Narasi Gebyak Banteng Nuswantara 2008 *) Ki Demang Saka Wetan SHB
1. Kesenian Bantengan. Kesenian Bantengan, yang berkembang dimasyarakat saat ini, sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia umumnya, dan khususnya Jawa Timur dari sejak duhulu kala. Akan tetapi kesenian tersebut sempat beberapa dekade terakhir mengalami kepudaran, sehingga kesenian ini hanya ada di beberapa tempat saja. Oleh karenanya kesenian ini membutuhkan perhatian yang serius dari berbagai lini masyarakat, yang berkepentingan untuk ikut bertanggung-jawab. Dengan adanya Gebyak Banteng Nuswantara 2008, diharapkan sebagai jembatan membangun kembali Kesenian tersebut untuk mampu menjadi bargening possesion karakteristik masyarakat diantara himpitan kebudayaan asing. Perkembangan kesenian Bantengan yang terjadi di masyarakat Jawa Timur kususnya, berkembang dimasyarakat pedesaan dan kelompok Pencak silat, sesuai dengan kepentingan dan fungsinya masing-masing. Sifat- sifat ini yang disebut dengan fungsi Eksternal dan Internal kebudayaan Bantengan. Fungsi Ekternal, yaitu fungsi kesenian Bantengan pada masyarakat awam atau pada umumnya sebagai bagian dari kesenian daerah atau tontonan kesenian kebudayaan daerah setempat. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada kegiatan-kegiatan besar daerah atau Negara, antara lain : 1. Perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 2. Gebyak Banteng pada tahun baru jawa, yang lebih dikenal dengan suran 3. Untuk mengarak acara panghargian atau selamatan, yaitu : Selamatan desa, khitan, nikah, panen, tanam tuwuh ( menabur bibit tanaman ), dsb
Fungsi internal, yaitu fungsi kesenian Bantengan pada masyarakat tertentu, yang memang mengembangkan kesenian tersebut. Fungsi ini biasanya bersifat hiologis spiritual kesenian budaya daerah setempat. Kegiatan ini biasanya ada beberapa bagian penting yang harus dilakukan kelompok kesenian Bantengan tersebut , yaitu antara lain : 1. Selamatan kesenian Bantengan pada hari-hari tertentu 2. Upacara pembuatan kepala banteng 3. Upacara pengisian spirit spiritualisasi pada alat kesenian banteng, khususnya pada kepala kesenian banteng 4. Penyempurnaan alat kesenian Bantengan, yang dianggap sudah tidak bisa digunakan lagi untuk acara-acara gebyak Bantengan (biasanya ini dilakukan dengan larungan atau pembakaran, sesuai dengan tata cara daerah setempat) Kegiatan kesenian bantengan biasanya didukung oleh beberapa ornament pendukung, diantaranya:
1.
Tanduk (banteng, kerbau, sapi, dll)
2.
Kepala banteng yang terbuat dari kayu ( waru, dadap, miri, nangka, loh, kembang, dll)
3.
Klontong (alat bunyi di leher)
4.
Keranjang penjalin, sebagai badan (pada daerah tertentu
5.
Kain hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang
6.
Gongseng kaki
7.
Pendekar pengendali kepala bantengan (menggunakan tali tampar)
8.
Jidor, gamelan, pengerawit, dan sinden
9.
Sesepuh, pamong, dan pendekar
10.
Berbagai macam alat dan kelengkapan yang diperlukan.
yang menggunakan)
2.
Sejarah Kesenian Bantengan Perkembangan kesenian Bantengan tidak terjadi pada jaman-jaman sekarang ini, melainkan sudah ada sejak Jaman Jenggala, Kahuripan, Gajahyana, bahkan abad-abad sebelumnya. Jika kita menimbang beberapa tulisan skrip para pujangga baik itu yang tertulis di prasasti maupun skrip layang- lontar, maka kita dapat berpedoman sebagaimana acuan kita berkesenian bantengan ini khususnya. Yang diantaranya : Layang
I.
DANUR WEDA ( TATA KENEGARAAN ) NGANGEKSO SIGUNGGUNG AMEKSO DWI JATI TRANATA TRACECEP PURIDHO NGEKSO RONO AGENG SIGUNGGUNG HAMUNG AGUNGENG SRIWANANDARA SARANG KARANG ANGGANA SINARA ARANA WEGYA JORO ANGULIH REKSO HANGAKSANENG MUDYA WAREK ANOM NGAREH RUNO ING HAMBEKSO “Jika kita mau memperhatikan (mempelajari) sifat sejatinya banteng Jangan hanya engkau mengagumi sifat yang dimiliki binatang tersebut Banteng sebenarnya punya watak keagungan yang berwibawa bagi kehidupan Keagungan banteng difungsikan sebagai simbolis manusia dengan alam sekitar Oleh karenanya sumber kemakmuran tidak luput dari siapa yang memimpin Jika sang pemimpin mampu memiliki sifat ini, bisa dibayangkan negeri ini” Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada Jaman Kahuripan - Kurawan - Kediri Abad II – III M
II.
BABAT PURWA KERTI ( TATA KEHIDUPAN ) LOH PAMUDYANENG SIGUNGGUNG ANGGONDO TURISHA SIGUNGGUNG NGELANG PURITHA SARI ING YANADWIPA LAMON ANYARIRO NGAREH TEMBE ANYALARIRA REKMO HAMENG-HAMENG SI GULA-GELI JAYA MAHENTHAKA SURA-SURANENG MARTAKHA WONO JALI ING PAYAM BANA SUNTAKANE AWAK NGGAYA SURIDHA MAHENTHAKA “Pada jaman Purwa Jawi (turisha) kejayaan banteng sebagai tunggangan punggawa Banteng merupakan simbolik kejayaan suatu Negara/ Kerajaan Pada waktu tertentu banteng ini digunakan untuk arak-arakan raja kepada rakyatnya Raja hanya mau mengendarai banteng yang paling kuat yang mempunyai sebutan (Mahenthaka) Perayaan ini diteruskan dengan acara kesuburan atau titah kesuburan raja Setelah banteng diarak keliling negri kemudian disembelih sebagai sesaji upacara” Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Singosari - Majapahit abad V – IX M
III.
LUNGKONANTA ( SERAT PERTANIAN ) JAYENG RANA HAMENG GUNA SAYENG TAKA RUWENG TAKA MAYANG ANGMAYA TANTUKA ANGMAYA SIAMANG RUNA UMANG ANGRUNA
SIGUNGGUNG TALA JAYENG RANA EWANG EWUNG SANG MAYA MAYA DWIPA “Dalam tata kehidupan semesta alam yang harus dimengerti adalah tata sarana Tidak ada satupun permintaan yang tanpa menggunakan sarana untuk mencapainya Sarana itu harus kita resapi baik dari yang hidup maupun yang khususnya tidak hidup Jika kita mampu mengertinya, maka tidak hanya permintaan dan keinginan tercapai Banteng pun akan menari untuk kita demi keagungan alam semesta Untuk itu patutlah kita mengembalikan semua itu pada keagungan sang penari (Banteng menari)” Layang atau tulisan ini tertulis di prasasti Candi Mangku Bumi pada jaman Samadwipa - Gajahyana Abad I M
IV.
SULUK PLENCONG ( SERAT PERDAYANGAN ) ANGREKSA REKASAHANE HAMUDYA TUWUH JAWI RUMEKSA ING SATIGIL RUWANA DWIPA MANGERTINYA SAMYA AJI SIGUNGGUNG JAYA RANA WOS KANG DADI SARTO WEDHI WERAH HUWONO SI MAHESTAKA TANTAKA HANDOKA HYANG JAYA GIRING WESI HAMENGKU ANA ING TANAH JAWI JAWA PAMUDYA UTAMA UTAMANE AMENG GUNA KALAWAN SEKTI MURIH HAYU KARAHOYONANE PRAHURUSA
“Pada setiap tempat keagungan pasti ada Sang Kuasa Agung yang menjadi tuntunan Yang bernaung di tanah utama Jawi ( Nuswantara ) itu berasal dari asal mula keagungan Keagungan itu menjadi dasar tutunan utama bagi semua sang hidup atau hidup itu sendiri Semua itu sudah menjadi tatanan kehidupan yang harus dipatuhi oleh semua mahluk hidup yang bernaung didaerah itu Sang Maha Banteng yang mengendalikan semua itu mulai dari banteng ( Handoko) Sejak jaman Hyang Jaya Giring Wesi ( Raja yang masih menggunakan ilmu Manunggaling Semesta Alam) Raja itu mengatur tanah Jawi dengan kekuasaan semesta alam ( Sabdha Panditha Ratu ) Titah raja adalah titah semesta alam ( bisa dikatakan raja adalah tangan Tuhan di dunia) Semua itu hanya untuk menjaga keseimbangan alam dalam tata kehidupan dari awal sampai akhir” Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Babat Purwajawi – Jawadwipa
V.
ASNA WEDA ( MANUSIA DAN BINATANG ) MANGKARA SINGKARAK ANAMPYAK JALA SANBAMBANG IWA GUNA MANUSWITHA NGURAH REH ING HAMYANA JATI HANG WASYA IMA GUNA YEKTI AMYA HAYU SARANA TERPA MIRATA HAYEKTI SAMARA LANA SIWANG SIWANG GUMULULENA ANYELA HAMUDYANE HAMESTAKA GUNA SAYEKTI
“Dalam jalur tata kehidupan untuk mencapai tata kehidupan didunia Pola kehidupan itu tidak luput dari pola kehidupan yang saling menyatu Dalam tata kehidupan yang sejati sebenarnya sama tak ada beda Perbedaan itu hanya tergantung pada Sang Pemimpin ( Banteng Simbolik pada Sang Pemimpin ) Semua itu hanya alat dan kelengkapan tata kehidupan yang ada, antara manusia dengan alam semesta Segala macam dan bentuk itu semua hanyalah kesempurnaan alam semesta Maka seyogyanya harus saling memperhatikan untuk mencapai kesempurnaan” Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Singhasari Abad VI – VII M
VI.
JATI PANULUH ( CAKRA MANGGILINGAN HIDUP DAN KEHIDUPAN ) KAKAWITANE TATA DWIPA LUPA SUNYO RURI WADYA MENGKU SEMO KUMO LEKSA SANTAKA HANYURA SARPA KRECHA KANCANA HANDAGHA MURAK NGEKSA AMEMEDYANENG ANALA LASTHA LIWANG LAWANG LUWUNG SUWUNG BUWONO HADYA SIWAH SAWANGGANA ANGGANDA SARI SRIHUTHAMA MUDYA HAMEMITHUI SIWANGKALANE ANYARI MUDYA MEDARENG WAHANA SUWUG JAGAD DUMADI
“Cikal bakal tata kehidupan yang diawali dari sebelum adanya kehidupan di alam semesta Diawali dengan tetes air kehidupan yang penuh cahaya kehidupan abadi Air itu ditempatkan di cupu Sarpa Kreca Kencana Handagha Kemudian tetesan air itu diambil sepercihan sinar untuk kehidupan Percihan itu sebenarnya tata hidup kosong dan keabadian Dintara persilangan itu ada inti sari kehidupan yang terus berkembang Percihan itu menjadi sari yang kemudian menjadi penjaga air tetes kehidupan yang berwujud seekor sapi keling ( Banteng ) Dari air susu sapi keling itu menjadi wujud kehidupan yang beraneka ragam” Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Jawa dwipa- Aswadwipa
3.
Filsafat Dan Falsafah Kesenian Bantengan
a) Piwulan ( penjabaran / penjelasan ) tentang Banteng 1. Tanduk, wujud permohonan diri kepada Sang pencipta dengan sikap keteguhan atau sungguh sebagai wujud kuasa Maha Kuasa untuk menjadi penguasa di alam semesta
2. Kepala, wujud tempat pengendalian diri dari bebagai macam keangkaraan di dunia secara ke dalam pada diri pribadi manusia 3. Klontong, wujud sikap kehati-hatian diri dalam menjalani perjalanan hidup, yang selalu berpegangan pada hati suci (Gumantung tanpa centelan)
4. Keranjang, wujud sikap yang selalu menimbang hasil sebab akibat, setelah apa yang diperbuat (Kasyunyatan) 5. Kain hitam, wujud dari hidup yang serba misteri, yang kita tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Untuk itu kita hanya berkewajiban untuk menjalani darma hidup sebagai titah Sang Kehidupan
6. Gongseng kaki, wujud dari tata usaha manusia untuk merubah apa yang sudah menjadi garis laku kehidupannya (Tarian si Hidup)
7. Jidor, gamelan, pengerawit, dan sinden, wujud dari berbagai macam perubahan dan perkembangan kehidupan, dimana kita berkewajiban untuk selalau menyesuaikan diri dari peradapan (Perkembangan jaman)
8. Pendekar pengendali kepala bantengan, wujud pengendali angkara hidup pada diri dari unsur luar. Sebagai Among Projo (aparat keamanan), pelaksana tata hukum yang berlaku. Artinya kita tidak boleh semaunya sendiri, tapi harus selalu menyesuaikan diri atau menempatkan diri.
9. Sesepuh, wujud dari pemimpin yang memutuskan segala sesuatu tata kehidupan baik yang sifatnya horizontal dan vertical (Spiritual dan sosial)
10. Pamong, wujud dari aparat pemerintahan yang berkewajiban untuk mengendalikan segala tata kemasyarakatan c) Paweling ( nasehat / saran / memo )tentang banteng ®
Eyang Jago Wido ( Suryo Haryo Handoko ) “ Titenana yen mbesok wes ana sarpo kantaka Handoko Brang saka wetan dalane, sinuwuk ubrug wahana jati. Amedar galeh jaya pamudya kaluhuruneng partiwi. Iku kang dadi titi wanci kawitane Negara pranata utama ing arum. Gelar anggelareng hambudaya daya manunggaleng ratui adil. Ya kang dadi pamudyaneng budaya jawa. “ “ Ingatlah jika nanti ada barisan, kirab, arak-arakan Banteng Merah yang sangat besar dari arah timur, kondisi ini yang sudah dinanti sejak lama. Yang sebenarnya akan menjelaskan maksud dari semua makna yang tersirat dari isi semua budaya Jawa (Nuswantara) yang nantinya akan membawa pada keagugan Tanah Pertiwi (Indonesia). Itu yang sebenarnya akan jadi cikal bakal untuk memulai Negara adil dan makmur. Gelaran budaya itu merupakan simbolik dari Manunggaling Kawulo Kelawan Gusti secara vertical, dan Manunggaling Kawulo Kalawan Panguwoso secara horizontal. Hal inilah yang disebut dengan Ratu Adil
( Jika Rakyat – Pemerintah – Tuhan sudah menyatu tidak dapat dipungkiri Negara akan mencapai apa yang di cita citakan para leluhur pendiri Bangsa dan Negara ). Hal ini yang menjadi intisari semua ajaran kebudayaan Jawa.
®
Eyang Kromo Jati “ Tangeh lamon siro ngger, yen kate nggayoh ngrungkepi negora iki kate bali tata tentrem rahayu kaya biyen maneh. Mulo kang wos molah utekke wong jawa, yen biyen wong kawulo jawa panghargian mangan daginge sapi wono seng dadi wujud manunggaleng ratu kalawan kawulane. Nangeng ing jaman sakiki kawulo jowo dikongkon mangan teleke maesone ratu ( wujud kyai slamet ), mulo yo tangeh lamon yen panguwoso bakal eleng marang kawulane. Jarene menehi tetulung, wujute ngekeki pangan. Nangeng ngertio yen telek yo tetep wujud telek. Dikapakno ae yo tetep wujud telek. Banjor seng keblinger sopo, retune opo kawulane ?. Pikiren dewe yen retune wes mentengno wetenge dewe, lan kawulane wes picek matane, wes ero telek yo tetep dipangan. Mulo titenana yen kawulo wes bisa nggayoh kanugrahanane sapi wono seng modon saka gunung yaiku tandane Negara bakaleng rahayu” Amatlah sulit anakKu, jika engkau berharap Negara ini akan kembali adil makmur seperti dahulu kala. Sebab otaknya manusia Jawa sekarang terbalik (keblinger). Jika dulu masyarakat Jawa melakukan panghargaan memakan daging Banteng yang menjadi simbolik menyatunya tatanan kepemerintahan dengan rakyatnya. Namun sekarang rakyat jawa disuruh memakan kotorannya kerbau raja (Atas nama Kyai Slamet). Oleh karena itu jangan harap pemerintah akan ingat dengan rakyatnya. Alasannya memberi pertolongan, wujudnya memberi makanan (Pertolongan). Namun mengertilah jika kotoran tetaplah kotoran, dirubah bagaimanapun ya tetaplah kotoran. Jika sudah seperti itu siapa yang salah?! Kamu pikir sendiri jika Ratunya sudah mementingkan perutnya sendiri, dan rakyatnya sudah buta matanya, sudah mengetahui kotoran tetap saja dimakan. Oleh karena itu ingat - ingatlah jika rakyat sudah bisa mampu merayakan keagungan barisan Banteng yang turun dari gunung itu menjadi tanda Negara akan Adil Makmur.
®
Eyang Simo Ludro “ Banteng ngono wewujud irenge jagad, kang bisa pamudyaneng jagad. Kewan iki kang bisa mengku pranatane Negara. Mulo yen wong tanah jowo wes podho akeh nganggo udeng ireng ( wulung ), iku tandane jawa jawi budo budi moto siji bakal bali siji maneh utamane. Ono kono wedaraneng manungso kang utama, utamane rasa, pangucap, laku, patrap, lan kasyunyatane tumindak kang temen mituhu ana ing darmane manungsa lenggana marang parang palungguane dewe-dewe. Yo iku arane eleng pangeleng. ” Banteng itu adalah wujud hitamnya dunia, yang sebagai simbol kekuatan dunia. Untuk itu yang bisa pedoman sebuah tatanan Negara. Untuk itu jika orang Jawa sudah banyak yang memakai udeng hitam, atau akan menjadi tanda Jawa dalam semesta alam dan semesta realita budaya berbudaya semesta menyatu dalam diri dengan wujud spiritual intelektual, tiada yang tak mungkin didunia ini untuk diwujudkan untuk menjaga keutamaan alam smesta. Disitulah semua penjelasan tujuan manusia yang utama. Utamanya dari hati suci, sekali ucapan, tindakan yang sungguh-sungguh, perbuatan yang pantang menyerah, dan kenyataan dari semua apa yang dikerjakan sampai pada kesempurnaan dari semua yang diharapkan dan apa yang dicita-citakan, yang semua itu terletak pada darmanya manusia duduk pada fungsi dan kemampuannya masing-masing, tidak pada nafsu keinginannya untuk menguasi atau kepentingannya masingmasing. Itu yang disebut dengan kesadaran yang tahu diri. d) Falsafat sembilan banteng peñata kehidupan ( Dewa Bathara Bumi ) Didalam inti kesenian banteng yang ada ditanah Jawa khususnya ada Sembilan Dewa Banteng yang mengatur tata kehidupan semesta, sebagai mana fungsinya masing masing. Sembilan unsur itu mulai yang menjaga kemakmuran sampai yang menjaga kesejahteraan kehidupan. Untuk itu Sembilan Dewa ini biasa disebut dengan Dewa Kemakmuran. Untuk itu Banteng biasanya digambarkan sebagai Turangga para Dewa di Jawa. Sebenarnya Banteng simbolik dari kekuatan bumi atau biasa disebut dengan Dayang/ kekuatan yang
bernaung ditempat tertentu. Oleh karena itu di atas kekuatan itu pasti ada Dewa atau yang memimpin dari pada ke Esa an Yang Maha Kuasa. Sembilan Banteng Agung itu, dintaranya :
1. Handoko Mastuko Jaya
: Menjaga Perdamaian Dunia
2. Handoko Ruweng Geni
: Menjaga Keseimbangan Dunia
3. Handoko Brang Seleng Galeh
: Menjaga Keutuhan Dunia
4. Handoko Winoro Setho
: Menjaga Kelestarian Dunia
5. Handoko Salang Mertho
: Menjaga Keindahan Dunia
6. Handoko Hangmukha
: Menjaga Kehidupan Dunia
7. Handako Sereng Guana
: Menjaga Fungsi Dunia
8. Handoko Angangngasha
: Menjaga Rotasi Kehidupan Dunia
9. Handoko Mayang Rengkha
: Menjaga Keabadian Dunia
Sembilan Dewa ini, dalam ilmu silat jawa biasa dimiliki oleh Empu silat yang sudah kawakan baik dari jurus sampai pada kesaktian yang dimilikinya. Tatarannnya tidak hanya pada kembangannya, namun daya dan kepastian gerak yang selalu memperhatikan penataan alam semesta. Oleh karena itu ilmu ini biasanya disebut Silat Semesta (Seratan Jiwa Rengkha Gunung Handoko Mayangkara). Pada jaman Majapahit hal ini digunakan untuk ilmu bela diri atau ilmu ketahanan para prajurit.
4.
Perkembangan Bantengan Jika kita memperhatikan data-data diatas, kesenian Bantengan. Perkembangannnya tidak muncul pada Jaman sekarang ini, melainkan sudah muncul sejak jaman dulu, bahkan sebelum adanya sistem kepemerintahan di Bumi Jawa (Nuswantara). Hai ini bisa diurutkan sebagaimana data berikut :
Kesenian Bantengan yang terjadi sekarang, sebagai fungsi hiburan dan tontonan masyarakat secara umum dan khusus pada
acara tertentu. Baik itu pada acara hari besar, perayaan, panghargaan, pencak silat, dsb ( Abad ke 19 - ….)
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya spiritual hiorostik Mistik Kejawen, yang fungsinya sebagai perayaan di
tempat-tempat tertentu ( tempat sakral dan pertanian ) ( Abad ke 17 – 19 M )
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya propaganda pemersatu masyarakat, yang biasanya dilakukan dengan arak-
arakan keliling desa ( Abad ke 17 – 19 M )
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya menyampaikan falsafah petuah-petuah sesepuh pada generasi muda, baik
yang sifatnya spiritual maupun intelektual. Ini bisa kita temukan pada acara hari-hari tertentu ( U manis / jumat legi ) ( Abad ke 15 – 17 M )
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya untuk membentuk Kanuragan dan Kesaktian pemuda-pemuda Jawa. Ini bisa
kita temukan bagi masyarakat Jawa yang mencampur kesenian Bantengan dengan Pencak silat ( Abad ke 13 – 15 M )
Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya simbolik menyatunya tatanan penguasa/ raja dengan rakyatnya. Pada
Jaman Majapahit sampai Singasari. Gelaran bantengan, sebenarnya tidak dilakukan seperti sekarang ini. Yaitu dengan menggunakan
bantuan modifikasi kerajinan benda seni budaya. Akan tetapi dengan menggunakan Banteng asli yang ditangkap dari hutan. Kemudian Banteng itu diarak keliling kampung sampai pada lahan pertanian masyarakat. Setelah Banteng itu diarak, binatang itu disembeleh untuk dijadikan korban kesuburan tanah. Upacara ini biasanya diteruskan dengan acara larungan ke laut, atau tolak balak saat desa mengalami Pagebluk (Penyakit Massal), dengan kepalanya tidak dilarung ke tengah laut, melainkan ditanam ditengah-tengah pusat kepemerintahan. Proses ini bisa kita lihat kesamaannya dengan Kyai Slamet di keraton Jogjakarta. ( Abad ke 6 – 14 M )
Pada jaman Mayadwipa, Babat Jawi (Kerajaan Jenggala, Kahuripan, Gajahyana). Simbolik arak-arakan Banteng dilakukan
oleh Punggawa Raja untuk meninjau daerah kekuasaannya, juga sebagai simbolik kepedulian Raja kepada kawulanya. Karena setelah arak-arakan akan dipilih salah satu banteng yang paling gemuk untuk selamatan. Bahkan banteng ini juga simbolik kekuatan dan kesuburan negeri, sampai pada prasasti prasasti biasanya sang raja menunggangi banteng. Hal ini bisa kita temukan pada relief Candi Jago, Tumpang, Malang. (SM sampai Abad ke 7 M )
Jika pada jaman Purwa Jawi, arak-arakan banteng dilakukan sebagai simbolik kekuatan seorang pemuda yang memuncak
pada pemilihan Kepala Suku. Dimana pemuda itu akan lari masuk hutan untuk menangkap seekor banteng. Setelah berhasil pemuda itu akan diarak keliling desa sebagai simbol kejantanan dan kekuasaan pemuda itu terhadap desa. ( SM )