Nama : Sitty Hartina Pulu Raga NIM : D121 14 025 Departemen : Teknik Lingkungan MANAJEMEN BENCANA GUNUNG MERAPI KEC. CANGKRINGAN KAB. SLEMAN YOGYAKARTA Masalah Salah satu bencana yang terjadi di Indonesia khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah letusan Gunung Merapi yang terjadi pada 26 Oktober 2010 adanya dampak dari letusan Gunung Merapi berupa banjir lahar dingin masih terjadi di berbagai daerah sepanjang daerah aliran sungai yang meliputi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Peristiwa Erupsi Gunung Merapi 2010 mengakibatkan banyak kerusakan dan kerugian serta korban jiwa. Dalam peristiwa itu, banyak masyarakat Kabupaten Sleman menjadi korban. Terdapat korban meninggal 123 jiwa, rawat inap 147 jiwa, dan sebanyak 56.414 jiwa mengungsi (Sumber: BPBD DIY, 7 Nopember 2010). Selain itu berdasarkan sumber berita online, erupsi Merapi 2010 hampir membuat perekonomian Kabupaten Sleman lumpuh di lima kecamatan sehingga hampir tidak ada aktivitas ekonomi. Lima kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Pakem, Kecamatan Turi, Kecamatan Tempel, dan Kecamatan Ngemplak. Erupsi Gunung Merapi pada bulan Oktober sampai November 2010 terjadi sangat besar dalam waktu yang cukup lama (sekitar 2 minggu). Pada tanggal 26 Oktober 2010, awan panas dikeluarkan pertama kali pada pukul 17.00 selama beberapa kali kearah barat – barat daya dan selatan – tenggara, dan diakhiri erupsi terbesar pada tanggal 5 November dini hari. Awan panas menyebar pada radius 10-15 km yang telah menghancurkan dusun-dusun di lereng Merapi. Abu vulkanik dirasakan tidak hanya oleh masyarakat di lereng gunung Merapi, namun juga dirasakan masyarakat yang tinggal di radius 30 km, bahkan sampai ke Jawa Barat. Sementara hujan pasir yang terjadi pada tanggal 30 Oktober dan 5 November dapat dirasakan oleh masyarakat sampai radius 30 km. Erupsi-erupsi Gunung Merapi yang pernah terjadi telah memberi dampak pada kerusakan hunian, pemukiman/pekarangan, lahan pertanian (sawah dan pertanian lahan kering yang berada di kawasan puncak gunung, lereng gunung dan sepanjang sungai yang dialiri material erupsi. Keterlambatan informasi tentang kegiatan letusan/erupsi yang terjadi ke seluruh masyarakat yang tinggal di sekitar puncak Merapi, berdampak pada tingginya korban yang meninggal dan kergian material. Erupsi Merapi menyebabkan kematian berbagai jenis ternak yang dipelihara masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Kematian ternak terjadi pada sapi potong, sapi perah, kambing, domba dan unggas, sedangkan ternak kerbau dilaporkan tidak mengalami kematian. Kematian ternak sapi di Kabupaten Sleman jauh lebih besar dari daerah lain. Hal itu disebabkan saat letusan terjadi awan dan lahar pergerakannya lebih banyak mengarah ke Kabupaten Sleman. Estimasi kerugian pada berbagai usaha peternakan pada empat kabupaten akibat erupsi Merapi sebesar Rp. 55 Miliar. Kerugian tersubut diperoleh dari nilai kematian ternak, kebun pakan hijauan yang rusak dan penurusan produksi susu selama tiga bulan pada usaha sapi perah. Kerugian lain yang terjadi adalah terjadi penjualan ternak di bawah harga pasar karena peternak terdesak kebutuhan dana dan kesulitan merawat ternak. Kerugian akibat penjualan ternak dengan nilai yang lebih rendah hanya terpantau pada ternak sapi potong dan sapi perah dengan nilai sekitar Rp. 37 Miliar.
Menurut Laporan Tanggap Darurat Erupsi Tahun 2010 Kabupaten Sleman, siklus erupsi Gunung Merapi adalah setiap 2-7 tahun sekali. Saat mengalami aktivitas erupsi, arah letusan Gunung Merapi selau berubah-ubah karena terjadinya perubahan bentuk puncak yang disebabkan oleh aktivitas erupsi gunung Merapi. Salah satu letusan terbesar Merapi yang baru-baru ini terjadi adalah letusan Merapi pada Oktober-November 2010. Pada saat itu, dampak dari letusan Merapi sangat besar. Aliran awan panas menyapu daerah yang berada di lereng Merapi Sapuan awan panas tersebut juga menimbulkan korban baik meninggal ataupun luka-luka. Selain awan panas, pada saat itu Merapi juga mengeluarkan aliran lahar dingin berjumlah 150 juta m3 dan 35% dari jumlah tersebut masuk ke Kali Gendol dan sisanya masuk ke sungai lainnya yang berhulu di Gunung Merapi. Korban bencana akibat letusan Gunung Merapi meliputi korban meninggal, korban luka, dan pengungsi. Jumlah korban akibat bencana Merapi 2010 adalah 346 korban meninggal, 5 korban hilang, 121 korban luka berat. Korban meninggal berdasarkan fase erupsi pertama yaitu 26 Oktober – 4 November 2010 adalah 40 orang dan pada fase erupsi kedua yaitu 5 November – 23 Mei 2011 berjumlah 306 orang. Penyebab korban jiwa tersebut 186 diantaranya karena luka bakar dan 160 lainnya non luka bakar (Sumber: Laporan Tanggap Darurat Erupsi Tahun 2010 Kabupaten Sleman). Selain menimbulkan dampak korban jiwa dan luka-luka, erupsi Merapi juga menyebabkan kerugian yang sangat besar pada sektor perekonomian. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di lereng Gunung Merapi adalah petani dan peternak. Dari kejadian erupsi pada 2010 lalu saja tercatat 3.361 hewan ternak mati. Saat terjadinya erupsi, banyak warga yang sudah mengungsi kembali lagi ke desa asal untuk mengurus ternaknya yang masih berada didalam kawasan rawan bencana saat merapi masih dalam status Awas. Kurangnya kesadaran akan resiko bahaya ini tentunya sangat mengancam keselamatan mereka apabila sewaktu-waktu Merapi mengeluarkan material erupsi. Erupsi Gunung Merapi juga menimbulkan kerugian material yang tidak sedikit. Kerusakan dan kerugian akibat erupsi Merapi dibagi dalam lima sektor yaitu: pemukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi dan lintas sektor. Total perkiraan kerusakan dan kerugian akibat erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman adalah sebesar Rp. 5,405 trilyun yang terdiri dari : nilai kerusakan sebesar 894,357 milyar rupiah serta nilai kerugian sebesar, 4,511 trilyun (Sumber: Laporan Tanggap Darurat Erupsi Tahun 2010 Kabupaten Sleman). Respon Bagi kebanyakan penduduk di lereng Merapi, selama berabad-abad, turun-temurun, mereka dapat melangsungkan kehidupan dan menyesuaikan diri terhadap gunung yang dianggap sangat berbahaya. Apalagi saat ini sumberdaya lahan keberadaannya semakin terbatas makin tidak mendorong pemukim lereng merapi untuk berpindah walau harus menerima risiko dampak erupsi Merapi yang dapat mematikan. Perilaku tersebut juga tergambar pada kasus letusan Merapi Oktober 2010. Himbauan mengungsi dari BMKG tidak diikuti langsung oleh sebagian masyarakat. Padahal suasana awas Merapi mengharuskan masyarakat di daerah rawan mengungsi ke daerah yang dianggap aman. Bahkan hingga saat menjelang letusan masih ada masyarakat di daerah rawan bencana belum melakukan pengungsian. Namun setelah petugas dari Kopasus melakukan penyisiran pada semua lokasi untuk menyelamatkan semua yang bisa diselamatkan, sedangkan pihak petugas dari unsure lain sudah tidak masuk baru mereka yang bertahan untuk tidak mengungsi tergerak untuk mengungsi. Masyarakat lebih percaya pada himbauan Kopasus karena mereka yakin jika Kopasus sudah turun tangan berarti sudah mencapai kondisi paling rawan.
Selain menyelamatkan nyawa mereka, faktor lain yang menentukan masyarakat mengungsi adalah bagaimana menyelamatkan harta benda yang dimiliki termasuk ternak yang dipelihara. Pada kasus letusan Oktober 2010, banyak peternak tidak mau mengungsi ketika dihimbau untuk melakukan pengungsian. Mereka bertahan tidak mengungsi dengan alasan untuk menjaga ternak mereka. Pada kondisi demikian, ternak sapi perah juga dianjurkan untuk dibawa mengungsi, namun tidak semua ternak dapat diungsikan. Hal yang sama juga terjadi pada kasus Merapi Mei 2006, tidak semua peternak mau mengungsikan ternak mereka ke lokasi yang lebih aman dengan alasan adalah selain merepotkan, masalah keamanan dan kemudahan mendapatkan pakan di lokasi pengungsian belum terjamin sepenuhnya. Karena itu peternak lebih memilih untuk bergiliran menjaga ternak di desa yang ditinggalkan. Karakteristik Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi di Indonesia yang mamiliki ketinggian 80 mdpl hingga ±2968 mdpl, atau setara dengan 3.079 m di atas Kota Jogja. Gunung Merapi adalah gunung bertipe strato dengan kubah lava berbentuk tapal kuda. Gunung ini merupakan satu-satunya gunung berapi yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan salah satu gunung berapi yang paling aktif di dunia. Secara geografis Gunung Merapi terletak di antara 7°32,5' Lintang Selatan dan 110°26,5' Bujur Timur. Sedangkan secara administratif terletak pada wilayah administrasi Kabupaten Sleman (DIY), Kota Magelang (Jawa Tengah), Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), Kabupaten Klaten (Jawa Tengah). Secara klimatologis, keberadaan Kabupaten Sleman masuk wilayah iklim muson tropis, yang dicirikan hujan dengan intensitas yang tinggi pada musim hujan (NovemberApril) yang kemudian berganti dengan bulan-bulan kering (April-Oktober). Hujan tahunan berkisar antara 2.500-3.000 mm. Variasi hujan di sepanjang lereng Gunung Merapi dipengaruhi oleh hujan orografis. Seperti juga wilayah muson tropis lainnya. Variasi suhu dan kelembaban udara pada dasarnya tidaklah menyolok. Suhu berkisar antara 20-330oC dan kelembaban udara bervariasi antara 80%-99%. Jenis tanah yang mendominasi kawasan Gunung Merapi adalah regosol. Dengan masih aktifnya Gunung Merapi menjadikan material vulkanis merupakan bahan induk tanah di kawasan ini. Dengan demikian tanahnya merupakan tanah muda karena belum mengalami perkembangan profil. Tanah di kawasan ini dicirikan oleh warna kelabu sampai kehitaman dengan tekstur pasiran. Struktur tanah belum terbentuk sehingga masih merupakan struktur granuler. Dengan struktur ini maka kemampuan untuk menyerap air cukup tinggi, namun kandungan bahan organiknya relatif rendah. Kemasaman tana pada umumnya netral. Berdasarkan peta geologi yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan diperoleh informasi bahwa batuan utama penyusun Gunung Merapi terdiri dari dua macam : Endapan vulkanik Gunung Merapi Muda, yang terdiri dari tufa, lahar, breksi, dan lava andesitis hingga basaltis. Endapan ini hampir tersebar merata di seluruh kawasan Gunung Merapi. Endapan vulkanik kwarter tua, yang keberadaannya secara setempat-setempat khususnya di perbukitan. Endapan ini ditemui di bukit Turgo, Gono, Plawangan dan Maron. Gunung Merapi di bagian puncak tidak pernah ditumbuhi vegetasi karena aktivitas yang tinggi. Jenis tumbuhan di bagian teratas bertipe alpina khas pegunungan Jawa, seperti Rhododendron dan edeweis jawa. Agak ke bawah terdapat hutan bambu dan
tetumbuhan pegunungan tropika. Hutan hujan tropis pegunungan di bagian selatan Merapi merupakan tempat salah satu forma anggrek endemik Vanda tricolor 'Merapi' yang telah langka. Lereng Merapi, khususnya di bawah 1.000 m, merupakan tempat asal dua kultivar salak unggul nasional, yaitu salak 'Pondoh' dan 'Nglumut'. Pasca erupsi tahun 2010 mata pencaharian warga lereng Merapi banyak berubah. Penduduk yang dahulu mayoritas bertani dan mengurus hewan ternak, saat ini bervariasi mulai dari mengurus loket pariwisata, penyedia jasa angkutan wisata dengan Komunitas Mobil Jib, Komunitas Ojek, dan Komunitas Treil dengan menyewakan sepeda motor Tril dan beberapa UMKM (memproduksi abon lele, krupuk dll). Sekitar 320 orang yang terlibat menangani wisata dikawasan yang dulunya Kaliadem. Dalam statusnya sebagai gunung berapi aktif mengakibatkan seringnya terjadinya erupsi. Berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 1600-an, Gunung Merapi meletus lebih dari 80 kali atau rata-rata sekali meletus dalam 4 tahun. Masa istirahat berkisar antara 1-18 tahun, artinya masa istirahat terpanjang yang pernah tercatat andalah 18 tahun. Secara umum, letusan Merapi pada abad ke-18 dan abad ke-19 masa istirahatnya relatif lebih panjang, sedangkan indeks letusannya lebih besar. Ada kemungkinan juga bahwa periode panjang letusan pada abad ke-18 dan abad ke-19 disebabkan banyak letusan kecil yang tidak tercatat dengan baik, karena kondisi saat itu. Sejak tahun 1768 sudah tercatat lebih dari 80 kali letusan. Diantara letusan tersebut, merupakan letusan besar (VEI ≥ 3) yaitu periode abad ke-19 (letusan tahun 1768, 1822, 1849, 1872) dan periode abad ke-20 yaitu 1930-1931. Erupsi abad ke-19 intensitas letusanya relatif lebih besar, sedangkan letusan abad ke-20 frekuensinya lebih sering. Kemungkinan letusan besar terjadi sekali dalam 100 tahun (Newhall, 2000). Letusan besar bisa bersifat eksplosif dan jangkauan awanpanas mencapai 15 Km. Erupsi terakhir tercatat pada tahun 2010 yang merupakan letusan terbesar selama 140 tahun terakhir. Rata-rata erupsi (puncak keaktifan) terjadi setiap dua sampai lima tahun sekali dengan kondisi wilayah yang dikelilingi oleh permukiman yang sangat padat. Bahkan masih terdapat permukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak 4 km dari puncak. Erupsi Gunung Merapi merupakan tipe vulkanian lemah, namun demikian aliran piroklastik hamper selalu terjadi pada setiap erupsinya. Aliran piroklastik adalah fenomena saat lelehan lava pijar, batu-batuan dan abu dari letusan gunung berapi meluncur ke lereng gunung, menguapkan materi di sekitarnya dan membangkitkan serangkaian gas panas dengan suhu antara 100-1000 derajat Celcius dengan pergerakannya sangat cepat antara 10-100 meter perdetik. Kombinasi antara temperatur tinggi, kecepatan tinggi dan volume sedimen yang besar menyebabkan berbagai kerusakan di sepanjang kawasan yang dilalui termasuk kondisi sosial ekonomi penduduk yang sebagian besar adalah petani yang bermukim dan berusaha di sekitar Gunung Merapi. Penanggulangan Bencana Dalam Peraturan Daerah DIY Yogayakarta tentang RTRW Yogyakarta 2009-2029, Kabupaten Sleman yang berada di lereng Gunung Merapi merupakan kawasan dengan arahan penetapan kawasan rawan letusan gunung berapi. Pengelolaan kawasan rawan bencana alam pada kawasan rawan letusan gunung berapi meliputi terdiri dari memantau aktivitas gunung berapi, memetakan kawasan rawan letusan gunung berapi, membangun dan memelihara bangunan pengendali sedimen yang ramah lingkungan, dan mengendalikan kegiatan budi daya di dalam kawasan rawan letusan gunung berapi. Selain itu, kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi yaitu minimal sejauh 7 km dari puncak Gunung Merapi tidak boleh dilakukan kegiatan pertambangan. Mitigasi yang
dilakukan di daerah rawan bencana letusan Gunung Merapi terbagi atas dua yakni Mitigasi Struktural dan Mitigasi Non Struktural. Mitigasi Struktural Dalam pelaksanaan mitigasi struktural, BPBD Sleman melakukan pembangunan rumah sesuai standar kawasan rawan bencana yang bekerjasama dengan Tim REKOMPAK dibawah koordinasi Dirjen Cipta Karya Kementrian Pekerjaan Umum. Dalam mitigasi ini masyarakat dilibatkan dengan membagi masyarakat menjadi kelompok-kelompok pemukim. Dalam mitigasi ini banyak pihak swasta/NGO yang membantu, seperti Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, ASB, SGM. Terdapat peranan komunitas setempat dan Tim REKOMPAK untuk mensosialisasikan kegiatan mitigasi ini. Pada saat pembuatan sabo BPBD Sleman berkoordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSSO), Balai Sabo, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Peranan masyarakat turut dilibatkan dengan memberikan saran mengenai desain sabo. Mitigasi melalui alat peringatan dini (EWS) mayoritas disediakan oleh pemerintah, meskipun ada bantuan dari pihak swasta. Masyarakat juga berinisiatif untuk membeli alat komunikasi berupa handy talky (HT) untuk menerima dan memperbaharui informasi Gunung Merapi. Pelaksanaan mitigasi pembuatan barak pengungsian dimulai dengan membuat skenario kejadian erupsi Gunung Merapi. Dalam pembuatan skenario ini semua stakeholder dilibatkan, baik dari pihak swasta/NGO dan masyarakat. Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan mitigasi ini adalah mengenai informasi tentang jumlah pengungsi dan kapasitas barak pengungsian yang kurang akurat, sehingga terjadi over kapasitas ketika kondisi darurat. BPBD Sleman juga menyiapkan sarana dan prasarana yang menunjang proses evakuasi. BPBD Sleman berkoordinasi dengan pemerintah terkait seperti TNI dan Kepolisian untuk penyediaan armada evakuasi. Masyarakat menyiapkan transportasi yang diorganisir dalam sebuah tim khusus yang memiliki tugas dan tanggung jawabnya. Tim ini disebut Tim Pengurangan Resiko Bencana (Tim PRB) tingkat dusun. Selain sarana transportasi, jalur evakuasi juga mendapat perhatian. Masalah yang dihadapi BPBD Sleman adalah belum terpisahnya jalur evakuasi dengan jalur tambang. Oleh karena itu BPBD Sleman melakukan koordiansi dengan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi, Dinas Sumber Daya Alam Energi dan Mineral dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman. BPBD Sleman juga membuat rambu-rambu penunjuk arah jalur evakuasi menuju ke tempat yang aman seperti balai desa dan barak pengungsian.
Mitigasi Non Struktural Pelaksanaan mitigasi non struktural tidak berbeda dengan mitigasi struktural. Dalam kegiatan pemantauan pengamatan status Gunung Merapi, BPBD Sleman berkoordinasi dengan BPPTK, BMKG, dan BBWSSO. Mekanisme penentuan status menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Sleman. Pemantauan Gunung Merapi juga dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam komunitas-komunitas. Penyebaran informasi melalui radio, sehingga biasa disebut radio komunitas. Dalam kegiatan mitigasi penyampaian informasi, BPBD Sleman sebagai koordinator yang mengkoordinasi instansi-instansi terkait baik dari Pemkab Sleman,
BPPTK, BMKG, Posko Utama Pakem, Posko Kecamatan, Kantor Desa, dan komunitas-komunitas di Kawasan Rawan Bencana hingga informasi sampai kepada masyarakat. Mitigasi juga dilakukan dengan membuat peta kawasan rawan bencana. Namun peraturan pemetaan ini mendapat penolakan dari warga yang tinggal di daerah yang dinyatakan kawasan rawan bencana. Hal ini dikarenakan tidak dilibatkannya masyarakat dalam perumusan peraturan tersebut. Sehingga masyarakat kurang memahami maksud dan tujuan dari pemerintah. Keadaan yang demikian menyebabkan upaya penertiban peraturan pemanfaatan lahan dilakukan oleh pemerintah mengalami hambatan, sehingga sampai sekarang masih ada dusun yang tidak mau direlokasi. Dalam pelaksanaan mitigasi BPBD Sleman juga melakukan sosialisasi. Dalam melakukan sosialisasi BPBD Sleman berkoordinasi dengan instansi lain seperti BPPTK untuk menjelaskan secara ilmiah kondisi Gunung Merapi yang sesungguhnya. Selain itu dalam sosialisasi, BPBD Sleman juga dibantu oleh komunitas setempat. Kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat dilaksanakan melalui progran Desa Tangguh Bencana. Pelaksanaannya hasil kerjasama antara pemerintah, swasta (NGO) dan masyarakat. Dalam mewujudkan Desa Tangguh Bencana para stakeholder ini membentuk Tim Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Tingkat Dusun. Tim PRB Tingkat Dusun yang difasilitasi oleh BPBD Sleman dan swasta (NGO) bermusyawarah untuk menentukan kegiatan-kegiatan dalam upaya penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas di masyarakat. Sementara itu, dalam Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DIY tahun 2013-2017, menyebutkan bahwa hal-hal yang dapat dilaksanakan dalam upaya penanggulangan bencana letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman antara lain: a) Penguatan regulasi dan kapasitas kelembagaan, yaitu dengan strategi memperkuat regulasi dan mekanisme pendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana serta meningkatkan kapsitas lembaga penanggulangan bencana untuk optimalisasi operasi darurat bencana dan analisis risiko bencana b) Perencanaan penanggulangan bencana terpadu, dalam hal ini yang menjadi fokus utama adalah memperkuat perencanaan penanggulangan bencana partisipatif berdasarkan kajian risiko bencana serta memperkuat sistem kesiapsiagaan daerah untuk bencana-bencana prioritas. c) Penelitian, pendidikan dan pelatihan melalui kegiatan penyelenggaraan riset kebencanaan, penyelenggaraan sekolah siaga bencana, diklat manajemen bencana, serta penyediaan bantuan pengadaan buku pegangan dan bahan ajar untuk pendidikan siaga bencana sesuai dengan jenjang pendidikan. d) Peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat melalui program seperti pengarusutamaan pengurangan risiko bencana melalui perkuatan kemitraan pemerintah daerah dan pembangunan budaya siaga bencana melalui desa percontohan. e) Perlindungan masyarakat dari bencana dan penanganan bencana. Fokus, program dan kegiatan strategi perlindungan masyarakat dari bencana dan penanganan bencana digabung menjadi satu bagian. Manajemen Bencana yang dilakukan oleh BPBD Kabupaten Sleman berdasarkan Trirahayu,2015 ialah sebagai berikut: 1) Mitigation (Pengurangan-Pencegahan) Dalam tahap mitigation BPBD Kabupaten Sleman melakukan upaya pengurangan resiko dan dampak dari erupsi Merapi dengan melakukan pembuatan talud banjir,
pembuatan kantong lahar atau dam, pemasangan Early Warning System (EWS) atau dikenal dengan sistem peringatan dini dan pemasangan rambu-rambu jalur evakuasi. Namun dalam pelaksanannya kegiatan dalam bidang mitigation masih mengalami kendala yaitu kendala anggaran. 2) Preparedness (Perencanaan-Persiapan) a) Perencanaan Perencanaan kegiatan atau yang disebut Rengiat dilakukan oleh Seksi Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Sleman dengan didasarkan pada hasil analisis resiko kemudian disusun kegiatan yang memang diperlukan untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi. Perencanaan ini juga dilakukan untuk menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia serta untuk menyesuaikan dengan bidang-bidang yang lain karena dalam pelaksanaannya upaya preparedness melibatkan personil lintas bidang. b) Persiapan Kegiatan persiapan menghadapi erupsi Gunung Merapi dilakukan oleh BPBD Kabupaten Sleman dengan berbagai kegiatan seperti pemantauan di Gunung Merapi yang dilakukan oleh BPPTKG (Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian dan Geologi) berkoordinasi dengan BPBD Kabupaten Sleman untuk kemudian diinformasikan kepada masyarakat, pelatihan atau simulasi erupsi, pembentukan Desa Tanggap Bencana (Destana), pembentukan Sekolah Siaga Bencana (SSB) dan pembentukan Sister School. 3) Response (Penyelamatan-Pertolongan) a) Penyelamatan BPBD Kabupaten Sleman telah menyusun Skenario Rencana Penanggulangan Erupsi Gunung Api Merapi. Skenario evakuasi warga dan ternak dibedakan berdasarkan tipe letusan Merapi, yaitu letusan Efusif dan letusan Eksplosif. Selain itu, di Desa Tangguh Bencana juga memiliki dokumen Draft Rencana Kontijensi Gunung Api Merapi dan Rencana Kontijensi Penanganan Ternak Untuk Penanggulangan Bencana Erupsi Merapi sebagai panduan apabila Merapi mengalami erupsi. Selain itu, dalam upaya evakuasi ternak BPBD Kabupaten Sleman juga bekerjasama dengan Dinas Peternakan. b) Pertolongan Dalam memberikan pertolongan kepada korban bencana, pada saat pengungsi telah berada di barak pengungsian, maka BPBD Kabupaten Sleman mulai dilakukan distribusi logistic dengan terlebih dahulu melakukan pendataan jumlah pengungsi, menghitung kebutuhan pengungsi, mendirikan posko darurat, dan penanganan korban bencana yang diatur dalam SOP Barak dan Logistik. Namun, dalam prakteknya tahap response yang berkaitan dengan penyelamatan ini belum dilaksanakan karena setelah BPBD Kabupaten Sleman terbentuk pada tahun 2011, hingga September 2015 ini Gunung Merapi tidak mengalami erupsi. Meskipun belum melaksanakan respons terhadap erupsi, Seksi Kedaruratan dan Operasional Bencana beserta Seksi Penanganan Pengungsi dan Logistik Bencana telah melakukan kegiatan pelatihan kebencanaan yaitu Pengelolaan Barak dan Dapur Umum. Pelatihan ini diikuti oleh berbagai elemen masyarakat mulai dari perangkat desa, BPD, LPMD, tokoh masyarakat, remaja dan kader. Dalam pelatihan tersebut, BPBD Kabupaten Sleman melibatkan berbagai pihak seperti Dinas Kesehatan, PMI, dan Polisi untuk memberikan materi pelatihan. Namun dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dihadapkan pada kendala utama yaitu anggaran. Di dalam pengelolaan barak pengungsi belum terdapat anggaran untuk membuat kamar mandi dan penggantian lampu. Dalam tahap ini, apabila erupsi yang
terjadi merupakan erupsi ringan, maka yang pertama terjun adalah Tim Reaksi Cepat (TRC) yang beranggotakan PNS 6 orang dan non PNS 27 orang, sedangkan apabila skala erupsi adalah sedang atau besar, maka pemerintah membentuk Tim Komando Tanggap Darurat yang beranggotakan berbagai macam elemen pemerintah dan masyarakat. 4) Recovery (Pemulihan-Pengawasan) Setelah terjadinya erupsi, Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kabupaten Sleman menyusun rencana aksi (Renaksi) rehabilitasi dan rekonstruksi. Kegiatan yang dilakukan oleh bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi adalah pembuatan shelter bagi korban erupsi Gunung Merapi, pembangunan hunian tetap, penggantian ternak, bantuan modal usaha dan bantuan sapi perah. Luas dari hunian tetap adalah 100 m², dengan anggaran tiap huntap adalah Rp. 30.000.000,-. Didalam hunian tetap sendiri terdapat berbagai fasilitas, seperti adanya tempat ibadah, balai warga, kandang komunal, dan lapangan. Namun dalam pelaksanaannya, rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan juga mengalami kendala. Salah satu kendala tersebut adalah waktu pelaksanaan dan jumlah personil yang terbatas. Hal ini karena pelimpahan dana dari BPBD DIY ke BPBD Kabupaten Sleman dilakukan pada pertengahan tahun 2012 yaitu bulan Juli sedangkan dana yang dikelola sangat banyak yaitu Rp. 189.361.367.000,00 yang berarti pemanfaatannya hanya dalam waktu 6 bulan saja.
Referensi Ilham, Nyak. Dampak Erupsi Gunung Merapi Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani (Kasus Kabupaten Sleman). Bogor : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Isnainiati, Nur dkk. 2013. Kajian Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Merapi Di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman. Semarang : Universitas Diponegoro. M. Anshori, dkk. 2016. Perencanaan Wilayah Berbasis Mitigasi Bencana (Studi Kasus : Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi, Kabupaten Sleman). Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Trirahayu, Tiyas. 2015. Manajemen Bencana Erupsi Gunung Merapi Oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta Wahyunto. Lintasan Sejarah Erupsi Gunung Merapi. Bogor : Balai Besar Sumberdaya Lahan.