekal penuh rasa percaya diri. Ia tidak ingin menjatuhkan mental prajurit di ibukota kerajaannya dengan memilih mundur meski tahu kalau memasuki sarang lawan, berarti ia hanya akan mengantar nyawa. Akhirnya ia dibunuh oleh jenderal Lu Meng dari negeri Wu, yang merupakan salah satu rival negerinya. Kepala Guan Yu dipenggal oleh sang Jenderal untuk kemudian dipersembahkan kepada penguasa negeri Wu. Kala itu, pemimpin negeri Wu yang berseberangan dengan Cao Cao, salah satu pemimpin rival negeri itu pula, mengirimkan kepala Guan Yu kepadanya. Cao Cao, meski bermusuhan dengan negeri asal Guan Yu, namun ia menghormati sifat bijak mendiang jenderal 'lawan'-nya tersebut. Diberinya penghormatan bagi arwah Guan Yu, dan konon membuat rupam bakti untuk mengenang budi luhurnya. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama setelah mangkatnya Guan Yu, sontak masyarakat Tiongkok mengkultuskan mendiang jenderal itu sebagai dewa. Bukan itu saja, beberapa kaisar yang berkuasa di Tiongkok setelah masa Sam Kok (Tiga Negara) pun melakukan hal yang sama. Ia dianugerahi banyak gelar. Dan semua itu berkat loyalitas dan patriotiknya yang luar biasa. ©
7
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Maitria PROLOG Dalam mitologi Tiongkok, banyak pelaku kebajikan yang dapat dijadikan panutan dalam pengembangan pancacita. Legawalitas akan penderitaan tidak sertamerta dapat diterima sebagai sebuah kepasrahan. Terutama jika miris hidup para papa tersebut dianggap hal naif yang perlu disingkirkan jauh-jauh. Menyikap problematika yang seolah sudah menghakam di ranah Tiongkok pula itulah, maka terciptalah pengharapan yang diturunkan dari Langit untuk membantu memupus lara manusia. *** Alkisah, suatu ketika diutuslah maharesi bernama Ajita dari Langit. Ajita berharfiah 'Yang Tak Terkalahkan' menjelma manusia. Dalam 'pengembaraan'-nya sebagai manusia, ia banyak mengaplikasikan kebajikan bagi sesama dan bahkan pada makhluk hidup lainnya seperti hewan. Ia merupakan salah satu 'calon' Tataghata atau sakaguru ajaran kebenaran Dharma nan murni, dari tiga Tataghata yang sudah ditakdirkan untuk menolong umat manusia dari keterpurukan dan kehancuran. Ia juga digelari Maitria atau 'Sang Maha Welas Asih'. Dalam suatu masa, dikisahkan bahwa Ajita pernah menjadi siswa Sakyamuni Tataghata sang Pengajar Kebenaran dari Jambudipa —kini India. Sewaktu ia mangkat, ia bereinkarnasi sebagai makhluk suci di Surga Tusita, salah satu strata surga bertingkat tinggi. Sementara Sakyamuni Tataghata sendiri yang saat itu masih bertugas mengajarkan kebenaran Dharma kepada manusia mengatakan bahwa, mendiang siswanya yang bernama Ajita tersebut, karena menimbang semua karma baik dan jasa-jasa terhadap rakyat, maka ia akan mendiami Surga Tusita selama empat ribu tahun—dalam perhitungan versi dunia menjadi lima miliar enam ratus tujuh ribu tahun sebelum ia kelak mencapai tingkat Tataghata. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Dikisahkan pula, dalam sebuah replikasi 'kemanusiaan'-nya, Ajita yang lebih lazim disebut Maitria pernah lahir di daerah Ming Zhou, kabupaten Feng Hua, propinsi Zhe Jiang. Pada waktu lahir, di dalam ruang kamarnya dipenuhi benderang cahaya kemerahan. Naas bagi sang Ibu karena meninggal saat melahirkannya. Sang Ayah sangat sedih kehilangan istrinya, bermuram durja dan menangis seharian. Kebetulan pada saat yang sama, seorang rahib bernama Fa Ming tengah bersemedi di dalam sebuah wat bernama Jin Shan. Hatinya tidak tenang karena merasakan ada sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi di sekitar desa. Semedinya terganggu oleh kejadian lara itu. Maka dengan mata batinnya, ia dapat seorang lelaki tengah meratapi jasad istrinya. Maka diputuskannya untuk keluar dari ruangan semedinya, dan menjambangi lelaki yang tengah berduka tersebut. Setelah sampai di depan rumah lelaki itu, maka ia mendengar tangis seorang bayi. Hatinya kembali tergugah dalam haru. Disampaikannya niatnya yang tulus untuk merawat bayi itu, dan 8
Weni L. Ratana
membesarkannya di dalam wat. Setelah bayi itu agak dewasa, maka ia diberi nama Qi-Ci. *** Qi-Ci dewasa bertubuh gemuk dan pendek. Perutnya besar dan tingkah lakunya jenaka. Ia senantiasa bahagia dengan kehidupannya saat itu. Baginya, kehidupan adalah karunia yang mesti disyukuri. Setiap denyut jantung dan setiap helaan napas adalah anugerah yang paling berharga dibandingkan gemerlap harta duniawi. Ia memiliki kelebihan indera keenam dan indigo. Ketika kecil, kelebihannya tersebut sudah ditunjukkannya dengan dapat meramal cuaca. Ia dapat memprediksi tibanya guyuran air hujan, dan begitu pula sebaliknya. Banyak hal-hal yang terbilang gaib di mata awam, bagi Qi-Ci kecil hanyalah bagian kecil dari mukjizat dirinya. Ketika beranjak remaja, ia senang mengelana, mencari tempat-tempat sunyi untuk bertapa dan bersemedi demi mencapai 'pencerahan' bagi menanggulangi derita manusia. Saat dalam menempuh perjalanan nan panjangnya, ia hanya membawa bekal buntalan yang dikaitkannya pada sebatang bambu untuk dipikul di bahunya. Seiring bergulirnya sang waktu, dalam segebung perbuatan baiknya terhadap sesama, suatu ketika pada kekuasaan Kaisar Zheng Ming—generasi kedua Dinasti Liang, Qi-Ci tua duduk di halaman puri Yin Lin di daerah Feng Hua. Sembari mengucap petuah, 'Maitria lahir di dunia berwujud QiCi, senantiasa memberikan petunjuk bijak bagi insan batil nan mungkir', maka ia pun wafat dengan tenang. Ia kemudian dikebumikan oleh para rahib dan penduduk desa di sebelah barat puri Yi Lin. Pada perjalanan sang waktu pula, petuah yang telah diucapkan Qi-Ci melegenda menjadi salah satu unsur dalam perwujudan pancacita. Masyarakat Tiongkok pun mengenangnya sebagai Maitria, Sang Maha Welas Asih. Dan menghormati Qi-Ci dengan membuatkan arca dan mendirikan puri bagi mendiang yang memiliki sifat welas asih yang tak terkira. Arca atau rupam Maitria Sang Maha Welas Asih sendiri mewujud pada sosoknya semasih meraga manusia yang tambun, pendek dan gemuk dengan perut buncit serta berdaun telinga lebar—juga merujuk pada beberapa sifatnya yang senantiasa bahagia dan jenaka seperti suka tertawa lebar. Beberapa puri puja menyematkan syair indah nan jenaka baginya. Di antaranya, 'Dengan perut besarnya Ia dapat menampung semua persoalan insan nan sulit', dan juga 'Dengan tertawa lebar, Ia menertawakan insan nan mungkir di dunia ini'. Itulah pengejewantahan kebajikan dari seorang pebijak yang tak akan lapuk dimakan zaman. Dan akan terkenang sepanjang masa. ©
9
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Amithaba Tataghata PROLOG Selama dunia berputar, kebatilan dan kebajikan senantiasa beriringan. Namun meski demikian, kebatilan dan kebajikan senantiasa bertolak-belakang, kontradiktif, dan berseteru tak berkesudahan. Kejahatan adalah gergasi yang memungkinkan manusia jatuh ke dalam nista dan dosa. Sementara kebajikan serupa benderang cahaya yang selalu menuntun manusia ke jalan nan benar. Seiring dengan fenomena tersebut, maka ranah Tiongkok yang masif oleh maharana, melahirkan banyak resi yang tidak ingin melihat insan lantak oleh amarah mara. Lalu ihwal lahirnya sosok maharesi nan bijak bergelar Amitabha Tataghata tentu saja berpulang pada hal tadi. *** Amitabha Tataghata merupakan pemimpin dari Surga Sukhavati. Ia digelari Amitayur berharfiah 'Maha Cahaya nan Abadi' oleh masyarakat Tiongkok kuno berkat kewelasasihannya yang tanpa pamrih dan tanpa batas. Layaknya totem Langit, maka ia dianugerahi tigabelas karunia nan mukjizat. Salah satunya adalah kebijaksanaan tanpa batas, serta berhak mengangkat jiwa manusia menjadi dewa di Surga Sukhavati. Oleh karenanya, ia juga digelari Sang Tataghata Penjemput. Semua anugerah Langit yang diperolehnya tersebut merupakan buah dari hasil kebajikannya selama menjadi manusia. Pada saat ia masih berwujud raga manusia nan fana, ia merupakan salah satu kaisar dari Kerajaan Miao Xi di Tionggoan, bernama Jiao Shi Jia. Ayahnya bernama Kaisar Yue Shang Luen Zhuan Wang dan ibunya bernama Permaisuri Shu Sheng Miao Yen. Pada saat yang sama, seorang maharesi bernama Zhe Zhai Wang Tataghata tengah mengajarkan moral kebenaran pada manusia. Kaisar Jiao Shi Jia yang merupakan salah satu replika 'kemanusiaan' cikal bakal Amitabha Tataghata turut mendengarkan kotbah-kotbah yang disampaikan oleh Zhe Zhai Wang Tataghata. Setiap usai mendengar ceramah dari maharesi tersebut, setiap pula itu hatinya merasa bahagia dan damai. Sampai suatu hari diputuskannya untuk mengembangkan moralitas itu dalam bentuk 'pencerahan' yang dilakukannya sendiri. Ia mengembangkan pancacita dan bodhicita, yakni melepaskan semua 'keduniawian', takhta kerajaan, dan semua atribut kebangsawanannya. Dipilihnya hidup menjadi rahib, dan mengganti namanya menjadi Biksu Dharmasaka. Cita-cita luhur dan tekadnya untuk menyelamatkan semua makhluk hidup dari keterpurukan dosa membuatnya gigih berjuang, bersemedi dan berkorban dalam serangkaian perjalanan yang panjang dari satu daerah ke daerah lainnya. Dilepaskannya semua kemewahan dan kemegahan istana yang pernah dicerapinya nyaris sepanjang hidupnya. Selanjutnya menjalani bergulirnya sang waktu, Biksu Dharmasaka terus menerus memperjuangkan ikrarnya untuk menolong manusia dalam pancacita luhur. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. 10
Weni L. Ratana
Perjuangan tanpa patah yang telah ditunjukkan Sang Maharesi muasal bangsawan berdarah biru tersebut telah memupuk dengan sendirinya kemampuan dan kebijaksanaannya sehingga 'pencerahan' akhirnya menaunginya. Ia yang masih diradi raga manusia memiliki kemampuan batin yang luar biasa setara, bahkan melebihi kapasitas 'dedewa'. Dilaluinya serangkaian perjalanan gaib ke alam-alam suci dimana para dewa maupun dewi bersemayam. Juga setiap sebentar ia mengunjungi ranah-ranah lara neraka dimana makhlukmakhluk fana dunia nan imbesil telah disiksa akibat karma buruk yang telah mereka lakukan semasa hidup mereka sebagai manusia. Dicerapinya perjalanan panjangnya tersebut, yang tanpa terasa telah memakan waktu lima kalpa— satu kalpa dapat disetarakan dengan delapan ratus juta tahun takaran waktu dunia. Dalam perjananan religiusnya pula, ia menyusun sutra yang ia namakan 'Empatpuluh Delapan Cita Luhur'. Sebuah tatanan yang ia ciptakan menyoal moralitas. Dan unsur terpenting dari segala adalah bahwa, maitri karuna atau kasih sayang dan belas kasihan serta cita-cita luhur kebajikan merupakan penopang utama dalam mendorong manusia dapat 'terlahir' di alam-alam surga. Semua manusia dapat menerapkan 'Empatpuluh Delapan Cita Luhur' dengan bekal ketulusan dan kesungguhan. Setelah itu, mereka dapat hidup tenteram dalam pancacita di sebuah alam yang menyenangkan, dan bukannya sebuah tempat terkutuk dimana 'jiwa-jiwa' dirajam dalam siksa luar biasa. Dan sebagai imbal kebajikan yang telah dilakukan oleh insan kehidupan, maka ia memutuskan untuk meniskalakan sebuah tempat dimana jiwa-jiwa pebajik dapat menetap dan menikmati buah dari hasil perbuatan baik mereka di masa lampau. Adalah Surga Sukhavati akhirnya menjadi pilihan mengingat strata surga itu memang layak menampung jiwa-jiwa pebijak yang hanya dapat dihargai dengan niskala terbaik pula. Di alam sarat sukacita itu pulalah Amitabha Tataghata berdiam, untuk kemudian 'menjemput' jiwa mereka yang putih. *** Seiring bergulirnya sang waktu dan bergantinya sang zaman, 'Empatpuluh Delapan Cita Luhur' tetap mengabadi dalam sosio-kultur masyarakat Tiongkok. Masyarakat Tiongkok kuno meyakini aplikasi kebajikan akan diimbal dengan Surga Sukhavati. Kebajikan yang dirunut dalam empatpuluh delapan pasal tersebut menjadi pemecut bagi pengembangan moralitas. Sang Maharesi menjadi legenda abadi berwujud Amitabha Tataghata pada akhir perjalanan panjang tanpa lelah dan henti. Masyarakat Tionghoa yang turun-temurun memujanya juga menggelari Sang Maharesi itu dengan 'Penjemput Agung Menuju Barat Nirwana'. Bahkan merupamkannya dengan diapit oleh dua resi nan sohor, Avalokitervara dan Mahasthamaprapta Bodhisatva —juga salah satu maharesi berangkat dari jelata . Dan setiap penanggalan lunar imlek, yang jatuh pada tanggal tujuhbelas bulan sebelas, seremoni religi pasti dirayakan untuk mengenang hari lahir Sang Maharesi jelma Amitabha Tataghata, yang pada perjalanan waktu pula berasimilasi dengan penganut kepercayaan buddhisme dan dikaribi sebagai Amitabha Buddha. ©
11
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Dewi Bunda PROLOG Kebajikan adalah aura putih yang senantiasa membawa kabar pengharapan bagi kehidupan insan. Dalam kebajikan pula, banyak runut kisah yang dapat menggugah hati dan moralitas untuk dijadikan teladan dalam bertindak. Ada tokoh-tokoh heroik yang muncul, tidak sertamerta. Tidak tiba-tiba. Namun mereka semua telah mencurahkan dan mendedikasikan hidupnya sepanjang waktu, sepanjang masa, untuk kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi. Dan tidak sedikit di antara tokoh-tokoh bijak tersebut bahkan rela menyabung nyawa mereka sendiri demi kebahagiaan manusia. Bukan demi popularitas. Bukan demi segebung kemilau harta-benda duniawi. Namun semua berangkat dari ketulusan, kemurnian, dan pengabdian tanpa pamrih. *** Di kota Yong Chun, pada desa Hung Hu Cheng, China, terdapat sebuah obyek wisata yang telah ditetapkan oleh pemerintah China sebagai salah satu tempat wisata terbaik di Negeri asal Panda bernak-pinak itu. Obyek wisata itu bernama Bai Zhang Yan, sebuah gunung yang menjulang setinggi seratus kilometer. Bai Zhang Yan yang bagai mencakar langit diapit oleh gunung dan bukit-bukit landai, tersilangi oleh dua aliran sungai yang senantiasa membawa berkah bagi masyarakat sekitar. Serupa Gunung Tai, sebuah gunung yang populer di provinsi Shandong, demikian halnya Bai Zhang Yan, terdapat satu vihara masyhur bernama Ma (Ma Si), yang dalam dialektikanya senanda dengan penyebutan Ma Shi (marga Ma) dalam masyarakat Tionghoa. Ma Si adalah dewi yang dikenal galib sebagai Bunda Ma Si. Di sinilah rupam Bunda Ma Si melegenda. Masyarakat Tionghoa penganut Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat meyakini wewangsit dan kemanjuran serta kesaktian Bunda Ma Si. Dalam beberapa literatur kuno, diuraikan banyak histori mengenai legenda Dewi Bunda Ma Si serta beberapa pembentukan karakter Vihara Ma yang masyhur. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Alkisah, Vihara Ma dibangun kali pertama pada Dinasti Song (Nan Song, 960 - 1279 Masehi). Setelah diadakan beberapa kali renovasi dan pengembangan area bangunan, maka terbentuklah daerah wisata bernuansa rituil ini, Vihara Ma, yang di antaranya terletak di daerah pegunungan Bai Zhang Ti Tian berlanskap tanah persawahan mahaluas, Qian Nian Gu Bo yang merupakan daerah hehutan pinus yang telah berusia ribuan tahun, Ci Feng Su Xiu yang merupakan pegunungan nan eksotis, Xiang Tian Zhu yang juga merupakan daerah pegunungan dengan nuansa khas bak lilin raksasa sehingga dijuluki nama 'Gunung Tunggal Bagaikan Lilin Menjulang ke Langit', dan masih 12
Weni L. Ratana
banyak area lainnya yang dibanguni Vihara Ma. Vihara Ma sendiri memiliki lanskap unik dengan Aula Depan yang memajang berbagai rupam dan diorama puja-bakti, Aula Tengah yang juga bernuansa serupa, Istana Putri sebagai bersemayamnya Dewi Bunda Ma Si, Paviliun Lan Sheng (Pemandangan Permai) yang merupakan tempat bermeditasi yang relaksis, dan masih banyak ruang yang terbilang representatif. Dewi Bunda Ma Si merupakan inkarnasi manusia jelata yang berbudi luhur menjadi bentara totem di Nirwana. Ia lahir di kota Yong Chun, desa Shi Gu dusun Tao Xing. Ayahnya bernama Ma Wen Zhong, seorang pejabat pemerintahan yang jujur dan bersih, dan merupakan sosok yang sosial serta dermawan. Pada suatu hari, tepat pada tanggal tujuhbelas Maret, istri Ma Wen Zhong, Nyonya Bai, melahirkan seorang bayi perempuan. Pada saat melahirkan bayi perempuannya, maka terdengarlah musik dan gamelan bernada indah dari Surga, yang merupakan kegaiban alam menyambut 'kelahiran suci' tersebut. Seluruh ruangan dalam rumah Keluarga Ma disinari benderang dan gemerlap keemasan. Fenomena bahagia tersebut diimbuhi dengan mekar dan harumnya serempak bunga-bunga di kebun keluarga mereka. Melihat keajaiban alam yang tiba-tiba meliputi proses kelahiran anaknya, maka Ma Wen Zhong memberikan nama untuk putri mereka dengan Jin Ying – Buah Hati Emas nan Kemilau. Ia juga diberi nama panggilan Yu Ie berharfiah Permata Giok nan Lembut. Waktu berlalu seiring bertumbuhnya Jin Ying menjadi kanak-kanak yang cerdas. Ia telah menampakkan bakatnya yang terampil dengan menguasai alat musik, melukis, menulis, dan permainan rumit catur. Bahkan ia sangat memahami ilmu astronomi dan geografi. Tetapi dari semua kelihaiannya itu, ia paling menguasai ilmu pengobatan di usianya yang terbilang sangat muda. Pada usia tigabelas tahun, ia sudah bisa mendampingi kakak iparnya, Nyonya Du, mencari tumbuhan obat dan jamu-jamuan untuk dibuat ramuan obat bagi orang sakit. Dalam usia yang beranjak remaja, Jin Ying sangat menyenangi petualangan kecilnya menjelajahi alam pegunungan dan hehutan kala mencari tumbuhan obat. Ia merupakan gadis dinamis, yang berbeda dengan kebanyakan perempuan lainnya, yang lebih senang berdiam di rumah. Dalam petualangannya menjelajahi alam, saat ia berada di atas pegunungan, kerap ia bersemedi dan bertapa mencari ning dan ketenangan batin. Ketelatenan dan niatnya yang sungguh-sungguh untuk hidup suci dan tulus tak berpamrih, kian hari memberinya pencerahan totemis dan memiliki kemampuan mukjizat dedewa. Pada usia limabelas tahun, terjadi wabah penyakit yang banyak memakan korban di dusunnya. Atas persetujuan dari kedua orangtuanya, Putri Ma bersama dengan kakak iparnya, Nyonya Du, pergi ke daerah selatan kaki pegunungan Huang Hu dan Bai He di kaki Gunung Ma Deh, bertapa dan mengolah obat untuk menolong rakyat di sekitarnya. Dengan welas asih, tulus, dan tanpa pamrih mereka mendedikasikan seluruh tenaga serta kemampuan mereka untuk menolong rakyat jelata yang menderita akibat wabah penyakit. Keajaiban seperti diturunkan dari Langit. Obat dan cara pengobatan kedua sanak-keluarga itu sangatlah manjur. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, setelah meminum obat dari Putri Ma dan kakak iparnya, Nyonya Du, maka sontak penduduk yang sakit tersebut sembuh. Wabah penyakit pun berlalu. Sejak saat itu, keampuhan pengobatan yang berangkat dari acuan moral serta sumbangsih dan sukarela dari Putri Ma dan Nyonya Du melegenda. Rakyat percaya bahwa Putri Ma itu adalah jelmaan dedewi yang turun ke dunia untuk menolong umat manusia. *** Ihwal mukjizat dan kegaiban yang dimiliki Jin Ying alias Putri Ma, alkisah, tidak terlepas dari 13
Weni L. Ratana
benang merah karma lampau. Sesungguhnya, sebelum menitis secara inkarnasi ke dalam janin Jin Ying di rahim istri Ma Weng Zhong, pada saat 'Bulan Purnama', para dewa dan dewi berkumpul di istana Raja Yi Huang untuk merayakan terangnya bulan pada saat purnama. Pada saat perayaan itu, hanya Putri Ketiga dari Raja Yi Huang yang tidak hadir. Hal itu membuat Raja Yi Huang dan Permaisuri Wang Mu heran dan bertanya-tanya, gerangan apa yang menyebabkan Putri Ketiga mereka tidak hadir di saat istimewa seperti ini. Pada saat itu juga, mereka mendapat laporan dari Pengawal Pintu Selatan Istana Surga bahwa Putri Ketiga telah keluar dari pintu Istana Surga. Dan itu berarti ia hendak turun ke bumi. Perbuatan yang dilakukan Putri Ketiga tersebut merupakan tabu dan tidak dapat dimaafkan. Masalah ini sangat menggemparkan suasana di Istana Surga. Para dewa dan dewi sangat cemas memikirka hukuman berat apa yang hendak dijatuhkan oleh Sang Raja kepada putri ketiganya. Meskipun Putri Ketiga merupakan anaknya sendiri, dan merupakan putri kesayangan, namun siapa pun yang melanggar aturan keluar dari pintu Surga, tetap akan dikenakan hukuman. Untuk meredam amarah Raja Yi Huang, dewa madya bernama Tai Bai Jing Xing mengajukan permohonan maaf kepada Sang Raja. "Maafkan hamba, Yang Mulia. Mungkin Ananda Putri Ketiga tidak sengaja melanggar hukum Surga, dengan keluar dari Pintu Selatan Istana Surga. Ananda Putri Ketiga mungkin hanya silap karena tertarik oleh pemandangan yang indah dan permai di bumi. Maklum, Ananda masih kanakkanak," mohon Tai Bai Jing Xing dengan santun. Namun Raja Yi Huang tak bergeming dengan keputusannya. Ia tetap akan menghukum putri ketiganya. Dan sebagai konsekuensi dari perbuatan 'terlarang' tersebut, maka dunia akan dilanda suatu wabah penyakit yang akan memakan banyak korban. Ia menarik napas resah. Hal ini sudah merupakan suratan takdir! Putrinya akan menjadi manusia biasa yang lahir dari keluarga jelata, dan menderita sebagai gadis biasa. Namun kasih sayangnya yang besar sebagai ayah tidak lamur seketika meski putri ketiganya itu telah melanggar aturan Langit. Ia mencemaskan putri ketiganya jika kelak menitis dalam raga manusia biasa. Tentulah ia rentan terhadap penyakit. Tetapi Tai Bai Jing Xing menyikapi dengan tenang menenteramkan gundah Sang Raja. "Yang Mulia tidak usah khawatir. Ananda Putri Ketiga akan berinkarnasi ke dalam kehidupan Keluarga Ma yang berada di dusun Tao Xing. Mereka semua adalah orang yang saleh dan baik. Secara turun temurun, keluarga mereka telah banyak berbuat kebajikan pada rakyat. Maka dengan kelahiran Ananda Putri Ketiga dalam keluarga bijaksana tersebut, pastilah akan menghapus karmakarma buruk dan kesalahan yang telah Ananda Putri Ketiga lakukan pada saat ini. Perbuatan baik Ananda Putri Ketiga kelak sebagai putri Keluarga Ma tentu merupakan satu-satunya jalan penebusan atas kesalahan yang pernah dilakukannya." Raja Yi Huang mengangguk-angguk mafhum. Ia setuju kalau putri ketiganya dilahirkan di dalam Keluarga Ma yang bijak. Maka ia pun mengusulkan agar beberapa bentara Langit yang saat ini menjadi pembantu Putri Ketiga dititiskan sebagai manusia juga untuk mendampingi putri ketiganya yang akan menjelma manusia. Salah satu di antara mereka akan dilahirkan di dalam Keluarga Du, yang nantinya akan menikah dengan salah satu Keluarga Ma dan berstatus sebagai kakak iparnya. Alkisah, ihwal itulah, ketika Putri Ketiga dilahirkan di dalam Keluarga Ma, terdengar musik indah dan gamelan dari Surga diimbuhi cahaya keemasan dan wewangian yang harum semerbak dari kebun bunga. *** Kisah berlanjut mengihwal Putri Ma ketika berusia tujuhbelas tahun. Nasib malang menimpa 14
Weni L. Ratana
Ayahanda Ma Wen Zhong, yang dikhianati oleh seorang menteri jahat, sehingga dijatuhi hukuman bui oleh Kerajaan. Alkisah, Ma Wen Zhong yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan, memiliki seekor kuda sembrani. Pada malam hari selesai bertugas di ibukota, dengan menunggang kuda sembrani tersebut, yang memiliki kapabilitas melebihi kuda-kuda biasa—yang dapat melesat dan terbang bak kelelawar, ia dapat kembali rehat ke rumah, dan keesokan hari, pagi-pagi sekali, ia sudah dapat kembali bertugas di ibukota Kerajaan. Pada suatu saat kuda sakti itu sakit, meskipun Putri Ma telah berusaha mengobatinya. Ma Wen Zhong kelimpungan. Ia terpaksa menggunakan kuda putih biasa, memecut lari kudanya secepat mungkin siang dan malam untuk kembali ke ibukota Kerajaan. Ketika pagi hari, lonceng yang menghadap kaisar mendentang lima kali, kaisar duduk di kursi kebesaran di dalam istana yang megah. Posisi bentara atau pengawal di barisan sisi kiri tampak kosong, tak terlihat Menteri Ma Wen Zhong yang seharusnya mengisi posisi pada barisan tersebut. Sementara di sebelah kanan, posisi Menteri Administrasi sudah berdiri sigap seperti biasa. Dalam laporan apel, seorang menteri berhati culas melapor tentang kealpaan Menteri Ma Wen Zhong. Dihasutinya Sang Kaisar dengan mengatakan bahwa tindakan indisipliner Menteri Ma Wen Zhong pantas dijatuhi hukuman mati karena telah melecehkan pertemuan sakral dengan Sang Kaisar. Namun Sang Kaisar tidak sertamerta termakan hasutan. Karena mengetahui loyalitas Menteri Ma Wen Zhong, maka diperintahkannya seorang tabib istana untuk segera ke kediaman Menteri Ma Wen Zhong yang terletak sangat jauh dari istana, juga dengan mengendarai kuda sembrani layaknya pejabat dan menteri-menteri Kerajaan. Mungkin saja ia mendadak sakit sehingga lalai ke apel Kerajaan. Namun apes bagi Ma Wen Zhong. Sebab ketika sang Tabib sampai ke rumah Wa Men Zhong, pembantu Ma Wen Zhong juga tidak mengetahui kemana gerangan tuannya pergi. Maka pulanglah sang Tabib dengan tangan hampa berita. Melaporkan kejadian miris kepada Sang Kaisar. Sang Kaisar murka luar biasa. Ia memerintahkan menangkap Menteri Ma Wen Zhong, yang menurut rumor telah melarikan diri dari tugas negara dan kemungkinan merencanakan pembelotan, setelah mendengar hasutan si Menteri Jahat tersebut. Selepas beberapa hari, muncullah Ma Wen Zhong dengan napas tersengal-sengal dan wajah pucat pasi. Ia menghadap Sang Kaisar dan menyampaikan permohonan maafnya. Ia menceritkana perkara keterlambatan dan kelalaiannya menghadiri apel Kerajaan beberapa hari lalu. Mulanya, Sang Kaisar mempercayai semua alasan Menteri Ma Wen Zhong, dan berniat mengabulkan permohonan maaf bawahannya tersebut. Namun pengaruh kekuasaan si Menteri Jahat telah membuat Sang Kaisar yang berkarakter lembek itu mengendur, dan tetap menjatuhkan amar penjara bagi Menteri Ma Wen Zhong. Sementara beberapa menteri lain yang bersimpati kepada Menteri Ma Wen Zhong pun tak ada yang berani menyanggah karena pasti akan mendapat diskredit dan antipati dari si Menteri Jahat yang memiliki pengaruh kuat dalam kemiliteran. Dalih kuda sembrani yang sakit dan kondisi buruk perjalanan dengan kuda putih biasa lantak oleh gebahan tangan Sang Kaisar. Menteri Ma Wen Zhong dipecat sebagai pejabat Kerajaan dan ia mesti dijatuhi hukuman penjara. Sementara di kediamannya, Putri Ma sangat bersedih mendengar kawat buruk tentang nasib naas ayahnya. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi kesehatan ayahnya yang rapuh karena uzur. Bagaimanapun, meski telah lalai terhadap aturan Kerajaan, namun ia masih mengharap pejabat istana dapat mempertimbangkan jasa-jasa baik ayahnya yang telah mengabdikan nyaris seluruh hidupnya bagi negara. Waktu berlau dengan cepat, dan mantan Menteri Pertahanan Ma Wen Zhong sudah pula sakitsakitan. Sang Kaisar yang merasa iba terhadap kesehatan Ma Wen Zhong mengambil inisiatif untuk mengurangi beban hukuman mantan pejabat negaranya itu. Ia juga berinisiatif mengobati penyakit Ma Wen Zhong dengan memerintahkan tabib istana menangani pasien tua itu. Namun niat baik 15
Weni L. Ratana
Sang Kaisar kembali dicacah oleh si Menteri Jahat, dengan dalih bahwa dengan 'kesaktian'-nya maka ia dapat menyembuhkan penyakit Ma Wen Zhong. Ia mengurai cara dengan mengatakan bahwa, Ma Wen Zhong akan dapat sembuh jika Keluarga Ma dapat menyediakan delapanbelas galon susu sapi jantan dalam tempo limabelas hari. Sang Kaisar yang selama ini hanya dapat mengkomsumsi daging sapi dan minum susu sapi, tidak mengetahui perbedaan sapi betina dan sapi jantan, dengan mudah mengabulkan permintaan si Menteri Jahat itu. Lalu maklumat Sang Kaisar dari ibukota Kerajaan turun di kota Yong Chun. Seluruh anggota Keluarga Ma menjadi bingung, dari mana mereka dapat memperoleh susu sapi jantan. Namun Putri Ma tenang dan tidak panik. Ia yang setiap hari naik gunung mencari tumbuhan obat dan jamujamuan untuk ramuan obat mengetahui bahwa, di sebelah timur Gunung Bai Zhang Yan, terdapat sebuah gua bernama 'Gua Pengambil Madu'. Maka, beserta beberapa orang, ia masuk ke dalam gua tersebut dan mengambil delapanbelas 'Kerucut Batu' (stalaktit), lalu dikemas dalam peti, dan segera dikirimkan ke ibukota Kerajaan. Tepat pada batas waktu limabelas hari, ia memperlihatkan 'Kerucut Batu' yang bagaikan payudara perempuan yang dapat meneteskan cairan air berwarna putih seperti susu dari langit-langit gua. Ia menjelaskan bahwa benda-benda tersebut juga disebut sebagai 'Payudara Batu', merupakan proses pembentukan alam ratusan bahkan ribuan tahun. Dari staklaktit itu akan mengeluarkan air mineral murni yang mengandung zat-zat mikro kimia yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Dipersilakannya Sang Kaisar meminumnya. Namun si Menteri jahat itu segera melarang Sang Kaisar agar tidak meminum air mineral itu. Melihat gelagat culas si Menteri Jahat, Putri Ma meyakinkan Sang Kaisar dengan meminum air mineral itu. Selang beberapa waktu, Putri Ma tidak mengalami kejadian apa-apa, seperti keracunan yang selama ini ditakutkan oleh Sang Kaisar. Maka Sang Kaisar pun tanpa takut juga meminum air tersebut. Setelah meminum air mineral itu, Sang Kaisar tampak segar dan puas. Dahaganya hilang seketika. Lalu ia mengungkapkan kegembiraannya terhadap usaha Putri Ma. Si Menteri Jahat berusaha mengintimidasi. Ia menyanggah dan membentak Putri Ma dengan mengatakan bahwa apa yang ia suguhkan kepada Sang Kaisar bukanlah 'Air Susu Sapi Jantan'. Dengan tenang Putri Ma menampik dusta si Menteri jahat dengan mengatakan: "Apa yang hamba suguhkan kepada Yang Mulia memang bukan 'Air Susu Sapi Jantan!" urainya dengan wajah seri. "Namun, apa yang saya persembahkan kepada Yang Mulia ini adalah 'Air Susu Batu'." Si Menteri Jahat murka, berteriak lantang. "Berani-beraninya kau membohongi Yang Mulia! Kau harus dihukum mati! Bukankah Yang Mulia meminta 'Air Susu Sapi Jantan', dan bukannya susususu yang lainnya?!" Wajah Sang Kaisar mulai mengkerut. Namun ia masih berdiam diri, dan mendengarkan penjelasan Putri Ma yang bijak. "Maafkan saya, Yang Mulia," ujar Putri Ma, masih setenang tadi. "Memang yang saya suguhkan bukan 'Air Susu Sapi Jantan'. Sebab sapi jantan memang tidak akan pernah dapat menghasilkan susu. Susu hanya dapat dihasilkan oleh sapi betina. Bukan jantan!" Mendengar penjelasan Putri Ma, terkesiaplah Sang Kaisar. Wajahnya memerah padam. Si Menteri Jahat malu luar biasa. Dusta besarnya terbongkar. Namun ia masih dapat berkelit dengan mengemukakan alasan dan beberapa pujian penjilatan kepada Putri Ma. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya memang bodoh, tidak mengetahui kalau ternyata sapi jantan tidak dapat menghasilkan susu," urainya berdalih. "Putri Ma ini memang cerdas. Hm, agaknya saya memang harus banyak belajar kepada gadis ini!" Akhirnya kebenaran terungkap. Sang Kaisar memerintahkan pengawal untuk membebaskan Ma Wen Zhong dari hukumannya, dan ia diangkat kembali sebagai pejabat Kerajaan. Dan untuk 16
Weni L. Ratana
menghargai kecerdikan dan kecekatan Putri Ma, maka ia mengangkat gadis bijak itu sebagai anak. Dianugerahinya Putri Ma sebagai Putri He Fung yang berharfiah Putri Harmonis dan Makmur. Diumumkannya seremoni dan pengangkatan Jin Ying sebagai putri kaisar, serta penganugerahan gelar tersebut ke seluruh negeri Tionggoan atas loyalitasnya terhadap negara dan baktinya terhadap orangtua. Bersama Putri Ma, Menteri Ma Wen Zhong mohon diri untuk pulang sebentar ke desa mereka. *** Kebatilan memang senantiasa meracau. Si Menteri Jahat masih berusaha menjegal Wa Men Zhong dan keluarganya ke dalam nestapa. Pejabat Kerajaan yang loyal itu dianggapnya pesaing, dan suatu waktu dapat menghalangi langkahnya untuk dapat duduk di kursi Kerajaan. Apalagi kini ia dibantu oleh putrinya yang cerdas, Jin Ying. Ia lantas mengusulkan kepada Sang Kaisar agar Putri Ma dijodohkan dengan salah seorang putra pejabat tinggi—yang senang berfoya-foya dan pandir. Tentu saja tujuan si Menteri Jahat adalah agar Putri Ma dapat terpisah dari ayahnya, dan Putri Ma sendiri terikat benang merah perkawinan dengan pemuda tak becus sehingga ia tidak dapat berbuat apaapa. Permohonannya dikabulkan oleh Sang Kaisar. Esoknya, dikeluarkanlah maklumat untuk memanggil Putri Ma kembali ke ibukota Kerajaan, melalui bentara Kerajaan yang langsung bergerak menjemput putri Menteri Ma Wen Zhong itu. Mendengar kabar buruk itu, dengan tenang Putri Ma menasehati ayahnya yang gundah dengan keputusan sepihak tersebut—apalagi ia tidak rela melihat putrinya menikah dengan pemuda anak pejabat Kerajaan yang tidak memiliki masa depan. "Ayah tenang saja. Saya pasti dapat mengatasi masalah ini," ungkap Putri Ma yakin. Dan diambillah keputusan yang kontradiktif, yang mau tidak mau harus dilakukan agar dapat terhindar dari marabahaya amarah Sang Kaisar jika menolak titah pernikahan yang diajukan: Membakar rumah mereka, dan menghilang seolah-olah dilalap api! Tibalah bentara Sang Kaisar di dusun Tao Xing dengan membawa maklumat. Namun setibanya di tempat tujuan, alangkah terkejutnya para bentara Kerajaan tersebut. Ternyata rumah Menteri Ma Wen Zhong sudah dilalap api. Bangunan rumah runtuh dan menyisakan puing-puing yang mengabu. Mereka akhirnya pulang kembali dengan membawa kabar miris dari kisah yang diutarakan oleh penduduk setempat. "Kami sudah tidak tahu di mana keberadaan Keluarga Ma. Sejak kebakaran itu, ada sebagian orang yang melihat mereka mengungsi ke pegunungan Bai Zhang Yan." Demikian ungkap salah satu penduduk yang ditanyai oleh bentara Kerajaan itu. "Namun, ada juga penduduk yang melihat, bahwa Putri Ma seketika bencana kebakaran itu, mencapai 'pencerahan sempurna'. Dan dia diangkat ke Langit menjadi dewi!" Lalu para bentara Kerajaan itu mengejar dan menyusul Keluarga Ma ke pegunungan Bai Zhang Yan. Namun lagi-lagi mereka pulang dengan hasil nihil. Sepulangnya ke istana, mereka menceritakan musibah miris yang menimpa Keluarga Ma tersebut pada Sang Kaisar. Sang Kaisar diajuk haru seketika. Kenangan akan patriotisme Menteri Ma Wen Zhong dan kecerdikan Putri Ma sangat membekas di hati dan benaknya. Maka untuk mengenang jasa-jasa Keluarga Ma, terutama keluhuran budi Putri Ma, maka ia membangun monumen dalam bentuk vihara yang ia namai 'Istana Putri'. Ia juga memerintahkan pejabat tinggi Kerajaannya untuk membuat rupam 'Putri Dewi' yang merupakan personifikasi Jin Ying alias Putri Ma. Seiring dengan bergulirnya sang waktu, legenda tentang keluhuran budi dan kebajikan Putri Ma berkembang pesat di Tiongkok. Vihara-vihara untuk mengenang keluhuran Putri Ma tersebut terus dilakukan oleh 17
Weni L. Ratana
masyarakat Tionghoa yang tersentuh akan moralitas itu. Dan pada perkembangannya, vihara-vihara itu pun lebih dikenal sebagai Vihara Ma Si, atau Vihara Dewi Bunda. *** Setelah peristiwa berlalu, banyak kegaiban yang diyakini masyarakat Tiongkok sebagai anugerah 'Dewi Bunda'. Dikisahkan, pada suatu zaman tidak lama setelah 'pencerahan sempurna' yang dialami oleh Jin Ying alias Putri Ma, seorang permaisuri pada sebuah kerajaan mengalami masa kritis saat hendak melahirkan. Sang Kaisar sangat cemas dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar ibu dan sang bayi dapat selamat. Ia pun berdoa dengan khusyuk. Tidak lama berselang, bayinya pun lahir dengan selamat. Dan menurut pengangkuan Sang Permaisuri, bahwa sesaat sebelum melahirkan, ia didatangi seorang dewi berpakaian putih dengan membawa semangkok 'Air Susu Batu' atau air mineral, sehingga begitu menenggaknya, ia langsung dapat melahirkan. Sang Permaisuri menjelaskan ciri khas dan wajah berseri dewi itu. Sang Kaisar pun tidak meragukan kalau dewi itu adalah jelma Putri He Fung yang lebih lazim disebut Putri Ma semasa meraga di dunia sebagai manusia. Pun ketika terjadi sebuah kebakaran besar di sebuah istana. Api yang berkobar ganas tak mampu dipadamkan oleh pengawal-pengawal istana. Tiba-tiba muncullah sesosok dewi berpakaian putih dari balik awan. Ia terbang mengitari kobaran api, dan mengipaskan kipas yang berada digenggamannya sebanyak tiga kali. Tak lama berselang setelah mengipas, maka turunlah hujan deras secara tiba-tiba. Api pun padam seketika. Ketika membersihkan puing-puing hasil kebakaran, seorang pengawal istana menemukan sebuah kipas, dan menyerahkan kepada Sang Kaisar. Dengan sangat terkejut, Sang Kaisar membaca syair yang tertulis di permukaan 'Kipas Sakti' itu. "Budi Ayahanda Kaisar yang telah menobatkan AKU sebagai anak angkat dan putri, tidak akan luntur sepanjang masa. Vihara Bai Zhang Yan yang Megah dan Indah, persembahan Anda, tak akan terlupakan sepanjang Masa. Kipas Tiga Kali-KU, untuk membalas budi Anda." Sang Kaisar hanyut oleh haru. Ia yakin putri angkatnya, Putri He Fung masih memberkatinya. Untuk mengenang peristiwa yang berkesan barusan, maka diperintahkannya kembali para pengawalnya untuk membuat piagam bertulis 'Dewi Tiga Sakti' untuk disematkan dan dipajang di dalam Vihara Bai Zhang Yan. Sejak saat itu, Vihara Bai Zhang Yan melegenda bersama sosok mulia Dewi Bunda Ma Si.
18
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Dewa Reksa Arta PROLOG Dalam mitologi China, banyak tokoh yang dapat dijadikan panutan bagi pengembangan batin dan moralitas. Tak ada batasan strata maupun gender yang menjadi aral dalam pembentukan karakter bijaksana tersebut. Mereka dapat dari kalangan apa saja. Bangsawan ataupun jelata. Laki-laki maupun perempuan. Sebab sosok demikian, murni lahir dan berangkat dari sebuah cita luhur. Maka dalam perkembangan zaman, mereka tidak pernah dapat dilupakan oleh rakyat. Menjadi legenda turun-temurun, diteladani dan disanjung setinggi langit. Mereka adalah maharesi yang mengisi dunia ini dengan cinta dan kasih. Mereka adalah manusia-manusia yang diradi Langit. Dan salah satunya adalah Zhao Gong Ming, Sang Dewa Reksa Arta. *** Sesungguhnya ada dua sosok Sang Dewa Reksa Arta yang merupakan jelma jelata menjadi totem di Langit. Sosok pertama adalah Dewa Reksa Arta Wu dan yang kedua adalah, Dewa Reksa Arta Wen. Dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno, masing-masing 'dewa' tersebut memiliki tugas dan tanggung-jawab masing-masing. Pembedaan lainnya adalah, mereka secara 'jasadi' memiliki bentuk sosok yang lain di antara masing-masing figur. Penggambaran Dewa Reksa Arta Wu misalnya, berwajah hitam mengenakan zirah besi khas bentara kekaisaran dengan tangan memegang 'koin' tipikal kuna Tionggoan. Ia kerap menunggangi seekor macan hitam sementara tangannya yang lain memegang cemerti sakti. Cikal bakal penembahan Dewa Reksa Arta Wu ini bermuasal dari moralitas dan dedikasi yang telah diaplikasikannya bagi lingkungan rakyat sekitarnya. Tersebutlah Zhao Gong Ming. Ia merupakan salah satu jelata yang berasal dan lahir di Zhao Nan Shan, Tiongkok. Hampir sepanjang perjalanan semasa kecil dan mudanya, ia berkubang terusmenerus di dalam kemiskinan. Praktis Zhao Gong Ming muda menggantungkan hidupnya dari mengemis belas kasihan orang-orang. Semua ini demi menghidupi ibunya yang sudah tua dan uzur. Legenda mengungkap bahwa 'dewata' di Langit tersentuh oleh baktinya yang demikian besar terhadap ibunya itulah, sehingga kemudian ia diberi anugerah rezeki melimpah. Pada suatu ketika, ketika rundungan kelaparan yang nyaris merenggut nyawa kedua ibu-beranak itu, maka 'dewata' menurunkan sebuah 'mangkuk sakti' yang dapat menghasilkan harta emas. Maka, sejak saat itu, Zhao Gong Ming menjadi salah satu orang terkaya di desanya. Berbekal karunia 'kekayaan' dari Langit itu pula ia membantu penduduk miskin tanpa berpamrih dan tanpa pandang bulu. Ia menjadi satu-satunya dermawan yang tidak angkuh dan sombong. Ia disayangi oleh rakyat. Dan sejak saat itu pula namanya mulai melegenda. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan.
19
Weni L. Ratana
Namun kebatilan senantiasa menangkup bagai jelaga awan hitam di atas langit. Zhao Gong Ming yang berpekerti baik dimusuhi oleh beberapa bangsawan dan saudagar jahat yang menganggapnya telah merenggut popularitas mereka. Simpati penduduk terhadap Zhao Gong Ming yang palamarta pula dianggap sebagai hal yang memalukan bagi mereka yang berstatus sosial tinggi. Sebab sudah turun-temurun keluarga mereka telah menjadi pandega dan pemuka masyarakat. Maka pada suatu ketika, mereka berkonspirasi untuk melenyapkan nyawa Zhao Gong Ming. Mereka lalu membayar beberapa perewa untuk melakukan aksi tidak berperikemanusiaan tersebut. Dan dalam sebuah skenario insiden pembunuhan, para perewa tersebut membakar tubuh Zhao Gong Ming sehingga jasadnya hancur mengarang dan wajah insan berbudi luhur itu menghitam—inilah penggambaran mengapa wajah Dewa Reksa Arta Wu Zhao Gong Ming adalah hitam. Jiwa almarhum Zhao Gong Ming kemudian diangkat ke Nirwana oleh Kaisar Langit, Yi Huang Da Di, dan berangkat dari kebajikan dan kedermawanannya, maka ia dianugerahi sebagai Dewa Reksa Arta Wu. Ia diberi amanat dan bertugas sebagai pemimpin 'Asta Reksa Pengrajin Emas dan Perak', yang melindungi harta para dermawan dari perampok atau saudargar hitam yang bersekutu dengan makhluk autotrop untuk mencuri. Ia pulalah yang mengatur kekayaan insan di dunia sesuai pahala dan budi baik yang mereka lakukan. Mengemban tugas mulia dari Langit tersebut, Dewa Reksa Arta Wu Zhao Gong Ming diberi seekor macan hitam sebagai kendaraan tunggang yang loyal dan mengikutinya ke mana saja. Ia juga diberikan seekor burung Hong Emas—phoenix—yang dapat menempuh jarak mahapanjang, dan bertugas sebagai infois yang dapat membedakan insan batil maupun bajik. Dari informasi burung Hong Emas itu pulalah maka ia dapat menimbang 'pembagian' harta bagi masing-masing pelaku kebajikan. Semakin besar pahala baik seseorang, maka makin besar pulalah rezeki dan harta yang akan diperolehnya. *** Legenda tentang Dewa Reksa Arta Zhao Gong Ming sebenarnya beredar dalam berbagai versi. Namun yang paling populer selain kisah di atas tadi adalah pengisahan dirinya dalam cerita rakyat yang bernama Feng Shen Yan Yi—Kisah Wisesa Widyaiswara Hong Sin. Tersebutlah seorang pertapa bernama Zhao Gong Ming yang tekun melatih dan mengasah pancacita demi pengembangan kehidupan rakyat yang lebih baik. Ia tulus bersemedi di sebuah gunung bernama Omei. Pada akhir kekuasaan Dinasti Shang, ia diundang oleh Kaisar Zhou untuk menghadapi Jiang Zi Ya, yang merupakan tokoh penting antipemerintah rival utama Kekaisaran. Mengemban amar dari Sang Kaisar, ketika ia turun gunung untuk mencari Jiang Zi Ya, Zhao Gong Ming dihadang seekor macan berbulu hitam di sebuah hutan kaki gunung. Pergulatan dengan binatang buas tersebut tak dapat dihindari. Berbekal kesaktiannya sebagai maharesi, maka dengan mudah Zhao Gong Ming dapat menaklukkan sang Macan Hitam itu. Selang berikutnya, ia dapat membudaki macan berbulu hitam tersebut sebagai kendaraan tunggangnya. Sejak saat itulah sang Macan Hitam bertubuh sebesar kuda itu menjadi abdi bagi Zhao Gong Ming. Akhirnya, bersama sang Macan Hitam, Zhao Gong Ming terus mencecar dan memburu Jiang Zi Ya. Dalam sebuah pertemuan penuh amarah, mereka bertarung sengit. Berbekal cemeti saktinya, Zhao Gong Ming dapat mengalahkan Jiang Zi Ya. Nasib baik masih berpihak kepada Jiang Zi Ya, sebab ia dapat meloloskan dirinya dari sergapan Zhao Gong Ming yang hendak membunuhnya. Dengan tubuh luka-luka dan berlumuran darah, ia melarikan diri dari cengkeraman sakratulmaut. Jiang Zi Ya yang tengah berputus asa bertemu dengan seorang rahib Tao sakti, yang berasal dari daerah 20
Weni L. Ratana
perbukitan Khung Lung. Ia berguru ilmu pada maharesi itu. Dan setelah merasa sudah siap untuk bertarung, maka ia berangkat untuk mencari Zhao Gong Ming. Suatu ketika mereka bertemu dan bertarung kembali. Dalam pertarungan tersebut, Jiang Zi Ya yang sudah memiliki kesaktian tinggi dapat membunuh Zhao Gong Ming. Setelah pertarungan itu, alkisah, Jiang Zi Ya yang sesungguhnya seorang jelata berpekerti baik namun kontrapemerintah nan zalim, mendapat karunia dari Langit. Ia diberi kitab 'Yu Fu Jin' dari Kaisar Langit yang lebih lazim dikenal sebagai Yuan Shi Tian Cun. Kitab tersebut merupakan madah sakti yang dapat mengangkat arwah seseorang menjadi 'dewa'. Memanuti amar dan putusan Langit yang memprioritaskan 'dewa' berasal dari manusia berbudi luhur, maka tanpa dilandasi 'perseteruan'-nya yang pernah terjadi dengan Zhao Gong Ming semasa mendiang masih hidup sebagai manusia, ia mengangkat arwah 'musuh'-nya itu menjadi 'Jin Long Ru Yi Zheng Yi Long Hu Xuan Tan Zhen Jun' atau Dewa Reksa Arta yang memimpin dan mengatur kekayaan manusia pada Dunia Belahan Timur. Kemudian, tidak lama berselang pada saat bersamaan, Jian Zi Ya pun menitahi Na Zhen Tian Cun Ji Bao, juga dewa berstrata sama yang berasal dari manusia bajik, memimpin dan mengatur kekayaan manusia di Dunia Belahan Barat. Zhao Cai Shi Zhe Deng Jiu Gong yang bermuasal serupa mereka berdua tadi, memimpin dan mengatur kekayaan manusia di Dunia Belahan Selatan. Dan terakhir adalah, Xian Guan Tao Shao Si. Tugas salah satu dari empat Dewa Reksa Arta ini memimpin dan mengatur kekayaan manusia di Dunia Belahan Utara. Itulah ihwal empat sosok Dewa Reksa Arta yang ditugasi mengatur kekayaan dan kemakmuran manusia. Kisah yang melegenda tersebut disikapi sebagian masyarakat Tionghoa sebagai pedoman dalam pengembangan pancacita: sebuah pencerahan batin dalam rangka pencapaian kebahagiaan, kemakmuran, kesejahteraan, kekayaan, dan kesehatan. Bersama Jiang Zi Ya, keempat dewa itu kerap disebut Wu Lu Cai Shen atau Dewa Reksa Arta Lima Penjuru. Dan setiap penanggalan lunar imlek yang jatuh pada tanggal limabelas bulan tiga, masyarakat yang masih turun-temurun mereplikasi kebajikan jelata jelma 'dewa' tersebut pasti merayakan seremoni 'ulangtahun' yang mengacu pada hari kelahiran Zhao Gong Ming. ©
21
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Samantabhadra PROLOG Kebijaksanaan merupakan landasan dalam mencapai 'pencerahan'. Berangkat dari hal itu pulalah maka seorang jelata sekalipun dapat mengaplikasikan kebajikan demi sebuah cita luhur, pancacita. Adalah Samantabhadra Bodhisatva, yang merupakan sosok maharesi yang menjelma rani ketika perjuangannya dalam mendukung nilai-nilai dalam dharma atau kebenaran sejati dijalankannya tanpa pamrih. Ia tidak pernah berputus asa dalam menyebarkan ajaran kebajikan bagi semua orang. *** Bersama Sakyamuni Tataghata, dan sahabat resinya, Manjusri Bodhisatva, kedua-duanya lantas turun ke dunia fana yang dihuni manusia untuk menyebarluaskan kebenaran sejati. Manjusri Bodhisatva menunggangi seekor singa, berada di sebelah kiri Sakyamuni Tataghata, sementara Samantabhadra menunggangi seekor gajah berada di sebelah kanan. Dalam perjalanan waktu, ketika 'makhluk suci' tersebut digelari Tri Suci Avatamsaka berharfiah 'Tiga Makhluk Suci dari Surga Avatamsaka', oleh masyarakat Tiongkok kuno yang mentrinitaskan mereka. Samantabhadra mengandung arti 'Kebijaksanaan nan Purna'. Dikisahkan oleh riwayat, ada tiga muasal penembahan sosoknya sehingga melegenda. Pertama, ia merupakan putra kedelapan dari Raja Cakravirtin yang pernah berkuasa di Jambudipa—kini India. Kedua, ia merupakan putri ketiga dari Kaisar Miao Zhuang yang pernah berkuasa di Tionggoan. Ketiga, merunut Avatamsaka Sutra dalam kitab kuna masyarakat Tionghoa yang sudah berasimilasi dengan buddhisme, semua Tataghata alias Sang Pembabar Kebenaran memiliki putra sulung yang bergelar Samantabhadra. Hal ini merujuk kalau Samantabhadra merupakan putra semua Tataghata yang ada. Menurut mitologi Tiongkok pula, dikatakan ketika Sang Tataghata mangkat, maka ia dianugerahi 'mukjizat' Langit, dapat mengerupa halimun dan mentransformasi diri menampakkan sosoknya di hadapan banyak orang pada saat yang sama, pada daerah yang berbeda-beda. Ia akan melindungi masyarakat dari gangguan para mara yang merupakan perwujudan setan dan autotrop hitam kejahatan lainnya. Dalam memperjuangkan kebenaran sejati Langit itulah ia selalu menekankan sepuluh usaha luhur dalam pencapaian pancacita. Dan sepuluh usaha luhur itu adalah: Menghormati semua Tataghata atau Sang Pembabar Kebenaran, mengagungkan Tataghata, dermawan, pertobatan, kebajikan, santri dalam rambu kebenaran dan dharma, bakti pada Kebenaran Langit, permenungan kebaikan dan semedi, menularkan kebajikan, dan doa. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Samantabhadra Bodhisatva dengan cita-cita luhur tanpa pamrih hadir di tengah-tengah kehidupan manusia untuk mengangkat manusia dari nista dan kubangan dosa. 22
Weni L. Ratana
Dikisahkan pula, pada salah satu riwayat perjuangannya yang gigih, ia pernah bereinkarnasi jelma manusia dan lahir sebagai jelata yang pada akhirnya memilih menjadi rahib bernama Shi De. Pada suatu hari seorang rahib bernama Feng Gan dari puri Guo Qing melewati jalan di desa Chi Cheng, mendengar suara tangisan anak-anak di tengah padang ilalang di dekat hutan flora berusia ratusan tahun. Ia mendekati asal suara tangis itu, mendekat dan bertanya. "Hei, bocah. Gerangan apakah yang membuatmu menangis?" tanyanya prihatin. Si Bocah menjawab. "Saya tidak memiliki rumah. Tidak memiliki marga. Juga tidak punya nama." Rahib Feng Gan iba, dan membawa bocah itu pulang ke puri. Dirawatnya si Bocah tadi dengan memberinya sandang dan pangan yang layak. Di dalam puri si Bocah itu bertugas mencuci dan memasak makanan untuk rahib-rahib lainnya. Ia pun diberi nama Shi De yang berharfiah 'Anak Pungut'. Shi De adalah anak yang pintar dan cerdik. Praktis hanya dalam tiga tahun, ia dipercayakan menjadi koki utama di puri. Alkisah, pada suatu hari ketika tidak ada seorang pun yang melihatnya, ia naik ke altar rupam dan mencaci-maki sebuah rupam. "Hei, kau sungguh tidak berguna! Hanya duduk berdiam saja di altar. Diberi persembahan dan makanan enak. Namun, apa aplikasi kebajikanmu bagi masyarakat? Tidak ada! Sebab kau hanya duduk sehari-harian, diam dan hanya enak-enakan di sini! Sungguh tidak memiliki rasa empati terhadap sesama yang tengah dilanda derita. Sungguh tidak berdaya dan bertanggung-jawab terhadap mereka yang tengah kesusahan." Tindakan 'kurang ajar' Shi De terhadap rupam itu diketahui oleh seorang rahib bernama Ling Hui. Sertamerta ditegur dan dimarahinya Shi De yang telah melakukan pelanggaran keras terhadap 'kesucian' rupam. Shi De dianggap 'gila', dan sejak kejadian itu ia dipecat sebagai koki utama, dan jabatannya kembali diturunkan sebagai pencuci piring dan mangkok. Shi De yang berbakti mematuhi keputusan yang mendiskreditkannya itu, dan sama sekali tidak menyimpan dendam. Dilaluinya hari-harinya yang keras dengan tabah tanpa sekalipun mengeluh. Pada saat itu ia berteman dengan seorang rahib kecil bernama Han Shan yang juga bertugas di dalam dapur puri. Solidaritasnya yang besar sering membuatnya rela berkorban tidak makan untuk hari itu ketika melihat sahabat kecilnya kelaparan lantaran jatah makanan yang telah dihabiskan oleh rahib senior. Jatah makanannya itu direlakannya untuk Han Shan, dan biasanya ditaruh di dalam bambu agar tidak ketahuan. Pada suatu hari, makanan dan buah-buahan persembahan untuk rupam dimakan oleh burung-burung liar. Shi De yang marah memukul sebuah rupam 'Dewa Gunung' dengan tongkat kayu, dan memaki rupam tersebut dalam versi bocah. "Hei, lihatlah. Bahkan burung-burung itu saja tidak dapat kau usir, bagaimana kau dapat menolong rakyat jelata? Huh, gara-gara kau yang tidak becus, matilah saya. Saya pasti dimarah habishabisan." Konon, malamnya, 'dewa' yang bersemayam di dalam rupam itu melaporkan kejadian siang tadi kepada rahib Ling Hui lewat mimpi. "Biksu Ling Hui nan Bijak, saya adalah 'Dewa Gunung'. Siang tadi rahib bocah Shi De telah memukul saya. Ia memukul saya karena menganggap saya tidak becus. Saya akhirnya tersadar bahwa selama ini saya memang telah lalai dan membutakan nurani saya melihat umat manusia yang dicacah kejahatan! Saya menyampaikan penghargaan sebesar-besarnya kepada biksu Shi De, karena kelak ia merupakan maharesi nan bijaksana." Ketika terbangun, rahib Ling Hui langsung ke ruangan utama puri di mana altar rupam 'Dewa Gunung' berada. Diperiksanya rupam besar berdiameter seorang dewasa itu dengan seksama. Dan alangkah terkejutnya ia ketika mendapati bilur bekas pukulan pada rupam tersebut. Setelah kejadian 23
Weni L. Ratana
itu, rahib Ling Hui mafhum dan menyadari kalau seorang rahib bocah bernama Shi De memang bukan anak biasa. Ia adalah cikal-bakal samana atau maharesi nan bijak. *** Pada suatu ketika pula, dikisahkan bahwa Shi De memiliki kebijaksanaan tinggi meskipun ia masih kanak-kanak. Suatu hari rahib bocah Han Shan yang merupakan sahabat terbaik Shi De bertanya. "Sahabatku biksu Shi De, bagaimana saya harus menyikapi perlakuan orang-orang di dunia ini terhadap saya? Saya senantiasa dihina, direndahkan karena berkasta rendah, menyerang bahkan memukuli saya tanpa sebab?" Shi De dengan bijak menjawab. "Biksu Han Shan yang baik, hanya dengan bersabar dan tabah maka kau dapat mengendalikan orang-orang yang menzalimimu. Dalam perjalanan waktu nanti, orang-orang lalim tersebut pasti akan mendapat balasan buruk dari karma dan perbuatan batilnya sendiri." Kisah kebijaksanaan Shi De melegenda seiring bergulirnya sang waktu. Kisah-kisah barusan hanyalah segelintir dari banyak riwayat yang menyoal kebajikannya semenjak masih kanak-kanak hingga dewasa. Dan setelah selesai 'merampungkan' tugas mulianya membabarkan kebenaran, maka Shi De berbekal seluruh kebajikannya yang tulus tak berpamrih pun diangkat sebagai totem Langit. Ia menyertai dan mendampingi Sang Tataghata menjadi sebuah kesatuan yang tak terpisahkan dalam jalan kebenaran. Masyarakat Tionghoa sangat memuja kebijaksanaannya, dan setiap penanggalan lunar imlek yang jatuh pada tanggal duapuluh satu bulan dua, maka orang-orang yang masih memegang teguh pada prinsip kebajikannya pasti akan merayakan hari kelahirannya dengan khusyuk. ©
24
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Manjusri PROLOG Aplikasi kebajikan dapat berbentuk apa saja. Tidak menyoal bagaimana dan dengan apa pengorbanan itu dilakukan. Tidak penting apakah sosok bijak tersebut mempersembahkan jiwa atau raga. Namun semuanya berpulang pada ketulusan dan kesungguhan. Ada figur 'pahlwan' yang mengorbankan jiwa dan raganya demi tercapainya sebuah hal luhur pancacita. Ada pula yang mendedikasikan kebajikan tersebut dalam bentuk kebijaksanaan dan ajaran moralitas. Semuanya sama. Semuanya memiliki takaran berimbang, tanpa deskripsi lebih atau kurang. Yang pasti, semua hal yang mereka lakukan toh pada akhirnya akan bermuara pada hal yang sama pula. *** Tersebutlah Manjusri Bodhisatva. Dalam mitologi Tiongkok ia karib disebut Wen Shu She Li. Kadang-kadang ia disebut Miao De yang berharfiah 'Kebijaksanaan Mulia' dan Miao Ji Xiang yang berharfiah 'Berkah Termulia'. Alkisah, di antara maharesi jelma totem Langit, ia merupakan pengawal Sakyamuni Tataghata dalam membabarkan kebenaran sejati. Oleh karenanya, ia juga digelari Wen Shu She Li Wang Zhi yang berharfiah Wen Shu She Li, Si Putra Mahkota. Dan ia berdiri pada posisi sebelah kiri Sakyamuni Tataghata. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Konon dalam kehidupannya sebelum mencapai 'pencerahan', dalam setiap reinkarnasinya yang berasimilasis manusia, ia pernah menjadi guru pembimbing dari tujuh resitama yang merupakan cikal-bakal maharesi yang kelak berandil besar dalam pengembangan kebenaran sejati. Dalam tiga fase kalpa yang sangat panjang, ia sudah merintis jalan-jalan menuju 'pencerahan' bagi resitamaresitama tersebut. Makanya, ia juga digelari 'Berkah Termulia dari Pencerahan Tiga Kala'. Dalam sebuah fase kalpa kehidupan yang telah dilaluinya dengan gigih tanpa berputus asa, Wen Shu She Li sebenarnya telah mencapai 'pencerahan'. Sesungguhnya pula, ia sudah berhasil menjadi totem Langit dan maharesi karena jasa-jasa baiknya selama hidup. Namun ia menampik 'pengangkatan' dirinya itu dengan melaburkan dirinya kembali dalam abdi buana demi melihat penderitaan manusia yang tidak ada hentinya. Masyarakat Tiongkok kuno hingga kini sangat menghargai jasa-jasanya yang penuh dengan pengorbanan. Ia merupakan salah satu maharesi Langit yang menanggalkan takhta Kerajaan Langit semata-mata demi kepentingan manusia. Gelimang keterpurukan dan dosa manusia menggugah nuraninya untuk tetap dapat bereinkarnasi di dalam alam-alam berstrata rendah, menjadi resi dan pengajar kebajikan agar manusia luput dari angkara. Salah satu retasis kemanusiaannya adalah ketika lahir di Jambudipa—kini India. Ia merupakan putra dari seorang brahmana di Sravasti. Waktu lahir, konon, halaman istananya ditumbuhi bunga 25
Weni L. Ratana
teratai dan menyeruakkan wangi tak tergambar kata. Ia lahir gaib dan tak galib, melalui salah satu tubuh sang Ibunda yang bukan merupakan organ reproduksi. Ia juga dapat langsung berbicara ketika lahir. Dan ketika beranjak remaja, maka ia menjadi pengikut Sakyamuni Tataghata yang pada saat itu hidup sezaman dengannya. Kebijaksanaannya yang tinggi serta toleransinya terhadap kehidupan papa jelata membuatnya cepat mencapai 'pencerahan'. Dalam beberapa tahun setelah mengikuti Sakyamuni Tataghata sebagai salah satu siswa teladan, maka bersama Sang Tataghata sendiri berserta sahabat resinya yang juga berdedikasi tinggi, Pu Xian Pu Sa yang lazim disebut Samantabhadra, ia kembali mendapat gelar wisesa, Tri Suci Avatamsaka—Tiga Maharesi dari Surga Avatamsaka. Kebijaksanaannya melegenda. Sedari dulu, masyarakat Tiongkok kuno hingga kini pun masih memujanya. Ia bahkan dirupamkan sebagai sosok yang memegang dao—pedang kebijaksanaan pada tangan kanannya, serta sebuah kitab bernama Maha Prajna di tangan kirinya. Ia berdiri di atas sebuah teratai yang melambangkan kesucian. Di daerah pegunungan Wu Tai yang terletak di propinsi Shan Xi, masyarakat bahkan membangun sebuah puri khusus untuk mengenang napak tilas Wen Shu She Li alias Manjusri Bodhisatva. Seiring dengan bergulirnya sang waktu, pada kekuasaan Dinasti Tang, di daerah pegunungan Wu Tai bahkan merebak tiga ratusan puri puja serupa yang menampung puluhan ribu rahib. Seiring perkembangan zaman pula, hingg kini Wu Tai menjadi salah satu ranah suci nan sakral. ©
26
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Laksamana PROLOG Alkisah, adalah Shi Lang yang hidup pada saat kekuasaan Kaisar Khang Xi, Dinasti Qing (16211697). Lahir di sebuah desa bernama Jin Jiang Ya Kou, Tiongkok, Shi Lang merupakan laksamana ternama yang memimpin armada angkatan laut Kaisar Khang Xi di Fujian, China. Pada tahun 1683, saat penyatuan Taiwan ke Tiongkok, ia merupakan salah satu tokoh yang berandil besar. Jasajasanya dikenang masyarakat Tionghoa sampai saat ini, dan sejak saat itulah kisah maupun riwayat hidupnya menjadi legenda, dibicarakan dari mulut ke mulut. Dan semuanya berihwal dari sifat patriotiknya yang sangat mengagumkan. *** Pada suatu ketika, ibunda Shi Lang sakit keras. Shi Lang, sebagai anak yang berbakti, berusaha mencari cara agar dapat menyembuhkan ibunya. Namun usahanya senantiasa kandas, dan obat mujarab yang sekiranya dapat menyembuhkan sakit ibunya tersebut selalu berbuah nihil. Pada suatu hari, ia mendengar bahwa di Yong Chun Bai Zhang Yan, pada sebuah vihara bernama Vihara Ma, ada seorang perempuan bermarga Ma yang mampu mengobati segala macam penyakit. Ia pun menghatur pamit pada istrinya, dan menyampaikan pesan agar istrinya merawat ibunya dengan sebaik-baiknya. Shi Lang kemudian berangkat sendiri ke Gunung Bai Zhang Yan meski langit sudah menggelap dan sudah beranjak malam hari. Di dalam perjalanannya yang jauh dan sangat melelahkan, ia beristirahat di sebuah hutan. Saat tertidur karena kelelahan, ia bermimpi bertemu dengan seorang perempuan bermarga Ma—orang yang hendak dijumpainya di Gunung Bai Zhang Yan. Dalam mimpinya pula, perempuan beraura putih tersebut dengan kalimat bijak menyampaikan padanya untuk bersabar. Sakit ibunya akan sembuh dalam tempo sepuluh hari. Pada saat Shi Lang bertanya, masih dalam mimpinya, obat apa gerangan yang dapat ia berikan untuk 'penyembuhan' itu, sosok perempuan serupa dewi itu menghilang seiring dengan sekerjap cahaya sinar matahari yang menyaput sepasang matanya. Rupanya, Shi Lang terbangun oleh usik matahari pagi yang mulai membenderang. Dengan langkah gegas, ia melanjutkan perjalanan panjangnya untuk mencari obat bagi kesembuhan penyakit ibunya. Hari demi hari berlalu, akhirnya sampailah ia di Gunung Bai Zhang Yan. Setelah mencapai tempat yang ia tuju, Vihara Ma, ada seorang biksu yang tampak tergopoh-gopoh dan buru-buru mendatanginya. "Apakah Anda Tuan Shi Lang?" Shi Lang mengangguk dan menjawab. "Benar, Biksu." Biksu itu pun mengeluarkan sembilan bungkusan berisi ramuan obat, dan mengajarkan pada Shi Lang bagaimana cara menggodok ramuan obat tersebut nantinya. Setelah itu ia menghilang. Shi Lang takjub bukan kepalang tanggung. Ia merasa seperti sedang bermimpi. Dua kejadian gaib dialaminya dalam tempo yang hampir bersamaan. Ia tak sempat berterima kasih karena 'sosok biksu' itu telah menghilang seperti ditelan cahaya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ia segera pulang membawa 'obat' untuk ibunya. Serangkaian perjalanan panjang kembali dilaluinya tanpa merasa letih. Ia demikian bersemangat. Ia yakin dewata di Langit berupaya menolong keluarganya dengan menampakkan mukjizatnya dalam bentuk mimpi serta jejelma 'biksu' di Gunung Bai Zhang 27
Weni L. Ratana
Yan. Setelah tiba di rumahnya, Shi Lang langsung menginstruksikan istrinya untuk menggodok ramuan obat mujarab yang berasal dari 'dedewa' tersebut. Setelah diminum tiga kali, sakit ibunya berangsur membaik. Sesuai instruksi dari 'biksu' di Gunung Bai Zhang Yan pula, godokan obat diminum tiga kali lagi sebagai pengobatan terakhir, maka benar-benar sembuhlah ibunya itu. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Setelah ibunda Shi Lang sembuh, ia memanggil anaknya untuk mengawalnya ke Vihara Ma di Gunung Bai Zhang Yan. Perempuan tua itu bermaksud menyampaikan terima kasihnya kepada dedewa. Namun Shi Lang pada saat bersamaan mendapat tugas dari Kaisar Khang Xi untuk melatih pasukan dari armada angkatan laut, maka ia mengundurkan jadwal ibunya tersebut hingga setengah tahun mendatang. Suatu ketika, pada saat berbaring di belakang rumahnya, di bawah sebatang pohon long yan nan rimbun, Shi Lang tertidur dibuai kantuk dari sepoi-sepoi angin. Dalam lelapnya, ia bermimpi tengah menyusuri suatu tempat serupa pegunungan berapi yang telah masif. Ia berjalan lamat, di antara tebing-tebing dan gigir kawah yang telah mengkristalkan aliran larva menjadi bebatuan. Di sana ia bertemu seorang lelaki paruh baya yang menyampaikan sebuah amanat kepadanya. "Shi Lang, tempat ini bernama Xue Shan Yan, terletak di desa Yong Chun. Dulunya tempat ini adalah sebuah kawah berapi sebelum ditutupi rambun salju menjadi gunung es. Jauh di depan sana, ada sebuah arca batu hasil bentukan alam dari kumpulan larva yang telah membeku. Pindahkanlah 'batu' itu ke Gunung Bai Zhang Yan sebagai bukti baktimu kepada Dewata di Langit. Sekaligus membalas jasa-jasa baik Dewata yang telah memberi ibumu penyembuhan kala sakit dulu!" Ketika terbangun dengan napas tersengal-sengal, Shi Lang terpekur lama sampai akhirnya menyadari kesalahannya. Ia memang telah mengabaikan ucapan dan bakti terima kasih kepada Langit. Betapa tidak, setelah kesembuhan ibunya, ia tidak pernah sekalipun berkunjung ke Gunung Bai Zhang Yan lagi sekedar mengucap syukur atau terima kasih. Mungkin semua ini hanya bunga tidurnya saja, namun hati kecilnya menggejolak baur dan mengatakan ada sesuatu yang telah dilalaikannya selama ini. Mendadak pula, ia merasa sangat bersalah. Dan sejak saat itu pula, maka ia bertekad untuk 'membalas' apa yang telah dianugerahkan Langit kepadanya dengan sebentuk kebajikan. Maka esoknya, ia memutuskan pergi ke tempat seperti apa yang dilihatnya dalam mimpinya tersebut. Sebuah pegunungan dan kawah berapi masif bernama Xue Shan Yan, di desa Yong Chun. Keyakinannya akan mukjizat totem membuncah saat ia mendapati jawaban pasti bahwa tempat yang ia tuju memang ada, saat ia bertanya ke salah seorang penduduk desa. Ini memang bukan mimpi biasa! Perjalanan panjangnya memakan waktu tiga hari tiga malam. Tibalah ia di tempat yang diamanatkan orangtua bijak dalam mimpinya tempo hari. Alangkah takjubnya ia. Segalanya persis dengan apa yang telah ia lihat dalam mimpinya. Disusurinya kemudian tebing curam berambun salju yang lembab dan licin. Lalu ketika sudah cukup jauh berjalan, ia berhenti di sebuah gigir bekas aliran larva. Sontak tubuhnya mengejang. Matanya tersita pada sebuah batu besar menyerupai 28
Weni L. Ratana
lilin raksasa, tegak berdiri di hadapannya. Inilah arca batu hasil pembekuan larva yang dimaksud dalam mimpinya. Namun Shi Lang bergidik untuk sesaat. Dengan kekuatan dan kemampuan terbatas seperti ini, mana mungkin ia dapat memboyong 'batu' itu menuju ke Gunung Bai Zhang Yan yang jauhnya tak terkira itu? Tetapi Shi Lang tak berputus asa. Ia harus menepati ikrarnya untuk 'membalas' jasa-jasa baik Dewata terhadap keluarganya. Maka ia turun lagi ke kaki gunung tanpa merasa lelah, dan menghampiri sebuah dusun terdekat untuk meminta bantuan penduduk yang dapat membantunya. Berbekal beberapa orang lelaki muda dan seorang pengrajin kayu yang membawa muntik atau sejenis gerobak kayu, maka Shi Lang kembali mendaki dan menyusuri gunung. Mereka bahumembahu menggotong 'batu' tersebut. Mulanya 'batu' itu sama sekali tidak bergerak karena bobotnya yang sangat berat. Namun dengan niatnya yang sungguh-sungguh dan tulus, setelah berdoa kepada Dewata di Langit, maka keajaiban seperti menaungi mereka. 'Batu' berbentuk serupa lilin raksasa tersebut akhirnya dapat digotong dengan mudah. Tiga hari tiga malam mereka menyururi lanskap alam yang keras dan cadas tanpa sekalipun mengeluh karena kelelahan. Akhirnya, seperti yang diamanatkan dalam mimpinya, Shi Lang pun dapat tepat waktu mempersembahkan 'batu' itu di depan Vihara Ma. Ketika tepat 'batu' itu diletakkan di serambi Vihara Ma, tiba-tiba keajaiban seperti kembali diturunkan Dewata dari Langit. Hujan lebat yang mengguyur di siang hari tanpa awan dan mendung, seolah-olah mencuci 'batu' tersebut. Saat hujan reda, 'batu' itu sudah bersih dari tanah dan debu. Orang-orang yang melihat kejadian mistis tersebut takjub seakan tak percaya. Bagaimana mungkin hanya dengan kekuatan manusia biasa, 'batu' yang demikian beratnya berton itu dapat diboyong dengan mudahnya?! Dan keheranan mereka bertambah saat melihat fenomena gaib barusan! Ruap keheranan akan kegaiban itu disambut dengan sorak gempita yang membahana di sekitar Vihara Ma. Fenomena gaib tidak berhenti sampai di situ. Malamnya, pada saat gulita menyergap sekeliling, 'batu' yang menjulang serupa lilin raksasa itu seperti memancarkan sinar keemasan nan kilau dari sebuah lubang kecil pada hulu 'batu'. Cahaya itu senantiasa bersinar bagai pendar lentera emas, dan tidak pernah pudar disaput angin dan hujan. Maka legenda pun kembali menyeruak di ranah Tiongkok. Orang-orang lalu menyebut batu raksasa itu dengan 'Lilin Dewa'. Beberapa lagi menyebutnya dengan Xiang Tian Zhu—Lilin yang Menghadap ke Langit! Namun apa pun penyebutannya, batu besar yang merupakan salah satu lanskap megah Vihara Ma di Gunung Bai Zhang Yan tersebut merupakan monumen yang menyimpan histori tentang ketulusan, loyalitas, dan wujud ikrar rasa syukur terhadap segala karunia Langit. Laksamana Shi Lang adalah tokoh di balik berdirinya Xiang Tian Zhu, sebuah tonggak hidup bernama pengabdian dan ketulusan tanpa pamrih, yang senantiasa dikenang sepanjang masa. Malam itu, sekarang, dan esok nanti, ia tetap akan menjadi panutan. ©
29
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Kshitigarbha Adalah Kshitigarbha yang juga disebut sebagai Tetua dari Alam Arwah. Ia mengatur jiwa-jiwa manusia yang meninggal di dunia dan menuntun mereka ke suatu tempat dimana amal dan ibadah mereka ditakar sebagai bagian dari selektika. Ia adalah diraja dan memimpin sepuluh strata dunia Yama dimana dedewa yang bertugas di neraka berdiam. Kshitigarbha yang berwajah buruk dan sangar memiliki tugastama menjemput jiwa saleh ke surga Sukhavati dan melempar jiwa yang batil ke neraka. *** Alkisah, Kshitigarbha lahir di kerajaan Silla, sebuah kerajaan kecil di Jambudipa—kini India, seribu limaratus tahun setelah Sakyamuni Tataghata mangkat. Ia bernama Jin Jiao Jie. Semasa kecil hingga beranjak dewasa, ia sudah bersimpati kepada rakyat jelata yang dilanda musibah atau penderitaan yang merundung seperti tanpa henti. Ia juga berantipati terhadap para penguasa tiran yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi di atas nasib miris rakyat mereka. *** Menginjak masa dewasa, ia membulatkan tekadnya untuk menolong sesama. Maka ia memutuskan menjadi rahib dan hidup bertapa dari satu daerah ke daerah lainnya. Dalam pengembaraannya, penduduk desa sering mendapat bantuan Jin Jiao Jie yang telah mengubah nama menjadi rahib Di Zhang. Bantuan terbesar yang dapat dilakukan rahib Di Zhang di antara keterbatasannya sebagai pertapa tentu saja hanyalah seruan moral agar masyarakat tabah dan berbuat kebajikan, agar kelak arwah mereka dapat bereinkarnasi di alam-alam surga. Ia juga kerap mengingatkan kepada penduduk desa yang disinggahinya untuk tidak berbuat kejahatan yang akan menyeret mereka kelak ke dalam api neraka. Seiring guliran waktu, pada saat Kaisar Gao Zhong berkuasa di Dinasti Tang, ia mengunjungi Tiongkok melalui jalan laut yang ditempuhnya dengan susah payah menggunakan sebuah kapal kayu kecil. Ia mengajarkan kebenaran kontrakebatilan di tempat dan daerah yang dilaluinya di Tiongkok. Setelah mengembara selama tujuhpuluh lima tahun di ranah negeri tirai bambu itu, di puncak gunung Jiu Zhi Feng, rahib Di Zhang beroleh 'pencerahan'. Masyarakat mengkultuskan hari purna bakti tersebut sebagai seremoni mengenang sosoknya yang budi, yang jatuh pada penanggalan lunar imlek pada setiap tanggal tigapuluh bulan tujuh. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Setelah mencapai 'pencerahan', maka Di Zhang Wang Pu Sha yang telah dijuluki Kshitigarbha dipanggil oleh Sakyamuni Tataghata di Nirwana. Demi penyucian kehidupan pejiwa nan batil dari 30
Weni L. Ratana
kekotoran batin dan dosa, angkara dan hawa nafsu, maka ia ditugaskan mengajar moralitas di alam neraka. Sebab pengampunan dan pertobatan merupakan hal penting yang dapat mereka lakukan agar terhindar dari 'penyiksaan abadi'. Maka berbekal amanat itulah, Kshitigarbha melesat ke alam berstrata rendah tersebut. Arwah-arwah pebatil yang jelma setan asura dan hantu-hantu gentayangan harus segera diguyur dengan seruan moralitas agar mereka dapat bereinkarnasi ke alam yang lebih baik. Di dalam mitologi Tiongkok kuno, setelah seorang manusia meninggal maka arwahnya akan terseleksita di dua alam. Jiwa bajik akan langsung masuk ke surga Sukhavati, dan jiwa batil akan masuk ke dalam neraka. Namun neraka sendiri memiliki strata yang berbeda sesuai tingkat kejahatan dan dosa yang pernah dilakukan mendiang semasa hidup menjadi manusia. Arwah akan menjalani serangkaian persidangan dari Penguasa Neraka bernama Yan Lo Wang atau dewa Yama. Menyikapi rasa penyesalan dan menimbang pertobatan yang bakal dilakukan oleh sang Arwah, maka Kshitigarbha akan menghampiri mereka untuk menolong dan memberi bantuan. Dikisahkan pula setelah mendapat amanat dari Sang Tataghata, maka Kshitigarbha pernah berikrar: "Mulai hari ini, saya Kshitigarbha akan menggunakan waktu sebaik-baiknya dalam kurun waktu kalpa yang tak terhingga demi menolong semua makhluk dari 'Enam Alam Kehidupan yang Menyedihkan'. Membantu sebisa mungkin agar mereka dapat terbebas dari segala penderitaan. Tak akan lagi mengalami penderitaan neraka. Dan itulah ikrar saya sebelum saya dapat mencapai gelar Tataghata." Kshitigarbha semenjak pengungkapan ikrar itu pula sontak dianugerahi kemampuan totem Langit setara maharesi lainnya seperti Avalokitesvara Bodhisatva, Samantabhadra Bodhisatva, dan Manjusri Bodhisatva. Status sosok di antara maharesi itu pun sama dengan tugas yang sama pula. Hanya ia bertugas sebagai penyelamat jiwa batil para arwah di neraka, sementara maharesi lainnya bertugas sebagai penyelamat jiwa batil insan manusia. Kisah Kshitigarbha melegenda menjadi riwayat rani dalam berbagai versi. Sebagian masyarakat Tionghoa mengungkap bahwa Kshitigarba merupakan manifestasi dari Dewa Yama atau Yuan Luo Wang sendiri. Replikasi ganda dirinya menjadi dua sosok yang berbeda merupakan campur tangan agar sang Terdakwa terkurangi beban hukumannya di neraka. Biar bagaimanapun, ia sebagai insan yang pernah terlahir sebagai manusia memiliki nurani dan belas kasihan. Dalam sosio-kultur masyarakat Tionghoa sendiri saat ini di China, seremoni yang mengaitkan dirinya adalah perayaan chun-beng. Chun-beng berharfiah 'Hari Arwah', dimana pada saat itu pintu neraka dibuka untuk memberi para arwah mengunjungi sanak keluarga mereka di dunia untuk sekedar mendapatkan makanan. Pada hari itu pula, maka hampir sebagian besar masyarakat China akan mempersembahkan sesajian serupa perjamuan besar sebelum mereka kembali ke alam neraka. Dan Kshitigarbha memiliki andil besar. Sebab darinyalah ia memegang kendali atas kunci pintu neraka. Kshitigarbha adalah sosok berbudi pekerti serta berhati halus dan lembut, namun ia sekaligus sosok yang sangat garang dan menakutkan, terutama ketika menaklukkan hantu-hantu yang memberontak di alam paya—salah satu strata tingkat paling rendah neraka. Ksihitigarbha berharfiah 'Ladang Benih Kebajikan', dimana ia merupakan tempat terakhir untuk menuai kebajikan sebelum terpuruk ke dalam neraka abadi. ©
31
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Kaisar Dahulu kala, di Tiongkok kuno lahirlah seorang kaisar cilik yang cerdik. Ia bernama Kai Xing (Bahagia). Ia merupakan kaisar cilik yang terpaksa menduduki takhta kerajaan karena sang Ayahanda, kaisar yang memerintah pada waktu itu, mangkat karena sakit. Maka sebagai putra tunggal pewaris takhta, mau tidak mau ia harus menjabat meskipun masih sangat kecil dan baru berusia tujuh tahun. Namun, meski kecil dan masih suka bermain, Kai Xing sangat pintar dan cerdas. Tetapi di dalam kerajaan yang dipimpinnya, banyak penasehat dan kasim raja yang jahat serta berambisi menggeser Kai Xing dari kursi kaisar. Alasannya, Kai Xing masih terlalu kecil untuk memimpin sebuah kerajaan yang besar. Dan Kai Xing hanya boleh menjabat sebagai kaisar formalitas, dan bukannya penentu kebijakan pemerintahan. Kai Xing yang cerdas melihat gelagat jahat dan mencurigakan para penasehatnya. Terlebih-lebih ketika semasa sang Ayahandanya masih hidup, ia sering mendengar berita buruk tentang perilaku tidak adil para penasehat dan kasim yang berkuasa terhadap rakyat kecil. Maka dalam sebuah keputusan yang diprakarsai oleh seorang penasehat tua ambisius bernama Lee Yong, ia pun berhasil mementahkan anggapan bahwa ia belum pantas memimpin negara. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. "Mohon ampun, Yang Mulia Permaisuri," ujar Penasehat Lee Yong setengah membungkukkan badannya di depan sang Ibunda Kaisar Kai Xing. "Kami, para Pengabdi Kekaisaran, masih menganggap Kaisar Kai Xing terlalu kecil untuk menjalankan roda pemerintahan. Kita tidak boleh membebankan tugas mahaberat kepada Kaisar Kai Xing yang terbilang anak-anak. Biarkanlah ia bermain selayaknya anak-anak, dan biarkan kami yang meneruskan tugas almarhum Baginda Kaisar." Permaisuri mendiang Kaisar terdahulu, yang merupakan ibu kandung Kai Xing hanya manggutmanggut. Sebetulnya ia tak terlalu paham dengan urusan negara. Maka ia hanya mendengar dan mendengar sebelum menyetujui usulan Penasehat Lee Yong. "Baik, aku akan menyetujui usulan kalian. Tetapi, apakah Kaisar Kai Xing memang belum sanggup memerintah negara?" tanya sang Permaisuri, masih menimbang-nimbang sebelum memutuskan. "Dalam hal apakah kalian menganggap ia belum mampu menanggung beban berat negara?" Penasehat Lee Yong, dengan sikap sedikit menjilat memaparkan. "Mohon ampun, Yang Mulia Permaisuri. Bukannya menganggap enteng Kaisar Kai Xing yang masih kanak-kanak, tetapi pada dasarnya anak-anak itu masih suka bermain dan masih belum sanggup memikirkan urusan negara. Bukankah begitu, para Penasehat dan Kasim?" tanyanya kepada para Penasehat dan Kasim yang hadir dalam rapat di lobi kerajaan. Semua Penasehat dan Kasim mengangguk setuju. "Nah, kalau begitu, aku perlu membuktikan anggapan kalian kalau memang Kaisar Kai Xing belum pantas memerintah," kata sang Permaisuri sembari melirik Kaisar Cilik yang tengah bermain 32
Weni L. Ratana
pedang-pedangan dengan salah seorang dayang istana. "Mohon ampun, Yang Mulia Permaisuri. Kami sudah memutuskan dalam rapat beberapa hari yang lalu, kami akan menguji kemampuan berpikir Kaisar Kai Xing. Jika Kaisar Kai Xing mampu lulus dalam tes itu, maka ia berhak memerintah dan menjalankan roda pemerintahan negara. Tetapi jika gagal, maka kami, para Penasehat dan Kasim-lah yang akan menggantikannya." Maka sang Permaisuri pun menyetujui usulan itu. Lalu tema tes pun dikemukakan. Kaisar Kai Xing disuruh memilih dua lembar lukisan yang nantinya akan dihadapkan di depan seekor kucing. Lukisan pertama bergambar seekor ikan dengan warna merah menyala. Sementara selembar lukisan lainnya hanyalah sebuah tulisan kanji berwarna hitam yang berbunyi 'Yi' (ikan). Kaisar Kai Xing disuruh memilih, lukisan manakah yang akan diincar oleh kucing. Maka dari sanalah dapat dipetik satu kesimpulan tentang alasan mengapa ia memilih lukisan tersebut. "Aku memilih huruf kanji 'Yi' yang akan diincar oleh kucing!" jawab Kaisar Kai Xing. Semua Penasehat dan Kasim tersenyum licik. "Baik, kita akan membuktikan kebenaraan pilihan Kaisar Kai Xing. Besok, tes akan dimulai untuk menentukan apakah Kaisar Kai Xing berhak memerintah negara atau tidak. Jadi, jika kucing memilih lukisan berhuruf kanji 'Yi' itu, berarti Kaisar Kai Xing lulus dalam ujian, namun jika kucing memilih lukisan bergambar ikan maka Kaisar Kai Xing dianggap tidak lulus." Semua mengangguk-anggukkan kepala, lagi-lagi dengan tersenyum licik penuh arti. *** Di dalam kamarnya, Kaisar Kai Xing menatap lama dua lembar lukisan itu. Ia berpikir keras dan mencari akal sampai menemukan sebuah ide gemilang. Malamnya, ia mengendap-ngendap keluar dari dalam kamarnya untuk pergi menuju sebuah kolam ikan istana. Dicelupkannya lukisan berhuruf kanji 'Yi' itu ke dalam kolam ikan sesampainya ia di sana. Setelah menenggelamkan lukisan itu agak lama, maka ia pun mengeringkan lukisan tersebut dengan mengangin-anginkannya sebentar. Setelah kering, ia kembali ke dalam kamarnya. Besoknya, tes pun dimulai. Dua lembar lukisan tersebut dihadapkan di depan seekor kucing. Dan tanpa dinyana lagi, setelah mengendus-endus sebentar, kucing itu pun langsung menyambar lalu mencakar-cakar lukisan berhuruf kanji 'Yi' tesebut, yang sudah beraroma 'ikan' hasil celupannya di dalam kolam ikan. Alangkah terkejutnya dan kecewanya semua Penasehat dan Kasim istana. Mereka tidak akan menyangka kalau Kaisar Kai Xing lulus dalam ujian yang sengaja diciptakan mereka untuk menjebak. Akhirnya, negara pun dipimpin kembali dengan bijaksana oleh Kaisar Kai Xing hingga ia dewasa. Rakyat hidup makmur dan sejahtera di bawah kepemimpinannya yang adil dan bijaksana. ©
33
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Dewi Tangan Seribu PROLOG Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno, kondisi chaos demikian akan melahirkan kisah epik nan heroitik. Sebutlah satu figur yang sangat melegenda: Qiang Shou Guan Yin—Guan Yin, Dewi Tangan Seribu. *** Menurut kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno, yang sarat berbaur dengan ajaran serta moralitas Buddhisme, bentuk-bentuk penderitaan, kegelisahan dan keresahan akibat kondisi berniskala derita merupakan persoalan majemuk insan dan madani. Pendambaan akan kehidupan yang tenteram dan lebih baik inilah yang mendorong munculnya pertolongan totemis dari langit. Guan Yin Dewi Tangan Seribu merupakan pengejawantahan kebaikan yang berinkarnasi dari jelata ke subtilitas langit. Itulah sebabnya, penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berkembang pesat di China sampai saat ini masih sangat menjunjung tinggi nilai moral dan kebajikannya. Ia merupakan sosok dewi yang bersahaja, welas asih, dan penolong kaum lemah tertindas dan marjinal. Menurut salah satu kitab suci masyarakat Tiongkok kuno, Sutra Dharma, Guan Yin Dewi Tangan Seribu mendapat maklumat dari Raja Seribu Cahaya di Nirwana untuk mengembang 'Maha Karuna Dharma Sutra' atau 'Amanat Belas Kasihan Tanpa Batas' kepada semua makhluk hidup dan insan di dunia. Bahkan, kepada semua makhluk yang tak kasatmata sekalipun. Ketika itu, Sang Tathagata atau lazim disebut Raja Seribu Cahaya, memanggil Guan Yin ke Nirwana. Di situlah ia mendapat anugerah yang tak dimiliki oleh dewa maupun dewi lain. Maka, berbekal sifat welas asihnya yang platonis, Guan Yin pun memperoleh pencerahan agung tersebut setelah berikrar: "Saya Guan Yin, dan saya berikrar, jika saya dapat mendedikasikan kebaikan sehingga membawa manfaat kebahagiaan dan kesejahteraan bagi semua makhluk hidup, maka izinkahlah saya dapat memiliki seribu tangan serta seribu mata untuk dapat membantu saya mewujudkan hal mulia tersebut!" Setelah mengucapkan ikrar tulus tersebut semata kiasan dan simbolik, maka tumbuhlah jasadi seribu tangan dan seribu mata pada raga Guan Yin. Mulanya, timbul tangan yang memegang Ru Yi atau Permata Intan yang melambangkan kemuliaan, disusul kemudian tangan yang memegang Anggur sebagai lambang kemakmuran, dan tangan yang memegang Tirta Armata yang melambangkan air kehidupan, dan tangan yang memegang Daun Yang-liu (sakura blossoms) sebagai lambang kesejahteraan, serta tangan Telapak Buddha berwarna putih yang melambangkan kebajikan, dan lain seterusnya. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam 34
Weni L. Ratana
siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Setelah mendapat amanat suci tersebut, maka 'tugas' Sang Dewi Tangan Seribu adalah turun ke dunia kasatmata, dimana manusia serta makhluk hidup lainnya beranak-pinak. Di sanalah Guan Yin Dewi Tangan Seribu akan mengembangkan Maitri dan Karuna atau welas asih dan belas kasihan. Ia senantiasa menyingkirkan segala macam penderitaan dan menumbuhkan kebahagiaan dengan mewujudkan permintaan kesejahteraan kaum papa. Dalam kepercayaan Buddhisme yang berkembang pesat di China, diyakini bahwa segala permohonan yang berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Guan Yin Dewi Tangan Seribu akan mengabulkan permintaan tersebut. Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah berhadapan dengan marabahaya. Sehingga dalam kurun ribuan tahun, pengabdian moral dari Sang Dewi Tangan Seribu dikenal galib berporos empat jalan kebenaran. Yakni, pengembangan kebajikan, pengembangan toleransi dan saling hormat menghormati, pengendalian batin dan mawas diri, serta penyingkiran marabahaya. Turun temurun masyarakat Tionghoa sangat menghormati Qiang Shou Guan Yin. Hampir di setiap rumah penganut Konfusiunisme dan klenteng-klenteng pasti memiliki rupam atau diorama puja untuk mengenang jasa dan kebaikannya. Meski demikian, banyak di antara mereka yang tidak mengetahui asal-usul manusia reinkaransi 'dewi' tersebut. Dan hanya melaksanakan puja-bakti sebagai formalitas belaka. *** Ihwal Guan Yin Dewi Tangan Seribu bermula di salah satu daerah perbatasan Tionggoan—kini China—dan Negeri Jambudipa—kini India. Tersebutlah seorang raja yang bernama Miao Zhuang. Ia memiliki tiga orang putri yang cantik-cantik. Putri sulung bernama Miao Jin, putri kedua bernama Mio Yin, dan yang bungsu bernama Miao Shan. Miao Jin dan Miao Yin sepanjang waktu hanya bermalas-malasan dan bermanja-manja di dalam istana. Sementara Miao Shan dengan telaten menjaga dan merawat kedua orangtua mereka. Dari ketiga putri Sang Raja, hanya Miao Shan-lah yang sangat berbakti kepada kedua orangtua serta leluhurnya. Ia juga sudah memperlihatkan rasa welas asihnya kepada semua orang, bahkan kepada binatang sekalipun. Itulah sebabnya ia menjadi vegetarian sejak dari balita. Toleransinya kepada dayang-dayang istana demikian besar sehingga ia sangat disayangi dan disenangi oleh semua orang. Dan hanya ia pulalah yang mengaplikasikan bentuk-bentuk kebajikan Buddhisme yang ia pelajari dan dalami ke dalam kesehariannya. Hal tersebut menimbulkan benci dan dengki di hati kakak-kakak perempuannya. Maka dengan beberapa intrik dan hasutan jahat yang berkolaborasi dengan seorang cenayang tua batil, akhirnya Miao Shan terusir dari istana. Miao Shan dituduh merupakan jelmaan iblis jahat sehingga negeri mereka yang dulunya makmur senantiasa dirundung bencana. "Sejak Miao Shan lahir, negeri kita selalu dilanda bencana!" ujar Miao Jin. "Benar, Kakanda," tambah Miao Yin. "Padahal, negeri kita ini makmur, dan tiba-tiba sejak kelahiran Adinda Miao Shan, rundungan bencana susul menyusul tanpa henti. Tidak kekeringan, tidak kebanjiran. Tidak kelaparan, tidak wabah penyakit. Pasti Adinda merupakan jelmaan iblis yang dikutuk oleh Langit!" Di dalam pengembaraannya, Miao Shan mengabdikan dirinya sebagai samaneri—calon biksu perempuan. Tahun berganti tahun, akhirnya Sang Raja, ayahanda Miao Shan, yang sudah uzur dan 35
Weni L. Ratana
sakit-sakitan merasa sangat rindu kepada putri bungsunya tersebut. Namun Miao Shan yang merasa belum merampungkan 'pertapaan' dan 'tugas mulia'-nya masih menampik keinginan ayahnya tersebut, yang memanggilnya pulang lewat perantaraan beberapa bentara atau pengawal kerajaan. Sampai akhirnya, Sang Raja menderita penyakit akut aneh. Di sekujur tubuhnya ditumbuhi bisul dan borok yang tidak dapat disembuhkan. Miao Shan yang merasa iba, berkat kesaktiannya, mereplikasi dirinya menjadi seorang biksuni. Ia mendatangi istana, dan menjenguk ayahandanya yang terkapar sakit dengan dalih sebagai tabib. Namun di dalam penyamarannya tersebut, ia bukannya mengobati, tetapi justru memberi petunjuk bahwa Sang Kaisar menderita penyakit aneh renjana, dan hanya dapat sembuh jika ia mengkomsumsi sekerat daging manusia dan sebiji bola mata yang berasal dari tetubuh putriputrinya sendiri. Sang Kaisar murka luar biasa. Diusirlah 'sang Biksuni' jejelma Miao Shan karena menganggap perempuan abdi langit tersebut tengah membual. Hari demi hari berlalu, penyakit Sang Raja bertambah parah. Miao Shan mereduksi kembali tubuhnya kembali ke bentuk semula, dari seorang biksuni menjadi dirinya yang asli. Ia mendatangi ayahnya, dan sangat prihatin melihat kondisi tubuh tua itu yang semakin memburuk. Maka ia mengusulkan agar ayahnya melakukan apa yang telah diusulkan oleh 'biksuni' tersebut sebagai jalan pengobatan. Ayahnya mengakuri usul tersebut demi penyembuhan dirinya. Ketika meminta kakak-kakak perempuannya untuk berkorban diiris otot lengan dan dicungkil sebiji bola matanya untuk dicampur pada obat bagi ayah mereka, sontak keduanya berlutut di samping ranjang ayahanda mereka, menangis tersedu-sedu. "Oh, Ayahanda, kasihanilah saya Miao Jin. Saya masih memiliki anak yang masih kecil-kecil, dan mereka masih membutuhkan saya untuk membesarkan mereka." Tidak lama berselang, Miao Yin menyusul dengan kalimat serupa. Kali ini tangisnya lebih menderas. Namun tiba-tiba Miao Shan datang menengarai, dan dengan bijak ia berkata. "Biarkan saya saja, Ayahanda. Mereka, Kakanda-Kakanda saya tercinta, masih memiliki suami dan anak-anak. Jadi, izinkanlah saya yang berkorban untuk Anda." Setelah mengiris sekerat otot lengan dan mengcongkel bola matanya sendiri dengan belati tanpa rasa takut, dengan tenang serta penuh dengan keikhlasan, ia memasukkan bagian-bagian organ tubuhnya tersebut sebagai ramuan obat untuk ayahnya. Ketika mengaduk-aduknya ramuan obat itu, maka keajaiban terjadi seketika. Ramuan obat itu menyerbakkan wangi seharum dupa dan memenuhi seluruh penjuru istana. Raja Miao Zhung, sang Ayahanda Miao Shan yang meminum 'obat mujarab' tersebut sembuh seketika. Dan dengan wajah berseri, dipeluknya tubuh putri sulungnya itu dengan airmata berlinang. *** Sejak saat itulah kebajikan dan keluhuran budi Miao Shan menjadi legenda di ranah Tionggoan. Ia menggugah ketulusan tanpa pamrih, pengorbanan tanpa batas, sifat welas asih yang tiada tara, dan masih banyak lagi kemuliaan yang tidak dapat dirunut satu per satu. Dikisahkan pula, setelah peristiwa fenomenal tersebut, maka Miao Shan melanjutkan pertapaannya, dan ia menjadi biksuni sepanjang hidup dan pengabdiannya. Meski berat hati, tetapi Raja Miao Zhung dan Ibunda Permaisuri merelakan melepas putri bungsunya tersebut, dan memafhumi niatnya untuk mengabdi bagi kemanusiaan. Untuk mengenang putri bungsunya tersebut, Raja Miao Zhung memerintahkan pekerja seni rupa 36
Weni L. Ratana
terbaik di negerinya untuk membuat patung berwujud Miao Shan. "Putri saya, Miao Shan, ibarat memiliki seribu tangan untuk membantu sesama dengan tulus serta ikhlas, dan seribu mata yang peka melihat penderitaan rakyat jelata!" demikian aku Raja Miao Zhung dalam nada bangga, yang ternyata salah ditanggapi oleh para pemahat arca suruhan istana. Arca rampung dengan memiliki seribu tangan dan seribu mata. Dan itulah ihwal Miao Shan yang melegenda menjadi Qiang Shou Guan Yin—Guan Yin Dewi Tangan Seribu. ©
37
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Dwi Resi Wisesa PROLOG Replikasi kebajikan senantiasa akan berhadapan dengan kebatilan sebagai lawan yang abadi. Fenomena tersebut serupa siklus cakra dunia. Ada benderang siang sebagai hal yang dapat dipersonifikasikan sebagai kebajikan, dan ada gulita malam sebagai wujud serta rupa gergasi kejahatan. Merunut histori kelam masa-masa maharana di Tiongkok kuno, maka banyak legenda yang akan menguak menjadi landasan moralitas dan pengembangan batin. Tokoh-tokoh bajik tercipta dalam memerangi tokoh-tokoh batil. Di samping itu, tidak sedikit pula lahir figur-figur panutan yang mendedikasikan seluruh hidupnya demi kesejahteraan orang banyak. Mengenyahkan egosentrisme dan kepentingan diri sendiri meskipun harus berkorban jiwa dan raga. Dan dalam perkembangan zaman, mereka adalah pebijak yang 'hidup abadi' di antara mortalitas kita, yang terkungkung dalam sebuah kemafhuman bernama napas pendek usia. Salah satu di antara mereka adalah, Guan Yin dan Wei Tuo, sepasang maharesi yang lebih dikenal sebagai Dwi Resi Wisesa. *** Alkisah, setelah mencapai 'pencerahan', jelata jelma 'dewi', Putri Ketiga Kaisar Miao Zhung—salah satu kaisar pendiri dinasti negeri Tionggoan yang terletak di perbatasan Tiongkok dan Jambudipa (kini India), Miao Shan, yang telah bergelar Qiang Shou Guan Yin—Guan Yin, Dewi Tangan Seribu, sesuai ikrar yang pernah diucapkannya kepada Sang Tatagatha di Langit, maka sejak saat itu pulalah ia sering menjelma manusia nan kasatmata. Menolong kaum papa atau marjinal yang dirundung lara: kelaparan, pandemi penyakit, dan beberapa yang tertindas oleh penguasa lalim. Ia menyusuri ranah Tiongkok yang babur, dan ketika itu masih dirundung maharana yang berkepanjangan di antara kaisar-kaisar yang ingin menduduki takhta kekuasaan. Peperangan telah menyita demikian banyak hal yang semestinya digunakan demi kepentingan rakyat. Kaisar dan para penguasa pemerintahan melalaikan kewajiban mereka terhadap nasib rakyat. Mereka berlombalomba menimbun kekayaan untuk kepentingan pribadi, dan juga mengalokasikan dana yang cukup besar bagi stok logistik armada perang ketimbang lumbung pangan bagi rakyat. Penderitaan rakyat bertambah ketika beberapa kaisar dan penguasa lalim dengan seenaknya memungut pajak irasional sehingga rakyat semakin miskin, dan bahkan banyak di antara kaum papa tersebut mati lantaran busung lapar. Menyikapi carut-marutnya keadaan yang terjadi nyaris di seantero ranah Tionggoan, maka Guan Yin kembali mereplikasi dirinya menjadi jelata, seorang putri berwajah rupawan, dan mengunjungi salah satu daerah landa rana di bawah kaki gunung Omei dan bantaran sungai Jia Ling. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan.
38
Weni L. Ratana
Tersebutlah Wei Tuo, murid dari resi Lu Ban yang tinggal di kaki gunung Omei. Sudah lama pemuda itu ingin mewujudkan pancacita bagi penduduk di daerahnya. Hatinya giris melihat penderitaan rakyat selama ini. Untuk itulah ia senantiasa mencari 'pencerahan' dengan bertapa dan bersemedi untuk mendapatkan sebuah wangsit nan wisesa. Dan semuanya demi cita luhur yang telah menjadi tekad muasal hatinya nan putih. Pada suatu hari, saat ia berjalan di gigir sungai Jia Ling, ia menyaksikan seorang penduduk desa yang tewas terseret arus deras sungai. Hatinya sedih dan berkecamuk dalam perasaan yang tidak menentu kala itu. Tak ada sedikit pun perhatian serta kepedulian dari penguasa dan pejabat pemerintah yang menanggap kondisi miris daerahnya. Seharusnya mereka telah membangun jembatan penyeberangan di sungai Jia Ling, yang menghubungkan dusun per dusun. Sehingga penduduk tidak usah menyeberangi aliran deras sungai dengan berakit atau melalui batu sungai yang lembab dan licin. Berangkat dari hal itulah maka ia memutuskan untuk mengumpulkan uang sedikit demi sedikit agar dapat membiayai pembangunan sebuah jembatan kayu. Setiap hari ia bekerja keras dan serabutan. Menabung uangnya demi mewujudkan keinginannya mempersembahkan sebuah jembatan yang melintang di atas sungai Jia Ling. Guan Ying yang mengetahui niat mulia pemuda itu segera turun tangan 'membantu' pemuda berhati luhur itu dengan caranya sendiri. Bersama seorang pejongkong setempat bernama Shao Gong, maka Guan Yin—yang telah menyamar menjadi seorang putri rupawan dari sebuah kota—mengarungi sungai Jia Ling. Guan Yin yang dapat melihat dengan dengan mata batinnya, mengetahui di desa tersebut santer dibicarakan secara turun-temurun bahwa setiap penanggalan lunar imlek yang jatuh pada tanggal tigabelas bulan tiga, maka akan muncul sesosok 'dewi' di atas sebuah perahu yang mengapung di atas sungai Jia Ling. 'Dewi' berwajah amat cantik dan rupawan tersebut tengah mencari calon suami untuk kelak dinikahinya dengan syarat: pemuda atau lelaki yang dapat melempar tepat sasar setail uang perak ke arah tubuhnya, maka ia dapat menikahi 'dewi' itu. Maka sesuai sosio-kultural yang telah menjadi 'keyakinan' bagi masyarakat desa, menjelang fajar orang-orang sudah menjejali gigir sungai untuk melihat 'penampakan gaib' tersebut. Antusiasme 'melempar setail uang perak' memang didominasi oleh orang-orang kaya dari desa itu. Banyak di antara mereka adalah saudagar kaya dan bangsawan berdarah biru, yang telah menyiapkan uang perak mereka bahkan sampai sekarung, menunggu dengan hati berdebar-debar. Sementara sebagian besar penduduk miskin hanya dapat menelan ludah dan melihat 'peristiwa' tersebut sebagai bagian dari seromoni belaka. Waktu yang dinantikan oleh semua lelaki—perjaka maupun duda—pun tiba. Perahu yang menoktah di batas cakrawala berangsur menjelas, dan lamat menampakkan sosok seorang putri yang sangat cantik berdiri di atas sebuah sampan. Di samping sang Putri tampak seorang lelaki tua tengah menjongkok mengayun galah. Sontak suasana yang sunyi meriuh oleh desahan kagum akan kecantikan sang Putri. Tak lama berselang, tanpa mengaba, para lelaki sudah berebutan melempar uang-uang perak mereka ke arah sang Putri di atas sampan. Namun tak satu pun uang-uang perak tersebut yang mengenai tubuh sang Putri. Semakin banyak uang perak yang dilemparkan, maka semakin meleset pulalah uang-uang perak itu dan hanya jatuh memenuhi geladak sampan. Para lelaki dan pemuda yang sudah mulai frustasi, terus melempar dan menghabiskan berkantung-kantung uang perak mereka. Pada saat itu, Wei Tuo yang hanya menonton seremoni itu didatangi dan ditegur oleh seorang lelaki tua berambut dan berjanggut putih. "Ananda, jika kau jatuh cinta kepada putri di atas sampan itu, lemparlah dia dengan uang perakmu. 39
Weni L. Ratana
Aku yakin lemparanmu dapat mengenai tubuhnya." Wei Tuo ragu. Bukannya ia tidak percaya dengan perkataan orang tua itu, namun ia hanya memiliki satu keping uang perak yang merupakan hasil kerja kerasnya selama ini. Dan jika ia pun terbawa hawa nafsu untuk dapat memiliki sang Putri itu, maka ia telah mengingkari janjinya agar dapat mempersembahkan sebuah jembatan bagi penduduk desanya. Maka diurungkannya niatnya yang menggejolak di hati layaknya laki-laki lainnya. Dienyahkannya bayang wajah rupawan sang Putri yang sesungguhnya telah membuatnya jatuh cinta—semua kaum laki-laki pasti jatuh hati. Diputuskannya meninggalkan gigir sungai untuk kembali bekerja seperti biasa di pagi hari sebelum obsesi menjeratnya dalam pengingkaran dari niat mulianya. Namun langkahnya tertahan oleh sebuah cekalan pada pundak. Orang tua itu tersenyum bijak, matanya yang tua berbinar dan mengaba yakin supaya ia melakukan apa yang telah diperintahkannya. "Lakukan apa yang aku perintahkan, Ananda. Niat tulus dan ikrar tanpa pamrihmu merupakan bekal dalam keyakinanku, bahwa Anandalah yang bakal mendapatkan sang Putri itu!" Meski masih dirundung ragu karena hal yang diperintahkan oleh orang tua itu merupakan 'perjudian' dan dilematisasi, tetapi akhirnya dilakukannya juga. Ia kembali menepi ke gigir sungai setelah tadi melangkah sedepa untuk pulang. Dilemparkannya sebuah uang perak yang merupakan satu-satunya miliknya yang paling berharga. Tanpa terasa, ia menitikkan airmata kala melemparkan hartanya yang paling berharga itu. Kerongkongannya memerih. Dipejamkannya mata, merunduk dan berharap ada keajaiban yang dapat mengubah hidup penduduk desa yang kini berada di dalam satu-satunya 'benda' yang telah dilemparkannya tadi! *** Keajaiban seperti menaunginya! Wei Tuo membelalak tidak percaya saat orang-orang di gigir sungai Jia Ling bersorak-sorak gembira. Mereka mengelu-elukan namanya. Rupanya ia berhasil melempar mengenai sasaran, dan jatuh tepat di tangan sang Putri. Semua lelaki yang gagal 'mempersunting' sang Putri pulang dengan raut wajah kecewa. Mereka telah menghabiskan demikian banyak uang demi pemenuhan ego dan kepentingan diri sendiri. Dan sesuai dengan 'janji' Langit, maka Wei Tuo-lah yang berhak menikahi sang Putri. Sampan yang sarat dengan uang perak menepi ke gigir sungai Jia Ling. Sang Putri rupawan menjelma Guan Yin begitu sosok 'dewi' itu menginjak tanah. Wei Tuo terkejut, dan semakin jatuh hati pada Guan Yin yang jauh lebih rupawan ketimbang 'sang Putri' jejelma tadi. Sesaat pemuda itu seperti tidak tahu harus berbuat apa. Ia sangat terkesima dengan kecantikan Guan Yin. "Wei Tuo yang baik hati, aku adalah Qiang Shou Guan Yin—Guan Yin, Dewi Tangan Seribu. Aku sudah tahu niat tulus tanpa pamrihmu untuk kepentingan rakyat jelata. Nah, uang perak sesampan ini aku serahkan kepadamu agar kau dapat merealisasikan keinginanmu untuk membangun sebuah jembatan di atas sungai Jia Ling ini." Sejak saat itu, dengan uang perak bantuan Langit, Wei Tuo dapat membangun sebuah jembatan penyeberangan bagi penduduk desa. Sejak saat itu pula, tak terdengar lagi orang yang terseret arus deras air sungai. Penduduk desa dan rakyat sekitar sungai Jia Ling semakin mencintai sosok Wei Tuo, menganggapnya pahlawan dan melegendakannya sebagai salah satu tokoh totemis. Namun Wei Tuo yang masih diradi sifat badani, telah jatuh cinta terhadap Guan Yin. Setelah menunaikan ikrarnya mendirikan jembatan bagi penduduk desa, maka ia mengikuti ke mana pun 40
Weni L. Ratana
Guan Yin pergi. Wei Tuo terus mengekori dan mengikuti sosok wisesa nan lembut tersebut. Ia bahkan mengucap sumpah untuk setia, dan terus akan mendampingi Guan Yin. Guan Yin mengurai senyum bijak. Ia yang telah mencapai 'pencerahan sempurna' tidak terpengaruh oleh rasa 'badani' begitu. Ia mafhum. Dianggapnya Wei Tuo masih dipasung oleh radiah ragawi, dan suatu saat kelak jika ia pun telah mencapai 'pencerahan', maka perasaan-perasaan inferior demikian akan lenyap dengan sendirinya. Dibiarkannya pemuda itu mengikutinya tanpa merasa terganggu. Berangkat dari hal itulah maka seiring dengan bergulirnya sang waktu, maka Guan Yin membawa Wei Tuo ke Nirwana. Berbekal kebajikan pemuda itu, maka ia dikaruniai kemampuan setara dewa. Dan ditugaskan untuk menjadi bentara dan pengawal Guan Yin, mendampinginya menunaikan tugas mulia menolong jelata di dunia. Demikianlah ihwal terciptanya figur bajik Dwi Resi Wisesa yang melegenda di kalangan masyarakat Tionghoa. Kedua sosok resi itu bagaikan pinang dibelah dua. Alhasil, pada zaman Dinasti Tang, salah satu kaisar yang berkuasa mendirikan sebuah vihara untuk mengenang Dwi Resi Wisesa yang merupakan personifikasi kebajikan dari Guan Yin dan Wei Tuo. Konon, pada saat itu pula, di Tiongkok tersebar lebih tiga ratusan vihara yang memajang rupam penghormatan bagi Dwi Resi Wisesa tersebut. Dan hingga saat ini sosok keduanya masih terlihat bersamaan meski dalam bentuk rupam. Di mana ada Guan Yin, maka biasanya akan terlihat pula sosok dalam diorama berwujud Wei Tuo yang gagah perkasa dengan pakaian zirah bentara nirwananya. ©
41
Weni L. Ratana
Maharesi • Sang Dwi Resi Wisesa PROLOG Dalam mitologi China, banyak tokoh yang dapat dijadikan panutan bagi pengembangan batin dan moralitas. Tak ada batasan strata maupun gender yang menjadi aral dalam pembentukan karakter bijaksana tersebut. Mereka dapat dari kalangan apa saja. Bangsawan ataupun jelata. Laki-laki maupun perempuan. Sebab sosok demikian, murni lahir dan berangkat dari sebuah cita luhur. Maka dalam perkembangan zaman, mereka tidak pernah dapat dilupakan oleh rakyat. Menjadi legenda turun-temurun, diteladani dan disanjung setinggi langit. Mereka adalah maharesi yang mengisi dunia ini dengan cinta dan kasih. Mereka adalah manusia-manusia yang diradi Langit. Dan salah satunya adalah Si Da Tian Wang, dalam bahasa Sansekerta adalah Catur MaharajikaKayikas atau lebih lazim disebut Catur Maharajika-Dewa. *** Si Da Tian Wang dalam bahasa Sansekerta adalah Catur Maharajika-Kayikas atau lebih lazim disebut Catur Maharajika-Dewa. Catur Maharajika-Dewa merupakan dewa-dewa yang populer dalam pengaruh kepercayaan dan buddhisme. Sosok-sosok tersebut selalu mendapat tempat terhormat dalam pemujaan masyarakat Tionghoa. Acuan dan runut kebajikannya Catur Maharajika dalam mitologi China tidak terlepas dari konsep kebenaran hakiki atau dharma yang telah membaur dengan kepercayaan brahmanisme, terutama mengenai alam para dewa. Dalam mitologi yang telah diyakini turun-temurun dan terkultus, terdapat pengertian tiga alam kehidupan yang masing-masing bernama: Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Diyakini pula bahwa semua bentuk kehidupan apa pun bentuknya pasti menempati ketiga dhatu atau alam kehidupan tersebut. Semua makhluk hidup bersiklus dalam reinkarnasi ketiga dhatu tersebut. Kelahiran berulang-ulang itu biasa disebut purnarbhava. Ketiga alam tersebut memiliki strata yang menakar tinggi-rendahnya pahala mereka. Kamadhatu adalah alam yang berstrata tinggi, yang dihuni para dewa dan maharesi. Selanjutnya, Rupadhatu adalah alam yang dihuni manusia, dan berada pada strata menengah. Sementara Arupadhatu merupakan alam terendah, dan berada pada strata terakhir, yang dihuni oleh makhluk halus jin serta hantu-hantu gentayangan. Manusia dan segala bentuk kehidupan lain seperti hantu dan dewa tidak dapat lepas dari reinkarnasi atau siklus kelahiran dan kematian dari alam ini sebelum dapat memutus rantai tanha atau nafsu babur, dan mencapai pembebasan sejati menuju Nirwana. Kamadhatu sendiri terbagi menjadi Enam Bagian. Dan dari Enam Bagian itu, Bagian Pertama merupakan kediaman yang utama dan ditinggali oleh Catur Maharajika-Dewa. Sementara Lima Bagian lainnya seterusnya ditempati oleh dewa berstrata lebih rendah dan maharesi-maharesi bijak lainnya. Menurut keng atau sutra masyarakat Tiongkok kuno, Catur Maharajika-Dewa berdiam di puncak gunung Gandhana. Keempat mahadewa tersebut berdiam masing-masing pada pucuk gunung yang terbagi empat. Salah satu mahadewa mengusai area Timur gunung yang disebut Gunung Ching, dan yang lainnya masing-masing dengan nama Area Barat gunung Barat yang disebut Gunung Ing, Area Selatan gunung yang disebut Vaiduri, dan area gunung Utara disebut Ma Nao. Dan masing-masing memiliki tanggung jawab serta fungsi masing-masing. 42
Weni L. Ratana
Catur Maharajika-Dewa sangat dekat dengan manusia karena ia memiliki sifat kinasih dan welas asih untuk menolong manusia dari dera karma buruk. Keempat mahadewa tersebut yang telah diserahi tugas mulia dalam pikul tanggung-jawab masing-masing kerap disebut Purva Videha atau Sang Timur, Jambudhipa atau Sang Selatan—kini daerah itu adalah perbatasan India dan Tiongkok, Apara Godaniya atau Sang Barat, dan Uttarakuru atau Sang Utara; dan semuanya berfungsi melindungi dunia dari marabahaya. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Keempat Catur Maharajika-Dewa seiring bergulirnya sang waktu disosokkan dalam berbagai versi. Namun semua rupam yang telah dilentuk oleh perupa meski berlainan wujud memiliki tipikal 'sifat' yang sama. Sang Timur, salah satu dari Catur Maharajika-Dewa yang bernama Dratarasta atau Chi Guo Tian Wang adalah sosok bertubuh putih, mengenakan zirah strata Jenderal, memegang alat musik serunai, dan berdiam di cakrawala jingga mentari pagi. Serunai bermakna bahwa kebenaran itu serupa merdu dan indah suara. Ada pengharapan jika merdu sang musik akan menggugah hati manusia menuju pada kebenaran nan indah. Di antara duapuluh alam dewa, Dratarasta atau Chi Guo Tian Wang berada di surga Strata Empat. Ia bertanggung-jawab penuh pada area Purva Videha atau buana Timur insani. Vidradhaka atau Zheng Zhang Tian Wang menangani buana Selatan. Vidradhaka sendiri berharfiah 'Maha Bakti dan Puja', bertugas mengembangkan kebajikan insan dan menjaga kesucian dharma atau kebenaran hakiki. Sosoknya dilentuk mengenakan zirah rana, bertubuh hijau dengan tangan memegang sebilah pedang pusaka. Ia berdiam di bagian Vaiduri dan menjaga Jambudhipa yang terletak di bagian Selatan buana. Di antara duapuluh alam dewa, ia berada pada surga Strata Lima. Virapaksa alias Guang Mu Tian Wang, bentara Barat yang memiliki nama berharfian 'Maha Celik Benderang Buana', bertugas membantu para jelata nan papa. Ia disosokkan dengan tubuh berwarna merah dan mengenakan zirah rana sebagai Pemimpin Dewa Naga. Tangannya tampak memegang temali merah yang melambangkan seekor Naga Merah, simbolitas benang merah keterikatan manusia dengan dharma atau kebenaran hakiki. Diriwayatkan, ia berdiam di balik selubung gemawan putih di puncak gunung dan menjaga Apara Godaniya atau Xi Niu He Zhou. Di antara duapuluh alam dewa, ia berada pada surga Strata Enam. Vaisramana alias Pi Sha Men berdiam di Utara. Ia memiliki nama berharfiah 'Maha Tahu dan Welas Asih', merupakan bentara yang bertugas mendengar keluhan dan penderitaan rakyat, dan menuaikan berkah bagi manusia berbudi luhur. Ia disosokkan bertubuh hijau juga mengenakan zirah rana serupa Catur Maharajika-Dewa yang lainnya. Tangan kanannya memegang payung pusaka, sementara tangan kirinya memegang seekor tikus perak. Semuanya bermaknakan penundukan akan mara dan kebatilan yang senantiasa menggerus harta benda rakyat. Ia berdiam di salah satu puncak gunung pun serupa totem Langit lainnya tadi. Di antara duapuluh alam dewa, ia berada di surga Strata Tiga. Meski begitu, kapasitas penghormatan di antara Catur Maharajika-Dewa yang sama-sama berjasa bagi kemanusiaan, namun Vaisramana-lah yang paling dipuja oleh masyarakat Tionghoa. Sebab 43
Weni L. Ratana
dalam mitologi lain yang diyakini dari versi lain pula, ia merupakan mahadewa yang bertugas menggelontorkan rezeki dan kesejahteraan bagi manusia. Lagipula, pada sebuah epik, dikisahkan kalau mahadewa tersebut pernah membantu Kaisar Tang Ming Huang lolos dari maut saat terkepung dalam sebuah penyerangan musuh. Peristiwa tersebut melegenda, apalagi Sang Kaisar memberikan penghormatan besar tanda berterima kasih dengan melakukan puja-bakti kepada Sang Mahadewa. Dan sejak saat itulah, nama mahadewa Vaisramana kesohor sebagai maharesi luhur dalam salah satu Tetranitas Metta Karuna Catur Maharajika-Dewa. Lalu, seiring bergulirnya sang waktu pula, masing-masing sosok mahadewa tersebut semuanya mengultus dalam kebijakan yang senantiasa abadi sepanjang masa. ©
44
Weni L. Ratana
Weni L. Ratana, lahir di Lappariaja, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 28 September 1987. Sedari dulu, ia sangat menggemari dunia kepenulisan. Kerap berkecimpung dalam keorganisasian, terutama yang menyangkut dunia pendidikan. Ia merupakan salah satu redaksi mading di sekolahnya. Selain menulis puisi dan cerpen dalam buku diari dan blognya, ia juga senang mengoleksi lagu di komputer dan menonton film. Sekarang penulis rupawan ini tengah merampungkan sebuah novel sastra Tiongkok yang bakal dipublikasikannya pada penerbit nasional.
45
Weni L. Ratana