Menuju Kampus Bervisi Global_resensi Buku

  • Uploaded by: Rikobidik Antasena
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Menuju Kampus Bervisi Global_resensi Buku as PDF for free.

More details

  • Words: 895
  • Pages: 4
Resensi buku:

MENUJU KAMPUS BERVISI GLOBAL oleh Rikobidik

1

2

Judul buku Penulis Penerbit Terbit Tebal

: Piawai Menembus Jurnal Terakreditasi : Dr. Wahyu Wibowo : Bumi Aksara, Jakarta : Mei 2008 : xx + 199

Ketika anda disodorkan brosur sebuah perguruan tinggi, maka pertanyaan pertama yang harus anda sodorkan pada penyebar brosur tersebut adalah: berapa jumlah jurnal ilmiah yang dihasilkan kampus ini yang telah terakreditasi Ditjen Dikti? Pertanyaan ini barangkali terkesan konyol bahkan bagi kalangan kampus sendiri namun beralasan mengingat, ternyata, Unesco memberikan predikat tertinggi dan bergengsi bagi perguruan tinggi di belahan dunia manapun yang mampu menghasilkan jurnal ilmiah yang terakreditasi dan sering dikutip (citation) oleh karya ilmiah lainnya. Sementara, iming-iming rektor dari tokoh ini atau itu, ruang ber-AC, gedung megah, dosen lulusan luar negeri, alumni yang berhasil menjadi tokoh ini atau itu, dan lain sebagainya hanya dipandang sebelah mata oleh Unesco. Buku yang ditulis dengan gaya bertutur ini mengalir lancar dari Dr. Wahyu Wibowo, seorang dosen di salah satu PTS di Jakarta. Dia dengan sigap menegaskan fakta tersebut seraya memberikan solusi bagaimana menulis jurnal ilmiah yang terakreditasi secara utuh dengan menyertakan paradigma baru dalam menulis artikel ilmiah. Kehidupan modern yang semakin mengarah kepada pemenuhan kebutuhan yang serba cepat dan instan memang kerap mengaburkan arah tuju perguruan tinggi sehingga gamang ketika harus menjalankan tri dharma perguruan tinggi. Tidak sedikit perguruan di Indonesia seperti kehilangan pedoman dan gagap ketika menghadapi tantangan industri. Seolah-olah, perguruan tinggi manut-manut saja ketika dituntut oleh industri untuk mencetak tenaga petugas ticketing, pramugari, pelayan restoran, atau pegawai bank, dsb. Padahal, perguruan tinggi dapat memainkan pengaruhnya dengan menyarankan kepada dunia industri bahwa jika ingin menyerap tenaga kerja yang hanya mengandalkan tenaga (“tukang”), sebaiknya industri menyerap dari lulusan sekolah menengah kejuruan saja. Sebab, perguruan tinggi (khususnya strata satu) sebenarnya dipersiapkan untuk menghasilkan para pemikir yang kelak akan terus menerus mengembangkan paradigma ilmu pengetahuan demi menjaga objektivitas kebenaran ilmu pengetahuan. Hasil pemikiran dari para pemikir nanti inilah yang akan berguna untuk memperbaiki sistem dalam industri, misalnya mengembangkan teknologi ticketing yang canggih, sistem perbankan yang memenuhi syarat-syarat nilai-nilai kemanusiaan, dan mencerdaskan sistem akuntansi keuangan pada perusahaan yang hingga hari ini masih berorientasi pada ketertiban administrasi an sich ketimbang mendahului kewajiban memenuhi tanggung jawab kepada sumber daya manusia yang tenaganya telah terlebih dahulu dimanfaatkan oleh perusahaan. Maka, jurnal ilmiah yang terakreditasi adalah kawah candradimuka sekaligus muara dari segala akivitas para pemikir tersebut. Pada jurnal ilmiah, para pemikir mendapat tempatnya yang bergengsi demi promosi diri, menelurkan hasil penelitian, percobaan, atau perenungan akademik (x). Namun, karena artikel pada jurnal ilmiah tidak hanya dimaksudkan sebagai segmen pembaca yang sempit, tertentu, dan terbatas, sebuah artikel ilmiah harus tetap

3

menjaga nilai-nilai komunikatifnya, yakni enak dibaca, mudah dipahami, senantiasa objektif (dalam jangkauan pengalaman manusia dan logis), dan tidak membuat dahi pembacanya berkerut, implikasinya artikel ilmiah harus disajikan secara adab atau harus tunduk pada hukum “artikel ilmiah”, sebab artikel ini kelak memang diharapkan dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, termasuk industri (viii). Kesadaran untuk segera mengubah paradigma lama yang cenderung memuja kondisi fisik perguruan tinggi seperti yang pernah disinggung oleh Fuad Fachrudin, Phd, di koran SINDO (22/05/08) sebenarnya merupakan pukulan telak yang harus segera ditanggapi secara agresif oleh perguruan tinggi. Misalnya, masih relevankah mengagungagungkan tokoh besar yang mendirikan perguruan tinggi tersebut sementara, di sisi lain, perguruan tinggi tersebut sama sekali tidak memberikan sokongan pendanaan bagi dosen atau mahasiswa yang memiliki kecenderungan setipe atau bahkan melebihi tokoh besar tersebut. Bahkan, banyak sekali dosen yang “terpaksa” membayar sendiri biaya studi pascasarjananya, padahal begitu studinya rampung namanya digadang-gadangkan dan dibanggakan perguruan tinggi tersebut (6). Akibat dari kedunguan perguruan tinggi tersebut, para dosen akhirnya terpaksa “mengasong” (mengajar di sana-sini) demi menutupi biaya hidup tinggi ketimbang menulis artikel ilmiah mengingat honor yang diterima dari menulis untuk jurnal ilmiah sangat memperihatinkan (2). Ujung-ujungnya adalah bisa ditebak, menurunnya mutu dosen meskipun gelar akademiknya berderet (xiii), timbulnya resistensi dari dosen untuk berdiskusi secara akademik dengan mahasiswanya karena khawatir kewibawaannya turun, dosen tersebut sepertinya tidak sadar bahwa ilmu pengetahuan yang sudah sangat dihapal di luar kepalanya itu sebenarnya telah meloncat jauh dari kondisi terkini. Akibatnya, ketika ada mahasiswa yang “kelewat maju”, mahasiswa tersebut pasti akan dituding “menggurui dosennya” atau lebih sial dianggap “keluar jalur”. Langkah “murah” yang bisa diandalkan perguruan tinggi untuk meningkatkan prestise di mata internasional sebenarnya sangat sederhana: 1. meningkatkan kuantitas maupun kualitas buku di perpustakaan; 2. mewajibkan setiap jurusan apapun mendistribusikan mata kuliah dasar-dasar filsafat, filsafat ilmu, dan filsafat khusus (mata kuliah filsafat bahasa untuk fakultas bahasa dan sastra, misalnya). Sebab, dari filsafat inilah baik mahasiswa maupun dosen memiliki “kesempatan” untuk kritis ketimbang dari ilmu pengetahuan khusus; 3. memberikan honor sekelas artis sinetron untuk dosen atau mahasiswa yang melakukan penelitian; 4. setelah dosen dan mahasiswa menjadi kritis maka perguruan tinggi harus menerbitkan jurnal terakreditasi dengan memperhatikan kualitas, distribusinya, beserta pendanaan yang “takterbatas”. Hanya dengan seperti ini saja, saya yakin, perguruan tinggi tersebut takperlu bersusah-payah mengarang jargonjargon kampanye iklan yang kelewat membual apalagi sampai promosi ke luar daerah.

RIKO, lahir di Jakarta, 29 Agustus 1978, bekerja sebagai Freelance Copywriter dan Mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Nasional, Jakarta. Artikelnya pernah dimuat di koran Seputar Indonesia (mengenai Filsafat Bahasa).

4

Karya ilmiah dan penelitian yang pernah diterbitkan yaitu Nasionalisme Baru: Wacana Kemerdekaan Pasca Reformasi (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Labsospol UNAS) dan Mendahulukan Yang Tertinggal 1 & 2 (Pusat Pemberdayaan Masyarakat UNAS bekerjasama dengan Departmen Sosial). Nomor sel: (021) 990 6 8877, 0852 852 86066 & surat-e: [email protected]

www.ngobrol-hang-out.blogspot.com

Related Documents

Laman Kampus
May 2020 37
Tugas Kampus
April 2020 32
Alamat Kampus
November 2019 33
Buku-buku
November 2019 64
Buku-buku
June 2020 49

More Documents from ""