Nico Novandy X IPS 1 / 28
Sanusi Pane Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, pada tanggal 14 Mei 1905. Ia adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane bersama dengan kedua adinya, Armijn Pane dan Lafran Pane. Dirinya menganut agama gabungan (Hinduisme, Budhisme, Sufisme, dan Filsafat Jawa). Ia adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru, sekaligus seorang jurnalis, dan juga ahli sejarah , dia juga aktif dalam dunia pergerakan politik, seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond” Karya-karyanya banyak diterbitkan antara tahun 1920 sampai dengan tahun 1940. Sanusi Pane sangat aktif di media literasi, dan ia juga pernah menjadi editor di beberapa kantor publikasi. Ia juga adalah dramawan paling penting dari sebelum Revolusi Nasional Indonesia. Sanusi Pane memulai edukasi di dua sekolah dasar di Sibolga, yaitu HIS dan ELS. Ia lalu melanjutkan ke sekolah menengah MULO di Padang dan Jakarta. Ketika ia di Jakarta, Sanusi Pane menerbitkan sajak pertamanya yang berjudul “Tanah Air” di majalah Jong Soematra. Ia menamatkan sekolah menengah pada tahun 1922, lalu berkuliah di sekolah guru di Gunung Sahari hingga tahun 1925. Setelah lulus, ia mengajar di sekolah guru, lalu mempelajari hukum selama setahun. Pada tahun 1929, Sanusi Pane mengunjungi India, dimana ia mempelajari kebudayaan India selama setahun. Saat ia kembali dari India (1930), Sanusi Pane menjadi salah satu pekerja redaksi majalah “Timbul”. Ia mulai menulis berbagai sastra, filsafat, dan politik, sementara ia juga tetap mengajar sebagai guru. Pada tahun 1933, adiknya, Armijn, mengajaknya bekerja di redaksi majalah literasi baru, “Pujangga Baru”, dan Sanusi Pane menerima tawaran tersebut. Namun, pada tahun 1934, dikarenakan keanggotaannya dalam Partai Nasional Indonesia, ia dipecat dari pekerjaannya sebagai guru. Setelah itu, ia kemudian memimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta, serta tetap berperan aktif di dunia literasi. Sanusi kemudian bergabung di redaksi baru, yaitu “Panorama” bersama Mohammad Yamin, Amir Syarifuddin, dan Liem Koen Hian. Panorama merupakan koran milik “Siang Po Press” kepunyaan Phoa Liong Gie, seorang ahli hukum dan
1
Nico Novandy X IPS 1 / 28
politikus. Tahun 1936 Sanusi menciptakan surat kabar Tionghoa-Melayu baru, yaitu “Kebangunan”, yang dipublikasikan pada “Siang Po Printing Press” milik Phoa. Sanusi kemudian menjadi kepala redaktur Sidang Pengarang Balai Pustaka pada tahun 1941. Selama ia menjadi penulis atau penyunting di Balai Pustaka, ia sering mengabaikan tawaran yang berkaitan dengan kariernya. Selama di Balai Pustaka pun, ia tidak pernah mengurus kenaikan pangkat. Pada 13 Desember 1937, Sanusi Pane bersama dengan Armijn Pane, Adam Malik, dan Sumanang menciptakan redaksi berita “Antara”. Antara menjadi agensi berita resmi Indonesia. Dari tahun 1941 sampai 1942, Sanusi Pane menjadi editor di majalah “Indonesia”, yang dipublikasikan oleh Balai Pustaka. Selama ia bekerja di Balai Pustaka, ia menolak semua keuntungan pekerja, seperti nasi secara cuma-cuma dan jasa antar jemput. Setelah penyerangan Jepang di Hindia, ia menjadi kepala di Kantor Akulturasi Pusat. Karya-karya Sanusi Pane yaitu: “Pantjaaran Tjnta” (1926), “Pupus Mega” (1927), “Madah Kelana” (1931), “Kertadjaja” (1932), “Sandhyakala ning Majapahit” (1933), “Manusia Baru (1940) “Airlangga” (1928) dan “Eenzame Garoedavlucht” (1929). Sanusi Pane sangat serius dalam menulis tentang sejarah nasional Indonesia. Ia menulis “Sejarah Indonesia” pada tahun 1942 sampai 1948, dan “Indonesia Sepanjang Masa” pada tahun 1952. Sebelum perang, Sanusi Pane adalah penyair terbesar. Sanusi Pane adalah sosok yang rendah hati. Suatu ketika, J.U. Nasution ingin menulis buku tentang karya-karya Sanusi Pane. Ia ingin mewawancarai sastrawan itu. Namun, ia tidak pernah berhasil. Sanusi Pane selalu mengatakan kepadanya, “Saya bukan apa-apa … saya bukan apa-apa ….”. Ia juga pernah menolak pemberian penghargaan “Satya Lencana Kebudayaan” dari Presiden Soekarno. Hal ini membuat istrinya terkejut. Ia berkata bahwa Indonesia telah memberinya banyak hal namun ia belum bisa melakukan apapun bagi Indonesia. Ia mengatakan bahwa ia tidak perlu menerima penghargaan karena ia hanya mengabdi sebagai putra bangsa. Sanusi Pane pernah berpantang memakan daging karena agama Hindu mengajarkan untuk menyayangi sesama makhluk. Sanusi Pane meninggal dunia pada 2 Januari 1968.
Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sanusi_Pane http://sastranesia.com/sanusi-pane/ 2
Nico Novandy X IPS 1 / 28
https://spoilaaa.wordpress.com/2014/12/05/9-fakta-tentang-sanusi-pane/
3