Membangun Jatidiri Bangsa Bagikan 24 Juni 2009 jam 10:09 Diunggah melalui Facebook Seluler Saya mengikuti debat cawapres tadi malam, selasa tanggal 23 Juni 2009 yang disiarkan langsung melalui televisi. Sekalipun debat itu lebih mirip dengan ujian lesan, yang dalam hal ini ujian diberikan oleh seorang Guru Besar kepada para peserta calon wakil presiden, sehingga tidak terlalu menarik. Sungguhpun begitu tidak bisa mereka disalahkan. Karena mereka rupanya berusaha mengikuti tertip skenario yang ditetapkan oleh penyelenggara. Sehingga termasuk moderator, Prof.Dr.Komaruddin Hidayat yang biasanya lincah dan segar menjadi ikut-ikutan tampil kaku.Tema debat itu tentang membangun jatidiri bangsa. Kiranya tema ini memang sangat menarik diperdebatkan oleh para calon pemimpin bangsa. Setelah beberapa tahun bangsa ini mengalami reformasi, sehingga penuh gejolak maka rasanya perlu merumuskan kembali jatidirinya itu yang sebenarnya. Untuk membangun bangsa yang besar tentu memerlukan kepercayaan diri, kebanggaan bersama, cita-citabesar, optimisme dan seterusnya.Reformasi yang telah dilalui oleh bangsa ini sesungguhnya telah mendapatkan keuntungan yang cukup banyak, di antaranya demokratisasi lebih berkembang. Akan tetapi di balik itu, tidak sedikit yang harus dibayar oleh bangsa ini. Karena mungkin sebagai kelalaian, seringkalai para tokoh memberikan label-label yang kurang menguntungkan. Bangsa ini misalnya, disebut sebagai bangsa yang terpuruk, tertinggal, mundur, korup dan sebutan-sebutan yang kurang mengenakkan lainnya. Pertnyaannya kemudian adalah, benarkah itu terjadi dan jika demikian, bagaimana membangkitkan kembali. Kebanggaan, jiwa besar, optimisme sebagai bangsa perlu dibangun.Ketiga calon wakil presiden tersebut rupanya sudah terlanjur memiliki pandangan bahwa persoalan bangsa ini yang mendasar adalah terkait dengan ekonomi. Saya menangkap ketiganya melihat bahwa bangsa ini masih miskin, kekurangan dan menderita. Oleh karena itu jika terpilih, maka akan memperbaiki aspek itu. Dalam diskusi itu tidak ada yang mempertanyakan apakah kelemahan ekonomi negeri ini sebagai sebab atau sebaliknya justru akibat. Jika keadaan ekonomi bangsa ini dilihat sebagai akibat, tentu penyelesaian
persoalannya tidak selalu melalui pendekatan ekonomi. Pertanyaan mendasar lain terkait dengan itu, yang semestinya diajukan adalahapakah benar persoalan bangsa ini sebatas terletak pada persoalan ekonomi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut mestinya perlu dijernihkan melalui perdebatan itu. Tetapi rupanya ketiga calon wapres hanya melihat bahwa bangsa ini lemah di bidang ekonomi, maka ekonominya harus dibenahi. Mereka rupanya beranggapan bahwa jika ekonomi sudah baik, maka aspek-aspek kehidupan lain akan menjadi baik dengan sendirinya. Padahal, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Mestinya dengan mengambil tema membangun jati diri bangsa justru ditemukan perspektif lain yang seharusnya dilihat tatkala membangun bangsa ini ke depan.Saya melihat bahwa jati diri bangsa ini setidaktidaknya dibangun dan atau diwarnai oleh tiga hal, yaitu nilai ke Indonesiaan, agama dan adat istiadat masing-masing daerah. Ketiganya menjadi kekuatan untuk membentuk jati diri itu. Nilai-nilai ke Indonesiaan yang dimaksudkan itu adalah Pancasila, UUD 1945, Bendera dan Lagu Kebangsaan, serta semboyan Bhineka Tunggal ika. Nilai yang kedua adalah agama. Sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan pasti memerlukan agama. Semua agama sarat dengan nilai-nilai, yang selanjutnya nilai itu ikut membentuk jati diri. Selanjutnya, negeri ini wilayahnya sangat luas dan terdiri atas suku yang beraneka ragam. Masing-masing suku memiliki adat istiadatnya sendiri yang juga ikut membentuk jati diri itu. Atas dasar itu semua maka tepatlah jika dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika. Bangsa ini adalah plural, dari berbagai aspeknya, tetapi satu. Kita harus mengatakan bahwa bangsa Indonesia itu adalah kumpulan dari rakyat Papua, Makassar, Bugis, Mandar, Madura, Sasak, Bima, Jawa, Bali, Sunda, Kalimantan, Sumatera hingga Aceh. Masing memiliki kultur, bahasa, agamayang beaneka, yang semua itu diikat oleh nilai-nilai ke Indonesiaan itu hingga bernama bangsa Indonesia. Perbedaan-perbedaan itu tidak perlu diingkari apalagi dihilangkan. Sehingga tatkala siapapun yang akan membangun indonesia, makaseharusnya membangun semua etnis itu. Biarkan orang Jawa berpakaian ala jawa, orang madura berpakaian maduranya, orang Bali menikmati pakaian balinya, orang Papua dengan pakaian adat
Papuanya. Tidak perlu mereka dipaksa---sebatas berpakaian misalnya, mengikuti pakaian jawa atau suku lainnya. Masing-masing kultur dan budaya yang beraneka ragam itu, semestinya menjadi kebanggaan bagi semua, yaitu milik bangsa Indonesia. Mereka harus diberlakukan secara jujur dan adil. Mereka harus didorong untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal. Konflik harus dicegah, tetapi kompetisi untuk bersama-sama saling memberi yang terbaik harus ditumbuhkembangkan.Perbincangan membangun jatidiri bangsa semestinya mencakup hal-hal yang lebih mendasar. Selama ini memang terasa benar, ada sesuatu yang terlewatkan, tatkala berbincang tentang membangun bangsa. Dari periode ke periode rupanya hanya menyentuh aspek ekonomi. Memang ekonomi penting dan semua sepakat akan hal itu. Tetapi manusia tidak hanya bisa dicukupi oleh faktor ekonomi. Bahkan keadaan ekonomi menjadi sulit dikembangkan di negeri ini, ------bisa jadi, justru disebabkan oleh faktor-faktor di luar ekonomi. Misalnya, sebagian pemimpin tidak terlalu membanggakan kebesaran bangsa, melupakan sejarah perjuangan, nihil dari nilai-niai luhur yang seharusnya disandang misalnya ketekunan, pekerja keras, kejujuran, keadilan, gotong royong, kepedulian sosial, dan seterusnya. Sebaliknya, karena tidak mengenali jatidirinya itu maka akibatnya mereka sedemikian enaknya melakukan penyimpangan, ----terutama para pemimpinnya, seperti mementingkan diri sendiri, kelompok, aji mumpung, korup dan seterusnya, yang semua itu berakibat ekonomi bangsa terpuruk. Perbincangan jatidiri bangsa semestinya bukan sebatas menyentuh persoalan ekonomi, tetapi lebih luas dari itu. Bangsa Indonesia tidak saja ingin kaya raya, tetapi juga ingin menjadi bangsa yang besar, berilmu dan memiliki sifat-sifat agung atau mulia, memandang kehidupan dalam perspektif yang luas dan panjang, tidak saja ingin selamat di dunia tetapi juga akherat, sebagaimana agamanya mengajarkan tentang itu. Namun, namanya saja debat dalam kampanye, maka yang penting ramai dan serem hingga menarik, sekalipun sesungguhnya tidak cukup. Wallahu a’lam.