Wawasan Multikulturalisme Indonesia Masih Rendah KESADARAN multikultur sebenarnya sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Alhasil sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Hal itu terungkap dalam diskusi "Multikulturalisme dan Penguatan Civil Society di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Indonesian Institute for Civil Society (INCIS) di Jakarta baru-baru ini. Diskusi tersebut menghadirkan dua pembicara yakni Dosen Fakultas Ilmu Budaya UI, Dr Melani Budianta dan Dosen Pascasarjana Antropologi UI Dr Ahmad Fedyani Saifuddin. Menurut Melani, masyarakat Indonesia sering tersesat pada persepsi keliru tentang multikultur atau keberagaman budaya. Totemisme justru dikembangkan. Di Indonesia, multikultur kerap hanya dilihat dari perspektif suku Jawa. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antarindividu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli. Multikultur, kata Melani, adalah wacana yang mengandung berbagai macam kepentingan hubungan kekuasaan. Wacana tersebut kemudian dikembangkan dan didukung oleh media. Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. "Singkatnya, multikultur adalah wacanayang mengkritik wacana yang dilupakan dalam demokrasi. Agar multikultur tidak menjadi sekadar jargon, orang harus tahu definisinya. Tetapi contoh konsep multikultur yang ada di Amerika dan Prancis punya kepentingan yang bebeda di tempat lain," kata Melani. Melani mengatakan, di negara-negara yang menerapkan sistem demokrasi, tuntutan multikultur justru muncul dari lapisan bawah. Hak-hak minoritas diharapkan dapat sejajar dengan hak-hak mayoritas. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak untuk mengelola identitasnya.Jadi, paham multikultur lebih akomodatif terhadap kelompok dominan, maupun pada kelompok yang minoritas. "Keberagaman di Indonesia itu sudah lama ada. Tetapi multikultur adalah soal bagaimana memahami kebudayaan itu sendiri. Saat ini, orang masih menganut totemisme dan perbedaan dinilai
bukan hal yang menyenangkan. Setiap kelompok lalu mulai membuat teritorial," tambahnya. Melani mengatakan, jika bahasa Indonesia saja bias lintas batas, seharusnya konstruksi budaya juga demikian. Identitas semestinya sebuah konstruksi yang dipegang sebagai hal pribadi. "Orang tidak perlu menjadi asli untuk bisa mencintai Indonesia. Tetapi solidaritas dan toleransi dan keterbukaan sebenarnya sudah ditampilkan tanpa gagasan multikultur. Contoh-contoh empiris tersebut sudah nyata di lapangan," kata Melani. Disintegrasi Sementara itu, Ahmad Fedyani Saifuddin mengatakan, pendekatan multikultur relatif baru dianggap sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen. Hal itu makin dirasakan terutama pada masa otonomi dan desentralisasi. Tanpa pendekatan multikultur, disintegrasi bangsa yang semula dianggap ancaman mungkin akan menjadi kenyataan. Dikatakan, pendekatan multikultur sangat cocok dan sejalan dengan pengembangan demokrasi yang mulai dijalankan. Multikultur juga menjadi counter yang baik terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam pendekatan multikultur, titik pusat perhatian dan upaya manusia adalah mengembangkan integrasi kebudayaan dalam pengertian ideal, jadi bukan integrasi sosial yang mudah goyah. Negara-negara yang menjalankan konsep demokrasi seperti Amerika Serikat dan Kanada sudah lama menerapkan multikultur. Pendekatan tersebut dilakukan dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dengan orang kulit hitam. Tujuannya ialah memajukan dan memelihara integrasi nasional dalam demokrasi. Untuk mengoperasikan konsep multikultur itu, berbagai model telah diintegrasikan ke dalam kebijakan pendidikan di sekolah-sekolah dasar Amerika Serikat dan hasilnya dievaluasi. Ahmad berpendapat, demokrasi dan masyarakat madani memiliki hubungan kausal yang terikat satu sama lain. Multikulturalisme adalah proses yang terjadi di antara kedua konsep tersebut yang mewujudkan cita-cita demokrasi menjadi kenyataan. Konsep multikultur berada pada posisi semiempirik yang mengandung potensi untuk diterapkan dalam kebijakan dan program penelitian dan implementasi. "Pendidikan
merupakan
lapangan
yang
sentral
dalam
upaya
menerjemahkan
gagasan
multikullturalisme, sehingga menjadi kenyataan perilaku. Agar gagasan multikultur terserap luas dan efektif, pendekatannya harus disebarkan, dikelola dan diwujudkan secara konsisten dalam pendidikan nasional.
Konsekuensinya, sistem pendidikan kita masih harus dikelola dengan baik, konsisten, kuat secara nasional dan barangkali terpusat," kata Ahmad. Berbeda dari integrasi nasional yang selama ini lebih terfokus pada integrasi sosial. Multikultur justru memberi dampak pada integrasi kebudayaan. Upaya mewujudkan integrasi nasional harus berpusat pada pengembangan integrasi kebudayaan secara nasional. Dalam hal ini, pendidikan multikultur memegang peranan kunci.