SIKAP KETERBUKAAN ORANG TUA KEPADA ANAK HIV POSITIF DI WILAYAH KOTA BANDUNG Ananda Herdanta Sobandi, Asrie Alifah, Lestari Nur Hidayah, Rina Nurjanah, Rahmi Nurul Istiqomah, Inggriane Puspita Dewi, M.Kep Stikes ‘Aisyiyah Bandung
E-mail :
[email protected]
Abstrak Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) masih merupakan permasalahan kesehatan yang cukup kompleks dan terus meningkat dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia. Sikap menutup diri pun masih menjadi persoalan dalam pengobatan ODHA. Maka dari itu peneliti melihat apa saja faktor faktor yang mempengaruhi pengungkapan status HIV positif secara komprehensif. Tujuan penelitian ini yaitu Untuk mengetahui sikap keterbukaan ibu yang anaknya dengan HIV positif, dan mengetahui faktor yang menghambar sikap keterbukaan ibu terhadap anaknya. Manfaat penelitian ini adalah sebagai pengetahuan bagi masyarakat untuk tidak terjadi lagi kejadian stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV positif. Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif dengan menggunakan pendeketana narasi deskritif, Informan yang digunakan sebanyak 1 orang informan. Metode yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam (indepth interview), dan instrument penelitian yaitu pedoman wawancara dan dibantu dengan alat tulis, catatan lapangan, dan voice recorder. Hasil penelitian ini diperoleh tiga tema yaitu : (1) Latar belakang penyakit (2) Faktor terjadinya sikap keterbukaan (3) Motivasi untuk sehat untuk sikap keterbukaan orang tua kepada anak HIV positif di wilayah Kota Bandung. Kata Kunci
: Sikap eterbukaan, Orang tua, HIV positif
PENDAHULUAN Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung menyatakan kasus ibu rumah tangga pengidap HIV positif sebanyak 11,82%, dan anak sebanyak 2% dari 4.429 kasus di Jawa Barat yang tercatat hingga Mei 2018. Informasi lainnya yang penulis dapatkan dari KPA kota Bandung, tercatat seorang remaja (usia SMP) didiagnosa positif HIV, namun diagnose tersebut hanya diketahui oleh orangtuanya saja, sehingga anak remaja tersebut tidak mengetahui cara perawatan diri serta pengobatan untuk HIV yang dideritanya, akibat tertutupnya informasi tentang penyakit ini dari orang tuanya, akibat pengobatan tidak
terkontrol dan remaja menganggap setiap obat yang diminumnya hanya sebatas vitamin, kondisi kesehatannya semakin memburuk, sampai akhirnya remaja tersebut meninggal. Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) masih merupakan permasalahan kesehatan yang cukup kompleks dan terus meningkat dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia (Departemen Kesehatan R1, 2007). Pada tahun 2013, jumlah infeksi baru HIV mencapai 2,1 juta dan jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak. Semakin meningkatnya kasus HIV di Kota Bandung semakin meningkat juga permasalahan HIV pada anak yang tertular oleh ibunya. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui sikap keterbukaan ibu yang anaknya dengan HIV positif, dan mengetahui faktor yang menghambar sikap keterbukaan ibu terhadap anaknya. Manfaat penelitian ini adalah sebagai pengetahuan bagi masyarakat untuk tidak terjadi lagi kejadian stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV positif. METODOLOGI Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendeketana narasi deskritif, untuk mendapatkan data tentang sikap keterbukaan orang tua terhadap anak HIV positif. Informan yang digunakan sebanyak 1 orang informan. Metode pengumpulan data yang digunakan adala dengan wawancara mendalam (indepth interview), alat yang digunakan adalah peneliti itu sendiri dan instrument penelitian yaitu pedoman wawancara dan dibantu dengan alat tulis, catatan lapangan, dan voice recorder. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian diperoleh tiga tema yaitu : (1) Latar belakang penyakit (2) Faktor terjadinya sikap keterbukaan (3) Motivasi untuk sehat Tema 1 : Latar belakang penyakit a) Penyebab Awal Penularan HIV dapat terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan seksual, penggunaan jarum suntik terkontaminasi, transfusi darah atau diturunkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya. Pasien adalah salah satu ibu rumah tangga yang tertular dari mendiang suaminya yang memiliki faktor risiko tersebut. Pernyataan terkait penyebab
awal
yang
diungkapkan
mengungkapkan sebagai berikut:
oleh
keempat
partisipan
dua
diantaranya
“Saya terinfeksi HIV itu dari suami saya. Saya tidak pake drags, pasangan seks saya cuman suami apanamanya.. jadi saya tidak punya resiko secara langsung, saya tertular dari suami saya” Pernyataan ini pun sama dengan yang kerabat dekatnya katakan: “Awal dia di Jakarta dia gak tahu positif HIV. Dia taunya suaminya sakit, tapi memang latar belakangnya narkoba suntik. Suaminya sakit parah, segala macam.. dia sudah mau stadium tinggi lah ya, A baru disuruh cek sama dokter. Sudah di tes, positif HIV” b) Faktor Predisposisi Faktor predisposisi mencakup demografik (seperti umur, jenis kelamin dan status perkawinan), struktur sosial (seperti pendidikan, ras, dan pekerjaan), dan keyakinan (seperti pengetahuan tentang penyakit). Pasien pernah mengungkapkan bahwa dirinya kurang mengetahui faktor resiko terjadinya penyakit HIV seperti yang diungkapkan sebagai berikut: “sampe saat ini pun saya gak pernah marah karena saya terinfeksi HIV karena kita sama-sama korban dari Negara ini yang tidak memberikan edukasi apa-apa pun” Tema 2 : Faktor terjadinya sikap keterbukaan a) Kompetensi Orang yang kompeten lebih banyak melakukan dalam pengungkapan diri dari pada orang yang kurang kompeten. Pasien dahulu bekerja sebagai aktifis, sehingga sudah terbiasa berkomunikasi dengan banyak orang. Seperti yang dikatakan oleh pasien berikut: “Jadi gini, kalo saya di Jakarta itu kerjaan saya aktifis. Saya tiap hari ngurusin bangsa dan Negara. Tidur mikirin orang, bangun mikirin orang.” Kerabat pasien pun mengatakan: “dia masuklah ke komunitas yang namanya IPI, Ikatan Perempuan Positif Indonesia. Kemudian dia nyaman di situ, akhirnya dia terbangun bahwa ‘ya gua positif, tapi gua harus berdaya’ gitu. Dari situ, dia terus meningkat, punya semangat.” b) Kepribadian
Orang-orang yang pandai bergaul (sociable) dan ekstrover melakukan pengungkapan diri lebih banyak dari pada mereka yang kurang pandai bergaul dan lebih introvert. Orang yang kurang berani bicara pada umumnya juga kurang mengungkapkan diri daripada mereka yang merasa lebih nyaman dalam berkomunikasi. Dan pasien adalah orang yang termasuk dalam pribadi yang pandai bergaul dan terbiasa berbicara tentang banyak hal dengan anaknya, sehingga kepercayaan sudah dibangun sejak anaknya masih kecil. Seperti yang dikatakan oleh pasien: “Karena saya belajar jadi orang tua itu beljar seumur hidupnya saya tidak ingin menjaid orang tua yang seperti orang tua saya, ibu bapak saya tuh tukang bokis, demi menjaga harga diri mereka menjadi orang tua. Urusan apapun itutuh saya bilang sama anak saya, tapi ngeliat range umurnya. saya akan jelaskan sesederhana mungkin.” Kerabat klien pun mengatakan hal yang sama: “Ibu A.. baik banget dia bagus, jadi dia.. apa-apa terprogram. Jadi si anaknya juga, mau jadi apa, mau pilih apa silahkan. Dan saling mengingatkan mereka, alarm bunyi, alarm bunyi jadi saling mengingatkan. Kaya temen aja.” Pola asuh anak sejak kecil sudah dirancang oleh pasien agar terbangun rasa saling percaya, dan menanamkan kebiasaan bersikap jujur satu sama lain. Sejak mengetahui status HIVnya, pasien sudah menyusun semuanya agar proses untuk membuka status HIV kepada anak menjadi lebih mudah. Karena menurut pasien, anak harus mengetahui status HIVnya. Pasien mengatakan: “Ke anak penting banget, anak penting banget karena akan mempengaruhi kepatuhan minum obat, kesadaran dia menjaga kesehatan, kepekaannya dia dengan kondisi tubuhnya”. Tema 2 : Motivai untuk sehat 1) Dukungan Keluarga Dukungan keluarga adalah sebuah bentuk dari interaksi sosial yang di dalamnya terdapat hubungan saling memberi dan menerima bantuan yang sifatnya nyata, bantuan itu akan membuat individu yang terlibat akhirnya akan dapat memberikan perhatian, cinta, maupun pendekatan yang baik pada keluarga sehingga akan meningkatkan
semangat dan keyakinan untuk sembuh, seperti yang diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut : “Kalau dari status kesehatan sampe saat ini yang tau cuman keluarga sebenernya, keluarga inti, tapi itu tidak pernah menjadi pembahasan yang panjang gitu ya, maksudnya karena mereka sudah paham situasi saya jadi emm.. tidak pernah dibicarakan spesifik oleh keluarga karna kita bukan ancaman gitu, cuma kalau saya kasih tahu kalau anak saya sakit, semua besuk gitu.”
2) Dukungan Teman Selain dukungan dari pasangan dan keluarga dukungan dari seorang teman sangatlah penting terutama untuk pasien HIV, karena dengan dukungan dari teman sebaya bisa memberikan motivasi yang besar juga terhadap kesembuhan pasien, agar pasien tidak merasa dikucilkan dan terisolasi dari lingkungannya, ini diungkapkan oleh salah satu partisipan sebagai berikut: “Saya kan punya temen-temen, cara utama yang saya lakukan kalo saya gabisa ngobrol sama orang rumah, saya akan kontak temen-temen saya kaya “sarapan yu, dimana” terus saya gak akan ngomongin HIV tapi saya butuh orang yang bisa support saya dan ngasih energi yang lebih buat saya. Orangorang yang cheerfull yang lebih heboh dari saya tuh banyak banget atau itu sebenrnya hiburan saya.” 3) Faktor Pemerintah Pemerintah juga mempunyai pengaruh besar dalam hal kebijakan yang dibuat untuk masyarakat terutama kebijakan dalam bidang kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu unsur dari kesejahteraan umum yang merupakan tujuan negara seperti yang diamanahkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumberdaya dibidang kesehatan, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau, begitupun dengan pasien HIV tidak terlepas dari dukungan dan kebijakan pemerintah setempat terutama dari segi ekonomi, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk menanggulangi penyakit HIV sangatlah membantu, seperti pengobatan
gratis dari mulai obat dan pemeriksaan lengkap pengobatan untuk HIV. Pasien mengatakan: “Jadi kalau di Indonesia, ARV itu disubsidi oleh pemerintah. Jadi semua ARV di Indonesia disubsidi sama pemerintah. Jadi.. Tidak ada yang diperjualbelikan. Kalaupun kita harus pakai uang sendiri itu untuk kontrol ke dokter.. Untuk cek darah yang tidak dicover BPJS, itu semua pakai uang sendiri. Tapi selebihnya.. Untuk pemeriksaan HIV, untuk obat ARV, untuk beberapa pemeriksaan darah rutin itu bisa pakai BPJS. Selebihnya udah ada program dari pemerintah kemudian itu gratis.” PEMBAHASAN Penyebab terjadinya penyakit HIV pada pasien adalah dari mendiang suaminya yang memang sejak awal memiliki faktor resiko tersebut, yang kemudian diturunkan kepada anaknya dari ibu yang terinfeksi HIV. Ketidaktauan pasien tentang HIV dan pemikiran yang jauh akan HIV ini merupakan salah satu faktor dari penyenan HIVnya tersebut. Menurut Besral (2004) cara penularan HIV dari penggunan NAPZA suntik sangat berpotensi besar untuk penularannya pada masyarakat maupun pasangannya. Adapaun faktor lain yaitu berhubungan seks dengan pekerja seks komersil atau sering berganti pasangan. Jika pada pasangan tersebut hamil atau melahirkan kemungkinan besar bayi tersebut beresiko positif HIV dengan efektifitas penularannya sebesar 40% Sikap keterubukaan tidak mudah dilakukan oleh setiap orang dan setiap situasi. Ada beberapa faktor yang dapat mendorong terjadinya sikap keterbukaan tersebut, yaitu dari kompetensi dan kepribadian setiap individu. Pasien adalah salah satu individu yang memiliki faktor pendorong dari sikap keterbukaannya tersebut. Karena pasien berkompeten dan memiliki kepribadian ekstrovert, pasien dapat mengungkapkan ekspresinya dan apa yang dia rasakan dengan cara yang benar. Menurut pasien, pendekatan adalah cara yang ampuh untuk membangun rasa saling percaya sehingga sikap keterbukaan satu sama lain dapat diungkapkan. Terutama untuk mengungkapkan status HIV dengan anak. Pasien sudah merencanakan untuk member tahukan status HIV pada anak sejak mengetahui bahwa pasien dan anak berstatus positif HIV. Sejak itu, pasien sudah merancang bagaimana tahap untuk membangun kepercayaan dan kepribadian anak menjadi lebih terbuka.
Sebagai motivasi untuk sehat yang pasien rasakan atau dapatkan yaitu dukungan dari keluarganya, temannya dan pemerintahpun ikut andil dalam hal ini. Dukungan keluarga yang dirasakan misalnya berupa perhatian, dengan perhatian tersebut dapat menambah keyakinan pasien untuk semangat dan berhak sehat. Dukungan dari temanpun sangat penting, selama ini pasien tidak merasa dikucilkan oleh teman – temannya pasien lebih cenderung dekat dengan temannya ketika pasien merasa tidak dapat mengungkapkan atau mengobrol dengan keluarganya. Pemerintahpun ikut andil dalam status kesehatannya. Kebijakan pemerintah yang diberikan berupa pengobatan gratis mulai dari obat – obatan sampai pemeriksaan lainnya KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang sikap keterbukaan orang tua kepada anak dengan HIV positif dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Latar Belakang Penyakit Pengguna NAPZA suntik sangat berisiko untuk terkenanya HIV, namun tidak banyak orang yang mengetahui risiko tersebut. Kebanyakan orang awam biasanya mengetahui faktor risiko terjadinya HIV hanya dari perilaku seks bebas. 2. Faktor Terjadinya Sikap Keterbukaan Sikap keterubukaan tidak mudah dilakukan oleh setiap orang dan setiap situasi. Ada beberapa faktor yang dapat mendorong terjadinya sikap keterbukaan tersebut, yaitu dari kompetensi dan kepribadian setiap individu. Pasien adalah salah satu individu yang memiliki faktor pendorong dari sikap keterbukaannya tersebut. Karena pasien berkompeten dan memiliki kepribadian ekstrovert, pasien dapat mengungkapkan ekspresinya dan apa yang dia rasakan dengan cara yang benar. Menurut pasien, pendekatan adalah cara yang ampuh untuk membangun rasa saling percaya sehingga sikap
keterbukaan
satu
sama
lain
dapat
diungkapkan.
Terutama
untuk
mengungkapkan status HIV dengan anak. Pasien sudah merencanakan untuk member tahukan status HIV pada anak sejak mengetahui bahwa pasien dan anak berstatus positif HIV. Sejak itu, pasien sudah merancang bagaimana tahap untuk membangun kepercayaan dan kepribadian anak menjadi lebih terbuka. 3. Motivasi untuk sehat Sebagai motivasi untuk sehat yang pasien rasakan atau dapatkan yaitu dukungan dari keluarganya, temannya dan pemerintahpun ikut andil dalam hal ini. Dukungan
keluarga yang dirasakan misalnya berupa perhatian, dengan perhatian tersebut dapat menambah keyakinan pasien untuk semangat dan berhak sehat. Dukungan dari temanpun sangat penting, selama ini pasien tidak merasa dikucilkan oleh teman – temannya pasien lebih cenderung dekat dengan temannya ketika pasien merasa tidak dapat mengungkapkan atau mengobrol dengan keluarganya. SARAN 1. Saran Akademis Perlu dilakukan penelitian kembali tentang sikap keterbukaan ibu kepada anak mengnai status HIV, namun dengan menambahkan kriteria inklusi ibu yang belum membuka status HIV kepada anaknya. 2. Saran Praktis a. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bandung Diharapkan petugas kesehatan bisa lebih memperhatikan kepada pasien HIV - AIDS baik dari segi pendampingan pengobatan dan dukungan serta motivasi yang kuat, kemudian memberikan informasi atau pendidikan kesehatan yang akurat kepada pasien itu sendiri, keluarga dan masyarakat luas agar pasien tidak merasa terdiskriminasi dari lingkungan sekitar. b. Bagi Dinas Pendidikan Kota Bandung Perlu adanya tambahan kurikulum mengenai pendidikan seksual secara dini mungkin yang ditanamkan pada jenjang sekolah dasar, sekolah menangah pertama, seklah menengaah atas agar anak- anak sekolah tersebut dapat terhindar dari pergaulan seks bebas di usia sekolah yang beresiko terdampak HIV
DAFTAR PUSTAKA Alifatin, a. (2013). Pengaruh stigma hiv pada ibu yang memiliki anak dengan hiv/aids terhadap keterbukaan pada keluarga. Jurnal keperawatan , volume 4, nomor 1, 110. Amik khosidah, sugi purwanti. (2014). Persepsi ibu rumah tangga tentang voluntarry councelling and testing (vct) terhadap perilaku pencegahan hiv-aids. Jurnal ilmiah kebidanan , vol. 5 no. 2, 67-78.
Annisaa’nurmasari, fatimah, febrina suci hati. (2015). Tingkat pengetahuan ibu hamil tentang hiv/aids dengan perilaku pemeriksaan test pitc (provider initiated test and counselling) di puskesmas sleman yogyakarta. Jurnal ners dan kebidanan indonesia , vol. 3, no. 1, 48-52. Baroya, n. (2017). Prediktor sikap stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan hiv danaids(odha) di kabupaten jember. Volume 13, 117-127. Dwihartanti, m. (2004). Komunikasi yang efektif. 1-7. Rachel c vreeman§,1,2, anna maria gramelspacher, peter o gisore, michael l scanlon and winstone m nyandiko. (2013, mei 23). Disclosure of hiv status to children in resource-limited settings: a systematic review. Journal of the international aids society , 1-14. Ririn puspandari, im sunarsih, rendra widyatama. (2008). Kontribusitestimoni dalam meningkatkan efektivitas pendidikan kesehatan tentang napzadi kabupaten sleman. Vol 24 no.3, 130 - 138. Rizki, b. M. (2015). Self disclosure: definisi, operasionalisasi, dan skema proses. Jurnal intuisi , vol 7 no. 1, 36--40. Wenny nugrahati carsita, indah winarni, retno lestari. (2016). Studi fenomenologi: orang dengan hiv aids (odha) dalam menjalani self-disclosure di wilayah kerja puskesmas bongas. Jurnal ilmu keperawatan , vol 4, no. 2, 205-224.