Manajemen Desentralisasi Dan Otonomi Perguruan Tinggi By Indra Maipita

  • Uploaded by: Indra Maipita
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manajemen Desentralisasi Dan Otonomi Perguruan Tinggi By Indra Maipita as PDF for free.

More details

  • Words: 4,365
  • Pages: 15
MANAJEMEN OTONOMI DAN DESENTRALISASI PERGURUAN TINGGI NEGERI

A. Rasional Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa ini dan segenap masyarakat meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia. Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan. Pendidikan merupakan investasi manusia (human investment) yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi, karena manusia berfungsi sebagai salah satu faktor produksi yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumberdaya manusia disebut juga disebut sebagai human capital yang dapat meningkatkan proses produksi baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Syarif dalam Tilaar, 2002) Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2003 menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi. Kenaikan 1,0 persen rata-rata pendidikan tenaga kerja menaikkan Produk Domestik Bruto (PDB) atau ekonomi riil per kapita sebesar 0,29 persen dengan asumsi ceteris paribus. Sementara itu kenaikan 1 persen rata-rata jam kerja tenaga kerja akan menaikkan PDB sebesar 0,18 persen dan kenaikan 1,0 persen rata-rata pendidikan penduduk akan menaikkan PDB sebesar 0,19 persen. Di lain pihak kenaikan 1,0 persen modal fisik per tenaga kerja hanya menaikkan PDB sebesar 0,04 persen. Dari informasi di atas dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh meningkatnya pendidikan tenaga kerja tetapi juga oleh pendidikan penduduk secara keseluruhan. Hasil penelitian tersebut diatas memberi dasar yang kuat untuk membangun pendidikan di Indonesia secara lebih cepat dengan tetap memperhatikan peningkatan kualitasnya (Bappenas, 2006). Dari data longitudinal seluruh provinsi di Indonesia diketahui pula bahwa selain berkorelasi positif terhadap status ekonomi penduduk yang diukur dengan purchasing power parity (PPP), tingkat pendidikan penduduk juga berkorelasi positif terhadap menurunnya laju pertumbuhan penduduk dan derajat kesehatan penduduk. Hal tersebut tercermin pada korelasi positif antara tingkat pendidikan penduduk dengan umur harapan hidup saat lahir. Sejalan dengan itu tingkat pendidikan peduduk perempuan berkorelasi positif terhadap turunnya angka kematian bayi, angka kematian balita dan angka fertilitas total.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008, peningkatan kualitas SDM, kualitas sarana dan prasarana hingga perbaikan regulasi di bidang pendidikan. Pada

saat

yang

sama

pendidikan

tinggi

masih

menghadapi

kendala

dalam

mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan penelitian dan pengembangan serta penyebarluasan hasilnya masih sangat terbatas. Disamping itu proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi juga mengalami hambatan karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal internasional yang dapat diakses. Dengan kualitas dan kuantitas hasil penelitian dan pengembangan yang belum memadai, belum banyak hasil penelitian dan pengembangan yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan masih sedikit pula yang sudah dipatenkan dan/atau mendapat pengesahan hak kekayaan intelektual. Konvergensi dari berbagai dampak globalisasi dunia dewasa ini juga memberikan kortibusi terhadap tantangan berat yang dihadapi perguruan tinggi. Tantangan yang belum pernah dialami oleh umat manusia sebelumnya ini memposisikan pengetahuan (knowledge) semakin penting sebagai pendorong utama pertumbuhan suatu bangsa. Daya saing suatu bangsa didefinisikan oleh Porter sebagai a country’s share of world market for it’s product [Porter, 2002] semakin tidak bergantung lagi pada kekayaan sumber daya alam dan tenaga kerja yang murah, akan tetapi semakin

bergantung pada pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai oleh suatu bangsa.

Ketidakbergantungan pada sumber daya alam diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dalam memanfaatkan dan memroses sumber daya alam. Demikian pula halnya sumber daya manusia yang banyak hanya akan dapat mendukung pertumbuhan bila disertai dengan penguasaan pengetahuan yang memadai. Tentu perguruan tinggi (PT) seyogianya menjadi lokomotif yang akan menarik gerbong masyarakat melalui tri dharmanya untuk meningkatkan daya saing bangsa agar dapat berkompetisi dalam era globalisasi saat ini. Berdasarkan fenomena ini, agar PT dapat berkontribusi nyata dan efektif dalam peningkatan kualitas daya saing bangsa, maka pemerintah telah melakukan perubahan paradigma pengelolaan PT dengan melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi pengelolaan seperti tertuang dalam Higher Education Long Term Strategy (HELTS). Perguruan tinggi perlu melakukan berbagai perubahan kearah pengelolaan yang otonom. Kecepatan perubahan global membutuhkan SDM dengan kemampuan yang adaptif mempunyai kemampuan belajar sepanjang hayat, kritis, inovatif, kreatif dan mampu bekerja sama. Ini berarti bahwa harus mempunyai kemampuan untuk merespons setiap perubahan dengan cepat. Dengan otonomi diharapkan perguruan tinggi dapat mengantisipasi perubahan yang akan terjadi dan mempunyai kapasitas untuk mengembangkan program baru sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Sebagai suatu unit di dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Perguruan Tinggi Negeri secara hukum memang tidak dapat memiliki otonomi. Demikian juga akuntabilitas kepada

2

masyarakat (stakeholders) amat sulit untuk secara utuh dimintakan kepada Perguruan Tinggi Negeri sebagai unit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan kredibilitas hanya akan dapat diperoleh apabila kedua hal tersebut, otonomi dan akuntabilitas, secara nyata dimiliki dan diterapkan. Oleh karena itu Perguruan Tinggi Negeri harus diubah status hukumnya menjadi badan hukum yang mandiri, terlepas dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

B. Kondisi Perguruan Tinggi Di Indonesia Saat Ini Masalah pendidikan di Indonesia saat ini masih seputar rendahnya kualitas, relevansi, efisiensi dan produktivitas serta efektivitas. Penyebabnya, (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, (2) kesejahteraan pendidik yang belum memadai, (3) sarana dan parasarana yang kurang dan belum didayagunakan secara optimal, dan (4) biaya pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran (Renstra Depdiknas, 2005). Akar masalahnya ada pada leadership dan internal

managemet. Setelah ini baru boleh

bicara tentang relevansi internal dan eksternal serta

akuntabilitas internal dan eksternal. Harus diakui bahwa sistem pendidikan yang berjalan selama ini kurang mendapat pengawasan dari stakeholder padahal mutu merupakan bentuk akuntabilitas terhadap seluruh fasilitas dan pajak yang dibayar oleh publik. Di tingkat pendidikan tinggi, perguruan tinggi di Indonesia masih jauh ketinggalan dibanding perguruan tinggi lain di dunia. Hal ini terlihat dari World Ranking University berikut. Tabel 1. The World’s Top 200 Universities No. Negara Jumlah 1 US 54 2 UK 25 3 Australia 17 4 Japan 10 5 Netherlands 10 6 France 9 7 Germany 9 8 Canada 8 9 Switzerland 7 10 China 6 11 Sweden 5 12 Hong Kong 4 13 Austria 3 14 Belgium 3 15 Denmark 3 Sumber: The Time Higher, Oct'2005

% 31,2 14,5 9,8 5,8 5,8 5,2 5,2 4,6 4,0 3,5 2,9 2,3 1,7 1,7 1,7

No. 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Negara India Israel Italy New Zealand South Korea Finland Russia Singapore Brazil Ireland Malaysia Mexico Norway Spain Taiwan Thailand

Jumlah 3 3 3 3 3 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1

% 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,2 1,2 1,2 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6

Human Development Index (HDI) merupakan indikator komposit yang menggambarkan kemajuan dibidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Dari ke tiga indikator tersebut, pendidikan merupakan determinan untuk kedua indikator yang lain. Karena itu pendidikan memberi kontribusi penting dalam keterpurukan HDI Indonesia. Perkembangan peringkat HDI Indonesia relatif memprihatinkan bila dibandingkan dengan negara tetangga Indonesia (Tabel 2). Tabel 2. Peringkat Human Development Index Indonesia Pering- Jumlah Tahun Pembanding kat Negara 2001 102 162 Sin=26,Brun=32,M’sia=56,Pilip=70,

Thai=66,

3

2002

110

2003

112

2004

111

2005

110

2006

108

173 175 175 177 177

Viet=101 Sin=25,M’Sia=58,Brun=31,Thai=74, Pilip=85 Sin=28,M’Sia=58,Brun=31,Thai=74, Pilip=85, Kamboja=130, Laos=135 Sin=25,M’Sia=58,Brun=33,Thai=76,Pilip=83 Sin=25,Brun=33,M’Sia=61,Thai=73,Pilip=84,Sril anka=93 Sin=25, M’Sia=61,Thai=74, Pilip=84, Brun=34 viet=109

Sumber: UNDP

Selain pendanaan yang terbatas (Gambar 1 dan Tabel 3), penyebab utama kurangnya daya saing PT Indonesia adalah sistem dan organisasi pengelolaan pendidikan tinggi yang dinilai kurang sehat dan sentralistik (Dirjen Dikti, 2005). Karena itu perlu di kembangkan kebijakan dan paradigma baru pengelolan pendidikan tinggi yang berbasiskan pada otonomi dan kesehatan organisasi untuk meningkatkan daya saing bangsa. Berdasarkan kajian dari Dirjen Dikti, beberapa kelemahan berikut terjadi pada Perguruan Tinggi Indonesia, khususnya PTN: •

Organisasi PTN tidak sehat, mutu rendah, pendidikan (akademik) dosen sering tidak relevan;



Merupakan bagian dari birokrasi pemerintah,

tidak berdaya, lamban dan juga sering

diintervensi; •

Hanya bertanggung-jawab kepada atasan langsung, bukan kepada stakeholders;



Inisiatif selalu datang dari luar ( berupa instruksi).

Karena itu

diperlukan perubahan peran pemerintah dari operator menjadi regulator, Funding

Agency (untuk mengintervensi market mechanism, menjamin aksesibilitas, mengontrol disparitas), mediator dan fasilitator

dengan demikian diharapakan akan terjadi pemberdayaan Perguruan

Tingi.

Gambar 1. Perbandingan Pengeluaran Pemerintah Untuk Pendidikan Tabel 3. Perbandingan Pengeluaran Publik Untuk Pendidikan

4

Dalam lima tahun mendatang, pembangunan pendidikan nasional dihadapkan pada berbagai tantangan serius, terutama dalam upaya meningkatkan kinerja yang mencakup (a) pemerataan dan perluasan akses; (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; (c) penataan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik; dan (d) peningkatan pembiayaan. Dalam upaya meningkatkan kinerja pendidikan nasional, diperlukan suatu reformasi menyeluruh yang telah dimulai dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Reformasi politik pemerintahan ini ditandai dengan perubahan radikal tata kepemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diatur kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pendidikan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kemudian dialihkan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja pendidikan nasional.

C. Desentralisasi dan Otonomi PT Konsep desentralisasi pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sungguh berbeda dengan jenjang pendidikan dasar menengah. Pada jenjang dasar menengah desentralisasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah baik dalam hal manajemen, pembiayaan, penyediaan sarana dan prasarana hingga pembinaan dan rekrutmen SDM. Sedangkan pada pendidikan tinggi desentralisasi lebih diartikan pada pelimpahan wewenang dalam pengelolaan bidang akademik dan SDM, sumber pendanaan dan rekrutmen SDM tetap berasal dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Otonomi bermakna mirip dengan desentralisasi, otonomi timbul karena adanya desentralisasi. Konsep otonomi di PT sebenarnya sudah berjalan kurang lebih enam tahun seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pemikiran akan perlunya otonomi inilah yang melahirkan RUU BHP, yang saat ini masih menunggu untuk disahkan, sebagai

5

konsekuensi diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena Pasal 53 mengamanatkan dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi dilakukan melalui otonomi PT yang memberi PT tanggung jawab lebih besar dengan tetap berdasar pada prinsip akuntabilitas publik. PT juga diberi keleluasaan untuk mengelola sumber daya yang dimiliki. Otonomi perguruan tinggi ini sangat penting untuk membangun iklim kebebasan akademik serta menumbuhkan kreativitas dan inovasi dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Sampai dengan tahun 2004 telah ditetapkan enam PTN (ITB, UI, IPB, UGM, UPI, dan USU) yang mengalami perubahan status menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) dan dalam masa transisi dapat memperoleh mandat untuk beroperasi sebagai badan layanan umum menuju badan hukum pendidikan. Namun, pelaksanaan PT-BHMN belum berjalan dengan baik antara lain karena belum tersedia perangkat hukum berupa undang-undang badan hukum pendidikan yang menjadi dasar bagi pengelolaan keuangan dan manajemen sumber daya lainnya yang dimiliki perguruan tinggi. Beberapa perbedaan karekteristik antara PT otonom dengan PT non otonom seperti diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4. Perbedaan Karakteristik PTN Otonom dan Non Otonom Karakteristik Sifat Institusi

PT Non Otonom UPT; merupakan bagian dari

PT Otonom Badan Hukum

birokrasi pemerintah. Pertanggungjawaban

Menteri

Majelis Wali Amanat

Governance

Dikti, Rektor, Senat

MWA, SA, Rektor

Status Pegawai

PNS

Pegawai PT otonom

Sumber Dana

Dipa, APBN

Block Grant + SPP + sektor produktif

Sistem Pengawasan

Melekat, Inspektorat, BPKP,

SPI, Audit eksternal, Wasmas

BPK Dalam kerangka otonomi, minimal akan didapatkan tiga perubahan kewenangan penting pada suatu PT yakni: (1) keleluasaan dalam hal pengelolaan akademik, (2) manajemen, dan (3) keuangan. Keleluasan dalam hal akademik adalah kebebasan dalam menetapkan kurikulum, program studi dan program akdemik lainnya. Selain itu juga diperoleh keleluasaan dalam menetapkan dan mengangkat staf akademik (misalnya Guru Besar dan doktor) dan staf penunjang, wewenang untuk membuka program studi yang sesuai dengan kebutuhan stakeholders tanpa harus mendapat ijin dari Dikti. Sebagai contoh adalah program doktor manajemen pendidikan yang ada di Pasca Sarjana Unimed merupakan out reach program dari UNJ. Andaikan Unimed dapat melakukan rekrutmen beberapa doktor/profesor dalam bidang tertentu, misalnya on

contrac basis, mungkin program ini dapat diselenggarakan secara in-house.

6

Kekuatan moral yang mandiri akan dapat dimiliki apabila PT memperoleh otonomi. Ruang lingkup otonomi PT adalah sebagai berikut: 1) Hak mahasiswa untuk belajar dan hak dosen untuk mengajar, sesuai dengan minatnya masing-masing (Lernfreiheit); 2) Hak untuk menetapkan prioritasnya sendiri, dan melakukan penelitian ilmiah kearah manapun tujuannya, dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat (Wissenschaftsfreiheit); 3) Toleran terhadap perbedaan pendapat dan bebas dari campur tangan politik; 4) Sebagai institusi publik, melalui pendidikan dan penelitian, perguruan tinggi berkewajiban untuk mengembangkan kebebasan dasar dan keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas, serta berkewajiban untuk saling bantu membantu, baik secara materi maupun moral, dalam konteks nasional dan internasional; 5) Berkewajiban untuk menyebarluaskan dan mengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; 6) Menghindari hegemoni intelektual;

7) Memiliki hak dan tanggung jawab untuk memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara mandiri untuk mendukung kegiatannya (Penjelasan PP No. 61 Thn. 1999). Suasana kemandirian dan otonomi dalam pendidikan sekilas memang berpotensi besar menciptakan pendidikan dengan kualitas, kredibilitas, efisiensi, dan profesionalisme yang bagus. Pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya memajukan pendidikan yang dijalankan berdasarkan pemetaan dan strategi yang telah dirancang. Penyelenggara pendidikan pun tidak perlu terhambat akan adanya jeratan birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama ini.

D. Aspek Legal Formal Landasan hukum bagi PTN untuk menjadi otonom adalah pasal 53(1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional yang menyatakan ’penyelenggara dan atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan’. Pasal 53 (4) UU Sisdiknas tersebut menyatakan ’ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri’. Penjelasan pasal 53 (1), UU Sisdiknas menyatakan,

’Badan

Hukum

Pendidikan

dimaksudkan

sebagai

landasan

hukum

bagi

penyelenggara dan/atau satuan pendidkan, antara lain berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Pasal 74 UU Sisdiknas menyatakan ’semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pnedidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 No. 6, tambahan lembaran negara No. 3390) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini’. Berdasakan uraian UU Sisdiknas dapat disimpulkan bahwa jika PTN saat ini mengajukan diri untuk berbadan hukum dan karena undang-undang tentang BHP belum diundangkan, maka PTN tersebut kemungkinan besar menjadi BHMN seperti halnya yang ditempuh oleh pemerintah

7

untuk UI, UGM, ITB, IPB, UPI, USU dan Unair. Peraturan pelaksanaan untuk menjadi BHMN tetap mengacu pada PP No. 61 tahun 1999 tentang penetapan PTN sebagai badan hukum dan ketetapan menteri pendidikan nasional RI No. 042/U/2000 tentang persyaratan dan tatacara penetapan PTN sebagai badan hukum.

D. Seputar Manajemen dan Kepemimpinan Mungkinkah dengan diberikannya desentralisasi dan otonom kepada PT akan terjadi pergeseran yang signifikan terhadap dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing bangsa? Seandainya diberlakukan otonomi PTN di Unimed, apakah akan ada perbedaan mendasar yang terjadi dibandingkan dengan kondisi saat ini? Sudah siapkah kita menjadi otonom? Andaikan kita menjadi otonom, bagaimana memenej perubahan itu? Apa yang harus dilakukan dan siapa yang melakukannya? Apa peran fakultas dan jurusan dalam hal ini? Mungkin pertanyaan seperti ini perlu kita diskusikan pada hari ini. Berbicara tentang desentralisasi dan otonomi, mau tidak mau kita akan berhadapan dengan beberapa hal, seperti masalah pendanaan, sarana dan prasarana, kualitas SDM dan yang tidak kalah pentingnya adalah manajemen. Agar desentralisasi dan otonomi PT dapat berjalan dengan lancar dan sesuai yang diharapkan diperlukan perubahan yang mendasar. Perubahan ini akan berjalan dengan mulus jika diterapkan manajemen perubahan (change). Perubahan menuntut adanya lima

hal sekaligus (Kasali, 2007), yaitu: (1) Vision, visi tentang arah masa

depan, (2) skill, keterampilan untuk mampu melakukan tuntutan-tuntutan baru. Keterampilan ini harus terpelihara dan ditumbuhkembangkan. (3) Incentives, insentif yang memadai baik langsung maupun

tidak

langsung,

individual

maupun

kelompok,

(4)

Resources,

sumberdaya

yangmemudahkan ruang gerak dan pertumbuhan, dan (5) Action plans, rencana tindak yang bukan sekedar rencana melainkan sebuah rengkaian tindakan yang terintegrasi dalam langkahlangkah yang spesifik dan terencana, tertulis serta dimengerti oleh semua pelaku yang terlibat. Perubahan harus memiliki agent (bisa dosen, pegawai dan mahasiswa). Pelaku perubahan harus mengerti tentang bagaimana mengubah main set dan perilaku orang-orang yang akan objek atau dilibatkan dalam perubahan tersebut. Kunci keberhasilan peningkatan kualitas SDM sangat ditentukan oleh management dan leadership. Seorang agent harus jeli melihat preferensi orang yang akan dilibatkan. Orang yang mempunyai preferensi dan kemampuan rendah dangan pemberdayaan rendah, maka ia akan bersifat complaint. Sebaliknya orang yang mempunyai preferensi dan kemampuan tinggi diberdayakan maksimal maka ia akan bersifat adaftive. Orang yang memiliki preferensi dan kemampuan rendah diberdayakan maksimal, maka ia akan bersifat

anxious. Sebaliknya orang yang memiliki preferensi dan kemampuan tinggi tetapi kurang diberdayakan maka ia akan bersifat frustrated. Tugas seorang agent adalah bagaimana menggiring orang-orang yang berada di kuadran 1, 2 dan 4 masuk ke dalam kuadran 3 (Gambar 2).

8

Gambar 2. Bagan Pemberdayaan SDM Dalam konteks ini, seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas dan dipahami oleh semua orang dalam PT/lembaga tersebut (vision), mampu memberdayakan (empowering), memiliki kemampuan dan kesabaran untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya manusia yang tersedia untuk belajar dan berlatih (coach) dan peduli terhadap performance yang ditunjukkan oleh seseorang (care). Pemberdayaan (empowering) baru dapat dilakukan apabila seorang pemimpin membangun komunikasi yang baik dengan bawahannya, yang pada gilirannya akan melahirkan pemahaman (understanding). Togetherness akan meliharkan rasa cinta dan rasa memiliki dikalangan stafnya. Perpaduan antara empowering dengan coach selanjutnya membutuhkan sistem reward & recognition bukan reward & punishment.

S WOT An a lys is

Current Situation

Situational Analysis

Position

Ro o t -Cau s e An a lys is

Strength ………… ………… Opportunities …………. ………….

Weaknesses ………… ………… Threats ………… …………

Problems Statement …………………… …………………… ……………………

S e lf-Eva lu a t io n

Conclusions Restraining forces

Fo rc e -Fie ld An a lys is Driving forces

Gambar 3. Alur Analisis Kebutuhan (Need Assessment) dalam Siklus Perencanaan Kepemimpinan yang baik ditunjukkan oleh kemampuan manajemen yang baik pula. Manajemen berkaitan dengan produksi. Karena itu, kualitas manajemen dapat dilihat dari kualitas

9

planning, organizing, actuating, dan controlling. Perencanaan (planning) yang baik adalah perencanaan yang didasarkan pada need assessment (SWOT analysis). Dalam melakukan perencanaan seorang pemimpin harus mampu melakukan root cause analysis untuk menemukan akar permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh suatu instusi PT/lembaga dari berbagai gejala/fenomena yang ditemukan di lapangan. Melalui force field analysis seorang pemimpin dapat menetapkan solusi alternatif dan solusi yang menjadi prioritas yang harus mendapatkan penangan dengan segera. Dalam melakukan organizing seorang pemimpin harus mampu menetapkan: siapa melakukan apa, siapa pada posisi apa, mekanisme dan prosedur, peralatan yang diperlukan, dan sumberdaya lain yang terlibat. Organizing yang baik akan berimplikasi pada actuating (perintah, kerjakan, dll) dimana semua orang melaksanakan perintah/pekerjaan sesuai dengan fungsi dan keahlian masing-masing yang dibarengi dengan rasa tanggung jawab yang tinggi. Namun tidak kalah pentingnya adalah controlling terhadap semua aktivitas yang dilakukan oleh staf-staf di jajaran PT/lembaga tersebut. Controlling akan memberikan informasi apakah semua orang dalam PT/lembaga tersebut melakukan aktivitas sesuai dengan kebijakan atau prosedur baku yang telah ditetapkan. MANAGING (MANAGEMENT)

LEADING (LEADERSHIP)

Planning

Vision

Organizing

Empowering

Actualing

Coach

Controling

Care

Dealing with Production

Dealing with human resources development

Semakin besar jika SDM yang dilibatkan semakin banyak

Gambar 4. Hubungan Leadership dengan Management

E. Bagaimana Meng-create Pendanaan? Pergeseran

padarigma

pengelolaan

pendidikan

tinggi

dari

sentralistik

menjadi

desentralistik dan otonomi mempunyai konsekuensi besar terhadap pendaanaan. PT yang otonom dibolehkan bahkan diharuskan untuk dapat mandiri serta mencari dana sendiri. Bowen (1981) mengemukakan bahwa pendidikan tinggi yang menginginkan keunggulan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mahalnya biaya pendidikan merupakan konsekuensi logis di era global. Kamars (1989:123) menegaskan, bahwa keadaan keuangan di suatu perguruan tinggi merupakan ukuran utama keberhasilan dalam kualitas lulusan.

10

Implikasi dari pergeseran paradigma ini menuntut dilakukannya perubahan mendasar tentang peningkatan ‘efisiensi pengelolaan sumberdaya’ yang dimiliki. Efisiensi ini meliputi efisiensi teknis dan ekonomis. Efisiensi teknis adalah tingkat optimalisasi penggunaan sumberdaya (dari sisi fisik) untuk peningkatan hasil (output). Efisiensi ekonomis adalah tingkat optimalisasi penggunaan sumberdaya dari sisi (biaya)untuk peningkatan hasil (output). Selain itu PT diharuskan untuk mengambil kebijakan-kebijakan seperti memberdayakan dan menata tenaga administrasi dan dosen serta optimalisasi pemanfaatan biaya, sarana dan prasarana yang ada mulai dari pengadaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan. Dalam hal pemanfaatan biaya, sumberdaya manusia, serta sarana dan prasarana, perguruan tinggi untuk menuju efisiensi pengelolaan ke tiga komponen tersebut, perlu diperhatikan hal-hal sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.

SUMBERDAYA MANUSIA • Sistem Penghargaan • Pemberdayaan

• Skill utk Modifikasi & Rekayasa • Optimalisasi Pemanfaatan

PEMANFAATAN

SARANA PRASARANA

BIAYA

•DIVERSIFIKASI ANGGARAN •ORIENTASI PARADIGMA BARU

Gambar 5.

Pengelolaan Biaya, Sumberdaya Manusia, serta Sarana dan Prasarana di Perguruan Tinggi

Untuk meningkatkan perolehan dana penyelenggaraan PT dan untuk memperkecil kesenjangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja, perlu dilakukan pengindustrian inteligensi, yaitu pemberdayaan segenap sumberdaya manusia dan sarana pendidikan

yang

dimiliki serta menjalin kerjasama mutualisma antara PT dengan pihak swasta (dunia kerja). Skema pengindustrian inteligensi tersebut, seperti terlihat pada Gambar 6. Salah satu model kemitraan yang dapat digunakan adalah model Zinser yang memperkenalkan kemitraan dengan PT melalui enam tipe, yaitu (1) kontribusi (contributions), (2) pembelian (procurements), (3) jaringan (network), (4) pertukaran (exchanges), (4) kooperatif (cooperative), dan (6) join venture.

11

MARKET

Natural Rsource

Goods & Service

Revenue

Investment Professional Skill & Expertise

Financial Rsource

COMODITY & SERVICE PRODUCING INDUSTRY Income Tecnoware

TECNOLOGY INDUSTRY

Humanware

Conceptual S&T Information

HUMAN INTELIGENCE

Science & Tect.Development HIGHER EDUCATION INSTITUTION

Gambar 6. Skema Pengindustrian Inteligensi Pemberdayaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana untuk generated fund selama ini belum optimal dilakukan. Misalnya peralatan yang dimiliki fakultas selama ini masih sebatas untuk keperluan praktek mahasiswa semata. Pada hal sesungguhnya dapat dioptimalkan dengan pola-pola kemitraan. Andai saja terdapat kemitraan antara jurusan Tata Busana dengan pengusaha garmen atau Boutique, tentu praktek mahasiswa dapat diarahkan untuk memproduksi pakaian sesuai dengan kebutuhan pasar, lalu hasil produksi tersebut dipasarkan oleh pengusaha garmen atau Boutique. Demikian juga dengan jurusan Boga dapat bermitra dengan toko-toko roti yang saat ini sedang booming . Teknik Mesin dapat membangun kemitraan dengan industri otomotif berupa pendanaan, pelatihan, pemasaran dan sertifikasi (didalangi oleh task force). Doktor, magister dan mahasiswa yang dimiliki PT, baik itu dari fakultas teknik maupun dari fakultas seni akan dipadukan di bengkel bekerja sama dengan praktisi dan professional dari industri otomotif untuk mendirikan karoseri mobil (Gambar 7). Input berupa tenaga kerja diambil dari mahasiswa terutama dari fakultas teknik. Output berupa barang dan jasa yang dihasilkan dipasarkan melalui pemasaran yang dimiliki industri otomotif atau jika memungkinkan Koperasi Pengawai Negeri (KPN) Unimed. Koperasi juga berkewajiban untuk mencari pelanggan di luar

12

perguruan tinggi. Output berupa tenaga kerja terampil (skillman) akan disalurkan ke dunia industri dan masyarakat melalui Pusat Jasa Ketenagakerjaan (PJK). Disamping itu, perguruan tinggi juga dapat mendirikan unit-unit bengkel di luar yang sudah distandarisasi dan punya sertifikasi oleh bengkel fakultas teknik tersebut dan mitra industri otomotif. Pendanaan dari unit-unit bengkel dapat ditanggulangi dan dimanajemen bersama atau melalui unit usaha Koperasi. Bagi mahasiswa yang sudah terlatih dan mempunyai sertifikat dibolehkan untuk membuka bengkel sendiri.

Gambar 7. Siklus Kemitraan Mutualisma Keuntungan dari kemitraan ini dirasakan oleh semua lapisan, baik pihak perguruan tinggi, industri dan masyarakat. Pihak perguruan tinggi akan memperoleh beberapa keuntungan berupa (1) financial, dari barang dan jasa yang dihasilkan di bengkel dan unit-unit bengkel yang ada di luar kampus, (2) penguasaan IPTEK, dosen tidak lagi menguasai IPTEK secara teoritis tetapi juga aplikasinya, (3) lulusan yang terampil, punya keunggulan komparatif dan kompetitif. Perguruan tinggi tidak lagi menghasilkan lulusan yang hanya berorientasi ‘job seeker’” tetapi juga ‘job maker’”. Di pihak industri keuntungan yang diperoleh dapat berupa (1) kemudahan untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil, (2) tidak perlu lagi melakukan dan menyediakan sarana pelatihan khusus bagi karyawan baru karena karyawan yang diperoleh sudah terlatih, (3) promosi akan lebih mudah dilakukan. Unit-unit bengkel yang nantinya tersebar di masyarakat merupakan ajang promosi yang efektif bagi industri, (4) finansial, industri tidak perlu lagi mengeluarkan dana untuk ke tiga hal di atas. Jika hal ini berjalan lancar dengan kata lain keberlanjutannya dapat terjamin (Gambar 8) maka otonomi dan desentralisasi PT akan berhasil dengan baik serta keberadaan dan aktivitas

13

ilmu akan lebih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sehingga transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berjalan lebih cepat.

Gambar 8. Life Cycle Program

F. Penutup Peningkatan daya saing bangsa diperlukan untuk mengatasi tantangan global yang ada saat ini dan di masa datang. Daya saiing yang tinggi hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan terutama pendidikan tinggi yang memberikan final touch bagi human capital yang akan memasuki pasar kerja dan creator dari science dan technology. PT yang mempunyai daya saing hanya dapat diwujudkan jika memiliki otonomi dan desentralisasi, sedangkan otonomi dan desentralisasi akan berjalan denganbaik jika PT mempunyai organisasi yang sehat. Pergeseran

paradigma

pengelolaan

pendidikan

tinggi

dari

sentalistik

menjadi

desentralisasi dan otonomi akan memberi dampak yang luas terhadap lingkungan internal dan eksternal PT itu sendiri. Dengan kata lain diperlukan kesiapan yang matang dari seluruh komponen PT, baik dari SDM, sarana dan prasarana, manajemen, kepemimpinan terlebih pendanaan. Otonomi tidak berarti kebebasan dalam arti sempit, yaitu membebankan pembiayaan PT kepada mahasiswa, tetapi labihluas otonomi merupakan kebebasan yang bertanggungjawab, transparan dan akuntabel. Berkreasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan stakeholders dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dan bukan justru membebaninya.

14

G. Bibliografi Bowen, Howard.R. 1981. The Coast of Heigher Education : Jossey-Bass Inc. Brojonegoro, Satryo Soemantri. 2003. Strategi Pendidikan tinggi Jangka Panjang 2003-2010. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Dirjen Dikti, 2003. Pendidikan Tinggi Indonesia dalam Lintasan Waktu Dan Peristiwa. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Dirjen Dikti, 2004. Memo Program Koordinatif Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi 2004. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Ditjen Dikti, 2004. Program Hibah Kompetisi Perguruan Tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas Kamars H.M.Dhacel. 1989. Sistem Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi. Suatu Studi Perbandingan Antar beberapa Negara. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK. Suwardi, Rudy. 2004. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000, Penerapannya untuk mencapai TQM. Jakarta: PPM – Teruna Grafika. Syarif, H. Hidayat. 2002. Demokratisasi dan Desentralisasi Pendidikan, dalam H.A.R Tilaar (Ed.),

Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: PT. Grasindo. http://www.goodgovernance-bappenas.go.id, Prinsip-Prinsip Good Public Governance. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. 2000. The Quality

of Growth.Washinton, D.C. The World Bank. 2007. Investing In Indonesia’s Education: Allocation, Equity, andEfficiency of

Public Expenditure. Poverty Reduction and Economic Management Unit East Asia and Pacific Region. The World Bank. 2007. Spending For Development: Makin The Most of Indonesia’s New Opportunities. Indonesia Public Expenditure Review 2007. The World Bank Office Jakarta. UNESCO. 2005. Laporan Review Kebijakan: Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini di

Indonesia. Seksi PAUD dan Pendidikan Inklusif, Sektor Pendidikan Dasar, UNESCO. United Nations. 1997. Report on the World Social Situation 1997. New York: United Nation.

15

Related Documents


More Documents from "Indra Maipita"