Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan Gender merupakan konsepsi yang diakui sebagai penyebab ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan berada pada status yang lebih rendah. Di Indonesia pendekatan gender telah diambil untuk peningkatan status perempuan melalui peningkatan peran dalam pembangunan. Peran perempuan menjadi satu topik diskusi yang sangat menarik karena selama ini peran perempuan di dalam pembangunan masih dapat dikategorikan terbelakang. Suatu yang bertolak belakang dengan berbagai hasil studi yang menunjukkan peran perempuan di tingkat pedesaan dalam rumah tangga sangat dominan. Curahan kerja perempuan di pedesaan seringkali lebih tinggi namun terbatas pada kerja reproduktif yang tidak dinilai secara ekonomi, sehingga penghargaan terhadap perempuan hampir tidak ada. Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Perempuan Indonesia bertepatan dengan Peringatan Hari Ibu Ke-80 pada tanggal 22 Desember 2008 dan juga Peringatan 30 Tahun berdirinya Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (1978-2008). Telah membuahkan pikiran yang positif bagi kebanyakan perempuan untuk bangkit dan belajar
mencintai
arti
dirinya
dalam
mengisi
berbagai
topik
pembangunan.
Pergeseran peran perempuan yang semula pada kerja reproduktif ke produktif semakin lama menunjukkan gejala peningkatan. Secara kuantitas, perempuan memang lebih unggul dibandingkan laki-laki, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya perempuan memiliki potensi untuk berperan serta dalam pembangunan. Kualitas sumber daya perempuan juga tidak kalah dibandingkan dengan laki-laki. Akhir-akhir ini kita semakin sering disuguhi dengan berita-berita di media massa tentang tindak kekerasan, baik yang terjadi di kalangan publik maupun di dalam rumah tangga. Ada satu bentuk tindak kekerasan, yang seringkali sukar dicari siapa pelakunya namun sangat dirasakan kehadirannya oleh masyarakat umumnya dan kalangan perempuan khususnya, yaitu tindak kekerasan dalam rumah tangga Seperti beberapa kasus yang ditangani oleh Lembaga Peduli Perempuan dan Anak Kab. Asahan Sumatera Utara, kasus - kasus berupa kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan terhadap anak. Walaupun telah diberikan undang - undang untuk itu tetapi kebanyakan masyarakat belum tahu bahwa sudah ada undang - undang yang menangani itu semua. Yaitu, UU KDRT N0 23 Tahun 2004 dan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2004. Kurangnya sosialisasi dari pemerintahan dan minimnya masyarakat dalam mencari informasi membuat masyarakat ini menjadi sepele atau tidak takut dalam melakukan tindak kekerasan ini. Dalam hal ini, negara sendiri bisa dianggap melakukan
tindak kekerasan ketika berbagai kejadian yang menimpa banyak orang, terutama perempuan, seperti pelecehan seksual, diskriminasi, penganiayaan, perkosaan, hingga pembunuhan, tidak dapat dicegah atau bahkan dibiarkan oleh negara (violence by omission). Meski perempuan rentan dan rawan terhadap tindak kekerasan, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan untuk melindungi perempuan sering terbentur pada keterbatasan data kuantitatif dan kualitatif pendukung. Dalam satu dekade ini muncul fenomena baru untuk mengajak "pihak lawan" (laki-laki) mengakhiri tindak kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dipicu asumsi, ternyata laki-laki bukan saja pelaku, tetapi juga korban kekerasan. Ada dua pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini. Pertama, laki-laki bisa diajak berpartisipasi membicarakan masalah yang mungkin berkaitan dengan diri mereka, dan mereka merupakan
aliansi
potensial
untuk
penghapusan
kekerasan
terhadap
perempuan.
Kedua, perubahan cara pandang terhadap peran laki-laki yang selama ini diidentifikasi sebagai sumber masalah kekerasan terhadap perempuan. Keterlibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan bukannya tidak menimbulkan persoalan baru. Pertama, masih ada asumsi di kalangan perempuan, laki-laki sebagai pelaku tindak kekerasan bukan disebabkan bentukan sosial dan budaya, tetapi lebih disebabkan karena mereka secara fisik adalah laki-laki sebagaimana pandangan feminis radikal. Kedua, keterlibatan laki-laki dipandang sebagai bentuk ancaman baru bagi eksistensi perempuan, sebagai upaya ekspansi laki-laki dalam wilayah lebih luas. Pandangan ini bisa dimaklumi mengingat hegemoni ideologi patriarki sudah sangat mapan dan mengakar sehingga dikhawatirkan tidak dapat diubah sama sekali. Kecurigaan seperti itu bisa diakhiri apabila ada kesepakatan keterlibatan laki-laki bukan untuk menguatkan dominasi dan superioritas mereka, tetapi sebagai pendukung dan mitra utama kelompok perempuan. Kesepakatan perlu dibuat mengingat cara pandang itu juga diidap lebih banyak oleh laki-laki, terutama dari kelompok yang baru pindah haluan pemikiran. Harus ada pemahaman kepada mereka, keterlibatan mereka adalah bagian penyelesaian
masalah
karena
mereka
salah
satu
sumber
masalah
terbesar.
Jadi, keterlibatan laki-laki bukan hanya menolong perempuan, tetapi juga untuk menolong mereka agar tidak terlalu lama menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan.