Informed Consent (IC) adalah suatu proses penyampaian informasi secara relevan dan eksplisit kepada pasien/subyek penelitian untuk memperoleh persetujuan medis sebelum dilakukan suatu tindakan medis/pengobatan/partisipasi dalam penelitian.
Informed Consent terdiri dari beberapa jenis, berikut menurut kepentingan penggunaannya: Informed Consent dalam prosedural medis Adalah suatu persetujuan pasien terhadap tindakan medis yang akan dilakukan kepada diri pasien, tertuang dalam suatu dokumen vital yang ditandatangani
Informed Consent ini juga disebut sebagai ‘persetujuan tindakan kedokteran’ Sebagian besar keterangan Informed Consent dalam artikel ini adalah mengenai hal ini
Informed Consent dalam praktik klinis Adalah suatu persetujuan pasien terhadap penggunaan informasi personal pasien untuk suatu kepentingan tertentu
Informed Consent dalam penelitian ilmiah, seperti uji coba klinis, atau clinical trial Adalah suatu persetujuan seorang subyek penelitian, untuk berpartisipasi dalam suatu uji coba klinis, yang akan dilakukan kepada diri subyek tersebut
Persetujuan ini tertuang dalam suatu dokumen vital yang mesti ditandatangani
Informed Consent yang diwakilkan Dalam hal ini, Informed Consent tidak selalu dapat diperoleh langsung dari seorang pasien/subyek Karenanya, Informed Consent biasanya diperoleh dari keluarga pasien/subyek tersebut, atau wali yang memiliki otoritas/legalitas untuk memberikan persetujuan tersebut Informed Consent Anak Berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2014, yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 330, seseorang yang berumur 21 tahun, atau lebih, atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa sehingga dapat memberikan persetujuan
Anak yang masih kecil dapat mengerti proses prosedur medis yang simpel beserta potensial konsekuensinya, seperti misalnya perawatan luka
Namun, untuk suatu tindak medis yang lebih kompleks, seperti kemoterapi, pungsi lumbal, anak kecil ini belum dapat mengkonseptualkan prosedur medis ini
Karenanya, anak kecil dianggap tidak dapat memberikan suatu Informed Consent untuk hal medis yang lebih kompleks Maka, orangtua, atau wali yang berlegalitas, memiliki otoritas untuk memberikan persetujuan ini
Dalam melakukan uji coba penelitian kepada anak-anak, umumnya diminta persetujuan bukan hanya dari orangtua, tapi juga dari subyek penelitian, yaitu anak tersebut.
Seorang anak tetap memiliki hak untuk menentukan dan memutuskan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya
Hal ini tertuang dalam suatu keputusan, yang disebut sebagai Informed Assent
Di negara Amerika Serikat, terdapat rekomendasi suatu peraturan usia anak menurut perkembangan kognitifnya, dalam kompetensi anak tersebut memutuskan apakah mau turut serta berpartisipasi sebagai subyek dalam suatu penelitian, yang disebut sebagai Rule of Sevens Rule of Sevens, membagi kehidupan anak menjadi tiga bagian, yaitu: Lahir – usia 7 tahun: perkembangan kognitif yang kurang matang pada anak kisaran usia ini, untuk dapat mengambil keputusan secara otonom
Usia 7 – 14 tahun: kisaran usia ini, anak dianggap dapat untuk membedakan mana yang benar, atau tidak
Usia 14 – 21 tahun: pada kisaran usia ini, anak secara legal, memiliki tanggungjawab sosial akan sikap perilakunya di masyarakat, dan keluarga Namun, sekali lagi, batasan usia anak tidaklah menjadi pedoman yang pasti. Pada akhirnya, dokterlah yang dapat memutuskan kompetensi seorang anak untuk memutuskan hal-hal yang lebih kompleks
Informed Consent Penderita Gangguan Mental Merupakan suatu tantangan dalam memperoleh Informed Consent dari seorang pasien psikiatrik untuk menilai kompetensi pasien tersebut Penting untuk diingat bahwa seseorang dengan gangguan mental, tidak selalu inkompeten untuk menyetujui pengobatan
Adanya laporan ilmiah yang menunjukkan bahwa kebanyakan pasien yang dirawat dengan penyakit mental, memiliki kapasitas/kompetensi yang sama untuk membuat keputusan mengenai pengobatan, sebagaimana para pasien dengan kondisi medis lainnya
Seorang pasien dengan gangguan mental yang berat, mungkin tidak kompeten pada beberapa aspek, namun kompeten pada aspek lainnya, seperti kemampuan untuk memutuskan suatu pengobatan bagi dirinya, contohnya:
Seorang pasien skizofrenia dan paranoid delusi, yang mengalami serangan jantung, dapat memutuskan perihal tindakan/pengobatan medis bagi dirinya
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 tahun 2008, penilaian terhadap kompetensi pasien dalam hal persetujuan tindakan medis, dapat dilakukan oleh dokter, sebelum tindakan tersebut dilakukan
Dalam hal pasien tidak kompeten, maka keluarga terdekat dapat mewakili memberikan persetujuan Pasien yang koma atau disedasi
Informed Consent Pasien dengan kesadaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk memutuskan sesuatu hal, misalnya dalam keadaan koma, atau pasien yang disedasi Persetujuan dapat diminta dari keluarga, atau pengasuh, atau seseorang yang bertanggungjawab terhadap seorang pasien yang tidak sadarkan diri Dalam hal kegawatdaruratan untuk tindak medis yang mesti diambil dalam upaya menyelamatkan pasien tersebut Prasyarat pasien dewasa memberikan consent: Pasien haruslah kompeten untuk memberikan consent Pasien menyadari keadaan dirinya, dan mampu berpikir secara jernih Memperoleh suatu consent, tidak hanya suatu kewajiban bernilai etik, tapi juga perlu secara hukum. Karena itu, telah diakui secara luas bahwa Informed Consent merupakan suatu elemen yang diperlukan untuk melakukan suatu praktik klinis yang baik Etika dan Hukum Konsep Informed Consent adalah sebagai berikut: Aspek Etika:
Berdasar pada prinsip etika, yaitu otonomi pasien, dan hak asasi dasar manusia
Pasien memiliki kebebasan mutlak, untuk:
Memutuskan apa yang terjadi pada dirinya
Mengumpulkan informasi sebelum menjalani suatu prosedur tindak medis
Tidak seorangpun berhak untuk memaksa seorang pasien untuk menjalani suatu tindak medis tertentu
Bahkan seorang dokter, hanya sebagai fasilitator dalam hal keputusan medis pasien
Lebih jauh, penelitian-penelitian ilmiah menunjukkan bahwa para dokter tidak selalu benar dalam menebak keinginan pasien
Maka, konsekuensinya para dokter seharusnya tidak berasumsi mengenai apa yang diinginkan pasien
Akan tetapi, menanyakan setiap pasien terlebih dahulu mengenai sikap mereka terhadap terapi untuk perpanjang hidup, seperti resusitasi kardiopulmonal, dalam hal untuk memenuhi kewajiban etika ini, adalah tidak realistik
Kebanyakan pasien memiliki keinginan besar untuk hidup dan berharap dokter melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan diri mereka, atau memperpanjang hidup
Meski demikian, dokter semestinya berkonsentrasi pada pasien lanjut usia yang mengindikasikan bahwa mereka memiliki kualitas hidup yang buruk, atau tidak ada keinginan untuk hidup lebih lama, atau pasien yang menderita sakit sangat berat
Sehingga hal tersebut di atas menjadikan para dokter berasumsi bahwa pasien yang tidak masuk kategori ini, akan memilih resusitasi kardiopulmonal Aspek Hukum:
Secara umum, menyentuh, atau melakukan suatu intervensi secara fisik kepada seseorang, tanpa ada “persetujuan” daripadanya, dianggap sebagai penganiayaan
Karenanya, memperoleh “consent” adalah suatu keharusan dalam suatu tindakan medis/penelitian, selain daripada pemeriksaan fisik rutin pada pasien yang datang untuk berobat ke dokter Dalam hal pemeriksaan fisik dan investigasi medis yang rutin dan umum dilakukan, tidak diperlukan consent tertulis, karena pasien yang datang ke tempat praktik dokter untuk berobat, adalah suatu consent dari pasien tersebut secara implisit Namun, seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, tindakan medis rutin seperti penjahitan luka kecil, dapat menjadi masalah bagi seorang dokter IGD
Tanpa consent tertulis yang menjelaskan perihal perlunya rujukan ke dokter bedah plastik, pasien/keluarganya dikemudian hari dapat menuntut Karena luka sembuh dengan jaringan parut, sehingga secara estetika kulit bekas luka tersebut tampak buruk
Demikian halnya kepada seseorang yang mengalami kegawatdaruratan/tidak sadarkan diri, misalnya karena kecelakaan
Dalam situasi ini, tindakan medis dapat segera dilakukan dokter, untuk menyelamatkan nyawa pasien tersebut, tanpa harus meminta consent tertulis Proses Informed Consent Konseling Konseling pasien adalah penting dalam memperoleh persetujuan pasien untuk tindakan medis/penelitian
Konseling pasien ini merupakan suatu diskusi antara dokter dan pasien, untuk menyampaikan informasi medis berkenaan dengan suatu prosedur medis/penelitian yang akan dijalani oleh pasien tersebut, termasuk perihal potensial risiko, atau komplikasinya Informed Consent mesti didahului dengan menyingkapkan informasi yang adekuat
Dokter/peneliti juga penting untuk menilai kompetensi dan pengertian pasien/subyek dalam menerima informasi yang diberikan
Persetujuan pasien/subyek dapat menjadi tantangan dalam praktiknya di lapangan, dimana informasi yang adekuat tidak diungkapkan
Infomasi yang adekuat berguna, agar pasien dapat mengambil suatu keputusan yang benar, dan berdasar atas pengetahuan yang diinformasikan kepadanya
Oleh sebab itu, informasi yang relevan, adekuat, dan akurat mesti diberikan secara jujur, tertuang dalam suatu kertas formulir, tertulis kata-kata yang non-ilmiah, dan tidak dalan istilah kedokteran, dengan bahasa yang dapat dimengerti pasien/subyek
Seorang individu dikatakan memberikan suatu Informed Consent yang valid, apabila tercantum tiga komponen berikut ini: Disclosure Kondisi/gangguan/penyakit yang diderita pasien
Perlunya dilakukan tes yang lebih lanjut
Penyebab kondisi pasien, dan komplikasi yang mungkin terjadi
Konsekuensi apabila tidak diobati
Opsi pengobatan yang tersedia
Potensial risiko dan manfaat terhadap opsi pengobatan
Lama dan perkiraan biaya pengobatan
Hasil, atau outcome yang diharapkan Perlunya follow-up Tingkat disclosure ini, hendaknya berupa kasus spesifik Capacity Juga disebut sebagai kompetensi
Menunjuk pada kemampuan subyek untuk mengerti informasi yang diberikan dan membentuk suatu keputusan yang beralasan, berdasar pada potensial konsekuensi atas keputusan tersebut
Pasien mesti diberikan kesempatan untuk bertanya dan mengklarifikasi seluruh keraguannya
Tidak boleh ada sedikitpun paksaan
Voluntariness Consent mestilah sukarela
Pasien juga seharusnya memiliki kebebasan untuk membatalkan consent yang telah disetujuinya, yang disebut sebagai Informed Refusal Consent yang diberikan atas dasar rasa takut akan cedera, atau intimidasi, miskonsepsi, atau salah memberikan fakta, dapat dianggap invalid Dokumentasi Informed Consent Dokumentasi Informed Consent haruslah mengikuti aturan, dibuat dalam bentuk dan isi yang terstandar. Dokumentasi harus mencantumkan tanggal, dan ditandatangani oleh:
Dalam tindakan medis:
Pasien
Dokter
Pengasuh
Seorang saksi yang independen
Dalam penelitian ilmiah:
Principal Investigator
Subyek penelitian
Pengasuh
Seorang saksi yang independen
Seperti layaknya rekam medis, maka dokumentasi ini biasanya disimpan sedikitnya tiga tahun Apabila setelah informasi diberikan, pasien menolak untuk menjalankan suatu tindakan medis/pengobatan, maka hendaknya dokter juga mesti memperoleh dokumentasi tersebut, dan meminta tanda tangan pasien pada suatu formulir penolakan pasien, yang menyatakan segala risiko telah dijelaskan
Tanggung Jawab Moral Profesi Medis/Peneliti Meski Informed Consent telah diperoleh, namun tidak menjadikan seorang dokter menghindari tanggunjawabnya secara hukum Informed Consent tidak berarti bahwa tanggungjawab untuk keputusan akhir berada pada pihak pasien Dalam praktik klinis, dokter diminta untuk memandu pasien kepada suatu keputusan, dan memberikan rekomendasi
Lebih jauh, pasien tidak selalu menanyakan hal-hal yang detail untuk membuat suatu keputusan
Hal ini dapat terjadi pada situasi tertentu, dimana keputusan berhubungan dengan hidup, atau mati, atau ketika hanya ada satu alternatif medis, contohnya:
Resipien yang berpotensial menerima implan cardioverter-defibrillator Umumnya resipien ini beranggapan mudah untuk menyetujui pengobatan ini, berdasarkan informasi yang mengatakan bahwa alat tersebut adalah pengobatan yang terbaik, yang tersedia untuk mencegah kematian, yang disebabkan oleh kardia aritmia
Seorang dokter hanya dapat mewaspadai secara adekuat dalam melakukan suatu tindak medis kepada pasien, dengan tidak menyingkirkan jiwa melayani, dan ketekunan. Meski demikian, menjalin hubungan yang baik dengan pasien, seringkali memberikan hasil yang lebih baik dibanding Informed Consent yang terbaik yang dapat diperoleh.
Contoh Informed Consent Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo Departemen Kesehatan RI Jl. Diponegoro 17 – Jakarta Kotak Pos ……. Telp…… SURAT PERSETUJUAN/IZIN TINDAKAN MEDIS Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Umur : Selaku ……. Pasien/keluarga/suami/istri … dst. Telah mengerti sepenuhnya atas penjelasan dokter, perihal…….. Dan menyadari bahwa upaya yang terbaik untuk pertolongan/penyembuhannya adalah dengan tindakan medis …………….. Dengan ini memberikan persetujuan/izin tindakan medis yang diperlukan menurut standar profesi terhadap pasien : Nama : Pernyataan ini dibuat dengan kesadaran penuh atas segala risiko tindak medik tersebut diatas. Dibuat di …………….. Jam ……… Saksi pasien/keluarga tanda tangan Tanda tangan: