BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Benign Prostatic Hiperplasia (BPH) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi di daerah perkotaan. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, maka fungsi organ-organ tubuhnya mengalami penurunan yang
mengakibatkan
semakin banyak penyakit yang mungkin timbul. Pada pria, salah satu penyakit yang timbul akibat faktor usia adalah pembesaran kelenjar prostat. Pembesaran kelenjar prostat jinak atau Benign Prostatic Hiperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua pada kasus penyakit kelenjar prostat yang
tercatat di klinik urologi di
Indonesia (BPOM, 2012). Pada banyak pasien dengan usia diatas 50 tahun, kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran air dengan menutupi orifisium uretra. Kondisi ini dikenal sebagai hyperplasia prostat jinak, pembesaran atau hipertrofi prostat (Smelter & Bare, 2001). Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat ( Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2000). Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43% (Kirby & Christmas, 1997). Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (19941997) terdapat 1040 kasus (Rahardjo, 1999). Sedangkan menurut BPOM (2012) prevalensi BPH pada umur 41-50 tahun sebanyak 20%, 51-60 tahun 50%, >80 tahun sekitar 90%. Angka di Indonesia, bervariasi antara 24-30% dari kasus urologi yang dirawat di beberapa rumah sakit. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi selsel kelenjar prostat secara tidak langsung (Rahardjo, 1999).
Faktor lain yang mempengaruhi BPH adalah latar belakang kondisi penderita misalnya usia, riwayat keluarga, obesitas, meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani, olah raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus, dan aktifitas seksual (BPOM,2012). Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine (American Urological Association, 2010). Smelzer & Bare (2001) menambahkan
gejala lainnya yaitu
abdomen tegang, volume urin menurun dan harus mengejan saat berkemih dan urin terus menetes setelah berkemih atau dribbling. Penatalaksanaan pasien BPH bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi dan kondisi pasien. Jika pasien masuk rumah sakit dalam keadaan darurat karena ia tidak dapat berkemih, maka kateterisasi segera dilakukan. Sedangkan untuk tindakan pembedahan, prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada pasien BPH. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memper-baiki gejala BPH hingga 90%,
meningkatkan laju
pancaran urine hingga 100% (Kirby, 1997). Instrumen bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui uretra kedalam prostat kemudian kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik (Smeltzer & Bare, 2001). Setelah prosedur TURP, dokter bedah akan memasukan triple-lumen catheter ke dalam kandung kemih untuk irigasi agar tidak tembentuk gumpalan yang dapa menyumbat kateter (Rosdahl & Koalski, 2008) Biasanya klien inkontinen setelah kateter dilepas sehingga mereka tidak mampu mengendalikan spincter ekstrenal maupun internal. Hal ini dikarenakan selama pemasangan kateter otot detrusor kandung kemih tidak aktif mengkontrasikan kandung kemih, akibatnya otot detrusor tidak segera merespon untuk mengosongkan kandung kemih ketika
kateter urin
dilepas. Hal ini dapat diatasi dengan latihan kandung kemih yang disebut bladder training. Bladder training merupakan suatu tindakan untuk melatih kandung kemih agar dapat bekerja dengan normal (Australian government, 2003).
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Agar mahasiswa mampu memahamim dan mengaplikasikan materi tentang sistem perkemihan 2. Tujuan Khusus a. Mahasiswa mampu memahami anatomi fisiologi BPH b. Mahasiswa mampu memahami definisi BPH c. Mahasiswa mampu memahami etiologi BPH d. Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis BPH e. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi BPH f. Mahasiwa mampu memahami penatalaksanaan BPH g. Mahasiwa mampu memahami komplikasi BPH h. Mahasiwa mampu memahami pemeriksaan diagnostic BPH i. Mahasiwa mampu memahami asuhan keperawatan pada pasien BPH C. Metode Penulisan Metode penulisan makalah ini menggunakan metode kepustakaan dengan cara membaca buku – buku tentang kebutuhan dasar manusia dan mengambil referensi dari internet D. Sistematika Penulisan Penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar, daftar isi, BAB I pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, sistematika penulisan, BAB II pembahasan tentang BPH yang berisi tentang definisi, anatomi fisiologi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, penatalaksanaan, BAB III penutup yang berisi kesimpulan, saran, dan diakhiri dengan daftar pustaka.
BAB II TINJAUAN TEORI A. Anatomi dan Fisiologi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2012). Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur (Sjamsuhidajat dkk, 2012). Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung cukup banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena. Kelenjar limfe regionalnya ialah kelenjar limfe (Kumar dkk, 2010). Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin
penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton & Hall, 2008; Sherwood, 2011)
B. Definisi Benign prostatic hypertrophy (BPH) Hipertrofi prostat jinak) adalah pembesarat yang mengenai urertra menyebabkan gejala urtikaria. ( Nursalam, 2006) Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy, BPH) merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh peningkatannya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat. (Pierce, 2007) BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjer prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hypertrofi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika. (Arif Muttaqin dan kumala sari, 2011).
C. Etiologi Hipertrofi prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) ditandai dengan pembesaran kelenjar postat dan sangat sering ditemukan, muncul pada > 50% pria berusia >60 tahun dan 80% pada pria berusia >80 tahun. BPH biasanya muncul dengan gambaran obstruksi aliran kandung kemih, aliran urin yang buruk, urin menetes setelah netes berkemih, frekuensi berkemih meningkat dan nokuria. ( Patrick Davey, 2006) Saat ini, tidak ada konsensus tentang etiologi BPH. Ada banyak pendapat, seperti perubahan fungsi urodinamik karena meningkatnya uretra angulasi prostat. Beberapa telah mengidentifikasi peristiwa molekuler, seperti peningkatan stress oksidatif, kerusakan iskemik akibat gangguan pembuluh darah, hilangnya regulator negatif kontrol siklus sel, atau perubahan kadar hormon terkait usia. Namun, sebagian besar postulasi etiologi mengarah ke peradangan prostat sebagai inisiator BPH. Meskipun masih belum ada kesepakatan apakah peradangan hanyalah sebuah kejadian paralel atau penyebab
langsung, beberapa dalam penelitian telah menemukan hubungan yang signifikan antara peradangan dan BPH (Schauer & Rowley, 2012). Beberapa hipotesis yang di duga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah : 1.
Teori DHT.
2. Adanya ketidakseimbangan antara estrogentestosteron. 3. Interaksi antara sel stroma dan epitel prostat. 4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis) dan, 5. Teori sistem sel (Purnomo, 2007).
D. Patofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau LUTS yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo, 2012). Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2012). Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka jalan keluar urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi parsial, Transurethral Resection of Prostate (TURP) atau insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral hiperplasia insisi transuretral melalui serat otot leher kandung kemih untuk memperbesar jalan keluar urin, dilatasi balon pada prostat untuk memperbesar lumen uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi kelenjar prostat (Price & Wilson, 2012). Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap kelenjar. Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1, pada BPH,
rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat (Purnomo, 2012).
E. Manifestasi Klinis Gejala klinis hanya terjadi sekitar 10% pada laki-laki yang mengidap kelainan ini. Hal ini dikarenakan BPH mengenai bagian dalam prostat, manifestasinya yang tersering adalah gejala obstruksi saluran kemih bawah (Kumar dkk., 2007). Gejala klinis berkembang lambat karena hipertrofi detrusor kandung kemih mengkompensasi untuk kompresi uretra. Seiring dengan osbtruksi berkembang, kekuatan pancaran urin menurun, dan terjadi keraguraguan dalam memulai berkemih dan menetes diakhir berkemih. Disuria dan urgensi merupakan tanda klinis iritasi kandung kemih (mungkin sebagai akibat peradangan atau tumor) dan biasanya tidak terlihat pada hiperplasia prostat. Ketika residual pasca-miksi bertambah, dapat timbul nokturia dan overflow incontinence (Saputra, 2009). Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih, yaitu: a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala voiding, storage, dan pasca-miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli dan organisasi urologi membuat sistem penilaian yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau International Prostatic Symptom Score (IPSS) (Purnomo, 2012). b. Gejala pada saluran kemih bagian atas Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), dan demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis (Purnomo, 2012).
c. Gejala di luar saluran kemih Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra-abdominal (Purnomo, 2012). Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang-kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur yang diperhatikan adalah tonus sfingter ani/refleks bulbokavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, mukosa rektum, dan keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetrisitas antara lobus dan batas prostat (Purnomo, 2012).
F. Penatalaksanaan Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Kadangkadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja (Purnomo, 2012). Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi objektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari tanpa terapi (watchful waiting), medikamentosa, dan terapi intervensi (IAUI, 2003). a. Tanpa terapi (watchful waiting) Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS < 8 dan >8, tetapi gejala LUTS tidak mengggangu aktivitas sehari – hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya tidak boleh mengkonsumsi kopi atau alkohol sebelum tidur malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli –
buli (kopi atau cokelat), dan hindari penggunaan obat dekongestan atau antihitsamin (Purnomo ,2012). Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah buruk daripada sebelumnya, mungkin dipikirkan untuk memilih terapi yang lain (Purnomo, 2012).
b. Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik-α (adrenergic αblocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron melalui penghambat 5α-reduktase. Selain kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai obat golongan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas (Purnomo, 2012).
c. Intervensi Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi noninvasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi (Purnomo, 2012). Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi TURP, atau Insisi Prostat Transurehtra (TUIP atau BNI). Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, mengalami retensi urin, infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal, dan timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah (Purnomo, 2012). - Pembedahan Terbuka Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih
dibuat sayatan perut bagian bawah, kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli-buli atau divertikelektomi apabila ada divertikulum yang cukup besar (Katzung, 2012). Cara pembedahan retropubik dikerjakan melalui sayatan kulit perut bagian bawah dengan membuka simpai prostat tanpa membuka kandung kemih, kemudian prostat dienukleasi. Kedua cara pembedahan tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara TURP, yaitu mordibitasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak lagi dikerjakan (Katzung, 2012).
- Transurethra Resection of Prostate Transurethral Resection of The Prostate adalah tatalaksana bedah standar untuk pasien BPH. Cairan irigan (pembilas) nonkonduktif digunakan selama TURP untuk menjaga visibilitas yang baik dari lapangan operasi selama tindakan berlangsung. Cairan ini tidak mengandung elektrolit, dan penyerapan larutan hipotonik ini ke dalam aliran darah dapat menyebabkan kelebihan cairan dan hiponatremia, sehingga dapat menyebabkan efek kardiovaskular dan sistem saraf yang merugikan. Sindrom TURP didefinisikan sebagai tingkat natrium serum 125 mmol/L (Purnomo., 2012). Menurut The European Association of Urology Guidelines 2009, TURP adalah pengobatan pilihan untuk prostat, namun memiliki angka morbiditas pasca operasi yang signifikan. TURP dapat mengakibatkan komplikasi seperti perdarahan pascaoperasi, striktur uretra, inkontinensia urin, ejakulasi retrograde, dan sindrom TURP. Komplikasi yang menyebabkan perdarahan membutuhkan transfusi darah sesegera mungkin (Lee dkk., 2011). Contoh tindakan TURP disajikan pada gambar 10.
Gambar. TURP (Fujiwara dkk, 2014). - Elektrovaporasi prostat Cara ini sama dengan TURP, hanya saja teknik yang dilakukan memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa rawat inap di rumah sakit lebih singkat.
Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama (Purnomo, 2012).
- Laser prostatektomi Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat
4
jenis
energi
yang
dipakai,
yaitu:
Nd:YAG,
Holmium:YAG, KTP:YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melaui bare fibre, right angle fibre, atau interstitial fibre. Kelenjar protat pada suhu 60−65 C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100°C akan mengalami evaporasi (Purnomo, 2012).
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis, penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang lebih sama. Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang sebesar 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan disuria pasca-bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate yang lebih rendah dari pada pasca TURP (Purnomo, 2012).
- Transurethral Needle Ablation of Prostate (TUNA) Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan
panas
sampai
mencapai
100°C,
sehingga
menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urin, dan epididimo-orkitis (Purnomo, 2012).
G. Komplikasi Multiple komplikasi bisa terjadi seperti urine yang tertahan didalam kandung kemih dapat meningkatkan distensi kandung kemih. Diverticula (Outvoching) pada dinding
kandung kemih akibat dari distensi. Distensi juga akan mengakibatkan
obstruksi ureter.
Infeksi lebih utama di dalam urine yang tertahan dan didalam
diverticula, akan naik dari kandung kemih ke ginjal. Hidroureter, hidronefrosis, dan insuffisiensi renal kemungkinan menjadi komplikasi.( Price A.Grace, 2007). H. Pemeriksaan diagnostik Menurut Price A.Grace (2007) ada beberapa pemerikasaan diagnostik diantaranya adalah :
a.
Urinalisa: Warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi); bacteria, sel darah putih, sel darah merah mungkin ada secara mikroskopis.
b. Kultur urin: Dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella, Pseudomonas, atau Escherichia Coli. c.
Sitologi urin: Untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
d. BUN/ Kreatinin: Meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi. e.
Asam fosfat serum/ antigen khusus prostatic: Peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat mengindikasikan metastas etulang).
f. Sel darah putih: Mungkiin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi bila pasien tidak imunosupresi. g. Penentuan kecepatan aliran urin: mengkaji derajat obstruksi kandung kemih. h. IVP dengan film pasca berkemih: Mneunjukkan perlambatan pengosongan kandung
kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya
pembesaran
prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot
kandung kemih. i. Sistouretrografi berkemih: Digunakan sebagai IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan bahan kontras lokal. j. Sistogram: mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH. k. Sistouretroskopi: Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan
dinding kandung kemih (kontraindikasi pada adanya ISK akut
sehubungan dnegan risiko sepsis gram negative). l.
Sistometri: Mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
m. Ultrasound transrektal: mengukur ukuran prostat, jumlah residu urin; melokalisasi
lesi yang tak berhubungan dengan BPH.
I. Asuhan Keperawatan Teoritis Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan cara pendeketan proses keperawatan, Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut : a. Pengkajian 1. Sirkulasi Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan vokume cairan. 2. Integritas Ego Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirikan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda – tanda kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3. Eliminasi Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu – raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berukurang, pengosongan kandung kemih inkomplit,
frekuensi
berkemih,
nokturia,
disuria
dan
hematuria.
Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya observasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemungkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan. 4. Makanan dan Cairan Terganggunya sistem pemasukan makanan dan cairan yaitu karena efek penekanan / nyeri pada abdomen (pada preoperasi), maupun efek dari
anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala : anorexia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya. 5. Nyeri dan kenyamanan Menurutu hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah. 6. Keselamatan / kemananan Pada kasus oeprasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda – tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda – tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya. 7. Seksualitas Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya,
takut
inkontinensia/menetes
selama
hubungan
intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat. 8. Laboratorium Pemeriksaan laboratoium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi, urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasnya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus BPH adalah sebagai berikut : 1. Preoperasi -
Nyeri Akut
-
Cemas
-
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
-
Kerusakan eliminasi urin
2. Postoperasi -
Nyeri akut
-
Resiko infeksi
-
Kurang nya pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No . 1.
(Preoperasi) Diagnosa Keperawatan Nyeri akut Definisi : sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari kerusakan jaringan aktual atau potensial, muncul tiba – tiba atau lambat dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang bisa diantisipasi atau diduga dan berlangsung kurang dari 6 bulan Faktor yang berhubungan : Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis) Batasan Karakteristik : Laporan secara verbal atau
Tujuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ...x24 jam, klien dapat : 1. Mengontrol nyeri 2. Menunjkan tingkat nyeri
Intervensi Keperawatan Intervensi : - Kaji secara menyeluruh tentang nyeri - Observasi isyarat – isyarat non verbal - Berikan analgesik - Ajarkan penggunaan teknik non farmakolgi - Tingkatkan istirahat/tidur yang cukup
2.
non verbal adanya nyeri Fakta dari observasi Posisi untuk menghindari nyeri Gerakan melindungi Tingkah laku berhati - hati Muka topeng Gangguan tidur Terfokus pada diri sendiri Fokus menyempit Tingkah laku distraksi contoh : jalan – jalan, menemui orang lain, dan/atau aktivitas berulang ulang Respon autonom Perubahan autonomic dalam tonus otot Tingkah laku ekspresif Perubahan nafsu makan dan minum
Cemas
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Definisi : Perasaan gelisah yang tak selama ...x24 jam, jelas dari ketidaknyamanan atau klien dapat : kekuatan yang disertai respon autonom. 1. Mengontrol cemas 2. Koping yang Faktor yang berhubungan : baik terpapar racun, konflik yang tidak disadari tentang nilai – nilai utama/tujuan hidup, berhubungan dengan keturunan/herediter, kebutuhan tidak terpenuhi, transmisi iterpersonal, krisis situasional/maturasional, ancaman kematian, ancaman tehadap konsep diri, stress, substans abuse, perubahan dalam : status peran,status kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, lingkungan, status ekonomi. Batasan Karakteristik : 1. Perilaku :
Intervensi : 1. Tenangkan pasien 2. Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada pasien 3. Berusaha memahami keadaan pasien 4. Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis dan tindakan 5. Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan kenyamanan 6. Dorong pasien untuk menyampaikan tentang isi
Produktivitas berkurang Scanning dan kewaspadaan Kontak mata yang buruk Gelisah Pandangan sekilas Pergerakan yang tidak berhubungan Menunjukan perhatian seharusnya dalam kejadian hidup Insomnia Resah 2. Affektive : Penyesalan Irritable Kesedihan yang mendalam Ketakutan Gelisah, gugup Mudah tersinggung Rasa nyeri hebat dan menetap Ketidakberdayaan meningkat Membingungkan Ketidaktentuan Peningkatan kewaspadaan Fokus pada diri Perasaan tidak adekuat Ketakutan Distress Kekhawatiran, prihatin Cemas 3. Fisiologis : Suara gemetar Tangan tremor Goyah Respirasi meningkat Keinginan kencing Nadi meningkat Berkeringat banyak Wajah tegang
perasaannya 7. Kaji tingkat kecemasan 8. Dengarkan dengan penuh perhatian 9. Ciptakan hubungan saling percaya 10. Bantu pasien menjelaskan keadaan yang bisa menimbulkan kecemasan 11. Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal yang membuat cemas 12. Ajarkan pasien teknik relaksasi
3.
Anorexia Jantung berdetak kuat Diare Keragu – raguan dalam berkemih Kelelahan Mulut kering Kelemahan Wajah kemerahan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Definisi : Intake nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolisme tubuh Batasan karakteristik : BB 20% di bawah ideal Dilaporkan adanya intake makanan yang kurang dari RDA Membran mukosa dan konjungtiva pucat Kelemahan otot yang digunakan untuk menelan/mengunyah Luka, peradangan pada rongga mulut Mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan Dilaporkan atau fakta adanya kekurngan makanan Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa Perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan Miskonsepsi Kehilangan BB dengan makanan cukup Kengganan untuk makan Kram pada abdomen
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ...x24 jam, klien dapat : 1. Status nutrisi yang baik
Intervensi : 1. Catat jika memiliki alergi makanan 2. Catat makanan kesukaan klien 3. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan 4. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup 5. Tawarkan makanan ringan 6. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya 7. Atur diit makanan
Tonus otot jelek Nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi Kurang berminat terhadap makanan Pembuluh darah kapiler mulai rapuh Diare dan atau steatorrhea Kehilangan rambut yang cukup banyak Suara Usus hiperaktif Kurangnya informasi
Faktor yang berhubungan : Ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi zat – zat gizi berhubungan dengan faktor biologis, psikologis atau ekonomi
No. 1.
(Postoperasi) Diagnosa Keperawatan Nyeri akut Definisi : Sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari kerusakan jaringan aktual atau potensial, muncul tiba – tiba atau lambat dengan intensitas ringan sampe berat dengan akhir yang bisa diantisipasi atau diduga dan berlangsung kurang dari 6 bulan. Batasan Karakteristik : Laporan secara verbal atau non verbal adanya nyeri Fakta dari observasi Posisi untuk menghindari nyeri Gerakan melindungi
Tujuan
Rencana Keperawatan
Setelah dilakukan Intervensi : asuhan keperawatan 1. Kaji secara selama ...x24 jam, klien menyeluruh dapat : tentang nyeri 1. Mengontrol 2. Observasi nyeri isyarat – isyarat 2. Menunjukan non verbal tingkat nyeri 3. Berikan obat analgetik 4. Ajarkan teknik nonfarmakologi
2.
Tingkah laku berhati - hati Muka topeng Gangguan tidur Terfokus pada diri sendiri Fokus menyempit Tingkah laku distraksi contoh : jalan – jalan, menemui orang lain, dan/atau aktivitas berulang ulang Respon autonom Perubahan autonomic dalam tonus otot Tingkah laku ekspresif
Resiko Infeksi Definisi : Peningkatan resiko masuknya organisme patogen Faktor – faktor resiko : Prosedur invasif Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen Trauma Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan Ruptur membran amnion Agen farmasi Malnutrion Peningkatan paparan lingkungan patogen Imonusupresi Ketidakadekuatan imun buatan Tidak adekuat pertahanan sekunder Tidak adekuat pertahanan sekunder Tidak adekuat pertahanan
Setelah dilakukan Intervensi : asuhan keperawatan 1. Lakukan selama ...x24 jam, klien perawatan dapat : aseptic pada 1. Pengetahuan semua jalur IV klien tentang 2. Lakukan teknik kontrol infeksi perawatan luka 2. Pengetahuan yang tepat tentang deteksi 3. Tingkatkan resiko asupan nutrisi meningkat 4. Anjurkan asupan 3. Status Nutrisi cairan 4. Luka Sembuh 5. Anjurkan istirahat 6. Berikan terapi antibiotik
3.
primer Penyakit kronik Kurang pengetahuan tentang : penyakit diet, pengobatan Definisi : tidak adanya atau kurangnya informasi kognitif sehubungan dengan topik spesifik Batasan Karakteristik : memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai Faktor yang berhubungan : Keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber – sumber informasi.
Setelah dilakukan Intervensi : asuhan keperawatan 1. Gali selama ...x24 jam, klien pengetahuan dapat : tentang proses 1. Proses Penyakit penyakit 2. Diet 2. Jelaskan tentang penyakit yang dialami 3. Beri tahu kondisi pasien 4. Beri tahu bagaiamana cara mencegah penyakit
BAB III ASKEP KASUS
BAB IV PEMBAHASAN
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penyakit BPH merupakan kasus penyakit terbanyak kedua dalam bedah urologi. Peningkatan pervalensi BPH terjadi seiring dengan pertambahan usia pada laki-laki.
Penyakit ini sering dialami masyarakat perkotaan seiring dengan
meningkatnya usia
harapan hidup. BPH dapat terjadi karena multfaktor seperti
genetik, pola diet tinggi protein hewani dan lemak, penurunan aktivitas fisik, serta kebiasaan merokok. Hal-hal seperti sering dilakukan masyarakat didaerah perkotaan. Pasien dengan BPH biasanya mengalami retensi urin atau bahkan tidak bisa BAK. Tindakan segera yang dilakukan yaitu pemasangan kateter untuk mengeluarkan urin. Setelah dilakukan tindakan pembedahan TURP untuk menghilangkan pembesaran prostat, keluhan selanjutnya yaitu kelemahan untuk pengontrolan berkemih atau inkontinensia.
Perawat dapat melakukan terapi perilaku untuk mengatasi inkontinensia urin dengan
bladder training. Tujuannya yaitu untuk mengembalikan pola berkemih
pasien kembali normal. Bladder training dapat dilakukan saat pasien masih terpasang kateter dengan mengklem kateter. Setelah kateter dilepas, bladder training dilakukan dengan menentukan penjadwalan interval waktu berkemih secara bertahap. B. Saran Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA Smeltzer & Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol.2. Jakarta: EGC Grace, Pierce A, neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (2008). Pedoman Pelaksanaan BPH di Indonesia.
Rosdahl & Koalski.(2008). Book of Basic Nursing 9th ed. USA: Lippincot & Wilkins. Purnomo BB. 2012. Buku kuliah dasar–dasar urologi. Jakarta: CV Infomedika.
Sjamsuhidajat, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC. Kumar et al. 2010. Pathologic Basic of Disease. 8thEdition. Philadelphia: Elsevier. Guyton A.C,.dan Hall, J.E.2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. Nursalam, 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan, Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika. Davey, Patrick. 2006. Medicine At a Glance. Jakarta: Erlangga Doenges, M. E. (2002). Rencana Asuhan Keperawatan. Ed. 3. Jakarta: EGC