Mozaik satu
Siuman Di sudut bumi, di tanah yang jarang dipijak. Dimana hutan, pohon, sungai, dan langit masih bersahabat dengan penghuninya. Ketika hukum rantai makanan masih berlaku. Elang memakan ular, ulra memakan katak dan katak memakan ikan. Di tempat itu hanya ada satu rumah panggung yang diisi oleh sepasang suami istri. Dan kamu harus tahu kawan, disana lah aku berada saat ini. “Udah siuman encep?” kata abah Ucup sang pemilik rumah. “Alhamdulillah. Ambu! Coba ambilkan air buat si encep, dia sudah siuman!” “Cepetan atuh ambu!” “Ya sabar atuh si Abah teh, kan ambu udah usaha buat cepet-cepet ini teh”, ambu Elis membela. Aku merasakan pusing yang sangat hebat, badan yang rontok dan kebingungan yang tak terkira. Dimana aku? Mereka siapa?
“Encep ayo diminum dulu air nya!” abah Ucup membantuku duduk dan memberiku minum. “Encep tenang saja! Encep aman di rumah abah sekarang. Waktu itu abah nemuin encep pingsan di pinggir sungai. Langsung aja abah bawa ke rumah ini.” “Iya. Ambu kasihan sekali liat encep yang luka-luka. Tangan dan kaki kanan patah. Tapi untungnya sekrang sepertinya sudah baikan.” Ambu Elis menambahkan. “Encep ini pingsan udah 30 malam.” 30 malam? Selama itu? Aku tak percaya. Yang kuingat hanya kejadian yang menakutkan itu. Bis yang kutumpangi dan teriakan para penumpang. Bis itu lepas kendali dan menabrak pembatas jembatan Cisokan. Ya. Hanya itu yang aku ingat. “Ambu! Abah! Makasih banyak sudah ngerawat aku. Aku gak tau harus gimana ngebalasnya.” “Si encep ini. Gak usah ngomong kaya gitu! Abah sama ambu sudah seneng liat encep siuman. Encep itu ngingetin abah sama anak-anak abah yang lagi pesantren di
72
Banten. Mereka teh pulang nya setahun sekali. Pas lebaran idul fitri aja.” “Makasih!” “Alah si encep ini makasih mulu. Sekarang encep pasti lapar. Ayo sekarang mah kita makan saja. Ayo!” Ambu mengajakku beranjak ke dapur untuk makan. “Mohon dimaklum. Disini jauh kemanamana, jadi makannya seadanya aja. Abah sama ambu Cuma makan dari hasil kebun dan sungai. Ayo encep makan yang banyak! Anggap aja ini rumah sendiri.” Hatiku remuk. Ingin sekali kumenangis, namun kusembunyikan kecengenganku itu untuk sesaat. Ambu dan abah baik sekali kepadaku. Padahal mereka tidak mengenalku. Ku ucap syukur yang tak terkira kepada Illahi Rabbi. Alhamdulillah.
72
Mozaik Dua
Keluarga Abah Ucup Bumi masih gelap ketika aku terbangun. Dilangit, diujung, masih tampak bulan sabit tergantung berada diantara bintang gemintang. Menjadi benda terbesar diangkasa karena jaraknya yang paling dekat dengan bumi. Namun secara kenyataan, bulan meruapakan benda terkecil bila dibandingkan dengan yang lain. Burung-burung sudah meninggalkan sarang nya. Mereka terbang mengitari tanaman padi darat, mencari makan agar nanti malam bisa tidur dengan nyenyak. Aku melangkah dengan hati-hati, karena rumah panggung ini tidak memiliki lampu listrik. Bukan karena abah ucup tidak mampu membeli lampu, tapi karena tidak ada pasokan listrik ke rumah ini. Blugggg.... “Upsh...”
72
Aku menabrak kursi. Sakit sekali. Tapi kucaba untuk ditahan. Aku takut abah dan ambu nanti terbangun. Dan aku berusaha secepat mungkin meloncat melewati tangga menuju halaman. Di Timur aku melihat cahaya kebirubiruan pertanda pagi akan segera datang. Aku menuju sungai untuk menunaikan hajatku. “Aghhh.... lega.” Sakit perut ini aku tahan dari tadi malam. Aku takut ke sungai sendirian dan malu bila harus meminta antar abah Ucup. Dan baru berani ketika ayam jantan mulai berkokok. Kongkorongokkkkk ......
Tak terasa hari ini sudah seminggu setelah aku siuman. Dan aku mulai dekat dengan keluarga abah Ucup dan istrinya ambu Elis. Mereka tinggal di tengah hutan, menjaga tanah mereka dan berkebun. Tidak memiliki tetangga dan hanya hidup berdua. Kedua anaknya, Ujang dan Icih, mereka berdua sekolah di pesantren Daarul Jannah di Banten. Kata abah Ucup, pendidikan
72
itu penting. Dia tidak mau kedua anaknya itu seperti dia, hidup jauh dari masyarakat lain hanya untuk bertahan hidup. Dia ingin kedua anaknya menjadi Mubaligh dan Mubalighoh. Mengabdi kepada Allah dan masyarakat. Menjadi salah satu pemegang panji kebenaran ketika bumi ini sudah kacau. Di rumah panggungnya terpajang foto presiden Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun. Bapak Soeharto. Sudah tua. Sama seperti abah Ucup yang sekarang berusia 55 tahun. Ketika kutanya, kenapa foto itu masih dipajang? Abah hanya menjawab sembil tersenyum, pak Soeharto lah yang telah ngasih abah tanah ini. Mana ada coba presiden sekarang yang baik kaya beliau? Makanya abah sama ambu gak mau ganti foto itu. Foto itu keramat. Yang jelas sih abah sama ambu gak tau presiden sekarang itu siapa. Jarak rumah dengan sungai cukup dekat. 10 meter. Sering sekali kutatap sungai itu. Tidak terlalu bersih tapi tidak juga kotor. Sungai ini yang membawaku ke sini. Dipertemukan dengan suami istri berhatikan malaikat.
72
Untuk minum ambu tidak mengambil dari sungai itu, tapi dari anak sungai yang mengalir dari bukit belakang rumah. Airnya bersih, dingin dan bisa langsung diminum. Dapur rumah ini kotor sekali. Atapnya hitam. Tidak ada kompor minyak apalagi gas elpiji. Untuk memasak, ambu hanya mengandalkan kayu bakar yang dikumpulkan dari hutan. Aku terkadang sering melihat ambu mengeluarkan air mata ketika meniup bara api agar menyala, dan terkadang batuk sesekali.
Taukah kawan? Hari ini aku akan membantu abah buat mencari ikan. Caranya sangat primitif. Hanya mengandalkan sebilah bambu yang diruncingkan ujungnya. Tapi jangan salah. Hanya dalam waktu 10 menit saja abah sudah mendapatkan 3 ekor ikan gurame. Dia pemburu yang hebat. “Abah! Kenapa Cuma 3 ikan aja? Padahal abah kan bisa dapat lebih dari tiga.” Tanyaku. “Kita kan hanya bertiga. Buat apa ikan banyak-banyak. Klo masih mau nanti bisa kita nangkap lagi. Tapi kan takutnya enggak kemakan. Klo enggak kemakan nanti
72
mubadzir. Dan klo mubadzir kan golongan syetan.” Abah menjelaskan dengan senyuman khasnya. Sungguh mulia suami dari wanita yang berumur 35 tahun ini. Kekagumanku semakin menjadi ketika melihat mereka sedang berdua. Sesekali aku melihat abah meberikan bunga liar yang tumbuh dipekarangan kepada ambu. Entah apa nama bunga itu. Tapi yang pasti ambu menerimanya dengan senyuman yang sangat lebar. Dan suatu ketika, ketika aku berada di rumah. Duduk sendiri. Aku kaget karena melihat abah dan ambu sedang bernyanyi dan menari di kebun. Mereka seperti aktor dan aktris India di filem-filem. Di tangan kanannya, abah memutar topi kerucut yang terbuat dari bambu, sedangkan tangan kirinya memegang tangan ambu. Dia bernyanyi. Lalu ambu dengan malu-malu menutup wajahnya dengan selendang. Seakan berkata, ayolah abah, bukalah ni selendang dan lihatlah siapa yang memakainya! Atau mungkin ambu akan berkata, hai cowok godain aku dong! Berlari, kejar-kejaran dari satu pematang ke pematang lain. Lalu ketika lelah, mereka duduk di bawah pohon jambu air yang
72
sangat lebat. Dengan gentle abah mengeluarkan sebuah ketepel, dan seakan dia berkata kepada ambu, wahai adinda, lihatlah kakandamu ini! Kan kuperesembahkan sebuah jambu air merah yang ranum. Aku yakin adinda akan senang memakannya. Abah mengambil ancang-ancang. Dipungutnya krikil kecil dan mulai mengeker gerombolan jambu di atas. Abah semakin bersemangat ketika ambu berkata, ayo kakanda, kamu bisa! Cayo! Cayo! Plushhhh .... Brukkk ....
72
Mozaik Tiga
Rencana Matahari sedang berada diatas ubun-ubun. Aku duduk diatas tangga. Baju yang kupakai basah kuyup oleh keringat. Aku membantu abah menggembala kambing dan itik. Abah memilki 4 kambing, 11 itik, 6 ayam dan seekor lutung. Hitler nama lutung itu. Abah menamainya karena pernah mendengar dan melihat Hitler dari kotak gambar yang bergerak, Tv. Mendengar nama Hitler ketika menjemput kedua anaknya di Cililin. Menurut abah Hitler sangat lucu karena memiliki kumis
72
yang sedikit dan memakai celana yang setengah panjang. Sungguh aneh, ceritanya sambil tertawa. Untuk ke Cililin membutuhkan 3 hari 2 malam dengan berjalan kaki. Karena melewati bebukitan. Tapi bisa juga ditempuh hanya dengan 2 hari 1 malam dengan jalan pintas. Tapi sangat berbahaya karena harus melewati jurang yang dalamnya 115 meter. Di kejauhan abah memanggilku. Dia menyuruhku agar juga membawa Hitler. Kali ini aku diajarkan memanjat pohon kelapa. Sungguh menyiksaku. Dadaku sesak. Aku takut ketinggian. Bayangkan saja, tinggi pohon kelapanya 18 meter. Pyuh... Abah memaksaku, aku tak bergeming. “Masa mau kalah sama monyet?” sindir dia. Masa bodo. Aku mebisu. Aku membatu. Abah meyakinkanku, membujukku, merayuku, meberikan bunga. Ihhhhh.... emang eke cowok apaan, pikirku. Abah menyerah. Aku tersenyum, seperti pejuang yang berhasil mempertahankan wilayah NKRI dari kompeni Belanda. Didalam hati aku berteriak,
72
MERDEKA! MERDEKA! MERDEKA! tersenyum lagi. Hahaahah....
Lalu
Abah melihatku jengkel. Lalu dia naik pohon itu. Bluggggg..... Sebuah kelapa tepat jatuh 50 cm di sampingku. Aku kaget, kepalaku pusing, aku ketakutan, kehilangan keseimbngan, lalu aku terjatuh dan tak sadarkan diri.
Aku tersadar dari pingsanku. Ambu mengkompres kepalaku dengan air hangat. Sungguh melegakan. Disudut lain, aku melihat abah sedang tersenyum kebanggan karena telah membalasku. Di dalam hatinya dia mungkin berkata, rasakan itu bocah tengik! Masih mending tidak kupecahkan kepala tololmu itu. Berani-berinanya kamu membantah perintahku buat memanjat kelapa. Hahaahah.... “Encep tidak apa-apa? Alhamdulillah. Untung tidak kena kepala. Klo kena kepala bisa pingsan 30 hari lagi.” Abah menanya keadaanku dengan aura kebapak-annya sambil tersenyum khas.
72
“Ah, abah ini bisa aja. Aku gak apa-apa kok”. Pikiranku tentang abah berubah, aku pikir abah sengaja menjatuhkan kelapa itu. Setelah ambu menjelaskan, ternyata Hitler yang menjatuhkan kelapanya. Huh... dasar!
“Encep! Ni barang-barang encep. Sepertinya sudah waktunya encep pulang ke rumah. Abah yakin keluarga encep pasti hawatir sama keadaan encep. Maaf! Abah gak bermaksud mengusir encep” Sebuah dompet dan baju yang bersih disodorkan kepadaku. Kubuka dompet ku itu. Masih komplit. Aku melihat foto ayah dan ibuku. Tak terasa air mata ini mengalir. Aku rindu mereka. Rindu adik-adikku. Lalu aku tertegun pada selembar foto yang lain. Foto gadis pujaanku. Aku teringat, aku berada di bis itu hendak menemuinya. Hendak memberikan boneka bear. Ah... aku merindukannya juga. Aku merindukanmu, Rani Sri Handayani. “Terima kasih abah dan ambu. Ada baiknya aku besok saja berangkat pulang.
72
Tapi klo tidak keberatan aku minta sedikit perbekalan buat di perjalanan.” “Encep jangan hawatir. Ambu bakalan siapin nasi sama ikan kesukaan encep. Sekarang mendingan encep salat dulu, habis itu tidur biar besok gak kesiangan.” “Iya ambu. Aku mo salat dulu.”
Mozaik Empat
Bolang Sang Petualang “Hati-hati!”, pesan abah dan ambu. Hari ini adalah saatnya aku harus meninggalkan keluarga abah Ucup. Setelah 60 malam tepatnya aku berada di rumah ini. Aku sedih, air mataku mengalir. Kutahan,
72
tetapi semakin menjadi. Ingusku keluar dari hidung, air mata membasahi pipiku, aku peluk mereka seperti kupeluk kedua orang tuaku. Mereka adalah malaikat bagiku, aku berterimakasih kepada mereka. Ku ingat semua pesan dari abah ucup agar bisa sampai ke desa terdekat. Ku perhatikan setiap ditel dari daerah-daerah yang berbahaya. Ku simpan memori tentang tumbuhan yang bisa dimakan dan cara berburu jitu ‘ala abah. Ku jinjing perbekalan yang ambu siapkan semalam. Semuanya tersimpan di karung ghoni. Cukup berat dan sepertinya cukup buat perjalanan 2 hari satu malamku. Seperti yang ambu janjikan, dia membekaliku dengan nasi serta ikan mujaer bakar kesukaanku. Serta 13 potong pisang ambon dari kebun dan satu liter air yang diisi dalam botol aqua bekas. Kutatap mereka untuk terakhir kalinya. Aku berlari, tak kuasa diriku melihat mereka. Ku dengar jeritan burung-burung pagi menghinaku. Dasar cengeng kamu, Maliq! Bila ingin sampai di desa besok sore, aku harus melewati jurang terjal. Dari sini aku hanya harus terus berjalan menuju barat. Hanya mengikuti saja kemana matahari akan
72
tenggelam. Dan semoga aku bisa sampai ke Goa yang abah maksud sebelum senja tiba. Agar aku bisa berlindung dari dinginnya malam.
Aku berjalan seharian. Aku lelah. Kurebahkan badanku di batang pohon yang sangat besar. Ku makan perbekalanku. Nasi timbel dan ikan mujaer. Lalu untuk dessert, kumakan sepotong pisang. Nikmat. 15 meter dariku, berkumpul segerombolan lutung liar. Mereka tertarik dengan barang bawaanku. Kudekap erat-erat karung ghoniku. Tetapi mereka semakin menjadi, berteriak dan mengitariku. Aku terkepung oleh gerombolan lutung ini. Aku ketakutan tapi kucoba untuk melawan. Ku keluarkan golok pemberian abah, tapi percuma. Sekarang lutung-lutung sialan ini melempariku dengan batu. Aku mundur dan menjauh. Aku menyerah, kuserahkan barang bawaanku. Mereka puas, berebut pisang yang berada di karung ghoniku. Mereka meremehkanku, rasakanlah itu manusia bodoh! Ini adalah daerah kekuasaan kami. Setiap yang melintas harus membayar pajak.
72
Dan kamu, manusia keras kepala, sudah saatnya kamu membayar pajakmu. Setelah puas merampas semua perbekalanku dan melecehkanku. Mereka meninggalkan karung ghoni itu dengan tercompang-camping. Raib. Semua perbekalan habis oleh mereka. Dasar binatang tak berotak!
Ku teruskan perjalananku. Hingga akhirnya aku sampai di goa yang abah maksud. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk beristirahat. Di dalam goa ini ada batu besar seperti tempat peristirahatan. Seperti dipan panjang. Ku kumpulkan ranting-ranting kecil untuk membuat api unggun, ini pesan abah agar aku terjaga dari binatang buas ketika aku terlelap. Senja menjadi malam, suara burung gagak membuat bulu halus di pundaku berdiri. Angin malam menggoda dedaunan untuk bernyanyi. Sssssssssss...... Ku dekatkan tubuhku ke perapian. Hangat. Tapi aku kelaparan. Perbekalanku
72
habis dirampok. Entah kemana aku mencari makanan. Kupejamkan mataku, siapa tahu bisa melupakan rasa laparku. Tapi ternyata tidak membantu sama sekali. Kupegang perutku, kutekan, lalu kutekan lebih keras dan lebih keras. Lalu disaat aku terlelap. Ada sesuatu yang merayap di kakiku. Benda itu melilit. Kubuka mata perlahan. Aku terperanjak. Aku berusaha tenang. Ular yang sangat besar melingkar di kaki. Ku berusaha tidak gegabah. Sedikit saja mengagetkan ular itu, aku bisa mati. Panjang ular itu 5 meter, dan besarnya sebesar pahaku. Kepala ular itu berada di dekat perapian. Sepertinya dia kedinginan. Perlahan tapi pasti, kucabut golok di pinggang. Tapi terlambat, ular itu sadar dengan gerakanku. Tubuhnya dengan kuat mulai melingkari pahaku, lalu perutku. Kepalanya tepat di depan kepalaku. Ku cekik kepalanya dengan tangan kiriku, lalu dengan cepat kuayunkan golokku dengan tangan kanan. Preng....
72
Golokku terlempar. Ekor ular itu mengibas di tangan kananku. Aku kesakitan. Ular itu semakin menjadi. Kepalanya kian mendekati kepalaku. Ku coba menahannya. Giginya tajam. Sekali saja tersengat. Aku akan mati dalam hitungan detik. Aku menggulingkan badan menuju golok yang berada di dekat perapian. Kini aku seperti The Rock bergulat melawan Triple-H. Aku mencekik ular itu. Tapi kemudian ular itu menggulingkan badannya dan melilitku semakin kencang. Aku sulit bernapas. Peredaran darah ke otakku berkurang. Pacuan jantungku semakin kencang. Slesh... Kepala ular itu putus. Tak percaya. Darahnya mengguyur badanku. Aku berdiri dan menuju mulut goa. Aku ketakutan. Entah darimana aku memiliki keberanian tadi. Agh... Ku segera pergi dari goa tadi. Malam ini bulan sedang purnama. Jalanan terang. Ku berjalan dan terus berjalan. Sesekali berlari, lalu berjalan lagi. Entah hanya ilusi atau kenyataan. Aku mendengar suara Adzan Subuh. Aku berlari menuju suara itu. Aku berharap akan
72
menemukan desa pertama. Aku tak percaya. Aku sampai desa lebih cepat dari perkiraan.
Mozaik Lima
Warteg Pasti Kenyang
72
“Asalamu’alaikum Warahmatullah ....” Ku ucap syukur tak terkira. Rasa takut dan lelah setelah pergulatan dengan ular tadi, hilang. Euforiaku mengalahkan rasa lelah itu. Aku merebahkan tubuhku setelah melaksanakan shalat subuh berjamaah. Aku telah sampai di Desa Sumur Bandung. Desa yang abah Ucup maksud. Dari sini aku harus naik angkutan sayur menuju pasar pukul 6 nanti. Masih ada waktu 30 menit. Seorang supir menghampiriku. Menanyakan apa aku mau ikut serta dalam rombongan angkutan ini atau tidak. Kedatangan supir ini tidak aku sia-siakan. Aku mengutarakan niatku untuk pulang ke Cianjur. Supir itu dengan senang hati menjawab setiap pertanyaanku. “Ayo mari! Mobilnya mau berangkat.” Supir itu mengajakku untuk segara naik mobil “Kol Bak”. Aku duduk di belakang. Berjubel bersama ibu-ibu penjual sayur. Selama perjalanan tak ku ucapkan sepatah kata pun. Angin mempermainkan rambutku yang mulai gondrong. Kusisir dengan jari agar tidak menutupi penglihatan.
72
Mentari pagi mulai bersinar, menyapa kaum miskin yang berada di kendaraan butut ini. Kecepatan mobil ini tidak konsisten. Terkadang melaju diatas 80 kilometer per jam. Tetapi kebanyakan hanya 10 kilometer per jam. Jalanan yang berlubang dan tergenang air adalah penyebabnya. Sayuran-sayuran ini akan dijual di Pasar Induk Cililin. Dari sana lah aku harus meneruskan menggunakan Elef, tujuannya adalah pasar Ciroyom.
Pasar Induk Cililin merupakan pusat penjualan terbesar di Cililin. Pasar tradisionil yang masih kental dengan teori tawar-menawar. Semua kebutuhan rumah tangga, sembako sampai pakaian dijual disini. Sayur-mayur dan buah-buahan dijual di wilayah utara. Daging-dagingan dujual disebelah timur. Pakaian dan perabotan rumah tangga, seperti kompor, citel, spatula, ember, gayung, coet, dijual disebelah barat. Sedangkan macam-macam yang tidak termasuk katagori diatas, dijual di wilayah selatan.
72
Aku menghampiri salah satu warung makan, “Warteg Pasti Kenyang”. Cacing-caing diperutku sudah berdemo sejak tadi malam. Imbas dari perampokan biadab oleh lutunglutung kemarin. Kupilih idam yang tidak terlalu mahal tapi besar, yang kira-kira mampu menahan cacing-cacing ini untuk tidak berdemo lagi sampai nanti malam. Seperti otomatis, mataku langsung tertuju ke-sebuah daging sebesar telapak tangan yang digoreng kering. Selain besar, harganya Cuma 2000 rupiah. Tambah nasi, sayur dan air, maka semuanya jadi 5000 rupiah. Cukup murah untuk makan dengan daging. Tanpa pikir panjang, aku langsung pesan dan langsung makan dengan lahap. Rasanya aneh, tapi enak. Penasaran dengan daging yang murah. Aku iseng-iseng nanya sama penjaga Warteg Pasti Kenyang tentang daging itu. “Ooohhh... itu daging biawak Kang!” jawabnya enteng. Woeekkkk..... Aku muntah, semua makanan yang telah aku makan, semuanya keluar. Mataku
72
merah menahan perih. Tapi wajahku lebih merah lagi menahan malu. Semua orang memandangku jijik. Kubayar dan bergegas pergi. Belum sempat melangkahkan kaki. Kuinjak muntahku sendiri. Brugg..... Aku terpelset di muntahan. Bajuku semua penuh dengan muntah, apalagi celanaku. Kucoba untuk berdiri. Brugg.... Aku terjatuh untuk kedua kalinya. Kini giliran wajahku yang kena muntah. Sampai masuk hidung dan mulutku. Woekkkk.....
Mozaik Enam
72
Elef Aku cuci bersih semua badanku. Tak ‘kan aku biarkan muntahan biawak itu menempel dikulitku dan rambutku. Ku bilas rambutku berulang-ulang, seperti tidak percaya bahwa kepalaku telah bersih. Ku gunakan pakaian yang telah aku beli sebelum aku mandi tadi. Tak ingin lagi ku mengingat kejadian di Warteg Pasti Kenyang. Apalagi untuk menginjakan kaki lagi ke sana. No way! Pangkalan elef berada di samping pasar. Aku melihat ada 3 unit mobil. Semuanya berbaris menunggu giliran penumpang mengisi tiap elef hingga penuh. Kini aku berada di salah satu mobil butut tadi. Interiornya amburadul. Warna yang awalnya cerah menjadi gelap. Jok nya sudah berlubang karena keisengan penumpang. Di kaca depan terdapat tulisan JABLAY. Sedangkan sebagai penghibur, supir memutar siaran radio lokal, Dangdut FM. Dari jauh aku melihat kondektur sedang menuntun nenek tua. Dipundaknya ada karung yang mungkin berisi beras. Nenek tua
72
itu hanya diam, matanya penuh kepiluan. Entah apa yang dia rasakan. Kini elef butut ini akan berangkat, karena sekarang sudah penuh. Supir menyalakan mesin, suaranya bising, sehingga nyanyian Ridho Rhoma yang berdendang dari radio kalah kerasnya. Seorang ibu di depanku memukulmukul kap mobil, pertanda memaksa agar mobil segera dijalankan. Mulutnya komatkamit, tangan kanannya menggerakkan kipas tangan hadiah dari kawinan, karena di kipas itu aku melihat tulisan “Mila dan Alim” 12 Juli 2007, mohon doa restu. Sedangkan tangan kirinya mengelap keringat yang bercucuran di lehernya. Di belakangku, ada sepasang suami istri yang sedang kepanasan juga. Dipangkuan wanita itu ada bayi kecil, bayi itu sedang tertidur, lucu sekali. Pipinya tembem dan juga berwarna merah. Hidungnya mancung, matanya bulat, alisnya lebat dan rambutnya hitam lekat. Sungguh tampan. Pasangan itu sesekali saling bertatapan, seraya bertasbih dan berucap syukur karena telah dikaruniai anak. Ku melihat kedamaian di pasangan ini. Pakaian gamis yang dipakai sang istri dan koko putih
72
yang dikenakan suaminya, membuatku kagum. Di saku depan koko itu aku melihat AlQu’an yang tersempil keluar. Subhanallah. Maha Suci Allah. Selebihnya, diisi oleh mahasiswamahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan di UIN, Universitas Islam Negeri Bandung. Pembicaraan mereka menegeaskan bahwasanya mereka adalah orang yang intelek dan berwawasan. “Menurut Tamim, Barat telah memodifikasi sisitem syura dalam Islam menjadi demokrasi. Tapi, menurut Sohail Mahmud, praktik demokrasi ini dalam sejarahnya selalu saja bermasalah. Akibatnya, di antara umat Islam ada yang menerima dan ada yang menolak.” “Itulah sebabnya, Yasar Yakis, Ketua Komisi Uni Eropa pada parlemen Turki, berpendapat kita tidak dapat menyimpulkan bahwa Islam sesuai dengan demokrasi hanya karena adanya prinsip syura. Kita juga tak bisa menyimpulkan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam meskipun di dalam demokrasi terdapat makna kebebasan, kejujuran, dan keterbukaan.” Pembicaraan mereka sangat menarik untuk disimak. Demokrasi Islam, Pendidikan,
72
Zinah, Bab Nikah, Hak Waris, PKS, Ahmadiyah, sampai issu tentang Islam dan Terroris mereka bahas. Aku memposisikan tubuhku senyaman mungkin, karena semalam aku tidak bisa tidur. Perjalanan ke Ciroyom cukup memakan waktu, 4 jam perjalanan. Namun selama itu pula aku tidak bisa sedetik pun terlelap. Aku terlalu berhasrat segera sampai ke rumah. Menemui orang tuaku, adik-adikku dan keluargaku.
72
Mozaik Tujuh
Kereta Baja Yang Rapuh Salah satu kendaraan massa adalah Kereta Api. Kendaraan baja ini sangatlah berat. Melaju diatas rel yang melentang panjang dan dikemudikan oleh seorang Masinis. Revolusi kendaraan ini sangat lah luar biasa. Dulu kereta api menggunakan bahan bakar kayu, batu bara, solar, listrik dan sekarang ini bahkan ada yang menggunakan cahaya matahari sebagai sumber tenaganya. Selain efisien waktu karena tidak pernah terkena macet, kendaraan ini pun ekonomis. Di Eropa kendaraan ini digunakan sebagai salah satu transportasi penghubung antar negara, di Jepang Kereta Api melaju dengan kecepatan yang luar biasa dan di Singapura kereta api merupakan transportasi termurah. Tapi kawan, kali ini, ‘kan kuceritakan kereta api yang saat ini kutumpangi. Namanya Kereta Lokal Cianjur-Ciroyom. Kereta Lokal Ciroyom-Cianjur merupakan kendaraan masyarakat miskin,
72
dan tentu aku berada didalamnya. Kereta ini terdiri dari tiga susun. Lokomotif, gerbong pertama dan gerbong kedua. Lokomotif hanya diisi oleh Masinis dan asistennya. Sedangkan gerbong pertama dan kedua diisi oleh para penumpang dan kondektur. Setiap gerbong hanya mampu menampung penumpang sebanyak 90 tempat duduk dan 250 orang yang berdiri. Jadi jumlah keseluruhan penumpang adalah 680, full. Disadari mapun tidak, PT. KAI merupakan BUMN yang paling kering. Jadi mau tidak mau, para penumpang yang tidak memiliki tiket diperbolehkan menumpang dengan syarat harus membayar 1000 rupiah, nett. Dan disini kondektur lah yang berkuasa dan paling kaya. 17.00 wib. Pertanda perjalanan kereta 2 gerbong ini akan dimulai. Tut...... tut...... Kereta pun bergerak. Dan penderitaan ku pun dimulai. Tahu kah kawan? Pada musim liburan seperti hari ini. Isi kereta bisa sampai 1000 penumpang. Dan diantara 1000 penumpang hari ini, terjepitlah diriku yang kurus, kering dan kelaparan karena
72
kebiadaban daging biawak muntahkan tadi. Huh.....
yang
aku
Sepertinya kereta ini tidak pernah mendengar kata “Over Loaded”. Sehingga ada aturan yang tidak tertulis, “Selagi bisa masuk, masuklah!”. Aku mengerti, kenapa kereta butut ini diminati masyarakat miskin seperti aku. Pada keadaan penuh seperti sekarang ini, kondektur hanya akan diam di ruangannya saja. Sehingga aku dan yang lain tidak akan ditagih karcis. Maka kereta ini menjadi kendaraan yang geratis. Tapi tentunya, segala sesuatu yang geratis harus ada pengorbanannya. Dan disini lah kamu akan melihat pengorbananku. Setelah sekuat tenaga bergeser. Ternyata aku mampu bergerak dan mulai tidak terjepit. Namun entah kenapa di Statsiun Rajamandala penumpang bertambah lagi, sehingga PW-ku, posisi wenak yang aku usahakan tadi menjadi siksaan yang amat teramat berat. “Aw.....” Kakiku terinjak oleh searang ibu gendut. Ukurannya sih mungkin Cuma 125 kg.
72
Namun injakannya seperti digilas Stum. Sakit sekali. Belum cukup dia menginjak kakiku. Kali ini dia mendempetku sehingga ketiaknya tepat didepan hidungku. Woekkk...... Bau busuk ketiaknya luar biasa. Seperti bau sampah yang ditimbun selama berabadabad. Bau itu kini mulai meracuniku, aku tak kuasa. Ingin pindah, tapi itu tidak mungkin. Untuk menolehpun sulit, apalagi untuk melangkah. Ah.... biadab. Seperti tidak puas mendzolimiku. Kini perempuan gendut itu kentut dengan bebasnya. Tuuuttttt...... Brot..... Bretttt..... Brott..... “Anjrit!” salah seorang berteriak. Woekkkkk...... Seorang bocah disamping wanita gendut itu muntah mengenai bajunya. Aih...... jijay. Wanita itu komat kamit. Mencibir dan sesekali menyumpahi orang yang menghadiahinya muntah.
72
Tapi taukah kawan? Kini aku lega. Dendamku telah terbalaskan. Hahaahahahah...... aku bahagia. Rasakanlah itu wahai Buta Ijo! Lancang benar kamu menginjak kakiku. Selain itu sebaiknya kamu semen saja ketiakmu agar bau busuk sampah itu tidak menyebar. Dan kentut biadabmu itu, kapan-kapan kamu sekolahkan agar tidak seenaknya saja keluar! Hahay....... rasakanlah itu!
72
Mozaik Delapan
Surga Ditelapak Kaki Ibu Cianjur. Kota kecil yang asri dan damai. Kota yang memiliki bahasa Sunda yang paling halus seantero Pasundan ini kini mulai terlelap. Toko-toko disepanjang Jalan Raya mulai tutup, menyisakan pedagang kaki lima disalah satu sudut kota. Setibanya di statsiun Cianjur tadi, aku bergegas berjalan menyusuri trotoar yang sepi. Masuk keluar gang dan kemudian tibalah aku didepan rumahku. Rumah yang aku tinggali lebih dari 18 tahun. Yang menyimpan beribu kenangan. Air mataku mengalir. Rasa rindu yang dahsyat bergelora di jiwaku. Mulutku rapat tak bisa berucap. Didalam hatiku aku bersyukur tak henti-hentinya. Dari jauh aku melihat seorang wanita sedang duduk di teras. Umurnya kini 43
72
tahun. Orang yang sangat aku sayangi. Dialah ibuku. “Ibu!” Aku berlari menghampirinya. Kupeluk dan kucium kakinya. Aku menangis terisak dipangkuannya. Maliq! Hanya kata itu yang keluar dari mulut ibuku. Dia menangis terisak, lebih keras dari isakanku. Mencium keningku dan menyisir rambutku. Kita tenggelam dalam kerinduan. Kuucap Tasbih, Tahmid, Takbir dan Tahlil. Subhanallah, Walhamdulillah, Wallahu Akbar, Walaa Ilaha Illallah.
72
Mozaik Sembilan
Family Kepulanganku tersebar dengan cepat. Orangorang menggapku bangkit dari kematian, mati suri. Hal ini karena waktu itu keluargaku menguburkan seorang jenazah. Ah. Entah apalah maksudnya. Aku pun tak mengerti. Namun yang pasti aku masih sehat wal afiat sekarang ini. Tetangga, kerabat dan sahabat menjengukku. Menonton seorang “Zombi” sambil bertanya ini itu. Aku dengan antusias menjawab semua pertanyaannya. Aku menceritakan setiap kejadian para malaikatku, Abah Ucup dan Ambu Dan cerita favoritku adalah ketika bergelut dengan ular raksasa perampokan biadab para lutung.
dan Elis. aku dan
Mereka tak percaya bocah ingusan ini selamat dari maut 2 bulan yang lalu. Kejadianya tepat di hari ulang tahunku. 13
72
mei 2007. Namun setelah kuceritakan apa yang terjadi, kini anggapan mati suriku kian hilang.
“Mal! Teteh punya temen, dia nawarin beasiswa kuliah. Maliq mau gak? Tapi harus di test dulu! Nama kampusnya PHI. Puncak Hotel Institute.” “Kalau Gimana?”
mau.
Nanti
teteh
daftarin.
Oh my goodness! Kesempatan kuliah. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Aku menyanggupinya. Test pun aku lalui dan dinyatakan lulus. Pembelajaran di The Puncak Hotel Institute adalah hal baru bagiku. Dunia perhotelan merupakan dunia yang tidak pernah ada dibenakku sebelumnya. Namun karena Tutor, Dosen dan Pembimbing PHI merupakan para profesional, sehingga mereka banyak membantuku. Dan ternyata pembelajaran di kampus ini merupakan pembelajaran yang menyenangkan. Setelah sekian bulan belajar, aku dinyatakan sebagai mahasiswa yang memiliki
72
kompeten. Dalam benakku, mengecewakan pemberi beasiswa merupakan kesalahan yang paling besar, dan merupakan tanda ketidak bersyukuran. Oleh karena itu aku sekuat tenaga mungkin menjadi yang terbaik. And I got it! Dunia perhotelan merupakan dunia yang rawan. Sedikit saja salah mengambil jalan, bisa-bisa kita tersesat untuk waktu yang lama sekali. Dan di masyarakat sendiri, hotel, masih dianggap tempat yang tabu. Diidentikan dengan hal-hal yang berbau maksiat. Aku menyadari, di hotel, gampang sekali untuk berbuat maksiat. Dan yang paling populer adalah berbuat zinah dan minum minuman keras. Namun disisi lain, hotel memiliki banyak sekali manfaat.
72
Mozaik Sepuluh
Karir Beasiswa yang aku dapat dari The Puncak Hotel Institute sangat banyak membantuku. Walau tadinya aku ingin menjadi seorang politikus, yang bisa menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Tapi ternyata menjadi Hotelier juga tidak kalah menyenangkan. Aku adalah seorang waiter dan seorang barista. Tugasku melayani tamu sepenuh hati dan membuat kopi. Mulai dari kopi termahal sedunia, Jamaican Blue Montain, sampai kopi yang murah namun berkualitas. Mulai dari cappucino, latte, espresso, con panna, machiato, café latte, mochacino sampai kopi yang terkenal, Irish Coffee aku pun mampu membuatnya.
72
Berinteraksi dengan tamu, untuk sekarang ini, merupakan kesenanganku. Melihat senyum mereka, ucapan terimakasih, puas dengan service aku dan tentunya uang tip. Hehehe...... sungguh membuatku senang. Tidak hanya itu saja kawan. Walau aku seorang waiter. Aku bisa keliling dunia tanpa sepeser pun mengeluarkan uang. Kini aku menjadi awak kapal pesiar di Hollland America Line. Salah satu perusahaan yang menyediakan paket wisata pelayaran. Perusahan ini menyediakan pelayaran keliling dunia, sehingga aku yang sekarang ini berstatus sebagai karyawan, juga ikut keliling dunia. Hahay... keliling dunia gitu loh! Bekerja di kapal pesiar ada senang maupun sedih nya. Aku merasa senang ketika setiap 2 minggu sekali aku melihat tabunganku terisi oleh pundi-pundi uang yang lumayan, dan kesenanganku bertambah ketika aku mampu menginjakkan kaki ku di tanah Eropa dan Amerika serta sebagian kecil Asia. Namun kerja di kapal pesiar membuatku kangen rumah. 8 sampai 10 bulan masa kerja. Dan aku jauh dari rumah selama itu. Meninggalkan keluargaku, ibu, ayah dan adik-adikku.
72
2 tahun sudah aku bekerja di perusahaan ini. Dan jujur saja, aku sangat menikmatinya. Kesibukan yang luar biasa. Bekerja dari pagi sampai malam. 10-14 jam sehari. Membuat 8 bulan itu terasa sangat cepat.
Mozaik Sebelas
Ibu dan Ayah Libur selama 3 bulan sangat lah membosankan. Apalagi tidak memiliki kegiatan. Selama libur bekerja, aku menyempatkan diri untuk bersilaturahim dengan sanak family. Keluarga dari ibuku dan ayahku. Ibuku adalah anak ke tiga dari lima bersaudara. Dan asal kau tau kawan! Ibuku merupakan anak kesayangan kakek. Kata kakek, ketika kecil, bila ibu marah, ibuku selalu membenturkan kepalanya ke tembok. Dan itupula kenapa kakek sayang sama ibuku. Untung saja ibuku tidak gegar otak. Tapi bila
72
saja itu terjadi, aku mana mungkin ada di dunia ini. :D Kakekku adalah seorang Sersan. Dia bertugas mengamankan bumi pertiwi ini, membela Indonesia dan melawan pemberontak. Tugasnya dari daerah ke daerah. Membawa senjata, menembak tetapi tidak pernah tertembak. Anehnya, walau seorang prajurit, kakek ku tidak bisa memanjat pohon. Tapi yang lebih aneh lagi, ketika dia terjun payung menggunakan parasit, dia tidak pernah tersangkut ke pepohonan. Mungkin Tuhan tau kali ya, klo kakek gak bisa manjat. Heheh.... Nenek ku bercerita, ketika kakek sedang bertugas di Irian Jaya. Lahirlah anak ketiganya. Dialah ibuku. Makanya nama ibuku adalah Irianti, asal kata Irian. Bila saja kakek ku sedang bertugas di Pulau Komodo, mungkin nama ibuku sekarang adalah Komodowati. Hemmmm..... jangan sampai deh! Ayahku lain ceritanya. Dia adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Dia dibesarkan dengan didikan yang sangat keras. Kakek dari ayahku adalah seorang Welder atau tukang las.
72
Kakekku tidak pernah memanjakan ayah. Bila ayah menginginkan sesuatu, kakek tidak pernah menurutinya. Malah kakek menyuruh ayah buat nyari uang sendiri. Namun bijak nya kakekku adalah, dia juga menurunkan ilmu pengelassannya ke ayah, sehingga ayah sangat terampil sekali dalam membuat sesuatu. Ayahku bukanlah seorang sarjana. Dia tidak pernah sama sekali mengenyam pendidikan SMA, terakhir dia bersekolah adalah kelas 2 SMP. Maka dia saat ini hanya memiliki Ijazah SD, dan itupun entah ada dimana sekarang. Namun apapun profesi ayahku, aku tetap bangga padanya. Bangga karena didikan dia lah aku bisa seperti sekarang ini. Begitu pula kebanggaanku pada ibuku. Kesebarannya, pengertiannya dan kasih sayang nya, merupakan anugrah yang luar biasa tak terkira bagiku. Apalagi ketika cobaan menimpa ibuku. Kesabarannya luar biasa. Walau aku tahu ibuku sangat terpukul ketika tahu ayah memiliki istri lain, namun emosinya tetap terjaga. Aku sesekali melihat kekecewaan itu, dia menangis dan bersedih.
72
Awalnya, pertengkaran ayah sama ibu sering terjadi. Tapi itu hanya proses menuju kedewasaan kawan. Pertengkaran itu wajar, dan normal sekali bila seorang istri marah karena dimadu. ‘Coz that’s life!
Dalam hal poligami aku tidak setuju dengan sikap ayahku, walau aku pun tidak menolaknya. Poligami itu syah, dan itu hak dari seorang pria. Agama pun tidak melarangnya. Namun agama juga mensyaratkan bagi pria yang akan berpoligami harus mampu bersikap adil bagi istri-istrinya nanti. Bila tidak, maka pria itu harus mampu mempertanggung jawabkan semuanya di alam lain sana. Makanya ketika aku tahu ayah memiliki istri lagi, aku hanya bersikap biasa-biasa saja. Karena poligami dalam keluargaku itu tidak aneh. Kakek dari ibuku memiliki istri dua, dan ibu merupakan putri dari istri kedua kakek. Begitu pula dengan pamanku, dia juga memiliki istri dua. Tetanggaku dan anak dari kakak nenekku, semuanya berpoligami. Bagiku poligami bukanlah hal yang perlu didebatkan. Poligami menurutku syah tetapi menyakitkan. Oleh karena itu, aku
72
bersumpah, tidak akan melakukan poligami. Aku akan menjadikan istriku seperti Fatimah putri Rasulullah yang tidak pernah dimadu oleh Ali Bin Abi Thalib dan seperti Khadijah istri Rasulullah yang tidak pernah dimadu semasa hidupnya. (kayaknya kata-kata itu ada di adegan Ketika Cinta Bertasbih deh...)
Mozaik Duabelas
Kesetiaan Bila ada wanita yang saat ini aku rindu adalah Rani. Dia anak bungsu dari empat bersaudara, dan dia adalah satu-satunya perempuan dari keempat bersaudara itu. Pribadinya halus dan lembut. Tidak pernah melawan orang tua, apalagi membangkang. Ketidakpatuhan tidak ada dalam kamusnya.
72
Aku bertemu dia ketika aku kelas satu SMA, lebih tepatnya aku melihat dia. Waktu itu dia sedang berdiri didepan pintu perpustakaan. Penasaraan dengan sosok yang satu ini, aku bergegas mencari tahu. Orang yang pertama aku tanya adalah Trina Agustina, sahabatku. Setelah semua informasi didapat, kuberanikan diri meneleponnya. Akhirnya dia menjanjikan untuk bertemu denganku keesokan harinya di dekat mushola. Namun sayang beribu sayang, dia melanggar janji itu. Dia melarikan diri, kabur dariku. Aku kecewa. Karena kejadian itu, aku memutuskan diri untuk menghilangkan perasaanku. Tapi kawan! Ketika kelas dua SMA, kita dipertemukan lagi dalam satu kelas. Ya! Bagiku itu hanya lah suatu kebetulan saja. Kebetulan yang benar-benar membuatku malu. Ketika kelas dua, perasaanku ke dia biasa-biasa saja. Hal ini karena temanku, Budi, dia juga suka sama Rani. Namun Rani menolaknya, dan deng... dereng.... deng....! Budi nangis boo!
72
Melihat Budi tewas. Perasaanku ke Rani mulai tumbuh, pesat, dan semakin pesat ketika kita berada di kelas tiga. Aku menyusun rencana, bertanya ke beberapa ahli strategi percintaan, menginterview teman-temannya, browsing di internet, membuka buku di perpustakaan, menganalisa historis kisah cintanya, menganalisa orang-orang yang pernah ditolaknya, mengidentifikasi, berasumsi, menyimpulkan dan membuat amunisi serta strategi cadangan. Sadar dia memiliki bintang Aquarius dan bergolongan darah O. Maka aku akan menggunakan “Free Closed Ways”, cara-cara pendekatan yang bebas. Formula buatanku ini mudah-mudahan bisa bekerja dengan baik dan proper. Karena menggunakan Free Closed Ways, maka secara otomatis aku menjadi gila yang terkontrol. Setiap aku bertemu dengan Rani, aku akan menjadi penggombal gila, ngomong ini itu, menggoda, basa-basi, canda, menyogok dengan Teh Kotak dan dengan bunga mawar yang harganya 1000 perak. Hohoho.... Pengorbananku jangan ditanya, 3 orang wanita yang menungguku, aku campakan.
72
Nutrisari kelas 2 bahasa, Fitria Nur kelas 1-8, dan satu lagi, aku lupa namanya. Mereka menembakku, mengatakan cinta, tapi semua aku tolak. Tahu kah kawan? Hal itu karena Rani. Hanya Rani. Semua amunisi aku siapkan, aku pun nembak Rani, tapi ditolaknya mentah-mentah. Lalu kutembak lagi, namun ditolaknya lagi. Lalu kutembak lagi tapi ditolaknya aku ini. Ah...! Aku bingung kawan. Matanya mengatakan jika dia juga menyukaiku. Tapi entah kenapa dia tidak mau mengatakan sesungguhnya. Emang kurang aku apa? Kurang ganteng? Iya. Kurang tajir? Yoi. Kurang pintar? Pasti. Kurang ajar? Hemmm.... enggak kali ya! Semua anak-anak Dalmopalu setuju denganku, mendukungku. Tapi entahlah. Rani mungkin memiliki kriteria lain, atau mau mengujiku sejauh mana aku benar-benar menginginkannya.
72
Jauh dan jarang berkomunikasi dengan Rani membuatku melirik wanita lain. Mungkin pelarian, mungkin juga bukan. Yulia Anggraeni, Oki, Susi, Dewi Puspita, Mila Wardana, Nita Amelia, Maya, Gloria dan Anna semua pernah dekat denganku. Namun entah kenapa, setiap aku dekat dengan mereka, Rani selalu muncul di mimpiku. Yang masih aku ingat sampai sekarang ini, ketika aku dekat sama Yulia. Waktu itu Rani menghampiriku sambil berkata; Maliq! Rani mau dikemanain? Entah apa maksud dari semua itu. Tapi jujur, ketika setiap mimpi itu datang, aku langsung menjauhkan diri dengan mereka. “Mungkin Tuhan jalan-Nya!” kata adikku.
sudah
menunjukan
“Entahlah!”
Mozaik Tigabelas
Lunch
72
Bandung. Kota parahyangan yang anggun. Memiliki sejuta pesona. Tidak aneh bila wisatawan lokal maupun asing sering mampir ke Kota Bunga ini. Mulai dari saksi sejarah, pusat jajanan, Factory Outlet yang menjamur, Distro, serta suasana yang sejuk menjadikan Bandung menjadi destini archepelagho. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pariwisata yang pesat. Berdirilah hotel di setiap penjuru kota. Mulai dari hotel melati sampai hotel berbintang. Salah satu hotel yang terkenal adalah Aston Bandung Hotel & Residence. Hotel ini terletak di Jalan Braga. Jalan yang dibangun pada masa kolonial Belanda ini dulunya merupakan jalan utama dalam pendistribusian kopi. Namun sekarang telah menjadi pusat hiburan yang sangat menarik karena menggabungkan bangunan lama kolonial dengan presentasi kemodernan. Siang ini aku akan makan siang di Tos Raos, salah satu nama restoran di Aston Bandung Hotel & Residence. Restoran ini aku pilih karena dulu aku pernah bekerja disini. Dan tentunya bertemu dengan kawan-kawan lamaku yang masih bekerja disini.
72
Aku memilih meja yang terletak di ujung. Aku memilih meja ini, agar aku bisa mengamati seluruh aktifitas restoran. Kali ini tema lunch adalah Sundanese Food. Mulai dari nasi liwet, nasi merah, empal, ayam goreng, kangkung, sayur lodeh, karedok, lotek, jengkol serta jajanan pasar khas dari negeri Parahyangan. Di entrance, aku melihat wanita yang sangat familiar sekali. Berjalan sendiri menuju restoran. Tampilannya berbeda dengan terakhir aku melihatnya. 4 tahun yang lalu. Darahku bergejolak. Jantungku berdetak kencang melebihi dentuman normal. Aku meneguk air sebanyak mungkin pertanda nerves. Aku speachless. Ingin sekali aku menyapanya, namun aku takut. Hemmmm..... “Silahkan dipilih makanannya!” mencoba memulai pembicaraan.
aku
Dia terkejut dengan sapaanku, dan lebih terkejut lagi setelah melihatku. Senyumannya lebar, matanya sedikit berkacakaca, dan air mukanya menunjukan dia senang. “Maliq?” dia ragu.
72
“Yup! Maliq Sofyan.” Aku menjawab dan sambil menjulurkan tangan. Dengan cepat dia menyambut tanganku. “Lama kabar?”
tidak
jumpa
ya,
Ran!
Apa
Wanita itu adalah Rani. Wanita yang aku ceritakan tadi ini sekarang bekerja di BPOM. Aku melihat di name tag-nya tertulis panitia. Berada di hotel ini sedang menyelenggarakan rapat rutin. “Baik. Maliq sendiri gimana kabarnya?” “Lebih baik dari sebelum kecelakaan maut itu.” Aku tahu Rani adalah orang yang sangat terpukul ketika kejadian itu. Temanteman lah yang memberitahuku. Tapi ketika aku pulang, aku tidak pernah berkomunikasi secara langsung dengan Rani, walau dia tahu aku sudah kembali dan selamat dari kecelakaan waktu itu. Aku memang sengaja menjauhkan diri. Selama ini aku selalu mencoba melawan perasaanku pada dia. Tapi selalu gagal dan gagal.
72
Kami duduk berdua di meja yang tadi aku pesan. Aku menggunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. Karena mana tahu aku tidak dapat bertemu dengannya lagi. Apapun kami bahas. Mulai dari kejadia waktu SMA sampai pekerjaan. Mulai dari A sampai Z. Mulai dari Alif sampai Yaa. Sungguh menarik. “Rani sekarang lagi deket sama siapa?” aku bertanya lebih pribadi. “Hemmm... lagi dekat sama siapa ya? Emang kenapa gitu?” “Engga apa-apa. Maliq Cuma pengen nanya ja. Lagian klo seandainya udah ada yang ngisi juga gak jadi masalah. Maliq Cuma pengen ngasih tahu Rani klo Maliq masih megang janji waktu itu kok.” “Janji yang mana?” “Maliq gak akan punya sebelum Rani punya pasangan.”
pasangan
Dia diam sambil menahan senyum. Entah apa yang dipikirkannya. Aku berusaha menebak tetapi mungkin saja tebakanku salah. Ditariknya napas dalam-dalam.
72
“Gak punya.”
ada!
Rani
belum
ada
yang
Mozaik Empatbelas
Satu Langkah Lebih Dekat Pagi ini, tak seperti biasanya aku berlamalama di kamar mandi. Aku membiarkan tubuhku disirami air yang terjun dari shower. Mendinginkan kepala, mencoba mencerna mimpi yang baru saja aku alami tadi. Kawan! Aku bermimpi berada dalam bis bersama istriku, Rani. Dan kita sedang menuju Tasikmalaya untuk berbulan madu. Aneh memang bila kita memilih Tasik sebagai tempat berbulan madu, tapi itu memang yang tadi terjadi di mimpiku. Aku merasa senang berada bersamanya. Mimpi yang sangat menghibur sekali. Tadi adalah mimpi pertamaku setelah aku bertemu dengannya di Aston dulu. Tapi mimpi tadi membuat aku menjadi dilema. Aku merasa terhipnotis untuk segera meminangnya. Aku bergegas menemui orang tuaku. Kuceritakan niatku itu.
72
“Ibu! Maliq ingin meminang seorang gadis. Bisakah ibu meminangkannya untukku?” “Siapakah gadis itu Maliq?” tanya nya. “Rani!” “Ohh.... gadis itu. Ibu pernah bertemu dengannya dulu ketika ibu memberikan boneka milikmu bersama surat yang kamu tulis sebelum kecelakaan itu.” “Bagaimana pandangan ibu?” “Dengan senang hati wahai ankku. Pilihanmu merupakan pilihan ibu. Dia sepertinya gadis yang baik. Klo begitu, kapan kamu ingin meminangnya?” “Biar aku mencari waktunya dulu. Yang pasti sebelum aku berangkat ke kapal lagi, aku ingin dia telah menjadi tunanganku.”
Permasalahan selanjutnya adalah memberitahu Rani tentang niatku itu. Aku tidak ingin ketika aku datang ke rumahnya, dia sedang tidak ada di rumah.
72
Insya Allah .....
Setelah mengirim sms ke dia, aku tidak mendapat balasan. Satu jam, dua, tiga, aku tunggu tetapi tetap saja tidak dapat jawaban. Namun keesokan harinya aku mendapat sms dari dia.
]
Aslm, Ran, Mlq mo dtng ke rmh Ran mngg dpn. Mlq hrp ran nya da d rmh. Mlq mo dtng ma kluarga Mlq. Mlq mo ngelamar Ran. Wslm,,,
72
Mozaik Limabelas
Minggu Malam Seperti yang sudah direncanakan waktu itu. Aku hanya akan datang bersama kedua orang tuaku. Aku memakai pakaian terbaikku. Aku menyiapkan mentalku. Selebih lagi bila aku ditolak dalam lamaranku. Selepas Isya kita berangkat. Ayahku memegang kemudi. Diwajahnya terlihat cemas karena harus melamarkan untuk anak pertamanya. Ibuku tidak kalah dari ayahku. Sesekali dia mengelap keringat yang ada di keningnya. Tapi aku yang lebih parah. 2 botol air mineral habis selama perjalanan. Kemejaku basah karena keringat dingin. Aku nerves. Kita pun sampai di depan rumahnya Rani. Aku menghela napas panjang. Jantungku
72
berdebar memompa 30 liter darah per menit menuju otakku. Kaki ku keram, kesemutan dan seakan lumpuh, tak mampu digerakkan. Perasaanku tidak karuan. Senang, khawatir dan takut. Di dalam rumah sudah banyak orang. Orang tua, kakak-kakaknya, ipar serta keponaknya sudah berkumpul. Dan gadis pujaanku berada di antara mereka. Cantik sekali. Dengan ramah mereka mempersilahkan kami duduk. Menyuguhi kami minum dan kue-kue. Kedua orang tuaku dan kedua orang tua Rani mengobrol dengan asik sekali. Tapi belum masuk ke dalam inti kedatangan kami. Sesakali kulihat wajah Rani, tersenyum tetapi lebih banyak menunduk. “Maksud kedatangan kami kemari adalah untuk meminang neng Rani untuk anak kami Maliq. Kami berharap niat suci kami dapat diterima oleh keluarga disini.” Upps.... Ayahku memulai pembicaraan yang serius. Sepertinya dia sudah berlatih untuk kata-kata yang tadi. Mungkin dia belajar dari iklan atau sinetron-sinetron.
72
Tahu ‘kah kawan? Kata-kata ayahku membuat hatiku makin ngilu. Jantungku seakan tertindih. Aku menghela napas agar tidak terlihat nerves dan tentunya dengan tersenyum. “Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih untuk bersedia bersilaturahim dengan keluarga di sini. Namun sebagai orang tua, kami menyerahkan sepenuhnya kepada putri kami.” Kemudian kita semua menujukan pandangan ke Rani. Dia nerves sepertiku. Dia diam cukup lama untuk menjawab. Menghela napas kemudian mengeluarkan nya perlahan. “Insya Allah. Rani mau.” Alhamdulillah. Aku tersenyum. Senyuman yang sangat lebar. Melebihi senyumanku ketika lolos kerja ke kapal pesiar dulu. Aku bahagia. “Mal! Mana cincinnya?” ibuku bertanya. Aku meraba saku celanaku, tidak ada. Di jas ku pun tidak ada. Aku lupa klo tadi aku simpan di mobil. “Ummm.... Heeee....”
ketinggalan
72
di
mobil.
Aku berdiri kemudian aku menuju mobil dan mengambil cincin itu. Aku tidak sabar memakaikan cincin itu ditangan Rani.
Mozaik Enambelas
Aku Bahagia Sambil mengemudi, ayahku tersenyum melihat diriku dari tadi senyum-senyum sendiri dari kaca spion depan. Matanya mengawasiku dari selepas acara tunanganku dengan Rani yang sukses. “Maliq! Istigfar Mal!” ayahku meledek. “Ah! Ayah ni bisa aja. Aku ini sedang senang. Maklum dong, Rani kan cinta sejati Maliq. Hahahah.... lebay ya!” Kita pun semua tertawa. Dan aku dari tadi tidak pernah lepas memandangi cincin perak yang aku kenakan. Cincin perak ini pertanda bahwa aku sekarang berstatus “Tunangan”. Ya... kalau di Facebook sih, sekarang sudah bisa diganti status “It’s complicated” menjadi “Enggage”.
72
Aku memilih cincin perak karena emas tidak diperbolehkan dikenakan oleh seorang pria. Agamalah yang melarangnya. Cincin ini sengaja aku pesan di toko emas langganan keluargaku. Dan motifnya sengaja aku yang pilih. Sebenarnya dibenakku, ada sedikit kekhawatiran. Aku takut pengalaman pamanku terulang lagi. Cincin perkawinan nya kebesaran di jari istrinya. Jadi cincin nya ditukarkan lagi setelah acara resepsi selesai. Buat aku, enggak mau layaw! Cincin ini sebenarnya tidak terlalu berarti bagiku. Cincin hanyalah simbol, namun arti sesungguhnya tunangan itu adalah kesediaan kita untuk menunggu sampai ijab kabul nikah dilaksanakan. Dan tentunya kesetiaan terhadap pasangan.
72
Mozaik Tujuhbelas
Bandara Soekarno Hatta Pernikahanku dengan Rani rencananya akan dilaksanakan setelah aku pulang dari pelayaranku ini. Tepatnya sebulan setelah aku kembali. Hal ini dilakukan sesuai kesepakatan yang aku ajukkan. Aku memilih berlayar karena aku ingin mempersiapkan pernikahanku dengan matang. Seperti yang diinginkan calon istriku, Rani. Dia menginginkan pernikah ini menjadi yang pertama dan terakhir bagi kami. Dan tentunya harus sangat berkesan. Pelepasanku di Bandara Soekarno Hatta menuju J. F. Kennedy Airport kali ini sangat spesial. Keluarga tunanganku ikut mengantarkan. Hal ini menjadikan hubungan keluarga besarku dan keluarga besar Rani menjadi lebih akrab dan dekat.
72
Sehari sebelum keberangkatku hari ini, kami, 2 keluarga besar ini, semuanya pergi bertamasya ke Dufan. Acara tamasya ini juga aku rencanakan agar aku bisa bersenangsenang terlebih dahulu di Indonesia sebelum aku bertempur di tempat kerjaanku nanti. Aku dan Rani memilih memisahkan diri dari golongan tua dan bergabung dengan adik-adikku dan saudaraku yang seumuran. Kita memilih permainan yang x-trime. Mulai dari Rajawali, Jet Coster, Cora-cora dan tentunya permain x-trime yang tidak boleh dilewatkan adalah komedi putar. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..........
Sungguh senang bila melihat kedua keluarga besar ini sudah akrab sebelum pernikahan kami. Tentunya hal ini akan memperlancar resepsi yang akan dilaksanakan nanti 9 bulan mendatang. Teman-temanku yang akan berangkat sudah memanggilku agar segera check-in. Aku menyalami setiap orang. Ibuku, ayahku, bibiku, pamanku, tanteku, adikku, ayahnya Rani, ibunya, kakak-kakakny dan ipar-iparnya.
72
Aku sengaja memilih Rani untuk yang terakhir aku salami. Pada saat ini aku teringat dengan adegan Ada Apa Dengan Cinta yang dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Dian Sastro Wardoyo. Ingin sekali aku meniru adegan itu. Ingin sekali aku memeluk calon istriku ini, tapi aku menahannya. Karena kita bukan muhrim dan kita belum halal satu sama lain. Aku hanya memadang dia untuk sesaat dan kemudian aku memutarkan lagu ini: Aku Hanya Pergi Tuk Sementara.... Bukan Selamanya...
Tuk
Meninggalkanmu
Aku Pasti Kan Kembali Pada Dirimu... Tapi Kau Jangan Nakal.... Aku Pasti Kembali..... “Apaan sih? Lebay ih! Ran juga tau ko Maliq bakalan balik lagi sama Ran. Heeheee....”
72
Mozaik Delapanbelas LDR
8 bulan berada di kapal terasa sangat cepat, apalagi aku benar-benar menyibukan diri agar pemikiranku tidak pecah dengan resepsi pernikahanku. Dan pada pelayaranku kali ini, aku tidak terlalu sering jalan-jalan bila kapal berlabuh. Hal ini karena aku ingin menyimpan pendapatanku untuk hari itu, hari yang aku impikan. Memiliki tunangan tidak lah mudah. Karena secara otomatis aku selalu merindukannya. Untuk berkomunikasi, aku jarang menggunkan mediasi telpon. Tetapi lebih sering munggunakan internet karena biayanya lebih murah.
72
Setiap 2 minggu sekali aku menyempatkan untuk berkomunikasi dengan Rani. Kita menggunakan Yahoo Messengger. Selain bisa ngobrol langsung, kita pun bisa menggunkan web cam. Benar-benar melintasi jarak dan waktu. Memiliki tunangan itu berbeda dengan memiliki pacar. Karena kita, yang bertunangan, biasanya memiliki komitmen yang jelas. Yang tentunya berbeda dengan mereka yang berhubungan sebatas pacaran. Tetapi terkadang keduanya memiliki masalah yang sama, LDR. LDR atau Long Distence Reletionship aku kenal dari Dika Raditya, pemeran Dika di film Kambing Jantan Catatan Harian Pelajar Bodoh yang diangkat dari kisah hidupnya yang ditulis dalam sebuah blog, kambingjantan.com. Masalah yang dihadapi oleh mereka yang melakukan LDR hanyalah DISTENCE. Jarak yang memisahkan menjadi problema serius. Efeknya timbul dengan rasa rindu yang berat. Bila biasanya sering ngobrol, apel, makan, canda atau pelukan. Maka moment itu lah yang menjadi hal yang dirindukan. Kemudian timbul efek-efek yang lain. Seperti COST, biaya. Melakukan LDR berarti
72
tahu akan resiko biaya yang mahal. Untuk menghilangkan rindu, berarti harus dengan komunikasi, dan International Call tidak lah murah. 10 dolar per 1 jam. Jadi bila ngobrol lebih dari satu jam, maka siap-siap saja mengibahkan pendapatan buat telpon. Makanya, internet merupakan alternatif pilihan yang lebih murah. Biasanya bagi yang melakukan LDR. Komunikasi tidak lah cukup. Ada hal real yang tidak bisa mereka dapatkan hanya dengan komunikasi. Misalnya makan bareng, nonton dan maming. Ketiga macam itu adalah hal yang real yang tidak bisa dilakukan hanya dengan komunikasi. Makanya para LDR couple, salah satu pasangannya atau keduaduanya, mereka akan mencari substitusi. Pengganti yang bisa diajak makan, nonton dan lain sebagainya. Intinya mereka selingkuh. Tetapi tidak semuanya.
72
Mozaik Sembilanbelas
Persiapan Pesta pernikahan tentunya merupakan moment yang bersejarah dalam hidup seseorang. Makanya aku dan Rani berusaha menyiapkan semuanya semaksimal mungkin. Konsep yang akan kami pakai adalah Sundanese. Mengapa sundanese? Karena kami merupakan rakyat pasundan. Dan sewajarnya bila kami bangga dan menggunakan tema ini. Untuk membantu, kami menyewa seorang WO, wedding organizer. Dengan WO pekerjaan kami menjadi lebih mudah, hanya
72
memastikan semua berjalan dengan yang kami harapkan. Upacara adat, jenis musik yang dipakai, pakaian, makanan dan cendramata semuanya harus berbau sunda. Namun untuk hiburan, kami memilih sunda semi modern. Perpaduan hiburan sunda dengan musik modern diharapkan akan membuat suasana lebih meriah. Orkestra lengkap dan satu band wedding singer siap diterjunkan. Dan kami juga mengundang Budi cs untuk perform sesuai lagu yang kami minta. Budi adalah teman kami di SMA dulu. Teman sekelas kami. Dulu aku sempat meminjamkan modal ke dia untuk menambah perlengkapan alat band. Dan tidak disangka Budi cs sekarang menjadi salah satu band yang terkenal. 3 minggu lagi pesta pernikahanku digelar. Hari ini rencananya aku dan Rani menemui pihak cathering untuk test sesuai konsep dan daftar makanan yang minta.
akan akan food kami
Rencana undangan yang akan hadir berjumlah 1000 orang, jadi kami menyiapkan 1500 pax untuk jaga-jaga.
72
Teman SMA merupakan prioritas. Aditha Krishinta, Ajie Jatnika, Andi Suryadi, Ani Jamilah, Annisa Grahasa, Aria Nugraha, Asep Setiawan, Budiyanto, Dadan Abdullah, Dede Supriatna, Dewi Lista Delviani, Diah Ayu Pitaloka, Diana Noor Anggraeni, Dina Husniati, Eneng Osti, Erna, Hendri Kurniadi, Inna Nurhamidah, Intan Putri, Kristianti, Lisdayati Utami Sari, Mohamad Bahrum, Muji Santosa Wibawa, N. Hartanti Widiyawati, Nita Nopianti, Nurlia Paizah, Purwa Alam Dirja, Santi Verawati, Sifa Nurzeni, Silvia Susanti, Sri Nuryani, Suhendar, Surahman, Syamsu Purwanto, Taufik Nur Iman, Trina Agustina, Vera Charesa, Winda Septia Anggraeni dan Yanti Susanti, mereka menjadi tamu VIP kami, walau sebagian anak Dalmopalu ada yang menjadi pagar ayu. Mas kawin sudah dipersiapkan. Kali ini aku membelinya bersama Rani agar dia sendiri yang memilih modelnya dan tentunya agar cincinnya tidak kekecilan atau longgar. Pakaian pengantin dan pakaian keluarga sudah jadi dan siap pakai. Semuanya berwarna coklat agar mecing dengan dekorasi sunda nantinya. Kartu undangan yang menarik sudah dikirimkan, cendramata sudah dipesan,
72
fotographer sudah di-booking, gedung siap digunakan, test food lancar, persiapan upacara adat sudah fix dan box sumbangan sudah dibuat. Semua tinggal menunggu hari H nya saja. Aku dan Rani sekarang sudah tenang dengan persiapan yang matang ini.
Mozaik Duapuluh
Brother Este “Saya terima nikah dan kawinnya Rani Sri Handayani binti Fulan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana? Sah?” SAH! “Alhamdulillah.” Tahu kah kawan? Berapa lama aku menghapal kata-kata penerimaan ijab kabul tadi? Dua hari. Kenapa dua hari? Karena aku
72
tidak mau, lagi-lagi belajar dari pengalaman paman, yang diulang sampai tiga kali karena salah ngucapinnya. Ijab Kabul adalah gerbang yang menyatukan aku dan Rani menjadi pasangan yang halal. Dan tentunya menyempurnakan setengah agama kami. Acara sesuai yang kami harapkan. Para undangan silih berganti menyalami kami, teman-teman kuliah istriku, teman-teman kuliahku, kerabat istriku dari Garut dan Tasik, lalu kerabatku dari Bandung, guru-guru SMA kami, para tetangga, dan Brother Este. Brother Este adalah teman-teman sekelas kami yang paling pintar muji dan ngejek aku. Mereka tahu bagaimana usahaku ke Rani. Jatuh bangun. Penolakan. Semua mereka ketahui. Ada yang mendukung ada juga yang tidak. Itu wajar. Tapi hari ini, mereka harus mengakui jika aku, adalah orang yang sukses menaklukan Rani. “Sob! Sukses juga ya? Ane masih inget waktu itu perjuangan ente kaya gimana. Hahaahh....” “Said! Ih... ternyata apa yang kamu cita-citakan terwujud juga ya. Trina Cuma bisa
72
nge’doain biar kalian menjadi keluarga yang sakinnah, mawaddah wa rahmah. Amin.” “Pa KM! Rani! Selamat ya! Fa sama Ezel ngedo’ain biar langgeung sampai tua. Amin!” “Ehem. Adeeyyy! Santi ngedo’ain apa ya? Oh iya deh, mudah-mudahan Pa KM sama Rani biar cepet-cepet dapet momongan. Amin.” Hemmm.....
Mozaik Duapuluh Satu
Singapura Kalau waktu itu aku bermimpi berbulan madu di Tasikmalaya. Sekarang ini, aku dan Rani sudah berada di Singapura. Honeymoon gitu loh! Hal yang petama kami lakukan adalah bertemu dengan teman-temanku dulu. Alina K, Izwan, Murdifi, Nisa La, maneger aku, Feron Goh, Merry Elen, Kelvin, lalu Anju, Fiona, Anna, Nyien, dan Gloria.
72
Kita bertemu di Coffee Club Orchar Fountain Corner. Mereka mengetahui aku datang ke sini untuk berbulan madu, jadi ketika bertemu mereka membuat kejutan yang luar biasa. Mereka membeli kue yang sangat besar dan memberikan kado. Selanjutnya aku dan istriku menikmati pesona jalan Orchard. Di jalan ini, kami menyaksikan berbagai perform yang disuguhkan oleh para pengamen jalanan. Duduk di bawah air mancur Takasimaya SC sambil makan ice cream yang dijual disepanjang jalan ini. Tidak lupa aku membeli makanan favoritku dulu, Old Chunky. Hemmm.... yummy!
Belum ke Singapura bila tidak ke Sentosa Island. Walau menurutku kurang menarik, tetapi cukup memberikan kesan. Lalu kami mampir ke China Town untuk melihat etnis dan dekorasi cina yang luar biasa. Disini souvenir dijual sangat murah. Dari china town kami kemudian menuju Bugis Street, salah satu pusat perbelanjaan yang murah juga.
72
Malam ini aku mengajak istriku untuk makan malam di Clarque Quey. Dibawah sinar bulan dan dipinggir sungai yang diterangi lampu warna-warni. Setelah larut malam, kemudian kami kembali ke hotel. Duduk di balkoni. Kemudian, emmm..... cukup sampai disini saja ya ceritanya. Selanjutnya, biar aku yang urus.
72