MENANGGALKAN KEPALA Oleh Rikobidik
Majalah Playboy Indonesia yang sempat mengundang kisruh beberapa tahun lalu sebenarnya adalah sebuah uji coba ketangguhan dalam mengendalikan kehidupan. Imej majalah ini memang sudah terbentuk sedemikian mapan di benak orang sedunia. Dia adalah majalah yang tampil secara konsisten menampilkan wanita bertubuh molek tanpa sehelai benangpun pada sampul majalahnya. Terang saja publik Indonesia gusar dengan munculnya majalah Playboy versi Indonesia. Dalam perpekstif komunikasi massa, majalah ini memang rentan menimbulkan kontroversi ketika muncul di sini. Semenjak teknologi telepon genggam mengadopsi gambar diam dan gambar gerak sebagai salah satu fiturnya, maka sesungguhnya ini adalah sebuah kepanjangan dari bentuk konvensional sebelumnya dalam mengekalkan aspek ketelanjangan pada ingatan manusia. Jikalaulah idea dalam akal manusia terus ada, maka fitur seperti ini akan terus memberinya sejenis inspirasi atau pengamatan baru akan hal-hal telanjang. Kalau kita merasa lebih waswas ketika ingin membawa masuk majalah berisi gambar telanjang ke dalam rumah ibadah atau lingkungan sekolah, lantas bagaimana dengan membawa telepon genggam yang menyimpan gambar telanjang di dalamnya? pantaskah telepon genggam itu kita bawa serta ke dalam rumah ibadah? Di sinilah letak kebingungan manusia ketika berhadapan dengan nilai-nilai. Sebab, data yang tersimpan di dalam telepon genggam bentuknya tidak seeksplisit seperti dalam bentuk cetak. Di sini, kita memang harus kembali berpikir, bahwa ketelanjangan juga mesti ditinjau secara penggunaannya di dalam kehidupan yang kompleks, untuk meminjam Wittgenstein. Karena dimensi yang mengantarkan kita menuju ketelanjangan itu bentuknya sudah tidak nyata lagi melainkan telah bersalin rupa dalam bentuk angkaangka oposisi biner. Lebih jauh, dia sejatinya sudah berbentuk idea dalam kepala manusia, untuk meminjam Plato. Lalu, jika membawa majalah berisi gambar telanjang ke dalam rumah ibadah adalah sesuatu yang haram, mestinya ada petugas jaga di rumah ibadah yang memeriksa setiap telepon genggam yang masuk untuk menyortir gambar telanjang di dalamnya. Celakanya, ternyata ketelanjangan ternyata juga tersimpan rapi di dalam setiap kepala manusia. Haruskah kita menanggalkan kepala sebelum masuk rumah ibadah? Wittgenstein (1889-1951), meskipun tidak membicarakan tentang ketelanjangan, memberikan batasan yang jelas dalam pemikiran filosofisnya mengenai kehidupan sehari-hari. Menurutnya, makna yang ditemui dalam kehidupan manusia sangat bergantung kepada penggunannya. Secara tidak langsung, pemikirannya ini memberikan semacam sinyalemen kepada kita bahwa mengenal kehidupan adalah seperti mengenal nilai-nilai kehidupan manusia yang sejatinya sangat beraneka ragam. Ketelanjangan, jika demikian, memang sudah terlanjur menjadi sesuatu yang inheren di dalam akal manusia. Malah, berkat rahmat Allah yang telah membekali manusia dengan hasrat seksual seakan semakin mengekalkan posisi idea tubuh telanjang untuk tidak bisa begitu saja disingkirkan dari kehidupan. Lalu, bagaimana untuk memecahkan masalah yang seolah-olah saling tumpang-tindih seperti ini? Bila ditinjau dalam pemikiran Wittgenstein, rasanya naif sekali kalau kita menganggap semua orang selalu memikirkan tentang ketelanjangan setiap menit setiap
1
2 detik tanpa jeda sedetikpun di dalam kehidupannya. Meskipun ada, itu pasti hanya bersifat kasus. Tidak bisa dianggap pukul rata bagi setiap orang. Karena pada hakikatnya setiap individu memiliki tata permainan kehidupannya masing-masing. Kalau begitu apa perlunya repot-repot membuat UU pornografi? Ini pasti sebentuk kepongahan dari segelintir oknum yang merasa dirinya paling tahu kapan dan di mana meletakkan nilai-nilai ketelanjangan. Dalam pernyataan yang paling polos, kita bisa bertanya: siapa yang berani menjamin bahwa ketika RUU itu berhasil menjadi UU akan mampu mengontrol idea ketelanjangan dalam akal tiap-tiap manusia? Haruskah diciptakan lagi sejenis alat yang mampu mendeteksi isi pikiran manusia untuk menjalankan UU Pornografi ini?
RIKO, lahir di Jakarta, 29 Agustus 1978, bekerja sebagai Freelance Copywriter dan Mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Nasional, Jakarta. Artikelnya pernah dimuat di koran Seputar Indonesia (mengenai Filsafat Bahasa). Karya ilmiah dan penelitian yang pernah diterbitkan yaitu Nasionalisme Baru: Wacana Kemerdekaan Pasca Reformasi (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Labsospol UNAS) dan Mendahulukan Yang Tertinggal 1 & 2 (Pusat Pemberdayaan Masyarakat UNAS bekerjasama dengan Departmen Sosial). Nomor sel: (021) 990 6 8877, 0852 852 86066 & surat-e:
[email protected] www.ngobrol-hang-out.blogspot.com