Mengembangkan Profesi Pekerja Sosial Indonesia: Isu Pendidikan Profesi Dorita Setiawan, MSW Doctorate student at Columbia University School of Social Work
Indonesia adalah salah satu negara modern dengan dampak urbanisasi dan industrialisasi yang begitu terasa. Kemiskinan dan masalah pribadi menjadi dampak yang tak terelakkan akibat modernitas itu. Ditambah lagi dengan perubahan ekonomi, politik yang kian rumit telah berdampak pada makin banyaknya terungkap masalah sosial di Indonesia yang perlu dipecahkan. Bencana alam yang beruntun menuntut solusi yang jelas dan tegas serta berkesinambungan. Pekerja sosial serta pendidikan profesi-nya kembali banyak mendapatkan perhatian. Inilah saatnya profesi pekerja sosial kembali harus berbenah diri untuk menentukan kemana arah yang akan dituju, pendidikan pekerja sosial adalah kuncinya. Siapa saja yang bisa dianggap pekerja sosial professional? Maraknya institusi tinggi yang menyelenggarakan Pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia, merupakan salah satu pertanda baik akan meningkatnya kesadaran lingkar akademik akan tuntutan masyarakat akan profesi ini. Dinamika pendidikan profesi pekerja sosial di Indonesia berada pada titik yang positif dimana diskusi yang ada mengarah pada kejelasan akan status profesi pekerjaan sosial di tanah air. Ini adalah proses perubahan yang harus dilewati profesi peksos di Indonesia, proses ini bukanlah hal unik yang hanya dialami Indonesia, Jepang, China dan Vietnam adalah beberapa negara yang mengalami perjalanan yang serupa dalam menghadirkan profesi ini. Namun sejauh mana pendidikan tinggi mampu menghadirkan profesi ini yang berkualitas dan memenuhi syarat adalah pertanyaan yang harus kita jawab bersama. Tulisan ini tentunya hanyalah sebagai titik awal bagi kita untuk memutuskan apakan pekerjaan sosial adalah profesi yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia? kalau iya, bentuk pekerjaan sosial seperti apakah yang sesuai? Apakah pekerjaan sosial di Indonesia dapat menjadi sebuah profesi? apakah kurikulum pendidikan peksos yang ada dapat dikoordinasikan sehingga terjadi keseragaman? Selayang pandang lahirnya Pekerjaan Sosial di Amerika Pekerjaan sosial adalah profesi yang sangat berhubungan erat dengan konteks dimana profesi ini dibangun. Dalam diskursus profesi secara umum, sebuah profesi yang ideal adalah sebuah profesi yang merespon kebutuhan masyarakat akan suatu keahlian, contohnya pekerja sosial dalam konteks Amerika Utara, profesi ini adalah respon dari dampak negatif yang diakibatkan oleh Industrialisi dan Urbanisasi pada tahun 1880-an, (R Lubove – 1965, Wenocur, 2001 and Ehrenreich, 1985) Ehrenreich (1985) menyebut era ini sebagai the Progressive Era (sekitar 1880 hingga 1920), dua dekade sebelum Perang Dunia I dimana krisis melanda Amerika secara ekonomi, sosial dan politik. Perubahan ini berdampak pada hidup orang banyak dan institusi sosial seperti perubahan masyarakat pedesaan menjadi lebih Urban, Imigrasi besar-besaran karena industrialisasi, pada masa ini muncul banyak nya pertanyaan kepada pemerintah akan tanggung jawabnya kepada warga Negara dan hubungan antara individu dan masyarakatnya. Pekerjaan sosial 1
moderen muncul karena tuntutan solusi yang lebih sistemik terhadap masalah-masalah pribadi yang lebih rumit yang diakibatkan oleh kemiskinan dan stress. Pada bentuk awalnya, peran pekerjaan sosial di Amerika utara adalah melayani mereka yang dianggap tidak dapat berpartisipasi pada proses industrialisasi disebabkan oleh masalah fisik dan mental atau ketidakmampuan untuk mengakses sumber-sumber yang ada agar dapat berpartisipasi ke dalam pasar kerja yaitu kemiskinan dan munculnya masalah-masalah pribadi seperti depresi yang tidak lagi dapat ditangani oleh keluarga dikarenakan fungsi keluarga besar yang melemah dan tidak dapat pula ditangani oleh institusi masyarakat, karena lemahnya sistem yang dimiliki oleh insitusi semacam ini hingga tidak mampu menampung, mengatasi dan mengatur banyaknya kasus. Profesi pekerjaan sosial muncul dengan menawarkan perspektif akademis sehingga pelayanan terhadap masyarakat memiliki mekanisme yang jelas, teratur dan dapat dievaluasi. Menurut seperti yang dikutip oleh Ehrenreich, secara historis pekerjaan sosial memiliki dua komitmen besar, pertama adalah komitmen untuk meningkatkan fungsi individu dan secara bersamaan komitmen untuk mempromosikan masyarakat yang lebih baik dan sumber sumber yang ada disekitar mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Perdebatan tajam antara pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial/kebijakan sosial tidak sejalan dengan kedua komitmen awal profesi pekerjaan sosial. Pekerjaan Sosial atau Ilmu Kesejahteraan Sosial? Yang menarik adalah perbedaan nama antara Pekerjaan sosial dan Ilmu Kesejahteraan sosial. Ada beberapa dua perspektif dalam melihat kedua kata ini. Sebagai pemahaman definisi, pekerjaan sosial memiliki sejarah yang berakar dari tradisi philantropi atau charity movement yang lahir pada era progresif di Amerika tahun 1880-an. Pendekatan yang dilakukan Peksos, lebih bersifat klinis (beberapa menyebutnya generalis), ranah-ranah yang ada dalam pekerjaan sosial pun sangat spesifik beberapa diantaranya adalah asesmen keluarga dan perlindungan anak. Yang menarik dari hal ini adalah, di Indonesia banyak yang menganggap bahwa pendekatan klinis bukanlah pendekatan yang relevan yang dapat diterapkan pada konteks Indonesia. Namun keterampilan ini sebenarnya merupakan elemen yang sangat penting bagi Indonesia, karena trend intervensi sosial yang ada di Indonesia lebih bergerak menuju layanan yang berbentuk pencegahan berbasis masyarakat (community-based prevention) dibanding dengan model insitusi untuk memecahkan persoalan yang akut. Lain hal nya dengan Kesejahteraan Sosial (Social Welfare), kata ini lebih bersifat umum dan general, gerakan ini muncul dari pergerakan settlement house yang dibidani oleh Jane Adams, dimana lebih bersifat pada community organizing, aktifisme , advokasi dan juga kebijakan. Karena kesejahteraan sosial berkait dengan well-being masyarakat, maka pelaku di dalam ranah ilmu kesejahteraan sosial ini tidak melulu harus Pekerja sosial tapi bisa juga ekonom, politisi, semua profesi yang berhubungan dengan kesejahteraan orang banyak. Namun seorang pekerja sosial yang mendalami Ilmu Kesejahteraan Sosial akan berbeda dengan mereka yang datang dari profesi lain. Misalnya, analisis kebijakan kemiskinan seorang peksos akan lebih menggunakan pisau analisis kelayakan (kualitas hidup) dan teori PIE (people in environment) yang melihat dukungan keluarga, lingkungan dan masyarakat sedangkan seorang ekonom lebih menggunakan pendapatan (income dan earnings) untuk menganalisa satu phenomena kemiskinan yang ada di masyarakat. Tentu saja contoh ini 2
sangat ‘sederhana’ dibanding dari proses analisa yang dilakukan di lapangan yang lebih rumit. Perspektif ke dua adalah, penamaan pekerjaan sosial dan Ilmu kesejahteraan sosial pada universitas adalah masalah ‘hubungan publik’ artinya, penamaan ini terkait dengan pesan apa yang ingin disampaikan oleh suatu program pekerjaan sosial. Di Jepang misalnya pada masa awal pembentukan program pendidikan pekerjaan sosial, untuk alasan politis dan melihat pasar, nama ilmu Kesejahteraan sosial lebih dipilih karena stigma akan pekerjaan sosial sangat kental di masyarakat. Namun ketika profesi ini sudah lebih dikenal beberapa program kembali menggunakan kata pekerjaan sosial (Mandinberg, 2009). Di Amerika sendiri, tidak semua program yang menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial menggunakan kata Social Work (Columbia University School of Social Work, University of Michigan) tetapi juga Social Welfare (UCLA Berkeley dan University of Washington in St Louis), namun mereka bernaung di bawah CSWE (Council of social Work Education) atau badan pendidikan pekerjaan sosial. Amerika Serikat dan Kanada serta Inggris –walaupun sedikit berbeda dengan latar belakang historis yang berbeda- memiliki trend yang sama akan penamaan program mereka. Standarisasi Kurikulum Wenocur dan Reisch memandang profesionalisasi pekerjaan sosial sebagai suatu kepemilikan komoditas layanan yang spesifik yang jelas yang monolistik (yang hanya dimiliki oleh pekerjaan sosial) dengan ‘reward’ materi juga status. ( “another monopolistic hold on a distribution of a particular service commodity with concomitant materials and status rewards”. ) Jadi ketika membicarakan pendidikan pekerjaan sosial , kita harus dapat menjawab pertanyaan penting, sebagai pekerja sosial hal apa yang harus kita ketahui? Dan apa yang yang diharapkan dari seorang pekerja sosial? Tentu saja hal ini banyak mengundang perdebatan antara mereka yang terlibat di lapangan layanan sosial, para pendidik pekerjaan sosial, pembuat kebijakan, akademisi dan semua orang yang merasa terlibat. Perbedaan antara apa dan bagaimana menamakan pekerjaan sosial sebagai sebuah disiplin adalah dinamika awal terbentuknya pekerjaan sosial di Amerika. Di Indonesia, hal ini sedang berlangsung, kita semua sedang mencari bentuk dan formula untuk membentuk sebuah pekerjaan sosial yang dianggap ideal. Namun, tentunya kita harus dapat bergerak cepat dan tidak berputar-putar dalam pembentukan sebuah nama, namun mencari titik persamaan akan bagian apa yang dapat kita lakukan. Dengan berjalannya waktu, ketika tuntutan profesi pekerjaan sosial kian menuntut keahlian yang spesifik, jelas dan sustainable, profesi pekerja sosial di Indonesia dituntut untuk memiliki tingkat akademik yang cukup hingga dapat menghasilkan tenaga professional dengan kemampuan spesifik dan berkualitas sehingga dapat berkompetisi dengan profesi yang lainnya. Ketika hal ini tidak dilakukan, lahan pekerja sosial menjadi lahan yang dapat diserbu siapa saja. Yang dimaksud lahan disini adalah ranah pekerjaan dimana dibutuhkan keahlian yang sangat spesifik dan itu hanya bisa dilakukan oleh pekerja sosial. Ini bukan hal yang mudah. Ini bukan berarti kita dapat melabel satu produk yang bukan milik kita. Di Aceh pasca tsunami misalnya, banyak orang yang melihat pekerja sosial professional melakukan pekerjaan yang sangat berbeda dibanding dengan mereka yang tidak professional, misalnya, 3
‘produk’ yang dimiliki oleh pekerja sosial professional adalah produk dengan rangkaian sistematis, terarah dan terukur. Keahlian ini tentu saja tidak bisa dilakukan dengan tingkatan pelatihan. (training vs pendidikan tinggi). Contoh yang tepat adalah usaha penting yang dilakukan oleh SWPRC dalam perlindungan anak yang diawali dari Aceh, pasca tsunami dan beberapa daerah di Indonesia lainnya. Perlindungan anak adalah salah area yang seharusnya dapat diklaim sebagai area andalan pekerjaan sosial di Indonesia yang bisa kita jadikan titik awal spesialisasi yang bisa dilakukan oleh peksos professional di Indonesia. Standarisasi kurikulum adalah tuntutan dari munculnya beberapa program kesejahteraan sosial di Indonesia . Standarisasi adalah suatu proses yang tidak terelakan. Standarisasi adalah kepentingan profesi , penting bagi kita untuk memiliki titik persamaan untuk jangka panjang, walaupun standarisasi bukanlah hal yang besar bagi konsumen dan pasar karena bila produk yang dihasilkan memiliki kualitas baik, pasar tidak terlalu melihat standarisasi sebagai ukuran (Mandinberg, 2009). Salah satu cara standarisasi yang dapat diambil oleh profesi pekerjaan sosial, yaitu mengadakan konsorsium yang terdiri dari para ahli pekerjaan sosial, akademisi, pemerintah, organisasi-organisasi yang menyerap tenaga peksos dan beberapa tokoh masyarakat. Langkah ini diambil agar pekerjaan sosial memiliki tolok ukur akan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan peksos. Mengambil contoh di beberapa negara yang telah memiliki profesi pekerjaan sosial lebih awal dari Indonesia, misalnya CSWE (the Council of Social Work Education) yang berada di Amerika utara, adalah badan pendidikan peksos yang menentukan isi kurikulum inti pekerjaan sosial universitas. Namun tolok ukur ini bukanlah ukuran yang baku yang harus diikuti mentah-mentah. Setiap universitas memiliki otoritas masing-masing bagaimana mereka ingin menyelenggarakan kurikulum-nya. Pertanyaan selanjutnya, tentang apa saja yang harus dimasukan sebagai isi kurikulum tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan konteks kebutuhan dan ‘pasar’ dari sosial work itu sendiri, di Vietnam, misalnya memasukan keterampilan komunikasi sebagai salah satu inti dari kurikulum mereka (Hugman, 2009). Keseragaman menjadi penting bagi pendidikan peksos di Indonesia, karena kalau tidak, peksos sangat mustahil untuk diterima sebagai profesi, karena setiap lulusan tidak memiliki titik persamaan sama sekali. Di luar universitas, standarisasi lainnya adalah menyelenggarakan bar exam dan grandfathering. Bar exam artinya semua orang yang ingin memiliki lisensi pekerjaan sosial harus melewati ujian ini dan lulus. Sedangkan grandfathering adalah pemberikan lisensi profesi bagi mereka yang memang sudah lama terjun di profesi ini tanpa melalui test. Di Amerika serikat, bar exam dan grandfathering diberlakukan berbeda di negara-negara bagian. Di California, semua orang dapat mengikuti ujian ini, sedangkan New York hanya membatasi ujian ini bagi mereka yang memang lulusan pekerjaan sosial. Lain halnya dengan Jepang hanya karena memberlakukan bar exam, banyak mereka yang bekerja di area peksos dan sangat senior tidak memiliki lisensi, sekalipun mereka adalah professor senior di program peksos. Pertanyaan selanjutnya, bagi konteks Indonesia, apakah kita sudah saatnya melakukan ini ? keputusan tentunya ada di tangan kita. Berusaha untuk memahami ‘nature’ pendidikan profesi pekerjaan sosial di Indonesia, -pekerjaan sosial terapan dan pekerjaan sosial akademis- penting bagi kita untuk kembali melihat sejarah profesi ini secara runtut dan menyeluruh. Lahirnya STKS (KDSA pada tahun 4
1987) sebagai lembaga pendidikan pekerja sosial di Indonesia ini menjadi begitu menarik untuk dibahas . Keterlibatan pemerintah secara langsung mendirikan badan pelatihan sebuah profesi adalah bagian secara sejarah dari banyak profesi di negara berkembang seperti China dan Turki. Keterlibatan pemerintah ini adalah salah satu langkah jarak pendek untuk dapat menyediakan pekerja sosial yang terlatih yang dapat memenuhi perangkat tuntutan struktural dalam pengembangan satu negara kesejahteraan (welfare state). Salah satu spesifik yang dialami di Indonesia, adalah posisi pendidikan pekerjaan sosial yang berada pada Departemen yang berbeda. STKS yang dinaungi oleh DEPSOS, misalnya lebih berorientasi pada program praktek, terlihat dari beberapa tulisan-thesis, skripsi dan makalah yang ada- yang telah dilakukan oleh lulusan STKS yang memiliki komitmen riset yang lebih berbasis apa yang terjadi di lapangan (practicum related-practice). Sedangkan UI, UIN dan lainnya berada di bawah Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, yang isu nya lebih mengarah pada perbedaan ilmu dan profesi. Untuk di UI (Haffey, 2009) program yang berada di bawah departemen pendidikan lebih mendalami analisa masalah dan kurang memiliki penekanan pada profesi pendidikan pekerjaan sosial. Untuk di UIN paling tidak ada isu mendasar yaitu peraturan pemerintah tentang persyaratan yang harus dimiliki seorang lulusan, tuntutan universitas mengharuskan mahasiswa untuk memiliki pengetahun akademis (beban sks) tertentu sedangkan tuntutan profesi menuntut mahasiswa untuk memiliki kredit praktikum yang tidak sedikit. Jadi yang menjadi isu disini bukanlah pada universitas yang tidak menekankan pada isu praktikum namun lebih pada sistem ‘manajemen’ yang berbeda, untuk kasus UIN Jakarta, misalnya, 800 jam praktik sudah mulai di terapkan namun supervise masih menjadi kendala terbesar selain isu –isu lainnya. Penutup Pengembangan pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia, adalah bagian yang penting dalam proses terbentuknya profesi pekerja sosial mengalami beberapa tantangan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Tantangan yang pertama adalah pendidikan profesi pekerjaan sosial yang ideal membutuhkan pendidik dengan kualifikasi peksos dan pengalaman, tidak hanya sebagai tenaga pengajar tetapi juga dapat melakukan supervisi praktikum, kalau tidak, pendidikan profesi ini kekurangan mereka yang memiliki persyaratan tersebut. Tantangan kedua adalah, kesesuaian kultur, bila tantangan pertama dipecahkan dengan mendatangi para ahli yang datang dari tradisi pekerjaan sosial yang berbeda, akan sangat mungkin bila peksos yang diperkenalkan adalah praktik dan alur berpikir yang sesuai dengan konteks dimana ahli ini berasal dan belum tentu sesuai untuk Indonesia. Kenyataannya adalah peksos memiliki wujud yang berbeda di seluruh dunia dengan adaptasi sesuai dengan konteks yang berlaku. Contohnya bila, perlindungan anak menjadi salah satu area praktik yang dapat diklaim di Indonesia, karakter perlindungan anak di Indonesia tentunya adalah karakter unik dibandingkan dengan negara lain dengan menggunakan pendekatan yang berbeda dan sesuai dengan konteks di Indonesia. Namun tantangan pendidikan profesi pekerjaan sosial di Indonesia yang ada sekarang adalah tantangan serupa yang dihadapi di tempat lain. Walaupun ada beberapa masalah spesifik yang dialami Indonesia, kita masih dapat belajar dari negara-negara yang telah memiliki profesi peksos yang mapan dan juga negara yang masih pada tingkat perkembangan profesi ini. Pada 5
saat yang bersamaan, kita dapat menciptakan visi kita sendiri akan profesi ini dan akhirnya mampu menciptakan bentuk baru pekerjaan sosial Indonesia yang unik yang dapat kita kembangkan. Dorita Setiawan, MSW Doctorate student at Columbia University School of Social Work 1255 Amsterdam Avenue, New York 10027
[email protected] References : Austin, D. (1986). A history of social work education, School of Social Work, The University of Texas at Austin. Barker, R. (1987). The social work dictionary, National association of social workers Silver Spring, Md. Caragata, L. and M. Sanchez (2002). "Globalization and global need: the new imperatives for expanding international social work education in North America." International Social Work 45(2): 217. Chambon, A., A. Irving, et al. (1999). Reading Foucault for social work, Columbia Univ Pr. Ehrenreich, J. (1985). The altruistic imagination: A history of social work and social policy in the United States, Cornell University Press. Friedman, L. and M. McGarvie (2003). Charity, philanthropy, and civility in American history, Cambridge University Press. Haffey, Martha (2009) personal communication. Hakim, B. R. (2004). Modernization of social work and the state: A critical survey of its historical development in Indonesia. Canada, McGill University (Canada). Hick, S. (2002). Social Work in Canada, Toronto Thompson Educational Publishing. Johnson, A. (2004). "Social Work Is Standing on the Legacy of Jane Addams: But Are We Sitting on the Sidelines?" Social Work 49(2): 319-323. Midgley, J. (2001). "Issues in international social work: Resolving critical debates in the profession." Journal of Social Work 1(1): 21. Abstract Shoemaker, L. M. (2001). Charity and justice. Gender and the mission of social work: Social work education in Boston, New York and Chicago, 1898--1930. United States -- New York, State University of New York at Binghamton. Wenocur, S. and M. Reisch (2001). From charity to enterprise: The development of American social work in a market economy, University of Illinois Press. Wineburg, R. J., B. L. Coleman, et al. (2008). Leveling the Playing Field: Epitomizing Devolution through Faith-Based Organizations. Journal of Sociology & Social Welfare, 6
Western Michigan University. 35: 17-42. ZILIAK, S. T. (2004). "Self-Reliance Before the Welfare State: Evidence from the Charity Organization Movement in the United States." The Journal of Economic History 64(02): 433461. Zunz, O. (2004). "Philanthropy as Creed." Reviews in American History 32: 506-511. Kathleen D. McCarthy.American Creed: Philanthropy and the Rise of Civil Society, 17001865. Chicago: University of Chicago Press, 2003. xi + 319 pp.
7