Kolokium Weni Sri Ekowati.docx

  • Uploaded by: maulida fitriyyah
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kolokium Weni Sri Ekowati.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,164
  • Pages: 67
KOLOKIUM BIODEGRADASI PEWARNA INDUSTRI MENGGUNAKAN BAKTERI PENGHASIL LAKASE YANG STABIL TERHADAP PELARUT, METALLOGAM, DAN SURFAKTAN.

WENI SRI EKOWATI NRP. 1211540000099

Dosen Pembimbing Adi Setyo Purnomo, S.Si., M.Sc., Ph.D

DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS SAINS INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2018

i

COLLOQUIUM BIODEGRADATION OF INDUSTRIAL DYES BY A SOLVENT, METAL AND SURFACTANT STABLE EXTRACELLULAR BACTERIAL LACCASE

WENI SRI EKOWATI NRP. 1211540000099 Supervisor Adi Setyo Purnomo, S.Si., M.Sc., Ph.D

DEPARTEMENT OF CHEMISTRY FACULTY OF SCIENCE INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2018

ii

BIODEGRADASI PEWARNA INDUSTRI MENGGUNAKAN BAKTERI PENGHASIL LAKASE YANG STABIL TERHADAP PELARUT, METALLOGAM, DAN SURFAKTAN KOLOKIUM Disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Kolokium Program S-1 Departemen Kimia, Fakultas Sains Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya WENI SRI EKOWATI NRP. 1211540000099 Surabaya, Dosen Pembimbing,

Adi Setyo Purnomo, S.Si., M.Sc., Ph.D NIP. 19800724 200812 1 002 Mengetahui : Kepalatua Jurusan Departemen Kimia,

Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc NIP. 19710616 199703 1 002

iii

SURAT PENGESAHAN Dosen Penguji yang bertandatangan di bawah ini, adalah dosen penguji pada ujian kolokium dari mahasiswa : Nama NRP JudulTulisan

: WENI SRI EKOWATI : 1211540000099 : BIODEGRADASI PEWARNA INDUSTRI MENGGUNAKAN BAKTERI PENGHASIL LAKASE YANG STABIL TERHADAP PELARUT, METALLOGAM, DAN SURFAKTAN

Dengan ini menyatakan bahwa naskah kolokium tersebut telah diperbaiki sesuai hasil sidang uji kolokium pada hari DOSEN PENGUJI TANDA NO NAMA JABATAN TANGAN 1

Ketua Sidang

2

Penguji / Pembimbing

3

Penguji

iv

Bismillahirrahmaanirrahiiiiiim, karya ini saya persembahkan untuk Bapak Ibu saya, adik saya Dan teman-teman kimia 2015

v

ABSTRAK Beberapa kegiatan industrial menghasilkan limbah pewarna yang berbahaya dan sulit diuraikan dalam lingkungan. Penggunaan lakase dalam katalisis biooksidasi merupakan alternatif penting untuk menghilangkan limbah pewarna yang dapat dilakukan secara kontinyuberkelanjutan. Studi Penelitian ini melaporkan karakterisasi lakase ekstraseluler lakase dari Proteus vulgaris ATCC 6896. Enzim ini stabil selama lebih dari 6 jam pada suhu 60 ° C dan mempertahankan aktivitasnya secara penuh dalam kondisi asam dan basa. Lakase dari P. vulgaris menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap inhibitor enzimatik seperti natrium azida dan pelarut organik (asetonitril, etanol dan metanol), serta mengalami peningkatan aktivitas hingga 5 kali dengan penambahan Fe2 +, Cu2 +, Zn2 + atau surfaktan. Selanjutnya, Akhirnya, llakase dari P. vVulgaris distabilkan oleh imobilisasi dalam gel Cu-alginat. Turunannya Hasilnya menunjukkan termostabilitas yang lebih tinggi secara signifikan daripada enzim bebas, dan memperpanjang umur simpan hingga 500 jam. Biokatalis ini digunakan untuk mendekolorisasi bromotimol biru (59%), Coomassiebrilliant biru R (72%), metil violet 10B (52%), Remazolbrilliant biru R (51%) dan trypan biru (85%) pada waktu reaksi singkat tanpa penambahan mediator, dan digunakan kembali hingga 160 siklus tanpa kehilangan efisiensi. Biokatalis enzimatik ini dapat secara efektif digunakan dalam pengolahan limbah karena kemampuannya untuk mereduksi pewarna tanpa penambahan mediator redoks, serta stabilitas termal dan kimia yang tinggi. Kata Kunci: Biodegradasi, Pewarna, Lakase, Biokatalisis, Cualginat, Imobilisasi.

vi

Formatted: Font: Italic

Formatted: Font: Italic

Formatted: Font: Italic

ABSTRACT Several industrial activities release highly recalcitrant and dangerous dyes into the environment. The use of Laccases laccases to catalyze biooxidations represents an important alternative to dye effluent treatments. This study reports on the characterization of extracellular laccase of Proteus Vulgaris ATCC 6896. This new enzyme was stable for more than 6 h at 60 °C and retained its activity completely under acidic and alkaline conditions. The P. vulgaris laccase showed a high tolerance to enzymatic inhibitors such as sodium azide and organic solvents (acetonitrile, ethanol and methanol), and its activity increased up to 5 times with the addition of Fe2+, Cu2+, Zn2+ or surfactants. Finally, the P. vulgaris laccase was stabilized by immobilization in Cu-alginate gels. The derivatives showed significantly higher thermostability than the free enzyme, and extended shelf life of up to 500 h. This biocatalyst was used to decolorize bromothymol blue (59%), coomassie brilliant blue R (72%), methyl violet 10B (52%), remazol brilliant blue R (51%) and trypan blue (85%) at short reaction times without the addition of mediators, and reused up to 160 cycles without loss of efficiency. This enzymatic biocatalyst could be effectively used in sewage treatment due to its ability to decolorize recalcitrant dyes without the addition of redox mediators, and its high thermal and chemical stability. Keywords: Biodegradation, Dyes, Laccase, Biocatalysis, Cualginate, Immobilization

vii

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga naskah kolokium yang berjudul “BIODEGRADASI PEWARNA INDUSTRI MENGGUNAKAN BAKTERI PENGHASIL LAKASE YANG STABIL TERHADAP PELARUT, METALOGAM, DAN SURFAKTAN” dapat diselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis bermaksud mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang mendukung atas terselesaikannya tulisan ini, yaitu: 1. Adi Setyo Purnomo, S.Si., M.Sc., Ph.D. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses penyusunan naskah Kolokium ini. 2. Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc. selaku Kepala Departemen Kimia atas fasilitas yang telah diberikan hingga naskah kolokium ini dapat terselesaikan. 3. Bapak Ibu tercinta, adik dan keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayang yang tiada henti. 4. Teman-teman kimia 2015 atas segala bentuk bantuan dan dukungannya. Penulis menyadari bahwa naskah ini masih terdapat kekurangan dalam penyusunan. Penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun terhadap tulisan ini. Semoga naskah ini memberikan manfaat dan inspirasi, terutama bagi pihak-pihak yang menekuni bidang terkait dengan naskah ini. Surabaya, Desember 2018 Penulis viii

Formatted: Indonesian

“Halaman ini sengaja dikosongkan.”

ix

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Perkembangan industri tekstil mengalami kemajuan yang cukup pesat sehingga mempunyai nilai positif terhadap perekonomian masyarakat. Industri ini adalah salah satu industri yang dapat bersaing di pasar dunia, menghasilkan devisa tinggi serta menyerap banyak tenaga kerja yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT). TPT menjadi subsektor dengan jumlah perusahaan industri sedang besar tertinggi jika dibandingkan dengan subsektorsub sektor lainya. Hasil surveysurvei Badan Pusat Statistik pada tahun 2008 menunjukanmenunjukkan bahwa TPT menduduki posisi 1 pada sub sektor industri non migas dengan jumlah perusahaan 2.604 untuk produk tekstil dan 2.450 untuk tekstil. Selain peningkatan produktivitas masyarakat Iindonesia, perkembangan industri tekstil juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Industri kertas, kulit dan tekstil menggunakan lebih dari 10.000 pewarna sintetik yang berbeda. Selama proses pencelupan, diperkirakan sekitar 280.000 zat warna dibuang sebagai limbah per tahun di Dunia (Rodríguez Couto dan Toca Herrera, 2006). Pewarna ini bersifat rekalsitran, banyak di antaranya beracun bagi biota akuatik, dan beberapa diantaranya telah dilaporkan sebagai agen karsinogenik dan mutagenik (Mathur dkk., 2006). Dalam industri tekstil, pewarna diterapkan dalam konsentrasi 0,01-0,25 g / L, dan diperkirakan 2

bahwa antara 2 - 20% langsung dibuang ke residu cair (Ghaly et aldkk., 2014). Metode yang biasa digunakan untuk mengurangi limbah pewarna tersebut adalah dengan cara fisikokimia, termasuk adsorpsi, pengendapan, koagulasi-flokulasi, oksidasi, filtrasi dan fotodegradasi (Tychanowicz dkk., 2004). Akan tetapi metode ini memiliki beberapa kekurangan, mulai dari hasil dekolorisasi yang rendah, serta menghasilkan sejumlah besar lumpur yang akan dibuang hingga biaya implementasi tinggi (Molina-Guijarro dkk., 2009). Oleh karena hal tersebut maka diperlukan metode alternatif yang lebih efektif dan efisien baik dari segi proses ataupun finansial. Metode yang ditawarkan adalah pengolahan limbah pewarna melalui proses biokatalitik dengan bantuan enzim ekstraseluler lakase ekstraseluler Proteus vulgaris ATCC 6896, yang stabil terhadap logam berat, deterjen dan pelarut organik, dan juga menunjukkan kemampuan yang sangat baik untuk dekolorisasi pewarna industri. Penggunaan lakase (EC 1.10.3.2) untuk biooksidasi industri telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kelebihan dari lakase adalah mereka tidak memerlukan penambahan hidrogen peroksida (Loera Corral dkk., 2006). Selain itu, enzim ini menunjukkan spesifitas substrat yang sangat rendah, mampu mengkatalisis oksidasi berbagai bahan kimia yang cukup luas, seperti senyawa fenolik, diamina dan amina aromatik dengan melakukan penggunaan oksigen secara bersamaan ke air sebagai satu-satunya produk sampingan (Mendoza dkk., 2014). Hal ini membuat lakase sebagai enzim yang sesuai untuk berbagai proses oksidasi (Riva, 2006). Agar dapat digunakan dalam proses 3

bioteknologi, beberapa strategi pengurangan biaya diterapkan, imobilisasi menjadi yang paling penting.

dapat

1.2 Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah limbah pewarna yang dihasilkan oleh industri tekstil berpotensi menimbulkan masalah yang serius bagi lingkungan dan makhluk hidup. Selain itu juga terdapat beberapa limbah yang sulit didegradasi sehingga perlu dilakukan usaha yang lebih ramah lingkungan untuk mengelola limbah yang dihasilkan antara lain dengan menggunakan lakase yang dihasilkan oleh bakteri sebagai agen pendekolorisasi. Namun penggunaan ekstrak enzim sangat tidak ekonomis karena enzim akan hilang begitu saja dalam satu reaksi batch, sedangkan air limbah industri bersifat kontinyu terus-menerus dan berjumlah besar. Isolasi dan biaya produksi enzim juga tergolong tinggi. Untuk Oleh Sebab itu dilakukan teknologi imobilisasi enzim. Pada penelitian ini perlu dipelajari sejauh mana kemampuan lakase ligninolitik dalam mendekolorisasi zat warna serta bagaimana cara mengaplikasikannya pada teknik imobilisasi enzim guna menekan biaya produksi. 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas enzim lakase yang dapat mendegradasi zat pewarna industri dan menentukan kondisi optimalnya.

4

Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian

“Halaman ini sengaja dikosongkan.”

5

BAB II DASAR TEORI

2.1 Zat Warna Tekstil Industri tekstil merupakan salah satu Industri besar di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan UNCTAD dalam TNCs and the Removal of Textiles and Clothing Quotas, iIndustri ini

Commented [ASPSMP1]: Kepanjangannya apa, tiba2 ada singkatan ini, di tulis kepanjangannya dulu

berperan penting dalam meningkatnya orientasi ekspor di negara Asia, seperti Hongkong (China), Singapura, Taiwan,

Korea

Selatan, Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam. Menurut World Population Data Sheet pada tahun 2009, tercatat jumlah penduduk negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang mencapai sekitar 597 juta orang. Tingginya angka tersebut memicu disertai diterapkanya ASEAN Single Window (ASW) dengan bea masuk sebesar 0 % (kecuali negara Laos, Kamboja, dan Myanmar menerapkan free duty pada tahun 2012) menjadi peluang besar bagi pasar tekstil dan produk tekstil atau dikenal dengan istilah TPT ( Sunarno, 2008). Di Indonesia, industri ini menjadi penyumbang terbesar dalam perolehan devisa negara. Pada tahun 2009, industri TPT berkontribusi sebesar 12,72 % dalam perolehan devisa terhadap ekspor hasil industri tidak termasuk minyak dan gas (migas) dan sebesar 9,58 % terhadap 6

Commented [ASPSMP2]: Bedanya free duty dan 0% apa ya? Coba di cek kembali yg 0%

total ekspor non migas, meskipun 85 % bahan baku berupa kapas masih diimpor. Nilai tersebut meningkat tajam dari hanya sebesar US$ 559 juta pada tahun 1985 (BPS, 2010). Selain tingginya dampak ekonomi yang dihasilkan dari pesatnya industri tekstil, industri ini juga berdampak besar pada lingkungan. Angka produksi yang tinggi sebanding dengan limbah yang dihasilkan. Salah satu tahap penting dalam proses pengolahan tekstil adalah proses pewarnaan ( Nugroho dkk., 2013). Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat warna dengan serat. Umumnya limbah cair pada industri tekstil memiliki karaktristik warna dan kekeruhan yang tinggi, bersifat alkalin, serta mengandung bahanbahan sintetik yang sulit diuraikan secara biologi seperti zat warna (Fadullah, 2004). Selain itu juga diketahui bahwa zat warna merupakan sumber utama limbah B3 pada industri tekstil (Sofiana, 2003).

2.1.1 Azo Zat warna tekstil umumnya terbuat dari senyawa azo dan turunanya yang merupakan gugus benzena yang sulit didegradasi ( Christina., 2007). Hal lain yang membuat zat warna sulit 7

didegradasi adalah adanya ikatan kovalen yang kuat antara atom C dari zat warna dengan atom O, N, atau S dari gugus hidroksi, amina, atau tiol dari polimer. Berdasarkan IUPAC senyawa azo memiliki struktur umum R─N═N─R’, dengan R dan R’ adalah rantai organik yang sama atau berbeda. Senyawa ini memiliki gugus ─N═N─ yang dinamakan struktur azo dengan struktur dasar sebagai berikut :

Gambar 2.1 Struktur dasar azo Kelompok azo terikat oleh dua kelompok atau sedikitnya satu, tetapi biasanya adalah dua aromatik (Manurung dkk., 2004). Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakuinon dengan berat molekul relatif kecil. Daya serap terhadap serat tidak besar, sehingga zat warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan. Gugus-gugus penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan zat warna terhadap asam atau basa. Gugus-gugus reaktif merupakan bagianbagian dari zat warna yang mudah lepas. Dengan lepasnya gugus reaktif ini, zat warna menjadi mudah bereaksi dengan serat kain. Pada umumnya agar reaksi dapat berjalan dengan baik maka 8

Formatted: Space After: 6 pt

diperlukan penambahan alkali atau asam sehingga mencapai pH tertentu (Manurung dkk., 2004). Formatted: Space Before: 6 pt

2.1.2 Antrakuinon Kuinon merupakan senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan

Formatted: Indonesian

rangkap karbon-karbon (Harborne, 1987). Golongan kuinon alam

Formatted: Indonesian

terbesar terdiri atas antrakuinon dan keluarga tumbuhan yang kaya akan senyawa jenis ini adalah Rubiaceae, Rhamnaceae, Polygonaceae (Robinson, 1995; Herbert, 1977). Antrakuinon adalah satu dari empat kelompok kuinon. Tiga yang lainya adalah benzokuinon,

naftokuinon,

Pengelompokan Antrakuinon

ini

juga

dan

berdasarkan disebut

pada

kuinon

isoprenoid.

tujuan identifikasi.

9,10-dioksxo-dihiydro-anthrascen

(Merck, 1983; Samuelsson, 1999;

Formatted: Subscript

Morrison dan Boyd, 1959). Struktur dasar antrakuinon terlihat

Formatted: Subscript

dengan rumus C14H8O2

Formatted: Subscript

sebagai berikut :

9

Gambar 2.2 Struktur dasar antrakuinon Antrakuinon termasuk senyawa fenol yang bersifat fenol dan biasanyamudah terhidroksilasi, serta memungkinkan ditemukan dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol (Harborne, 1987). Sama halnya dengan sifat glikosida lainnya, glikosida antrakuinon juga mudah terhidrolisis. Antrakuinon terhidroksilasi sebagai glikosida. Aantrakuinon berupa senyawa kristal bertitik leleh tinggi, larut dalam pelarut organik basa. Senyawa ini biasa berwarna merah, tetapi yang lainnya berwarna kuning sampai coklat, larut dalam larutan basa dengan membentuk warna violet merah. Terdapat beberapa turunan antrakuinon yang biasanya terdapat dalam bahan-bahan purgativum berbentuk dihidroksi fenol, trihidroksi fenol seperti emodin, atau tetrahidroksi fenol seperti asam karminat. Turunan antrakuinon sering kali berwarna merah oranye (Anonim, 2004; Gunawan, 2004; Robinson, 1995; Samuelsson, 1999). Formatted: Space Before: 6 pt

2.1.3 Indigo Zat warna sintetis indigo pertama kali disintesis oleh kimiawan asal Jerman Baeyerbegan pada tahun 1878 dari isatin. Lalu dilanjutkan tahun 1880 menggunakan 2-nitrobenzaldehida. Pewarna indigo adalah suatu senyawa organik dengan warna biru 10

yang khas. Sebagian besar dari pewarna indigo yang dihasilkan saat ini merupakan sintetik. Indigo berwujud bubuk kristalin berwarna biru gelap yang menyublim pada suhu 390-–392 °C (734–738 °F). Zat ini tidak larut dalam air, alkohol, atau eter, namun larut dalam DMSO, kloroform, nitrobenzena, dan asam sulfat pekat. Rumus kimia indigo adalah C16H10N2O2. Indigo memiliki nama lain 2,2'Bis(2,3-dihidro-3-

oksoindolilidena)

dengan

struktur

dasar

sebagai berikut :

Gambar 2.3 Struktur dasar indigo

Formatted: Space After: 6 pt

Indigo carmine atau indigo adalah turunan indigo yang juga digunakan sebagai pewarna. Penggunaan utama pewarna indigo adalah sebagai pewarna untuk benang katun. Rata-rata, sepasang celana jeains warna biru membutuhkan 3-12 gram indigo. Sekitar 20 ribu ton diproduksi setiap tahunnya terutama untuk jeansjins warna biru (Steingruber, 2004). Pewarna jenis ini juga digunakan 11

Formatted: Font: Italic

sebagai pewarna makanan, dan terdaftar di Amerika Serikat sebagai FD&C Blue No. 2.

12

2.1.4 Triarilmetana Menurut Joint FAC / WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA), zat pewarna buatan dapat digolongkan dalam beberapa kelas berdasarkan rumus kimianya, yaitu azo, triarilmetana, quinolin, xanten, dan indigoid. Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan, di Indonesia bahan pewarna sintetis yang diijinkan adalah brilliant biru. Termasuk di Amerika Serikat, brilliant biru dikenal sebagai zat pewarna yang paling sering digunakan. Brilliant biru dan paten biru merupakan zat warna yang masuk dalam golongan triarilmetana.

Formatted: Normal, Line spacing: single

Formatted: Normal, Space Before: 6 pt, After: 6 pt Formatted: Indent: First line: 0", Space Before: 6 pt, After: 6 pt Formatted: Normal, Left, Indent: First line: 0", Space Before: 6 pt, After: 6 pt

2.2 Bioremediasi

Formatted: Normal, Left, Space Before: 6 pt, After: 6 pt

Bioremediasi adalah suatu teknologi alternatif untuk mengatasi

masalah

lingkungan

lingkungan

yang

terkontaminasi

mikroorganisme,

sedangkan

melalui polutan menurut

proses

perbaikan

dengan

bantuan

United

States

Environmental Protection Agency (dalam Surtikanti, 2011), bioremediasi adalah suatu proses alami untuk membersihkan bahan-bahan

kimia

berbahaya. 13

Bioremediasi

merupakan

Formatted: Normal, Indent: First line: 0.5", Space After: 6 pt

pengembangan

dari

bioteknologi

lingkungan

dengan

memanfaatkan proses biologis. Sistem enzimatik dari organisme digunakan untuk mengubah atau menurunkan senyawa beracun, tidak hanya memindahkan tetapi juga mengubah senyawa berbahaya tersebut menjadi tidak berbahaya.

Hasil

dari

mineralisasinya menjadi bentuk anorganiknya, misalnya CO2, NH4+, dan PO32- (Udiharto, 1996). Bioremediasi dapat dilakukan ditempat aslinya dan prosesnya terjadi secara alamiah atau disebut bioremediasi in situ ( Hardiani dkk., 2011), sedangkan bioremediasi ex situ adalah bioremediasi yang dilakukan ditempat yang lain seperti di land farming dan bioreaktor ( Yani, 2003). Formatted: Indent: First line: 0.5" Formatted: Normal, Indent: First line: 0.5", Space After: 6 pt

2.3 Biodegradasi Biodegradasi bisa diartikan sebagai suatu proses penguraian oleh aktivitas mikroorganisme yang mengakibatkan perubahan suatu struktur senyawa sehingga terjadi perubahan integritas molekular

(Sheehan,

1997).

Mikroorganisme

yang

dapat

digunakan dalam biodegradasi adalah mikroorganisme yang memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa organik alami 14

sebagai sumber energi serta mampu menghasilkan enzim yang mampu mendegradasi. Dalam proses biodegradasi tersebut, akan dihasilkan beberapa produk yang termineraisasi seperti air (H2O) dan karbondioksida (CO2) hasil dari konversi zat kimia oleh aktivitas mikroba (Fingerman dan Nagabhushanam, 2005). Istilah

biodegradasi

umumnya

digunakan

untuk

menggambarkan hampir setiap perubahan yang dimediasi secara biologis dalam substrat (Bennet dkk., 2002). Agar biodegradasi dapat berlangsung efektif, diperlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi proses biodegradasi seperti, kadar air, suhu, pH tanah, kadar oksigen, dll. Secara umum terjadinya suatu proses biodegradasi suatu senyawa oleh mikroba disebabkan oleh produk-produk enzim tertentu yang dihasilkan oleh mikroba itu sendiri. Dalam beberapa khasuskasus pencemaran lingkungan, proses biodegradasi dapat terjadi secara alamiah. Hal tersebut bisa terjadi karena terdapat beberapa mikroorganisme yang telah beradaptasi sehingga mampu mendegradasi polutan dalam lingkungan tersebut.Untuk menentukan potensi biodegradasi mikroorganisme dapat melalui faktor-faktor abiotik dan biotik mikroorganisme yang secara efektif dapat mentoleransi atau cepat menurunkan 15

senyawa tertentu (Sayara dkk., 2009). Dalam beberapa kasus polutan oleh mikroorganisme akan terdegradasi jauh lebih lambat daripada komponen yang lebih labil.

16

2.4 Dekolorisasi Menggunakan Bakteri Dekolorisasi merupakan metode yang digunakan untuk mengurangi kepekatan warna secara visual yang dapat dijadikan sebagai indikator awal adanya degradasi pewarna (Martani dkk., 2011).

Menurut Awalludin dkk. (2011), zat warna dapat

didekolorisasi dengan metode fisika seperti ultrasonifikasi atau dengan metode kimia seperti koagulasi menggunakan ferosulfat. Kedua contoh metode tersebut cukup efektif tetapi memerlukan biaya tinggi, perlengkapan khusus, dapat menghasilkan senyawa berbahaya

serta

berbagai

masalah

operasional,

sehingga

dilakukan studi lebih lanjut mengenai metode dekolorisasi. Metode biologi merupakan metode alternatif yang dipilih karena lebih menguntungkan. Salah satu perlakuan secara biologi adalah dengan menggunakan teknik biodekolorisasi (Aziziah, 2008). Keunggulan yang diperoleh dari metode ini adalah lebih sederhana, ramah lingkungan, tidak menghasilkan limbah skunder berupa sedimentasi lumpur dalam jumlah, serta lebih ekonomis. Beberapa studi melaporkan bahwa bakteri mampu dijadikan sebagai agen pendekolorisasi. Bakteri-bakteri yang mampu mendegradasi zat warna secara umum dapat dijumpai pada tempat yang terpapar limbah zat warna ( Blumel dkk., 1998). Beberapa 17

Formatted: Indonesian

bakteri dengan galur tertentu memiliki kemampuan untuk menggunakan zat warna azo sebagai sumber karbon dan nitrogen tunggal, sementara bakteri lain hanya mereduksi azo dengan azo reduktase (Sharma dkk., 2009). Bidegradasi pewarna mengakibatkan terjadinya perubahan

Formatted: Indonesian

struktur kimiawi pada gugus kromofor, auksokhrom atau pada kedua gugus tersebut (Glenn dan Gled, 1983). Perubahan struktur kimia pewarna terdeteksi melalui penurunan intensitas warna (dekolorisasi), yang dapat dijadikan sebagai indikator awal degradasi pewarna (Martini dkk., 2003). 2.5 Klasifikasi dan Morfologi Proteusvulgaris Proteus vulgaris adalah bakteri kemoheterotrof yang termasuk dalam Gram-negatif dan berbentuk batang (basili) namun dalam koloni bakteri ini berbentuk bulat (coccus). Ukuran sel individu bervariasi dari 0,4 ~ 1,2 ~ 0.6μm. Diameter bakteri 0.4-0.8 μm dan panjang bakteri 1-3 μm. Di seluruh tubuh bakteri ini terdapat bulu cambuk yang dinamakan flagela peritrichous. Keberadaan bulu cambuk ini menyebabkan pergerakan bakteri ini sangat aktif. Klasifikasi

P. vulgaris berdasarkan sistematika

taksonominya adalah sebagai berikut: Kerajaan : Bakteri Filum

: Proteobacteria 18

Formatted: Space Before: 6 pt

Kelas

: Gamma Proteobacteria

Bangsa

: Enterobacteriales

Keluarga : Enterobacteriaceae Marga

: Proteus

Jenis

: Proteus vulgaris

V Gambar 2.4 Proteus vVulgaris 10 hari penumbuhan (Hauser 1885).

Formatted: Font: Italic

P. vulgaris menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler yang resisten terhadap pelarut organik, logam berat dan surfaktan. Enzim lakase diketahui merupakan enzim yang dihasilkan oleh P. vulgaris. Protease banyak dimanfaatkan untuk kepentingan komersial pada berbagai industri seperti industri detergen, produk-produk

kulit,

tekstil,

19

makanan,

Formatted: Indent: First line: 0", Right: -0.08", Space After: 6 pt

hidrolisat

protein,

Formatted: Font: Italic Formatted: English (United States)

pengolahan susu, farmasi, bir, film dan limbah (Nascimento dan Martins, 2006).

2.6 Enzim Lakase

Gambar 2.5 Struktur 3D enzim lakase Enzim lakase merupakan enzim ekstraseluler yang banyak ditemukan pada berbagai jenis jamur, serangga, bakteri (Majeau dkk., 2010), dan tumbuhan tingkat tinggi (Mayer & dan Staples,

2002). Penggunaa lakase (EC 1.10.3.2) untuk

biooksidasi industri telah mengalami peningkatan sejak beberapa tahun terakhir. Selain itu lakase juga berpotensi

untuk

dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti bioetanol (Sidqi,

Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian

Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian

2017), biopulping (Filla et aldkk., 2010), biofuel (Jervinen

Formatted: Indonesian

dkk.,

Formatted: Indonesian

2012),

biobleaching

(Rodriguez-Couto,

2017),

Formatted: Indonesian

20

dkk., 2009), detoksifikasi (Kunamneni

Formatted: Indonesian

dkk., 2007), biosensor (Septiningrum dan Pramuaji, 2017), dan

Formatted: Indonesian

biodekolorisasi. Kemampuan lakase untuk mendegradasi

Formatted: Indonesian

bioremediasi (Gomes

zat

warna sudah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya seperti enzim lakase pada isolat Cerrena sp. HYBO7 (Yang

Formatted: Font: Italic

dkk., 2014), enzim lakase pada isolat Polyporus sp. (Hadibarata

Formatted: Font: Italic

dkk., 201), enzim lakase pada isolat Armillaria sp. (Hadibarata

Formatted: Font: Italic

dkk. 2014), dan enzim lakase pada isolat Trametes pubcens

Formatted: Font: Italic

(Osma dkk., 2007). Berbeda dengan peroksidase, lakase tidak memerlukan penambahan hidrogen peroksida (Loera Corral dkk., 2006). Selain itu, enzim ini menunjukkan spesifitas substrat yang sangat rendah, mampu mengkatalisis oksidasi berbagai bahan kimia, seperti senyawa fenolik, diamina dan amina aromatik dengan pengurangan oksigen secara bersamaan dengan air sebagai satu-satunya produk sampingan (Mendoza dkk., 2014).

Formatted: Centered

21

Gambar 2.5 Struktur 3D enzim lakase

Lakase yang dihasilkan oleh bakteri memiliki beberapa sifat yang lebih unggul dibanding jamur, seperti stabilitas pada suhu tinggi (Miyazaki, 2005), pH basa (Singh dkk., 2007) dan toleransi terhadap konsentrasi garam yang tinggi (Britos dan Trelles, 2016). Selain itu, bakteri biasanya memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi daripada jamur dan lebih rentan terhadap peningkatan tingkat aktivitas, selektivitas dan ekspresi melalui rekayasa protein (Santhanam et aldkk., 2011). Namun, lakase yang dihasilkan bakteri belum dieksploitasi secara luas pada skala industri karena sebagian besar enzim yang dilaporkan adalah intraseluler atau spora terikat, yang membuat produksi dan pemurnian mereka sangat sulit (Sondhi dkk., 2014).

2.8 Imobilisasi Penggunaan enzim di dunia industri dalam bentuk enzim bebas sudah banyak digunakan, namun untuk setiap proses baru diperlukan enzim baru sebab dalam keadaan bebas enzim sulit dipisahkan dari sistem. Oleh sebab itu dikembangkan suatu proses yang disebut imobilisasi enzim sebagai solusi untuk mengurangi biaya dan harga produksi. Dengan adanya imobilisasi enzim 22

Formatted: Font: Not Bold

maka satu enzim dapat digunakan berulang kali karena menjadi mudah untuk dipisahkan. Imobilisasi

sel

merupakan

suatu

teknik

untuk

mempertahankan mikroorganisme agar tetap berada di dalam matriks

sehingga

dapat

meningkatkan

efisiensi

kerja

mikroorganisme untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (Fleming, 2004) dan merupakan katalis makroskopik yang dapat digunakan berulang kali (reuse biocatalyst) sehingga

Formatted: Font: Italic

tidak diperlukan penggantian sel dan dapat diaplikasikan secara luas pada berbagai macam konfigurasi bioreactor (Adinarayana, 2005). Imobilisasi enzim juga banyak dilakukan karena dapat meningkatkan kestabilan dari enzim (SenguptaDasgupta, 2006). Imobilisasi dapat menjaga kestabilan struktur enzim dalam aplikasinya bahkan dalam kondisi pH, temperatur dan pelarut organik yang ekstrim dimana enzim tanpa imobilisasi tidak dapat bertahan pada kondisi tersebut (SenguptaDasgupta, 2006). Dengan demikian, dibandingkan dengan enzim bebas dalam larutan, enzim amobil lebih kuat dan lebih tahan terhadap perubahan lingkungan

(Homaei dkk.,

2013).

Semua

ini

menghasilkan pengurangan yang signifikan dalam biaya enzim dan produk reaksi (Mohamad dkk., 2015).

23

Commented [ASPSMP3]: Ini satu kata atau harus ada spasinya? Dicek lagi

Imobilisasi enzim dapat dilakukan dengan mengikat enzim pada senyawa yang tidak larut yang disebut matrik sehingga enzim dapat mengikuti reaksi dan dapat diambil kembali setelah selesainya reaksi (Johnson, 1978). Enzim yang terimobilisasi/ enzim amobil dapat didefinisikan sebagai enzim yang secara fisik ditempatkan pada suatu ruang tertentu sehingga dapat menahan aktivitas katalitiknya, oleh karena itu dapat digunakan secara berulang (Chibata, 1978). Metode yang digunakan untuk mengimobilisasi terbagi menjadi tiga klasifikasi yaitu, carrier binding, pelekatan dan cross linking. Dari ketiga klasifikasi tersebut, pelekatan dipilih sebagai cara mengimobilisasi enzim lakase pada penelitian ini.

Gambar 2.6 Klasifikasi Metode Imobilisasi Enzim (Sheldon dan Pelt, 2013).

Formatted: Justified, Indent: Left: 0", Hanging: 0.89", Line spacing: single Formatted: English (United States)

2.9 Pelekatan (Entrapmet) Cu-Alginat 24

Formatted: English (United States)

Entrapment adalah metode imobilisasi yang didasari oleh

Formatted: Font: Italic

penempatan enzim dengan pola matriks atau membran menutupi enzim dengan membran yang hanya dapat melewatkan analiyte tetapi ilustrasi

tidak

melewatkan

imobilisasi

enzim

enzim

(Sipangkar, 2012). Skema

dengan

metode entrapment

Formatted: Font: Italic

ditunjukkan pada Gambar 2.3. Teknik imobilisasi dengan metode entrapment memiliki beberapa keuntungan diantaranya

Formatted: Font: Italic

adalah proses reaksi berjalan cepat, tidak memerlukan biaya yang banyak, dan biasanya proses reaksi dapat berjalan dalam kondisi ruangan (Nisha dkk., 2012). Keuntungan lain dari imobilisasi teknik ini yakni tidak memerlukan interaksi kimia antara enzim dengan polimer dan denaturasi dapat terhindar serta struktur alami enzim tidak mengalami gangguan fisik karena enzim tidak terikat dengan bahan pendukung, sehingga tidak terjadi perubahan konformasi enzim atau inaktivasi enzim. Formatted: Centered, Space Before: 6 pt

Gambar 2.7 Imobilisasi enzim dengan metode entrapment (Elnashar, 2010). 25

Formatted: Justified, Indent: Left: 0", Hanging: 0.98", Space After: 6 pt, Line spacing: single Formatted: English (United States)

Imobilisasi harus dilakukan dengan menggunakan matriks untuk

mempertahankan

mikroorganisme.

Pada

metode

entrapment, enzim dijebak dalam suatu matriks dan dibuat dalam bentuk butiran. Sebagian besar matriks yang digunakan dalam proses imobilisasi adalah dari golongan polisakarida. Salah satu polisakarida yang telah digunakan dalam proses imobilisasi adalah aAlginat. Alginat merupakan polimer dari asam βmanuoronat dan asam α-L-glukoronat. Alginat merupakan salah satu jenis hidrokoloid, yaitu suatu sistem koloid oleh polimer organik di dalam air (Hoefler, 2004). Pemanfaatan alginat didasarkan pada tiga sifat utamanya yaitu yang pertama kemampuannya dalam menaikkan viskositas larutan apabila alginat dilarutkan dalam air. Kedua adalah kemampuan alginat untuk membentuk gel, gel akan terbentuk jika pada larutan natrium alginat ditambahkan garam Ca.

2.10 Spektrofotometri (UV-Vis) Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran energi cahaya oleh suatu sistem kimia pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002). Spektrofotometri UV-Vis memakai

sumber

radiasi

elekltromagnetik ultraviolet dekat (190-380) dan sinar tampak (380 - 780) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja 26

Formatted: Font: Italic

dan Suharman, 1995:26). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif ketimbang kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995: 26). Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain:  1. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.

Formatted: Font: (Default) Times New Roman Formatted: List Paragraph, Indent: Left: 0.1", Hanging: 0.2", Bulleted + Level: 1 + Aligned at: 0.55" + Indent at: 0.8"

 2. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis. 3. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis .

Formatted: Font: (Default) Times New Roman

 (Mulja dan Suharman, 1995: 28). Formatted: Indent: First line: 0"

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:  1. Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan adalah lampu wolfram.  2.

Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang

monokromatis. 27

Formatted: Font: (Default) Times New Roman Formatted: List Paragraph, Indent: Left: 0.1", Hanging: 0.2", Bulleted + Level: 1 + Aligned at: 0.55" + Indent at: 0.8"

 3.

Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel

menggunakan kuvet kaca atau kuvet kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. 4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang  (Khopkar, 1990: 216). UV-Vis sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan Hukum Lambert-Beer (Rohman, 2007). Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan linearitas antara absorban dengan konsentrasi larutan analit dan berbanding terbalik dengan transmitan. Hukum Lambert-Beer dinyatakan dalam persamaan : A=axbxc Keterangan : A : absorbansi a : absorpsivitas molar b : tebal kuvet (cm) c : konsentrasi 28

Salah satu syarat senyawa dianalisis dengan spektrofotometri adalah karena senyawa tersebut mengandung gugus kromofor. Kromofor adalah gugus fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika diikat oleh gugus auksokrom. Hampir semua kromofor mempunyai ikatan rangkap berkonjugasi. Ausokrom adalah gugus fungsional yang mempunyai elektron bebas, seperti –OH, NH2, NO2, -X (Harmita, 2006).

“Halaman ini sengaja dikosongkan.”

29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sentrifuge, konsentrator vakum, inhibitor, kaca arloji, pipet ukur, pipet volume, cawan steril, neraca analitik, inkubator, magnetik stirer, filtrasi vakum, tabung sentrifugasi, dan peralatan gelas lainya.

30

3.2.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Proteus vulgaris ATCC 6896, medium Luria-Bertani (LB), 2, 2′-

Formatted: Font: Italic

Azinobis (3-ethyilbenzothiazoline-6-sulfonate) (ABTS)

Formatted: Font: Italic

3.2 Prosedur Kerja 3.2.1 Mikroorganisme dan produksi lakase P. vulgaris ATCC 6896 ditanam dalam medium LuriaBertani (LB) (5 g / L ekstrak daging, 10 g / L pepton, 5 g / L NaCl pH 7,0) pada suhu 37 °C dengan kecepatan 200 rpm. Supernatan kultur dikumpulkan dengan cara disentrifugasi selama 30 menit pada suhu 4 °C . Kemudian diinkubasi selama 16 jam dalam konsentrator vakum sentrifugal (SpeedVac®) sampai volume berkurang 5 kali lipat, diulangi sekali lagi dengan sentrifugasi dan disimpan pada suhu 4 °C. Ekstrak lakase dikarakterisasi dengan kandungan protein total menggunakan metode Bradford yang telah disesuaikan (Britos and Trelles, 2016) lalu selanjutnya diuji aktivitas lakasenya.

3.2.2 Uji Aktivitas Lakase Aktivitas lakase diukur secara spektrofotometri pada 420 nm (ε420 nm 3,6 × 104 M-

− 1

cm-

− 1

) (Childs dan Bardsley, 1975)

menggunakan ABTS sebagai substrat. Dalam reaksi terkandung 31

20% (v / v) ekstrak lakase, 5 mM ABTS, 0,05 M CuSO4, 0,1 M buffer natrium asetat pH 4,6. Selain itu, reaksi dilakukan pada suhu 30 °C dengan kecepatan 200 rpm. Laju reaksi awal diperoleh dari bagian linier dari kurva. Satu unit enzim (UE) didefinisikan sebagai kuantitas enzim yang mampu mengkatalisis oksidasi 1 μmol ABTS per menit.

3.2.3 Karakterisasi Lakase Reaksi ABTS dilakukan pada temperatur yang berbeda untuk mengetahui aktivitas maksimum. Fraksi enzim diinkubasi pada suhu (30-–80 °C) atau pH (4.0-9,0) yang berbeda dan digunakan untuk mengkatalis pada uji aktivitas. Pengaruh zat aditif pada aktivitas lakase juga ditentukan. . Ion logam (Na +, K +, Mg2 +, Ca2 +

, Sr2 +, Ba2 +, Fe2 +, Zn2 +, Cu2 + pada 1, 10 dan 50 mM), inhibitor

(EDTA, natrium azida dan natrium sitrat pada 0,1; 1 dan 5 mM), surfaktan (CTAB , Pluronic® F-68, Sarkosyl ™, SDS, Triton® X-100 dan Tween® 80, masing-masing pada 0,1; 1 dan 5 mM) dan pelarut organik (metanol, etanol, aseton, asetonitril, masingmasing sebesar 5% dan 20% (v / v)) dicampur dengan lakase dan diinkubasi pada suhu 30 °C. Aktivitas lakase ditunjukan oleh reaksi ABTS lalu dibandingkan dengan perlakuan tanpa variasi.

32

Formatted: Subscript

3.2.4 Sintesis Dekolorisasi Menggunakan Lakase Supernatan P. vulgaris digunakan untuk mendekolorisasi empat kelompok pewarna sintetis: antrakuinon, azo, indigoid, dan triariylmethane. Reaksi ini dibuat dengan mereaksikan 0,1 M buffer natrium asetat, 0,05 M CuSO4 pH 4,6 dan 0,011 EU dari lakase dalam volume total 2,5 mL. Proses dekolorisasi dilakukan pada suhu 30 °C dengan kecepatan 200 rpm dan secara berkala diambil untuk mengukur reduksi dari setiap absorbansi pewarna. Untuk mengetahui pengurangan konsentrasi tersebut maka diperlukan data mengenai absorbansi maksimal dari tiap pewarna. Panjang gelombang maksimum pewarna dapat dilihat pada menu scan spektrum yakni antara 400-700 nm. Nilai λ max (dalam nm) pewarna

tersebut

adalah:

aAmido

hitam

10B

(660),

bBromotihymol biru (425), cCoomassie brilliant biru R (595), IIndigo carmine (595), mMalachite hijau (660), mMetil orange ( 487), mMetil merah (550), mMetil violet 10B (595), rRemazol brilliant biru R (595) dan Triypan biru (595). Kemampuan penghilangan warna dari masing-masing pewarna dinyatakan dalam persentase yang dihitung sebagai berikut: Decolorisasi (%) =

𝐴𝑜 − 𝐴𝑡 𝐴𝑜

x 100% Formatted: Indent: First line: 0"

33

di mana Ao adalah nilai absorbansi awal dan At adalah absorbansi setelah setiap interval waktu, keduanya pada panjang gelombang maksimum untuk masing-masing pewarna. Nilai yang dilaporkan sesuai dengan nilai rata-rata percobaan yang dilakukan dalam rangkap tiga dan dikoreksi oleh variasi kontrol reagen jika diperlukan. Formatted: Space Before: 6 pt

3.2.5 Imobilisasi lakase Hasil imobilisasi dipengaruhi oleh perbedaan kandungan protein dalam campuran baik sebelum ataupun sesudah inkubasi. Penentuan kandungan protein dilakukan dengan mengadaptasi metode Coomassie biru. Turunan yang diperoleh dievaluasi untuk aktivitas lakase oleh oksidasi ABTS (Britos dan Trelles, 2016).

Formatted: English (United States)

3.2.5.1 Imobilisasi dengan adsorpsi Sebanyak 200 mg bahan tambahan (DEAE sepharose atau IDA Cu-agarose) diinkubasi dengan 0,1 mg lakase dalam 0,1 M buffer natrium asetat pH 4,6. Campuran immobilisasi diaduk perlahan selama 16 jam pada 4 ° C, dicuci, dan dikeringkan. 3.2.5.2 Pelekatan pada thermogel Agar atau agarose (masing-masing 4% dan 3% (b / v) ) dicampur dengan 0,1 mg lakase (Trelles dan Rivero, 2013; Rivero dkk., 2012). Campuran ditambahkan tetes demi tetes ke minyak 34

Formatted: Space Before: 6 pt

nabati dingin dan diinkubasi selama 5 menit. Butiran gel dicuci dengan n-heksana, air suling dan 0,1 M natrium asetat pH 4,6 dan disimpan pada suhu 4 °C. 3.2.5.3 Pelekatan pada gel Cu-alginat Sodium alginat (8% (b / v) konsentrasi akhir) dicampur dengan 0,1 mg ekstrak lakase. Campuran ditambahkan tetes demi tetes ke dalam larutan 0,1 M CuSO4 sambil diaduk dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar. Butiran gel yang dihasilkan dicuci dengan 0,1 M natrium asetat pH 4,6 dan disimpan pada suhu 4 °C.

35

Formatted: Space Before: 6 pt

3.2.6 Optimalisasi parameter imobilisasi Lakase (0,02 EU) dicampur dengan natrium alginat (8% (b / v)), lalu ditambahkan ke 0,1 M CuSO4 dan diinkubasi selama 0,5; 1 atau 2 jam untuk menentukan waktu polimerisasi yang optimal. Konsentrasi

cross-linker

ditentukan

dengan menambahkan

campuran lakase alginat pada 0,1; 0,2 atau 0,5 M CuSO4. Terakhir, lakase dicampur dengan berbagai konsentrasi natrium alginat (5%, 8% atau 10% (b / v)) dan ditambahkan ke larutan CuSO4. Setelah dicuci, manik-manik yang diperoleh digunakan untuk mengkatalisasi reaksi ABTS.

3.2.7

Stabilitas

dan

profil

operasional

lakase

yang

diimobilisasi Profil inaktivasi ditentukan dengan menginkubasi lakase terimobilisasi pada suhu 30 °C atau 50 °C dengan kecepatan 200 rpm, dan dinilai aktivitasnya sampai deaktivasi. Selain itu, aktivitas retensi dalam kondisi penyimpanan dievaluasi. Untuk tujuan ini, lakase imobilisasi disimpan pada 4 °C dan secara berkala digunakan untuk mengkatalisasi reaksi ABTS sampai kehilangan aktivitasnya. Terakhir, biokatalis digunakan berulang

36

Formatted: Font: Italic

kali hingga aktivitas residual mencapai 50% dari aktivitas awal, dan waktu paruh yang sesuai ditentukan.

“Halaman ini sengaja dikosongkan.”

37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Produksi Lakase Penggunaan enzim ekstraseluler cocok untuk diaplikasikan dalam industri karena menggunakan biaya produksi yang lebih rendah. Akan tetapi sebagian besar enzim lakase yang teridentifikasi merupakan jenis enzim intraseluler (Singh et aldkk, 2011). Pada penelitian sebelumnya, beberapa bakteri penghasil lakase dari genera yang berbeda berhasil diidentifikasi. Uji aktivitas enzim yang dilakukan memungkinkan kita untuk mengidentifikasi enzim ekstraseluler. Salah satu enzim yang berhasil teridentifikasi dengan kemampuan aktivitasnya yang tinggi pada awal pertumbuhan adalah P. vulgaris ATCC 6896. Enzim

diekskresikan

selama

pembudidayanpembudidayaan,

aktivitas lakase meningkat seiring akumulasi biomassa hingga mencapai konsentrasi maksimum 50 EU / L hanya dalam 5 jam kultur (data tidak ditampilkan). Diperoleh titer lakase yang mirip 38

dengan strain Streptomyces pada hari ke 8 (Margotetal., 2013) dan hari ke 14 (Moyaetal., 2010) selama waktu budidaya. Selain itu, supernatan sel bebas telah dipekatkan sebanyak 5 - 6 kali tanpa kehilangan aktivitas yang signifikan, memperoleh persiapan dengan titer sebanyak 100 ± 8 EU/L. Titer adalah pengenceran tertinggi dari serum yang masih menunjukkan pewarnaan imunofluoresensi inti. Produksi dari lakase ekstraseluler ini memungkinkan untuk menggunakan metode sederhana dari pemulihan dan konsentrasi protein, selain itu juga memperoleh sesuatu yang dapat digunakan secara langsung sebagai biokatalis, serta menurunkan biaya produksi dan memakan waktu tidak lama dibanding dengan menggunakan metode pemurnian. Beberapa lakase dari P. vulgaris telah dilaporkan, namun karakteristik biokimia yang paling relevan untuk stabilisasi dan aplikasi pada proses biodegradasi belum diteliti sampai sekarang.

3.3 Karakterisasi Biokimia Lakase Salah satu sifat enzim yang menjadi pertimbangan untuk suatu enzim layak dieksploitasi skala industri adalah stabilitas termal dan kimianya. Aktivitas maksimum lakase dari P. vulgaris diamati pada suhu antara 45 °C dan 60 °C dengan tingkat reaksi 8 kali lebih tinggi daripada pada suhu 30 °C (Gambar 4.1 A). 39

Formatted: Indonesian

Selain itu, profil inaktivasi termal enzim juga ditentukan (Gambar. 1B). lakase dari P. vulgaris lebih tahan panas dibandingkan lakase pada bakteri lain yang pernah dilaporkan (Sondhi dkk., 2014). Waktu paruh enzim ini pada suhu 60 °C adalah 6 jam, serta mampu mempertahankan aktivitasnya selama lebih dari 10 jam pada suhu 40 °C. Pada suhu 30 °C, lakase bakteri ini stabil selama lebih dari 12 jam inkubasi. Pengaruh pH pada aktivitas enzimatik ditunjukkan pada Gambar 1C. Lakase dari P. vulgaris benar-benar stabil pada nilai pH antara 5,0 dan 8,0 selama lebih dari 16 jam. Pada pH 4.0, aktivitas enzim dipertahankan sepenuhnya setelah 8 jam dan secara perlahan mulai tidak aktif sampai 16 jam inkubasi.

Gambar 4.1 Karakterisasi lakase yang dihasilkan dari P. vulgaris (A) Pengaruh suhu terhadap aktivitasnya. Reaksi ABTS dilakukan pada temperatur yang berbeda. (B) Inaktivasi termal. lakase diinkubasi pada temperatur yang berbeda dan aktivitas residualnya ditentukan 40

Formatted: Indent: Left: 0", Hanging: 0.79", Line spacing: single

sampai deaktivasi. (C) Stabilitas kimia lakase. Enzim diinkubasi pada nilai pH yang berbeda (4.0-9,0) dan ditentukan aktivitas residunya. Titik pada data menunjukan rata-rata tiga kali pengulangan ± SD. Secara umum, lakases hanya stabil pada pH asam (Baldrian, 2006), hal ini menjadi kelemahanya sebagai agen pengolah limbah, yang umumnya memiliki nilai pH di atas 7,0 (D'Souza dkk., 2006). Lakase dari P. vulgaris menunjukkan aktivitas yang tinggi dan stabilitas pada pH asam dan basa, yang sesuai untuk aplikasi dalam pengolahan limbah dan bioremediasi. Selain

pewarna

sintetis,

air

limbah

industri

dapat

mengandung berbagai bahan kimia anorganik seperti sulfida, sulfat, klorida, karbonat, peroksida, pemutih klorin, dan logam berat (D'Souza-Ticlo dkk., 2009), yang dapat memiliki efek pada aktivitas enzim. Oleh karena itu, stabilitas lakase terhadap berbagai senyawa logam dalam air limbah diperiksa (Tabel 4.1). Ion logam alkali seperti Na+ dan K+ menghambat kinerja enzim, dan logam alkali tanah menghasilkan efek variabel tergantung pada jari-jari atom. Mg2+ tidak berpengaruh pada aktivitas enzim, sedangkan Ca2+ secara parsial menghambat kinerja enzim. Selain itu, ion strontium dan barium, yang mana memiliki karakter logam lebih tinggi, benar-benar menghambat enzim pada semua konsentrasi yang diuji. 41

42

Tabel 4.1 Pengaruh ion pada lakasi yang dihasilkan dari P. vulgaris. Enzim diinkubasi dengan ion yang berbeda, dan aktivitasnya diukur menggunakan ABTS sebagai substrat pada 25°C dan pH 4,5. Aktivitas relatif dihitung dengan reaksi kontrol (ra = 1). Hasil menunjukan rata-rata ± SD (n=3).

Sebaliknya, enzim tersebut sangat aktif (hingga 3 kali) oleh logam transisi seperti Fe2+ dan Cu2+ , dan beberapa logam seperti Zn2+ . Aktivasi oleh logam tertentu, terutama Cu2+, juga telah diamati pada lakase lain, dan mungkin disebabkan pada penimbunan situs sisi pengikatan tembaga tipe II dengan ion tembaga. Selain itu, ion Zn2+ dapat menggantikan tembaga dan 43

Formatted: Indent: Left: 0", Hanging: 0.69", Line spacing: single

Formatted: English (United States)

memulihkan 100% aktivitas, menunjukkan peran tembaga yang tidak penting dalam enzim ini (Salony dkk., 2008). Telah dilaporkan bahwa pengikatan NaN3 ke tembaga (II) dan (III) dapat memblokir transfer elektron internal sehingga menghambat aktivitas lakase (Ryan dkk., 2003), selain itu agen chelating seperti EDTA dapat mengikat tembaga(II) yang relatif tidak stabil. Enzim juga tahan terhadap inhibitor metaloenzim yang kuat (Tabel 4.2). EDTA, sitrat dan NaN3 memiliki efek penghambatan, tetapi secara signifikan lebih rendah daripada yang diamati untuk lakase lainnya (Niladevi dan Prema, 2008).

44

Formatted: Font: Italic

Tabel 4.2 Pengaruh inhibitor dan surfaktan pada lakase yang dihasilkan P. vulgaris. Aktivitas enzim diukur menggunakan ABTS sebagai substrat pada 25 ° C dan pH 4,5. Aktivitas relatif dihitung sehubungan dengan reaksi kontrol (ra=1). Hasil ditunjukan dengan ratarata ± SD (n = 3).

Formatted: Indent: Left: 0", Hanging: 0.69", Line spacing: single

. a. a. tidak ditentukan b. b. Sodium lauryl sulfate (anionik). c. c. N-lauryl sarcosine (anionik). d. d. Alkyltrimethylammonium bromide (kationik). e. e. Polyethylene glycol tert-oktilfenil eter (nonionik). f. f. Polyethylene glycol sorbitan monooleat (nonionik). g. g. Polyoxyypylene-polyoxypropylene block copolymer (surfaktan nonionik).

Di sisi lain, SDS surfaktan anionik menghambat M.

Formatted: Font: 8 pt Formatted: Indent: Left: 0.2", Hanging: 0.1", Line spacing: single, Numbered + Level: 1 + Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 0.35" + Indent at: 0.6"

Formatted: Font: Italic

verrucaria lakase (Zhao dkk., 2012) dan CTAB, deterjen kationik, diidentifikasi sebagai inhibitor kompetitif C. bulleri

Formatted: Font: Italic

lakase (Vasdev dkk., 2005). Sebaliknya, lakase pada Bacillus sp.

Formatted: Font: Not Italic

(Dalfard dkk., 2006) dan F. solani (Wu dkk., 2010) sedikit 45

diaktifkan oleh senyawa yang sama. Interaksi permukaan antara surfaktan dan lakase telah diusulkan (Ji dkk., 2009). Dalam penelitian ini, lakase dari P. vVulgaris sangat stabil dengan adanya surfaktan non ionik (Triton®X-100, Tween®80, dan Pluronic ®F-68), dan efek stimulasi yang kuat (hingga 500%) pada aktivitas lakase diamati dengan menggunakan deterjen kationik dan anionik yang kuat, hal ini menunjukkan bahwa enzim baru ini cukup potensial untuk digunakan dalam penangan air limbah. Peningkatan aktivitas seperti dalam model interaksi kooperatif juga bergantung pada konsentrasi (Gayatridevi dkk., 2016). Beberapa lakase pada jamur dan bakteri dapat diinaktivasi oleh pelarut organik (Kaushik dan Thakur, 2013), yang merupakan batasan untuk aplikasi dengan limbah kompleks dan substrat yang tidak larut dalam air. Lakase dari P. vulgaris ditemukan stabil pada berbagai konsentrasi asetonitril, dan sebagian mempertahankan aktivitasnya dengan adanya alkohol (Tabel 4.3). Toleransi ini dapat memungkinkan penggunaan lakasi dari P. vulgaris dalam sistem co-pelarut untuk perlakuan polutan yang memiliki tingkat kelarutan air yang rendah (Hautphenne dkk., 2016).

46

Tabel 4.3 Pengaruh inhibitor dan surfaktan pada stabilitas dari lakase yang dihasilkan P. vulgaris dalam pelarut organik. Aktivitas lakase diukur menggunakan ABTS sebagai substrat pada 25 ° C dan pH 4,5. Aktivitas relatif dihitung sehubungan dengan reaksi kontrol (ra = 1). Hasil ditunjukan dengan rata-rata ± SD (n = 3).

Terakhir, kemampuan lakase dari P. vVulgaris untuk mendekolorisasi pewarna yang berbeda berhasil dipelajari (Tabel 4.4). Karena keragaman struktural zat warna yang sangat besar, beberapa model molekul yang dapat mewakili dan yang berfungsi untuk membuktikan spesifisitas rendah dari enzim yang diteliti telah dipilih. Tingkat dekolorisasi yang tinggi untuk semua kelompok yang diuji, menunjukkan berbagai substrat yang berikatan dengan enzim. Hasil ini lebih unggul daripada yang dilaporkan sejauh ini menggunakan enzim yang dimodifikasi (Pardo dkk., 2013), penambahan mediator (Mendoza dkk., 2014), dan waktu reaksi yang lama (Razak dan Annuar, 2014). Dalam 47

Formatted: Indent: Left: 0", Hanging: 0.69", Line spacing: single

penelitian ini, lakase dari P. Vulgaris mampu mendekolorisasi pewarna azo-, diazo-, antrakuinon dan triariylmetana pada 3 jam inkubasi tanpa mediator apa pun, menggunakan preparasi sel bebas enzim.

Tabel 4.4 Imobilisasi lakase yang dihasilkan dari P. vulgaris. Enzim diinkubasi dengan matriks dan zat pendukung yang berbeda. Lakase yang telah diimobilisasi diuji oleh reaksi ABTS, dan retensi aktivitasnya dievaluasi setelah prosedur pencucian.

Formatted: Indent: Left: 0.1", Hanging: 0.69", Line spacing: single

4.3 Pengembangan Biokatalis Imobilisasi 4.3.1 Pemilihan Zat Pendukung Dua strategi yang dipelajari untuk menstabilkan lakase dari P. vulgaris adalah adsorpsi dan jebakan dalam matriks hidrogel. Seperti disebutkan di atas, ion Cu2+ berinteraksi dengan sisi spesifik enzim, dan sifat ini telah dieksploitasi untuk recovery lakase dari ekstrak mentah dengan cara kromatografiy kelat (Kataoka dkk., 2007). Sebagai alternatif, beberapa contoh 48

Formatted: Indonesian

pemulihan lakase dari preparasi pekat dengan kromatografi penukar ion pada DEAE-sepharose telah dijelaskan (Telke dkk., 2011). Oleh karena itu, matriks-matriks ini juga bisa berfungsi sebagai pendukung untuk imobilisasi. Di sisi lain, pelekatan lakase dalam termogel alami, seperti agar atau agarose, telah dieksplorasi sampai batas tertentu, tidak seperti gel ionotropik seperti alginat (Niladevi dan Prema, 2008). Secara

umum,

kation

divalen

(Cd2+,Co2+,Co2+,Mn2+,Ni2+,Pb2+,Zn2+,Ca2+,Sr2+,Ba2+) adalah zat pengikat silang yang cocok untuk pembuatan gel alginat. Meskipun kalsium adalah ion yang paling umum digunakan dalam polimerisasi, gel Ca-alginat lebih berpori, kurang fleksibel dan memiliki stabilitas kimia yang lebih rendah daripada Cualginat (Brandi dkk., 2006). Telah diusulkan bahwa tembaga berinteraksi secara tidak spesifik dengan alginat, dan membentuk kelat antarmolekul ataupun intramolekul dengan gugus karboksil dan hidroksil dari segmen guluronat makromolekul (Goh dkk., 2012).

49

Tabel 4.5 Imobilisasi lakase yang dihasilkan dari P. vulgaris. Enzim diinkubasi dengan matriks dan zat pendukung yang berbeda. Lakase yang telah diimobilisasi diuji dengan reaksi ABTS, dan retensi aktivitasnya dievaluasi setelah prosedur pencucian.

Tabel 4.5 merupakan hasil dari berbagai turunan imobilisasi lakase yang berbeda. Enzim dapat diimobilisasi secara efisien di semua bahan yang diuji. Aktivitas yang diimobilisasi dalam termogel

secara

signifikan

lebih

rendah

daripada

yang

diimobilisasikan dalam hidrogel seperti Cu-alginat atau dengan adsorpsi,

hal

ini

dapat

dikaitkan

dengan

pengurangan

pengangkutan reagen dan produk karena jaringan matriks atau metodologi imobilisasi yang digunakan. Hanya derivat DEAE agarose dan Cu-alginat yang menahan enzim setelah prosedur pencucian 24 jam. Namun, derivatif DEAE agarose dibuang untuk percobaan selanjutnya karena 50

Formatted: Indent: Left: 0", Hanging: 0.69", Line spacing: single

interaksi kuat ABTS dan pewarna dengan dukungan diamati, yang mempengaruhi kinerja reaksi yang menarik. Oleh karena itu, pelekatan pada Cu-alginat adalah metode stabilisasi enzimatik yang dipilih untuk P. vulgaris . 4.3.2 Optimasi Parameter Imobilisasi Karakteristik fisik, mekanik dan kimia dari gel alginat tidak hanya bergantung pada komposisi material (proporsi dan panjang segmen monomer GG dan MM) (Lee dan Mooney, 2012), tetapi juga pada identitas ion polimerisasi dan konsentrasinya (Moreira dkk., 2006), serta pada parameter lain dari proses persiapan. Waktu kontak alginat dengan ion silang secara signifikan mempengaruhi aktivitas lakase. Waktu tinggal yang lebih lama menghasilkan tingkat reaksi yang lebih rendah; sehingga waktu inkubasi manik-manik ditentukan pada 0,5 jam pada suhu kamar (Gambar 2A). Telah ditunjukkan bahwa konsentrasi ion pengikatan silang memiliki sedikit pengaruh pada gaya mekanis. Namun, konsentrasi ion polimerisasi yang tinggi menyebabkan tingkat ikatan silang yang lebih besar sehingga berakibat pada penurunan permeabilitas matriks (Cappa dkk., 2014). Kegiatan imobilisasi P. vVulgaris dalam Cu-alginat tidak terpengaruh secara signifikan pada konsentrasi tembaga antara 0,1 dan 0,2 M (Gambar 2B). Hanya pada konsentrasi 0,5 M muncul efek negatif 51

Formatted: Space Before: 6 pt

pada aktivitas, hal ini dapat diakibatkan oleh penurunan tingkat difusi produk dan reagen. Oleh karena itu, konsentrasi Cu2 + 0,1 M dipilih untuk imobilisasi. Peningkatan konsentrasi matriks menghasilkan gel dengan pori-pori internal yang lebih kecil, padat dan lebih kuat, memberikan stabilitas mekanik yang lebih besar (Wright dkk., 2012). Di sini, alginat 10% (b / v) menghasilkan biokatalis terbaik, dengan laju reaksi yang menduplikasi yang sesuai dengan 8% (b / v) (Gambar 2C). Biokatalis ini, dengan beban enzimatik 0,05 EU / g, dipilih untuk uji stabilitas termal.

Gambar 4.2 Imobilisasi lakase dari P. vVulgaris di Cu-alginat. Parameter seperti waktu inkubasi (A), konsentrasi cross-linker (B) atau konsentrasi alginat (C) dipelajari. Efisiensi derivatif ditentukan oleh tes ABTS. Titik data menunjukan rata-rata dari tiga kali pengulangan ± SD. 52

Formatted: Indent: Left: 0", Hanging: 0.89", Line spacing: single

Formatted: English (United States)

Gambar 4.3 Stabilitas biokatalis yang diimobilisasi. Stabilitas mekanik dan enzimatik dari lakase yang dihasilkan P. vulgaris yang terperangkap dalam Cu-alginat dipelajari pada suhu 30 atau 50 ° C dan 200 rpm (kondisi operasi), dan pada 4 ° C (kondisi penyimpanan). Aktivitas residual ditentukan oleh perbandingan dengan aktivitas awal. Pelepasan lakase dalam gel Cu-alginat secara signifikan menstabilkan P. vulgaris (Gambar 4.3). Biokatalis dapat disimpan selama 1600 jam tanpa nonaktif, mampu bertahan bahkan mencapai 70% dari aktivitas awal. Selain itu juga menunjukkan resistensi suhu yang tinggi, mampu mempertahankan aktivitas selama 500 jam inkubasi pada suhu 55 ° C, yakni 50 kali lebih besar dari stabilitas enzim bebas dan dua kali lipat dari yang dilaporkan untuk biokatalis alginat lainnya (Phetsom dkk., 2009). 53

Formatted: Indent: Left: 0", Hanging: 0.89", Line spacing: single

Formatted: Space Before: 6 pt Formatted: Font: Italic

4.3.3 Biodegradasi oleh Katalis Terimobilisasi Biokatalis yang dikembangkan digunakan untuk menguji penghilangan pewarna (Tabel 4.6). Lakase imobilisasi secara efisien mengkatalisis perubahan warna dari 6 substrat hanya dalam 3 jam reaksi, dengan hasil yang lebih tinggi dari yang dilaporkan sebelumnya (D'Souza dkk., 2006; Osma dkk., 2010). Juga, biokatalis ini secara berkala digunakan untuk menurunkan zat warna yang diteliti sampai deaktivasi. Waktu paruh biokatalis meningkat secara signifikan terhadap yang serupa lainnya (Niladevi dan Prema, 2008; Phetsom dkk., 2009), dengan stabilitas enzimatik dan struktural hingga 500 jam di bawah kondisi operasi. Biokatalis ini aktif selama 160 siklus degradasi tanpa kehilangan efisiensi, menunjukkan kekuatan derivatif yang dikembangkan. Akhirnya, efek penambahan aktivator yang diidentifikasi selama dekolorisasi dipelajari. Untuk tujuan ini, RBBR, sebuah pewarna industri yang teridentifikasi sebagai racun dan sulit dipecah, dengan perkiraan waktu paruh lebih dari 40 tahun, digunakan (Osma dkk., 2010).

54

Tabel 4.6 Kinerja biokatalis Cu-alginat. Lakase terimobilisasi digunakan untuk biotransformasi zat warna dengan siklus reaksi 3 jam pada 30 ° C dan 200 rpm sampai deaktivasi.

P. vulgaris diinkubasi dengan Cu2+, Zn2+ (10 mM), CTAB atau SDS (masing-masing 1 dan 5 mM) dan diimobilisasi dalam gel Cu-alginat dalam kondisi optimal. Biokatalis digunakan untuk mendekolorisasi RBBR seperti yang dijelaskan sebelumnya, dan efisiensi dibandingkan dengan derivatif yang tidak diaktifkan. Tembaga pra-aktivasi adalah yang paling efektif untuk tujuan ini, dan memungkinkan untuk mendapatkan 50% dari dekolorisasi RBBR dalam 2 jam, meningkatkan baik hasil dan produktivitas reaksi.

55

Formatted: Indent: Left: 0", Hanging: 0.69", Line spacing: single

“Halaman ini sengaja dikosongkan.”

56

BAB V KESIMPULAN Berdasarkan disimpulkan

percobaan

bahwa

P.

yang vulgaris

telah

dilakukan

mampu

dapat

menghasilkan

ekstraseluler lakase ekstraseluler yang tahan panas dan mampu meningkatkan aktivitasnya pada pH basa. Hasil ini dapat ditingkatkan dengan adanya kontaminan umum limbah industri dan domestik, seperti logam berat dan deterjen. Selain itu, enzim mampu mempertahankan aktivitasnya terhadap inhibitor kimia dan pelarut organik dalam konsentrasi tinggi. P. vulgaris mampu mengenali berbagai macam zat warna dengan persentase dekolorisasi yang tinggi tanpa pemurnian dan pengaturan konsentrasi yang memiliki biaya mahal. Enzim ini terstabilkan oleh imobilisasi Cu-alginat, serta memperoleh biokatalis dengan stabilitas termal, mekanik dan kimia yang luas.

57

xv

Related Documents

Kolokium
June 2020 18
Weni Akhlak
June 2020 1
Kolokium Sari.docx
June 2020 20
Kolokium(penyelidikan)
June 2020 31
Weni Syafrineti 16089012
November 2019 2

More Documents from "juha"