PEMANFAATAN MATA AIR SEBAGAI SUMBER AIR MINUM DI KAB. NAGAN RAYA, NAD (CWSHP-ADB/ETESP) Mata air Mata air adalah suatu titik dimana air muncul dengan sendirinya ke permukaan dari dalam tanah. Titik tersebut merupakan suatu tempat dimana permukaan muka air tanah (akuifer) bertemu dengan permukaan tanah. Titik di mana air mencapai permukaan tanah tersebut sering kali disebut sebagai ‘mata’ dari mata air.
(Sumber http://rovicky.wordpress.com/2006/08/24/airtanah‐apa‐ dan‐bagaimana‐mencarinya/) Sumber dari aliran airnya berasal dari air tanah yang mengalami patahan sehingga muncul ke permukaan. Aliran ini dapat bersumber dari air tanah dangkal maupun dari air tanah dalam.
Terdapat berbagai jenis mata air yang kita temui. Berdasarkan cara keluarnya air dari dalam tanah ke permukaan, mata air dapat dibedakan menjadi dua ; pertama adalah “mata air rembesan”, yaitu air yang keluar dari lereng‐lereng yang umumnya tersebar dengan debit kecil. Karena sumbernya dari resapan umumnya air yang dihasilkan sangat tergantung kepada kualitas daerah sekitarnya. Sedangkan jenis yang kedua adalah “mata air umbul”, yaitu air yang keluar dari suatu daratan yang umumnya mempunyai debit lebih besar dan kualitas yang lebih baik karena berasal dari sumber yang terletak di daerah yang belum tercemar di atas gunung. Berdasar potensi sumber air di dalam tanah yang menjadi sumber utama mata air tersebut, ada dua jenis mata air, yaitu yang permanen dan non permanen. Mata air permanen mengeluarkan air sepanjang tahun, sementara yang nonpemanen hanya mengucurkan air di musim penghujan dalam debit yang kecil. Berdasar jenis dan kualitas air yang dihasilkan, mata air juga sangat tergantung kepada jalur dan lapisan mineral tanah yang dilaluinya. Oleh karenanya, mata air juga dapat dibedakan berdasarkan sifat fisik dan kimiawinya seperti berikut’ 1) Mata air panas bermineral. Air ini tidak dapat digunakan sebagai sumber air minum. Mata air panas bermineral adalah mata air yang umumnya terletak di daerah pegunungan vulkanis sehingga air tanah dari kerak bumi dipanaskan secara geotermal sebelum muncul ke permukaan. Oleh karenanya air yang dihasilkan memiliki temperatur bervariasi mulai dari hangat‐hangat kuku sampai di atas titik didih. Disamping panas, umumnya air dari mata air panas banyak mengandung kadar mineral tinggi, seperti kalsium, litium, atau radium. Berbagai pihak mempercayai bahwa mandi berendam di dalam air panas bermineral dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, sehingga banyak dibangun pemandian air panas dan spa untuk tujuan rekreasi dan pengobatan. Pemandian Air Hangat Cumpleng Tawangmangu misalnya, menyajikan Pemandian Air Hangat yang berkadar belerang tinggi, dan di dalam lokasi tersebut juga terdapat sebanyak 7 (tujuh) jenis mata air; 1. Air Hangat, 2. Air Mati, 3. Air Dingin, 4. Air Soda, 5. Air Hidup, 6. Air Bleng / Asin, 7. Air Urus‐urus
2) Mata air dari pegunungan kapur. Adalah mata air yang sumber airnya dari sungai dibawah tanah yang menyelinap di bawah pegunungan kapur. Mata air jenis ini umumnya mempunyai debit besar dan sangat jernih namun memiliki tingkat kesadahan yang tinggi. 3) Mata Air Biasa. Adalah mata air yang keluar dari celah batu dan kerikil atau batu kristal di dalam tanah. Kebanyakan air yang bersumber dari mata air jenis ini kualitasnya sangat baik sehingga digunakan sebagai sumber air minum oleh masyarakat sekitarnya, PDAM atau bahkan untuk air dalam botol kemasan maupun air isi ulang
Oleh karenanya sangatlah penting untuk melakukan survey secara akurat, sehingga pembangunan PMA (penangkap mata air) hanya dilakukan untuk mata air yang memiliki karakteristik berikut ; a. Mata air permanen yang selalu mengalir sepanjang tahun. b. Volume air yang dihasilkan mencukupi kebutuhan. c. Secara fisik jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dingin, dan kandungan kimia maupun biologi yang tidak melebihi batas yang diijinkan sebagai air minum.
Sumber Air di Nagan Raya Kabupaten Nagan Raya, NAD, membentang dari area gunung tinggi (gunung singgamata), pegunungan, daerah datar sampai dengan pesisir pantai. Cukup banyak aliran sungai dari pegunungan di utara yang mengalir ke dataran rendah, sehingga Nagan Raya berkembang menjadi salah satu lumbung pangan dan perkebunan kelapa sawit.
Mata air panas bermineral dari daerah gunung vulkanik
Mata air dari pegunungan kapur
Terkait dengan kualitas air minum yang akan dikonsumsi oleh masyarakat, pemerintah telah mengeluarkan Kepmenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, dimana air minum harus memenuhi syarat kualitas fisik, kimia, mikrobiologi dan radioaktivitas. Kualitas fisik yang dimaksud mencakup beberapa parameter diantaranya kekeruhan, warna, rasa, bau dan suhu. Kualitas mikrobiologi dimaksud sebagai terbebas dari bakteri Escerichia Coli dan total koliform. Sedangkan kualitas kimia dimaksud bahwa kandungan zat kimia seperti arsenik, flourida, kromium, kadmium, nitrit, sianida, Fe dan Mn tidak melebihi batas yang ditentukan.
Kec Beutong dan Seunagan Timur memiliki potensi sumber mata air
Pegunungan Dataran Rendah
Perkebunan Sawit
(Sumber : Google Earth, Mar‐2009)
Mata Air Desa Krueng Kulu Kec. Seunagan Timur
Mengambil Air Dari Mata Air Ds Krueng Kulu
Pemanfaatan Mata Air Sebagai Air Minum di desa Kuta Teungoh, Kec. Beutong
Untuk desa‐desa yang terletak di daerah gunung dan pegunungan, sebagian diantaranya memiliki potensi sumber mata air yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air minum. Beberapa desa CWSHP di Kabupaten Nagan Raya yang sumber mata airnya telah dimanfaatkan diantaranya adalah; desa Kuta Teungoh, Lhok Seumot, Gunung Nagan di Kecamatan Beutong dan desa Krueng Kulu, Ieu Beudeuh di Kecamatan Seunagan Timur .
Desa Kuta Teungoh Kecamatan Beutong merupakan desa yang terletak di gunung Singgamata. Kehidupan masyarakatnya adalah bertani (padi), berkebun nilam dan menyuling nilam. Berdasarkan survey yang dilakukan, desa ini memiliki potensi mata air yang berlimpah sehingga dapat digunakan baik untuk pengairan sawah maupun sebagai sumber untuk PLTMH (Pembangkit Listrik Mikro Hidro) yang menerangi baik desa Kuta Teungoh sendiri maupun desa‐desa lain di sekitarnya. Walaupun memiliki sumber mata air yang melimpah namun masyarakat belum memanfaatkannya sebagai sumber air bersih dan air minum karena beberapa kendala, diantaranya adalah sumber tersebut terletak di atas gunung dengan jalan terjal dan adanya sungai yang sangat lebar sekitar 60 meter yang membatasi desa dengan sumber tersebut.
Mata Air Desa Kuta Teungoh Kec. Beutong
Mata Air Desa Lhok Seumot Kec. Beutong
Oleh karenanya, untuk kegiatan yang terkait dengan air seperti mandi, cuci dan buang air besar dilakukan di sungai yang ada di pinggir desa.
Cukup berbahaya memang karena sungai tersebut memiliki arus sangat kuat dan dasarnya berbatu sehingga dalam beberapa kejadian, ada penduduk yang hanyut dan meninggal pada saat melakukan kegiatan tersebut di sungai. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air untuk keperluan makan dan minum, diperoleh dari lubang galian sekedarnya di samping rumah sehingga kurang hygienis khususnya di musim hujan, dimana lubang tersebut dapat terkontaminasi oleh kotoran hewan (sapi, kerbau, kambing, ayam, bebek) yang dibiarkan berkeliaran di desa. Berdasarkan survey awal, dari keterangan masyarakat menyatakan bahwa mata air tersebut ; 1. merupakan mata air permanen, tidak pernah mati sepanjang tahun. Dari pengukuran yang dilakukan ternyata debit sangat mencukupi, sekitar 7 liter/detik atau mampu melayani sekitar 7.000 jiwa untuk standar kebutuhan air minum masyarakat pedesaan. Sedangkan dari Hasil Analisa Air yang dilakukan oleh CRS (Catholic Relief Services) Meulaboh menyatakan bahwa air dari sumber tersebut secara fisik, kimia dan bakteriologis layak dipakai sebagai air bersih maupun air minum, secara fisik tidak berwarna ‐ tidak berasal – pH 7,2 atau netral, kekeruhan nol, dari segi kimia juga memenuhi syarat, semua masih dibawah batas yang ditentukan dalam Kepmenkes, dari segi biologi, kandungan E Coli nya nol namun total bakteri nya diatas ambang batas. Dengan kondisi tersebut maka mata air tersebut layak digunakan sebagai air bersih dan air minum, namun tidak dapat langsung diminum karena adanya kandungan bakteri sehingga sebelum dimakan atau diminum perlu dimasak dulu untuk mematikan bakteri yang ada. Karena sampel air yang diperiksa tersebut diambil langsung dari mata air terbuka, bilamana telah dibuat bangunan Penangkap Mata Air yang baik, diharapkan dapat menghilangkan atau mengurangi kandungan bakteri tersebut, karena interaksinya yang minimal dengan udara atau air rembesan sebelum sampai ke masyarakat. Rencana Kerja Masyarakat (RKM) desa Kuta Teungoh yang diajukan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat, kegiatan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat), pembangunan sarana sanitasi sekolah, pembangunan Sarana Air Bersih dan operasional panitia pelaksana kegiatan, secara keseluruhan
berjumlah Rp. 250.000.00,‐ dimana 84% atau Rp 210.000.000,‐ berasal dari CWSHP‐ADB dan sisanya sebesar 16% atau Rp 40.000.000,‐ akan disiapkan masyarakat dalam bentuk material local dan upah tenaga kerja. Khusus untuk sarana air bersih, program yang direncanakan adalah penyediaan air bersih / minum dengan perpipaan gravitasi, dengan memanfaatkan sumber mata air di gunung, meliputi ; pembuatan penangkap mata air (PMA) dan bak penampung di atas gunung, jaringan pipa transmisi melalui tebing gunung yang menggunakan pipa GIP, jembatan penyeberangan pipa air bersih selebar 60 meter, pipa distribusi yang menggunakan pipa PVC, dan 11 buah kran umum.
Penangkap MA Penampung MA dan trap pasir Reservoir Utama
Pipa Transmisi (GIP 2")
30 m
1.200 m 300 m
60 m
DI desa Kuta Teungoh dapat dikatakan masyarakatnya cukup mengenal teknologi sederhana yang dapat dilihat dari ketrampilan mereka mengoperasikan alat‐alat penyulingan daun nilam yang tersebar disepanjang pinggir sungai maupun di atas gunung. Juga dari aspek konstruksi bangunan rumah yang dapat dilakukan oleh tukang yang ada di desa. Permasalahannya adalah untuk bangunan dan sarana air bersih merupakan hal yang baru untuk mereka, terkait dengan tempat penyimpanan air (bak penangkap dan penampung). Apalagi untuk instalasi pipa, dan terlebih pembuatan jembatan penyeberangan pipa air dengan bentangan yang cukup panjang. Tidaklah mengherankan kalau
berbagai pihak meragukan kemampuan masyarakat desa tersebut untuk mampu melaksanakannya.
mau memberikan informasi barang dan harga yang benar kepada orang yang belum kenal barang.
Karena prinsip program CWSHP‐ADB adalah dari‐oleh‐untuk masyarakat sehingga proses perencanaan‐pelaksanaan‐menikmati hasil kerja harus dilakukan oleh masyarakat, maka untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukanlah pelatihan dan pendampingan yang cukup intensif, khususnya untuk metoda dan cara pembangunan sarana yang terkait dengan perpipaan dan jembatan. Karena pada dasarnya masyarakat desa Kuta Teungoh cukup melek teknologi dan terbuka terhadap pengetahuan baru, maka proses transfer knowledge maupun ketrampilan untuk kedua hal tersebut dapat berjalan dengan baik.
Pada pertengahan tahun 2008, selesailah seluruh pekerjaan pembangunan sarana air bersih / minum di desa Kuta Teungoh. Belajar dari proses pelaksanaan dan pendampingan yang dilakukan, mereka mampu mengembangkan sendiri sesuai dengan kebutuhan yang ada. a. Jumlah kran umum yang tadinya direncanakan 11 buah dengan masing‐masing berisi 6 kran air, berkembang menjadi 14 buah dimana masing‐masing kran umum tersebut rata‐rata berisi 8 kran air. Hal ini dilakukan karena dalam perkembangannya, setiap rumah yang ada di desa Kuta Teungoh, mengharapkan untuk mendapatkan sebuah kran air, sehingga total kran air yang dibuat menjadi hampir 100 buah, sesuai dengan jumlah rumah yang ada. b. Khusus untuk dusun yang posisinya cukup tinggi, dibuat sistem bak penangkap‐pipa‐kran umum sendiri, yang direncanakan dan dibuat sendiri oleh mereka, belajar dari pengalaman membuat bak penangkap air sebelumnya.
Pelatihan Pekerjaan Perpipaan
Pendampingan Konstruksi Jembatan
Proses pelaksanaan kegiatan, dilaksanakan sendiri dan melibatkan seluruh masyarakat desa Kuta Teungoh. Pengadaan material‐material standard seperti semen‐pasir‐besi beton‐kayu tidak menjadi masalah karena mereka sudah kenal dan sudah biasa dengan material tersebut. Namun untuk material‐material perpipaan dan jembatan yang baru untuk mereka, perlu pendampingan yang intensif, mulai dari pemilihan dan pembelian material (pipa GIP, pipa PVC, kawat sling untuk jembatan gantung pipa, accessories perpipaan). Hal ini penting dilakukan karena disamping merupakan barang baru untuk mereka yang belum pernah dilihat, disentuh dan belum tahu mengenai standard kualitas maupun harga dari material yang diperlukan, juga menjaga mereka dari kemungkinan ditipu (maaf) oleh toko penjual material‐material tersebut. Tidak semua toko
Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa masyarakat desa ternyata mampu untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan sarana walau dengan teknologi, metoda dan material yang relatif baru. Bahkan dari kasus desa Kuta Teungoh ini, mereka ternyata mampu mengembangkan dan menerapkan pengetahuan barunya tersebut secara mandiri, terbukti mereka mampu menambah sendiri sarana yang dibutuhkan (dari rencana awal sebanyak 66 titik keran air menjadi 96 titik disesuaikan dengan jumlah rumah yang ada) dan membangun PMA baru di mata air yang lain. Kuncinya adalah pada pola pendekatan yang tepat, pengenalan, pemahaman dan empati terhadap masyarakat desa yang dengan segala keterbatasanya mampu hidup mandiri, serta strategi dan proses transfer of knowledge dan ketrampilan dengan cara yang sesuai dengan budaya dan kebiasaan masyarakat. (Jeuram, 26Mar09, Bambang Pur, DIT Nagan,
[email protected])
Masyarakat memilih sendiri material yang diperlukan (pipa GIP)
Gotong royong membuat titi untuk menyeberangkan material
Jembatan pipa sepanjang 60 meter hasil kerja masyarakat telah selesai dikerjakan dan siap digunakan
Air dari sumber mata air ditangkap, disaring kotoran pasirnya dan ditampung di Bak Penampung (dipandang dari sisi atas dan sisi bawah)
Air sudah mengalir ke pinggir jalan
Anak‐2 menikmati air dari kran
Air dialirkan dalam Jaringan Pipa Transmisi menyusuri tebing gunung
Kran Umum siap digunakan
Kunjungan ADB, Dirjen, Direktur, CPMU, BRR, Bappenas, Aquatik dll
2. Pemanfaatan Mata Air Sebagai Air Minum di desa Krueng Kulu dan Ieu Beudeuh, Kec. Seunagan Timur
Tulisan selanjutnya 1. Pemanfaatan Mata Air Sebagai Air Minum di desa Gunong Nagan dan Lhok Seumot, Kec. Beutong
Penangkap dan Penampung Mata Air
Tower
Kran Umum
Desa Gunong Nagan dan desa Lhok Seumot merupakan dua desa di Kecamatan Beutong yang memiliki mata air yang cukup potensial untuk digunakan sebagai sumber air bersih / air minum, karena memiliki karakter yang memenuhi syarat, yaitu ; mata air permanen yang selalu mengalir sepanjang tahun, volume air yang dihasilkan mencukupi kebutuhan dan secara fisik kimia maupun biologi yang tidak melebihi batas yang diijinkan sebagai air minum. Sayangnya posisi mata air yang ada sejajar dengan tanah di desa sehingga perlu dibuat tower untuk mendistribusikannya. Karena luas dan tersebarnya posisi rumah‐rumah yang ada, dan keterbatasan pendanaan, maka untuk kedua desa tersebut dibangun dua jenis sarana air bersih / air minum, yaitu perpipaan dan sumur gali bagi rumah‐rumah yang tidak terjangkau jaringan pipa yang dibangun.
Desa Krueng Kulu dan Ieu Beudeuh merupakan desa‐desa yang terletak di Kecamatan Seunagan Timur. Kedua desa ini memiliki potensi mata air yang cukup baik. Hal tersebut terbukti dengan fakta bahwa mata air yang ada di dua desa tersebut telah dimanfaatkan bukan hanya oleh penduduk setempat, namun juga oleh masyarakat desa‐desa sekitarnya sebagai air untuk makan dan minum. Mata air di dua desa ini yang keluar dari lereng‐lereng yang tersebar dengan debit kecil‐kecil, sehingga type penangkap mata air yang dibangun adalah PMA memanjang untuk menampung mata‐air kecil‐2 tersebut sebelum dikumpulkan di bak penampung dan disalurkan ke HU / PMA Karena tersebarnya rumah yang ada dan terbatasnya debit sumber, maka di desa Krueng Kulu, sarana yang dibangun adalah PMA‐pipa‐HU dan sumur gali. Sedangkan di desa Ieu Beudeuh sarana yang dibangun adalah kombinasi antara PMA dan sumur bor & HU