MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA
OLEH
NIKOSIUS DAE SORY WUTUN 2014 114 167 KPN 14 1G
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NUSANTARA KUPANG 2017
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah Hukum Kesehatan dengan judul “EUTHANASIA” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini disusun sebagai syarat melengkapi tugas Hukum Kesehatan Semester VII tahun ajaran 2017/2018. Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semu phak yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah ini. Saya sebagai penulis mengaku bahwa “tak ada gading yang tak retak”, oleh karena itu, sumbang saran dan kritik yang sifatnya membangun senantiasa saya harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan. semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Kupang, November 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan 1.3 Tujuan BAB II
PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Euthanasia 2.2 Pengertian Euthanasia 2.3 Bagian Euthanasia 2.4 Kriteria Mati 2.5 Euthanasia dalam Beberapa Pandangan 2.5.1 Pandangan Agama 2.5.2 Pandangan Beberapa Negara 2.6 Euthanasia Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran-saran DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP). Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit
sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit. Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter. Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
1.2
Permasalahan Menyangkut fenomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan yang harus kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini penulis mendapatkan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam bab-bab berikutnya antara lain: 1. Apakah dimungkinkan adanya terobosan baru dalam hukum berdasarkan kasus-kasus berat, seperti secara medis penyakit sudah
tidak bisa lagi disembuhkan, sementara dokter pun sudah angkat tangan? 2. Mengingat hukum kita menganut positifistik, bagaimana Euthanasia menurut persepektif hukum Pidana Indonesia?
1.3
Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk: 1. Mengetahui Euthanasia dalam perspektif Medis 2. Mengetahui Euthanasia perspektif Hukum 3. Mengetahui Euthanasia dalam perspektif Agama 4. Mengetahui Kode etik euthanasia di beberapa negara serta di Indonesia. 5. Mengetahui Konsep Euthanasia
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penyusunan makalah ini adalah untuk: 1. Menyelesaikan tugas Hukum Kesehatan sebagai kelegkapan tugas semester VII tahun ajaran 2017/2018.
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Euthanasia Dalam Lingkup budaya Yunani-Romawi Kuno Pemahaman eutanasia dalam era ini dapat dilihat dalam beberapa pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300an sebelum Masehi, menulis dalam karyanya, “Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengartikan euthanasia sebagai ‘kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini 100). Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi. Dalam tulisannya tentang Kaisar Agustus, ia mengatakan demikian: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘eutanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus 99). Zaman Renaissanse pandangan tentang eutanasia diwakili oleh pendapat dari Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan eutanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya
memanfaatkan
kepandaiannya
bukan
hanya
untuk
menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan eutanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “The Best Form of Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan. Pada abad XVII-XX David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume,
London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan eutanasia. Tahun 20-30an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah eutanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan eutanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengahkiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler. Hingga dewasa ini Di Belanda, pengadilan Lwuwarden 21 Februari 1973 menjatuhkan pengadilan simbolis seminggu penjara atas dokter Geertruide Postma Van Boven yang pada tanggal 19 Oktober 1971 atas permintaan ibunya sendiri yang berusia 78 tahun dan sakit tak tersembuhkan mengahkiri hidup ibunya dengan memberikan 200 mg morfin. Di Amerika, Br. Joseph Charles Fox, tanggal 2 Oktober 1983 sewaktu menjalani operasi hernia, pernafasannya terhenti dan mengakibatkan anoxia celebral batang otak. Ia dibantu dengan respirator. Para dokternya menyimpulkan, ia dalam kondisi permanent Vegetative Stage (PVS). Superiornya, Philip K. Eichner, setelah berkonsultasi dengan sanak saudara Br. Fox minta penghentian respirator. Rumah sakit dan distrik Attorney menolak tetapi Supreme Court mengabulkannya.
2.2
Pengertian Euthanasia Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar). Dalam bahasa Arab
dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Jadi, secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
2.3
Bagian Euthanasia Ditinjau dari cara pelaksanaannya Euthanasia dibagi menjadi : 1.
Euthanasia aktif (euthanasia agresif) adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2.
Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi. Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya. 3.
Eutanasia non agresif atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis) yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya
tersebut
akan
memperpendek
atau
mengakhiri
hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
2.4
Kriteria Mati Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi, karena jantung merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak kepala. Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung terganggu. Tetap perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi
perdarahan pada otak, penderita tidak mati, jika batang otak betul-betul mati, maka harapan hidup seseorang sudah terputus. Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf penggerak motor semua saraf tubuh. Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan seseorang mati bila batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi. Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan empat fenomena. Pertama, adanya gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak. Kedua, adanya suara maupun bunyi, yang terdapat pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir terutama bagi orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati. Kriteria yang dikemukakan fuqaha yaitu kriteria pertama dan kedua masih belum menjamin, karena sering orang tidak bernafas dan tidak bersuara pada saat comma. Sedangkan kriteria ketiga yaitu kemampuan berfikir, hanya salah satu vitalitas otak. Kerusakan organ tidak fatal masih bisa dioperasi. Kriteria keempat, sulit dideteksi dengan menggunakan alat canggih. Keempat kriteria dapat diterapkan di tempat yang tidak ada alat ukur seperti disebutkan Prof. Mahar.
2.5
Euthanasia dalam Beberapa Pandangan 2.5.1 Euthanasia dalam Pandangan Agama 2.5.1.1 Dalam ajaran gereja Katolik Roma Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius
XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk programprogram egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi
saksi
atas dimulainya
sistem-sistem
modern
penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980, kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan
(Evangelium
Vitae)
nomor
64
yang
memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).
2.5.1.2 Dalam ajaran agama Hindu Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran katakata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari
"karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan
kepercayaan
umat
Hindu,
apabila
seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan
kembali
(reinkarnasi)
untuk
menyelesaikan
"karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
2.5.1.3 Dalam ajaran agama Buddha Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna
dari
kehidupan
dimana
penghindaran
untuk
melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut diatas maka nampak jelas bahwa Selain daripada hal
tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
2.5.1.4 Dalam ajaran Islam Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT. Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau “nafs” itu adalah : a. Surat Al-Hijr ayat 23 : Artinya : “Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang
menghidupkan
dan mematikan,
dan
kami
(pulalah) yang mewarisi”.
b. Surat Al-Najm ayat 44 : Artinya : “Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan”.
Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).
1. Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah : a “Nash”
yang
melarang
perbuatan
itu
dan
memberikan ancaman hukuman terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syar’i). b “Tindakan” yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata maupun sikap “tidak berbuat”. Unsur ini disebut unsur material (rukun maddi). c “Pelaku” yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral (rukun abadi). Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk mengurangi
beban
pasien
dalam
penderitaannya
melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Terjadinya
euthanasia
aktif
tidak
terlepas
dari
pertimbangan-pertimbangan berikut : 1. Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama. Pasien juga mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih “nyaman” yaitu melalui euthanasia.
2. Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien. 3. “Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama
dengan
dokter
untuk
mempercepat
kematian pasien.
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa/boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat Al-Isra ayat 33 (juga Al-An’am : 151). Artinya : “Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”. Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari 3 sebab : 1. Karena pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim. 2. Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi. 3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam.
Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena itu ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya. Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut
memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku. Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga. Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan. Kebolehan
euthanasia
pasif itu didasarkan atas
pertimbangan bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi kepastian hidup. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar, bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien yang berada di RS yang lengkap peralatannya. Tetapi bila pasien berada di RS yang sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih lengkap. Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup memikulnya. Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat kematian pasien. Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan terhenti pula fungsinya. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak, tetapi jantung masih berdenyut. Apalagi jika batang otak sudah mengalami pembusukan. Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen, pemacu
jantung, saluran infus dsb. Maksudnya hanya sebagai langkah menyempurnakan kematian. Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah
ayat
yang
menyiratkan
hal
tersebut,
"Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
1. Eutanasia positif Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan
proses
kematian
secara
aktif
(eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan
suatu
tindakan
aktif
dengan
tujuan
membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya.
Karena
bagaimanapun
si
dokter
tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya.
Karena
itu
serahkanlah
urusan
tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan
kepada
manusia
dan
yang
mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
2. Eutanasia negative Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini
didasarkan
pada
keyakinan
dokter
bahwa
pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan
tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Diantara
masalah
yang
sudah
terkenal
di
kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah,
dan
sebagian
ulama
lagi
menganggapnya mustahab (sunnah).
2.5.1.5 Dalam ajaran gereja Ortodoks Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka
dengan
doa,
upacara/ritual,
sakramen,
khotbah,
pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip prokehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
2.5.1.6 Dalam ajaran agama Yahudi Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai
bentuk
dan
menggolongkannya
kedalam
"pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi
melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan. Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi : "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
2.5.1.7 Dalam ajaran Protestan Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat
dipertanggung
jawabkan
tentang
hingga
kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
2.5.2 Pandangan euthanasia dalam beberapa Negara 2.5.2.1 Belanda Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002,
yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun
1994
setiap dokter di
Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
2.5.2.2 Australia Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill"
(UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
2.5.2.3 Belgia Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian". Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
2.5.2.4 Amerika Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-
undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia.
2.5.2.5 Indonesia Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun. Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004. menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia”. Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
2.5.2.6 Swiss Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada
intinya
menyatakan
bahwa
"membantu
suatu
pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan
hukum
apabila
motivasinya
semata
untuk
kepentingan diri sendiri." Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan
suatu
izin
untuk
melakukan
pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
2.5.2.7 Inggris Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran. Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.
2.5.2.8 Jepang Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut. Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消 極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi). Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai University pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " (積 極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi).
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan
melawan
hukum,
dimana
dokter
yang
melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki
suatu
kerangka
hukum
sementara
guna
melaksanakan eutanasia.
2.5.2.9 Republik Ceko Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.
2.5.2.10 India Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut
dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan membantu
kematian
pelaksanaan
dimana eutanasia
si
dokter
hanyalah
tersebut
(bantuan
eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.
2.5.2.11 China Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.
2.5.2.12 Afrika Selatan Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada
2.5.2.13 Korea Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan
tidak
bersalah.
Namun
kasus
ini
tidak
menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif. Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment)
termasuk
tindakan
eutanasia
pasif,
dapat
diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.
2.5.3 Euthanasia Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran Melihat penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan Kusuma memohon agar istrinya (Agian Isna Nauli) yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja. Ini merupakan perubahan dalam dinamika masyarakat yang kian mengglobal yang ditandai semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia maka semakin sering masyarakat
bersentuhan
dengan
nilai-nilai
asing
(di
luar
kebiasaan/norma-norma komunitasnya). Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah sebuah kemajuan berfikir, namun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami oleh Hasan yang mengajukan
euthanasia terhadap istrinya dan hal yang sama juga terjadi pada Siti Zulaekha
yang
akan
diajukan
euthanasia
oleh
keluarganya.
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang
sejauh
mana
hukum
(pidana)
positif
memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebihlebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien/korban
itu
sendiri
(voluntary
euthanasia)
sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati
secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan,“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan : “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”. Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di
Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia. Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk menggagalkan keinginannya untuk mengeutanasia istrinya tersebut. Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan. Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. kapankah hal seperti itu terjadi di Indonesia? Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan. Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam
melakukan
tindakan
euthanasia
harus
melalui
prosedur
dan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi : “Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguhsungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”. Prinsip umum UU Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara wajar sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin. Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan : “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”. Dokter bisa diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10 menyebutkan : “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi ‘hidup’ makhluk insani”. Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan : a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus) b. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak akan mungkin sembuh lagi.
Seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya. BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Tuhan YME. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Tuhan dengan hukuman neraka selama-lamanya. 2. Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, Undang-Undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut Islam yang menghukumnya dengan haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri. 3. Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks, dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.
3.2
Saran Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
1. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara : a Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah. b Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
2. Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Euthanasia dalam Medis dan Pidana. http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&i d=97&Itemid=97, diakses pada tanggal 27 November 2017
Anonim. 2010. Hukum Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran. http://www.pdfcoke.com/doc/26876842/Hukum-Euthanasia-Dan-Kode-Etik Kedokteran, diakses pada tanggal 27 November 2017
Anonim. 2009. Euthanasia. http://mytaste.wordpress.com/euthanasia/, diakses pada tanggal 27 November 2017
Iwan. 2004. Seputar Euthanasia. http://www.mentaritimur.com/mentari/oct04/euthanasia.htm, diakses pada tanggal 27 November 2017
Lebaron. Garn. 2010. The Etics of Euthanasia. http://www.quantonics.com/The_Ethics_of_Euthanasia_By_Garn_LeBaron. html, diakses pada tanggal 28 November 2017
Rachmanto. Teguh. 2008. Menggugat Etika Euthanasia. http://nasional.inilah.com/read/detail/18807/menggugat-etika-euthanasia, diakses pada tanggal 29 November 2017